Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
IDENTIFIKASI PRODUK UNGGULAN BERBASIS EKONOMI LOKAL UNTUK MENINGKATKAN PAD DI ERA OTDA Chuzaimah dan Mabruroh Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Solo e-mail:
[email protected] Abstract Local government tries to develop potential endowments through empowering the advantage and potential sectors and products. In fact, Central Java Province is an agricultural area with rich of natural resources and agricultural product. Because of large area and population limitation and lack of technology agricultural production is still low. The strategic to improve commodity production needs technology which can solve the problems. Improvement of the startegic production through technology application would be increasing the role of the agriculture and improving of the people welfare in general. Key words: advantage sector, potential products, welfare A. PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi adalah suatu proses dimana suatu masyarakat menciptakan suatu lingkungan yang mempengaruhi hasil-hasil indikator ekonomi seperti kenaikan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan perbaikan taraf hidup. Lingkungan yang dimaksud sebagai sumber daya perencanaan meliputi tentang lingkungan fisik, peraturan dan perilaku (Blakley, 1989). Inti perencanaan pembangunan ekonomi daerah, bukanlah perencanaan dari daerah, tetapi perencanaan untuk suatu daerah, yang bisa dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki berbagai sumber daya publik yang tersedia di daerah dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan sumber daya swasta yang bertanggung jawab (Kuncoro, 2004). Fauzi (2003) menegaskan hasil dari survei Regional Economic Development Institute (REDI) tahun 2001 menyimpulkan bahwa sentralisasi kebijakan di era orde baru, khususnya dalam pengelolaan potensi ekonomi membuat peran pelaku usaha di daerah terabaikan. Berbagai kebijakan yang disusun lebih bermuatan kepentingan pusat, yang justru berdampak negatif bagi iklim usaha di daerah. Sentralisasi juga memicu terjadinya inefisiensi dalam perekonomian, sebagai akibat biaya birokrasi yang sangat tinggi dan tidak transparan. Hal ini tak terlepas dari terbatasnya tingkat partisipasi masyarakat proses perumusan kebijakan publik. Mengacu implementasi otda dan urgensi memacu PAD, selayaknya Jawa Tengah mengembangkan sumber daya sendiri dan mengurangi ketergantungan pusat. Meski demikian, beberapa studi empiris yang telah dilakukan menunjukkan bahwa upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan panerimaan daerah telah menimbulkan distorsi pasar dan high cost economy (Saad, 2003). Selain itu, upayaupaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah kurang diikuti upaya untuk meningkatkan perlayanan publik (Halim dan Abdullah, 2004). Relevan dengan aspek urgensi perencanaan pembangunan di era otda, Bank Dunia mengakui dalam suatu model pertumbuhan daerah yang ideal perlu ditekankan terhadap upaya peningkatan pelayanan publik, yang berupa: (a) tata pemerintahan yang baik akan mendorong manajemen finansial dan penyediaan pelayanan yang bermutu tinggi, (b) investor yang tertarik dari kemajuan tersebut akan merangsang pengembangan ekonomi lokal dan meningkatkan kualitas hidup bagi masyarakat di daerah, (c) pengembangan ekonomi lokal akan bisa menguatkan keuangan daerah dan membantu mengentaskan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja dan (d) posisi fiskal yang lebih kuat akan meningkatkan layanan kota dan membuat siklus pengembangan terus bergerak (Word Bank, a 2003 ). Oleh karena itu seharusnya ada perubahan orientasi dalam pembangunan di daerah antara sebelum dan setelah otda (Landiyanto, 2005). Dewi (2002) menegaskan ada beberapa faktor inti yang mempengaruhi kemampuan penyelenggaraan di era otda, misal: kemampuan struktural organisasi, kemampuan aparatur daerah, kemampuan mendorong partisipasi masyarakat dan kemampuan keuangan daerah. Diantara faktorfaktor tersebut, faktor keuangan merupakan faktor utama untuk mengukur tingkat kemampuan daerah 28
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
dalam melaksanakan otonominya karena pelaksanaan otda yang nyata dan bertanggungjawab harus didukung dengan tersedianya dana guna pembiayaan pembangunan. Maka daerah otonom diharapkan mempunyai pendapatan sendiri untuk membiayai penyelenggaraan urusan rumah tangganya. Adanya nilai kepentingan terhadap tuntutan memacu optimalisasi pendanaan secara mandiri terkait era otda dan pengembangan basis ekonomi lokal yang membantu penyerapan tenaga kerja, maka daerah dituntut bisa memetakan produk unggulan yang dimiliki daerahnya. Identifikasi terhadap produk unggulan tentu sangat beragam serta bisa merujuk pada aspek pendekatan yang berbeda. Artinya, suatu produk bisa disebut unggulan kalau sifatnya padat karya, nilai ekspornya tertinggi, investasinya yang terbesar, dan atau mungkin penggunaan basis sumber daya ekonomi lokalnya adalah terbesar. Oleh karena itu perlu ada kejelasan batasan yang dimaksud dengan produk unggulan agar pemahamannya tidak justru bias. Terkait ini, semua daerah termasuk Jawa Tengah pasti mempunyai produk unggulan, tinggal bagaimana nilai optimalisasi dari produk unggulan itu bisa ditumbuhkembangkan agar memberi aspek kemanfaatan secara makro, sistematis, dan berkelanjutan. B. KONDISI JAWA TENGAH Jawa Tengah adalah sebuah provinsi yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Provinsi Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Luas wilayah 32.548 km² atau sekitar 25,04% dari pulau Jawa. Provinsi Jawa Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa (lihat gambar 1).
