Vol. 3 No. 01 Juni 2017
IDENTIFIKASI RISIKO DALAM PEMBANGUNAN JEMBATAN BENTANG PANJANG (Studi Kasus Pembangunan Jembatan Selat Sunda) Aceng Maulana Karim Mahasiswa Magister Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan Email:
[email protected] Abstract Long Span Bridge Construction in Indonesia is quite a lot of progress. It is characterized by the development of several types of long-span bridge connecting an island with another island, like Suramadu (SurabayaMadura), Bridge Barelang (Riau), and the plan of the Sunda Strait Bridge that will connect Java and Sumatra islands. In practice, the construction of long-span Bridge has a lot of risks that can affect the project cycle, either directly or indirectly to influence it so that it will result in a project to be hampered in its completion. There are quite a lot of risks that may occur from planning, implementation, to maintenance, so that the necessary knowledge and understanding of risk management, so that the risks will occur can be minimized or eliminated. Risk in general can affect the cost, time and quality in construction projects, so that needs to be studied more deeply for Long Span Bridge project, especially in the Sunda Strait bridge construction project. The purpose of this study was to identify the risks that may occur in the bridge construction project, especially for bridges with long spans. This needs to be done so that potential risks can be well controlled, and can be transferred to the parties who are able to manage these risks. Project Delivery System to be used in the project. Project Delivery System is recommended for use in the Sunda Strait Bridge project is the type of PDS Turn Key. However, it is still necessary to examine other types of PDS may be better suited for applications in the Sunda Strait Bridge project, one of which is the PublicPrivate Partnerships (PPP) if the government plans to offer Sunda Strait Bridge project to private investors. Keywords: bridges, construction project risk, cost, time Abstrak Pembangunan Jembatan Bentang Panjang di Indonesia cukup banyak mengalami kemajuan. Hal ini ditandai dengan dibangunnya beberapa tipe jembatan bentang panjang yang menghubungkan suatu pulau dengan pulau yang lain, seperti Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura), Jembatan Barelang (Kepri), dan rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda yang akan menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Sumatera. Dalam pelaksanaannya, pembangunan jembatan bentang panjang memiliki banyak risiko-risiko yang dapat mempengaruhi siklus proyek baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhinya sehingga akan mengakibatkan proyek jadi terhambat dalam penyelesaiannya. Terdapat cukup banyak jenis risiko yang mungkin terjadi mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pemeliharaan, sehingga diperlukan pengetahuan dan pemahaman mengenai pengelolaan risiko, sehingga risiko-risiko yang akan terjadi bisa diminimalisir atau dihilangkan. Risiko pada umumnya dapat mempengaruhi biaya, waktu, dan mutu dalam proyek konstruksi, sehingga perlu dikaji lebih dalam untuk proyek Jembatan Bentang Panjang, khususnya pada proyek pembangunan Jembatan Selat Sunda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi risiko-risiko yang mungkin terjadi pada proyek pembangunan jembatan, khususnya untuk jembatan dengan bentang panjang. Hal ini perlu dilakukan agar risiko yang mungkin terjadi dapat dikendalikan dengan baik, dan dapat ditransfer kepada pihak-pihak yang mampu dalam mengelola risiko tersebut. Project Delivery System yang akan digunakan dalam proyek tersebut. Project Delivery System yang disarankan untuk digunakan dalam proyek Jembatan Selat Sunda yaitu tipe PDS Turn Key. Namun, masih dirasa perlu untuk mengkaji tipe PDS lain yang mungkin lebih sesuai diterapkan pada proyek Jembatan Selat Sunda, salah satunya yaitu dengan Public-Private Partnerships (PPP) apabila pemerintah berencana untuk menawarkan proyek Jembatan Selat Sunda kepada investor swasta. Kata Kunci: jembatan, proyek konstruksi, risiko, biaya, waktu
1 - 70
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 3 No. 01 Juni 2017
1. PENDAHULUAN Jembatan bentang panjang di Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Hal ini terlihat dari beberapa tipe jembatan yang dibangun dengan bentang (span) lebih dari atau sama dengan 150 m. Jembatan dengan bentang panjang biasanya memiliki struktur desain yang kompleks, sehingga membutuhkan identifikasi risiko lebih dalam tahap awal perencanaan. Risiko-risiko yang telah diidentifikasi kemudian akan dituangkan dalam kontrak untuk mengatur pihak-pihak mana saja yang harus menanggung risiko tersebut. Jembatan Selat Sunda merupakan salah satu proyek terbesar, pembuatan jembatan yang melintasi Selat Sunda sebagai penghubung antara Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia. Sampai saat ini, proyek Jembatan Selat Sunda masih dalam tahap kajian dan Feasibility Study (FS). Sehingga diperlukan identifikasi risiko dalam setiap tahap siklus proyek yang ada. Identifikasi diperlukan agar dalam pelaksanaannya, pihak-pihak yang terkait dapat mengelola risiko tersebut agar dapat meminimalisir dampak yang terjadi dengan upaya mitigasi.
tipe kontrak yang ditawarkan yaitu, turn key tendering, build operate transfer tendering (BOT), design build tendering, private public participation tendering (PPP), partly detailed design tendering, fully detailed tendering, dan BOT modified (COWI Consultants dalam Vaza, 2012). Tipe-tipe kontrak tersebut masih dalam kajian pemerintah, sehingga dirasa perlu untuk melakukan identifikasi risiko-risiko kemudian menentukan tipe kontrak yang sesuai agar risiko yang ada dapat dikelola dengan baik. Perbedaan dari proyek konstruksi pada umumnya, proyek jembatan bentang panjang memiliki risiko yang tinggi dari segi geografis dan aplikasi teknologi. Hal ini juga menjadi menarik untuk dibahas lebih lanjut, mengingat kondisi geografis di Indonesia yang beragam. Teknologi pun menjadi salah satu permasalahan tersendiri, sehingga risiko yang mungkin terjadi akan berbeda untuk setiap jenis teknologi yang ada. Dari penjelasan diatas, maka permasalahan yang akan dikaji ini adalah : A.
Risiko-risiko yang mungkin terjadi pada pembangunan jembatan bentang panjang;
Pembangunan jembatan bentang panjang memiliki beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi pelaksanaan proyek. Diantara risiko-risiko yang ada, akan berpengaruh terhadap pemilihan tipe Project Delivery System (PDS) yang akan digunakan Dalam pembangunan jembatan bentang panjang. Dimana PDS sendiri merupakan sistem pelaksanaan dari seluruh tahapan yang terkait dengan pihakpihak yang terlibat dalam setiap tahapan tersebut. Tipe PDS yang tepat akan mempengaruhi biaya, mutu, dan waktu pelaksanaan. Sehingga pemilihan tipe PDS untuk pembangunan jembatan bentang panjang perlu dilakukan kajian lebih dalam.
