IDENTIFIKASI POTENSI KAWASAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (KP2B) UNTUK PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
ANNA BUANA SYAMSON
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi Potensi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) untuk Penyusunan RTRW Kabupaten Barru adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2011
Anna Buana Syamson NRP. A156090104
ABSTRACT ANNA BUANA SYAMSON. Identification of Potential Sustainable Food Farming Region for Spatial Planning of Barru Regency, South Sulawesi Province. Under direction of ERNAN RUSTIADI and MUHAMMAD ARDIANSYAH. This research presents a method for identification of potential Sustainable Food Farming Region in Barru Regency. Sustainable Food Farming Region is a concept that included in National Act No. 41/2009, which is expected to control the conversion of farmland in order to maintain food security. The aim of this research are: (1) to identify land suitability for cropland (paddy field) based in land evaluation and existing land use, (2) to identify existing and potential land for cropland (paddy field) that can be considered as Sustainable Food Farming Region, (3) to identify existing and potential land that can be considered as Sustainable Food Farming Region based on agricultural infrastructure such as roads and irrigation networks, (4) to delineate Sustainable Food Farming Region based on subdistrict administrative boundary, spatial contiguity and maximum coverage area and (5) to calculate areas of Sustainable Food Farming Region. The result showed that there is 14.006 hectare be actual suitable land for Sustainable Food Farming Region in Barru District, with existing landuse of irrigated wetland and cultivation, and 14.619 hectare is potential land for Sustainable Food Farming Region, with existing landuse of bushes, fields, shipting, plantations and forest. Three scenarios of administrative boundary, spatial contiguity and maximum coverage might be used to identity Sustainable Food Farming Region, in which the delineation based on administrative boundary, spatial contiguity and maximum coverage created 7,3 and 2 alternative regions respectively.
Keywords: Sustainable Food Farming Region, Identification, Land Suitability, Spatial Planning.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IDENTIFIKASI POTENSI KAWASAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (KP2B) UNTUK PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
ANNA BUANA SYAMSON
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Kupersembahkan karya ini kepada Orang-orang termulia: Ayahanda H. Syamson (Alm) dan Ibunda Hj. A. Besse Bau Mange Yang Tercinta: Suamiku Ridwan, S.Hut, M.Sc Yang tersayang: Putra-putraku Muhammad Rayhan, Muhammad Danial Naufal dan Muhammad Danish Nufail. Terima kasih yang tak terhingga atas dukungan, pengorbanan dan pengertian kalian
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2010 ini adalah perencanaan dan pengembangan lahan pertanian pangan dengan judul Identifikasi Potensi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) untuk Penyusunan RTRW Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Dalam kesempatan in penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada : 1. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr, selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB. 2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr dan Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu, pemikiran serta dengan kesabaran memberi pengarahan dalam penulisan tesis ini. 3. Dr. Ir Iskandar Lubis selaku dosen penguji yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. 4. Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas). 5. Pemerintah Kabupaten Barru Sulawesi Selatan khususnya Dinas Kehutanan yang telah memberikan kesempatan tugas belajar kepada penulis. 6. Segenap dosen pengajar, asisten dan staff pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB. 7. Rekan-rekan peserta kelas khusus dan reguler Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah angkatan tahun 2009 atas kebersamaan, kekompakan dan saling memberi semangat selama proses belajar hingga penyusunan tesis. 8. Semua pihak yang berperan dalam proses pengajaran dan penulisan karya ilmiah ini. Penulis menghaturkan hormat dan terima kasih yang tak terhingga kepada suami dan anak-anakku tercinta, serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, kasih sayang dan pengorbanan yang telah dilimpahkan selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin.
Bogor, Maret 2011
Anna Buana Syamson
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Parepare pada tanggal 5 Februari 1975. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari bapak H. Syamson Pattikkeng dan ibu Hj. Andi Besse Bau Mange. Tahun 1993 penulis menyelesaikan studi di SMA Negeri 1 Parepare. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin dan lulus dengan gelar S.Hut pada tahun 1998. Tahun 2009 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, sekolah pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pusbindiklatren Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas). Pada tahun 2001 sampai tahun 2005 penulis bekerja pada perusahaan retail nasional PT. Mitra Adiperkasa Tbk (PT. MAP.Tbk). Tahun 2005 penulis diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di Pemkab. Barru Sulawesi Selatan dan ditempatkan di Dinas Kehutanan Kabupaten Barru hingga saat ini.
RINGKASAN ANNA BUANA SYAMSON. Identifikasi Potensi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) untuk Penyusunan RTRW Kabupaten Barru. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan MUHAMMAD ARDIANSYAH. Pengembangan wilayah akan menyebabkan tingginya laju pertumbuhan penduduk dan secara signifikan meningkatkan kebutuhan lahan serta akan mengakibatkan tingginya tingkat konversi lahan pertanian ke non pertanian di Kabupaten Barru. Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB) merupakan regulasi yang diharapkan mampu melindungi dan mengendalikan laju konversi lahan pertanian. Alih fungsi lahan akan menjadi permasalahan yang serius di Kabupaten Barru. Salah satu langkah awal perlindungan terhadap lahan pertanian pangan adalah dengan mengidentifikasi lahan yang dapat diusulkan untuk ditetapkan sebagai KP2B di Kabupaten Barru. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi lahan pertanian pangan (padi sawah) berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan dan penggunaannya saat ini (existing), (2) Mengidentifikasi lahan aktual dan potensial untuk tanaman pangan (padi sawah) yang dapat diusulkan sebagai KP2B, (3) Mengidentifikasi lahan aktual dan lahan potensial yang dapat diusulkan sebagai KP2B berdasarkan
infrastruktur
pendukung
pertanian
berupa
jaringan
jalan,
(4) Mengidentifikasi luasan hamparan KP2B berdasarkan pertimbangan batas wilayah administrasi kecamatan, kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal, dan (5) Menghitung luas masing-masing KP2B. Batasan penelitian hanya pada proses perencanaan dan merekomendasikan satuan hamparan lahan yang dapat diusulkan untuk ditetapkan sebagai KP2B dari aspek fisik dan spasial wilayah. Identifikasi dan deliniasi lokasi-lokasi lahan yang berpotensi diusulkan sebagai KP2B dilakukan melalui 5 tahapan. Tahap I dan II merupakan tahapan persiapan data input, sedangkan tahap III, IV dan V merupakan tahap identifikasi dan deliniasi lahan aktual dan potensial KP2B. Data input yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi KP2B adalah: (1) Peta kesesuaian lahan untuk tanaman padi, (2) Peta penutupan/penggunaan lahan, (3) Peta paduserasi hutan dan (4) Peta jaringan infrastruktur jalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lahan seluas 45.807 ha di Kabupaten Barru yang sesuai untuk budidaya tanaman padi sawah, tetapi hanya
sekitar 28.626 ha atau hanya sekitar 62,5% diantaranya yang berada pada Areal Penggunaan Lain (APL) dan dapat diusulkan sebagai lahan aktual dan lahan potensial untuk KP2B. Lahan aktual dan lahan potensial yang dapat diusulkan sebagai KP2B tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Barru, dengan lahan aktual seluas 14.006 ha dan lahan potensial seluas 14.619 ha. Dari hasil deliniasi dengan menggunakan 3 skenario, dapat diusulkan beberapa alternatif KP2B. Skenario berdasarkan batas administrasi wilayah kecamatan memunculkan 7 alternatif kawasan, berdasarkan kontiguitas spasial memunculkan 3 alternatif kawasan, dan luas hamparan maksimal memunculkan 2 alternatif kawasan.
Alternatif-
alternatif kawasan tersebut dapat menjadi usulan dan masukan bagi pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan yang akan diambil terkait dengan penetapan KP2B di Kabupaten Barru.
Kata Kunci: Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Identifikasi, Kesesuaian Lahan dan Penataan Ruang.
Judul Tesis
:
Nama NRP
: :
Identifikasi Potensi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) untuk Penyusunan RTRW Kabupaten Barru Sulawesi Selatan Anna Buana Syamson A156090104
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Ketua
Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 02 April 2011
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang
…………………………………………………………..
1
Ruang Lingkup
……………………………………………………………
4
…………………………………………………….
5
…………………………………………………………
5
………………………………………………………
6
Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah ……………………………… 7 Lahan Pertanian dan Permasalahannya ………………………………….
8
………………
12
Kebutuhan dan Ketersediaan Pangan ……………………………....……
14
Penataan Ruang Wilayah Kabupaten …………………………………..
16
……………………………………………..
17
……………………………………………………..
18
………………………………………
19
……………………………………………………..
22
…………………………………………………………………..
24
………………………………………………………
24
Bahan dan Alat ………………. …………………………………………..
24
Analisis dan Pengolahan Data …………………………………………..
25
Analisis Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Padi Sawah ……….
26
Interpretasi Penutupan/Penggunaan Lahan …………………. ……
27
Identifikasi Lahan Aktual dan Lahan Potensial untuk KP2B ……..
29
Identifikasi Lahan Aktual dan Lahan Potensial untuk KP2B Berdasarkan Jaringan Infrastruktur Pendukung Pertanian ………
32
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Evaluasi Kesesuaian Lahan Penginderaan Jauh
Sistem Informasi Geografis (GIS) METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Hipotesis
Tempat dan Waktu
i
Deliniasi KP2B Berdasarkan Batas Administrasi Kecamatan, Kontiguitas Spasial dan Luas Hamparan Maksimal ………………
33
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Administrasi Wilayah …………………………………………… 38 Kondisi Geofisik Wilayah …………………………………………………
39
…………………………………………………………………..
41
Kondisi Geologi ………………………………………………………
43
Kelerengan ……………………………………………………………
43
Ketinggian …………………………………………………………….
44
Jenis Tanah …………………………………………………………..
44
…………………………………………………..
45
………………………………………………….
47
……………………………………….
48
Perubahan Lahan Sawah ……………………………………………
48
………………………………………………………..
49
Iklim
Kondisi Demografi Kondisi Sosial Ekonomi
Lahan Sawah dan Produksi Padi
Produksi Padi
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Potensi Lahan Pertanian Pangan (Padi Sawah) Berdasarkan Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Penggunaan Lahan Eksisting ……… 51 Penutupan/Penggunaan Lahan Eksisting ………………………….
51
Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Padi Sawah …………………..
54
Identifikasi Lahan Aktual dan Potensial untuk Tanaman Pangan (Padi Sawah) yang Dapat Diusulkan sebagai KP2B ………………….
57
Identifikasi Lahan Pertanian Pangan untuk Diusulkan Sebagai KP2B Berdasarkan Infrastruktur Pendukung Pertanian ……………….
66
Deliniasi Hamparan KP2B Berdasarkan Pertimbangan Wilayah Administrasi, Kontiguitas Spasial dan Luas Hamparan Maksimal
…..
70
………………………………………………………………..
80
………………………………………………………………………
81
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….
82
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
LAMPIRAN …………………………………………………………………………. 86
ii
DAFTAR TABEL No
Teks
Halaman
1. Jenis Data yang Dibutuhkan dan Sumber Data …………………………. 2. Kriteria Penentuan Lahan Aktual dan Potensial untuk pengusulan KP2B ………………………………………………………………………….. 3. Matriks Penentuan Lahan Aktual dan Potensial untuk KP2B Berdasarkan Penutupan/Penggunaan Lahan, Kelas Kesesuaian Lahan dan Status kawasan di Kabupaten Barru …….............................
25 30
31
4. Matriks Variabel Penciri dari Masing-Masing Skenario Usulan KP2B …
34
5. Matriks Analisis Penelitian …………………………………………………
36
6. Luas Wilayah Dirinci Menurut Kecamatan dan Desa di Kabupaten Barru
38
7. Persentase Kelerengan di Kabupaten Barru …………………………….
43
8. Luas dan Persentase Jenis Tanah Menurut Kecamatan ……………….
45
9. Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Barru Menurut Kecamatan ….
46
10. Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan Kabupaten Barru Tahun 2009…………………………………………………………………….
46
11. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Berdasarkan Lapangan Pekerjaan Utama di Kabupaten Barru ……………………………………..
47
12. Luas Lahan Sawah Menurut Kecamatan di Kabupaten Barru Tahun 2004 -2009 …………………………………………………………………..
48
13. Produksi Padi Menurut Kecamatan Kabupaten Barru Tahun 2004-2008
49
14. Rata-rata Produksi Padi Menurut Kecamatan Kabupaten Barru Tahun 2008 ………………………………………………………………….
50
15. Luas Penutupan/Penggunaan Lahan di Kabupaten Barru ………………
52
16. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Barru ….
56
17. Kesesuaian Lahan berdasarkan Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Barru …………………………………………………………….
57
18. Kesesuaian Lahan Berdasarkan Kecamatan pada APL di Kabupaten Barru …………………………………………………………………………..
58
19. Kesesuaian Lahan Berdasarkan Penutupan/Penggunaan Lahan pada APL di Kabupaten Barru ……………………………………………..
59
iii
No
Teks
Halaman
20. Luas Lahan Aktual dan Lahan Potensial KP2B berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Barru …………………………………………….
63
21. Matriks Ketersediaan Lahan Aktual dan Lahan Potensial untuk KP2B Berdasarkan Penutupan/Penggunaan Lahan …………………………….
71
…………
76
22. Matriks Karakteristik Kawasan untuk Setiap Skenario KP2B
iv
DAFTAR GAMBAR No
Teks
Halaman
1.
Kerangka Pemikiran Penelitian ……………………………………………
23
2.
Bagan Tahapan Identifikasi Lahan Aktual dan Potensial untuk KP2B ..
32
3.
Bagan Tahapan Proses Deliniasi KP2B ……………………………………
33
4.
Bagan Alir Tahapan Penelitian …………………………………………….
35
5.
Lokasi Penelitian …………………………………………………………….
40
6.
Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Kabupaten Barru Tahun 1998-2007 ...
41
7.
Hari Hujan Rata-Rata Bulanan Kabupaten Barru Tahun 1998-2007 …..
42
8.
Kelembaban Udara Rata-Rata Bulanan Kabupaten Barru Tahun 1998-2007 …………………………………………………………….
42
Diagram Persentase (%) Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Barru Tahun 2009 ……………………………………………………………
51
10. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2009 Kabupaten Barru ….
53
11. Peta Kesesuaian Lahan Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Barru ….
55
12. Sawah Irigasi yang Dikategorikan Sebagai Lahan Aktual ………………
60
13. Diagram Persentase (%) Lahan Aktual Kabupaten Barru ………………
61
14. Semak/Belukar yang Dikategorikan Sebagai Lahan Potensial ………..
62
15. Diagram Persentase (%) Lahan Potensial Kabupaten Barru ……………
63
16. Peta Lahan Aktual dan Potensial untuk KP2B ……………………………
65
17. Kondisi Lahan Aktual di Kecamatan Pujananting ………………………..
66
18. Peta Lahan Aktual dan Lahan Potensial untuk KP2B Berdasarkan Jaringan Infrastruktur Pendukung Pertanian Berupa Jalan …………….
67
19. Kondisi Jaringan Irigasi dan Jalan di Kecamatan Mallusetasi ………….
68
20. Waduk LanraE yang Mengairi Sekitar 810 ha Sawah ……………………
69
21. Peta Usulan KP2B Berdasarkan Skenario 1 (Batas Administrasi Wilayah Kecamatan) ………………………………………………………..
77
22. Peta Usulan KP2B Berdasarkan Skenario 2 (Kontiguitas Spasial) …….
78
23. Peta Usulan KP2B Berdasarkan Skenario 3 (Luas Hamparan Maksimal)
79
9.
v
DAFTAR LAMPIRAN No
Teks
Halaman
1.
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Padi Sawah (PPT,1983) ….
86
2.
Data Daerah Irigasi Teknis, Setengah Teknis dan Irigasi Desa Kabupaten Barru Sampai Tahun 2008 …………………………………...
87
3.
Peta Kelas Lereng Kabupaten Barru ……………………………………...
89
4.
Peta Kedalaman Tanah Kabupaten Barru …………………………………
90
5.
Peta Drainase Kabupaten Barru ……………………………………………
91
6.
Peta Tekstur Tanah Kabupaten Barru …………………………………….
92
7.
Peta Ketinggian Kabupaten Barru ………………………………………….
93
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, menghadapi tantangan yang berat dan sangat kompleks. Program dan kebijakan yang
terkait
dengan
ketahanan
pangan
menjadi
fokus
utama
dalam
pembangunan di sektor pertanian. Ketersediaan lahan untuk sektor pertanian merupakan syarat keberlanjutan sektor pertanian dalam mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Masalah
ketahanan
pangan
mencakup
3
aspek
penting,
yaitu:
ketersediaan (supply), distribusi dan konsumsi. Dari aspek ketersediaan, aspek pengelolaan sumberdaya lahan pertanian pangan merupakan faktor nyata yang dibutuhkan dalam proses penyediaan pangan. Lahan pertanian pangan, khususnya sawah memiliki karakteristik sumberdaya yang dikategorikan sebagai the common pool resources (CPRs) karena memenuhi dua kriteria utamanya yaitu substractibility dan non excludable. Substractibility terpenuhi karena ketersediaan lahan yang sesuai untuk pertanian pangan sangat dan semakin terbatas, setiap konversi penggunaan lahan ke penggunaan lainnya akan mengurangi kemampuan bersama dalam penyediaan pangan. Non excludable dicirikan karena dalam perspektif publik sangat sulit mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan yang tersubur (Rustiadi dan Wafda, 2008). Pertumbuhan ekonomi antara wilayah perkotaan yang berbasis non pertanian dan wilayah perdesaan yang berbasis pertanian tidak berlangsung seimbang. Pertumbuhan ekonomi perkotaan yang sangat pesat menyebabkan meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemukiman, perkantoran, industri, jalan dan sarana pelayanan umum lainnya. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian dan non pertanian yang berdampak pada tingginya alih fungsi lahan. Pada kondisi riil di lapangan dapat dipastikan bahwa persaingan penggunaan lahan akan selalu dimenangkan oleh kegiatan non pertanian karena jika ditinjau dari nilai sewa lahan (land rent) lebih menguntungkan secara ekonomi. Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian menjadi fenomena yang terjadi hampir di semua wilayah. Satu hal yang mungkin tidak menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan alih fungsi lahan adalah dampak
yang
ditimbulkan dari alih fungsi lahan tersebut. Bagi sektor pertanian, lahan
merupakan faktor produksi utama dan tak tergantikan. Berbeda dengan penurunan produksi yang disebabkan oleh serangan hama penyakit, kekeringan, banjir dan faktor lainnya lebih bersifat sementara, maka penurunan produksi yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan lebih bersifat permanen dan sulit untuk diperbaiki. Sehingga berkurangnya luasan lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian secara signifikan dapat mengganggu stabilitas kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan baik lokal maupun nasional. Diperlukan upaya pengendalian yang dapat mengontrol laju alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian dengan menjadikan aspek daya dukung lingkungan dan ketersediaan lahan sebagai salah satu pertimbangan. Salah satu upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian dan perlindungan terhadap lahan pertanian produktif
perlu didukung oleh suatu peraturan
perundang-undangan yang (1) Menjamin tersedianya lahan pertanian yang cukup, (2) Mampu mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian secara tidak terkendali, dan (3) Menjamin akses masyarakat petani terhadap lahan pertanian yang tersedia (Departemen Pertanian, 2006). Pengesahan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB) merupakan regulasi yang diharapkan mampu melindungi dan mengendalian laju konversi lahan pertanian. Didalam Undang-Undang PLPPB diatur bahwa penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) ditetapkan didalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) dan merupakan bagian dari penetapan rencana tata ruang kawasan perdesaan di wilayah kabupaten. Kabupaten Barru merupakan salah satu kabupaten yang menitikberatkan pembangunan pada sektor pertanian dan menjadi salah satu daerah lumbung beras di Sulawesi Selatan. Berdasarkan data BPS tahun 2008, kabupaten Barru memiliki lahan sawah seluas 13.279 ha dengan produksi rata-rata sebesar 5,4 ton/ha sehingga dapat menghasilkan produksi Gabah Kering Giling sebesar 100.645,29 ton. Berdasarkan registrasi sampai akhir tahun 2008, penduduk di Kabupaten Barru berjumlah 161.732 jiwa, naik sekitar 1,8 % dibanding tahun 2004 sebesar 159.027 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 0,42%. Dengan demikian dapat dihitung jumlah kebutuhan beras penduduk sebesar 18.790 ton (konsumsi per kapita 115 kg/kapita/thn) atau sama dengan 31.317 ton gabah kering giling
2
(GKG). Data tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2008, Kabupaten Barru telah swasembada beras. Dengan tingkat ketersediaan pangan (beras) yang berada pada posisi surplus tersebut, tetap harus disikapi dengan bijak mengingat kebutuhan beras untuk skala nasional masih dalam kondisi defisit. Diharapkan kelebihan produksi beras di Kabupaten Barru dapat berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan beras wilayah lain.