Gambar 1 Peta Jawa Tengah Jumlah penduduk di Jawa Tengah yaitu 30.775.846 jiwa. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk terbesar yaitu Kabupaten Brebes (1,767 juta jiwa), Cilacap (1,644 juta jiwa), dan Banyumas (1,603 juta jiwa). Sebaran penduduknya terkonsentrasi di pusat-pusat kota, baik kabupaten atau kota. Kawasan permukiman yang cukup padat ada di daerah Semarang Raya (termasuk Ungaran dan sebagian wilayah Kabupaten Demak - Kendal), Solo Raya (termasuk sebagian wilayah Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali) dan Tegal - Brebes - Slawi. Pertumbuhan penduduk Jawa Tengah sebesar 0,7% per tahun. Pertumbuhan penduduk tertinggi di Demak (1,5% per tahun), dan terendah Kota Pekalongan (0,1% per tahun). Dari jumlah ini, 47% yaitu angkatan kerja. Mata pencaharian terbanyak yaitu di sektor pertanian (42,4%), diikuti perdagangan (20,9%), industri (15,7%), dan jasa (10,9%). Pembangunan di sektor industri merupakan prioritas utama pembangunan ekonomi tanpa mengabaikan pembangunan disektor lain. Sektor industri dibedakan menjadi industri besar dan sedang serta industri kecil dan juga rumahtangga. Definisi yang digunakan BPS, industri besar adalah perusahaan yang mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih, industri sedang adalah perusahaan dengan tenaga kerja 20 orang sampai 99 orang, industri kecil dan rumah tangga, adalah perusahaan dengan tenaga kerja 5 orang sampai 19 orang, dan industri rumahtangga adalah perusahaan dengan tenaga kerja 1 orang sampai 4 orang. Perusahaan industri besar - sedang di Jawa Tengah pada tahun 2003 tercatat 3.339 unit perusahaan dengan 575,36 ribu tenaga kerja. Berarti, dari tahun sebelumnya jumlah perusahaan industri besar dan sedang dan jumlah tenaga kerja masing-masing turun 3,9 persen dan 1,9 persen. Pada tahun 29
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
yang sama, nilai output industri besar - sedang mencapai Rp 56,95 triliun lebih rendah 5,73 persen dari nilai output tahun 2002. Nilai tambahan bruto (NTB) atas dasar harga pasar turun, dari Rp 22,87 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp 22,01 triliun di tahun 2003. Nilai tambah bruto terbesar dihasilkan industri pengolahan tembakau Rp 7,70 triliun dan mempekerjakan 84,7 ribu orang. Terbesar kedua dihasilkan industri tekstil dengan NTB Rp 4,7 triliun dan menyerap pekerja 133 ribu orang. Perusahaan industri mesin dan perlengkapannya adalah sub sektor industri dengan NTB terkecil, yakni Rp 5 milyar. Menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Tengah, terdapat 644 ribu perusahaan industri kecil dan menengah pada tahun 2004 atau meningkat relatif kecil dibandingkan jumlah perusahaan tahun sebelumnya. Tenaga kerja yang diserap 2,63 juta orang. Nilai produksi industri kecil dan menengah pada tahun yang sama mencapai Rp 5,27 triliun atau meningkat 0,16 persen dari tahun sebelumnya. Total investasi industri kecil dan menengah yang ditanamkan di jawa Tengah tahun 2004 sebesar 1,21 triliun rupiah atau naik 1,16 persen dibandingkan dengan tahun 2003. Tabel 1 Banyaknya Perusahaan Industri Besar dan Sedang Tenaga Kerja Upah Tenaga Kerja, Biaya Input, Nilai Output, Nilai Tambah Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2003 TENAGA UPAH total dari JUMLAH KERJA (JUTA Kab/Kota PERUSAHAAN (UNIT) (ORANG) RUPIAH) tahun 2003 3.399 575.358 4.201 2002 3.537 586.432 4.111 2001 3.572 603.907 5.614 2000 3.715 581.440 2.573 1999 3.744 565.233 2.067 Sumber: BPS (http://www.jawatengah.go.id/)
INPUT (JUTA RP)
OUTPUT (JUTA RP)
34.938.581 37.540.538 36.580.186 28.268.731 21.943.028
56.951.469 60.415.052 59.465.569 40.292.975 32.996.536
NILAI TAMBAH (JUTA RP) 22.012.887 22.874.514 22.885.384 12.024.244 11.053.509
Tabel 2 Banyaknya Perusahaan Industri Besar dan Sedang, Tenaga Kerja Serta Pengeluaran untuk Tenaga Per Kode Industri di Jawa Tengah Tahun 2003 Tahun
JUMLAH PERUSAHAAN
TENAGA TENAGA KERJA KERJA PRODUKSI LAINNYA 2003 3.399 496.046 79.312 2002 3.537 508.336 78.096 2001 3.572 527.657 76.250 2000 3.715 503.909 77.531 1999 3.744 495.434 69.799 Sumber: BPS (http://www.jawatengah.go.id/)
JUMLAH
575.358 586.432 603.907 581.440 565.233
PENGELUARAN UTK TENAGA KERJA (RB RP) 4.201.303.637 4.110.960.053 5.613.832.595 2.572.822.204 2.067.152.052