B. Bagaimana alokasi yang tepat untuk setiap risiko yang ada;
Kontrak digunakan sebagai sarana untuk mengatur risiko-risiko yang ada, namun apabila kontrak tidak disusun menggunakan tata cara yang benar maka akan menjadi sumber risiko yang mempengaruhi kinerja proyek.
C. Menentukan sistem pelaksanaan proyek (Project Delivery System) yang akan digunakan dalam proyek pembangunan bentang panjang
Menurut Flanagan dan Norman tahun 1993 dalam Budisuanda (2011), jenis-jenis kontrak yang memiliki risiko yang lebih besar terdapat di kontraktor yaitu design and built, turn key, package deal, lump sum fixed price, lump sum fluctuating price, cost plus fee with a target price, dan management fee with a quaranteed maximum price. Apabila terdapat risiko yang besar dalam pelaksanaan kontrak kerja yang harus ditanggung oleh penyedia jasa, maka penyedia jasa akan mengajukan penawaran dengan mempertimbangkan tipe kontrak yang sesuai untuk mengelola risiko-risiko tersebut. Pada proyek jembatan bentang panjang (contoh kasus Jembatan Selat Sunda), terdapat beberapa
C. Pemilihan sistem pelaksanaan proyek (Project Delivery System) yang akan digunakan sesuai dengan identifikasi risiko yang telah dilakukan. Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah: A. Mengetahui risiko-risiko pada pembangunan jembatan bentang panjang B. Mengetahui alokasi risiko berdasarkan identifikasi risiko yang telah dilakukan
Diharapkan dengan kajian tersebut maka dapat memberikan alternatif dalam pemilihan tipe kontrak yang sesuai untuk proyek pembangunan jembatan bentang panjang. 2. TINJAUAN PUSTAKA Bentuk atau tipe jembatan bentang panjang di Indonesia cukup bervariasi, mulai dari tipe cable stayed, gantung, dan pelengkung baja atau beton. Tipe-tipe tersebut digunakan tergantung dari kondisi geografis yang ada. Semakin panjang rintangan atau hambatan yang akan dilalui, maka semakin panjang bentang jembatan yang harus digunakan. Dengan kondisi tersebut, maka jembatan bentang panjang akan memiliki tingkat kesulitan yang unik dibandingkan dengan jembatan lainnya. Sehingga risiko yang mungkin JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 71
Vol. 3 No. 01 Juni 2017
terjadi dalam siklus proyeknya mungkin akan berbeda tergantung dari kondisi dilapangan. Jembatan Selat Sunda merupakan rencana pemerintah untuk menghubungkan kedua pulau yaitu pulau Sumatera (Lampung) dan Jawa (Banten). Gagasan untuk menghubungkan Sumatera dan Jawa yang terpisahkan oleh Selat Sunda sudah muncul sejak tahun 1960. Berikut ini adalah pembicaraan soal proyek Jembatan Selat Sunda dari masa ke masa. Menurut Angreni (2013), pendanaan proyek JSS berkisar senilai Rp 200 triliun yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Proyek yang memakan waktu pelaksanaan hingga 14 tahun itu visibel dan APBN mampu mendanainya, karena dalam setahun dana yang diperlukan tidak lebih dari Rp 20 triliun, atau tidak lebih dari 10% dari dana untuk subsidi BBM yang selama ini sudah didanai oleh APBN hingga Rp 200 triliun. Proyek Jembatan Selat Sunda diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian dikedua wilayah yang saling terhubung. Selain itu perpindahan lalulintas darat akan lebih mudah baik angkutan penumpang maupun barang (logistik), sehingga beban angkutan penyebrangan yang melalui jalur laut dapat berkurang, mengingat kapasitas angkut kendaraan yang menggunakan jasa ferry sangatlah terbatas. 2.1. Permasalahan dalam Pembangunan Jembatan Terdapat beberapa permasalahan dalam pembangunan jembatan, terutama jembatan bentang panjang yang cukup sering terjadi. Permasalahan tersebut dapat terjadi pada setiap siklus proyek yang ada mulai dari perencanaan, pelelangan, pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan. Dalam tahap permasalahan
perencanaan, terdapat beberapa yang ada, diantaranya yaitu:
A. Pelaksanaan Feasibility Study (FS) yang kurang baik, sehingga informasi yang diperoleh menjadi sedikit dan akan berpengaruh untuk desain jembatan yang dipilih. B.
Pengambilan nilai-nilai dan asumsi untuk melakukan desain jembatan, dimana setiap nilai yang dimasukan kedalam perhitungan desain sebagai faktor yang dapat mempengaruhi desain jembatan tersebut. Nilai-nilai yang biasanya dijadikan dasar dalam desain jembatan bentang panjang sepeti kondisi tanah, kecepatan angin, kegempaan, tipikal lalulintas kendaraan yang melintas, dan lain-lain. Seringkali nilai-nilai tersebut tidak didapatkan secara langsung.
C. Asumsi nilai proyek yang sangat tinggi, dimana hal ini dipengaruhi oleh kekurangan informasi dilapangan akibat dari kekurangan informasi dilapangan (seperti: asumsi waktu pelaksanaan, 1 - 72
JURNAL INFRASTRUKTUR
harga/biaya
setiap
item
pekerjaan).
D. Kurangnya sumber daya manusia yang baik dalam hal melakukan desain jembatan bentang panjang. E. Aplikasi teknologi jembatan bentang panjang yang tidak didukung dengan penelitian yang disesuaikan dengan kondisi. Pada tahap lelang, terdapat beberapa permasalahan yang ada, yaitu; A. Metode pelaksanaan proyek jembatan bentang panjang yang tidak disampaikan secara detail kepada peserta lelang, sehingga menyebabkan kesalahan dalam melakukan penawaran harga. B.
Informasi mengenai penggunaan teknologi jembatan yang tidak didefinisikan secara baik.
