KEBIJAKAN PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE TERPADU BERKELANJUTAN DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
AMRAN SARU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa disertasi saya dengan judul : Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan adalah benar – benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Bogor,
Maret 2007
Amran Saru C261040041
ABSTRAK AMRAN SARU. Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, CECEP KUSMANA, dan SETYO BUDI SUSILO. Pemanfaatan ekosistem mangrove oleh stakeholders di Kabupaten Barru berbasis pada kepentingan individu atau kelompok tertentu, seperti : areal perburuan beberapa jenis burung, penebangan hutan mangrove untuk bahan bangunan, konversi hutan mangrove menjadi areal budidaya tambak dan pemukiman, dan mengeksploitasi mangrove untuk dijadikan sebagai kayu bakar. Akibat dari kegiatan tersebut diduga menimbulkan konflik kepentingan dan kerusakan ekosistem yang tidak terkendali. Mengingat fungsi ekologi ekosistem mangrove dan stabilitas ekosistem pesisir, maka sangat diperlukan suatu penelitian tentang kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya di Kabupaten Barru. Kajian ilmiah tentang kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove sudah sering dilakukan jauh sebelum Instruksi Menteri Pertanian nomor 13 tahun 1975, tentang pembinaan kelestarian hutan mangrove. Namun kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang selama ini dilakukan masih bersifat parsial. Sedangkan kajian ini dirancang dengan mengadopsi dan meramu metode analisis yang bersifat komprehensif korelasional, seperti : analisis ekologi hutan mangrove, valuasi ekonomi pemanfaatan ekosistem mangrove, kesesuaian pemanfaatan lahan, analisis SWOT untuk strategi pemanfaatan, dan analisis prioritas dengan bantuan software MAHP untuk mendukung analisis tersebut di atas, dilakukan pengumpulan data primer seperti : aspek ekologi mangrove, parameter biofisik ekosistem mangrove, dan data sosial ekonomi, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara ekologi daya dukung dan stabilitas ekosistem mangrove masih cukup baik, ekosistem mangrove di sepanjang pantai dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan budidaya tambak, penangkapan ikan, eksploitasi kayu, konsevasi dan rehabilitasi, secara ekonomi manfaat langsung ekosistem mangrove sebesar Rp. 30.512.882. Selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian lahan pada setiap titik sampling dengan mangacu pada matriks kesesuian lahan yang baku, maka terdapat delapan bentuk kesesuaian pemanfaatan ekosistem mangrove, Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 jenis kegiatan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Barru, dengan skala prioritas dan persentase setiap alternatif, yaitu konservasi 23.79%, budidaya ikin/tambak 20.26%, wisata pantai 18.65%, pelabuhan 13.83%, industri 11.80% dan pemukiman 11.58%. Hasil analisis prioritas merekomendasikan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupate Barru sebagai berikut : (a) ekosistem mangrove pada setiap kecamatan di Kabupaten Barru ditetapkan sebagai kawasan konservasi temasuk rehabilitasi dan ekowisata, (b) pemanfaatan untuk pengembangan wisata pantai dapat dilakukan di Kecamatan Mallusetasi, Balusu dan Kecamatan Barru, (c) pemanfaatan ekosistem mangrove untuk budidaya ikan/tambak dapat dilakukan di semua kecamatan di Kabupaten Barru dengan model pengembangan tambak tumpang sari (silvofishery), (d) pengembangan dan pembangunan pelabuhan dapat dilakukan disekitar areal mangrove khususnya di Kecamatan Soppengriaja dan Kecamatan Barru, (e) pengembangan kawasan industri hatchery dapat dilakukan di belakang mangrove di Kecamatan Mallusetasi dan Kecamatan Balusu, dan (f) sedangkan untuk pengembangan pemukiman dapat dilakukan di Kecamatan Balusu dan Barru. Kata kunci : ekosistem mangrove, kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove, pembangunan terpadu berkelanjutan.
ABSTRACT AMRAN SARU. The Policy of Integrated Sustainable Utilization of Mangrove Ecosystem in Barru Regency, South Sulawesi. Under the supervision of FREDINAN YULIANDA, CECEP KUSMANA, and SETYO BUDI SUSILO.
The utilization of mangrove ecosystem by stakeholders in Barru Regency is based on individual or group interests, such as hunting birds, cutting mangrove trees for house construction, converting mangrove forest for aquaculture ponds and settlements, and exploiting mangrove for firewood. These activities have created conflict of interests and uncontrolled ecosystem destruction. Considering the ecological function of mangrove ecosystem and the stability of coastal ecosystem, it is highly crucial to conduct a research on policy analysis of integrated sustainable utilization of mangrove ecosystem, particularly in Barru Regency. Scientific assessment towards management and utilization policy of mangrove ecosystem has long been carried out prior to the enactment of the Agricultural Minister’s Instruction No. 13/1975 on managing sustainable mangrove forest. However, nowadays the management and utilization policies of mangrove ecosystem have only been done partially. This study is designed to adopt an analytical method that is correlative comprehensive, such as mangrove ecology analysis, economic valuation of mangrove utilization, land utilization suitability, SWOT analysis for developing a strategy for mangrove utilization, and priority analysis using MAHP software. In order to support the analysis, the study carried out a primary data collection on mangrove ecology, biophysical characteristics of mangrove ecosystem, and social economy, as well as a secondary data collection that taken from respective institutions. The study shows that the ecolo gical carrying capacity and stability of mangrove ecosystem are moderately good. Mangrove ecosystem along the coast has been utilized by the community for aquaculture, fishing, firewood, conservation, and rehabilitation. The economic valuation of direct utilization of mangrove ecosystem is Rp 30,512,882. The analysis of land suitability was carried out at each sampling site according to a standardized land suitability matrix, and resulted in eight types of suitability utilization of mangrove ecosystem. The study shows that there are six types of mangrove utilization in Barru Regency, in which each alternative has different priority scale and percentage, namely conservation 23.79%, fishery aquaculture 20.26%, coastal tourism 18.65%, seaport 13.83%, industry 11.80%, and settlements 11.58%. The results of the priority analysis recommend that the utilization of mangrove ecosystem in Barru Regency is as follows: (a) mangrove ecosystem in each sub-district of Barru Regency is designated for conservation area including rehabilitation and ecotourism; (b) coastal tourism can be developed in Mallusetasi, Balusu and Barru Sub-districts; (c) fishery aquaculture can be built in all subdistricts of Barru Regency using a silvofishery model; (d) development of seaport can be done in Soppengriaja and Barru Sub-districts; (e) development of a hatchery industrial area can be situated in Mallusetasi and Balusu Sub-districts; and (f) settlements can be developed in Balusu and Barru Sub-districts. Keywords : mangrove ecosystem, mangrove ecosystem utilization policy,integrated sustainable development.
Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
KEBIJAKAN PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE TERPADU BERKELANJUTAN DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
Amran Saru
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Disertasi : Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Nama : Amran Saru NIM : C261040041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Anggota
Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Sulistiono , M.Sc. Tanggal Ujian : 21 Maret 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, oleh karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai tugas akhir program doktor. Berbagai kendala dan hambatan yang penulis hadapi dalam upaya menyelesaikan karya ilmiah ini, mulai dari pencetusan ide yang dituangkan dalam bentuk sinopsis penelitian, prakolokium, penetapan judul oleh Komisi Akademik, sidang komisi, kolokium, prelim tertulis dan prelim lisan, pengambilan data lapangan, analisis data ekologi hutan mangrove, analisis data sosial, valuasi ekonomi ekosistem mangrove, analisis kesesuaian pemanfaatan lahan khususnya ekosistem mangrove, analisis penentuan kebijakan melalui analisis SWOT dan Analytical Hierarchy Process (software MAHP), hingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Kendala dan hambatan tersebut bisa teratasi berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh kanera itu penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang setulus – tulusnya dari lubuk hati yang paling dalam kepada : (1) Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. sebagai pembimbing ketua; Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. dan Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. masing – masing sebagai pembimbing anggota, yang banyak memberikan motivasi, saran, bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat terinspirasi untuk menyelisaikan karya ilmiah ini sebagaimana mestinya, (2) Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA beserta staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Dr. Ir. Unggul Aktani, M.Sc (wali akademik), dan Dr. Ir. Sugeng Budiharsono, MS. atas segala bantuan, upayah, arahan dan saran – sarannya untuk melengkapi tulisan ini, (3) Gubernur Sulawesi Selatan, bupati kepala daerah tingkat dua Kabupaten Barru dan bupati kepala daerah tingkat dua Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan beserta jajarannya, atas segala bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penelitian. Ucapan terima kasih terkhusus kepada isteri tercinta Ny. Ariani Amran, S.St, anakda tersayang Imam Amriadi AS dan Amaliah Amriani, kedua orang tua H. Saharuddin dan Hj. Maniara, serta saudara – saudaraku atas doa, kasih sayang, kesabaran dan pengorbanannya. Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT, memberikan balasan yang setimpal atas segala kebaikan yang mereka berikan dalam proses penyelesaian disertasi ini, semoga karya ilmiah ini bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri, maupun para pencinta dan pemerhati lingkungan, walaupun penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, itu karena keterbatasan penulis. Bogor,
Maret 2007
Amran Saru
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pinrang Sulawesi Selatan pada tanggal 24 September 1967 sebagai anak kedua dari pasangan H. Saharuddin dan Hj. Maniara. Tamat Sekolah Dasar (1981), Tamat Sekolah Menengah Pertama (1984), Tamat Sekolah Menengah Atas (1987) masing – masing di Kabupaten Pinrang. Sarjana Kelautan diraih dari Universitas Hasanuddin (1993), dan pendidikan Magister Ilmu Lingkungan Bidang Laut Dangkal dan Pantai diperoleh dari Pascasarjana Universitas Hasanuddin (2001). Diterima untuk melanjutkan Pendidikan Doktor Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan biaya BPPS – DIKTI tahun 2004, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan doktor tahun 2007. Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin sejak tahun 1995 sampai sekarang, tugas tambahan yang pernah dipercayakan kepada penulis antara lain : kepala unit kapal penelitian Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (1999 – 2003), pembina kemahasiswaan Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (2001 – 2004), dan anggota komisi disiplin Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (2002 – 2004). Penulis aktif sebagai peserta maupun pemateri dalam berbagai seminar lokal, nasional, dan internasional. Aktif menulis beberapa karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal terakreditasi nasional, khususnya dalam bidang Ekologi dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Selama mengikuti program doktor, penulis telah menyelesaikan karya ilmiah berjudul ”Analisis Ekosistem Mangrove dengan Pendekatan Model Ekologi di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan” yang telah disampaikan pada seminar nasional hasil – hasil penelitian di bidang perikanan dan kelautan di Universitas Brawijaya Malang pada tanggal 20 – 21 Pebruari 2006. Sebuah artikel dengan judul ”Stabilitas Ekosistem pada Berbagai Bentuk Pemanfaatan Mangrove dengan Indikator Makrozoobentos di Kabupaten Barru” akan diterbitkan pada Jurnal Torani edisi Desember 2006. Karya ilmiah tersebut di atas merupakan bagian dari data dalam disertasi ini yang ditulis secara terpisah. Penghargaan Indeks Prestasi Akademik 4.0 pada semester awal 2004/2005 dari Direktur Pascasarjana Institut Pertanian Bogor mencerminkan keseriusan penulis dalam mengikuti jenjang pendidikan doktor. Organisasi yang pernah dinahkodai, yaitu : wakil ketua Himpunan Mahasiswa dan Masyarakat Perintis Kemerdekaan IX Makassar (1991 – 1993), ketua I Ikatan Sarjana Kelautan Universitas Hasanuddin (1999 – 2001), ketua umum Ikatan Sarjana Kelautan Universitas Hasanuddin (2002 -2004), sejak terdaftar sebagai mahasiswa program doktor penulis menjadi Ketua II Forum Komunikasi Mahasiswa Asal Sulawesi Selatan (2005 – 2006).