Tabel 3 Penduduk Jawa Tengah Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin Tahun 2004 Tahun LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH RASIO JENIS KELAMIN 2004 16.184.251 16.213.180 32.397.431 99,82 2003 15.957.412 16.095.428 32.052.840 99,14 2002 15.787.143 15.904.723 31.691.866 99,26 2001 15.445.400 15.618.418 31.063.818 98,89 2000 15.253.438 15.522.408 30.775.846 98,27 1999 15.245.718 15.515.503 30.761.221 98,26 Sumber: BPS (http://www.jawatengah.go.id/) Selain batik, tenun menjadi produk unggulan lainnya di Jawa Tengah. Tenun yang dihasilkan di Jawa Tengah juga telah memasuki dunia ekspor, yaitu ke Asia, Eropa, Arab, dan lain sebagainya. Produk tenun di Jawa Tengah dihasilkan oleh berbagai kota yaitu Kota Pekalongan, Kendal, Pati, dan lain-lain (http://marketofcj.com/info/). 30
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
C. PRODUK UNGGULAN DAERAH Mengacu urgensi identifikasi produk-produk unggulan di daerah terkait penerapan otda dan relevansinya dengan penyerapan basis ekonomi lokal untuk bisa memacu PAD serta penyerapan tenaga kerja maka kajian tentang produk unggulan menjadi kian menarik untuk ditelaah lebih lanjut (Maulud, 2004). Selain itu, pengembangan produk unggulan daerah juga relevan dengan tuntutan era global karena saat ini nilai keunggulan komparatif sudah tak lagi relevan sebab yang terpenting justru komitmen memacu keunggulan kompetitif. Terkait hal ini, keunggulan kompetitif pada dasarnya bisa diciptakan sehingga tidak ada alasan bagi semua pihak untuk tidak menciptakan keunggulan kompetitif dari setiap peluang yang ada. Persaingan era global sangat ditentukan keunggulan yang dimiliki atau keunggulan produk (Heryanto, 2003). Bahkan, ini bisa disebut dengan keunggulan kompetitif. Di sisi lain, potensi keunggulan komparatif sudah tidak menjamin secara kontinu atas persaingan global (Ayyagari, 2003). Dalam konteks pengembangan keunggulan ini, pemerintah daerah harus mulai mengembangkan konsep produk unggulan. Proses ini dilakukan dengan mengidentifikasi produk unggulannya terutama yang berasal dari sektor informal dan usaha kecil menengah dengan asumsi sifatnya yang padat karya sebagai proses pengembangan sumber daya lokal dan juga optimalisasi atas potensi ekonomi daerah (Mayrowani, 2006). Sebagai suatu strategi pembangunan, terutama terkait otda, pengembangan produk unggulan dinilai mempunyai kelebihan karena dianggap bahwa suatu daerah yang menerapkan ini relatif lebih mandiri dalam pengembangan ekonomi. Pengembangan produk unggulan dan pengembangan UKM dapat merupakan strategi yang efektif dalam pengembangan ekonomi daerah (Elmi, 2003). Esensi atas penciptaan produk-produk unggulan di daerah menjadi sangat penting terlebih lagi di daerah tertinggal atau mempunyai ketimpangan ekonomi terhadap daerah lain, termasuk juga daerah perbatasan (Takahashi, 2003). Era otda yang dititikberatkan pada pembangunan Kabupaten dan Kota membawa konsekwensi dan tantangan cukup berat bagi pengelola administratif pemerintahan, baik pada tahap implementasi maupun pada tahap pengendalian program program pembangunan. Tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan otda dapat diatasi jika daerah memiliki kemampuan dalam menggalang berbagai potensi yang dimilikinya yang didukung oleh kemampuan aparat (SDM) dan kelembagaan, untuk menambah perbesaran sumber-sumber penerimaan daerah (Darmawansyah, 2003). Salah satu sektor ekonomi yang dapat lebih ditumbuhkembangkan untuk mengatasi kondisi obyektif di era otda yaitu sektor pertanian yang merupakan produk unggulan - andalan bagi sebagian besar daerah Kabupaten / Kota, termasuk Jawa Tengah yang perekonomiannya berbasis di sektor pertanian (Brata, 2002). Pengembangan produk unggulan tidak lain dimaksudkan untuk memperbesar penerimaan daerah dari PAD (Desembriarto, 2000). Peranan produk unggulan sangat krusial karena merupakan produk yang mampu memberi kontribusi terbesar terhadap perolehan penerimaan daerah, terutama jika dilihat kontribusinya terhadap PAD - PDRB. Hal ini terlihat dari besarnya peranan produk unggulan terhadap total perekonomian (Sjoholm, 1999). Dari rujukan diatas dan dalam rangka pelaksanaan otda maka produk unggulan perlu mendapatkan perhatian khusus dan menjadi prioritas untuk dikembangkan melalui maksimisasi