Sehingga Kabupaten Barru ikut
berperan aktif dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Berdasarkan data tahun 2003 - 2008, terlihat kecenderungan berkurangnya lahan sawah dari 13.333 ha di tahun 2003 menjadi 13.279 ha pada tahun 2008. Walau penurunan luasan lahan sawah tidak begitu besar, tetapi alih fungsi lahan akan menjadi permasalahan yang serius untuk jangka panjang mengingat pembangunan dan pengembangan wilayah akan terus berlangsung. Pelabuhan fery dan pelabuhan samudera saat ini sedang dibangun di Kabupaten Barru. Pembangunan pelabuhan tentunya membutuhkan infrastruktur pelengkap lain seperti perkantoran, pergudangan, kawasan industri, pemukiman dan fasilitas jasa lainnya. Pemerintah daerah telah mengalokasikan lahan seluas kurang lebih 500 ha untuk dijadikan kawasan industri dalam mendukung pembangunan pelabuhan, dan lahan tersebut sebagian besar berupa lahan pertanian produktif. Akumulasi dampak dari pembangunan pelabuhan akan mengakibatkan tingginya alih fungsi lahan di Kabupaten Barru. Selain itu, letak Kabupaten Barru yang berada di jalur trans sulawesi yang menghubungkan antara Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara akan menyebabkan meningkatnya permintaan akan lahan disekitar jalur utama. Hal ini dapat menyebabkan laju konversi lahan pertanian semakin tinggi mengingat sepanjang jalur utama tersebut merupakan hamparan lahan sawah produktif yang ditanami secara intensif. Dengan pertimbangan tersebut, diperlukan upaya untuk menekan dan mengontrol laju alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah untuk mengantisipasi pemenuhan kebutuhan pangan lokal dan nasional. Salah satu langkah awal perlindungan terhadap lahan pertanian pangan adalah dengan mengidentifikasi lahan yang dapat diusulkan untuk ditetapkan sebagai Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) di Kabupaten Barru.
3
Ruang Lingkup Berdasarkan studi literatur dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terdapat beberapa pengertian yang dapat dijadikan referensi sebagai konsepsi dari pelaksanaan penelitian ini, diantaranya adalah: 1. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) adalah sistem
dan
proses
dalam
merencanakan
dan
menetapkan,
mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan dan mengawasi
lahan
pertanian
pangan
dan
kawasannya
secara
berkelanjutan. 2. KP2B adalah wilayah budidaya pertanian terutama pada wilayah perdesaan
yang
memiliki
hamparan
lahan
pertanian
pangan
berkelanjutan dan/atau hamparan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. 3. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. 4. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan LP2B pada masa yang akan datang. 5. Penetapan KP2B merupakan bagian dari penetapan rencana tata ruang Kawasan Perdesaan di wilayah kabupaten dalam rencana tata ruang kabupaten
(RTRWK).
Penetapan
Kawasan
Pertanian
Pangan
Berkelanjutan (KP2B) merupakan dasar peraturan zonasi. 6. KP2B ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, sedangkan aspek-aspek non spasialnya ditetapkan dalam RPJP, RPJM dan RKP kabupaten/kota. Batasan
penelitian
ini
hanya
pada
proses
perencanaan
dan
merekomendasikan satuan hamparan lahan yang dapat ditetapkan sebagai KP2B dari aspek fisik dan spasial wilayah. Lahan pertanian yang dimaksud adalah lahan pertanian untuk tanaman pangan pokok. Ada beberapa jenis tanaman pangan pokok yaitu beras, umbi,
4
jagung, sagu, dan lain-lain. Namun penelitian ini hanya mengkhususkan pada satu jenis tanaman pangan pokok yaitu padi sawah, mengingat makanan pokok utama masyarakat pada lokasi studi adalah beras. Secara garis besar KP2B secara umum mencakup empat konsep dasar, yaitu: lahan, ketersediaan infrastruktur, jumlah penduduk dan kelembagaan. Karena adanya keterbatasan dalam penelitian, maka penelitian ini hanya mempertimbangkan tiga aspek, yaitu: lahan, ketersediaan infrastruktur jalan dan jumlah penduduk.
Rumusan Masalah Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang dijadikan dasar adalah : 1. Di area mana terdapat satuan lahan aktual dan potensial untuk pertanian pangan (padi sawah) berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan dan penggunaannya saat ini (eksisting) ? 2. Di area mana terdapat lahan aktual dan potensial untuk tanaman pangan (padi sawah) yang dapat diusulkan sebagai KP2B ? 3. Satuan-satuan lahan aktual dan potensial mana saja yang memiliki jaringan infrastruktur pendukung pertanian ? 4. Di wilayah mana saja terdapat hamparan lahan yang dapat dideliniasi oleh ekosistem dan disatukan oleh fasilitas infastruktur pendukung pertanian
sehingga
diperoleh
satuan
luasan
hamparan
KP2B,
berdasarkan pertimbangan batas wilayah administrasi kecamatan, kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal? 5. Berapa luasan KP2B yang dapat direkomendasikan?
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah : 1. Identifikasi lahan yang dapat dijadikan lahan pertanian pangan (padi sawah) berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan dan penggunaannya saat ini (eksisting). 2. Identifikasi lahan aktual dan potensial untuk tanaman pangan (padi sawah) yang dapat diusulkan sebagai KP2B.
5
3. Identifikasi lahan aktual dan potensial yang dapat diusulkan sebagai KP2B berdasarkan infrastruktur pendukung pertanian berupa jaringan jalan. 4. Mengidentifikasi hamparan lahan yang dideliniasi oleh ekosistem dan disatukan oleh fasilitas infastruktur pendukung pertanian sehingga diperoleh satuan luasan hamparan KP2B, berdasarkan pertimbangan batas wilayah administrasi kecamatan, kontiguitas spasial
dan luas
hamparan maksimal. 5. Menghitung luas masing-masing KP2B.
Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Sebagai arahan dalam pengusulan satuan lahan yang memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan. 2. Sebagai bahan pertimbangan dalam kegiatan perencanaan tata ruang kabupaten. 3. Sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan kabupaten yang terkait dengan program ketahanan pangan daerah.
6
TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Menurut Sumarjo et al. (2009) perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan dengan mempertimbangkan
sumberdaya
yang
tersedia.
Manfaat
dan
fungsi
perencanaan adalah sebagai penuntun arah untuk meminimalkan ketidakpastian, meminimalkan inefisiensi sumberdaya serta untuk menetapkan standar dan kualitas. Perencanaan yang ideal adalah perencanaan yang memenuhi tiga prinsip dasar, yaitu : partisipatif, kesinambungan dan holistik. Perencanaan adalah bagian dari pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan
adalah memilih
tidakan untuk menyelesaikan
permasalahan.
Perencanaan terkait dengan penyelesaian masalah di masa yang akan datang sehingga berisikan tindakan yang akan dilakukan di masa datang dan dampaknya juga baru terlihat di masa depan. Tetapi hal ini tidak berarti perencanaan tidak memperhatikan apa yang sedang terjadi saat ini, karena permasalahan di masa yang akan datang adalah produk dari apa yang terjadi saat ini dan pengaruh faktor luar (Tarigan, 2008). Konsep wilayah memiliki perspektif yang luas dan kompleks, dan tidak satupun konsep yang dapat diterima secara luas. Rustiadi et al. (2009) mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya. Kerangka klasifikasi wilayah yang dapat menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini
adalah:
(1) Wilayah homogen, (2) Wilayah sistem/fungsional dan (3) Wilayah perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming). Djakapermana (2010) berpendapat bahwa dalam proses pengembangan wilayah harus dipahami terlebih dahulu konsep mengenai wilayah. Ada beberapa pengertian wilayah yang terkait aspek keruangan yang harus dipahami terlebih dahulu. Konsep wilayah dalam proses penataan ruang harus meliputi konsep ruang sebagai ruang wilayah ekonomi, ruang wilayah sosial budaya, ruang wilayah ekologi, dan ruang wilayah politik. Wilayah itu sendiri adalah batasan geografis (deliniasi yang dibatasi oleh koordinat geografis) yang mempunyai pengertian/maksud tertentu atau sesuai fungsi pengamatan tertentu.
Batas-batas suatu daerah atau wilayah merupakan salah satu aspek yang paling diperhitungkan dalam kegiatan perencanaan. Penetuan batas-batas ini biasanya didasarkan atas berbagai hal, namun ada tiga aspek yang paling menonjol sebagai indikator penentuan batas wilayah, yaitu aspek biofisik, aspek politik dan aspek sosial ekonomi. Maka dalam hal ini, suatu kegiatan perencanaan sangat tergantung pada skala spasial atau batasan-batasan wilayahnya. Skala spasial akan menentukan level detail perencanaan suatu daerah. Disamping pertimbangan spasial, skala waktu juga sangat berpengaruh. Perencanaan yang bersifat jangka pendek lebih detail dibanding perencanaan jangka panjang (Glasson dan Marshal, 2007). Sebagai suatu kombinasi dari seni serta kumpulan-kumpulan pengalaman dan pendekatan, kajian perencanaan dan pengembangan wilayah memiliki sifatsifat berikut : (1) Berorientasi kewilayahan, (2) Futuristik, (3) Berorientasi publik. Sebagai ilmu yang mengkaji seluruh aspek-aspek kewilayahan, perencanaan dan pengembangan wilayah mencakup aspek-aspek sumberdaya secara keseluruhan serta interaksi dan interelasi antar wilayah.
Disisi lain, sebagai
bentuk perencanaan, maka bersifat futuristik, oleh karenanya analisis-analisis yang bersifat prediksi (prediction) dan peramalan (forecasting) berperan sangat penting. Konsekuensi logis dari ilmu yang sering memodelkan keterkaitan integral komponen-komponen wilayah serta banyak melakukan prediksi dan peramalan, secara tradisi kajian-kajian kuantitatif merupakan alat (tools) yang sangat penting. Walaupun falsafah-falsafah ekonomi sangat dominan mewarnai kerangka
berfikir
keberpihakan
ilmu
pada
ini,
publik
namun
pada praktiknya
dibanding
lebih
individu-individu
menekankan
(private).
Dalam
perkembangannya, ilmu dan kajian perencanaan pengembangan wilayah secara umum ditunjang oleh empat pilar pokok, yaitu : (1) Inventarisasi, klasifikasi dan evaluasi sumberdaya, (2) Aspek ekonomi, (3) Aspek kelembagaan (institusional), dan (4) Aspek lokasi/spasial (Rustiadi et al., 2009). Lahan Pertanian dan Permasalahannya Menurut Sitorus (2004), sumberdaya lahan (land resource) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang (space) atau tempat. Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk
8
kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya lahan diperlukan dalam setiap kegiatan manusia. Penggunaan sumberdaya lahan khususnya untuk aktifitas pertanian pada umumnya ditentukan oleh kemampuan lahan atau kesesuaian lahan, dan untuk penggunaan daerah industri, pemukiman dan perdagangan ditentukan oleh lokasi ekonomi yaitu jarak sumberdaya lahan dari pusat pasar. Lahan yang sesuai untuk pertanian di kawasan non rawa terdapat seluas 86,2 juta ha yang terdiri atas lahan yang sesuai untuk sawah 21,6 juta ha, lahan kering tanaman semusim 24,8 juta ha dan lahan kering tanaman tahunan 39,7 juta ha. Meskipun lahan yang sesuai cukup luas, tetapi sebagian besar telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan baik di sektor pertanian dan non pertanian (Irianto, 2008). Secara tabular, luas lahan pertanian di Indonesia 70,2 juta ha (BPS, 2008; www.bps.go.id) sehingga lahan potensial (sesuai) yang tersisa sekitar 23,9 juta ha sebagai lahan pertanian cadangan. Diantara lahan pertanian seluas 70,2 juta ha tersebut terdapat lahan terlantar yang sementara belum diusahakan seluas 11,3 juta ha, sehingga total cadangan lahan yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian diperkirakan seluas 35,2 juta ha. Namun penyebaran lahan tersebut belum diketahui, karena itu diperlukan data spasial (Irianto, 2008). BBSDLP (2008) mendefinisikan lahan potensial untuk pertanian dan lahan tersedia untuk pengembangan pertanian. Lahan potensial untuk pertanian adalah lahan yang secara biofisik terutama dari aspek topografi/lereng, iklim, sifat fisika, kimia dan biologi tanah sesuai atau cocok dikembangkan untuk pertanian. Sesuai atau cocok berarti lahan tersebut secara teknis-agronomis mampu mendukung pertumbuhan tanaman dan/atau perkembangan ternak secara optomal. Jika lahan tersebut dikelola dengan baik tidak akan mengganggu kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Lahan potensial belum mempertimbangkan aspek sosial dan hukum, seperti status kepemilikan lahan dan peruntukannya, namun sudah mempertimbangkan penetapan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Lahan tersedia untuk pengembangan pertanian adalah lahan potensial (sesuai) secara fisik untuk pertanian yang saat ini belum dimanfaatkan baik untuk pertanian maupun non pertanian, yaitu lahan yang ditumbuhi oleh alang-alang atau semak belukar. Sama dengan lahan potensial, lahan tersedia juga belum mempertimbangkan status kepemilikan, baik secara adat maupun undangundang agraria. Oleh sebab itu lahan potensial dan lahan tersedia dapat berada pada kawasan budidaya yang dapat berupa lahan basah (sistem sawah) dan
9
lahan kering yang sudah diusahakan, atau berada pada kawasan budidaya hutan (hutan produksi atau hutan konversi, hutan tanaman industri atau kawasan Hak Pengusahaan Hutan), baik yang dikelola Perhutani dan Perkebunan Negara maupun swasta). Pasaribu (2007) berpendapat bahwa bidang pertanian memiliki korelasi positif dengan kedaulatan dan ketahanan pangan. Namun secara faktual terdapat beberapa permasalahan krusial dan menjadi isu serius di negara kita, yaitu antara lain: (1) Kemampuan Indonesia
di bidang pertanian untuk
memenuhi kebutuhan pangan sendiri relatif telah dan/atau sedang menurun cukup signifikan, (b) Indonesia berada dalam keadaan sedang “rawan pangan”, bukan karena tidak ada pangan, tetapi karena pangan untuk rakyat Indonesia sudah tergantung dari supply luar negeri dan ketergantungannya semakin besar dan (c) Kurangnya daya dukung sektor pertanian yang komprehensif, termasuk di dalamnya ketersediaan lahan pertanian. Masalah lahan pertanian terutama pertanian pangan diantaranya berakar dari masalah rendahnya nilai land rent lahan-lahan pertanian. Setiap jenis penggunaan lahan (pertanian dan non pertanian) memiliki nilai land rent yang berbeda. Jenis penggunaan lahan dengan keuntungan komparatif tertinggi akan mempunyai kapasitas penggunaan lahan terbesar, sehingga penggunaan lahan tertentu akan dialokasikan untuk kegiatan yang memberikan nilai land rent tertinggi. Demikian juga dengan penggunaan lahan pertanian, meskipun lebih lestari kemampuannya dalam menjamin kehidupan petani, tetapi hanya dapat memberikan sedikit keuntungan materi atau finansial dibandingkan dengan sektor industri, pemukiman dan jasa lainnya sehingga konversi lahan pertanian ke penggunaan lain tidak dapat dicegah (Rustiadi dan Wafda, 2008). Kelangkaan sumberdaya lahan bersangkut paut dengan pertumbuhan penduduk dan persaingan permintaan (competing demands) terhadap lahan. Ada kecenderungan di masyarakat negara-negara berkembang termasuk indonesia bahwa sebagian kelebihan daya beli pada golongan masyarakat berpenghasilan tinggi disalurkan dalam bentuk investasi pada lahan/tanah (Sitorus, 2004). Alih fungsi lahan adalah sebuah mekanisme yang mempertemukan permintaan dan penawaran terhadap lahan dan menghasilkan kelembagaan lahan baru dengan karakteristik sistem produksi yang berbeda. Fenomena alih fungsi lahan adalah bagian dari perjalanan transformasi struktur ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang memusat di wilayah
10
perkotaan menuntut ruang yang lebih luas ke arah luar kota bagi berbagai aktifitas. Sebagai akibatnya wilayah pinggiran yang sebagian besar berupa lahan pertanian sawah beralih fungsi (konversi) menjadi lahan nonpertanian dengan tingkat peralihan yang beragam antarpriode dan wilayah (Dahuri dan Nugroho, 2004).
Diperlukan
sebuah
aturan/regulasi
yang
dapat
menekan
dan
mengendalikan laju alih fungsi lahan, sehingga lahan-lahan pertanian yang ada dapat terlindungi dari kegiatan alih fungsi. Permasalahan tersebut semakin diperparah dengan kenyataan terjadinya konversi lahan subur pertanian dan degradasi lahan yang kian masif. Sementara keberlanjutan lahan subur yang ada tidak terjamin dan pencetakan lahan sawah baru relatif kecil. Padahal ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan conditio sine-quanon untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan (sustainable agriculture) (Pasaribu, 2007). Menurut Krisnamurthi (2008), kedaulatan pangan adalah hak manusia, komunitas dan negara untuk mendefinisikan kebijakan pertanian, tenaga kerja, perikanan, pangan dan lahan yang sesuai secara ekologi, sosial, ekonomi dan budaya mereka. Esensi dari kedaulatan pangan diharapkan tidak memiliki ketergantungan dengan pihak lain. Untuk dapat menjamin kedaulatan pangan di indonesia, salah satu isu penting adalah ketersediaan lahan yang saat ini dianggap sudah kritis. Krisis sumberdaya lahan ini ditandai dengan turunnya kualitas lahan (pertanian), konversi lahan pertanian (yang lebih cepat dari pertambahan lahan pertanian baru), lahan per petani yang semakin sempit (fragmentasi
lahan),
akumulasi
penguasaan
lahan
pada
sedikit
pihak,
keterbatasan lahan vs peningkatan kebutuhan untuk pangan dll, dan reformasi agraria yang belum berjalan. Sistem keterkaitan konversi lahan dengan berbagai komponen sistem ketahanan pangan nasional merupakan sistem dengan keterkaitan yang sangat kompleks. Kebijakan yang terkait dengan pengendalian konversi lahan pada sisi produksi pangan ditentukan oleh luas lahan produksi dan produktivitas lahan, sedangkan luas lahan produksi pertanian ditentukan oleh pengembangan atau pemeliharaan irigasi dan pembukaan, pencetakan lahan baru yang selanjutnya ditentukan oleh ketersediaan lahan potensial yang belum dikembangkan dan lahan pertanian kering serta kebijakan perencanaan zonasi/tata ruang/sistem keagrariaan. Ketersediaan lahan pertanian kering akan mempengaruhi kegiatan konversi lahan pertanian. Selanjutnya sistem produktivitas lahan ditentukan oleh
11
kapasitas SDM pertanian dan fragmentasi lahan pertanian yang selanjutnya menentukan land rent lahan pertanian dan pendapatan petani (Rustiadi dan Wafda, 2008). Menurut Nelson (1992), pembangunan dan pertanian dapat berjalan berdampingan
hanya
jika
kebijakan
perencanaan
penggunaan
lahan
diberlakukan dengan ketat. Kebijakan pelestarian lahan pertanian akan efektif, jika dapat mempengaruhi dan meningkatkan nilai land rent dalam empat cara, yaitu: (1) Dapat meningkatkan nilai produktif lahan pertanian, (2) Dapat menstabilkan, mengurangi, atau menghilangkan nilai konsumtif atas lahan pertanian, (3) Dapat menghilangkan nilai spekulatif lahan pertanian yang tidak efisien, yang bisa terjadi hanya jika nilai spekulatif dihubungkan dengan dampak situasi perkotaan, tidak efisiennya subsidi pembangunan perkotaan, dan kurang menghargai penyediaan barang publik sumberdaya lahan dan (4) Dapat menghilangkan sindrom kefanaan, yaitu ketidakpercayaan di kalangan petani pada sektor pertanian.