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................
i
ABSTRACT....................................................................................................
ii
HAK CIPTA ...................................................................................................
iii
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
iv
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
v
PRAKATA......................................................................................................
vi
RIWAYAT HIDUP.........................................................................................
vii
DAFTAR ISI...................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL...........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xv
I. PENDAHULUAN ......................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ...........................................................................
4
1.3 Tujuan dan Manfaat ...........................................................................
7
1.4 Ruang Lingkup Penelitian..................................................................
8
1.5 Hipotesis .............................................................................................
9
II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................
11
2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove ........................................................
11
2.2 Komposisi Jenis Mangrove .................................................................
11
2.3 Zonasi Mangrove ................................................................................
12
2.4 Fungsi dan Manfaat Mangrove ...........................................................
13
2.5 Pengelolaan dan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove .........................
15
2.6 Penyebab Kerusakan Mangrove ..........................................................
15
2.7 Faktor – Faktor Lingkungan ...............................................................
16
2.8 Hubungan Sumberdaya Alam dan Pertumbuhan Ekonomi ................
16
2.9 Konsep pengukuran Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove .................
17
2.10 Perencanaan dan Pemanfaatan Wilayah Pesisir Secara Terpadu......
19
2.11 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Berkelanjutan ....................................................................................
20
2.12 Kebijakan Pemanfaatan Mangrove ...................................................
22
2.13 Analisis SWOT .................................................................................
26
2.14 Proses Hirarki Analisis (PHA) ..........................................................
26
2.15 Kerangka Pemikiran..........................................................................
30
III. METODOLOGI PENELITIAN ...............................................................
33
3.1 Waktu dan Tempat ..............................................................................
33
3.2 Penentuan Stasiun ...............................................................................
34
3.3 Pengambilan Data ...............................................................................
34
3.3.1 Pengambilan Data Mangrove ...........................................................
34
3.3.2 Pengambilan Data Biofisik ..............................................................
35
3.3.3 Pengambilan Data Sosial Ekonomi Masyarakat ..............................
35
3.4 Analisis Sampel ..................................................................................
37
3.5 Analisis Data .......................................................................................
37
3.5.1 Analisis Vegetasi Mangrove ............................................................
39
3.5.2 Analisis Organisme .........................................................................
40
3.5.3 Analisis Ekonomi ............................................................................
40
3.5.4 Kuantifikasi Seluruh Manfaat dan Fungsi ke dalam Rupiah ..........
41
3.5.5 Kriteria Kesesuaian Pemanfaatan Ekosistem Mangove ..................
42
3.5.6 Analisis Spasial ...............................................................................
46
3.5.7 Analisis Penentuan Kebijakan Pemanfaatan Mangrove ..................
49
3.5.7.1 Analisis SWOT .............................................................................
49
3.5.7.2 Proses Hirarki Analisis (PHA/AHP ).............................................
50
3.5.7.3 Analisis A’WOT ...........................................................................
54
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
56
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian......................................................
56
4.1.1 Batasan Wilayah Penelitian ............................................................
57
4.1.2 Geologi dan Geomorfologi Pantai ..................................................
58
4.1.3 Dinamika Pantai..............................................................................
59
4.1.4 Parameter Lingkungan ....................................................................
61
4.2 Ekosistem Mangrove .........................................................................
63
4.2.1 Komposisi Jenis dan Kerapaten Mangrove .....................................
63
4.2.2 Organisme yang Berasosiasi ...........................................................
76
4.2.2.1 Makrozoobentos...........................................................................
76
4.2.2.2 Ikan dan Crustacea .......................................................................
78
4.2.2.3 Burung dan Mamalia....................................................................
79
4.3 Kondisi Sosial Budaya .......................................................................
80
4.3.1 Penduduk .........................................................................................
80
4.4 Kondisi Ekonomi ...............................................................................
82
4.4.1 Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove ..........................................
85
4.4.1.1 Manfaat Langsung........................................................................
86
4.5 Kesesuaian Pemanfaatan Ekosistem Mangrove .................................
94
4.5.1 Kecamatan Mallusetasi ...................................................................
97
4.5.2 Kecamatan Soppengriaja.................................................................
99
4.5.3 Kecamatan Balusu...........................................................................
101
4.5.4 Kecamatan Barru.............................................................................
103
4.6 Konsep keterpaduan pemanfaatan ekosistem mangrove ...................
105
4.7 Strategi Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove .....................
109
4.7 Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove ..................................
116
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
133
5.1 Kesimpulan ........................................................................................
133
5.2 Saran...................................................................................................
134
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
135
LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................
141
DAFTAR TABEL Halaman 1. Tahapan dalam proses pembuatan kebijakan.............................................
24
2. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman penduduk ..............
43
3. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi ................................
43
4. Matriks kesesuaian lahan unt uk kawasan pariwisata pantai ......................
44
5. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan industri .....................................
44
6. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya ikan/tambak ..............
45
7. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum......................
45
8. Standar matriks kombinasi SWOT ............................................................
50
9. Skala banding berpasangan oleh Saaty ......................................................
52
10. Standarisasi nilai (Random Indeks)..........................................................
54
11. Kondisi topografi dan kemiringan lereng Kabupaten Barru.....................
56
12. Stasiun pengamatan dan luas wilayah penelitian dirinci berdasarkan kecamatan dan desa/kelurahan ................................................................
57
13. Penyebaran geologi Kabupaten Barru ......................................................
59
14. Kondisi parameter oseanogafi di sekitar ekosistem mangrove di beberapa kecamatan dan desa/kelurahan di Kabupaten Barru .................................
60
15. Data hasil pengamatan kualitas air di sekitar ekosistem mangrove pada lokasi penelitian ...............................................................................
62
16. Kondisi parameter sedimen/substrat ekosistem mangrove di beberapa kecamatan dan desa/kelurahan di Kabupaten Barru .................................
62
17. Rekapitulasi areal ekosistem mangrove di setiap kecamatan dan desa/kelurahan di Kabupaten Barru .........................................................
64
18. Kerapatan jenis mangrove di Kecamatan Mallusetasi ..............................
65
19. Indeks nilai penting jenis mangrove di Kecamatan Mallusetasi...............
66
20. Kerapatan jenis mangrove di Kecamatan Soppengriaja ...........................
68
21. Indeks nilai penting jenis mangrove di kecamatan Soppengriaja .............
70
22. Kerapatan jenis mangrove di Kecamatan Balusu .....................................
72
23. Indeks nilai penting jenis mangrove di Kecamatan Balusu ......................
72
24. Kerapatan jenis mangrove di Kecamatan Barru .......................................
74
25. Indeks nilai penting jenis mangrove di Kecamatan Barru ........................
74
26. Jumlah penduduk di Kab. Barru dirinci menurut Kec. dan jenis kelamin
80
27. Jumlah rumah tangga nelayan dan petani tambak disetiap kecamatan.....
83
28. Estimasi responden berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan........
84
29. Rekapitulasi analisis valuasi ekonomi pemanfaatan ekosistem mangrove
87
30. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kec. Mallusetasi .............
97
31. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kec. Soppengriaja...........
99
32. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kec. Balusu....................
101
33. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kec. Barru......................
103
34. Analisis konsep keterpaduan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru .................................................................................
107
35. Hasil analisis dari akumulasi pendapat responden untuk komponen internal SWOT ..........................................................................................
110
36. Hasil analisis dari akumulasi pendapat responden untuk komponen eksternal SWOT ........................................................................................
111
37. Matriks SWOT untuk menentukan strategi pemanfaatan ekosistem mangrove ..................................................................................................
113
38. Strategi dan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan .............................................................................
123
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram permasalahan pemanfaatan ekosistem mangrove .....................
7
2. Tahapan analisis penelitian kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove
9
3. Salah satu tipe zonasi hutan ma ngrove yang umum ditemukan di Indonesia ..................................................................................................
13
4. Nilai total ekonomi mangrove .................................................................
18
5. Kedekatan prosedur analisis kebijakan dengan proses pembuatan kebijakan ..................................................................................................
25
6. Skema kerangka pemikiran penelitian .....................................................
32
7. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan...................
33
8. Bagan transek cuplikan vegetasi mangrove di lapangan .........................
35
9. Skema rincian pengambilan sampel dari jumlah populasi.......................
36
10. Alur analisis data untuk menentukan kebijakan pemanfaatan mangrove di Kabupaten Barru ..................................................................................
38
11. Diagram alur penyusunan basis data .......................................................
47
12. Diagram alur metode analisis spasial ......................................................
48
13. Rangkaian kerja analisis SWOT ..............................................................
49
14. Proses Hirarki A’WOT untuk penentuan prioritas kebijakan..................
55
15. Peta sebaran mangrove Kecamatan Mallusetasi Kab. Barru ...................
67
16. Peta sebaran mangrove Kecamatan Soppengriaja Kab. Barru.................
69
17. Peta sebaran mangrove Kecamatan Balusu Kab. Barru...........................
71
18. Peta sebaran mangrove Kecamatan Barru Kab. Barru.............................
75
19. Grafik analisis kelimpahan makrozoobentos di empat kecamatan di Kab. Barru................................................................................................
77
20. Grafik analisis keanekaragaman makrozoobentos di empat kecamatan di Kabupaten Barru ..................................................................................
78
21. Rekapitulasi penduduk pada setiap kecamatan di lokasi penelitian ........
81
22. Rekapitulasi penduduk berdasarkan jenis kelamin pada setiap kecamatan di lokasi penelitian .................................................................
81
23. Persentase tingkat pendidikan responden diwawancarai di lokasi penelitian..................................................................................................
82
24. Jumlah rumah tangga penduduk yang berpropesi sebagai nelayan pada setiap kecamatan di lokasi penelitian.......................................................
84
25. Jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan pada setiap kecamatan di lokasi penelitian ...................................................................................
85
26. Peta kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Mallusetasi .......................................................................
98
27. Peta kesesuaian la han untuk pemanfaatan ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Soppengriaja ....................................................................
100
28. Peta kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Balusu ..............................................................................
102
29. Peta kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Barru ................................................................................
104
30. Keterpaduan konsep dan alternatif pemanfaatan ekosistem mangrove ..
108
31. Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dengan faktor eksternal.........................................................................................
112
32. Kebijakan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove dengan komponen prioritas SWOT........................................................................................
116
33. Prioritas dan persentasi komponen strength ............................................
118
34. Prioritas dan persentasi komponen weakneses ........................................
119
35. Prioritas dan persentasi komponen opportunity.......................................
120
36. Prioritas dan persentasi komponen treaths ..............................................
121
37. Prioritas kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove ...........................
122
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Posisi stasiun pengamatan pada masing- masing kecamatan dan desa/ kelurahan ...................................................................................................
142
2. Data komposisi jenis mangrove di Kecamatan Mallusetasi ......................
143
3. Data komposisi jenis mangrove di Kecamatan Soppengriaja ..................
150
4. Data komposisi jenis mangrove di Kecamatan Balusu ............................
158
5. Data komposisi jenis mangrove di Kecamatan Barru ..............................
163
6. Analisis komposisi jenis, kelimpahan dan keanekaragaman jenis Makrozoobentos yang ditemukan pada ekosistem mangrove Kabupaten Barru selama penelitian........................................................................................