hasil hasilnya. Meski demikian potensi yang ada di Jawa Tengah belum dimanfaatkan optimal dan masih banyak produk unggulan yang belum teridentifikasi sehingga output yang ada belum diolah secara optimal sehingga produktivitas produk unggulan sebenarnya masih dapat lebih ditingkatkan. Produk unggulan adalah produk yang potensial untuk dikembangkan di suatu daerah dengan memanfaatkan sumberdaya setempat, serta mendatangkan pendapatan bagi masyarakat dan pemerintah. Produk unggulan juga merupakan produk yang memiliki daya saing, berorientasi pasar dan ramah lingkungan, sehingga tercipta keunggulan kompetitif yang siap menghadapi persaingan global. Identifikasi atas produk-produk unggulan di daerah pada dasarnya tidak bisa terlepas dari kepedulian para elite di daerah. Artinya, elite daerah perlu bersungguh-sungguh menentukan arah kebijakan ekonomi regional di daerah. Pemilihan aplikasi strategi pengembangan ekonomi lokal menjadi begitu krusial dalam konteks desentralisasi ekonomi dan otda seperti sekarang. Setiap daerah otonom perlu menjadi motivator dan fasilitator dalam bentuk penyediaan basis data dan informasi dalam menggalang kerjasama antar daerah dan dalam fungsi koordinasi yang dijalankan propinsi. Elit di tingkat propinsi perlu menjadi koordinator untuk mampu merumuskan - menjalankan orkestra 31
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
pengembangan ekonomi daerah, harus membawa kepentingan nasional, keutuhan bangsa dan kemajemukan perkembangan ekonomi (Arifin, 2006). Identifikasi dan penumbuhkembangan produk-produk unggulan di daerah terkait era otda pada dasarnya sejalan dengan hasil Pokok-Pokok Keputusan Rapat Koordinasi Nasional Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Skala Mikro-Kecil Kabupaten–Kota Seluruh Indonesia, Bali, 2-5 Agustus 2006 (http://www.depkop.go.id), yaitu: 1. Untuk memperkukuh kebersamaan, koordinasi, keterpaduan, kepedulian dan keberpihakan bagi kemajuan koperasi, usaha mikro kecil dan menengah atau KUMKM, Rakornas sepakat bahwa Komitmen, kepedulian, dan keberpihakan semua pihak terkait, lintas sektor, pusat dan daerah untuk ekonomi masyarakat skala mikro-kecil dalam menanggulangi kemiskinan - pengangguran akan terus diperteguh, disegarkan dan diaktualisasikan ke dalam berbagai langkah kebijakan dan program aksi pemberdayaan yang lebih terpadu dan realistik. 2. Kondisi riil kinerja ekonomi skala mikro dan kecil kini mengalami tekanan, baik yang diakibatkan menguatnya persaingan, maupun akibat yang ditimbulkan oleh bencana. Oleh karena itu, perlu dipacu spirit untuk bisa lebih bangkit lagi menuju kemandirian berusaha dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3. Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota secara terkoordinasi akan terus mendorong, memantapkan, meningkatkan dan mengembangkan keberadaan dan peran Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Dalam jangka panjang peran KUBE diarahkan menjadi lembaga keuangan mikro (LKM). 4. Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten, dan Kota bersama mendorong kebijakan pengembangan sub sektor industri kecil - menengah (IKM), menuju terwujudnya IKM berdaya saing kuat melalui program: Program pengembangan industri yang berbasis pada industri unggulan di daerah, Program berbasis industri kerakyatan, Pengembangan industri unggulan daerah dan Pengembangan industri di daerah tertinggal, perbatasan, pasca bencana dan pasca konflik. C. OTDA DAN PRODUK UNGGULAN Identifikasi atas produk-produk unggulan daerah terkait implementasi era otda bukan tanpa masalah. Hal ini terutama mengacu pada harapan pemberdayaan masyarakat di daerah dan juga optimalisasi sumber-sumber daya yang ada, baik SDA atau SDM di daerah. Oleh karena itu, salah satu ancaman atas penumbuhkembangan produk-produk unggulan daerah yaitu terjadinya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya. Hal ini nampaknya memang disadari menjadi dilema dan secara tidak langsung adalah konsekuensi logis dari tuntutan pembangunan di era otda yang menuntut optimalisasi PAD sebagai sumber pendanaan pembangunan era otda (Elmi dan Ika, 2002). Adanya perubahan politik dari sentralistik-otoriter ke desentralistik-demokratis yang ditandai pelaksanaan otda telah membawa dampak semakin tajamnya degradasi