Pada tahap pelaksanaan terdapat permasalahan yang ada, yaitu:
beberapa
A. Terjadinya keterlambatan pengiriman material ke site akibat lokasi proyek yang jauh. B. Selimut beton yang terlalu tipis, terutama pada bagian bawah gelagar jembatan (cor ditempat) akibat kesalahan pada saat pemasangan bekisting. C. Terjadinya segregasi pada beton akibat kesalahan prosedur pada saat pengecoran dilapangan. D. Proses penarikan tendon/kabel dilapangan yang kurang baik. E. Proses curing beton tidak dilakukan dengan baik, sehingga menyebabkan terjadinya retak susut pada yang dapat mempercepat proses terjadinya korosi pada tulangan beton. F. Kesalahan prosedur dalam pemerapan metode pelaksanaan dilapangan. G. Kerusakan pada lingkungan sekitar pembangunan proyek jembatan. Pada tahap operasi dan pemeliharaan terdapat beberapa permasalahan yang ada, yaitu: A. Akses pemeriksaan yang sulit/ tidak tersedia, sehingga akan menyulitkan pemeriksa untuk melakukan obervasi kerusakan. B. Tidak dilakukannya perbaikan pada kerusakankerusakan minor, yang dapat memicu terjadinya kerusakan yang lebih besar, seperti retak pada beton, dan karat pada tulangan beton. C. Vandalisme pada peralatan monitoring jembatan, sehingga early warning system tidak dapat berjalan dengan baik. Menurut Li (2013), terdapat beberapa risiko yang mungkin terjadi pada saat pelaksanaan proyek
Vol. 3 No. 01 Juni 2017
jembatan skala besar sepeti pada Tabel 1. Tabel 1. Risiko dalam pelaksanaan proyek jembatan skala besar (Li, 2013)
2.2. Risiko Risiko merupakan suatu ukuran dari probabilitas dan konsekuensi dari tidak tercapainya suatu sasaran proyek yang telah ditentukan. Manajemen risiko adalah suatu pengertian yang telah diorganisir dari pengidentifikasian dan pengukuran risiko dan pengembangan, pemilihan, dan mengatur tindakan-tindakan untuk menangani risikorisiko tersebut (Flanagan, dalam Mikaela, 2006). Keadaan dalam pengambilan keputusan dapat dibagi menjadi tiga bagian (Flanagan, dalam Mikaela B., 2006): A. Kepastian (certainty) B. Risiko (risk) C. Ketidakpastian (uncertainty) Pengertian risiko dalam konteks proyek dapat didefinisikan sebagai suatu penjabaran terhadap konsekuensi yang tidak menguntungkan, secara finansial maupun fisik, sebagai hasil keputusan yang diambil atau akibat kondisi lingkungan di lokasi suatu kegiatan. Jika dikaitkan dengan konsep peluang, “risiko” adalah peluang/ chance JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 73
Vol. 3 No. 01 Juni 2017
terjadinya kondisi yang tidak diharapkan dengan semua konsekuensi yang mungkin muncul yang dapat menyebabkan keterlambatan atau kegagalan proyek (Gray dan Larson, dalam Rica, 2009). Menurut Fisk (dalam Rica, 2009), Risiko merupakan variasi dalam hal-hal yang mungkin terjadi secara alami di dalam suatu situasi, tak ada yang dapat mengetahui kapan risiko akan terjadi, karena itu risiko dapat diartikan pula sebagai probabilitas kejadian yang timbul selama suatu periode waktu. Terdapat beberapa tahapan dalam mengelola risiko, dimana tahapan-tahapan tersebut merupakan suatu bagian dari manajemen proyek berdasarkan PMBOK Guide, dimana tertulis dalam buku Project Risk Management A Proactive Approach oleh Royer (2002) yaitu: A.
Initiating processes - Project opportunity assessment Examining the high-level requirements of the project opportunitiy to define risks versus opportunities in order to make a decision to proceed or not to proceed with the endeavor.
B.
Planning processes - Risk management planning Identifying risks and developing mitigation strategies and contingency plans to minimize their impact
C. Executing processes - Project risk audit - Auditing the effectiveness of project management processes D. Controlling processes - Continuing risk management - Monitoring identified project risk to trigger the implementation of risk mitigation strategies and contingency plans; identifying new risks E. Closing processes - Risk knowledge transfer - Capturing lessons learned in the mitigation of project risks for use in future projects.
Gambar 1. Grafik peristiwa risiko Risiko dapat diidentifikasi melalui berbagai aspek dan sudut pandang tertentu, dimana menurut Rica (2009) terdapat beberapa klasifikasi risiko yang ada diantaranya yaitu; A. Risiko Politik (Political Risk), adalah risiko yang ditimbulkan oleh kebijakan/tindakan/keputusan sepihak dari Pemerintah atau Negara yang secara langsung dan signifikan berdampak pada kerugian financial badan usaha, yang meliputi risiko pengambilan aset, huru hara, risiko perubahan peraturan perundang-undangan, dan risiko pembatasan konversi mata uang. B. Risiko Kinerja Proyek (Project Performance Risk), adalah risiko yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek, yang antara lain meliputi risiko lokasi dan risiko operasional. C. Risiko Ekonomi (Economical Risk), adalah risiko dimana meskipun operasi yang ada dapat menghasilkan output yang dibutuhkan, namun tidak dapat mencapai tingkat pendapatan yang diharapkan berkaitan dengan pelaksanaan proyek. D. Risiko Hukum (Law Risk), adalah risiko akibat adanya perubahan hukum seperti peubahan undang-undang, termasuk kebijakan yang dapat mempengaruhi tingkat kelayakan proyek. E.
2.3. Identifikasi Risiko Langkah pertama dalam proses manajemen risiko yaitu dengan melakukan identifikasi risiko dalam suatu proyek. Identifikasi risiko dilakukan untuk menemukan sumber-sumber risiko yang memiliki kemungkinan dapat menghambat jalannya proyek. Menurut Budisuanda (2011), tahap-tahap awal dari proyek menunjukan periode ketika ada kesempatan untuk memperkecil dampak atau pekerjaan di sekitar risiko potensial. Dan sebaliknya, ketika proyek berlangsung separuh jalan, biaya peristiwa risiko yang terjadi meningkat dengan cepat (Gambar 1). Mengenali peristiwa risiko proyek dan memutuskan respons sebelum proyek dimulai adalah pendekatan yang lebih bijaksana daripada tidak mencoba untuk mengelola risiko.
1 - 74
JURNAL INFRASTRUKTUR
Risiko Keuangan (Monetary Risk), adalah risiko dimana anggaran konstruksi yang disepakati untuk pelaksanaan proyek tidak mencukupi sehingga menyebabkan tambahan biaya selama pelaksanaan. Tambahan biaya tersebut dapat diakibatkan oleh kenaian harga-harga, niyai mata uang, inflasi.