170
7. Jenis ikan yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan di Kab. Barru ..
175
8. Jenis burung yang ditemukan pada setiap stasiun di lokasi penelitian ......
177
9. Analisis manfaat langsung produk kayu dari ekosistem mangrove ...........
179
10. Analisis manfaat langsung produk arang dari ekosistem mangrove ........
180
11. Analisis manfaat langsung bibit mangrove dari ekosistem mangrove .....
180
12. Analisis manfaat langsung penangkapan burung dari ekosistem mangrove 181 13. Analisis manfaat langsung penangkapan kelelawar ...............................
181
14. Analisis manfaat langsung penangkapan ikan dari ekosistem mangrove
182
15. Analisis manfaat langsung penangkapan udang dari ekosistem mangrove 183 16. Analisis manfaat langsung penangkapan kepiting dari mangrove ...........
184
17. Analisis manfaat langsung pengambilan kerang dari mangrove .............
185
18. Analisis valuasi ekonomi manfaat tambak polikultur ikan dan bandeng
186
19. Analisis valuasi ekonomi manfaat tambak monokultur ..........................
187
20. Hasil survei dan Analisis dengan menggunakan SWOT dan AHP (A’WOT) terhadap responden selama penelitian ....................................
189
21. Foto- foto kegiatan selama penelitian di Kebupaten Barru .....................
200
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luasan dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar 27 % atau sekitar 4.293 juta ha berada di Indonesia (Kusmana 1995). Namun demikian luas hutan mangrove di Indonesia terus menyusut, hal ini sesuai dengan hasil penapsiran potret udara dan survei lapangan, yang menyatakan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia tahun 1982 sekitar 4.251.011 ha (Direktorat Bina Program 1982). Hasil penapsiran 1991 dari Citra Landsat MSS liputan tahun 1986 – 1991 (luas areal liputan hutan 150 juta ha) dan data referensi lainnya seperti peta RePProt, data SPOT dan potret udara yang dilakukan
(Intag 1993), luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia
diperkirakan seluas 3.735.250 ha, artinya bahwa luas mangrove di Indonesia telah mengalami degradasi sekitar 13 % atau sekitar 515.761 ha dalam waktu kurang lebih 11 tahun. Luas ekosistem mangrove yang terdapat di Sulawesi Selatan pada tahun 1982 sekitar 66.000 ha, kemudian pada tahun 1993 mengalami penambahan sekitar 57.6 % (sekitar 104.030 ha). Sedangkan hasil pemantauan terakhir (Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan 1994), bahwa eksploitasi hutan mangrove di Sulawesi Selatan sekitar 75 % atau sekitar 78.022 ha, umumnya memperhatikan
tidak
kelestarian lingkungan dan kondisi ekologis hutan mangrove.
Dari 78.022 ha luas hutan mangrove yang telah dieksploitasi,
sekitar 40.000 ha
atau sekitar 38 % dikonversi jadi tambak, sedangkan sekitar 38.022 ha atau sekitar 37 % dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti : kayu bakar, bahan industri, dan kebutuhan lainya. Hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi lahan tambak
berdasarkan estimasi hanya 30 % yang berfungsi produktif
sedangkan sisanya terlantar dan selalu mengalami pengikisan oleh ombak karena tidak adanya reboisasi atau penanaman kembali pada areal tambak hasil konversi yang tidak produktif. Oleh karena itu, kondisi hutan mangrove di Sulawesi Selatan sangat memprihatinkan termasuk di Kabupaten Barru. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pantai disamping terumbu karang dan lamun. Secara ekologis hutan mangrove dapat berfungsi sebagai
stabilitas atau keseimbangan ekosistem, sumber unsur hara, sebagai
2
daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground). Secara ekonomis ekosistem mangrove dapat dijadikan sebagai areal budidaya, penangkapan, obyek wisata, dan sumber kayu bagi masyarakat. Selain hal tersebut di atas, mangrove merupakan salah satu hutan alamiah yang unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang cukup tinggi, dapat menghasilkan bahan dasar untuk keperluan rumah tangga dan industri seperti : kayu bakar, arang, kertas, dan rayon yang dalam konteks ekonomi mengandung nilai komersial tinggi. Mengacu pada realitas tersebut di atas, maka akan dicari suatu solusi atau strategi kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan, yang diharapkan menghasilkan suatu konsep baru untuk menjadi acuan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya di Kabupaten Barru. Kabupaten Barru secara administratif terdiri dari lima kecamatan yang berada di wilayah pantai, empat diantaranya memiliki atau ditumbuhi hutan mangrove dengan luas sekitar 113.02 ha yaitu : Kecamatan Mallusetasi dengan luas mangrove sekitar 3.57 ha; Kecamatan Soppengriaja dengan luas sekitar 6.85 ha; Kecamatan Balusu dengan luas sekitar 96.37 ha;
dan Kecamatan Barru
dengan luas sekitar 6.23 ha. Dari luas tersebut di atas, untuk memenuhi penetapan jalur hijau sesuai standar nasional yaitu 130 meter dikalikan dengan tinggi ratarata muka air pada saat pasang, masih diperlukan sekitar 202.11 ha. (Badan Pusat Statistik 2003). Berdarkan data kondisi ekosistem mangrove tersebut, pemerintah Kabupaten Barru telah mengadopsi kebijakan – kebijakan nasional pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang berpedoman kepada landasan strategi dan dasar hukum sebagai berikut : Undang-undang (UU) nomor 5 tahun 1990, tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan hutannya; UU no. 9 tahun 1990, tentang pariwisata; UU no. 24 tahun 1992 tentang, penataan ruang; UU no. 41 tahun 1999, tentang kehutanan; UU no. 7 tahun 2004, tentang sumberdaya air; Peraturan Pemerintah (PP) no. 28 tahun 1985, tentang perlindungan hutan; PP no. 18 tahun 1994, tentang penguasaan pariwisata alam; PP no. 47 tahun 1997, tentang rencana tata ruang kawasan nasional; PP no. 32 tahun 2002, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; UU no. 31 tahun 2004, tentang perikanan.
Berdasarkan undang – undang nomor 22 tahun 1999, tentang
pemerintah daerah
dan undang – undang nomor 25 tahun 2000, tentang
3
kewenangan pemerintah daerah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom, maka selain undang – undang dan peraturan pemerintah tersebut di atas, pemerintah daerah juga telah melakukan
langkah – langkah antisipasi guna
mempertahankan hutan mangrove tersebut melalui : Perda Nomor 23 tahun 2001, tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai dan Penetapan Jalur Hijau Hutan Mangrove dan Kawasan Lindung.
Laporan Akhir Zonasi dan Manajemen
Pengelolaan Wilayah Laut Kabupaten Barru 2003, menyarankan hutan bakau (hutan mangrove) sebagai zona lindung dan kawasan konservasi.
Namun
demikian hingga saat ini masyarakat masih tetap melakukan aktifitasnya yang cenderung merusak dan berdampak negatif terhadap ekosistem mangrove tersebut, daerah
hal ini diduga terjadi karena peraturan yang ditetapkan pemerintah belum
mengakomodir
berbagai
kepentingan stakeholders dalam
optimalisasi pemanfaatan ekosistem mangrove dan menentukan secara jelas zonasi pemanfatan yang spesifik berdasarkan zonasi potensi dan sumberdaya ekosistem mangrove. Pola pemanfaatan ekosistem mangrove yang selama ini dilakukan masyarakat di Kabupaten Barru berbasis pada kepentingan individu atau kelompok tertentu, baik dari pihak swasta maupun pemerintah dalam pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, seperti : areal perburuan beberapa jenis burung, penebangan hutan mangrove untuk baha n bangunan, konversi hutan mangrove menjadi areal budidaya tambak dan pemukiman, dan mengeksploitasi hutan
mangrove untuk dijadikan sebagai kayu bakar. Akibat dari kegiatan
tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan di wilayah pesisir dan lautan khususnya di Kabupaten Barru.
Dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan
masyarakat tersebut yang cenderung melakukan pengrusakan, yaitu timbulnya kerusakan ekosistem yang tidak terkendali. Mengingat fungsi ekologi ekosistem mangrove dan stabilitas ekosistem pesisir Kabupaten Barru, maka sangat diperlukan suatu penelitian tentang pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan untuk menentukan pendekatan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya di Kabupaten Barru. Penelitian atau kajian
ilmiah
tentang
kebijakan
pengelolaan
dan
pemanfaatan ekosistem mangrove sudah sering dilakukan jauh sebelum Instruksi Menteri Pertanian nomor 13 tahun 1975, tentang pembinaan kelestarian hutan
4
mangrove.
Kajian ilmiah tentang kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan
ekosistem mangrove yang telah dilakukan selama ini, meliputi : (1) kebijakan pengelolaan
ekosistem
mangrove
secara
nasional
dengan
pendekatan
komprehe nsif kuantitatif, (2) kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan ekologi- ekonomi secara kualitatif/statistik ekologi, (3) kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan zonasi dan potensi dengan alat bantu GIS (geography information system) dan Inderaja (peninderaan jarak jauh), (4)
analisis kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove dengan
pendekatan Analytical Hierarchy Process, (5) kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan SWOT dan AHP.
Sedangkan pada kajian ini,
akan dilakukan dengan mengadopsi dan meramu beberapa metode tersebut di atas menjadi suatu bentuk metode analisis yang bersifat komprehensif korelasional, untuk menentukan suatu bentuk kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove secara spesifik di Kabupaten Barru dan diharapkan dapat diadopsi di daerah lain yang mempunyai kondisi dan kemiripan ekosistem mangrove yang relatif sama. 1.2 Perumusan Masalah Kabupaten Barru masih memiliki ekosistem mangrove yang cukup stabil, walaupun telah banyak mengalami degradasi yang cukup berat akibat pemanfaatan lahan yang tidak terencana dan
terkendali. Pada bagian daratan
dijumpai perkampungan penduduk, perkebunan dan pertambakan, sedangkan pada bagian pantai dan laut dijumpai adanya ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karang.
Kondisi inilah
yang sangat
membutuhkan perhatian dari seluruh stakeholders agar kelestarian dan kestabilan ketiga ekosistem dapat dipertahankan, karena kerusakan salah satu ekosistem di daerah pantai akan mempengaruhi ekosistem lainnya, misalnya terjadi pengrusakan pada ekosistem mangrove maka jelas akan ikut mempengaruh kestabilan ekosistem padang lamun dan terumbu karang, sehingga ekosistem mangrove memegang peranan yang sangat penting khususnya di wilayah pesisir dan laut. Dewasa ini masyarakat sudah mulai melakukan pemanfaatan ekosistem mangrove melalui konversi hutan mangrove menjadi tambak dan eksploitasi hutan mangrove untuk kayu bakar, arang, alat tangkap, media budidaya, dan bahan bangunan.
Hal ini disebabkan oleh kondisi sosial dan desakan ekonomi
5
masyarakat yang cenderung ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kelestarian ekosistem.
Oleh karena itu sebelum ekosistem
mangrove mengalami kerusakan yang cukup parah, maka sejak dini perlu dilakukan pendekatan kepada masyarakat, pemerintah, maupun kelompok lainnya yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove tersebut, agar ekosistem tetap terjaga dan terpelihara pada suatu tatanan ekologis (Gambar 1).