sumber daya alam dan ekosistemnya (Sudarmadji, 2002). Perubahan tersebut akan mendorong adanya kegiatan yang mengarah pada perlombaan membangun daerah. Kegiatan itu senantiasa bertujuan untuk meningkatkan PAD sebagai sarana menuju kesejahteraan masyarakat. Keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya eksploitasi kekayaan sumber daya dan ekosistemnya, sehingga pada gilirannya akan memacu keadaan lingkungan menjadi berbahaya bagi kehidupan. Di sisi lain, ancaman ini adalah konsekuensi riil dibalik penumbuhkembangan produk-produk unggulan yang tentu harus diminimalisasi kejadiannya. Terjadinya penurunan kualitas sumber daya merupakan suatu indikasi adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia dengan ketersediaan sumber daya alam (Hasan, 2002). Adanya ragam peraturan pemerintah yang kurang memberi penekanan pada upaya pelestarian sumber daya alam dan lebih memprioritaskan sisi perolehan pendapatan belaka maka bisa membawa dampak yang sulit dihindari dalam pengelolaan sumber daya alam dan ekosistemnya. Terkait kasus ini misalnya bisa menjadi contoh untuk kasus daerah yang kaya sumber kayu dari hutan bahwa laju pengurangan luas hutan di Sumatera 2 % per tahun, di Jawa 0,4 % per tahun, di Kalimantan 0,9 % per tahun, di Sulawesi 1 % per tahun, dan di Irian Jaya mencapai 0,7 % per tahun. Adanya pengurangan luas hutan ini terjadi akibat proses penurunan mutu hutan (degradasi) dan pengundulan
32
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
hutan (deforestasi). Degradasi dan deforestasi hutan memberikan implikasi yang luas dan mengkhawatirkan bagi masa depan (Wardojo, 2001). Ada berbagai masalah yang akan terjadi pada sumber daya alam dan ekosistemnya, jika dalam penjabaran dan pelaksanaan era otda termasuk penumbuhkembangan produk-produk unggulan tersebut tak ditangani secara hati-hati. Masalah yang akan muncul itu akan berupa degradasi sumber daya alam dan ekosistemnya. Sebagai contoh adanya degradasi sumber daya kelautan, sumber daya sungai dan alirannya, sumber daya hutan, serta adanya berbagai dampak pencemaran akibat aktivitas pembangunan ekonomi antar daerah, dan lain-lain. Oleh sebab itu, sumber daya yang semula mampu menjadi sumber utama peningkatan pendapatan daerah melalui komitmen penumbuhkembangan produk unggulan, jika pemanfaatannya pada jangka panjang tidak disertai dukungan kebijakan yang mengarah kepada upaya perbaikan dan memperhatikan pelestarian sumber daya alam, maka hal tersebut justru menjadi sumber konflik antar pemerintah daerah di masa yang akan datang (Hasan, 2002). Ini juga bisa mengancam terjadinya pemusnahan budaya lokal yang terkait dengan aspek sumber daya masyarakat lokal di daerah (Karmadi, 2007). Bahkan, jika ini berlanjut, maka ancaman urbanisasi akan makin menguat karena daerah sudah tidak ada lagi potensi - sumber daya yang bisa memberikan kemanfaatan bagi masyarakat lokal dan kekhawatiran ini harus diwaspadai (Chotib, 2002). Merujuk ancaman kekhawatiran itu, bahwa pasca implementasi otda terlihat gejala makin cepatnya degradasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Di berbagai daerah telah terjadi perusakan hutan, baik itu hutan lindung, hutan peyangga, hutan tanaman industri, dan juga kawasan konservasi. Rusaknya hutan, berarti telah terjadi kerusakan - kepunahan keanekaragaman hayati, baik itu tumbuhan maupun satwa. Juga berbagai macam perusakan baik di laut, daerah aliran sungai, pertambangan, tanah, udara dan air. Kasus tersebut telah terjadi secara merata di berbagai wilayah di Indonesia dengan akibat yang akan dirasakan semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, wajarlah jika muncul tuntutan etika bisnis terkait penumbuhkembangan produk-produk unggulan agar terjadi keseimbangan (Masdiana, 1998). Menyikapi fenomena degradasi sumber daya bersamaan dengan aspek tuntutan penumbuhkembangan produk-produk unggulan terkait pelaksanaan otda kini, maka diperlukan kesadaran kolektif pada semua lapisan masyarakat, baik penyelenggara pemerintahan, pelaku ekonomi dan masyarakat pada umumnya untuk mendukung era otda. Bagaimanapun juga implementasi era otda adalah proses jangka panjang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal (Sidik, 2002). Adanya kepentingan terhadap keseimbangan sumber daya dan