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Tersedianya
sumberdaya
lahan
pertanian
tanaman
pangan
yang
berkelanjutan merupakan syarat untuk ketahanan pangan nasional. Ketersediaan lahan pertanian pangan sangat berkaitan erat dengan beberapa hal, yaitu: (1) Potensi sumberdaya lahan pertanian pangan, (2) Produktifitas lahan, (3) Fragmentasi lahan pertanian, (4) Skala luasan penguasaan lahan pertanian, (5) Sistem irigasi, (6) Land rent lahan pertanian, (7) Konversi, (8) Pendapatan petani, (9) Kapasitas SDM pertanian serta, (10) Kebijakan di bidang pertanian (Rustiadi dan Wafda, 2008). Pencegahan dan pengendalian terhadap adanya alih fungsi lahan terutama sawah perlu dilakukan, mengingat: (1) Konversi lahan sawah beririgasi teknis adalah ancaman terhadap upaya untuk mempertahankan swasembada pangan nasional, (2) Dari segi lingkungan dan pelestarian sumberdaya alam, ekosistem sawah ternyata relatif stabil dengan tingkat erosi yang relatif kecil, dan (3) Dari sudut pandang struktur sosial budaya masyarakat Indonesia, alih fungsi lahan sawah akan menyebabkan ketidakseimbangan hubungan sistematik antara pelaku usaha pertanian dan lahannya karena sawah merupakan pengikat kelembagaan perdesaan sekaligus menjadi public good yang mendorong masyarakat perdesaan bekerja sama lebih produktif (Sabiham, 2008).
12
Nelson (1992) menyatakan bahwa pembangunan dan sektor pertanian dapat berjalan berdampingan hanya jika kebijakan perencanaan penggunaan lahan diberlakukan dengan ketat. Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang PLPPB diharapkan menjadi salah satu kebijakan yang dapat mengatur tentang perencanaan penggunaan lahan, khususnya lahan pertanian pangan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 tahun 2009, yang dimaksud dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan. Undang-undang ini digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melindungi lahan pertanian pangan dalam rangka ketahanan dan kedaulatan pangan nasional (Rustiadi et al., 2010). Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan berdasarkan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang meliputi : (1) Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, (2) Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan (3) Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Rencana PLP2B dilakukan berjenjang, dimana rencana PLP2B nasional menjadi acuan pada perencanaan PLP2B provinsi. Sedangkan rencana PLP2B provinsi dijadikan acuan dalam perencanaan PLP2B kabupaten/Kota (Rustiadi et al., 2010). Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, lahan pertanian dan lahan cadangan yang berada di dalam dan/atau diluar KP2B ditentukan dengan menggunakan beberapa kriteria, yaitu : Kesesuaian lahan KP2B ditetapkan pada lahan yang secara biofisik terutama dari aspek kelerengan, iklim, sifat fisik, kimia dan biologi cocok untuk dikembangkan pertanian pangan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan. Ketersediaan infrastruktur KP2B
ditetapkan
dengan
memperhatikan
ketersediaan
infrastruktur
pendukung kegiatan pertanian pangan, diantaranya sistem irigasi, jalan dan jembatan.
13
Penggunaan lahan aktual (kondisi existing) Kriteria lain yang digunakan dalam menetapkan KP2B adalah dengan melihat bentuk/kondisi penutupan permukaan lahan atau pemanfaatan lahan yang merupakan bentuk alami maupun buatan manusia. Potensi teknis lahan Potensi teknis lahan merupakan salah satu kriteria yang harus diperhatikan dalam menetapkan KP2B. Yang dimaksud dengan potensi teknis lahan adalah lahan yang secara biofisik, terutama dari aspek topografi/lereng, iklim, sifat fisika, kimia dan biologi tanah sesuai atau cocok dikembangkan untuk pertanian. Luasan satuan hamparan lahan Luasan satuan hamparan lahan dalam menetapkan KP2B dilakukan dengan mempertimbangkan sebaran dan luasan hamparan lahan yang menjadi satu kesatuan sistem produksi pertanian yang terkait sehingga tercapai skala ekonomi sosial budaya yang mendukung produktivitas dan efisiensi produk. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2011 tentang penetapan dan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan, disebutkan bahwa kawasan yang dapat ditetapkan menjadi KP2B harus memenuhi kriteria : (a) Memiliki hamparan lahan dengan luasan tertentu sebagai LP2B dan/atau LCP2B, (b) Menghasilkan pangan pokok dengan tingkat produksi yang dapat memenuhi kebutuhan pangan sebagian besar masyarakat setempat, kabupaten/kota, provinsi dan/atau nasional. Kebutuhan dan Ketersediaan Pangan Rustiadi dan Wafda (2008) berpendapat bahwa dari perspektif sistem geopolitik global dan perkembangan teknologi seperti saat ini hingga beberapa dekade yang akan datang, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan tuntutan yang masih harus terus dipertahankan secara kolektif. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan mencakup tiga aspek, yaitu: (1) Ketersediaan, bahwa pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya serta aman, (2) Distribusi, pasokan pangan dapat menjangkau keseluruh wilayah sehingga 14
harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga, (3) Konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi sesuai kaidah gizi dan kesehatan serta preferensinya. Permasalahan utama yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini adalah bahwa pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaan. Permintaan yang meningkat merupakan resultante
dari
peningkatan
jumlah
penduduk,
pertumbuhan
ekonomi,
peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Sementara itu, pertumbuhan kapasitas produksi pangan nasional cukup lambat dan stagnan, karena: (a) Adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, serta (b) Stagnansi pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian. Ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan kapasitas produksi nasional mengakibatkan kecenderungan pangan nasional dari impor meningkat, dan kondisi ini diterjemahkan sebagai ketidak mandirian penyediaan pangan nasional. Dengan kata lain hal ini dapat diartikan pula penyediaan pangan nasional (dari produksi domestik) yang tidak stabil (Suryana, 2005). Menurut Sumardjo (2009), kebijakan pangan tampaknya perlu mengarah pada: a. Terjaminnya pangan secara nasional (food availability), baik dari perspektif produksi, ketersediaan, dan distribusi, maupun diversifikasi konsumsi pangan. b. Terjaminnya ketahanan pangan (food security) yang mampu mengatasi gejolak ketidakpastian faktor alam maupun pengaruh dari luar negeri, sehingga perlu upaya tertentu yang dapat menjamin kestabilan harga. c. Terjaminnya akses rumah tangga terhadap kebutuhan pangan (food assesibility) sesuai daya beli sehingga menjamin ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga. d. Terjaminnya mutu makanan masyarakat dengan konsumsi gizi yang seimbang (food quality) melalui diversifikasi tingkat produksi, pengolahan maupun distribusi. e. Tercapainya penyediaan pangan yang aman (food safety) agar terhindar dari bahan-bahan yang
merugikan lingkungan maupun kesehatan
masyarakat.
15
Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Undang-undang ini juga menjelaskan bahwa perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Penataan ruang adalah suatu proses yang melibatkan berbagai komponen kegiatan pengelolaan sumber daya alam dan buatan yang saling berkaitan secara sistem. Penataan ruang secara prinsip harus didasarkan pada karakteristik, daya dukung dan daya tampung lingkungan serta pelaksanaannya harus didukung oleh teknologi analisis yang sesuai dan memadai, sehingga dapat
dicapai
keserasian,
keselarasan
dan
keseimbangan
subsistem
(Djakapermana, 2010). Menurut Rustiadi et al. (2009) dalam proses penataan ruang terdapat landasan penting yang harus diperhatikan sebagai falsafah, yaitu: (1) Sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan, (2) Menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang, (3) Disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun, (4) Upaya untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik secara terencana, (5) Sebagai suatu sistem yang meliputi kegiatan perencanaan, implementasi dan pengendalian pemanfaatan ruang dan (6) Dilakukan jika dikehendaki adanya perubahan struktur dan pola pemanfaatan ruang, artinya tidak dilakukan tanpa sebab atau kehendak. Hasil dari proses perencanaan tata ruang wilayah adalah RTRW, yang selain merupakan guidance of future actions juga merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/mahluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras dan seimbang untuk mencapai kesejahteraan manusia/mahluk
hidup
serta
kelestarian
lingkungan
dan
keberlanjutan
pembangunan (Dirjen Penataan Ruang, 2003). Undang
Undang
Nomor
26/2007
juga
meyatakan
bahwa
setiap
kabupaten/kota perlu menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota sebagai arahan pelaksanaan pembangunan. Sejalan dengan hal tersebut, di
16
dalam Undang Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan pertanian Pangan Berkelanjutan juga mengamanatkan bahwa penetapan KP2B merupakan bagian dari penetapan rencana tata ruang kawasan perdesaan di wilayah kabupaten dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan merupakan dasar dari penyusunan zonasi. Evaluasi Kesesuaian Lahan Masalah penggunaan lahan merupakan masalah yang kompleks, sebab itu perencanaan dan penetapan penggunaan terhadap suatu lahan harus jelas dan transparan kepada semua stakeholders dan sangat ditentukan oleh kesesuaian lahan. Analisis kesesuaian lahan berdasarkan jenis penggunaan lahan diperlukan untuk mengetahui potensi dan kendala atas lahan tersebut. Data yang objektif tentang potensi dan kendala lahan untuk dapat digunakan secara berkelanjutan (Carsjens dan Knaap, 2002). Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, disamping dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan juga akan meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah sosial lainnya. Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses tataguna lahan. Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan demikian akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini atau setelah diadakan perbaikan. Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya yang terdiri dari iklim, tanah, topografi, hidrologi dan atau drainase sesuai untuk status usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif. Pada prinsipnya penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara mencocokkan (matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan
persyaratan
penggunaan
lahan
mencakup
persyaratan
17
tumbuh/hidup komoditas pertanian yang bersangkutan, pengelolaan dan konservasi. Pada proses matching hukum minimal dipakai untuk menentukan faktor pembatas yang akan menentukan kelas dan sub kelas kesesuaian lahannya (Djaenudin et al., 2003). Sitorus (2004) menyatakan bahwa fungsi evaluasi sumberdaya lahan adalah memberikan pengertian tentang hubungan-hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana berbagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan yang dapat diharapkan berhasil. Dengan demikian manfaat mendasar dari evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan. Menurut Djaenudin et al. (2003), struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatan ordo, kelas, sub kelas dan unit. Tingkat ordo adalah keadaan kelas kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N).
Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu peralatan tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Empat komponen dasar dari sistem penginderaan jauh adalah target, sumber energi, alur transmisi dan sensor. Sumber energi memancarkan energi elektromagnetik pada target. Energi berinteraksi dengan target dan sekaligus berfungsi sebagai media untuk meneruskan informasi dari target kepada sensor. Sensor kemudian mencatat radiasi elektromagnetik dan mengirimkan data ke stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap pakai diantaranya berupa citra (Puntodewo et al., 2003). Satu langkah penting yang paling sering dilakukan pada pengolahan citra adalah klasifikasi, dimana sekumpulan pixel dikelompokkan menjadi kelas-kelas berdasarkan karakteristik tertentu dari masing-masing kelas. Untuk proses klasifikasi, survei lapangan sangat diperlukan. Hasil klasifikasi merupakan input
18
yang sangat berharga bagi SIG untuk diolah dan diinterpretasi bersama layerlayer data yang lain (Puntodewo et al., 2003). Integrasi SIG dengan data penginderaan jauh multi temporal dapat dimanfaatkan untuk menentukan luasan lahan sawah secara spasial, yaitu dengan memanfaatkan beda fase penutupan lahan sawah pada citra. Hasil ketelitian yang diperoleh sebesar 89,4% (Sitorus et al., 2006). Penggunaan metode analisis digital citra satelit „hibrid (supervised) classification‟
untuk
deteksi
penyebaran
lahan
sawah
dan
penggunaan/penutupan lahan telah menghasilkan tingkat ketelitian (accuracy) analisis yang tinggi karena dalam analisis dan klasifikasi citra tersebut, telah mempertimbangkan masukan keterpisahan nilai spektral dan data informasi lapangan
(hibrid
classification).
Informasi
baku
tentang
tingkat
ketelitian/kebenaran hasil analisis data digital sangat penting dan berguna bagi pemanfaatan data dan aplikasi bagi pengguna (Martono, 2008). Menurut Martono (2008), aplikasi teknologi penginderaan jauh/citra satelit untuk
deteksi
lahan
sawah
dan
penyebarannya
dan
berbagai
tipe
penggunaan/penutupan lahan mempunyai tingkat ketelitian yang cukup tinggi. Data dan informasi analisis tersebut sangat bermanfaat dan merupakan sumber informasi penggunaan lahan saat ini (existing landuse) untuk: (a) Pemutakhiran dan
pembaharuan
data
luas
dan
penyebaran
lahan
sawah
serta
penggunaan/penutupan lahan lainnya dan (b) Digunakan sebagai acuan dalam pengadaan stok pangan nasional dan mencari lahan tersedia dalam usaha pengembangan komoditas pertanian Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG dapat diartikan sebagai sistem informasi yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis, metode dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif yang mampu membangun, memasukan, menyimpan, memangggil kembali, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan/menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospatial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan aplikasi dihampir semua bidang (Ridwan, 2009). SIG tumbuh sebagai respon atas kebutuhan akan kebutuhan akan pengelolaan data keruangan yang lebih efisien dan mampu menyelesaikan
19
masalah keruangan. Secara garis besar perkembangan Sistem Informasi Geografis setidaknya dipicu oleh tiga hal, yaitu: (1) Perkembangan teknologi komputer dan sistem informasi, (2) Perkembangan metode analisis spasial di bidang geografi dan ilmu keruangan lainnya, dan (3) Tuntutan kebutuhan aplikasi yang menginginkan kemampuan pemecahan masalah di bidang masing-masing, yang terkait dengan aspek keruangan (Danudoro, 2006) SIG dapat menyerap dan mengolah data dari bermacam sumber yang memiliki skala dan struktur yang berbeda. Selain itu SIG juga dapat melakukan operasi data keruangan yang bersifat kompleks. Hal ini dimungkinkan oleh kemampuan SIG untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Sehingga dalam aplikasinya SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi,
kondisi,
trend,
pola
dan
pemodelan.
Kemampuan
inilah
yang
membedakan SIG dari sistem informasi lainnya (Ridwan, 2009). Perkembangan teknik SIG telah menghasilkan berbagai fungsi analisis, kekuatan SIG terletak pada kemampuan analisis yang bersifat memadukan data spasial dan atribut sekaligus. Menurut Aronoff (1989) kelompok analisis dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu: 1.
Fungsi pemanggilan/klasifikasi/pengukuran data Dalam kelompok ini pemakaian fungsi yang menggunakan data spasial dan data atribut dibuat berbeda. Untuk menjalankan fungsinya data atribut diidentifikasi atau dibuat terlebih dahulu, sedangkan untuk data spasialnya tetap berada pada posisi semula.
2.
Fungsi tumpang tindih (overlay) Operasi tumpang tindih dalam SIG umumnya dilakukan dengan 5 cara yaitu: (a) Pemanfaatan fungsi logika dan fungsi Boolean seperti gabungan (union), irisan (intersection), pilihan
(and dan or), perbedaan (difference) dan
pernyataan bersyarat (if, then, else), (b) Pemanfaatan fungsi relasional, seperti ukuran lebih besar, lebih kecil, sama besar dan kombinasinya, (c) Pemanfaatan
fungsi
aritmatika
seperti
penambahan,
pengurangan,
pengalian dan kombinasinya, (d) Pemanfaatan data atribut atau tabel dua dimensi atau 3 dimensi dan (e) Menyilangkan dua peta langsung. 3.
Fungsi tetangga Operasi-operasi tetangga mengevaluasi ciri-ciri lingkungan tetangga yang mengelilingi suatu lokasi yang spesifik. Pada dasarnya SIG menyediakan
20
beberapa bentuk operasi tetangga. Tipe paling utama pada operasi tetangga adalah fungsi pencarian (search), fungsi topografik dan fungsi interpolasi. 4.
Fungsi jaringan atau keterkaitan Setiap fungsi keterkaitan harus memiliki 3 unsur seperti: spesifikasi unsur spasial berkait, aturan-aturan yang menjelaskan pergerakan-pergerakan dalam kaitan dan satuan pengukuran. Fungsi-fungsi yang terdapat di dalam fungsi keterkaitan antara lain adalah: keterlanjutan (contiguity), perkiraan (proximity), jaringan (network), penyebaran (spread), aliran (stream) dan keterlihatan (intervisibility) (Barus dan Wiradisastra, 2000). Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), SIG mempunyai kemampuan
dalam memanipulasi data spasial dan mengaitkannya dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis. Kemampuan untuk melaksanakan analisis spasial yang kompleks secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario-skenario perencanaan, model-model keputusan, deteksi perubahan dan analisis, dan tipetipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikan secara terusmenerus. Beberapa daya tarik dari SIG adalah: (a) Memudahkan memperbaharui dan memperbaiki peta, (b) Kemampuan untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan keperluan, (c) Kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai data termasuk data digital dan data penginderaan jauh, (d) Potensi untuk pemetaan perubahan
melalui
program
pemantauan
dan
(e)
Kemampuan
untuk
mengintegrasikan pemodelan.
21
METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pembangunan dan pengembangan wilayah di setiap daerah merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat di wilayah tersebut. Peningkatan aktifitas sosial ekonomi sebagai implikasi dari pembangunan, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan lahan. Rendahnya nilai land rent lahan pertanian menyebabkan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian tidak terhindarkan, dan sebagai imbas dari alih fungsi tersebut, luasan lahan pertanian khususnya pertanian pangan semakin menurun. Kondisi tersebut menjadi permasalahan serius bagi sektor pertanian karena lahan merupakan faktor produksi utama dan tak tergantikan dalam usaha pertanian. Selain itu ketersediaan lahan pertanian pangan juga merupakan syarat ketahanan nasional. Diperlukan upaya perlindungan terhadap lahan pertanian pangan, agar laju alih fungsi lahan pertanian lebih terkontrol dengan memperhatikan aspek daya dukung lingkungan dan ketersediaan lahan. Salah satu upaya perlindungan terhadap lahan pertanian pangan adalah dengan mengidentifikasi lahan-lahan yang dapat diusulkan sebagai KP2B. Lahan yang berada di dalam KP2B dapat berupa LP2B dan/atau LP2B. Sebagai langkah awal dalam pengusulan KP2B, dilakukan identifikasi terhadap satuan hamparan lahan aktual dan lahan potensial untuk pertanian pangan. Diharapkan hasil identifikasi dapat memberikan gambaran mengenai potensi lahan yang ada, dan memungkinkan secara fisik dan alamiah untuk dijadikan sebagai KP2B. Sebagaimana yang diamanatkan dalam UU 41 Tahun 2009, diharapkan usulan KP2B dapat menjadi bagian dari penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Perdesaan di wilayah kabupaten dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK). Penetapan KP2B juga menjadi dasar dalam peraturan zonasi. Kerangka pemikiran penelitian secara skematis diilustrasikan seperti bagan alir pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
23
Hipotesis Hipotesis Penelitian ini adalah: 1. Berdasarkan faktor fisik lahan (kelerengan, drainase, ketinggian tempat dan tekstrur tanah) dan ketersediaan lahan, masih terdapat lahan-lahan yang dapat dijadikan KP2B. 2. Lahan
dengan
ladang/tegalan
kondisi dan
penutupan
berupa
kebun/perkebunan
sawah,
merupakan
semak
belukar,
lahan-lahan
yang
berpotensi untuk dijadikan LP2B dan LCP2B. 3. Identifikasi terhadap ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk KP2B diharapkan dapat dilakukan dengan menggunakan data spasial dan tabular yang ada. 4. Berdasarkan sebaran sebaran lahan aktual dan potensial, terdapat berbagai pilihan skenario proses penetapan KP2B yang berimplikasi pada keragaman ukuran luas rata-rata, luas minimal dan maksimal KP2B serta berbagai implikasi lainnya. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Barru terbentang di pesisir selat Makassar sepanjang kurang lebih 78 km dan membujur dari Selatan ke Utara dan terdiri dari 7 kecamatan yaitu Kecamatan Mallusetasi, Soppeng Riaja, Balusu, Barru, Tanete Rilau, Tanete Riaja dan Pujananting. Penelitian dilakukan selama 5 bulan, yang dimulai pada bulan Agustus 2010 sampai dengan Desember 2010.
Bahan dan Alat Penelitian ini membutuhkan bahan/data primer dan sekunder. Data primer berupa cek lapangan (ground check) dan data sekunder dikumpulkan dari instansi yang berwenang mengeluarkan data, yang terdiri dari data spasial dan data
atribut.
Ground
check
dilakukan
pada
saat
pengklasifikasian
penutupan/penggunaan lahan terutama untuk penggunaan sawah irigasi. Data spasial berupa data/peta tematik seperti RBI, citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2008, peta administrasi, peta tekstur tanah, peta kedalaman tanah, peta kelas lereng, peta drainase, peta ketinggian, peta penutupan dan penggunaan lahan (Land Use) peta infrastruktur jalan, dan peta paduserasi
24
Kabupaten Barru. Data atribut berupa data Kabupaten Barru dalam Angka. Untuk jelasnya data yang dibutuhkan dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 1. Alat yang digunakan berupa seperangkat komputer yang dilengkapi perangkat lunak Windows Vista, ArcGIS 9.3, Microsoft Word, dan Microsoft Excell. Serta peralatan penunjang berupa printer, kamera digital, receiver GPS, dan peralatan menulis.