F. Risiko Sosial (Social Risk), adalah risiko yang timbul akibat pembangunan suatu proyek, dimana proyek tersebut menimbulkan gejolak di masyarakat, dengan adanya demo menolak proyek tersebut. G. Risiko Lingkungan (Enviromental Risk), adalah risiko yang ditimbulkan oleh adanya dampak keberadaan proyek terhadap lingkungan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Vol. 3 No. 01 Juni 2017
Pengelompokan risiko dapat dibagi menjadi 3 tahap yang terdiri dari: A. Tahap pra konstruksi meliputi; 1. Perizinan 2. Studi kelayakan
atau lembaga pemerintah, seperti yang sudah direncanakan. Apabila risiko tidak dialokasikan dalam kontrak maka akan timbul perselisihan antara pengguna jasa dan kontraktor. Apabila hal tersebut terjadi, maka seorang arbitor atau hakim kemungkinan besar akan menentukan pihak mana yang paling sesuai untuk alokasi resiko (Bunni, 2005). Tabel 2. Alokasi risiko berdasarkan tipe kontrak (Flanagan & Norman 1993)
3. Desain 4. Pembebasan lahan B. Tahap konstruksi meliputi; 1. Pembiayaan 2. Pembangunan 3. Peralatan 4. Force majeur C. Tahap pasca konstruksi 1. Operasi dan pemeliharaan
*) Nilai persentase merupakan nilai perkiraan
2. Force majeur
Flanagan & Norman (1993), menjelaskan alokasi risiko untuk beberapa tipe kontrak, seperti terihat pada Tabel 2.
2.4. Alokasi Risiko Menurut Bunni (2005), ketika suatu peristiwa yang diinginkan atau tidak diinginkan di identifikasi, kemudian dinilai dan dianalisis, pengelola suatu kegiatan dapat mengalokasikan peristiwa tersebut ke berbagai pihak. Hal ini diperlukan untuk mengendalikan suatu peristiwa agar tidak menjadi berbahaya. Alokasi peristiwa (risiko) perlu dikendalikan untuk mengurangi risiko negatif dan meningkatkan risiko positif. Alokasi risiko (Risk Allocation) merupakan bagian dari peran manajemen namun tetap harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. (Bunni, 2005) Berdasarkan sebuah makalah terbaru mengenai aturan dalam alokasi risiko dalam proyek konstruksi, menjelaskan kemapuan pihak untuk: A.
mengendalikan perjanjian yang mungkin diperlukan untuk menangani bahaya atau pemicu insiden yang berkaitan dengan proyek konstruksi
B. mengendalikan risiko atau untuk mempengaruhi salah satu efek yang dihasilkan C. melakukan tugas yang berkaitan dengan proyek, seperti mendapatkan penggantian dari asuransi D. mendapatkan keuntungan dari proyek Di sisi lain, aturan untuk alokasi risiko dapat berada disekitar kebijakan dalam sebuah organisasi
2.5. Sistem Pelaksanaan Proyek (Project Delivery System) Setiap proyek melalui suatu daur hidup proyek, yang dimana sistem pelaksanaan seluruh yang terkait dengan pihak-pihak yang terlibat dalam setiap tahapan disebut Project Delivery System (PDS) atau sistem pelaksanaan proyek. PDS ditentukan oleh pemilik proyek (owner) yang didasarkan oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut, yaitu: A.
pengalaman/kebiasaan, dalam pemilihan pelaksanaan proyek. Dengan pengalaman, maka risiko-risiko yang akan dihadapi dalam proyek dapat diidentifikasi lebih awal.
B. saran konsultan, konsultan dalam hal ini telah melakukan perhitungan baik secara struktur maupun biaya, sehingga saran-saran yang diajukan oleh konsultan dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan sistem pelaksanaan proyek. C. sumber dan kendala pembiayaan, dalam suatu proyek yang memiliki tingkat risiko yang besar, terutama dengan biaya yang besar, akan memberikan pengaruh dalam pemilihan sistem pelaksanaan proyek yang tepat. D. Penggunaan sumber daya yang dimiliki, pemilihan sistem pelaksanaan proyek dapat dipengaruhi oleh sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya manusia, alat, maupun material yang ada. JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 75
Vol. 3 No. 01 Juni 2017
E. Keinginan stakeholder dari proyek, berdasarkan dari tingkat kesulitan proyek yang ada atau alasan lain yang telah disampaikan stakeholder. 2.6. Bentuk Swakelola (Owner-Provided Delivery) Swakelola dilakukan jika lingkup pekerjaan sesuai dengan keahlian, pengalaman, dan sumber daya yang dimiliki oleh owner. Dalam penggunaannya, swakelola dapat dilakukan baik untuk perancangan maupun pelaksanaan proyek. Bentuk swakelola sendiri memungkinkan untuk pemilik proyek (owner) untuk menambahkan sumber daya pada bagian perancangan dari seorang ahli perancangan. Pemilik proyek berlaku sebagai General Contractor yang mengelola beberapa sub kontraktor yang dipilih. Untuk melakukan swakelola, maka pemilik proyek perlu memiliki izin praktek dan juga setifikat yang memadai. Sebagai contoh, Bina Marga melakukan swakelola untuk pekerjaan pemeliharaan jalan dan jembatan. 2.7. Bentuk Perencanaan Pelelangan Pelaksanaan (Design-Bid-Build) Bentuk sistem pelaksanaan proyek Design-Bid-Build telah ditetapkan oleh perundangan untuk pelaksanaan proyek pemerintah. Beberapa pemilik proyek swasta juga menggunakan sistem pelaksanaan ini. Dalam bentuk ini proses pelaksanaan proyek melalui tiga tahap, dimana tahap-tahap tersebut meliputi tahap perencanaan (Design), tahap pelelangan (Bid), dan tahap konstruksi (Build). Tahap konstruksi hanya
karena itu, sering digunakan nama konsultan manajemen proyek (KMP). Penggunaan CM diperlukan untuk proyek-proyek sedang atau besar, di mana pemilik proyek tidak memiliki sumber daya internal atau staf pengelola yang dibutuhkan. 2.9. Bentuk Perencanaan- Pelaksanaan (Design- Build) Design and Built adalah sistem pelaksanaan proyek yang memiliki hanya satu entitas yang bertanggung jawab untuk perancangan dan pelaksanaan konstruksi sekaligus. Pemilihan Design Builder oleh pemilik proyek dapat dilakukan dengan kompetitif maupun negosiasi. Dengan Design and Build, maka pemilik proyek hanya akan berhubungan dengan satu pihak untuk dua tahapan proyek, dan menghindari ketidaksepahaman antara perancang dengan pelaksana. Bentuk hubungan kerjasama seperti ini dipergunakan untuk memperpendek waktu pelaksanaan proyek dan memberikan fleksibilitas kepada pemilik proyek untuk melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan selama pelaksanaan proyek (Iman Soeharto, 2001). Hubungan dari ketiga pelaku pembangunan proyek dapat dilihat pada Gambar. 3
Gambar 3. Bentuk Design - Build (Iman Soeharto, 2001) Gambar 2. Bentuk Design-Bid-Build (Iman Soeharto, 2001) dapat dilaksanakan bila tahap pelelangan selesai. Demikian juga dengan tahap pelelangan dapat dilaksanakan jika tahap perencanaan sudah selesai (Iman Soeharto, 2001). Hubungan dari ketiga pelaku pembangun proyek dapat dilihat pada Gambar 2. 2.8. Bentuk Manajemen Konstruksi (Construction Management) Pengertian dari manajemen konstruksi (Construction Management-CM) adalah proses di mana pemilik membuat ikatan kerja dengan agen yang disebut manajer konstruksi, dengan tugas mewakili pemilik untuk mengkoordinasikan kegiatan penyelenggaraan proyek terutama pada tahap konstruksi. (Soeharto, 2001). Menurut Soeharto (2001), CM tidak terbatas hanya mengurusi konstruksi, tetapi meliputi aspek yang luas, mulai dari tahap konseptual atau studi kelayakan sampai kepada menutup proyek. Oleh 1 - 76
JURNAL INFRASTRUKTUR
2.10. Bentuk Turnkey/EPC Karakteristik Turnkey adalah sama dengan and Build tapi ditambahkan tanggung operasi dan pemeliharaan proyek kepada and Builder. Beberapa jenis Turnkey,
Design jawab Design yaitu:
A. Design-Build-Operate-Transfer: waktu operasi pendek (1 tahun). B. Design-Build-Operate-Maintain: dikenal dengan super turnkey, waktu operasi dan pemeliharaan yang lama (10-15 tahun) C.