ekosistem terkait pada implementasi otda dan penumbuhkembangan produk-produk unggulan daerah bahwa kini potret kebebasan pemanfaatan sumber daya alam cenderung mengarah pada perusakan dan degradasi sumber daya alam itu sendiri (Golar, 1999). Oleh karena itu dalam penyelenggaraan otda memang dituntut untuk menggali potensi agar dapat menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri, tetapi bukan berarti bahwa kebebasan menggali potensi ini adalah merusak sumber daya yang ada. Pelaksanaan otda tidak terpaku pada perjuangan untuk memanfaatkan sumber daya alam dan ekosistemnya, jika nantinya yang akan menanggung segala kerugiannya justru masyarakat daerah setempat. Oleh karena itu, perlu adanya pemberdayaan masyarakat lokal (ibid, 2003). Intinya bahwa keyakinan atas urgensi produk unggulan memang tak bisa disangkal, meski orientasi untuk menentukannya bukan pekerjaan mudah, terutama dikaitkan dengan aspek prioritas penetapannya (Pranadji, 2003).
33
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
KONDISI INTERN
PRODU K-
URGENSI IDENTIFIKASI,
PRODU K
KONDISI RIIL
OPTIMALISA SI PRODUK UNGGULAN DAERAH 1. Penyerapan Tenaga kerja 2. Daya dukung bagi perekonomian di daerah 3. Peningkatan PAD 4. Memacu income per kapita daerah 5. Mereduksi jumlah kemiskinan
Gambar 2 Kerangka Pemikiran C. PENELITIAN PRODUK UNGGULAN DAERAH Urgensi terhadap identifikasi, pemetaan dan penumbuhkembangan produk unggulan di era otda memang diyakini akan memberi banyak manfaat, yaitu tidak saja bagi masyarakat di daerah melalui peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja sehingga bisa mereduksi jumlah kemiskinan, tetapi juga bagi daerah dalam bentuk peningkatan PAD. Terkait realitas ini maka ragam penelitian tentang produk-produk unggulan menjadi semakin marak diteliti dan menjadi kajian yang sangat menarik. Temuan penelitian Tim Pusat Penelitian Pengembangan Wilayah dari Universitas Mulawarman Samarinda (2003) menunjukan bahwa peranan sektor pertanian untuk mengemban tugas peran sebagai sumber pertumbuhan ekonomi terutama memasuki era global dan otda adalah meningkatkan efisiensi sumberdaya pertanian melalui pendekatan perwilayahan komoditas pertanian yang mempunyai basis keunggulan komparatif dan kompetitif secara lentur dan dinamis serta bersifat jangka panjang. Penelitian oleh Darmawansyah (2003) menegaskan bahwa sektor ekonomi unggulan Kabupaten Takalar adalah sektor pertanian karena perekonomiannya berbasis pada sektor pertanian. Pengembangan sektor unggulan dimaksudkan untuk memperbesar penerimaan daerah dari PDRB dan PAD. Hasil analisis bahwa dengan pemanfaatan lahan secara optimal, maka peran sektor pertanian atas PDRB Kabupaten Takalar akan meningkat 22,15 %. Analisis atas pemanfaatan tenaga kerja memperlihatkan terjadi kelebihan penggunaan tenaga kerja pada sektor pertanian. Kebutuhan tenaga kerja yang optimal di sektor pertanian Kabupaten Takalar sebesar 19.075 orang dan tenaga kerja yang terserap di tahun yang sama 45.235 orang, sehingga ada surplus 26.160 orang. Hasil analisis jika lahan dimanfaatkan secara optimal, maka kontribusi setiap sub sektor pertanian atas penerimaan daerah akan meningkat, terutama di sub sektor perikanan dan peternakan. Hal ini akan berdampak pada penerimaan daerah dan memperbesar kemampuan daerah dalam pembiayaan pembangunan. Penelitian Syarifudin (2003) menunjukan bahwa pemilihan subsektor jasa unggulan didasarkan besarnya kontribusi dan laju pertumbuhan subsektor jasa di dalam PDRB kota Bandung, nilai LQ subsektor jasa, nilai proportional shift dan differential shift, besarnya nilai indeks keterkaitan ke depan, indeks keterkaitan ke belakang, dampak output (multiplier output), dan pengaruh pengganda pendapatan subsektor jasa kota Bandung sebagai alat ukur sektor unggulan. Penentuan sektor unggulan ini dilakukan dengan penyusunan indeks komposit yang mempertimbangkan 10 variabel yaitu: (1) prosentase kontribusi subsektor jasa atas PDRB, (2) laju pertumbuhan, (3) nilai LQ, (4) nilai proportional shift, (5) nilai differential shift, (6) indeks daya penyebaran, (7) indeks derajat kepekaan, (8) multiplier output, (9) pengaruh pengganda pendapatan tipe I, (10) pengaruh pengganda 34
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