Tabel 1. Jenis Data yang Dibutuhkan dan Sumber Data No 1.
2.
Jenis Data
Sumber
Data Sekunder - Peta RBI - Citra Satelit ALOS AVNIR-2 2008 - Peta Administrasi - Peta Paduserasi Kab. Barru - Peta Penutupan/Penggunaan Lahan - Peta Tekstur Tanah - Peta Kelas Lereng - Peta Ketinggian - Peta Drainase - Peta Kedalaman Tanah - Peta Jaringan Jalan - Data Kabupaten Barru dalam Angka tahun 2008 Data Primer - Ground check
Bakosurtanal Dishut Kab. Barru Dishut Kab. Barru Dishut Kab. Barru Dishut Kab. Barru Dishut Kab. Barru Dishut Kab. Barru Dishut Kab. Barru Dishut Kab. Barru Dishut Kab. Barru Dishut Kab. Barru BPS Kab. Barru
Pengecekan kondisi lapang
Analisis dan Pengolahan Data Data yang telah dikumpulkan baik berupa data primer dan sekunder kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian. Analisis data yang dilakukan untuk mengidentifikasi hamparan lahan yang akan direkomendasikan sebagai
KP2B dilakukan dengan mengkompilasi
dan
memadukan data spasial dan tabular berdasarkan kriteria - kriteria yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan. Data spasial dan atribut tersebut diolah dengan menggunakan SIG untuk memudahkan dalam mendeteksi/mengidentifikasi dan mendeliniasi lokasi-lokasi lahan yang berpotensi untuk direkomendasikan sebagai KP2B.
25
Data input yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi KP2B adalah:
Peta kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah,
Peta penutupan/penggunaan lahan,
Peta paduserasi hutan dan
Peta jaringan infrastruktur jalan Sebelum melakukan identifikasi lahan aktual dan lahan potensial , terlebih
dahulu dilakukan persiapan data input berupa peta kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah dan peta penutupan/penggunaan lahan. Sedangkan peta paduserasi dan peta jaringan infrastruktur jalan menggunakan peta yang telah ada. Adapun tahapan analisis dan pengolahan data yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut: 1. Analisis kelas kesesuaian lahan untuk mendapatkan peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah. 2. Interpretasi penutupan/penggunaan lahan yang berasal dari data penginderaan jauh citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2008 untuk memperoleh peta penutupan/penggunaan lahan. 3. Identifikasi lahan aktual dan lahan potensial untuk KP2B, dilakukan dengan sistem informasi geografis dan menggunakan data berupa peta kelas
kesesuaian
lahan
untuk
tanaman
padi
sawah,
peta
penutupan/penggunaan lahan dan peta paduserasi hutan. 4. Identifikasi Lahan aktual dan lahan potensial untuk KP2B berdasarkan jaringan infrastruktur pendukung pertanian 5. Deliniasi KP2B berdasarkan batas administrasi kecamatan, kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal. Analisis Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Padi Sawah Analisis ini digunakan untuk menilai kesesuaian lahan untuk tanaman padi, dimana pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SIG. Penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dengan mencocokkan karakteristik dan kualitas lahan dengan syarat/kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah. Data/peta yang digunakan antara lain, adalah: peta kelas lereng skala 1 : 50.000, peta kedalaman tanah skala
1 : 50.000, peta drainase skala
1 : 50.000, peta tekstur tanah skala 1 : 50.000 dan peta ketinggian skala 1 : 50.000. Peta kelas lereng, peta kedalaman tanah, peta drainase, peta tekstur
26
tanah dan peta ketinggian masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 3, 4, 5, 6 dan 7. Data spasial tersebut kemudian diolah dengan menggunakan SIG yaitu dengan tumpang tindih satu dengan yang lain berdasarkan kriteria-kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah (PPT, 1983) dalam buku Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007). Kriteria kesesuaian lahan tersebut disajikan pada Lampiran 1. Selanjutnya
adalah
mencocokkan
satuan
peta
lahan
dengan
kriteria/persyaratan penggunaan lahan (land requirement) untuk mendapatkan peta kelas kesesuaian lahan dengan menggunakan faktor pembatas utama. Proses tumpang tindih antara beberapa peta tersebut akan menghasilkan arealareal kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi. Tahapan analisis kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah, disajikan pada Gambar 4. Data yang digunakan dalam menyusun peta kesesuaian lahan hanya datadata yang terkait dengan aspek fisik tanah dan belum mempertimbangkan aspek lain seperti: pH, toksisitas, salinitas dan sebagainya. Karena keterbatasan tersebut, maka kelas kesesuaian lahan disusun hanya pada tingkat ordo yaitu: Sesuai (S) dan Tidak Sesuai (N).
Interpretasi Penutupan/Penggunaan Lahan Data penutupan dan penggunaan lahan tahun 2009 diperoleh dari Dinas Kehutanan Kabupaten Barru dimana dalam pembuatan peta tersebut, penulis ikut terlibat secara langsung. Peta penutupan/penggunaan lahan dibuat dengan melakukan interpretasi citra satelit menggunakan citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2008 resolusi 10 meter. Metode yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing (supervised classification). Untuk mengetahui secara pasti obyek yang tampak pada gambar citra, memerlukan beberapa perbaikan atau koreksi. Tahapan interpretasi disajikan pada Gambar 4. Adapun tahapan pengolahan data citra satelit adalah sebagai berikut: 1. Koreksi Geometrik. Agar citra satelit yang akan digunakan memiliki informasi spasial yang sesuai dengan posisi sebenarnya dipermukaan bumi maka perlu dilakukan koreksi geometri pada citra. Sebelum melakukan koreksi
geometri,
sebaiknya
dilakukan
penajaman
terlebih
dahulu.
Penajaman yang dilakukan akan sangat membantu proses identifikasi
27
kenampakan objek pada citra. Penajaman tersebut antara lain pan-sharpen dan pemfilteran. Koreksi geometri citra dilakukan dengan transformasi (tipe geocoding) polinomial ordo dua yang membutuhkan minimal 6 Ground Control Point (GCP). Proses rektifikasi citra menggunakan peta acuan sebagai dasar pengambilan titik-titik GCP, peta yang dipergunakan adalah Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) atau dengan menggunakan data koordinat dengan bantuan Global Positioning System (GPS) Receiver. Adapun nilai kuadrat rata-rata (Root Mean Square/RMS) yang dijadikan dasar suatu citra telah terkoreksi secara benar adalah maksimal sebesar setengah dari resolusi spasial citra (0,5 x resolusi spasial citra). Selanjutnya, untuk mengembalikan nilai piksel yang mengalami transformasi, digunakan metode interpolasi nearest neighbour. 2. Koreksi Radiometrik. Koreksi radiometrik dimaksudkan untuk mengurangi gangguan visual pada citra yang banyak disebabkan oleh pengaruh atmosfer. Koreksi radiometrik dapat dilakukan menggunakan metode yang paling sederhana, yaitu penyesuaian histogram. Adapun tekniknya adalah dengan cara mengurangi nilai digital number (piksel) citra asli masingmasing saluran tunggal dengan nilai bias yang ada pada masing-masing citra tersebut. 3.
Klasifikasi Penutupan/Penggunaan Lahan. Interpretasi penutupan lahan citra dilakukan dengan metoda klasifikasi terbimbing. Berdasarkan metoda ini, kenampakan pada citra diklasifikasikan menurut informasi yang diperoleh dari plot pengamatan (training set). Informasi plot pengamatan diperoleh dari data peta yang tersedia, seperti peta penggunaan lahan dan peta rupa bumi yang digunakan sebagai peta dasar. Pemilihan lokasi plot pengamatan pada citra dilakukan sedemikian rupa sehingga diyakini kebenaran informasi dan kondisi penutupan lahannya yang belum berubah. Setelah informasi dari plot pengamatan diperoleh, maka dilakukan klasifikasi penutupan lahan untuk keseluruhan wilayah yang terekam pada citra. Hasil intepretasi citra secara digital kemudian dikaji ulang, untuk ditetapkan lokasi pengamatan di lapangan. Pengamatan di lapangan dilakukan untuk memeriksa tingkat kesalahan interpretasi awal, dan karenanya dapat ditentukan akurasinya. Untuk menemukenali kembali lokasi plot pengamatan
28
yang telah ditentukan pada citra, digunakan peta dasar dan GPS, sehingga koordinat bumi plot pengamatan dapat diketahui. Berdasarkan perbaikan informasi penggunaan lahan yang diperoleh dari lapangan, dilakukan reklasifikasi penutupan lahan pada citra. Untuk keperluan penelitian, dilakukan re-identifikasi dan ground check ulang terhadap peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2009. Ground check dilakukan terutama untuk penutupan/penggunaan lahan berupa sawah irigasi.
Identifikasi Lahan Aktual dan Lahan Potensial untuk KP2B Untuk mengetahui wilayah-wilayah mana saja yang berpotensi untuk diusulkan sebagai KP2B, diperlukan kriteria/indikator yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan identifikasi. Dalam kaitannya dengan penentuan KP2B, belum ada kriteria atau petunjuk teknis yang bersifat baku dan mengikat. Penelitian ini dilakukan menggunakan kriteria umum seperti yang disebutkan dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kriteria atau indikator yang dapat digunakan tersebut antara lain adalah: (1) Kesesuaian lahan, (2) Penggunaan lahan, (3) Ketersediaan infrastruktur dan (4) Luasan kesatuan hamparan lahan. Kriteria tersebut merupakan faktor yang digunakan dalam mengidentifikasi wilayah yang memiliki lahan aktual dan lahan potensial untuk diusulkan sebagai KP2B. Berdasarkan 4 indikator tersebut disusun kriteria penentuan lahan aktual dan potensial untuk pengusulan KP2B yang pada penelitian ini disesuaikan dengan kondisi riil di lapangan dan ketersediaan data yang ada. Kriteria tersebut disajikan pada Tabel 2. Proses identifikasi lahan aktual dan lahan potensial untuk KP2B diawali dengan proses identifikasi lahan aktual dan lahan potensial untuk tanaman padi sawah berdasarkan kondisi penutupan dan penggunaan lahan saat ini. Proses ini dilakukan dengan menumpangtindihkan antara peta kesesuaian lahan untuk tanaman padi dengan peta penutupan/penggunaan lahan. Kriteria yang digunakan adalah bahwa lahan harus memiliki penggunaan lahan sebagai sawah irigasi, sawah tadah hujan, semak belukar, ladang/tegalan, hutan dan kebun/perkebunan. Sementara lahan yang memiliki tutupan sebagai hutan bakau,
empang/tambak,
pasir/kerakal
dan
pemukiman
dianggap
tidak
memungkinkan untuk dijadikan sawah. Proses ini dilakukan untuk melihat
29
kesesuaian dan ketersediaan lahan aktual dan lahan potensial berdasarkan aspek biofisik untuk tanaman padi.
Tabel 2. Kriteria Penentuan Lahan Aktual dan Potensial untuk pengusulan KP2B No
Kriteria
Lahan Aktual
Lahan Potensial
1.
Penutupan/penggunaan lahan
Sawah irigasi, sawah tadah hujan
2.
Kesesuaian lahan
S (sesuai), atau S1 (sangat sesuai), S2 (sesuai) dan S3 (cukup sesuai)
3.
Status kawasan
Areal Penggunaan Lain (APL) dan/atau Hutan Produksi Konversi (HPK)
Areal Penggunaan Lain (APL) dan/atau Hutan Produksi Konversi (HPK)
4.
Kondisi eksisting
Telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan
Belum dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan
5.
Arahan Penggunaan didalam RTRW
Kawasan Budidaya
Kawasan Budidaya
a. Line in polygon b. Line in polygon
a. Line in polygon b. Line in polygon
6.
8.
Jaringan Infrastruktur pendukung Pertanian: a. Jaringan Jalan b. Jaringan Irigasi Karakteristik lahan
Berada dalam satuan hamparan
Hutan, semak/belukar, ladang/tegalan, kebun S (sesuai), atau S1 (sangat sesuai), S2 (sesuai) dan S3 (cukup sesuai
Berada dalam satuan hamparan
Berdasarkan peta paduserasi hutan, tutupan lahan Kabupaten Barru terbagi atas 3, yaitu: hutan lindung (HL), hutan produksi terbatas (HPT) dan areal penggunaan lain (APL). Kawasan yang dianggap sesuai (suitable) untuk KP2B adalah APL dan HPK. Peta kawasan hutan diekstraksi untuk mendapatkan areal budidaya non hutan (APL) yang dapat dilakukan kegiatan budidaya diatasnya. Kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas dikeluarkan karena merupakan kawasan konservasi. Hasil tersebut kemudian dioverlay dengan peta lahan yang aktual dan potensial untuk tanaman padi untuk mendapatkan peta lahan aktual dan
30
potensial untuk diusulkan sebagai KP2B. Kriteria yang disyaratkan dalam menentukan lahan yang aktual dan potensial untuk diusulkan sebagai KP2B adalah: 1.
Lahan berada
di kawasan budidaya non
hutan berupa
areal
penggunaan lain (APL) 2.
Kondisi penutupan/penggunaan lahan (land use) berupa sawah irigasi, sawah tadah hujan, hutan, semak belukar, ladang/tegalan dan kebun/perkebunan.
3.
Lahan-lahan dengan kelas kesesuaian S (sesuai), sedangkan Lahan dengan kelas kesesuaian N (tidak sesuai) diabaikan.
Matriks penentuan lahan aktual dan lahan potensial untuk KP2B berdasarkan penutupan/penggunaan lahan (land use), kelas kesesuaian lahan dan status kawasan dapat dilihat pada Tabel 3. Tahapan identifikasi lahan aktual dan potensial untuk dijadikan KP2B, disajikan pada Gambar 2. Tabel 3. Matriks Penentuan Lahan Aktual dan Potensial untuk KP2B Berdasarkan Penutupan/Penggunaan Lahan, Kelas Kesesuaian Lahan dan Status Kawasan di Kabupaten Barru Penggunaan Lahan Hutan
Semak
Kebun/Perkebunan
Ladang/Tegalan
Sawah irigasi
Sawah tadah hujan Empang/Tambak, Hutan Bakau, Pemukiman, Pasir/Kerakal
31
APL
Kelas Kesesuaian Lahan S (Sesuai)
Lahan Potensial
HL, HPT
Semua
Tidak Memungkinkan
APL
S (Sesuai)
Lahan Potensial
HL, HPT
Semua
Tidak Memungkinkan
APL
S (Sesuai)
Lahan Potensial
HL, HPT
Semua
Tidak Memungkinkan
APL
S (Sesuai)
Lahan Potensial
HL, HPT
Semua
Tidak Memungkinkan
APL
S (Sesuai)
Lahan Aktual
HL, HPT
Semua
Tidak Memungkinkan
APL
S (Sesuai)
Lahan Aktual
HL, HPT
Semua
Tidak Memungkinkan
Semua
Semua
Tidak Memungkinkan
Status Kawasan
Kategori
Gambar 2. Bagan Tahapan Identifikasi Lahan Aktual dan Potensial untuk KP2B
Identifikasi Lahan Aktual dan Lahan Potensial untuk KP2B Berdasarkan Jaringan Infrastruktur Pendukung Pertanian Idealnya setiap KP2B mempunyai jaringan infrastruktur pendukung pertanian sekurang-kurangnya Penelitian ini
berupa
jaringan irigasi dan jaringan jalan.
menggunakan peta jaringan infrastruktur jalan yang diperoleh
dengan mengekstrak dari hasil interpretasi citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2008. Informasi jaringan irigasi tidak digunakan karena ketiadaan data spasial. Data jaringan irigasi yang didapatkan hanya dalam bentuk tabular, seperti pada Lampiran 2. Data/peta sungai dijadikan sebagai informasi tambahan/pelengkap untuk melihat ketersediaan sumberdaya air, karena ketiadaan peta jaringan irigasi. Pada tahap ini peta jaringan infrastruktur jalan di tumpang tindih dengan peta lahan aktual dan lahan potensial yang akan diusulkan sebagai KP2B. Proses ini diharapkan dapat memberikan informasi berupa lokasi lahan aktual dan lahan potensial yang memiliki jaringan infrastruktur jalan.
32
Proses ini menghasilkan peta lahan aktual dan potensial untuk diusulkan sebagai KP2B berdasarkan jaringan infrastruktur. Secara spasial, informasi tersebut dapat memberikan gambaran area-area mana saja yang secara eksisting memiliki kondisi penutupan/penggunaan lahan berupa sawah irigasi, sawah tadah hujan, semak/belukar, kebun, ladang/tegalan dan hutan yang memiliki fasilitas infrastruktur jalan. Informasi jaringan jalan dibutuhkan untuk melihat tingkat aksesibilitas lahan. Sehingga lahan aktual dan lahan potensial berdasarkan kesesuaian dan kondisi eksisiting dan memiliki jaringan infrastruktur jalan dapat diusulkan sebagai KP2B.
Deliniasi KP2B Berdasarkan Batas Administrasi Kecamatan, Kontiguitas Spasial dan Luas Hamparan Maksimal Proses identifikasi lahan aktual dan lahan potensial yang dapat diusulkan sebagai KP2B, dilakukan dengan 2 tahapan deliniasi, tahapan prosesnya disajikan pada Gambar 3. Deliniasi awal merupakan penapisan terhadap lahanlahan yang dapat dijadikan KP2B dan lahan yang berada diluar KP2B. Lahan yang dapat dijadikan KP2B adalah:
Lahan yang berada dalam suatu hamparan yang bersifat kontigus dan saling mempengaruhi.
Lahan yang memiliki jaringan infrastruktur jalan.
Gambar 3. Bagan Tahapan Proses Deliniasi KP2B 33
Deliniasi berikutnya dilakukan untuk menentukan lahan aktual dan lahan potensial yang dapat dijadikan kawasan dengan menggunakan 3 (tiga) skenario yaitu: 1. Skenario 1: berdasarkan batas administrasi kecamatan, 2. Skenario 2: berdasarkan kontiguitas spasial dan 3. Skenario 3: berdasarkan luas hamparan maksimal Masing-masing skenario memiliki variabel penciri yang berbeda antara satu dengan yang lain, seperti disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Matriks Variabel Penciri dari Masing-Masing Skenario Usulan KP2B
Variabel
Batas administrasi kecamatan (Skenario 1)
Kontiguitas Spasial (Skenario 2)
Luas Hamparan Maksimal (Skenario 3)
Batas administrasi kecamatan (Skenario 1)
Setiap KP2B berlokasi dalam 1 wilayah administrasi kecamatan
KP2B tidak berbasis wilayah administrasi kecamatan
KP2B tidak berbasis wilayah administrasi kecamatan
Kontiguitas Spasial (Skenario 2)
Kontiguitas spasial tidak menjadi penentu terpenting
Kontiguitas spasial sebagai penentu utama, berdasarkan: - Hamparan - Jaringan jalan
Kontiguitas spasial maksimal sebagai penentu utama, berdasarkan: - Hamparan - Jaringan jalan
Luas Hamparan Maksimal (Skenario 3)
Coverage/tutupan setiap hamparan KP2B relatif lebih kecil dibanding skenario 1 dan 2
Coverage/tutupan setiap hamparan KP2B sedang
Coverage/tutupan setiap hamparan KP2B paling besar
Tahap ini akan menghasilkan peta hamparan lahan yang dapat direkomendasikan sebagai KP2B. Berdasarkan peta tersebut, dapat diketahui luasan hamparan KP2B yang direkomendasikan untuk masing-masing skenario. Tahapan penelitian secara lengkap disajikan pada Gambar 4.
34
Gambar 4. Bagan Alir Tahapan Penelitian 35
Tabel 5. Matriks Analisis Penelitian No
Tujuan
Metode Analisis
Jenis Data
Sumber Data
Keluaran
1
Mengidentifikasi lahan yang dapat dijadikan lahan pertanian pangan (padi sawah) berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan dan penutupan/pengguna annya saat ini (eksisting).