Design-Build-Own-Operate-Transfer: lebih luas cakupannya dan lebih lama operasi dan pemeliharaannya. Biasanya untuk infrastruktur seperti jalan tol dan jembatan tol. Dapat pula dikembangkan dengan skema pendanaan oleh pihak swasta atau developer.
2.11. Bentuk Build Operate Transfer (BOT) Menurut Soeharto (2001), bentuk lalin dari hubungan
Vol. 3 No. 01 Juni 2017
peserta proyek, dalam hal ini antara pemilik, promotor, dan kontraktor adalah mengadakan kerjasama yang dikenal sebagai Build Operate Transfer (BOT). Dalam hal ini, promotor bertindak aktif sekaligus menyiapkan dana, membangun proyek serta mengoperasokan dan menerima dana hasil operasi fasilitas yang telah selesai dibangun. Kemudian pada akhir jangka waktu tertentu (sesuai dengan perjanjian) menyerahkannya kepada pemilik proyek. Adakalanya promotor memberikan kegiatan implementasi fisik kepada kontraktor tertentu. Namun, ada pula keadaan di mana kontraktor yang cukup bonafid bertindak menjadi promotor. Hubungan dari ketiga pelaku pembangunan proyek dapat dilihat pada Gambar 4.
3. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan menggunakan data sesuai dengan fakta yang terjadi dilapangan. Selain itu datadata juga diperoleh melalui kajian literatur serta informasi-informasi yang ada berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa ahli struktur jembatan. Data-data yang diperoleh berupa identifikasi risiko-risiko yang mungkin terjadi pada proyek jembatan bentang panjang, serta alokasi risikonya. Kemudian data-data yang ada dikelompokan agar lebih mudah dalam melakukan analisis. Hasil akhir dalam penelitian ini berupa penentuan sistem pelaksanaan proyek (project delivery system) yang sesuai untuk digunakan dalam proyek jembatan bentang panjang. Metodologi penelitian secara garis besar seperti terlihat pada Gambar 5.
Gambar 4. Bentuk Build - Operate - Transfer (Iman Soeharto, 2001) 2.12. Bentuk Public-Private Partnerships (PPP) Pada dasarnya, skema Kerjasama Pemerintah Swasta atau Public-Private Partnerships (PPP) adalah skema yang memungkinkan penyediaan infrastruktur Pemerintah untuk dikembangkan dan dikelola oleh investor swasta. Skema ini akan mencakup kerja sama antara Pemerintah Daerah, Kementerian atau, dalam kasus tertentu, perusahaan milik negara selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) mewakili pihak publik/Pemerintah dan investor swasta dalam pembangunan proyek infrastruktur. (Roesly, 2011). 2.13. Bentuk Cost Plus Fee Menurut Isnanto (2009), Cost Plus Fee adalah kontrak pelaksanaan pegadaan barang/jasa pemborongan dimana kontraktor yang bersangkutan menerima imbalan jasa yang nilainya tetap disepakati oleh kedua belah pihak. Pada kontrak jenis ini, konsultan mendapatkan pembayaran atas dasar time based rate bagi waktu yang digunakan untuk menyelesaikan lingkup kerja plus sejumlah fee. Kontrak jenis ini umumnya digunakan untuk pekerjaan penelitian dan pengembangan. 2.14. Bentuk Lumpsum Bentuk kontrak lumpsum merupakan kontrak dengan harga tetap, dalam arti konsultan mendapatkan jumlah harga tetap berdasarkan keluaran (output) tertentu yang telah disepakati. Pada kontrak jenis ini, pemilik tidak menanggung risiko mengenai kenaikan jumlah jam-orang atau satuan harga per jam orang yang mungkin timbul. (Soeharto, 2001).
Gambar 5. Metodologi Penelitian 4. ANALISA DAN PEMBAHASAN Identifikasi risiko dilakukan untuk mengetahui risiko-risiko yang mungkin terjadi pada siklus hidup proyek jembatan bentang panjang. Proses identifikasi risiko ini dilakukan dengan cara melakukan pengelompokan risiko sesuai dengan tahapan siklus hidup proyek, dimana di dalam siklus hidup suatu proyek terdapat 4 tahap yaitu inisiasi, perencanaan, eksekusi (pelaksanaan proyek.), serta operasional dan pemeliharaan. Risiko-risiko yang ada didapatkan berdasarkan hasil wawancara ahli. 4.1. Tahap Inisiasi Dalam proyek jembatan bentang panjang, dilakukan studi kelayakan untuk mengidentifikasi masalah dan solusi secara detail dan menyeluruh sehingga memberikan luaran mengenai manfaat proyek dan perkiraan biaya yang dikeluarkan. Dalam tahap ini, studi mengenai lingkungan perlu dilakukan sebelum perencanaan dilakukan. Hal ini dilakukan sebagai
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 77
Vol. 3 No. 01 Juni 2017
langkah awal untuk mengetahui kondisi lingkungan sekitar proyek, apakah terdapat kawasan yang dilindungi oleh pemerintah atau tidak. Risiko yang mungkin timbul yaitu setelah dilakukannya studi lingkungan yaitu perlu dilakukan perizinan mengenai pelepasan fungsi lahan yang ada, dimana proses perizinan tersebut dapat memakan waktu yang cukup lama. Dalam melakukan Feasibility Study, perlu dilakukan identifikasi mengenai halhal yang sifatnya tidak dapat dikuantifikasi secara teknis. Untuk melakukan indentifikasi tersebut, maka perlu adanya penelaahan sustainiblity proyek dan dampaknya dalam segi ekonomi, sosial dan lingkungan. Selain itu FS sebaiknya dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, Nomor: 19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan.
permukaan laut dengan dasar laut (seabed level) dengan kedalaman air yang cukup tinggi.