pendapatan tipe II. Hasilnya ada 6 subsektor jasa unggulan kota Bandung yang memiliki indeks komposit lebih dari rata-rata yaitu: sektor perhotelan, komunikasi, pengangkutan darat, restoran, pengangkutan udara, dan perdagangan besar dan eceran. Maulud (2004) menegaskan bahwa berdasar analisis Location Quotient (LQ), sektor unggulan adalah sektor pertanian di mana LQ lebih besar dari 1 (LQ>1). Berdasar analisis model rasio pertumbuhan (MRP) bahwa perekonomian Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, sektor yang dominan pertumbuhan dan kontribusi yang besar terdiri dari sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik dan air minum, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor jasa-jasa. Dari analisis Overlay untuk mengetahui deskripsi bahwa sektor yang potensial memberikan pertumbuhan dan kontribusi yang besar adalah sektor pertanian dan sektor yang pertumbuhan besar dan kontribusi kecil terdiri dari sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik dan air minum, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor jasa-jasa. Hal ini bisa ditingkatkan kontribusinya untuk dipacu menjadi kegiatan yang dominan. Temuan dari M Ridwan (2005) menunjukan bahwa pengembangan ‘dangke’ sebagai produk ungulan lokal di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan harus dimulai dengan model pengembangan sektor industri peternakan sapi perah sebagai penghasil bahan baku, dengan mengacu alternative skenario yang telah teridentifikasi dan dukungan pemerintah dengan serangkaian kebijakan untuk memberikan kepastian berusaha dan pendapatan bagi industri kecil dangke yang didukung infrastruktur yang memadai dan kelembagaan hulu - hilir. Kondisi tersebut diharapkan mampu membentuk iklim pengembangan SDM yang berkelanjutan, peningkatan skala ekonomi peternak, yang pada akhirnya dapat meningkatkan produksi dan produktifitas serta meningkatkan motifasi untuk berusaha yang lebih baik.
H. DAFTAR PUSTAKA Arifin, Bustanul (2006), Refleksi: Interaksi birokasi dengan dunia usaha, Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik, vol.7, no.3, juli, hal.1-7. Ayyagari, M. (2003), Small and Medium Enterprises across the Globe, Policy Research Working Paper, The Work Bank. Blakley, E., (1989), Planning Local Economic Development: Theory and Practices, California: Sage Publication, Inc. Brata, A.G., (2002), Pengeluaran pemerintah daerah dan konvergensi pendapatan per kapita: Studi Kasus Jawa Tengah (1995/1996-1998/1999). Chotib (2002), Urbanisasi tidak selalu berkonotasi negatif, Warta Demografi, no.4/32, hal. 55-63. Darmawansyah (2003), Maksimisasi hasil-hasil sektor ekonomi unggulan Kabupaten Takalar untuk menunjang peningkatan penerimaan daerah, Jurnal Analisis, Tahun IV, no.6, maret, hal. 5663. Desembriarto, D. (2000), Konvergensi produk domestik regional bruto per kapita 26 propinsi di Indonesia periode 1977-1997, Tesis Program Studi IESP PPS-UGM Yogyakarta. Dewi, Elita (2002), Identifikasi sumber pendapatan asli daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, digitized by USU digital library. Elmi, Bachrul (2003), Studi peningkatan ekonomi dan keuangan Kabupaten Lampung Utara Tahun 2002, Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan, vol. 7, no.1, maret, hal. 81-109. Elmi, Bachrul dan Syahrir Ika (2002), Hutang sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan daerah otonom, Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan, vol.6, no.1, maret, hal.57-80 Fauzi, Indra N (2003), Persepsi pelaku usaha terhadap iklim usaha di era otonomi daerah, Makalah disampaikan dalam Konferensi PEG-USAID tentang “Desentralisasi, Reformasi Kebijakan dan Iklim Usaha” di Hotel Aryaduta, Jakarta 12 Agustus. Golar, (1999), Perencanaan partisipatif masyarat dalam pembangunan sektor kehutanan (studi kasus pembangunan hutan kemasyarakatan di Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Dati II Gowa), Tesis, Universitas Hasanuddin Ujung Pandang. -------- (2003), Strategi pembinaan masyarakat desa hutan (PMDH) di areal HPH PT Dwihutani Fitribhakti, Sulawesi Tengah, Makalah, IPB, Bogor. Halim, A. dan Abdullah, S., (2004), Local Original Revenue (PAD) as A Source of Development Financing, Makalah disampaikan pada konferensi IRSA (Indonesian Regional Science Association) ke 6 di Jogjakarta.