Interpretasi citra Analisis SIG : - Overlay peta tekstur, kelerengan, drainase, kedalaman dan ketinggian sehingga menghasilkan peta kesesuaian lahan untuk tanaman padi. - Overlay peta administrasi, penutupan lahan dan peta kesesuaian lahan
- RBI - Citra Alos tahun 2008 - Peta Penutupan/ Penggunaan Lahan - Peta Administrasi - Peta Tekstur tanah - Peta Kelerengan - Peta Drainase - Peta Kedalaman Tanah - Peta Ketinggian
- Bakosurtanal - Dishut Kab. Barru
Peta lahan yang aktual dan potensial untuk tanaman padi
2
Mengidentifikasi lahan yang aktual & potensial untuk tanaman padi yang dapat diusulkan sebagai KP2B
Analisis SIG : - Overlay peta lahan yang aktual & potensial untuk tanaman padi dengan peta paduserasi hutan
- Peta lahan yang aktual dan potensial untuk tanaman padi - Peta paduserasi hutan
- Hasil pengolahan data tahap sebelumnya - Dishut Kab. Barru
Peta lahan yang aktual dan potensial untuk dijadikan KP2B
3
Mengidentifikasi lahan pertanian pangan (padi sawah) yang dapat diusulkan sebagai KP2B berdasarkan infrastruktur pendukung pertanian berupa jaringan jalan.
Analisis SIG : - Overlay peta lahan yang aktual dan potensial untuk dijadikan KP2B dengan peta jaringan jalan dan sungai
- Peta jaringan Infrastruktur jalan - Peta sungai - Peta satuan lahan yang aktual dan potensial untuk dijadikan KP2B
- Dishut Kab. Barru - Hasil pengolahan data tahap sebelumnya
Peta lahan yang aktual dan potensial untuk dijadikan KP2B berdasarkan jaringan infrastruktur
36
Tabel 5. (Lanjutan) No
Tujuan
Metode Analisis
Jenis Data
4
Mengidentifikasi hamparan lahan yang dideliniasi oleh ekosistem dan disatukan oleh fasilitas infastruktur pendukung pertanian sehingga diperoleh satuan luasan hamparan KP2B, berdasarkan pertimbangan batas wilayah kecamatan, kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal.
Identifikasi spasial secara visual Dasar pertimbangan adalah batas wilayah kecamatan, kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal
Peta lahan yang aktual dan potensial untuk dijadikan KP2B berdasarkan jaringan infrastruktur
37
Sumber Data
Hasil pengolahan data tahap sebelum nya
Keluaran
Hamparan Lahan aktual dan lahan potensial yang direkomenda sikan sebagai KP2B
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Administrasi Wilayah Kabupaten Barru merupakan salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan yang mempunyai wilayah yang terbentang di pesisir Selat Makassar, membujur dari arah selatan ke utara sepanjang kurang lebih 78 km. Berdasarkan pembagian wilayah administratif, Kabupaten Barru terbagi atas 7 wilayah kecamatan dan 54 wilayah desa/kelurahan yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Luas Wilayah Dirinci Menurut Kecamatan dan Desa di Kabupaten Barru No
Kecamatan
1.
Mallusetasi
Desa/Kelurahan a. Cilellang b. Manuba c. Nepo d. Palanro e. Mallawa f. Kupa g. Bojo h. Bojo baru
2.
3.
Soppeng Riaja
a. Ajakkang b. Paccekke c. Kiru-kiru d. Mangkoso e. Lawallu f. Siddo g. Batupute
Balusu a. Binuang b. Madello c. Takkalasi d. Kamiri e. Balusu f. Lampoko
4.
Barru a. Sumpang Binangae b. Coppo c. Tuwung d. Anabanua e. Palakka f. Galung g. Tompo h. Sepee i. Mangempang j. Siawung
Luasan (km2)
Luasan (ha)
216 14 37 95 4 7 20 20 19 79 23 24 7 2 6 8 6 112 8 12 14 47 23 8 199,32 2
21.658 1.385 3.688 9.465 450 750 2.023 2.037 1.860 7.890 2.300 2.455 702 263 610 880 680 11.220 836 1.169 1.380 4.735 2.275 825 19.932 180
27 12 20 36 29 35 16 14 8
2.683 1.235 2.000 3.633 2.852 3.486 1.647 1.380 836
Tabel 6. (lanjutan) No
Kecamatan
5.
Tanete Rilau
Desa/Kelurahan
Luasan (km2)
Luasan (ha)
79 8 9 12 8 9 7 2 4 15 5 174 26 53 21 20 23 13 18 315 37 50 78 41 78 31
7.917 770 920 120 792 930 665 205 410 1.544 481 17.429 2.642 5.310 2.089 2.024 2.269 1.332 1.763 31.426 3.708 4.960 7.788 4.075 7.795 3.100
1.174
117.472
a. Lasitae b. Pancana c. Lalabata d. Corawali e. Pao-pao f. Tellumpanua g. Lalolang h. Tanete i. Lipukasi j. Garessi 6.
Tanete Riaja a. Mattirowalie b. Harapan c. Lompo Riaja d. Libureng e. Kading f. Lompo Tengah g. Lempang
7.
Pujananting a. Bulo-Bulo b. Gattareng c. Pujananting d. Jangan-jangan e. Patappa f. Bacu-bacu JUMLAH/TOTAL
Sumber : Data kabupaten dalam angka tahun 2008
Kondisi Geofisik Wilayah Kabupaten Barru secara geografis terletak pada koordinat 4˚ 5’ 49” sampai 4˚ 47’ 35” Lintang Selatan dan 119˚ 35’ 0” sampai 119˚ 49’ 16” Bujur Timur, seperti disajikan pada Gambar 5. Berdasarkan data Badan Statistik Kabupaten Barru mempunyai luas wilayah sekitar 1.174 km2. Sedangkan berdasarkan hasil perhitungan spasial, Kabupaten Barru memiliki luas 1.182 km² atau 118.173 ha, dengan batas wilayah sebagai berikut:
39
-
Sebelah utara berbatasan dengan Kota Parepare.
-
Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Soppeng.
-
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pangkep.
-
Sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar.
Gambar 5. Lokasi Penelitian
40
Kabupaten Barru mempunyai wilayah yang cukup bervariasi terdiri dari daerah pesisir/laut, dataran rendah dan dataran tinggi. Di bagian timur Kabupaten Barru terbentang daerah dataran tinggi dengan ketinggian antara 100 sampai 1700 meter diatas permukaan laut, sedangkan bagian barat yang berhadapan dengan selat Makassar, bertopografi datar sampai landai dengan ketinggian 0 – 20 meter diatas permukaan laut. Iklim Berdasarkan
klasifikasi
iklim
Oldeman
(1874)
yang
disusun
berdasarkan jumlah bulan basah dan bulan kering, Kabupaten Barru termasuk ke dalam zona agroklimat C2, dimana periode bulan basah (curah hujan lebih dari 200 mm/bulan) berturut-turut selama 5 - 6 bulan dan bulan kering (curah hujan kurang dari 100 mm/bulan) berturut-turut selama 3 – 4 bulan. Curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Desember – Januari, sedangkan curah hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Agustus – September. Data curah hujan rata-rata bulanan untuk wilayah Kabupaten Barru periode tahun 1998 – 2007 dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Barru tahun 2009
Gambar 6. Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Kabupaten Barru Tahun 1998 – 2007
41
Total hari hujan rata-rata selama setahun di Wilayah Kabupaten Barru adalah 94 hari dengan curah hujan sebesar 2.646 mm. Hari hujan terbesar terjadi pada bulan Desember sebanyak 20 hari dan terendah pada bulan Agustus sebanyak 2 hari seperti pada Gambar 7.
Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Barru tahun 2009
Gambar 7. Hari Hujan Rata-Rata Bulanan Kabupaten Barru Tahun 1998 – 2007 Kelembaban udara rata-rata di wilayah Kabupaten Barru berkisar 66 – 88 %, dengan temperatur rata-rata 20oC - 35oC seperti pada Gambar 8.
Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Barru tahun 2009
Gambar 8. Kelembaban Udara Rata-Rata Bulanan Kabupaten Barru Tahun 1998 – 2007
42
Kondisi Geologi Kabupaten Barru memiliki sifat geologi berupa endapan gunung api yang meliputi 27,59 % dari total wilayah kabupaten, dengan berbagai jenis batuan penyusunnya. Litologi penyusun wilayah Kabupaten Barru dapat dibagi menjadi 11 kelompok, yaitu: 1.
Kompleks Ophiolit Barru
2.
Batuan Malihan
3.
Kompleks Melange
4.
Formasi Belang Barru
5.
Formasi Mallawa
6.
Formasi Tonasa
7.
Formasi Camba
8.
Anggota Batuan Gunung Api Camba
9.
Anggota Batu Gamping Formasi Camba
10. Batu Gamping Formasi Walanae 11. Endapan Alluvium Kelerengan Kelerengan tanah merupakan bentuk kedudukan tanah terhadap bidang datar yang dinyatakan dalam persen (%). Kondisi topografi dari relief permukaan tanah, wilayah Kabupaten Barru memiliki kelerengan yang sangat bervariasi mulai datar, bergelombang hingga bergunung dengan persentase kemiringan antara 0% - >40% (Tabel 7). Tabel 7. Persentase Kelerengan di Kabupaten Barru Kelas Lereng
Persentasi (%)
0 - 3%
14.627
12,4
3 – 8%
13.686
11,6
8 – 15%
19.041
16,1
15 – 25%
27.116
23,0
25 – 40%
27.642
23,3
>40%
16.061
13,6
Total
118.173
100
Sumber: Hasil analisis tahun 2010
43
Luas (Ha)
Kelas lereng yang memiliki luasan terbesar adalah kelas lereng 25 - 40%. Kelas lereng ini mendominasi dengan persentasi 23,3% dari total luas wilayah Kabupaten Barru. Sementara kelas kelerengan yang memiliki luasan terkecil adalah kelas lereng 3 - 8% dengan luas sebesar 13.686 ha atau 11,6% dari total luas wilayah. Ketinggian Kabupaten Barru merupakan wilayah yang memiliki ketinggian yang bervariasi berkisar antara 0 – 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl), dimana Kecamatan Pujananting merupakan wilayah kecamatan yang terletak di daerah pegunungan dengan ketinggian mencapai lebih dari 1.000 mdpl. Pembagian kelas ketinggian wilayah Kabupaten Barru berdasarkan ketinggian dari permukaan laut adalah sebagai berikut: -
Ketinggian 0 - 25 meter dpl seluas 18.231 ha.
-
Ketinggian 25 - 100 meter dpl seluas 17.256 ha.
-
Ketinggian 100 - 500 meter dpl seluas 58.546 ha.
-
Ketinggian 500 - 1.000 meter dpl seluas 23.042 ha.
-
Ketinggian > 1.000 meter dpl seluas 1.924 ha.
Jenis Tanah Beberapa jenis tanah yang ada di wilayah Kabupaten Barru antara lain terdiri atas 5 kompleks tanah, yaitu: 1.
Alluvial, grumosol dengan total luas 16.013 ha yang tersebar di beberapa kecamatan antara lain Kecamatan Balusu, Kecamatan Barru, Kecamatan Mallusetasi, Kecamatan Soppeng Riaja, dan Kecamatan Tanete Rilau;
2.
Mediteran merah kuning, litosol, mediteran merah dan mediteran kuning dengan total area mencapai 11.998 ha yang tersebar di beberapa kecamatan meliputi Kecamatan Balusu, Kecamatan Barru, Kecamatan Pujananting, dan Kecamatan Tanete Riaja;
3.
Mediteran merah kuning, latosol dengan total luas mencapai 28.149 ha dan tersebar hampir di seluruh kecamatan kecuali di Kecamatan Tanete Rilau;
44
4.
Mediteran merah kuning, litosol / regosol dengan luas wilayah mencapai 52.264 ha terdapat di seluruh kecamatan di Kabupaten Barru dan merupakan jenis tanah dengan luasan terbanyak;
5.
Podsolik merah kuning, litosol dengan luasan mencapai 10.575 ha. Jenis tanah ini hanya terdapat di wilayah Kecamatan Pujananting.
Untuk lebih jelasnya, pembagian jenis-jenis tanah dan luasannya berdasarkan kecamatan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Luas dan Persentase Jenis Tanah Menurut Kecamatan Kompleks Tanah (ha)
No
Nama Kecamatan
Mediteran Merah Kuning, Litosol, Mediteran Merah dan Mediteran Kuning
Aluvial, Grumusol
Mediteran Merah Kuning, Litosol/ Regosol
Mediteran Merah Kuning, Latosol
Podsolik Merah Kuning, Litosol
1
Balusu
2.602
3
4.563
4.540
-
2
Barru
3.301
6.287
1.843
8.497
-
3
Mallusetasi
1.881
-
6.448
13.648
-
4
Pujananting
-
2.571
8.337
10.119
10.575
5
Soppeng Riaja
4.010
-
1.986
2.654
-
6
Tanete Riaja
-
3.137
4.972
8.839
-
7
Tanete Rilau
4.219
-
-
3.967
-
16.013
11.998
28.149
52.264
10.575
Jumlah
Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Barru tahun 2009
Kondisi Demografi Berdasarkan data demografi, jumlah penduduk sampai akhir tahun 2008 di Kabupaten Barru berjumlah 161.732 jiwa. Selama periode waktu tahun 20052008, terjadi peningkatan jumlah penduduk sebesar 4,8% dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 0,42 % per tahun. Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan berdasarkan kecamatan disajikan pada Tabel 9.
45
Tabel 9. Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Barru Menurut Kecamatan No K
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Kecamatan 2004
2005
2006
2007
2008
Laju (%)
1
Balusu
17.908
17.883
17.940
17.829
17.969
0,09
2
Barru
35.070
35.024
35.264
34.137
34.405
-0,46
3
Mallusetasi
23.502
23.472
23.452
24.710
24.905
1,49
4
Pujananting
11.643
11.628
11.643
12.475
12.614
2,07
5
Soppeng Riaja
17.467
17.445
17.478
17.197
17.333
-0,19
6
Tanete Riaja
20.944
20.918
20.990
21.538
21.708
0,91
7
Tanete Rilau
32.493
32.451
32.468
32.542
32.798
0,23
159.027
158.821
159.235
160.428
161.732
0,42
Jumlah
Sumber: Data kabupaten dalam angka tahun 2008
Rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten Barru sebesar 172,64 jiwa/km², menyebar secara tidak merata pada 7 kecamatan. Kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Tanete Rilau dan kepadatan terendah di Kecamatan Pujananting seperti disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan Kabupaten Barru Tahun 2009 No
Kecamatan
Luas (Km²)
Penduduk (Jiwa)
Kepadatan 2 (Jiwa/Km )
Disribusi Penduduk (%)
1
Balusu
112,20
17.969
160
11,1
2
Barru
199,32
34.405
173
21,3
3
Mallusetasi
216,58
24.905
115
15,4
4
Pujananting
314,26
12.614
40
7,8
5
Soppeng Riaja
78,90
17.333
220
10,7
6
Tanete Riaja
174,29
32.798
188
20,3
7
Tanete Rilau
79,17
21.708
274
13,4
Jumlah
1.174,72
161.732
167
100
Sumber: Data kabupaten dalam angka tahun 2008
46
Kondisi Sosial Ekonomi Kegiatan perekonomian dan pemerintahan terpusat di Kecamatan Barru yang merupakan ibukota kabupaten. Kondisi tersebut menjadikan Kecamatan Barru sebagai pusat aktifitas dan pusat pertumbuhan kabupaten. Aktivitas ekonomi yang menonjol di Kabupaten Barru umumnya bergerak di sektor pertanian (khususnya disektor tanaman pangan). Kegiatan pertanian khususnya disektor tanaman pangan tersebut didukung dengan pembangunan infrastruktur pendukung berupa jaringan irigasi dan jalan. Jaringan irigasi diharapkan dapat meningkatkan produktifitas hasil pertanian, sedangkan jaringan jalan diharapkan dapat membuka dan mempermudah akses ke sentra-sentra produksi pertanian, sehingga memudahkan pemasaran hasil pertanian. Penduduk sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, kegiatan bercocok tanam merupakan kegiatan yang telah dilakukan secara turun temurun dan membudaya di masyarakat. Bahkan penduduk yang bermata pencaharian utama sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), pedagang dan usaha lainnya menjadikan kegiatan bertani sebagai pekerjaan sampingan. Untuk jelasnya struktur pekerjaan penduduk kabupaten Barru yang berumur 15 tahun ke atas dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Berdasarkan Lapangan Pekerjaan Utama di Kabupaten Barru Lapangan Pekerjaan Utama
LakiLaki
1.
Pertanian, Kehutanan, Perburuan, Perikanan
21.488
5.850
27.338
48,99
2.
Industri Pengolahan
2.342
1.448
3.790
6,79
3.
Perdagangan Besar, Eceran, Rumah makan dan Hotel
4.401
5.942
10.343
4.
Jasa Kemasyarakatan
3.700
3.348
7.048
12,63
5.
Lainnya
6.804
478
7.282
13,05
38.735
17.066
55.801
100
No
Jumlah/Total
Perempuan
Jumlah (Total)
Persentase (%)
18,54
Sumber: Data kabupaten dalam angka tahun 2008
Tabel diatas menunjukkan bahwa 48,99% penduduk Kabupaten Barru masih menjadikan sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan
47
sebagai mata pencaharian utama. Sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel sebanyak 18,54% yang diikuti dengan lapangan pekerjaan lain sebesar 13,05%, jasa kemasyarakatan 12,63% dan industri pengolahan sebesar 6,79%. Lahan Sawah dan Produksi Padi Perubahan Lahan Sawah Secara umum laju perubahan lahan atau alih fungsi lahan sawah ke non sawah di kabupaten Barru tidak begitu besar. Hal ini disebabkan karena sebagian besar penduduk Kabupaten Barru masih menjadikan sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama. Untuk melihat besaran perubahan lahan sawah yang terjadi dari tahun 2004 hingga tahun 2009 disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Luas Lahan Sawah Menurut Kecamatan di Kabupaten Barru Tahun 2004 – 2009 No
Kecamatan
2
Tadah Hujan (ha)
Jumlah (ha)
1
Balusu
1.777
203
1.980
2
Barru
2.801
892
3.692
3
Mallusetasi
1.656
-
1.656
4
Pujananting
577
535
1.111
5
Soppeng Riaja
1.581
1
1.582
6
Tanete Riaja
2.677
17
2.694
7
Tanete Rilau
1.881
-
1.881
20091
12.950
1.648
14.598
20082
4.578
8.701
13.279
20072
4.791
8.445
13.301
20062
4.322
8.922
13.244
2
4.249
8.893
13.142
20042
4.117
9.206
13.333
2005
1
Irigasi Teknis(ha)
1. Hasil analisis tahun 2010 Data kabupaten dalam angka tahun 2008
48
Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa terdapat perbedaan luas yang sangat signifikan antara luas sawah irigasi yang diperoleh dari data yang dikeluarkan oleh BPS dalam kabupaten dalam angka tahun 2008 dengan data hasil analisis. Luas sawah irigasi berdasarkan data kabupaten dalam angka sejak tahun 2005 – 2008 berkisar antara 4.322 ha sampai dengan 4.578 ha. Berdasarkan hasil analisis diketahui luas sawah irigasi sebesar 12.950 ha. Luas sawah irigasi yang diperoleh dari hasil analisis tidak berbeda jauh dengan data luas daerah irigasi tahun 2008 yang dikeluarkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Barru dengan luas 11.261 ha.
Produksi Padi Dari luasan lahan sawah yang ada di Kabupaten Barru, diketahui jumlah produksi padi sejak tahun 2004 sampai dengan 2008 terus meningkat. Produksi padi pada tahun 2004 sebesar 88.552 ton meningkat sebesar 3.918 ton atau sebesar 4% pada tahun 2008, seperti disajikan pada Tabel 13. Produksi padi terbesar dicapai pada tahun 2008 sebesar 92.470 ton, ratarata produksi padi berdasarkan kecamatan pada tahun 2008 disajikan pada Tabel 14. Tabel 13. Produksi Padi Menurut Kecamatan Kabupaten Barru Tahun 2004 - 2008 No Kecamatan
Produksi (Ton) 2004
2005
2006
2007
2008
1
Balusu
10.560
9.6112
859
9.022
13.106
2
Barru
19.894
18.145
13.199
16.824
20.471
3
Mallusetasi
10.791
10.995
10.821
10.234
11.265
4
Pujananting
9.576
9.253
9.441
7.190
9.677
5
Soppeng Riaja
10.675
9.501
1.563
10.517
10.065
6
Tanete Riaja
15.489
12.211
12.371
14.582
15.698
7
Tanete Rilau
11.567
11.240
10.953
12.854
12.188
Jumlah
88.552
80.957
74.947
81.223
92.470
Sumber: Data kabupaten dalam angka tahun 2008.
49
Tabel 14. Rata-rata Produksi Padi Menurut Kecamatan Kabupaten Barru Tahun 2008 No
Kecamatan
Rata-rata Produksi (Ku/Ha)
Produksi (Ton)
1
Balusu
57,65
13.106
2
Barru
50,09
20.471
3
Mallusetasi
38,10
11.265
4
Pujananting
57,44
9.677
5
Soppeng Riaja
50,01
10.065
6
Tanete Riaja
34,13
15.698
7
Tanete Rilau
54,44
12.188
53,98
92.470
Jumlah
Sumber: Data kabupaten dalam angka tahun 2008.