Apabila tidak ada upaya antisifasi dan alternatif kebijakan
pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru atau sebaliknya, maka ancaman yang akan terjadi yaitu : (1) ancaman yang ditemukan terhadap ekosistem mangrove di lokasi penelitian yaitu : peningkatan konversi hutan mangrove menjadi tambak, peningkatan konversi mangrove menjadi pemukiman, penebangan liar untuk bahan bangunan, kayu bakar, sarana budidaya dan penangkapan meningkat, kerusakan ekosistem mangrove dan ancaman terhadap hilangnya habitat berbagai jenis organisme, (2) ancaman terhadap garis pantai yaitu : terjadinya peningkatan abrasi di pesisir barat Kabupaten Barru, semakin luas daratan utama akan mengalami degradasi dan berkurang, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan garis pantai, mengakibatkan kerusakan pada ekosistem padang lamun dan terumbu karang, terjadinya intrusi (perembesan) air laut ke daratan utama dan berkurangnya persedian air tanah, (3) ancaman terhadap organisme (fauna) yang berasosiasi, hilangnya spesies organisme seperti : ikan glodok (Periopthalmus spp), ikan baronang (Siganus sp), hilangnya spesies burung yang seperti : burung bangau (Ciconiidae), hilangnya spesies mamalia seperti : kelelawar (Pteropus spp), kelimpahan, keanekaragaman, distribusi organisme menurun. Sedangkan keuntungan yang diperoleh dalam pemanfaatan ekosistem mangrove oleh stakeholders selama ini dapat diidentifikasi sebagai berikut : (1) keuntungan pemanfaatan ekosistem mangrove yaitu : tercapainya kawasan pendidikan untuk laboratorium alam, kawasan konservasi, kawasan pemukiman tertata rapih, kawasan wisata bahari untuk rekreasi, pemanc ingan, menikmati kicauan burung, naik perahu, dan berjalan diantara pohon mangrove, kawasan budidaya untuk budidaya tambak ramah lingkungan (silvofishery), empan parit, dan keramba apung di luar kawasan ekosistem mangrove, penebangan liar dapat
6
ditekan dan dihindari, dan pemanfaatan ekosistem mangrove tetap dalam pengawasan dan kontrol pemerintah, sehingga tidak terjadi over eksploitasi. Berdasakan data yang tersedia baik survei di lapangan maupun hasil dari beberapa penelitian, menunjukkan bahwa Kabupaten Barru masih memiliki kondisi perairan yang baik dan ekosistem mangrove yang cukup stabil. Untuk dapat mempertahankan hal tersebut di atas, perlu dilakukan suatu analisis secara integral yang berbasis pada kondisi ekosistem mangrove dan sosial ekonomi masyarakat, sehingga dapat menentukan
kebijakan pemanfaatan ekosistem
mangrove. Kondisi ini dapat dicapai dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah agar menggunakan suatu strategi kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove berbasis pada parameter ekologi mangrove, biofisik lingkungan dan sosial ekonomi. Oleh karena itu ada beberapa permasalahan yang harus diselesaikan dalam rangka pencapaian dan aktualisasi kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove sebaga i berikut : a. Apakah sumberdaya ekosistem mangrove yang telah dieksploitasi oleh stakeholders masih dalam kondisi yang stabil, bila ditinjau dari aspek ekologi dan sosial ekonomi ? b. Bagaimana tingkat degradasi dan eksploitasi ekosistem mangrove yang dilakukan oleh stakeholders terutama masyarakat ditinjau dari aspek ekologi dan biofisik lingkungan ? c. Sejauhmana pendekatan kelayakan kawasan seraca spesifik dilakukan dalam rangka pemanfaatan ekosistem mangrove ? d. Apakah implementasi kebijakan pengelolaan dan zonasi pemanfaatan ekosistem mangrove tidak optimal, sehingga diperlukan strategi dan prioritas pemanfaatan untuk menyusun kebijakan yang sesuai dengan kondisi ekologis mangrove dan sosial ekonomi masyarakat ?
7
Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove
Budaya / perilaku dan persepsi masyarakat
• Proses pengumpula dan analisis data secara parsial • Tidak mencermnkan keterpaduan pemanfaatan • Zonasi pemanfaatan tidak jelas • Kebijakan ini sifatnya Top-down dan tidak partisivatif
Tingkat kesejahteraan
Lama
• Proses pengumpulan data secara partisivatif dengan analisis data secara terpadu dan komprehensif • Metodologi digunakan secara komprehensif korelasional (akumulasi beberapa metode) • Zonasi pemanfaatan secara terpadu antara sektor • Kebijakan sifatnya Top-down dan Butom-Up
Baru/Solusi
Pola pemanfaatan yang salah (tidak optimal)
Pemanfaatan yang benar (optimal dan terpadu)
Potensi Sumberdaya Mangrove yang tersedia
Degradasi ekosistem mangrove
Pemanfaatan potensi sumberdaya ekosistem mangrove berkelanjutan
Gambar 1. Diagram permasalahan pemanfaatan ekosistem mangrove. 1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan a. Mengetahui kondisi ekosistem, perilaku dan interaksi masyarakat terhadap ekosistem mangrove di Kabupaten Barru. b. Untuk mengetahui tingkat degradasi dan eksploitasi ekosistem mangrove berdasarkan kondisi ekologis dan sosial ekonomi. c. Untuk membuat zonasi pemanfaatan secara spesifik ekosistem mangrove berdasarkan klasifikasi potensi dan sumberdaya mangrove. d. Merekomendasikan konsep kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan (sustainable) di Kabupaten Barru.
8
1.3.2 Manfaat a. Memberikan informasi dan pengetahuan bagi stakeholders dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelajutan. b. Untuk mengembangkan strategi kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan dan teknologi. c. Dapat memformulasikan suatu bentuk kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian difokuskan pada strategi pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan, sehingga parameter ekosistem mangrove yang akan di ukur dibatasi pada : a. Parameter sumberdaya mangrove yaitu : Kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis mangrove, penutupan jenis dan penutupan relatif jenis, frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis, dan indeks nilai penting. b. Parameter biofisik yaitu : Biodivesrsity organisme yang berasosiasi, geomorpologi pantai, iklim, curah hujan, angin, pasang surut, gelombang dan arus, suhu, salinitas, oksigen terlarut, nutrien (N dan P), pH, Eh, dan substrat. c. Parameter sosial ekonomi yaitu : Data demografi, aksesibilitas, sarana dan prasaran, kependudukan, pekerjaan, dan tingkat kesejahteraan) yang dikumpulkan melalui data primer dan data sekunder.
9
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan analisis yaitu : (1) analisis ekosistem mangrove dan analisis sosial ekonomi, (2) analisis kesesuaian lahan, dan (3) analisis SWOT dan AHP seperti yang disajikan pada Gambar 2.
I
Analisis SDA Ekosistem Mangrove Analisis Sosial Masyarakat Analisis Valuasi Ekonomi
IV KEBIJAKAN PEMANFAATAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE TERPADU BERKELANJUTAN II Analisis Kesesuian Lahan utk Pemanfaatan Mangrove (Software Arcview ver 3.2)
III Analisis Prioritas Pemanfaatan Mangrove (A’WOT)
Gambar 2. Tahapan analisis penelitian kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove 1.5 Hipotesis Pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan secara berkesinambungan, seharusnya dilakukan dengan pendekatan integral dari berbagai aspek, termasuk aspek ekologi, sosial, dan aspek ekonomi. Ketiga aspek tersebut saling terkait dan mempengaruhi satu dengan lainnya, apabila dalam pemanfaatan wilayah pesisir khususnya ekosistem mangrove yang mengutamakan aspek ekologi, maka keseimbangan ekosistem berjalan dengan baik, akan tetapi disisi lain kemungkinan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat terganggu. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu konsep pemanfaatan yang dapat meramu dan mempertemukan ketiga aspek tersebut, sehingga kondisi sosial ekonomi masyarakat bertumbuh dengan baik, demikian pula ekosistem tetap terpelihara. Hal ini dapat terealisasi apabila :
10
a. Sumberdaya ekosistem mangrove secara ekologi dan sosial ekonomi telah mengalami gangguan dan penurunan stabilitas ekosistem akibat perilaku dan interaksi stakeholders dalam pemanfaatan ekosistem mangrove yang tidak terkendali. b. Degradasi dan eksploitasi hutan mangrove di lokasi penelitian cenderung mengalami
peningkatan berdasarkan indikator ekologis dan biofisik
lingkungan, sehingga areal hutan mangrove akan mengalami tekanan yang memungkinkan hilangnya kawasan jalur hijau. c. Potensi ekosistem mangrove ditinjau dari aspek
kelayakan ekologis dan
sosial ekonomi masyarakat, maka ekosistem mangrove di lokasi penelitian dapat dimanfaatkan untuk kawasan : konservasi, budidaya, pariwisata pantai, pelabuhan, industri dan areal penangkapan. d. Dari hasil integrasi analisis ekologis, sosial ekonomi, SWOT, dan AHP yang digunakan dalam penelitian ini, maka ditemukan beberapa alternatif, strategi dan prioritas kegiatan yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove Beberapa ahli mendefinisikan istilah ”mangrove” secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada pengertian yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) mendefinisikan mangrove sebagai vegetasi yang terdapat di daerah pasang surut sebagai suatu komunitas. Hutan pasang surut atau hutan payau lebih dikenal dengan nama hutan mangrove merupakan vegetasi yang tumbuh sangat dipengaruhi oleh kadar garam serta adanya aliran sungai yang berair tawar, sehingga pada umumnya hutan mangrove berada di muara - muara sungai di tepi pantai yang cukup terlindung oleh hempasan gelombang dan angin laut yang deras (Darsidi 1984). Definisi lain diberikan oleh Soerianegara (1987), bahwa hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada tanah berlumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut dengan beberapa genera atau spesies yaitu Avicennia sp, Sonneratia sp, Rhizophora sp, Bruguiera sp, Ceriops sp, Lumnitzera sp, Excoecaria sp, Xylocarpus sp, Aegicveras sp, Scyphyphora dan Nypa sp. Menurut Nybakken (1988) hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal dengan genangan air secara berkala dan menerima pasokan air tawar yang cukup. Hutan mangrove sering juga disebut sebagai hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau. Akan tetapi, mangrove sudah ditetapkan sebagai nama baku untuk hutan pantai. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai dan muara sungai dipengaruhi oleh pasang surut (Bengen 2002). 2.2 Komposisi Jenis Mangrove Menurut Kartadinata et al. (1977) vegetasi hutan mangrove mencakup 88 spesies terdiri dari 37 famili, dari sekian banyak vegetasi yang dimiliki hutan mangrove hanya ada 34 spesies dan 14 famili yang berbentuk pohon. Hutan mangrove kususnya di Sulawesi Selatan umumnya dijumpai 19 jenis pohon mangrove utama yaitu : Avicennia alba, A. marina, A. Officinalis, Lumnicera littorea, L. rasemosa, Exocoecaria agallocha, Xylocarpus granatum, X.
12
moluccensis, Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, Bruguiera cylindrical, B. gymnorrhiza, B.
farvaiflora, B. sezangula, Ceriops tagal,
Sonneratia alba, S. caseolaris, dan S. ovata (Whitten 1988).
Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (2003) di Kabupaten Barru telah ditemukan 4 jenis mangrove yaitu : Rhizophora apiculata, R. mucronata, Avicennia officinalis, dan Bruguiera sp. dengan pola zonasi campuran. 2.3 Zonasi Mangrove Zonasi adalah kondisi dimana kumpulan vegetasi yang saling berdekatan mempunyai sifat atau tidak ada sama sekali jenis yang sama walaupun tumbuh dalam lingkungan yang sama dimana dapat terjadi perubahan lingkungan yang dapat mengakibatkan perubahan nyata di antara kumpulan vegetasi. Selanjutnya perubahan vegetasi tersebut dapat terjadi pada batas yang jelas atau tidak jelas atau bisa terjadi bersama – sama (Anwar et al. 1984). Menurut Aksornkoae (1993) berdasarkan sifat – sifat serta lokasi ditemukanya mangrove, maka definisi dari mangrove yang umum diterima adalah vegetasi holopit yang tumbuh di daerah pasang surut sepanjang areal pantai, dan satu - satunya sistem makrofit laut yang memiliki areal biomassa yang terhampar mulai dari daerah tropis sampai daerah subtropis.
Bengen (2002) menyatakan
bahwa hutan mangrove tumbuh dengan membentuk zonasi ke arah darat. Salah satu tipe zona si di Indonesia diketahui terdiri dari Avicennia spp pada daerah yang paling luar dengan substrat agak berpasir, Avicennia spp biasanya berassosiasi dengan Sonneratia spp. Zona berikutnya adalah Rhizophora spp, Bruguiera spp dan pada zona transisi hutan darat dan laut, banyak ditumbuhi oleh Nypa fruticans (Gambar 3). Selanjutnya hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan subtidal yang cukup mendapat aliran air dan terlindung dari gelombang besar, serta arus pasang surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung (Bengen 2001). Faktor utama yang menyebabkan adanya zonasi
hutan mangrove yaitu : sifat
13
tanah, salinitas, frekuensi genangan oleh pasang surut, dan ketahanan suatu jenis terhadap terpaan gelombang dan arus (Anwar et al. 1984).
Gambar 3. Salah satu tipe zonasi hutan mangrove yang umum ditemukan di Indonesia (Bengen 2002). 2.4 Fungsi dan Manfaat Mangrove Berdasarkan Kusmana (2003) bahwa fungsi hutan mangrove dibagi atas tiga yaitu : (a) fungsi fisik, dapat melindungi lingkungan pengaruh oseanografi (pasang surut, arus, angin topan, dan gelombang), mengendalikan abrasi, dan mencegah intrusi air laut ke darat; (b) fungsi biologi, sangat berkaitan dengan perikanan yaitu sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) dari beberapa jenis ikan, udang dan merupakan pensuplay unsur – unsur hara utama di pantai khususnya daerah lamun dan terumbu karang; (c) fungsi ekonomi, sebagai sumber kayu kelas satu, bubur kayu, bahan kertas, chips, dan arang.
Ekosistem mangrove
merupakan suatu ekosistem peralihan antara daratan dan lautan yang menjadi matarantai yang sangat penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi di sua tu perairan, tempat berlindung dan memijah berbagai jenis udang, ikan, berbagai biota laut la innya, dan juga merupakan habitat satwa seperti burung, primata, reptilia, insekta, sehingga secara ekologis dan ekonomis dapat dimanfaatkan untuk peningktan kesejahtraan manusia (Sugandhy 1993). Menurut Anwar et al. (1984) fungsi dan manfaat hutan mangrove dibagi kedalam tiga golongan besar yaitu : (1) secara fisik, dapat menjaga kestabilan garis pantai, mempercepat perluasan lahan, melindungi pantai dari tebing sungai,
14
dan mengolah bahan limbah, (2) secara biologis, merupakan tempat pemijahan dan pembesaran benih – benih ikan, udang dan kerang – kerangan, tempat bersarang dan mencari makan burung – burung, dan habitat alami bagi kebanyakan biota, (3) secara ekonomi, merupakan salah satu daerah pesisir yang cocok untuk tambak, tempat pembuatan garam, rekreasi, dan produksi kayu. Sedangkan Sumana (1985) membagi fungsi dan manfaat hutan mangrove sebagai berikut : (1) secara fisik ekologi, secara fisik hutan mangrove merupakan pelindung hutan daratan yang banyak dihuni oleh berbagai jenis biota perairan serta beberapa jenis satwa. Zona pesisir bervegetasi
hutan mangrove
bagi
daratan, merupakan filter intrusi air laut dan polusi industri yang mengeluarkan limbah ol gam berat yang dapat menggagu kehidupan masyarakat manusia dan hewan. Vegetasi mangrove dengan tajuk dan perakarannya yang khas, secara fisik mampu menahan dan melindungi daratan dari pengaruh gelombang, arus air dan angin yang dapat menyebabkan topan, banjir dan erosi daratan, (2) secara biologis, dalam sistem mata rantai makanan hutan mangrove merupakan produsen primer, energi hidup melalui serasah dihasilkannya, serasah mangrove yang telah mengalami
proses
dekomposisi
oleh
sejumlah
mikroorganisme
akan
menghasilkan detritus dan berbagai jenis fitoplankton yang akan dimangsa oleh konsumer primer yang terdiri dari zooplankton, ikan, dan krustacea (udang, kepiting, kerang – kerangan), selanjutnya manusia sebagai konsumer utama, (3) secara sosial ekonomi, hasil hutan mangrove berupa kayu digunakan untuk keperluan industri chips, pull, kertas, penyamak kulit, bahan bangunan, dan arang. Ekspor kayu di wilayah hutan mangrove cukup memberikan andil dalam perolehan devisa negara walaupun hanya ada dua spesies saja yang memenuhi selera konsumen yaitu : Rhizophora spp dan Bruguiera spp. Soejarwo (1978) menyatakan bahwa vegetasi mangrove dapat berfungsi sebagai pendaur ulang hara tanah yang dibutuhkan oleh tanaman, penelitian di Florida menyebutkankan bahwa sekitar 90 % kotoran dari hutan mangrove dapat menghasilkan sekitar 35 % – 60 % unsur hara yang terlarut di pantai. Selanjutnya Helald (1971) menyatakan bahwa daun bakau (Rhizophora spp) pada awal pertumbuhannya mengandung protein sekitar 3.1 % dan setelah satu tahun meningkat menjadi 21 %. Kadar N (nitrogen) daun kering mangrove, sekitar 0.55 % dan diperkirakan setelah satu tahun meningkat menjadi 47 kg N
15
(Brotonegoro dan Abdulkadir 1978). Sedangkan Lugo dan Suhendar (1974) melaporkan bahwa dalam satu hektar lahan mangrove dapat menghasilkan serasah sekitar 7.1 – 8.8 ton per tahun, produksi serasah tersebut dapat meningkatkan produktivitas perairan dan produksi perikanan mengingat fungsi mangrove sebagai tempat bertelur, pemijahan dan mencari makan bagi kebanyakan organisme perairan, juga membuka peluang adanya pengembangan pertambakan ikan, udang, kepiting bagi pengusaha dan masyarakat yang bermuara pada peningkatan devisa negara sektor non- migas. 2.5 Pengelolaan dan Pemanfaatan ekosistem Mangrove Menurut Bengen (2001) pengembangan dan kegiatan insident il yang mempengaruhi ekosistem mangrove hendaknya mencerminkan perencanaan dan pemanfaatan sebagai berikut : (a) memelihara dasar dan karakter substrat hutan dan saluran-saluran air, proses - proses seperti sedimentasi berlebihan, erosi, pengendapan sampai perubahan sifat kimiawi (kesuburan) harus dapat dihindari, (b) menjaga kelangsungan pola-pola alamiah, skema aktivitas sirkulasi pasut dan limpasan air tawar, (c) memelihara pola-pola temporal dan spasial alami dari salinitas air permukaan dan air tanah, pengurangan air tawar akibat perubahan aliran, pengambilan atau pemompaan air tanah seharusnya tidak dilakukan apabila menggagu keseimbangan salinitas di lingkungan pesisir, (d) menetapkan batas maksimum seluruh hasil panen yang dapat diproduksi, (e) pada daerah yang mungkin terkena tumpahan minyak dan bahan beracun lainnya, harus memliki rencana
penanggulangannya,
(f)
menghindari
semua
kegiatan
yang
mengakibatkan pengurangan areal mangrove. 2.6 Penyebab Kerusakan Mangrove Menurut Giesen et al. (1991) lua s areal mangrove di Sulawesi Selatan dilaporkan sekitar 34.000 hektar, namun sebagian dari areal tersebut telah terganggu dan dalam proses negosiasi untuk dijadikan tambak, sehingga diperkirakan bahwa jumlah areal mangrove yang belum terganggu sekitar 23.000 hektar. Kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh dua faktor utama yaitu secara alami dan buatan manusia, proses alami seperti badai topan dapat merusak dan memporak – porandakan ekosistem mangrove, sedangkan kerusakan ekosistem hutan mangrove akibat campur tangan manusia erat
16
kaitannya dengan konversi lahan mangrove menjadi tambak dan penebangan untuk pemanfaatan kayu dari hutan mangrove (Nybakken 1988). 2.7 Faktor – Faktor Lingkungan Walter (1971) me nyatakan bahwa ada tiga faktor lingkungan yang penting dalam
menentukan
mintakat
hutan
mangrove
yang
terus –
menerus
mempengaruhi perubahan, persaingan, dan kepadatan individu yaitu : frekuensi dan lamanya genangan air pasang, komposisi tanah atau substrat (berpasir atau berlumpur), salinitas atau tingkat percampuran air tawar dan konsentrasi air payau di muara sungai. Pola pertumbuhan mangrove termasuk didalamnya struktur, fungsi, komposisi dan distribusi spesies yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove tersebut sangat tergantung pada faktor lingkungan diantaranya : fisiografi pantai, iklim (cahaya, musim, dan suhu), pasang surut, gelombang dan arus, salinitas, oksigen terlarut (disolved oxygen), tanah, nutrien, dan proteksi (Kusmana 2003). 2.8 Hubungan Sumberdaya Alam dan Pertumbuhan Ekonomi Pemanfaatan sumberdaya alam khususnya sumberdaya pesisir dan lautan, pada dasarnya dilaksanakan dalam rangka merealisasikan tiga tujuan, yaitu : (1) kualitas hutan atau kualitas lingkungan, (2) pertumbuhan ekonomi, (3) hubungan sosial masyarakat atau kepedulian generasi. Ketiga parameter tersebut merupakan kunci pertumbuhan ekonomi masyarakat yang baik dan tetap dalam koridor tata lingkungan atau hutan yang stabil. Tujuan ekologis atau pemanfaatan kualitas lingkungan adalah untuk memulihkan, melindungi, dan meningkatkan kualitas sumberdaya alam yang tersedia dengan pendekatan ekologis, tujuan ekonomi adalah untuk mengoptimalkan pendapatan nasional khususnya dalam perolehan barang dan jasa lingkungan, sedangkan tujuan Sosial atau kepedulian antara generasi adalah untuk meyakinkan bahwa keberadaan dan
produktifitas
sumberdaya alam harus dipertahankan dari generasi ke ganerasi berikutnya (Ruitenbeek 1991). Selanjutnya disarankan bahwa penggunaan beberapa bentuk analisis ekonomi, yang terpenting yaitu mampu menyatukan hubungan komponen – komponen dari faktor ekologis secara keseluruhan. Hal ini penting di dalam memberikan informasi pengambilan kebijakan pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya secara optimal.