35
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Hasan, A. M. (2002), Pelestarian sumber daya alam menyosong pelaksanaan otonomi daerah, Dalam Prosiding Seminar Nasional Biologi I Di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember tanggal 28 April 2001. Heryanto, J (2003), Peranan multinational corporations dalam industrialisasi di Indonesia pada era orde baru, Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, Vol. 5, No. 1, Maret, hal. 17 – 24. Karmadi, Agus Dono (2007), Budaya lokal sebagai warisan budaya dan upaya pelestariannya, Makalah disampaikan pada Dialog Budaya Daerah Jawa Tengah yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah, di Semarang 8 - 9 Mei 2007. Kuncoro, Mudrajad, (2004), Otonomi Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga. Landiyanto, Erlangga Agustino (2005), Kinerja keuangan dan strategi pembangunan kota di era otonomi daerah: Studi kasus Kota Surabaya, CURES Working Paper no.05/01 januari. Masdiana, Erlangga (1998), Etika bisnis, marjinalisasi ekonomi dan konflik kelas: Suatu pendekatan sosiologi ekonomi, Majalah Usahawan, no.12, tahun XXVII, Desember, hal. 29-32. Maulud, Marsum (2004), Identifikasi sektor unggulan dan prioritas pembangunan ekonomi di Kabupaten Merauke, Propinsi Papua, Tesis Program Studi Magister Ekonomika Pembangunan, UGM, Jogjakarta. Mayrowani, Henny (2006), Kebijakan otonomi daerah dalam perdagangan hasil pertanian, Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, vol. 4, no.3, september, hal. 212-225. M. Ridwan (2005), Strategi pengembangan “Dangke” sebagai produk unggulan lokal di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Tesis, IPB, Bogor. Pranadji, Tri (2003), Otonomi daerah dan daya saing agribisnis: Pelajaran dari Propinsi Lampung, Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, vol.1, no.2, juni, hal. 1-15. Pusat Penelitian Pengembangan Wilayah Universitas Mulawarman Samarinda (2003), Analisis pengembangan usahatani padi, hortikultura dan palawija di Propinsi Kalimantan Timur. Saad, Ilyas, (2003), Implementasi otonomi daerah sudah mengarah pada distorsi dan high cost economy, Smeru Working Paper. Sari, Olga Ceria (2006), Optimasi pemilihan ruko menggunakan The Analytic Hierarchy Proccess, Tugas Akhir Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya. Sidik, Machfud (2002), Format hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah yang mengacu pada pencapaian tujuan nasional, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Public Sector Scorecard, Jakarta, 17-18 april. Sjoholm, F. (1999), Productivity growth in Indonesia: The role of regional characteristics and Direct Investment”, Economic Development and Cultural Change, 47(3), 559-584. Sudarmadji (2002), Pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati di era pelaksanaan otonomi daerah, Jurnal Ilmu Dasar, vol.3, no.1, hal.50-55. Syarifudin, Iif (2003), Studi pemilihan subsektor jasa unggulan dalam rangka mendukung Kota Bandung sebagai kota jasa, Jurnal Infomatek, vol.5, no. 3, september, hal. 123-130. Takahashi, Muneo (2003), Urbanization and population distribution changes in the age of decentralization: A comparative study between Indonesia and Japan dalam TA Legowo dan Muneo Takahashi: Regional autonomy and socio-economic development in Indonesia – A multidimensional analysis, Chiba: Institute of Developing Economies Japan External Trade Organization. Wardojo, W (2001), Strategi pengelolaan kawasan konservasi dalam rangka meningkatkan pembangunan daerah, Dalam Sudarmadji (Ed.) Pengelolaan kawasan konservasi di era otonomi daerah. Jember: Penerbit Universitas Jember. World Bank., (2003 a), Decentralizing Indonesia: A Regional Public Expenditure Review Overview Report, Report No. 26191-IND World Bank., (2003 b), Kota-Kota dalam Transisi: Tinjauan Saktor Perkotaan pada Era Desentralisasi di Indonesia, Working Paper No.7.
36