50
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Potensi Lahan Pertanian Pangan (Padi Sawah) Berdasarkan Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Penggunaan Lahan Eksisting Penutupan/Penggunaan Lahan Eksisting Informasi penutupan/penggunaan lahan diperoleh dari Dinas Kehutanan Kabupaten Barru. Penulis terlibat secara langsung dan ikut bersama-sama dengan tim dalam proses pembuatan peta tersebut. Peta penutupan/penggunaan lahan dilihat dengan interpretasi citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2008 yang diverifikasi dengan pengecekan lapangan (ground
check).
Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
struktur
penutupan/penggunaan lahan pada tahun 2009 adalah sebagai berikut: penutupan/penggunaan lahan berupa hutan menempati luas terbesar yaitu 52.785 ha (44,7%), disusul oleh semak/belukar sebesar 25.135 ha (21,3%), ladang/tegalan sebesar 17.516 ha (14,8), sawah irigasi sebesar 12.950 ha (11,0%), kebun/perkebunan sebesar 2.965 ha (2,5%), tambak 2.898 ha (2,5%), pemukiman sebesar 1.826 ha (1,5%), sawah tadah hujan sebesar 1.648 ha (1,4%), hutan bakau sebesar 407 ha (0,3%) dan pasir/kerakal 42 ha (0,04%). Kelas penutupan dan penggunaan lahan Kabupaten Barru Tahun 2009 disajikan pada Gambar 9 dan Tabel 15.
Gambar 9. Diagram Persentase (%) Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Barru Tahun 2009
Tabel 15. Luas Penutupan/Penggunaan Lahan di Kabupaten Barru No.
Penutupan/ Penggunaan Lahan
Luas (Ha)
Persentase (%)
1
Hutan
52.785
44,7
2
Semak/Belukar
25.135
21,3
3
Kebun/Perkebunan
2.965
2,5
4
Ladang/Tegalan
17.516
14,8
5
Sawah Irigasi
12.950
11,0
6
Sawah Tadah Hujan
1.648
1,4
7
Pemukiman
1.826
1,5
8
Tambak/Empang
2.898
2,5
9
Hutan Bakau
407
0,3
10
Pasir/Kerakal
42
0,04
118.173
100
Jumlah Sumber: Hasil analisis tahun 2010
Hutan mendominasi tutupan lahan di Kabupaten Barru, yaitu sebesar 52.785 ha atau 44,7% dari total luasan penutupan lahan, sedangkan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian berupa sawah irigasi dan sawah tadah hujan hanya memiliki luasan sebesar 14.598 ha atau 12,4% dari total luasan penutupan lahan. Data ini menunjukkan bahwa luas lahan pertanian pangan
khususnya
penutupan/penggunaan
padi
sawah
lahan
lebih
berupa
kecil hutan
dibandingkan dan
dengan
semak/belukar
Penutupan/penggunaan berupa sawah irigasi dan sawah tadah hujan berada di sepanjang pesisir pantai dengan topografi yang relatif datar dan berada pada wilayah Kecamatan Mallusetasi, Soppeng Riaja, Balusu, Barru, Tanete Rilau dan Tanete Riaja. Sebaran kelas penutupan/penggunaan lahan secara spasial dapat dilihat pada Gambar 10.
52
Gambar 10. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2009 Kabupaten Barru
53
Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Padi Sawah Identifikasi potensi lahan pertanian pangan khususnya untuk tanaman padi sawah merupakan penilaian tingkat kesesuaian lahan berdasarkan karakteristik fisik dan alamiah dari komponen-komponen lahan. Proses penilaian kelas kesesuaian lahan atau evaluasi lahan menggunakan peta kesesuaian lahan untuk menentukan wilayah mana saja yang sesuai secara fisik dan alamiah untuk pengembangan tanaman padi sawah. Pada prinsipnya penilaian kelas kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara mencocokkan data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel kriteria kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan yang mencakup persyaratan tumbuh/hidup komoditas pertaniannya, pengelolaan dan konservasi. Penentuan
kelas
kesesuaian
lahan
untuk
tanaman
padi
sawah
menggunakan beberapa kriteria yang dianggap mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Kriteria penentuan areal untuk tanaman padi sawah mengacu pada kriteria yang ditetapkan oleh Pusat Penelitian Tanah dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007). Kriteria yang digunakan dalam penelitian ini tidak menggunaan semua kriteria yang dipersyaratkan karena keterbatasan data. Kriteria yang digunakan antara lain adalah: kelerengan, ketinggian tempat dari permukaan laut, drainase, kedalaman tanah dan tekstur tanah. Paralel dengan proses pembuatan peta penututupan/penggunaan lahan eksisting, proses analisis kelas kesesuaian lahan juga dilakukan secara spasial dengan proses tumpang tindih antara peta kelerengan, peta drainase, peta ketinggian, peta tekstur tanah dan peta kedalaman tanah sehingga diperoleh peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah. Kelas kesesuaian lahan disusun hanya sampai tingkat ordo, mengingat keterbatasan data dan informasi. Peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi disajikan pada Gambar 11. Berdasarkan hasil pengolahan data spasial diperoleh informasi bahwa Kabupaten Barru memiliki kelas kesesuaian lahan S (Sesuai) dan N (Tidak Sesuai) yang tersebar hampir di semua wilayah. Kelas kesesuaian lahan S seluas 45.807 ha dan N seluas 72.366 ha. Hasil analisis kelas kesesuaian lahan menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Barru atau sekitar 61,2% berada pada kelas kesesuaian lahan N yang secara teknis tidak sesuai untuk pengembangan tanaman padi sawah. Tetapi diharapkan dengan adanya input teknologi maka faktor pembatas pada lahan tersebut dapat diatasi. Kelas kesesuaian lahan disajikan pada Tabel 16.
54
Gambar 11. Peta Kesesuaian Lahan Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Barru
55
Tabel 16. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Barru Kelas Kesesuaian Lahan
Luasan (ha)
Persentase (%)
Sesuai (S)
45.807
38,8
Tidak Sesuai (N)
72.366
61,2
118.173
100
Total Sumber: Hasil analisis tahun 2010
Faktor pembatas utama kelas kesesuaian lahan di Kabupaten Barru adalah kelerengan (i). Hal ini dikarenakan kondisi fisik wilayah Kabupaten Barru sebagian besar berada pada kelas lereng >8% dengan luas 89.859,49 ha atau sekitar 76,04% dari luas wilayah kabupaten. Faktor pembatas kelerengan sulit untuk diperbaiki dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Salah satu bentuk perbaikan yang dilakukan untuk mengatasi faktor lereng adalah dengan pembuatan terasering. Informasi mengenai lahan aktual dan lahan potensial yang sesuai untuk tananam padi sawah berdasarkan kondisi eksistingnya diperoleh dengan melakukan proses tumpang tindih antara peta kelas kesesuaian lahan tanaman padi sawah dan peta penutupan/penggunaan lahan. Hasil dari proses tersebut disajikan pada Tabel 17. Kelas kesesuaian lahan S sebagian besar memiliki penggunaan lahannya berupa sawah irigasi yaitu: seluas 12.950 ha atau 28,3%, kemudian penutupan lahan semak belukar seluas 8.995 ha atau 19,6%. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa luasan terbesar kelas kesesuaian lahan ada pada penggunaan lahan berupa sawah irigasi. Hal ini dimungkinkan karena berdasarkan kondisi riil di lapangan, lahan-lahan tersebut merupakan lahan sawah yang produktif dan telah digunakan untuk kegiatan budidaya tanaman padi dengan produktifitas yang cukup tinggi. Kelas kesesuaian lahan N sebagian besar memiliki penutupan/penggunaan lahan berupa hutan yaitu seluas 44.167 ha atau 61%. Kondisi ini disebabkan karena penutupan/penggunaan lahan hutan sebagian besar berada dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas, yang peruntukannya bukan untuk budidaya tanaman pertanian pangan.
56
Tabel 17. Kesesuaian Lahan berdasarkan Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Barru Penutupan/ Penggunaan Lahan Hutan
Kelas Kesesuaian Lahan (ha) S N (Sesuai) (Tidak Sesuai) 8.617 44.167
Jumlah (ha)
(%)
52.785
44,7
Semak/Belukar
8.995
16.141
25.135
21,3
Kebun/Perkebunan
1.898
1.067
2.965
2,5
Ladang/Tegalan
6.742
10.773
17.516
14,8
12.950
-
12.950
11,0
Sawah Tadah Hujan
1.544
104
1.648
1,4
Pemukiman
1.731
96
1.826
1,5
Tambak/Empang
2.885
13
2.898
2,5
Hutan Bakau
403
5
407
0,3
Pasir/Kerakal
42
0
42
0,0
45.807
72.366
118.173
100,0
38,8
61,2
100,0
Sawah Irigasi
Jumlah %
Sumber: Hasil analisis tahun 2010
Identifikasi Lahan Aktual dan Potensial untuk Tanaman Pangan (Padi Sawah) yang Dapat Diusulkan sebagai KP2B Identifikasi lahan aktual dan lahan potensial untuk tanaman pangan (padi sawah) yang dapat diusulkan sebagai KP2B dilakukan dengan melakukan proses tumpang tindih antara peta lahan aktual dan potensial untuk tanaman padi sawah dengan Areal Penggunaan Lain (APL) yang diekstrak dari peta paduserasi hutan Kabupaten Barru. Berdasarkan peta paduserasi hutan, Kabupaten Barru terbagi atas 3 kawasan, yaitu: hutan lindung, hutan produksi terbatas dan APL. Lahan-lahan yang berada pada APL dikategorikan sebagai lahan yang dapat dijadikan KP2B. Secara aktual kelas kesesuaian lahan yang berada pada areal penggunaan lain (APL) di Kabupaten Barru adalah: kelas kesesuaian lahan seluas 34.065 Ha atau 69% dari total luasan APL yang tersebar di 7 kecamatan yaitu: Kecamatan Mallusetasi, Soppeng Riaja, Balusu, Barru,Tanete Rilau, Tanete Riaja dan Pujananting. Kelas kesesuaian lahan N seluas 15.274 ha atau 31% dari total luasan yang tersebar di seluruh kecamatan.
57
Kelas kesesuaian lahan S yang memiliki luasan terbesar terletak di Kecamatan Barru dengan luas sebesar 9.627 ha, kemudian kecamatan Tanete Riaja seluas 5.668 ha. Sementara kelas kesesuaian lahan N terbesar terletak di Kecamatan Pujananting seluas 4.370 ha, kemudian Kecamatan Tanete Riaja dengan luas sebesar 3.870 ha seperti disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Kesesuaian Lahan Berdasarkan Kecamatan pada APL di Kabupaten Barru Kesesuaian Lahan (ha) Kecamatan
Jumlah (ha)
S (Sesuai) 3.770
N (Tidak Sesuai) 2.029
Soppeng Riaja
4.475
1.140
5.615
Balusu
4.395
946
5.341
Barru
9.627
2.117
9.627
Tanete Rilau
4.806
802
5.608
Tanete Riaja
5.668
3.870
9.537
Pujananting
3.441
4.370
7.811
34.065
15.274
49.339
Mallusetasi
Jumlah
5.779
Sumber: Hasil analisis tahun 2010
Penutupan/penggunaan lahan yang mendominasi tutupan lahan pada APL berupa sawah irigasi dengan luas sebesar 12.418 ha atau 25,2%. Selanjutnya semak/belukar seluas 11.141 ha atau 22,6% dan ladang/tegalan seluas 9.760 ha atau 19,8% seperti disajikan pada Tabel 19. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa penggunaan lahan pertanian berupa sawah irigasi mendominasi penggunaan lahan pada APL. Bila ditinjau dari aspek peruntukan kawasan, ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan di Kabupaten Barru telah sesuai dengan arahan penggunaan lahan karena APL merupakan
kawasan
budidaya
yang
berdasarkan
kondisi
dan
potensi
sumberdaya yang ada dapat dilakukan kegiatan/aktifitas budidaya diatasnya. Perhitungan
luas
pada
kelas
kesesuaian
lahan
berdasarkan
penutupan/penggunaan lahan pada APL memasukkan kelas penutupan/ penggunaan lain (badan air dan jalan). Hal ini untuk menghindari perbedaan hasil perhitungan antara kelas kesesuaian lahan berdasarkan kecamatan pada APL dengan kelas kesesuaian lahan berdasarkan penutupan/penggunaan lahan pada
58
APL.
Perbedaan
perhitungan
dapat
terjadi
karena
perhitungan
luasan
berdasarkan kecamatan tetap memperhitungkan penutupan/penggunaan lain (badan air), sedangkan hasil analisis untuk klasifikasi penutupan/penggunaan lahan eksisting sejak awal tidak memperhitungkan penutupan/penggunaan lain (badan air). Tabel 19.Kesesuaian Lahan Berdasarkan Penutupan/Penggunaan Lahan pada APL di Kabupaten Barru Penutupan/ Penggunaan Lahan
Kesesuaian Lahan (ha) S (Sesuai)
N (Tidak Sesuai)
Jumlah (ha)
(%)
Hutan
1.937
4.595
6.532
13,2
Semak/Belukar
5.779
5.362
11.141
22,6
Kebun/Perkebunan
1.612
599
2.211
4,5
Ladang/Tegalan
5.291
4.469
9.760
19,8
12.418
-
12.418
25,2
Sawah Tadah Hujan
1.516
73
1.588
3,2
Pemukiman
1.720
91
1.810
3,7
Tambak/Empang
2.878
13
2.892
5,9
Hutan Bakau
367
5
372
0,8
Pasir/Kerakal
41
0
41
0,1
506
68
574
1,2
34.065
15.274
49.339
100
69
31
100
Sawah Irigasi
Penggunaan Lain Jumlah (%)
Sumber: Hasil analisis tahun 2010
Penutupan/penggunaan lahan berupa sawah irigasi dan sawah tadah hujan pada penelitian ini dikategorikan sebagai lahan aktual (Gambar 12), dengan pertimbangan saat ini lahan-lahan tersebut telah digunakan untuk kegiatan pertanian pangan khususnya padi sawah
59
Gambar 12. Sawah Irigasi yang Dikategorikan Sebagai Lahan Aktual Identifikasi lahan aktual diharapkan nantinya dapat diusulkan sebagai LP2B. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pasal 22, Lahan yang dapat ditetapkan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan harus memenuhi kriteria : a. Berada pada kesatuan hamparan lahan yang mendukung produktivitas dan efisiensi produksi; b. Memiliki potensi teknis dan kesesuaian lahan yang sangat sesuai, sesuai, atau agak sesuai untuk peruntukan pertanian pangan; c. Didukung infrastruktur dasar; dan/atau d. Telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan. Persyaratan tersebut menjadi acuan dalam penentuan lahan aktual yang diusulkan P2KB, diantaranya: (a) Lahan tersebut telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan, (b) Lahan yang memiliki kelas kesesuaian lahan S sedangkan lahan dengan kelas kesesuaian N tidak diperhitungkan, serta (c) Lahan-lahan tersebut berada di daerah APL. Dari hasil analisis berdasarkan kriteria tersebut, diketahui bahwa potensi lahan aktual terluas terletak di Kecamatan Barru dengan luas 3.679 ha atau 26,3% dari total luas lahan aktual, sedangkan luasan lahan aktual terkecil berada
60
di Kecamatan Pujananting dengan luas sebesar 907 ha atau 6,5% dari total luas lahan aktual. Selengkapnya disajikan pada Gambar 13 dan Tabel 20.
Gambar 13. Diagram Persentase (%) Lahan Aktual Kabupaten Barru Kondisi
penutupan/penggunaan
lahan
berupa
semak/belukar,
kebun/perkebunan, ladang/tegalan dan hutan pada penelitian ini dikategorikan sebagai lahan potensial untuk tanaman padi sawah, dengan pertimbangan jika dimasa akan datang lahan pertanian pangan mengalami degradasi akibat alih fungsi lahan atau penyebab lainnya, maka lahan-lahan tersebut dapat dialihfungsikan menjadi areal pertanian pangan (sawah). Meskipun untuk menciptakan kondisi lahan yang layak untuk diusahakan kegiatan pertanian pangan memerlukan biaya yang besar (Gambar 14). Identifikasi lahan potensial diharapkan nantinya dapat diusulkan sebagai LCP2B. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pasal 30, Lahan yang dapat ditetapkan menjadi Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan harus memenuhi kriteria : a. Berada pada kesatuan hamparan lahan yang mendukung produktivitas dan efisiensi produksi; b. Memiliki potensi teknis dan kesesuaian lahan yang sangat sesuai, sesuai, atau agak sesuai untuk peruntukan pertanian pangan; dan/atau c. Didukung infrastruktur dasar
61
Gambar 14. Semak/Belukar yang Dikategorikan Sebagai Lahan Potensial Persyaratan tersebut menjadi acuan dalam penentuan lahan potensial yang dapat diusulkan sebagai P2KB, diantaranya: (a) Lahan tersebut memiliki kondisi penutupan/penggunaan lahan berupa semak/belukar, kebun/perkebunan, ladang/tegalan dan hutan yang penggunaannya saat ini berupa non hutan, (b) Lahan dengan kelas kesesuaian lahan S sedangkan lahan dengan kelas kesesuaian N tidak diperhitungkan, serta (c) Lahan-lahan tersebut berada di daerah APL karena merupakan kawasan budidaya. Sementara lahan yang berada di hutan lindung dan hutan produksi terbatas dianggap tidak memenuhi syarat karena merupakan kawasan lindung dan kawasan penyangga. Dari hasil pengolahan data, dapat diketahui bahwa ketersediaan lahan potensial di Kabupaten Barru masih besar. Potensi lahan potensial terbesar berada di Kecamatan Tanete Riaja dengan luas sebesar 2.997 ha atau 20,5% dari total luasan lahan potensial. Luasan lahan potensial terkecil berada di Kecamatan Balusu dengan luas sebesar 1.287 ha atau 8,8% dari total luasan lahan potensial (Tabel 20 dan Gambar 15).
62
Gambar 15. Diagram Persentase (%) Lahan Potensial Kabupaten Barru
Tabel 20. Luas Lahan Aktual dan Lahan Potensial KP2B berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Barru Status Lahan pada KP2B (ha) Kecamatan
Lahan Potensial
Lahan Aktual
Jumlah (ha)
Mallusetasi
1.626
1.571
3.197
Soppeng Riaja
1.582
1.752
3.334
Balusu
1.951
1.287
3.238
Barru
3.679
2.575
6.254
Tanete Rilau
1.849
1.957
3.806
Tanete Riaja
2.412
2.997
5.409
907
2.480
3.387
14.006
14.619
28.626
Pujananting Jumlah Sumber: Hasil analisis tahun 2010
Penutupan/penggunaan
lahan
berupa
semak/belukar,
kebun
dan
ladang/tegalan dapat dikonversi menjadi sawah melalui pencetakan sawah baru, walau dalam pelaksanaannya memerlukan kajian lebih jauh untuk mengetahui faktor
pembatas
utama.
Pencetakan
sawah
baru
pada
lahan
berupa
semak/belukar, kebun dan ladang/tegalan memerlukan kajian yang lebih dalam dan komprehensif baik dari kondisi fisik lahan maupun secara finansial.
63
Perlu dilakukan survey lapang untuk mengetahui secara detail sifat fisik dan kimia tanah pada tiap unit lahan. Hasil survey tersebut akan memberikan informasi tentang faktor-faktor pembatas pada setiap unit lahan, sehingga dapat diketahui besaran biaya yang dibutuhkan. Hal ini diperlukan karena jangan sampai biaya yang dikeluarkan untuk biaya produksi tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Informasi-informasi tersebut akan menjadi pertimbangan dalam melakukan perencanaan terhadap lahan-lahan yang akan diusulkan sebagai KP2B. Setelah dilakukan proses analisis tumpang tindih antara beberapa peta diantaranya: peta penutupan dan penggunaan lahan, peta kesesuaian lahan, peta administrasi dan peta paduserasi maka dapat diketahui potensi lahan aktual dan lahan potensial di Kabupaten Barru. Dari hasil pengolahan data spasial terlihat bahwa dari 7 wilayah kecamatan di Kabupaten Barru, semua wilayah kecamatan memiliki lahan aktual dan potensial yang mungkinkan untuk diusulkan sebagai KP2B yaitu: Kecamatan Mallusetasi, Soppeng Riaja, Balusu, Barru, Tanete Riaja, Tanete Rilau dan Pujananting. Sebaran lahan aktual dan lahan potensial yang dapat diusulkan sebagai KP2B di Kabupaten Barru secara spasial dapat dilihat pada Gambar 16. Untuk Kecamatan Pujananting, perlu pertimbangan yang lebih mendalam karena memiliki luas lahan aktual yang paling kecil yaitu sebesar 907 ha atau hanya 6,5% dari seluruh luasan lahan aktual yang ada. Lahan aktual dan lahan potensial yang terdapat di kecamatan tersebut tersebar dalam luasan yang kecilkecil dan terfragmentasi (spatial fragmented) dibandingkan dengan 6 kecamatan lainnya (Gambar 17), sehingga dari aspek efisiensi dan optimasi, lahan-lahan tersebut tidak efektif untuk dijadikan KP2B. Sebagai tambahan, secara geografis sebagian besar wilayah Kecamatan Pujananting memiliki tingkat kelerengan bergelombang hingga curam. Dari luas wilayah Kecamatan Pujananting sekitar 31.426 Ha, hampir 80% diantaranya memiliki tingkat kelerengan diatas 8%.