4.2. Tahap Perencanaan
Tahap terakhir dari siklus proyek yaitu operasional dan pemeliharaan, dimana dalam tahap ini perlu dilakukan peninjauan apakah seluruh proyek telah dilaksanakan dengan baik. Peninjauan tersebut meliputi identifikasi seluruh aktivitas proyek, risiko-risiko yang terjadi, serta isu-isu yang terkait dengan proyek.
Terdapat risiko dalam tahap perencanaan yaitu perencana yang kurang berpengalaman dalam melakukan desain jembatan bentang panjang. Didalam buku BMS (Bridge Management System) disampaikan mengenai Quality Control Design untuk perencana jembatan, didalamnya terdapat penjelasan tingkatan-tingkatan perencana, sehingga diperlukan perencana yang berpengalaman dalam desain jembatan bentang panjang. Selain itu, terdapat kemungkinan terjadinya kesalahan dalam perencanaan metode pelaksanaan, sehingga dirasa perlu untuk melakukan perencanaan terhadap metode pelaksanaan dilapangan dengan baik sesuai dengan kebutuhan proyek tersebut. Risiko lain yang mungkin terjadi pada tahap perencanaan yaitu, kekurangan data lapangan seperti kondisi tanah, potensi gempa, dan kondisi cuaca. Hal ini akan berdampak terhadap desain jembatan tersebut, karena apabila terjadi kekurangan data lapangan, maka akan digunakan asumsi-asumsi dalam melakukan desain. Asumsi tersebut sebaiknya berdasarkan kondisi lapangan yang aktual, akan menjadi tidak valid apabila data lapangan yang ada tidak lengkap/kurang. Apabila terdapat kekurangan data lapangan maka struktur tidak dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan geografis yang ada. 4.3. Tahap Eksekusi Risiko yang mungkin terjadi pada tahap eksekusi proyek yaitu risiko kontraktual, bentuk kontrak yang salah atau kurang sesuai akan mempengaruhi pelaksanaan proyek. Selain itu, metode pelaksanaan dilapangan yang tidak direncanakan dengan baik, akan menimbulkan risiko. Metode pelaksanaan yang buruk akan menyebabkan meningkatnya biaya dan bertambahnya waktu pelaksanaan dilapangan. Dalam tahap pelaksanaan, disampaikan bahwa pekerjaan yang memiliki risiko terbesar yaitu struktur pondasi. Kondisi kontur tanah di sekitar lokasi Jembatan Selat Sunda memiliki kedalaman yang berbeda-beda, terutama pada batas antara
1 - 78
JURNAL INFRASTRUKTUR
Selain itu, risiko mungkin muncul pada saat melakukan Quality Control dalam pelaksanaan, apabila hal tersebut tidak dilakukan secara benar, maka kemungkinan tejadinya kesalahan pada tahap pelaksanaan akan semakin tinggi. Selain itu, Indonesia masih kekurangan sumber daya dalam melakukan pengawasan konstrksi terutama dalam konstruksi jembatan bentang panjang. Diperlukan ahli-ahli yang lebih berpengalaman baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan kontrol kualitas pekerjaan, agar pelaksanaan proyek dapat berjalan dengan baik. 4.4. Tahap Operasional dan Pemeliharaan
Sistem operasional pemeriksaan jembatan perlu dipenuhi dalam tahap pemeliharaan, agar risiko dalam tahap ini dapat berkurang. Dalam sistem pemeriksaan jembatan, juga perlu didukung alat-alat pemeriksaan sebagai contoh seperti Structure Health Monitoring System (SHMS) yang sudah diterapkan pada Jembatan Bentang Panjang Suramadu. SHMS tersebut perlu didukung dengan akses pemeliharaan peralatan atau sensor-sensor yang terpasang pada jembatan. Akses tersebut dibuat untuk memudahkan pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan dan pemeliharaan struktur jembatan serta pengecekan alat-alat dan sensor-sensor yang terpasang. 4.5. Risiko Eksternal Risiko dalam pembangunan jembatan bentang panjang seperti Selat Sunda, tidak hanya terjadi pada setiap tahapan siklus hidup proyek. Terdapat juga risiko eksternal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan proyek tersebut. Risiko yang mungkin terjadi yaitu adanya perubahan kondisi iklim dan cuaca disekitar lokasi proyek. Hal ini menjadi sumber risiko terbesar yang dapat mempengaruhi pelaksanaan proyek di lapangan, karena berada diluar kendali manusia. Gempa merupakan risiko yang mungkin terjadi pada saat pelaksanaan dan operasional berjalan. Lokasi Jembatan Selat Sunda yang berada di sekitar Gunung Krakatau dapat menggangu struktur jembatan tersebut. Perlu dilakukan perencanaan struktur jembatan tahan gempa, sesuai dengan kondisi kegempaan aktual disekitar lokasi jembatan. 4.6. Alokasi Risiko Dalam
pembangunan
mega
proyek
Jembatan
Vol. 3 No. 01 Juni 2017
Tabel 3 Risiko, Dampak, dan Mitigasi dalam proyek pembangunan Jembatan Selat Sunda
akan disampaian dalam workshop yang dihadiri Tabel 4. Alokasi risiko pada proyek Jembatan Selat Sunda
oleh para ahli dan pihak-pihak terkait untuk menilai sejauh mana persiapan/kesiapan proyek tersebut. Setelah FS dilakukan, maka dilanjutkan dengan melakukan Desain Awal dan Detailed Engineering Design (DED) berdasarkan hasil-hasil yang didapat dalam proses FS. Pemilik proyek dalam fase ini berperan sebagai Design Checker untuk melakukan kontrol terhadap desain yang dilakukan oleh pihak ketiga, agar sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan. Turn Key sendiri memiliki beberapa bentuk atau variasi diantaranya yaitu: A. Design-Build-Operate-Transfer B. Design-Build-Operate-Maintain C. Design-Build-Own-Operate-Transfer
Gambar 6. Perkiraan persentase alokasi risiko pada Jembatan Selat Sunda
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 79
Vol. 3 No. 01 Juni 2017
Selat Sunda, pemerintah rencananya akan menyerahkan sepenuhnya proyek kepada pihak ketiga yaitu konsultan perencana, kontraktor dan pengelola. Konsultan perencana akan melakukan perencanaan jembatan dan melakukan persiapan Detailed Engineering Design (DED) untuk nantinya dituangkan kedalam kontrak. Kontraktor dalam hal ini bertanggung jawab dalam mengelola seluruh risiko yang mungkin terjadi selama siklus proyek berjalan. Pengelola bertanggung jawab untuk melakukan operasional dan pemeliharaan pada Jembatan Selat Sunda. Hal ini akan berpengaruh pada pemilihan Project Delivery System yang akan diterapkan pada proyek tersebut. Berikut ini adalah gambaran mengenai alokasi risiko yang akan dilakukan untuk proyek Jembatan Selat Sunda berdasarkan asumsi dari hasil wawancara ahli.