17
2.9 Konsep Pengukuran Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Konsep dasar penilaian ekonomi (economic valuation) sumberdaya alam termasuk ekosistem mangrove sangat ditentukan oleh sumberdaya alam itu sendiri. Menurut Bann (1998), fungsi ekologi sumberdaya mangrove antara lain sebagai stabilitas garis pantai, menahan sedimen, perlindungan habitat dan keanekaragaman, produktifitas biomassa, sumber plasma nutfah, rekreasi dan wisata, memancing, serta produk – produk hutan lainnya. Nilai ekonomi atau total
nilai ekonomi (TNE)
hutan mangrove secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu : (1) nilai penggunaan (use value) dan (2) nilai intristik (non-use- value), selanjutnya nilai penggunaan (use value) tersebut di atas dapat diuraikan lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct value), nilai penggunaan tidak langsung (in-dircet value). Sedangkan nilai intristik (non-usevalue) diuraikan menjadi nilai pilihan (option value) dan nilai keberadaan (existence values) (Gambar 4). Nilai penggunaan
secara ekonomi berhub ungan dengan
nilai, dimana
masyarakat memanfaatkannya atau berharap akan memanfaatkan dimasa yang akan datang. Nilai penggunaan langsung berkaitan dengan output yang langsung dapat dikonsumsi oleh masyarakat misalnya : makanan, biomas, kesehatan, rekreasi. Sedangkan nilai penggunaan tidak langsung diperoleh dari manfaat jasa – jasa lingkungan sebagai pendukung aliran produksi dan konsumsi, misalnya hutan mangrove sebagai pelindung pantai dari badai, gelombang, dan abrasi. Nilai pilihan berkaitan dengan pemanfaatan lingkungan dimasa yang akan datang, kesediaan membayar untuk konservasi sistem lingkungan atau komponen sistem yang berhadapan dengan beberapa kemungkinan pemanfaatan oleh masyarakat dimasa yang akan datang. Nilai intristik ada dua yaitu : nilai warisan (bequest value) dan nilai keberadaan (existence value). Nilai warisan berhubungan dengan kesediaan membayar untuk melindungi manfaat lingkungan bagi generasi yang akan datang, jadi merupakan potensi penggunaan. Sedangkan nilai keberadaan, muncul karena adanya kepuasan atas keberadaan sumberdaya meskipun tidak ada keinginan untuk memanfaatkannya. Teknik penilaian manfaat didasarkan pada kesediaan konsumen membayar perbaikan atau kesediaan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar.
18
Manfaat dari suatu barang dan jasa mempunyai nilai yang sama dengan kesediaan penduduk untuk membayarnya WTP (willingness to pay), dalam menilai lingkungan harus dilihat dari fungsi kerusakan marginal yang menunjukkan perubahan penderita kerusakan oleh orang lain dari ekosistem ketika terjadi perubahan dalam lingkungan tersebut. Pemikiran harus dalam kerangka yang luas karena perubahan lingkungan hutan mangrove akan banyak berdampak kepada masyarakat sekitar, baik berupa dampak fisik, dampak degradasi lingkungan mangrove, dan kualitas estetika. Apabila ingin dilihat WTP dari masyarakat maka akan dapat digambarkannya dalam kurva permintaan (demand), dimana gabungan dari beberapa permintaan merupakan total WTP. Pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan seperti : penebangan untuk kayu bakar, bahan bangunan, pengambilan kulit mangrove untuk pembuatan bahan pengawet jaring, dan untuk keperluan lainnya oleh masyarakat khususnya nelayan secara belebihan. Kondisi dari perilaku masyarakat tersebut berdampak pada kondisi hutan mangrove yang semakain kritis baik dari segi kuantitas dan kualitas, demikian pula dengan areal mangrove yang semakin berkurang, dimana pada gilirannya berdampak kepada menurunnya kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya pesisir.
Total Economoic Values
Uses Values
Direct Use Values
Inderect Use Values
Outputs :
Benefits :
- Kayu bakar - Ikan - Kepiting - Kerang - Bibit Mangrove
Penyedia pakan Penahan abrasi Penampung sedimen
Non-Use-Values
Option Values
Existence Values
Benefits :
Benefits :
Biodiversity
Nilai dari Sumber daya alam yang menjadi asset untuk generasi mendatang
Gambar 4. Nilai total ekonomi mangrove (Bann 1998).
19
2.10 Perencanaan dan Pemanfaatan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Perencanaan
terpadu
dimaksudkan
untuk
mengkoordinasikan
dan
mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan. Perencanaan terpadu lebih merupakan upayah secara terperogram untuk mencapai tujuan dengan mengharmoniskan dan mengoptimalkan berbagai kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat dan pembangunan ekonomi.
Keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi antara tahapan
pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi : pengumpulan dan analisis data, perencanaan, implementasi, dan kegiatan konstruksi (Sorensen et al.1984). Sedangkan Dahuri et al. (1996) menyarangkan agar keterpaduan perencanaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk di pesisir dan lautan, dilakukan pada ketiga tataran yaitu : tataran teknis, konsultatif, dan koordinasi. Pada tataran teknis, semua pertimbangan teknis, ekonomi sosial dan lingkungan secara proporsional dimasukkan ke dalam setiap perencanaan dan pembanguanan sumberdaya pesisir dan lautan. Pada tatanan konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan pihak-pihak yang terlibat ataupun yang terkena dampak pembangunan di wilayah pesisir hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan. Sedangkan pada tataran koordinasi, disyaratkan perlunya kejasama yang harmonis antara stakeholders (pemerintah, swasta, dan masyarakat). Berdasarkan Djojobroto (1998), daerah pesisir Indonesia berbeda-beda menurut kondisi geografis dan kependudukan. Oleh karena itu, tujuan dan keadaan lokal juga berbeda sehingga setiap rencana akan memerlukan perlakuan yang berbeda. Namun demikian suatu urutan yang terdiri dari 10 tahap dapat direkomendasikan sebagai suatu pedoman perencanaan. Tiap tahap mewakili suatu kegiatan spesifik atau suatu rangkaian kegiatan yang hasilnya memberikan informasi untuk tahap-tahap berikut : (1) tentukan sasaran dan kerangka acuan, (2) aturlah pekerjaan, (3) analisis kesulitan yang ada, (4) identifikasi kesempatan untuk perubahan, (5) evaluasi kemampuan sumberdaya, (6) penilaian alternatif, (7) ambil pilihan yang paling baik, (8) siapkan rencana, (9) implementasi, (10) penentuan revisi rencana.
Kesepuluh tahapan ini meringkaskan proses
perencanaan yang menggambarkan langkah- langkah yang terlibat dalam perencanaan zona pesisir secara terpadu.
20
Pemanfaatan wilayah pesisir secara terpadu merupakan pendekatan pemanfaatan yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu, agar tercapai tujuan pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan (sustainable), sehingga keterpaduaannya mengandung tiga dimensi yaitu : dimensi sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri et al. 1996). Keterpaduan sektor diartikan sebagai perlunya koordinasi tugas, wewenang dan tanggungjawab antara sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration) dan antara tingkat pemerintah mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi sampai tingkat pusat (vertical integration). Didasari kenyataan bahwa wilayah pesisir terdiri dari sistem sosial dan alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis, maka pemanfaatan wilayah pesisir mensyaratkan
adanya pendekatan interdisiplin ilmu yang melibatkan
bidang ilmu antara lain sebagai berikut : ilmu ekologi, ekonomi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang terkait. Karena wilayah pesisir terdiri dari berbagai ekosistem (mangrove, terumbu karang, lamun, estuaria dan lain- lain) yang saling terkait satu sama lain, disamping itu wilayah ini juga dipengaruhi oleh berbagai kegiatan manusia, proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas) maupun laut lepas, kondisi ini mensyaratkan bahwa PWPLT (pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu) harus memperhatikan keterkaitan ekologis tersebut. 2.11 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Berkelanjutan Ada empat alasan pokok mengapa pemerintah dan bangsa Indonesia membuat suatu kebijakan yang strategis dan antisipatif dengan menjadikan matra laut sebagai sektor tersendiri di dalam GBHN 1993 (Dahuri et al. 1996) yaitu : pertama, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai 81.000 km, luas laut kurang lebih 3.1 juta km2 atau sekitar 62 % dari luas teritorialnya. Mengacu pada UNCLOS (united nations convention on the law of the sea 1982), Indonesia berhak memanfaatkan zona ekonomi ekslusif seluas 2.7 juta km2 untuk kegiatan eksploitasi, eksplorasi dan pemanfaatan sumberdaya hayati dan non hayati, penelitian, maupun yuridiksi mendirikan instalasi atau pulau buatan; kedua, dengan semakin menipisnya sumberdaya alam di daratan karena kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk
21
yang semakin meningkat, maka sumberdaya kelautan akan menjadi tumpuan harapan bagi kesinambungan pembangunan ekonomi nasional dimasa mendatang; ketiga, dengan adanya pergeseran kegiatan ekonomi global dari poros Eropa Atlantik ke poros Asia Pasifik yang diikuti dengan perdagangan bebas dunia pada tahun 2020, maka kekayaan sumberdaya kelautan Indonesia, khususnya di kawasan timur Indonesia, menjadi asset nasional dengan keunggulan komparatif yang harus dimanfaatkan secara optimal; dan keempat, dalam kerangka menuju industrialisasi, wilayah pesisir dan lautan merupakan prioritas utama bagi pusat kegiatan pengembangan industri, pariwisata, agribisnis, agroindustri, pemukiman, transportasi, dan pelabuhan. Di balik prospek di atas, pengalaman pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan dalam PJP I umumnya mengarah ke suatu pola yang merusak daya dukung lingkungan dan tidak berkesinambungan (unsustainable).
Sistem multifungsi
yang tidak terencana dengan baik telah menunjukkan kemunduran mutu lingkungan wilayah pesisir dan lautan,
konflik kepentingan antara kegiatan
maupun sektor, pencemaran dan over eksploitasi sumberdaya.
Tidak adanya
integrasi dan koordinasi perencanaan masing- masing sektor mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pembangunan secara optimal dan terganggunya fungsi utama di perairan tersebut.