64
Gambar 16. Peta Lahan Aktual dan Potensial untuk KP2B
65
Gambar 17. Kondisi Lahan Aktual di Kecamatan Pujananting
Identifikasi Lahan Pertanian Pangan untuk Diusulkan Sebagai KP2B Berdasarkan Infrastruktur Pendukung Pertanian
Identifkasi lahan aktual dan lahan potensial yang akan diusulkan sebagai KP2B berdasarkan infrastruktur pendukung pertanian, membutuhkan data dan informasi berupa jaringan infrastruktur jalan dan irigasi. Karena ketiadaan informasi spasial untuk jaringan irigasi , tahapan analisis ini hanya menggunakan informasi jaringan infrastruktur jalan yang di tumpang tindih dengan peta lahan aktual dan lahan potensial untuk KP2B. Tahapan ini akan menghasilkan peta lahan aktual dan potensial untuk KP2B berdasarkan jaringan infrastruktur jalan. Hasil analisis secara spasial disajikan pada Gambar 18. Jalan usahatani merupakan salah satu faktor pendukung peningkatan pertanian. Jalan tersebut diperlukan untuk pengangkutan (transportasi) sarana produksi pertanian seperti benih, pupuk, pertisida serta mesin dan peralatan pertanian. Hasil produksi pertanian juga seringkali harus diangkut untuk proses lebih lanjut agar kerusakan ataupun kehilangan hasil dapat ditekan. Jalan usaha tani juga digunakan untuk melaksanakan operasi dan pemeliharaan fasilitas irigasi dan drainase.
66
Gambar 18. Peta Lahan Aktual dan Lahan Potensial untuk KP2B Berdasarkan Jaringan Infrastruktur Pendukung Pertanian Berupa Jalan
67
Jalan usahatani dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: (1) Jalan utama (main farm road), yaitu jalan yang menghubungkan antara pemukiman atau pusat fasilitas pertanian dengan lahan pertanian, blok lahan dengan blok lahan lainnya ataupun jalan raya dengan blok lahan, (2) jalan cabang (branch farm road), yaitu yang menghubungkan antara petak lahan dengan jalan utama, (3) jalan kecil (small farm road), yaitu jalan kecil di batas petakan untuk kepentingan khusus seperti pemberantasan hama, pemupukan dan sebagainya (Sapei, 2009). Informasi jaringan jalan dibutuhkan untuk melihat tingkat aksesibilitas lahan aktual dan lahan potensial terhadap pemukiman, industri pengolahan hasil pertanian, sarana produksi pertanian dan sarana dan prasarana lainnya. Dengan adanya jaringan jalan diharapkan dapat meminimalkan jarak dan waktu tempuh sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Lahan yang memiliki akses jalan akan menjadi areal-areal prioritas utama untuk diusulkan sebagai KP2B. Kondisi riil di lapangan terkait dengan ketersediaan jaringan infrastruktur pendukung pertanian disajikan pada Gambar 19 dan Gambar 20. Sebagian besar area yang akan diusulkan sebagai KP2B memiliki jaringan jalan. Lahan aktual dan lahan potensial yang akan dijadikan sebagai KP2B tersebut menjadi sebuah kesatuan wilayah yang dihubungkan oleh adanya jaringan jalan.
Gambar 19. Kondisi Jaringan Irigasi dan Jalan di Kecamatan Mallusetasi
68
Jaringan irigasi adalah saluran dan bangunan yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian, dan penggunaannya. Jaringan irigasi terdiri dari 2 tingkat yaitu: (a) jaringan irigasi utama meliputi waduk atau bendungan, saluran primer, saluran sekunder dan saluran tersier sampai 50 meter dari pintu sadap tersier atau boks bagi tersier, (b) jaringan irigasi usahatani, yaitu jaringan setelah 50 meter dari pintu sadap tersier atau boks bagi tersier (Sapei, 2009). Jaringan irigasi merupakan salah satu infrastruktur penunjang utama kegiatan pertanian khususnya pertanian pangan. Jaringan irigasi berfungsi sebagai prasarana untuk
meningkatkan produktivitas lahan baik
untuk
meningkatkan pdoduktivitas per hektar maupun untuk meningkatkan intensitas panen. Data dan informasi jaringan irigasi sangat dibutuhkan untuk mengetahui tingkat ketersediaan sumberdaya air terhadap lahan aktual dan lahan potensial yang akan diusulkan sebagai KP2B.
Gambar 20. Waduk LanraE yang Mengairi Sekitar 810 ha Sawah
Salah satu kekurangan dari analisis yang dilakukan dalam penelitian karena tidak mempertimbangkan jaringan irigasi, sehingga tidak dapat mengidentifikasi dan merencanakan secara tepat, lahan-lahan yang dapat dioptimalisasi dengan adanya jaringan irigasi. Sebagai informasi pelengkap,
69
digunakan data/peta sungai yang diharapkan dapat memberi informasi tentang ketersediaan sumberdaya air di Kabupaten Barru. Informasi/peta sungai diharapkan dapat membantu perencanaan pembangunan jaringan irigasi baik teknis maupun sederhana dapat dilakukan dalam rangka peningkatan produksi hasil pertanian tanaman pangan khususnya padi sawah.
Deliniasi Hamparan KP2B Berdasarkan Pertimbangan Wilayah Administrasi, Kontiguitas Spasial dan Luas Hamparan Maksimal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009, KP2B merupakan wilayah budidaya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan/atau hamparan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Penetapan KP2B
menjadi dasar dari penyusunan zonasi dalam
rencana tata ruang suatu wilayah kabupaten dan merupakan bagian dari penetapan rencana tata ruang kawasan perdesaan di wilayah kabupaten. Usulan KP2B bukan hanya berisi lahan aktual dan lahan potensial, tetapi juga terdiri dari pemukiman petani, prasarana dan sarana penunjang pertanian seperti: jaringan irigasi, jaringan jalan, bendungan, embung, industri pengolahan hasil pertanian dan sebagainya. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa Kabupaten Barru memiliki potensi lahan aktual dan lahan potensial baik dari ketersediaan maupun kesesuaiannya. Ketersediaan lahan aktual seluas 14.006 ha dengan penutupan lahan berupa sawah irigasi dan sawah tadah hujan, sedangkan ketersediaan lahan potensial seluas 14.619 ha terdiri dari penutupan lahan berupa semak/belukar, ketersediaan
ladang/tegalan, lahan
aktual
hutan dan
dan lahan
kebun/perkebunan. potensial
Matriks
berdasarkan
penutupan/penggunaan lahan pada masing-masing kecamatan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 menunjukkan bahwa pengusulan rencana KP2B di Kabupaten Barru masih memiliki peluang yang sangat besar. Dari segi letak dan sebaran, lahan aktual dan lahan potensial sebagian besar berada dalam kesatuan hamparan yang luas kompak, serta bersifat bersebelahan secara kontinyu dan sebagai suatu kesatuan. Kontiguitas spasial dari lahan-lahan tersebut terbentang
70
di sepanjang wilayah kabupaten baik di wilayah pesisir maupun di daerah dataran tinggi. Lahan-lahan yang berada dalam kesatuan hamparan yang luas tersebut, nantinya merupakan lahan-lahan yang akan dideliniasi secara visual berdasarkan skenario-skenario yang telah ditetapkan untuk menjadi
KP2B.
Selain bentang lahan yang berkesinambungan secara spasial, terdapat pula lahan-lahan
yang
tersebar
dalam
kelompok-kelompok
yang
kecil
dan
terfragmentasi.
Tabel 21. Matriks Ketersediaan Lahan Aktual dan Lahan Potensial untuk KP2B Berdasarkan Penutupan/Penggunaan Lahan Uraian KEC. BALUSU
Lahan Aktual (ha)
Lahan Potensial (ha)
Total (ha)
1.951
1.287
3.238
Hutan
-
358
358
Kebun/Perkebunan
-
44
44
Semak/Belukar
-
396
396
Ladang/Tegalan
-
489
489
1.753
-
1.753
198
-
198
3.679
2.575
6.254
Hutan
-
307
307
Kebun/Perkebunan
-
474
474
Semak/Belukar
-
841
841
Ladang/Tegalan
-
953
953
2.787
-
2.787
892
-
892
1.626
1.571
3.197
Hutan
-
166
166
Kebun/Perkebunan
-
84
84
Semak/Belukar
-
784
784
Ladang/Tegalan
-
537
537
1.626
-
1.626
-
-
-
Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan KEC. BARRU
Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan KEC. MALLUSETASI
Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan
71
Tabel 21. (lanjutan) Uraian
Lahan Aktual (Ha)
KEC. PUJANANTING
Lahan Potensial (Ha)
Total (Ha)
907
2.480
3.387
Hutan
-
379
379
Kebun/Perkebunan
-
296
296
Semak/Belukar
-
826
826
Ladang/Tegalan
-
979
979
Sawah Irigasi
418
-
418
Sawah Tadah Hujan
490
-
490
1.582
1.752
3.334
Hutan
-
196
196
Kebun/Perkebunan
-
138
138
Semak/Belukar
-
802
802
1.580
615 -
615 1.580
2
-
2
2.412
2.997
5.409
Hutan
-
514
514
Kebun/Perkebunan
-
167
167
Semak/Belukar
-
1.049
1.049
Ladang/Tegalan
-
1.267
1.267
2.405
-
2.405
7
-
7
1.849
1.957
3.806
Hutan
-
17
17
Kebun/Perkebunan
-
409
409
Semak/Belukar
-
1.081
1.081
Ladang/Tegalan
-
450
450
1.849
-
1.849
-
-
-
KEC. SOPPENG RIAJA
Ladang/Tegalan Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan KEC. TANETE RIAJA
Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan KEC. TANETE RILAU
Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan TOTAL
14.006
14.619
28.626
Sumber: Hasil analisis tahun 2010
Menurut Peraturan Pemerintah RI No.1 tahun 2011 tentang penetapan dan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan pasal 8, menyatakan bahwa kawasan yang dapat ditetapkan menjadi KP2B salah satunya adalah memiliki hamparan lahan dengan luasan tertentu sebagai lahan pertanian pangan
72
berkelanjutan dan/atau lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan. Berdasarkan kriteria tersebut maka sebelum mendeliniasi usulan kawasan berdasarkan ketiga skenario yang telah ditetapkan, terlebih dahulu dilakukan deliniasi awal (penapisan) terhadap lahan-lahan yang tidak berada dalam satuan hamparan (terfragmentasi). Luas lahan aktual dan potensial yang tersedia di Kabupaten Barru sebesar 28.626 ha. Namun setelah penapisan mengalami pengurangan sebesar 7.340 ha, menjadi seluas 21.286 ha. Hal ini dikarenakan lahan aktual dan lahan potensial yang tidak berada dalam satuan hamparan yang luas dan cenderung terfragmentasi, diabaikan dan tidak diperhitungkan pasa saat pendeliniasian skenario kawasan. Lahan aktual dan lahan potensial yang bersifat tersebar akan menyulitkan pengelolaan dan mengakibatkan inefisiensi waktu dan biaya. Metode identifikasi terhadap hamparan KP2B pada penelitian ini dilakukan dengan mendeliniasi secara visual dengan skenario sebagai berikut: a. Skenario 1 : berdasarkan administrasi wilayah kecamatan. b. Skenario 2 : berdasarkan kontiguitas spasial. c. Skenario 3 : berdasarkan luas hamparan maksimal. Ketiga skenario yang digunakan memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik tersebut menjadi kelebihan dan kekurangan dari masing-masing skenario, sehingga
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil
keputusan dalam menentukan kawasan yang akan ditetapkan sebagai KP2B. Karakteristik dari masing-masing skenario, disajikan pada Tabel 22. Salah satu perbedaan mendasar dari klasifikasi spasial dengan klasifikasi pada umumnya adalah aspek kontiguitas spasial. Sifat kontiguitas spasial memiliki pengertian bahwa tiap-tiap wilayah yang didefinisikan satu sama lainnya cenderung bersifat bersebelahan secara kontinyu sehingga secara agregat menjadi suatu kesatuan yang kontigus atau saling mempengaruhi. Kontiguitas merupakan karakter yang melekat dari wilayah karena pada dasarnya tidak ada wilayah yang bersifat bebas atau independen, terbebas dari pengaruh wilayah lainnya. Didalam proses pewilayahan, kesatuan atau kesinambungan hamparan adalah sangat dikehendaki. Wilayah-wilayah yang berkesinambungan secara spasial akan mempermudah pengelolaan, sebaliknya wilayah-wilayah yang terfragmentasi akan menciptakan berbagai bentuk inefisiensi (Rustiadi et al., 2009).
73
Skenario 1: Berdasarkan Administrasi Wilayah Kecamatan Deliniasi usulan KP2B berdasarkan batas administrasi wilayah kecamatan dilakukan dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan administrasi pemerintahan dan pelayanan masyarakat di Indonesia sebagaian besar berada di kecamatan. Hal lain yang menjadi pertimbangan dalam pengusulan kawasan berdasarkan batas
administrasi
kecamatan
adalah
untuk
memudahkan
koordinasi
pengelolaan KP2B. Penentuan
usulan
KP2B
berdasarkan
skenario
ini,
lebih
mudah
dibandingkan dengan 2 skenario lain. Ini dikarenakan batas setiap kawasan lebih jelas, karena dideliniasi berdasarkan batas administrasi sehingga memudahkan proses deliniasi kawasan. Deliniasi usulan KP2B berdasarkan skenario 1, memunculkan 7 usulan kawasan. Kecamatan Mallusetasi memiliki 1 kawasan dengan luasan sekitar 1.992 ha. Kecamatan Soppeng Riaja memiliki 1 kawasan dengan luasan sekitar 3.045 ha. Kecamatan Balusu memiliki 1 kawasan dengan luasan sekitar 2.767 ha. Kecamatan Barru memiliki 2 kawasan masing-masing seluas 2.112 ha dan 3.603 ha. Kecamatan Tanete Rilau memiliki 1 kawasan seluas 3.749 ha dan Kecamatan Tanete Riaja memiliki 1 kawasan dengan luasan sekitar 4.019 ha. Hasil analisis secara spasial disajikan pada Gambar 21. Sebaran usulan kawasan berada hampir di semua wilayah kecamatan, kecuali Kecamatan Pujananting. Lahan aktual dan lahan potensial yang berada di wilayah Kecamatan Pujananting cenderung terfragmentasi, sehingga lahan tersebut tidak dijadikan KP2B. Usulan KP2B terbesar adalah di Kecamatan Tanete Riaja dan yang terkecil di Kecamatan Mallusetasi. Usulan
kawasan
berdasarkan
skenario
ini
akan
mempermudah
pengelolaan KP2B. Ini dikarenakan kawasan berada dalam satu administrasi kecamatan, sehingga pengelolaan dapat didelegasikan dan menjadi tanggung jawab masing-masing camat, dibawah koordinasi instansi yang berwenang terhadap KP2B. Usulan kawasan lebih mudah diaplikasikan di lapangan karena berada dalam 1 wilayah kecamatan. Perencanaan terhadap kawasan dapat lebih detail dan terfokus karena luasan hamparan yang lebih kecil (dibandingkan dengan skenario 2 dan 3). Masalah dan kendala yang muncul, akan lebih mudah untuk diselesaikan karena tidak terlalu melibatkan banyak pihak dan kepentingan.
74
Skenario 2: Berdasarkan Kontiguitas Spasial Deliniasi usulan KP2B berdasarkan kontiguitas spasial dilakukan dengan pertimbangan bahwa lahan-lahan yang bersifat bersebelahan secara kontinyu akan mengefektifkan pengelolaan karena satuan-satuan lahan akan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Lahan-lahan yang berkesinambungan secara spasial juga cenderung bersifat kompak. Penentuan usulan KP2B berdasarkan skenario ini dilakukan secara visual dengan
melihat
hamparan
lahan
aktual
yang
bersifat
kontigus
dan
memungkinkan untuk berada dalam satuan pengelolaan dengan melihat akses jalan pada kawasan tersebut. Salah satu penciri dari skenario ini adalah karakteristik wilayah dari masing-masing kawasan. Kawasan I dan II berada di daerah pesisir, sedangkan kawasan III berada di daerah dataran tinggi. Deliniasi usulan KP2B berdasarkan skenario ini, memunculkan 3 usulan kawasan. Kawasan I berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Barru dan Tanete Rilau dengan luas sebesar 7.194 ha. Kawasan II berada dalam wilayah adminstrasi Kecamatan Mallusetasi, Soppeng Riaja dan Balusu dengan luasan sekitar 7.390 ha. Kawasan III meliputi wilayah adminstrasi Kecamatan Barru, Tanete Rilau dan Tanete Riaja dengan luasan sekitar 6.702 ha. Hasil analisis secara spasial disajikan pada Gambar 22. Walaupun kawasan yang diusulkan sebagai KP2B pada skenario ini tidak berada
dalam
1
administrasi
kecamatan,
tetapi
usulan
kawasan
ini
memungkinkan untuk diaplikasikan karena memiliki luasan sedang ( lebih besar dibandingkan kawasan pada skenario 1 dan lebih kecil dibandingkan luas kawasan pada skenario 3. Skenario 3: Berdasarkan Luas Hamparan Maksimal Deliniasi usulan KP2B berdasarkan luas hamparan maksimal dilakukan dengan tujuan untuk mengelompokkan secara umum, lahan-lahan yang homogen berdasarkan karakteristik wilayah dan berkesinambungan secara spasial. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka lahan yang diusulkan sebagai KP2B hanya terbagi dalam 2 kelompok besar yaitu: kawasan yang berada sepanjang pesisir dan di daerah dataran tinggi. Deliniasi
usulan
KP2B
berdasarkan
luasan
hamparan
maksimal,
memunculkan 2 usulan kawasan. Kawasan I yang berada disepanjang dataran pesisir, berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Mallusetasi, Soppeng
75
Riaja, Balusu, Barru, Tanete Rilau dan Tanete Riaja memiliki luasan sekitar 14.218 ha. Kawasan II berada dalam wilayah adminstrasi Kecamatan Barru dan Tanete Riaja dengan luasan sekitar 7.068 ha. Usulan kawasan berdasarkan skenario ini akan sulit untuk dilaksanakan di lapangan karena luasan hamparan kawasan yang sangat luas. Hasil analisis secara spasial disajikan pada Gambar 23. Tabel 22. Matriks Karakteristik Kawasan untuk Setiap Skenario KP2B Karakteristik
Skenario 1 (batas administrasi kecamatan)
Jumlah dan Ada 7 KP2B luas I = 1.992 Ha kawasan II = 3.045 Ha III= 2.767 Ha IV= 2.112 Ha V = 3.603 Ha VI = 3.749 Ha VII= 4.019 Ha Total = 21.286 Ha
Skenario 2 (kontiguitas spasial)
Skenario 3 (luas hamparan maksimal)
Ada 3 KP2B I = 7.194 Ha II = 7.390 Ha III= 6.702Ha Total = 21.286 Ha
Ada 2 KP2B I = 14.218 Ha II = 7.068 Ha Total = 21.286 Ha
Pengelolaan
Pengelolaan kawasan dapat lebih maksimal dan terfokus karena berada dalam 1 wilayah administrasi kecamatan
Pengelolaan kawasan cukup sulit karena berada dalam 2 - 3 wilayah administrasi kecamatan, sehingga membutuhkan koordinasi yang baik antar wilayah kecamatan.
Pengelolaan kawasan paling sulit karena berada dalam 3 - 6 wilayah administrasi kecamatan, sehingga membutuhkan koordinasi yang baik antar wilayah kecamatan.
Kondisi Luasan Hamparan
Luasan hamparan kawasan dalam skala kecil.