Dari ketiga bentuk variasi yang ada, maka tipikal proyek Jembatan Selat Sunda lebih sesuai menggunakan Design-Build-Own-Operate-Transfer (DBOOT). A.
Design - Pemilik (Owner) menyerahkan (lelang) desain sepenuhnya kepada pihakpihak yang dipercaya/ahli dalam melakukan perencanaan Jembatan Selat Sunda.
B. Build - Pemilik (Owner) menyerahkan (lelang) pelaksanaan proyek sepenuhnya kepada pihak kontraktor yang menjadi pemenang lelang. C. Own - Pemerintah sebagai pemilik dari lokasi/site proyek, sedangkan bangunan jembatan dimiliki sementara oleh pihak operator sampai masa pencapaian/pengembalian investasi terpenuhi. D.
4.7. Pemilihan Project Delivery System
Operate - Pemilik (Owner) menyerahkan pengoperasian dan Jembatan Selat Sunda dan pemeliharaan kepada pihak-pihak yang
Tabel 5. Alokasi risiko berdasarkan tipe PDS Turn Key Sumber : COWI Consultants dalam Vaza, 2012 Jembatan Selat Sunda memerlukan biaya yang cukup besar, dimana hal ini sangat terkait dengan risiko-risiko yang mungkin terjadi pada masa siklus proyek. Rencananya, Jembatan Selat Sunda akan beroperasi sebagai Jalan Tol (Toll Road) dengan tarif yang akan disesuaikan dengan rencana pengembalian modal berdasarkan hasil kajian. Dalam proyek Jembatan Selat Sunda, risiko-risiko tersebut akan diserahkan seluruhnya untuk dikelola pihak ke-3 dalam hal ini adalah tim ahli, konsultan, maupun kontraktor, dengan pengguna jasa sebagai pengawas dan penasihat (Adviser) selama siklus proyek berlangsung. Berdasarkan hasil kajian tersebut, maka tipe Turn Key Tendering merupakan pilihan yang sesuai dengan kondisi diatas. Dalam PDS tipe Turn Key, pemilik proyek (Owner/ Employer) berperan sebagai pencetus ide (Idea Concept) pembangunan Jembatan Selat Sunda yang kemudian akan menyiapkan tender untuk Desain Awal (Basic Design), dan Feasibility Study (FS) yang akan dilakukan oleh pihak ketiga, dan penyiapan spesifikasi yang dibutuhkan. Selama Desain FS dilakukan, pemilik proyek akan berperan sebagai pendamping (Tender Assisteance). Hasil dari FS
1 - 80
JURNAL INFRASTRUKTUR
dianggap mampu untuk mengelola Jembatan Selat Sunda atau juga dapat dikelola sendiri oleh Pemerintah sebagai pemilik (Owner). E.
Transfer - Keseluruhan fisik proyek serta tugas operasi dan pemeliharaan diserahkan kepada Pemerintah setelah pencapaian/ pengembalian investasi terpenuhi.
Dengan Project Delivery System Turn Key, diharapkan risiko-risiko yang ada dalam proyek Jembatan Selat Sunda dapat sepenuhnya dikelola oleh pihak-pihak yang tepat, agar proyek dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan rencana. Biaya untuk proyek Jembatan Selat Sunda sangatlah besar, sehingga ada kemungkinan tidak dibiayai secara langsung melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan adanya kemungkinan tersebut, maka terdapat alternatif lain dalam pemilihan Project Delivery System, yaitu dengan menerapkan Public-Private Partnerships (PPP). Tipe PDS ini dapat digunakan apabila Pemerintah menawarkan proyek Jembatan Selat Sunda kepada investor swasta. Skema ini
Vol. 3 No. 01 Juni 2017
5. KESIMPULAN DAN SARAN
baik untuk menghadapi risiko eksternal yang mungkin terjadi selama masa pelaksanaan proyek. Salah satunya dengan cara mengidentifikasi risiko-risiko eksternal yang mungkin terjadi pada saat pelaksanaan proyek Jembatan Selat Sunda.
5.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Jembatan Selat Sunda merupakan mega proyek yang diperkirakan membutuhkan biaya proyek yang cukup besar, sehingga diperlukan pengelolaan risiko yang baik agar tidak terjadi keterlambatan, kegagalan mutu, dan pembengkakan biaya pada saat pelaksanaan proyek berlangsung dimana, pengelolaan risiko yang ada terkait pada pemilihan Project Delivery System yang akan digunakan dalam proyek tersebut. Pemerintah akan mengalokasikan risiko-risiko yang ada kepada pihak ke-3 dalam hal ini konsultan perencana dan kontraktor pelaksana. Sedangkan Pemerintah akan berperan sebagai pengawas dan penasihat selama proyek berlangsung. Risiko-risiko yang ada dalam proyek Jembatan Selat Sunda berbeda dengan jembatan lain karena kondisi geografis disekitar lokasi proyek tersebut yang berbeda dengan kondisi pada jembatan lainnya. Feasibility Study merupakan proses penting dalam tahap inisiasi, sebagai ruang untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya mengenai kondisi aktual yang ada dilapangan sebelum dilakukan tahap perencanaan/desain. Namun pada proyek Jembatan Selat Sunda, pihak-pihak terkait masih berjalan secara individu, sehingga informasi belum terdistribusi dengan baik. Sumber daya dalam hal perencanaan, pengawasan pekerjaan dilapangan, dan monitoring untuk jembatan bentang panjang dilapangan masih terbatas. Risiko eksternal seperti kondisi cuaca yang buruk dan gempa mungkin terjadi selama proyek pelaksanaan jembatan dilakukan. Hingga saat ini pihak-pihak yang terkait dalam pembangunan Jembatan Selat Sunda masih dalam tahap mengkaji kemungkinan adanya dampak akibat risiko eksternal tersebut.