Menyadari adanya karakteristik dan dinamika alamiah
ekosistem pesisir dan lautan yang secara ekologis saling terkait satu dengan lainnya, demikian pula dengan ekosistem lahan atas, serta keanekaragaman sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi pembangunan yang pada umumnya terdapat pada suatu hamparan ekosistem pesisir, mensyaratkan bahwa pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan terpadu dan holistic (menyeluruh). Pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development),
yaitu
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau mengahancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya (WCED 1987 dalam Satriago 1996). Berdasar dari definisi tersebut di atas, maka pembangunan suatu kawasan, mulai dari desa, kabupaten / kota, provinsi, negara, sampai dunia atau suatu ekosistem, pembangunan berkelanjutan mengandung tiga unsur atau dimensi utama yang
22
meliputi dimensi ekonomi / efisien serta layak, ekologi / lestari (ramah lingkungan), dan sosial / adil (Dahuri 2003; Harris and Goodwin 2002). Selanjutnya Susilo (2003) menyatakan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan merupakan suatu konsep pembangunan yang diterima oleh semua negara di dunia untuk menyelamatkan kehidupan di bumi agar tidak mudah hancur, konsep ini berlaku untuk seluruh sektor pembangunan baik di daratan maupun di lautan, konsep ini sifatnya multidisiplin yang mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan aspek politik. 2.12 Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang mengungkapkan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan pengambilan keputusan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah- masalah publik (Dunn 1994). Sebagai disiplin ilmu terapan, kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal melalui tiga bentuk pertanyaan berikut : (1) nilai yang mencapainya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah selesai, (2) fakta yang keberadaanya dapat membatasi atau meningkatkan nilai- nilai, dan (3) tindakan penerapannya yang menghasilkan pencapaian nilai- nilai. Dunn (1994) mengemukakan bahwa kebijakan pada dasarnya terdiri dari tiga elemen yaitu : (1) kebijakan publik (public policies) merupakan rangkaian pilihan yang saling berhubungan termasuk keputusan – keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah, selanjutnya diaplikasikan di berbagai bidang termasuk kebijakan lingkungan hidup. Definisi dan formulasi masalah kebijakan sangat tergantung dari keterlibatan para pelaku kebijakan (policy stakeholders), yaitu individu atau kelempok yang mempunyai andil di dalam formulasi kebijakan, karena mereka berpengaruh dan dipengaruhi oleh keputusan atau kebijakan pemerintah, (2) kebijakan lingkungan (policy environment) merupakan konteks khusus dimana kejadian – kejadian di sekeliling isu – isu kebijakan terjadi dapat berpengaruh dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan publik, (3) kebijakan operasional (policy operation) yang didasarkan pada suatu pijakan landasan kerja, yang merupakan dasar dari kebijakan yang
23
ditempuh atau dengan kata lain kebijakan merupakan dasar bagi pelaksanaan atau pengambilan keputusan. Analisis kebijakan mengandung dua kata yaitu analisis dan kebijakan. Analisis adalah suatu pekerjaan intelektual untuk memperoleh pengertian dan pemahaman, sedangkan kebijakan adalah suatu upayah atau tindakan untuk mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu dalam analisis pekerjaan intelektual tersebut merupakan suatu proses memilah dan mengelompokkan obyek kedalam bagian yang lebih rinci sehingga diperoleh pengetahuan tentang ciri dan cara kerja dari obyek tersebut. Di lain pihak dalam kebijakan upaya atau tindakan tersebut bersifat peka untuk mempengaruhi kerja sebuah sistem, oleh karena sasarannya mempengaruhi sistem maka tindakan tersebut bersifat strategis yaitu bersifat jangka panjang dan menyeluruh (Muhammadi et al. 2001). Menurut Dunn (1994) proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan pada dasarnya bersifat politis, aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan kemudian divisualisasikan sebagai serangkaian tahap dan saling bergantung menurut urutan waktu, yaitu : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Tabel 1).
24
Tabel 1. Tahapan dalam proses pembuatan kebijakan. Fase
Karakteristik
Ilustrasi
Penyusunan Agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sementara lainnya ditunda.
Legistrator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undangundang, mengirimkan ke komisi kesehatan dan kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui, rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.
Formulasi Kebijakan
Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif. Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus di antara direktur lembaga, atau keputusan peradilan.
Peradilan negara bagian mempertimbangkan pelarangan tes kemampuan standar seperti SAT dengan alasan bahwa tes tersebut cenderung bias terhadap perempuan dan minoritas.
Implementasi Kebijakan
Kebijakan yang telah diambil, akan dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia.
Bagian keuangan kota mengangkat pegawai untuk mendukung peraturan baru tentang penarikan pajak kepada rumah sakit yang tidak lagi memiliki status pengecualian pajak.
Penilaian/Evaluasi Kebijakan
Unit-unit pemeriksaan dan akuntansi dalam pemerintahan, menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undangundang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.
Kantor akuntansi memantau programprogram kesejahteraan sosial, seperti bantuan untuk keluarga dengan anak tanggungan (AFDC) untuk menentukan luasnya penyimpangan / korupsi.
Adopsi kebijakan
Dalam keputusan Mahkamah Agung pada kasus Roe V Wade tercapai keputusan manyoritas, bahwa wanita mempunyai hak untuk mengakhiri kehamilan melalui aborsi.
Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan pada satu, beberapa, atau seluruh tahap proses pembuatan kebijakan, tergantung dari tipe masalahnya. Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan secara kritis, menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu tahap proses pembuatan kebijakan, hubungan antara analisis kebijakan dengan proses pembuatan kebijakan dapat dilihat pada Gambar 5.
25
ANALISIS KEBIJAKAN
PEMBUATAN KEBIJAKAN
Perumusan Masalah
Penyusunan Agenda
Peramalan
Formulasi Kebijakan
Rekomendasi
Adopsi Kebijakan
Pemantauan
Evaluasi
Implementasi Kebijakan Evaluasi Kebijakan
Gambar 5. Kedekatan prosedur analisis kebijakan dengan proses kebijakan.
pembuatan
Menurut Dunn (1994) perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi - asumsi yang mendasari definisi masalah dan proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda, peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari pengambilan alternatif yang seharusnya dilakukan dalam proses formulasi kebijakan, rekomendasi merupakan tahap yang dapat membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari alternatif yang telah diestimasi untuk masa mendatang, pemantauan atau monitoring merupakan penyedian pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang akan diambil sebelumnya hal ini akan membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan, evaluasi merupakan penilaian kembali yang dapat membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidak sesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan hasil yang dicapai atau evaluasi dapat membantu pengambil kebijakan pada tahap
26
penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan.
Evaluasi dapat
menghasilkan kesimpulan dan penyelesaian masalah yang mendasari kebijakan. 2.13 Analisis SWOT Analisis SWOT artinya didasarkan pada logika berpikir, yaitu kekuatan (strength), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats), dari keempat komponen tersebut mengindikasikan bahwa sangat berpengaruh dan dipengaruhi dalam proses pembuatan kebijakan, baik secara internal maupun eksterna l,
faktor internal yaitu : strength dan weaknesses,
sedangkan faktor eksternal yaitu
opportunities dan threats.
Analisis ini
mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk menyusun keputusan atau kebijakan (Hunger et al. 1996 dan Rangkuti 1999). Rangkuti (1999) mengemukakan bahwa elemen – elemen yang terkandung dalam SWOT atau KKPA yaitu kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Faktor – faktor tersebut mempunyai nilai atau besaran konstribusi terhadap obyek pengamatan yang ditentukan secara subyektif berdasarkan hasil analisis situasi atau lingkungan. Nilai konstribusi masing – masing faktor diplotkan dalam suatu diagram kartesius, dimana faktor internal (kekuatan dan kelemahan) sebagai absis dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) sebagai ordinatnya.
Hasil yang
ditunjukkan proses ploting tersebut, dapat memberikan gambaran terhadap kebijakan strategis yang akan ditempuh. Strategi kebijakan itu sendiri merupakan alat untuk mencapai tujuan baik jangka panjang, program tindak lanjut, serta prioritas alokasi atau pemanfaatan sumberdaya. 2.14 Proses Hirarki Analisis (PHA) Proses hirarki analisis atau the analitycal hierarchy process (AHP) adalah salah satu alat analisis dalam pengambilan keputusan yang baik dan fleksibel. Metode
ini berdasarkan pada pengalaman dan penilaian dari pelaku atau
pengambil keputusan.
Metode AHP ini telah dikembangkan oleh Thomas L.
Saaty, seorang ahli matematika dari University of Pitsburg Amerika Serikat pada tahun 1970-an. PHA ini di desain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat
dengan permasalahan tertentu melalui
prosedur yang di desain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara beberapa alternatif, terutama sekali untuk membantu mangambil keputusan untuk
27
menentukan kebijakan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas
dan
membuat keputusan yang paling baik ketika aspek kualitatif dan kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan (Budiharsono
2003).
Selanjutnya Saaty
(1991) menjelaskan bahwa pengamatan mendasar tentang sifat manusia, pemikiran analitik, dan pengukuran membawa pada pengembangan suatu model yang berguna untuk memecahkan persoalan secara kuantitatif.
Proses hirarki
analisis adalah suatu model yang luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan
atau
kelompok
untuk
membangun
gagasan- gagasan
dan
mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing- masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan darinya.
Proses ini juga
memungkinkan orang menguji kepekaan hasil terhadap perubahan informasi. Saaty (1991) menyatakan bahwa kelebihan dari PHA ini yaitu merupakan proses yang ampuh untuk menanggulangi berbagai persoalan politik, sosial ekonomi yang kompleks, pengalokasian dan mengevaluasi sumberdaya alam, dengan memasukkan pertimbanga n dan nilai- nilai pribadi secara logis. Proses ini bergantung pada imajinasi, pengalaman dan pengetahuan untuk menyusun hirarki suatu masalah berdasarkan pada logika, intuisi, dan pengalaman untuk memberi pertimbangan.
Setelah diterima dan diikuti, PHA menunjukkan bagaimana
menghubungkan elemen-elemen dari satu bagian masalah dengan elemen-elemen dari bagian yang lain untuk memperoleh hasil gabungan melalui proses : identifikasi, memahami, dan menilai interaksi- interaksi dari suatu sistem secara keseluruhan. Metode PHA ini dapat membuat hipotesis dan mengujinya, penghalusan hipotesis secara berangsur-angsur akan menambah pemahaman terhadap sistem. Proses ini juga dapat menambah kerangka bagi partisipasi dan konstribusi kelompok pada validasi hasil secara keseluruhan untuk mencapai pengambilan keputusan atau pemecahan persoalan yang proporsional. PHA banyak diterapkan pada persoalan-persoalan
nyata dan terutama berguna untuk pengalokasian
sumberdaya, perencanaan, analisis pengaruh kebijakan, dan penyelasian konflik. Saat ini PHA digunakan secara luas dalam perencanaan perusahaan, pemilihan portofolio, analisis biaya dan manfaat, dan untuk mngevaluasi sumberdaya alam bagi penanam modal (Saaty 1991).