Luasan hamparan kawasan lebih besar dibanding skenario 1
Luasan hamparan kawasannya paling luas dibanding 2 skenario lainnya.
Implementa si
Lebih mudah diaplikasikan karena kawasan berada dalam 1 wilayah administrasi kecamatan dengan luasan hamparan kawasan yang kecil
Memungkinkan untuk diaplikasikan karena hamparan kawasan tidak terlalu luas.
Sangat sulit untuk diaplikasikan karena hamparan kawasan yang sangat luas sehingga melibatkan berbagai pihak dan kepentingan.
76
Gambar 21. Peta Usulan KP2B Berdasarkan Skenario 1 (Batas Administrasi Wilayah Kecamatan)
77
Gambar 22. Peta Usulan KP2B Berdasarkan Skenario 2 (Kontiguitas Spasial)
78
Gambar 23. Peta Usulan KP2B Berdasarkan Skenario 3 (Luas Hamparan Maksimal)
79
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulkan sebagai berikut: 1.
Kabupaten Barru mempunyai areal dengan penggunaan lahan sawah yaitu, sawah irigasi seluas 12.950 ha dan sawah tadah hujan seluas 1.648 ha yang dapat
dijadikan
lahan
penutupan/penggunaan
lahan
aktual. berupa
Sementara hutan
areal
seluas
dengan
52.785
ha,
semak/belukar seluas 25.135 ha, ladang/tegalan seluas 17.515 ha dan kebun/perkebunan seluas 2.965 ha yang dapat dijadikan sebagai lahan potensial untuk tanaman padi sawah. Berdasarkan kelas kesesuaian lahannya, terdapat areal seluas 45.807 ha (38,8%) yang berada pada kelas kesesuaian S (Sesuai) dan dapat dikembangkan tanaman padi sawah, sedangkan lahan yang tidak sesuai untuk pengembangan padi sawah karena berada pada kelas kesesuaian N memiliki luasan sebesar 72.365,79 ha (61,24%). 2.
Dari luas lahan sebesar 45.807 ha yang sesuai untuk budidaya tanaman padi sawah, hanya sekitar 28.626 ha diantaranya yang berada pada APL dan dapat diusulkan KP2B.
3.
Potensi lahan yang dapat diusulkan sebagai KP2B tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Barru, dengan lahan aktual seluas 14.006 ha dan lahan potensial seluas 14.619 ha. Potensi lahan aktual terbesar di Kecamatan Barru dengan luas 3.679 ha, sedangkan lahan potensial terbesar terletak di Kecamatan Tanete Riaja dengan luas sebesar 2.997 ha.
4.
Hamparan lahan yang akan diusulkan sebagai KP2B dibedakan atas 3 skenario.
Skenario
1
(berdasarkan
batas
administrasi
kecamatan)
memunculkan 7 alternatif kawasan dengan luasan masing-masing adalah: kawasan I seluas 1.992 ha, kawasan II seluas 3.045 ha, kawasan III seluas 2.767 ha, kawasan IV seluas 2.112 ha, kawasan V seluas 3.603 ha, kawasan VI seluas 3.749 ha dan kawasan VII seluas 4.019 ha. Skenario 2 (berdasarkan kontiguitas spasial) memunculkan 3 alternatif kawasan dengan luasan masing-masing adalah: kawasan I seluas 7.194 ha, kawasan II seluas 7.390 ha dan kawasan III seluas 6.702 ha. Skenario 3 (berdasarkan
uas hamparan maksimum) memunculkan 2 alternatif kawasan, kawasan I seluas 14.218 ha dan kawasan II seluas 7.068 ha. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat disarankan: 1. Identifikasi KP2B pada penelitian ini dilakukan hanya berdasarkan pada kesesuaian lahan, status peruntukan lahan dan jaringan jalan. Dibutuhkan informasi yang lebih lengkap dan detail khususnya data/peta jaringan irigasi. Dengan adanya informasi jaringan irigasi, perencanaan terhadap KP2B yang akan diusulkan dapat lebih komprehensif. 2. Wilayah yang diusulkan sebagai
KP2B memerlukan survei lapangan
yang lebih detail, agar perencanaan kawasan lebih tepat dan terarah. Karena lahan-lahan yang terdapat di dalam KP2B memiliki kondisi fisik alamiah yang beragam dan membutuhkan penanganan yang berbeda. 3. Perencanaan KP2B, membutuhkan kelengkapan dan keseragaman data spasial dan tabular. Data tersebut dibutuhkan dalam proses perencanaan mulai dari tingkat kabupaten hingga tingkat nasional, karena tidak semua kabupaten/kota atau provinsi memiliki data/informasi yang dibutuhkan dalam melakukan perencanaan KP2B.
81
DAFTAR PUSTAKA Aronoff S. 1989. Geographic Information Systems : A Management Perspective. WDL Publications. Ottawa. BBSDLP. 2008. Policy Brief. Keragaan dan Ketersediaan Sumberdaya Lahan untuk Pembangunan Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Barru, 2008. Kabupaten Barru dalam Angka 2008. Barus B, Wiradisastra US. 2000. Sistem Informasi Geografis. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Carsjens GJ, Knaap WVD. 2002. Strategis Land Use Allocation : Dealing with Spasial Relationships and fragmentation of Agriculture. Landscape and Urban Planning 58 (2002) 171–179. Elsevier. Dahuri R. 1997. Aplikasi Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Perencanaan dan Pengelolaan Tata Ruang Wilayah Pesisir. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. PKSPL-IPB. Bogor. Dahuri R, Nugroho I. 2004. Pembangunan Wilayah : Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta. Danudoro P. 2006. Sains Informasi Geografis : dari Perolehan dan Analisis Citra Hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial. Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi. Universitas Gajahmada. Jogyakarta. Departemen Pertanian. 2006. Naskah Akademik Pengelolaan Lahan Pertanian Abadi. Departemen Pertanian. Jakarta. Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang di Indonesia: Tinjauan Teoritis Praktis. Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta. Djakapermana RD. 2010. Pengembangan Kesisteman. IPB Press. Bogor.
Wilayah
Melalui
Pendekatan
Djaenudin D, Marwan H, Subagjo H, Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Edisi ke-1. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Glasson J, Marshal T. 2007. Regional Planning: Concept Theory and Practice in the UK (The Natural and Built Environment Series). Routledge. New York Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Irianto SG. 2008. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dalam Perspektif kompetisi Pangan dan Energi. Proseding Seminar dan Lokakarya Nasional Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi pada tanggal 22-23 Desember 2008. Dilaksanakan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. Bogor. Krisnamurthi B. 2008. Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi. Proseding Seminar dan Lokakarya Nasional Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi pada tanggal 22-23 Desember 2008. Dilaksanakan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. Bogor. Lillesand MT, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Nelson, AC. 1992. Preserving Prime Farmland In The Face of Urbanization. Journal of The American Planning Association; Autumn 1992, Vol. 58 Issue 4, page 467, 22 page. Martono DN. 2008. Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh dan Uji Validasi untuk Deteksi Penyebaran Lahan Sawah dan Penggunaan/Penutupan Lahan. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi (SNATI 2008) pada tanggal 21 Juni 2008. Jogyakarta. Pasaribu B. 2007. Implikasi UU Lahan Pertanian Pangan Abadi Terhadap Ketahanan Pangan Nasional. Proseding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian pada tanggal 7-8 November 2007. Dilaksanakan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Departemen Pertanian RI. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Departemen Pertanian. Jakarta Puntodewo A, Dewi S, Tarigan J. 2003. Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor. Ridwan. 2009. Pengetahuan Dasar Sistem Informasi Geografis (SIG). UN-FAO Avian Flu Programme Indonesia. Jakarta. Rustiadi E, Barus B, Selari M. 2010. Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Penataan Ruang. Makalah Seminar pada Semiloka Koordinasi Kebijakan Pengelolaan Dan Penyediaan Lahan Untuk Pertanian : Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada tanggal 14 April 2010. Dilaksanakan oleh menko perekonomian dan P4W-IPB. Bogor. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crespent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Rustiadi E, Wafda R. 2008. Urgensi Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Abadi dalam Perspektif Ketahanan Pangan. Di dalam: Sitanala A, Rustiadi 83
E, (Editor). Penyelamatan Tanah, Air dan Lingkungan. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sabiham S. 2008. Manajemen Sumberdaya Lahan dalam Usaha Pertanian Berkelanjutan. Di dalam: Sitanala A, Rustiadi E, (Editor). Penyelamatan Tanah, Air dan Lingkungan. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sitorus J, Purwandari, Darwini LE, Widyastuti R, Suharno. 2006. Kajian Model Deteksi Perubahan Penutup Lahan Menggunakan Data Inderaja untuk Aplikasi Perubahan Lahan sawah. Bidang Pengembangan Pemanfaatan Inderaja Pusbangja Lapan. Jakarta. Sitorus SRP. 2001. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Sitorus SRP. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Penerbit Tarsito. Bandung Sapei A. 2009. Infrastruktur Lahan Sawah Menuju Pertanian Berkelanjutan dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Di dalam : Sumardjo, Purbayanto A, Sutjahjo SH, Budiono A, Toharmat T, Muntasib EKSH, Mandang T, Hartana A, Sinaga BM, (Editor). Peranan IPTEKS dalam Pengelolaan Pangan, Energi, SDM dan Lingkungan yang Berkelanjutan. IPB Press. Bogor Sumardjo. 2009. Strategi Pemecahan Masalah Ketahanan Pangan dari Sisi Produksi dan Distribusi Pangan. Di dalam : Sumardjo, Purbayanto A, Sutjahjo SH, Budiono A, Toharmat T, Muntasib EKSH, Mandang T, Hartana A, Sinaga BM, (Editor). Peranan IPTEKS dalam Pengelolaan Pangan, Energi, SDM dan Lingkungan yang Berkelanjutan. IPB Press. Bogor Sumardjo, Chozin MA, Khomsan A. 2009. Transformasi Perencanaan Pembangunan Perdesaan dengan Beragam Tipologi. Di dalam : Chozin MA, Sumardjo, Poerwanto R, Purbayanto A, Khomsan A, Fauzi A, Toharmat T, Hardjanto, Suminar KB, (Editor). Pembangunan Perdesaan dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. IPB Press. Bogor. Suryana A. 2005. Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional. Makalah Seminar pada Simposium Nasional Ketahanan dan Keamanan Pangan pada Era Otonomi dan Globalisasi pada Tanggal 22 November 2005. Dilaksanakan oleh Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Tarigan R. 2008. Perencanaan Pembangunan Wilayah. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan.
84
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Padi Sawah (PPT 1983)
1 2
3
Parameter Kedalaman Efektif Kelas besar butir pada perakaran (0 - 30 cm)
Simbol
Kelas Kesesuaian S1
S2
S3
> 50cm
N1
s
> 75cm
s
Berliat, Berdebu halus, Berlemp ung halus
Batuan di Permukaan Tanah
s
< 5%
Kesuburan Tanah
n
Tinggi
Tinggi, Sedang
Tinggi, Sedang, Rendah
Tinggi, Sedang, Rendah, Sgt Rendah
Reaksi tanah lapisan atas (0 - 30 cm)
a
pH 5,5 7,4
pH 4,5 - 7,5
pH 4,0 - 8,0
pH 3,5 - 8,5
Toksisitas a.Kej. Al b.Kedalaman Pirit
e
< 80% > 100cm
< 80% 75cm
Lereng dan Keadaan Permukaan
t
Lereng < 3% dan 80% wilayah rata
Lereng < 3% dan 80% wilayah rata
Lereng < 5% dan 50% wilayah rata
Lereng < 8% dan 40% wilayah rata
Ketinggian Tempat (mdpl)
h
< 500 m
< 750 m
< 1000 m
< 1000 m
c
A1,A2,B 1,B2
A1,A2,B1,B2, B3
A1,A2,B1,B2,B3, C1,C2, C3
d
terhamb at
agak terhambat, terhambat
agak terhambat, terhambat, sangat terhambat
f
tanpa
kurang dari 2 bln dengan tanpa adanya genangan permanen (<1m)
kurang dari 7 bln dengan tanpa adanya genangan permanen (<1m)
kurang dari 7 bln dengan genangan permanen (0,5 1m)
x
< 1500
< 2500
< 2500
< 4000
Berliat, Berdebu halus, Berlempung halus
< 25%
> 25cm
> 10cm
Berliat, Berdebu halus dan kasar, Berlempung halus
Berliat, Berdebu halus dan kasar, Berpasir, Berlempung halus
< 50%
< 75%
4
5
6
7
8
9
10
11
12
N2
Zone Agroklimat (Oldemen) Kelas Drainase
Banjir dan Genangan Musiman
Salinitas
>
< 80% 50cm
>
< 100% 25cm
>
A1,A2,B1,B2,B3, C1,C2,C3,D1,D2 ,D3 cepat,agak cepat,baik,agak terhambat,sanga t terhambat
Kriteria pada N1 dan yang lainnya
No.
Lampiran 2. Data Daerah Irigasi Teknis, Setengah Teknis dan Irigasi Desa di Kabupaten Barru Sampai Tahun 2008. NAMA NO
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
4
5
7
Teknis Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana
1938 2002 85/86 96/97 97/98 2004 2004 2006 75/76 2002
NEPO NEPO MALLAWA MANUBA MANUBA KUPA KUPA KUPA BOJO BOJO BARU
628
Teknis
1938
150 25 45 255 40 45 75 95 2718
Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana
2 KEC. M.TASI LANRAE BJG MTTIMBWWOE LAKALILI MANUBA ALAKKANG ARATENGNGE JILENGNGE BUAKA BOJO PUCCANRA KEC. SOP. RIAJA
3 1547 810 50 110 60 250 30 50 40 87 60 848
KIRU KIRU
12 13 14
BULU SIPITTO BEBBAE PACCEKKE KEC. BALUSU BAERA KAMIRI PADDUMPU WAE PUBBU KEC. BARRU
19
BATU BESSI
20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
TOMPO BATU LAPPA JEMPURENGE GALUNG PEJJENGE LA BULENG BARANGE PODDO ARATENGNGE PALAKKA JAMBAE GELLENGE BOLLIE ALEJJANG JARUME BIRUE KALOMPIE KEC.T RILAU
37
AROPPOE
38 39 40
MATAJANG SALOMONI WIRA WIRAE
87
DESA/KEL.
DAERAH IRIGASI
11
15 16 17 18
DIBG N TAHU N
LUAS AREA L (Ha)
STATUS DAERAH
LOKASI
BENDUN G
SKND R M'
TRSIE R M'
KET.
M'
PRIM ER M'
8
9
10
11
12
48 12 8 16,5 13 6 8 5 14 18
1240
19693 1115 1500 1300 695 440 675 200 1635 561
APBN DAU APBN PID PID DAU DAU DAU DAU DAU
SIDDO
48
3364
97/98 2002 2006
SIDDO AJAKKANG PACEKKE
6 7 12
1125 7 300 50 566
2002 2005 2002 97/98
KAMIRI KAMIRI KAMIRI BINUANG
10 10 8 9
280 198 520 300
DAU DAU DAU PID
7500
APBN
1200 515 284 770 300 960 700 211 250 1313 800 200 616 1400 1155 285 175
FMIS DAU DAU PID PID PID PID DAU DAU PID DAU PID DAU PID DAU DAU DAU
1000
PID
360 300
APBN DAU DAU
IRIGASI
Semi teknis Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana
1938
SEPEE
60
95/96 2002 2004 95/96 96/97 96/97 96/97 2002 2005 96/97 1999 94/95 2006 95/96 2002 2002 2005
TOMPO TOMPO TOMPO GALUNG GALUNG GALUNG GALUNG GALUNG GALUNG PALAKKA PALAKKA PALAKKA PALAKKA ANA BANUA ANA BANUA SIAWUNG GALUNG
13 10 15 12 9 10 13 9 12 14 25 13 8 6 7 8 8
226
Sederhana
75/76
1828 30 30
Teknis Sederhana Sederhana
2002 2004 2003
928 50 100 75 178 150 110 107 25 80 250 40 50 175 175 100 25 100 2194
SALURAN
TELLUMPANU A LALABATA LIPUKASI LIPUKASI
700 1000
2094
15 30 8 6
10378
7693
12064
1300 1500
APBN PID DAU DAU
NAMA NO
DAERAH IRIGASI
41
GARESSI KEC.T RIAJA
42
JALANRU
43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57
LUAS AREA L (Ha) 80 1622 350
STATUS DAERAH
DIBG N TAHU N
LOKASI DESA/KEL.
IRIGASI Sederhana Semi Teknis Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Desa Desa Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana Sederhana
BENDUN G M'
2006
GARESSI
13
1985
LOMPO RIAJA
60
WAE SAI 100 99/00 LOMPO RIAJA BUNNEE 60 96/97 KADING TABBI 70 93/94 KADING LIBURENG 100 98/99 LIBURENG WATU 100 2001 LIBURENG PACCIRO 100 2001 LIBURENG DAWALIAN 60 2001 LIBURENG PESSE 25 2003 LOMPO TNGH BUA 95 2002 MATIROWALIE LIMPO 50 2003 MATIROWALIE CINEKKO 125 2006 MATIROWALIE AMPELLE 157 98/99 HARAPAN LAJOANGIN 75 2003 HARAPAN MENRONG 80 2003 HARAPAN WANAWARU 75 2004 HARAPAN KEC. P.NANTING 2077 58 PANGI 53 Sederhana 96/97 JANGAN2 59 BETTE 65 Sederhana 98/99 JANGAN2 60 JEMPANGE 95 Sederhana 2-Jan JANGAN2 61 TANGNGASSOE 25 Sederhana 2002 JANGAN2 62 PALLUDDA 60 Sederhana 2002 PATTAPPA 63 SALOPURU 30 Desa 2002 PATTAPPA 64 WANAWARU 50 Desa 2005 PATTAPPA 65 PUNRANGA 254 Sederhana 97/98 PUJANANTING 66 BARANG 40 Sederhana 2002 PUJANANTING 67 JEMPULU 100 Sederhana 2002 PUJANANTING 68 ALEKALE 25 Desa 2002 PUJANANTING 69 KAMPUNG BARU 75 Sederhana 2002 PUJANANTING 70 MARE MARE 30 Sederhana 2005 PUJANANTING 71 PONBANRI 100 Sederhana 2006 PUJANANTING 72 PATALLASSANG 220 Sederhana 2000 GATTARENG 73 KELO 75 Sederhana 81/82 GATTARENG 74 LEMPANG 75 Sederhana 2-Jan GATTARENG 75 BENRONG 80 Sederhana 2005 GATTARENG 76 MANYENGO 50 Sederhana 2006 GATTARENG 77 AMERRUNG I 80 Sederhana 2003 BACU BACU 78 AMERRUNG II 40 Sederhana 2002 BACU BACU 79 JELATA 50 Sederhana 2006 BACU BACU 80 PANGGALUNGAN 100 Sederhana 2002 BULO BULO 81 LABAKA I 50 Sederhana 2002 BULO BULO 82 LABAKA II 75 Sederhana 2007 BULO BULO 83 ERE 40 Sederhana 2007 JANGAN2 84 BONTOREA 70 Sederhana 2007 JANGAN2 85 TAMPIRI 40 Sederhana 2008 BACU BACU 86 ULULAWAE 30 Sederhana 2008 JANGAN2 JUMLAH 11.261 Sumber : Dinas Penkerjaan Umum (PU) Kabupaten Barru, 2010.
21 15 8 60 17,5 12 30 8 6 7 5 5 13 24,5 16 6 6 7 8 6 6 5 8 8 8 9 8 9 7 5,7 20 6 12 6 6 8 7 13,2 5 13 6 6 5,5 1110,9
SALURAN PRIM ER M'
1050
825
SKND R M'
5020
1500
TRSIE R M'
KET.
400
DAU
300
APBN
2200 700 600 2000 620 1200 400 550 360 455 416 1950 760 660 200
FMIS PID PID FMIS DAU DAU DAU DAU DAU DAU DAU FMIS DAU DAU DAU
465 900 400 450 312 800 400 340 550 610 200 400 400 246 2000 660 675 1500 140 550 300 255 340 1370 347 222 222 675 725 10.073 39.655 91.804
88
PID FMIS DAU DAU DAU DAU DAU PID DAU DAU DAU DAU DAU DAU FMIS DAU DAU DAU DAU DAU DAU DAU DAU DAU DAU DAU DAU DAU DAU
Lampiran 3. Peta Kelas Lereng Kabupaten Barru
89
Lampiran 4. Peta Kedalaman Tanah Kabupaten Barru
90
Lampiran 5. Peta Drainase Kabupaten Barru
91
Lampiran 6. Peta Tekstur Tanah Kabupaten Barru
92
Lampiran 7. Peta Ketinggian Kabupaten Barru
93