Angreni, Angra. (2013). Pathologies Of Planning (Studi kasus: Jembatan Selat Sunda). Program Studi Perancangan Perkotaan, Universitas Indonesia.
akan mencakup kerja sama antara Pemerintah Daerah, Kementerian, dan investor swasta dalam pembangunan proyek jembatan tersebut.
5.2. Saran Project Delivery System yang disarankan untuk digunakan dalam proyek Jembatan Selat Sunda yaitu tipe PDS Turn Key. Namun, masih dirasa perlu untuk mengkaji tipe PDS lain yang mungkin lebih sesuai diterapkan pada proyek Jembatan Selat Sunda, salah satunya yaitu dengan Public-Private Partnerships (PPP) apabila pemerintah berencana untuk menawarkan proyek Jembatan Selat Sunda kepada investor swasta. Perlu dilakukan Feasibility Study yang lebih mendalam, salah satunya dengan cara mengadakan workshop antara pihak-pihak yang terkait, agar data-data yang diperlukan dalam perencanaan dapat terpenuhi dan terdistribusi dengan baik. Perlu dilakukan pemenuhan sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan proyek Jembatan Selat Sunda, agar proses perencanaan, pengawasan dan monitoring dapat dilakukan dengan baik. Perlu dilakukan perencanaan yang
Banaitiene, N., & Banaitis, A. (2012). Risk Management in Construction Projects. Banaitiene and Banaitis, licensee InTech. Batubara, Dahlan. (2013). Keterlambatan Tender Proyek Akibat Intervensi. mandailingonline. com. Diakses pada tanggal 11 Desember 2013. Budisuanda. (2011). Kontrak adalah Sumber Risiko Terbesar...Awas!!!. manajemenproyekindonesia.com. Diakses pada tanggal 10 Desember 2013. Budisuanda. (2011). 25 Faktor Penyebab Keterlambatan Proyek. manajemenproyekindonesia.com. Diakses pada tanggal 10 Desember 2013. Flanagan R., & Norman, G. (1993). Risk Management and Construction. Blackwell Science Ltd. Festiani, Satya. (2013). BI: Risiko Ekonomi pada 2014 Masih Besar. www.republika.co.id. Diakses pada tanggal 11 Desember 2013. Friedlander, M.C. (2003). Risk Allocation in DesignBulild Construction Projects. Schiff Hardin LLP. Chicago. Gajewska, E., & Ropel, M. (2011). Risk Management Practices in a Construction Project. Departement of Civil and Enviromental Engineering. Chalmers University Of Technology, Sweden. Godfrey, Patrick S. (1996). Control Of Risk, A Guide to the Systematic Management of Risk from Cnstruction. Construction Industry Research And Information Association (CIRIA). London. Ida. (2013). Resiko Politik Masih Menghadang Kelangsungan Proyek Infrastruktur di Indonesia. energitoday.com. Diakses pada tanggal 11 Desember 2013. Isnanto. (2009). Kontrak Proyek. masisnanto. blogdetik.com. Diakses pada tanggal 11 Desember 2013.
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 81
Vol. 3 No. 01 Juni 2017
Jardine, Scott. (2007). Manging Risk in Construction Projects. PricewaterhouseCoopers. Kurniawan, Akbar T. (2012). Sejarah Kontroversi Proyek Jembatan Selat Sunda. www.tempo.co. Diakses pada tanggal 12 Desember 2013. Li, Qing-Fu., Zhang, P., & Fu, Yan-Chao.(2013). Risk Identification for the Construction of the Large Bridge Based on WBS-RBS. Research Journal of Applied Sciences, Engineering and Technology 6(9): 1523-1530, 2013. Mousa, JHA. (2005). Risk Management in Construction Projects from Contractors and Owners Prespectives. The Islamic University of Gaza, Palestine. Mikaela, Betty. (2006). Analisis Risiko Proyek Konstruksi Gedung Penyakit Dalam RSUP. DR. Hasan Sadikin Bandung Dari Sudut Pandang Pemilik Proyek. Program Magister Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Peraturan Presiden Republik Indonesia. Nomor 86 Tahun 2001. Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda. Rica, Frima N. (2009). Upaya Pengendalian Risiko Melalui Penyusunan Kontrak (Studi Kasus Kontrak Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Selatan. Program Magister Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Ritz, George J. (1994). Total Construction Project Management. McGraw-Hill, Inc. Roesly, Sinthya. (2011). Pengelolaan Risiko Dalam Penyelenggaraan Infrastruktur Berkelanjutan. Pusat Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum. Romadoni, Ahmad. (2013). Kontras: Rekayasa Kasus Marak, Aturan Hukum Harus Jelas. news.liputan6.com. Diakses pada tanggal 11 Desember 2013. Soeharto, Iman. (2001). Manajemen Proyek (Dari Konseptual Sampai Operasional). Jilid 2. Penerbit Erlangga, Jakarta. Sumpeno, Wahjudin. (2012). Social Risk Analysis dan Penerapan ISO 31000. wahjudinsumpeno. wordpress.com. Diakses pada tanggal 11 Desember 2013. Suryo, Taufiq. (2010). Mengapa “harus” Jembatan Selat Sunda. taufiqsuryo.wordpress.com. Diakses pada tanggal 19 Desember 2013. Sutianto, Feby D. (2013). Djoko Kirmanto Janji 50% Anggaran PU untuk Bangun Jalan dan Jembatan di 2014. finance.detik.com. Diakses 1 - 82
JURNAL INFRASTRUKTUR
pada tanggal 11 Desember 2013. Vaza, Herry. (2012). Persiapan Pembangunan Jembatan Selat Sunda. Kementerian Pekerjaan Umum. Yates, A., & Sashegyi, B. (2001). Effective Risk Allocation in Major Projects: Rhetoric or Reality?. Institution of Engineers, Australia & Chamber of Commerence and Industry of Western Australia. Zou, PXW., Zhang, G., and Wang, J.(2006). Identifying Key Risks in Construction Projects: Life Cycle and Stakeholder Prespectives. International Journal of Project Management. Volume 25, Issue 6, August 2007, Pages 601614.