28
Saat y (1991) me nge mukak a n t iga pr ins ip dasa r proses hirark i a na lit ik ya it u : (1 ) Me ngga mbarka n da n me ngura ika n secara hir ark is, ya it u me meca h- meca h persoa la n me njad i uns ur- uns ur te rp is a h, (2) pe mbed aa n pr io r itas da n s intes is ata u pene tapa n pr io r itas, ya it u me ne nt uka n per ingka t e le me n- e le me n me nur ut re lat if pent ingnya, (3 ) ko ns iste ns i lo gis, ya it u me nja min ba hwa se mua e le me n dik e lo mpokk a n secara lo gis da n d ipe r ingka tka n secara ko ns ist e n ses ua i de nga n sua t u kr iter ia lo gis. Poerwowida gdo (2004) me nge mukaka n ba hwa ta hapa n das ar pe lak sa naa n PHA s eba ga i be r ik ut : (1) Penentuan level dilaksanakan dengan memilah- milah permasalahan dalam level- level secara hirarkis sesuai relevansinya. Level pertama, yang tertinggi merupakan fokus atau sasaran menyeluruh, berjenjang secara hirarkis ke level- level berikutnya sesuai faktor penentu yang relevan dengan sasaran menyeluruh pada level 1, (2) pada model aslinya, Saaty memberikan nilai numerik pada tiap level dengan perbandingan pasangan antar faktor. Dengan proses matriks dan eigen value akan diperoleh bobot prioritas tiap faktor terhadap kriteria di level atasnya (modifikasi terhadap metode dengan menyederhanakan ‘pembobotan’ bertahap tak langsung), (3) untuk menguji konsistensi pembandingan, digunakan alat uji Consistency Ratio yang diharapkan kurang dari 0.1 (dengan modifikasi, rasio konsistensi tidak diperlukan). Asumsi - asumsi yang dapat digunakan oleh AHP (Budiharsono 2003) sebagai berikut : (1) harus terdapat sedikit (jumlah yang terbatas) kemungkinan tindakan atau penilaian yakni : 1, 2, . . . wn . yang nilainya positif, n adalah yang terbatas, (b) responden diharapkan akan memberikan nilai dalam angka terbatas untuk memberi tingkat urutan (skala) pentingnya atribut-atribut, (3) skala yang dipergunakan tergantung dari pandangan responden dan situasi yang relevan, walaupun demikian tetap mengikuti pendekatan AHP dipergunakan metode skala Saaty, mulai dari menggambarkan antara satu atribut terhadap atribut lainnya sama-sama penting dan untuk atribut yang sama selalu bernilai satu,
sampai
dengan sembilan yang menggambarkan satu atribut ekstrim penting terhadap atribut lainnya. Saaty (1991) mengemukakan bahwa keuntungan dalam menggunakan PHA (proses hirarki analisis) sebagai alat untuk menganalisis suatu keputusan atau kebijakan sebagai berikut :
29
1. Kesatuan : PHA memberi suatu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka macam persoalan tak terstruktur. 2. Kompleksitas : PHA memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan yang kompleks. 3. Konsistensi : PHA melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas. 4. Saling ketergantungan : PHA dapat menangani saling ketergantungan elemenelemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier. 5. Sintesis : PHA menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. 6. Pengukuran : PHA memberi suatu skala untuk mengukur variabel sehingga terwujud suatu metode untuk menentukan atau menetapkan prioritas. 7. Pengulangan proses : PHA memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan. 8. Penyusunan hirarki : PHA mencerminkan kecenderungan alami pemikiran untuk memilah- milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat yang berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat. 9. Penilaian dan konsensus : PHA tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil
yang representatif dari berbagai penilaian yang
berbeda-beda. 10. Tawar menawar : PHA mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor dari sistem dan memungkinkan orang untuk memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
30
2.15 Kerangka Pemikiran Pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru masih dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk pemanfaatan yang bersifat konvensional dan sangat dipengaruhi oleh budaya dan persepsi setempat, oleh karena stakeholders belum mempunyai komitmen atau kesepakatan bersama dalam pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dari setiap kegiatan yang direncanakan. Perilaku masyarakat yang bersifat kovensional sesuai dengan budaya masyarakat setempat memandang ekosistem mangrove sebagai suatu karunia yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, tanpa memandang tingkat kerusakan dan degradasi ekosistem mangrove itu sendiri.
Kegiatan masyarakat dalam
pemanfaatan ekosistem mangrove umumnya dilakukan berdasarkan kepentingan individu yang cenderung
mengeksploitasi dan merusak ekosistem mangrove
untuk tujuan : penambahan areal pemukiman, areal budidaya, pengambilan kayu, pembuangan sampah.
Sedangkan stakeholders
mempunyai kecenderungan
memanfaatkan dan mengelola ekosistem mangrove menjadi obyek wisata dan areal industri, dimana saat ini telah berlangsung perburuan beberapa jenis burung dan ikan di lingkungan hutan mangrove, kegiatan ini dilakukan tanpa adanya prosedur dan aturan dari pemerintah, sehingga terjadi benturan kepentingan yang pada akhirnya bermuara pada keinginan untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi tanpa memperhatikan dampak secara ekologis.
Hal tersebut terjadi
karena kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang diadopsi dari pemerintah pusat kurang relevan dengan kebijakan yang seharusnya diterapkan di lokasi studi. Oleh karena itu, berdasarkan undang-undang nomon 22 tahun 1999, tentang otonomi daerah, maka pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan (decision maker) seharusnya menggunakan hak otonomi tersebut untuk mengadakan suatu bentuk kajian kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove yang spesifik di lokasi studi melalui suatu bentuk penelitian ilmiah, sehingga pemerintah daerah dapat menerapkan sutau bentuk kebijakan pemanfaatan sumberdaya mangrove sebagai alternatif penyelesaian masalah pemanfaatan ekosistem mangrove yang dinilai tidak efisien dan optimal. Perilaku dan kebiasaan manyarakat dalam pemanfatan ekosistem mangrove yang tidak didasari adanya data, informasi, dan perencanaan yang baik, berpengaruh terhadap potensi ekosistem mangrove yang
tidak termanfaatkan
31
secara optimal dan lestari, sehingga terjadi degradasi dan penurunan kualitas lingkungan (ekosistem mangrove) tersebut. Untuk mendapatkan suatu strategi pemanfaatan dan alternatif pemanfaatan yang bersifat holistik dan kompetitif, maka dalam penelitian ini akan dilakukan pengambilan data sumberdaya ekosistem mangrove untuk mengkaji stabilitas ekosistem mangrove, data sosial ekonomi dari masyarakat dan instansi terkait untuk mengkaji dan menyusun strategi kebijakan pemanfatan
dari ekosistem mangrove secara terpadu
berkelanjutan. Data sumberdaya mangrove, biofisik lingkungan, dan sosial ekonomi yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan bantuan beberapa software, selanjutnya akan dilakukan analisis kebijakan
pemanfaatan
dan interpretasi data untuk mendapatkan
ekosistem
mangrove
secara
terpadu
dan
berkesinambungan yang siap diterapkan pada obyek kajian. Adapun output yang dihasilkan dari seluruh rangkaian kegiatan tersebut adalah rekomendasi kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan sustainable (Gambar 6). Oleh karena itu dengan tersedianya pilihan-pilihan kebijakan dari hasil penelitian ini diharapkan pemerintah daerah dapat menentukan suatu kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove yang berbasis pada tatanan ekologi dan sosial ekonomi masyarakat.
32
Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ekosistem Mangrove oleh stakeholders Budaya, perilaku dan persepsi masyarakat
Tingkat kesejahtraan
Kerusakan dan Degradasi Ekosistem Mangrove.
Sumberdaya Mangrove.
Parameter Biofisik Mangrove.
Dampak Sosial Ekonomi
Analisis dan Prosesing Data SWOT dan AHP (A’WOT) GIS (Geography Information System)
Pemilihan Kriteria Pemanfaatan Ekosistem Mangrove
Strategi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan.
Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove. Feedbacd
Gambar 6. Skema kerangka pemikiran penelitian.
33
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Pebruari sampai Agustus 2006.
Lokasi penelitian di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan, terdiri dari empat kecamatan yang ditumbuhi vegetasi mangrove, yaitu Kecamatan Mallusetasi, Kecamatan Soppengriaja, Kecamatan Balusu, dan Kecamatan Barru (Gambar 7). Sedangkan analisis data
dilakukan di Laboratorium Ekologi Laut dan
Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Gambar 7. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan
34
3.2 Penentuan Stasiun Penentuan stasiun pengamatan mengacu pada aspek ekologi hutan mangrove dan
bantuan Citra Satelit Landsat TM akuisisi 2002.
Stasiun
pengamatan terdiri atas 4 stasiun berdasarkan jumlah kecamatan yang memiliki vegetasi hutan mangrove, setiap stasiun dibagi menjadi 3 substasiun, ditentukan secara purposive berdasarkan jenis, penutupan kanopi dan kondisi ekosistem mangrove, dengan pembagian stasiun sebagai berikut : Stasiun I terletak di Kecamatan Mallusetasi dengan luas mangrove sekitar 3.57 ha, stasiun II terletak di Kecamatan Soppengriaja dengan luas sekitar 6.85 ha, stasiun III terletak di Kecamatan Balusu dengan luas 96.37 ha,
sedangkan stasiun IV terletak di
Kecamatan Barru dengan luas 6.23 ha. Selain itu, akan dilakukan sampling terhadap masyarakat yang berdomisisli di sekitar ekosistem mangrove yang bersentuhan langsung dengan pemanfaatan ekosistem mangrove dengan menggunakan kuesioner. 3.3 Pengambilan Data Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer dilakukan dengan melalui pengukuran langsung di lapangan pada ekosistem mangrove, masyarakat yang berdomisili di sekitar areal mangrove, instansi pemerintah dan swasta yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya di Kabupaten Barru. Adapun metode atau teknik pengambilan data dapat dilakukan sebagai berikut : 3.3.1 Pengambilan Data Mangrove Pengambilan data ekosistem mangrove dilakukan dengan menggunakan metode transek yaitu membuat garis transek sepanjang 100 meter atau 500 meter dengan lebar 10 meter sampai 20 meter, pada setiap transek yang telah dibentuk pada masing–masing stasiun pengamatan,
selanjutnya dibuat plot ukuran
bertingkat masing - masing 10 m x 10 m untuk tingkat pohon; 5 m x 5 m untuk tingkat pancang/anakan ; dan 1 m x 1 m untuk tingkat semaian, kemudian dicatat seluruh jenis dan jumlah pohon mangrove
yang tumbuh dalam luasan plot
tersebut (English et al. 1994 dan Kusmana 1997), seperti yang disajikan pada Gambar 8.
35
b c
10 m
a
a
c garis rintis
b
10 m Keterangan : Petak a Petak b Petak c
: Sub-plot untuk semaian, ukuran 1 m x 1 m : Sub-plot untuk pancang/anakan, ukuran 5 m x 5 m : Sub-plot untuk pohon, ukuran 10 m x 10 m
Gambar 8. Bagan transek cuplikan vegetasi mangrove di lapangan. 3.3.2
Pengambilan Data Biofisik Pengambilan data biodiversity organisme yang berasosiasi dengan
ekosistem mangrove (pada substrat, kolom air, akar, batang, dan daun mangrove) akan dilakukan sampling berdasarkan petunjuk English et al. (1994) dan Kusmana (1997). Sedangkan parameter seperti : suhu, salinitas, oksigen terlarut, nutrien (N dan P), pH, Eh dan substrat disampling berdasarkan (English et al. 1994 dan Hutagalung et al. 1997). Adapun data Geomorpologi pantai, iklim, curah hujan, angin, pasang surut, gelombang dan arus dikumpulkan dalam bentuk data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait. 3.3.3 Pengambilan Data Sosial Ekonomi Masyarakat Data dan informasi yang dikumpulkan bersifat deskriftif korelasional untuk menggambarkan atau mendeskripsikan seluruh fenomena dan fakta – fakta yang terkait dengan objek kajian (Natzir 1999). Metode pengumpulan data sosial ekonomi akan dilakukan dengan menggunakan teknik sampling non-probability sampling terhadap para penentu kebijakan dan stakeholders lainnya. Penentuan jumlah sampel dilakukan secara purposive atau teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu, metode ini bertujuan untuk mengetahui perilaku, interaksi dan tingkat kesejahtraan populasi masyarakat di sekitar hutan mangrove dilakukan dengan menggunakan kuesioner tertutup sebanyak 172 responden atau 10 % dari jumlah 1.728 populasi. Sedangkan untuk kuesioner A’WOT bertujuan untuk
36
mengetahui peruntukan dan pemanfaatan ekosistem mangrove
digunakan
kuesioner terbuka sebanyak 25 respoden yang ditentukan secara selektif, terdiri dari Expert (orang yang ahli dan berpengalaman dalam pengelolaan ekosistem mangrove), jumlah responden dapat dirinci sebagai
berikut : dari pihak
pemerintah sebanyak 10 renponden; pihak perguruan tinggi sebayak 2 responden; pihak LSM sebanyak 2 responden dan swasta yang terkait sebayak 2 responden; tokoh masyarakat dan tokoh agama sebanyak 4 responden; masyarakat nelayan 5 responden (Gambar 9). Metode survei bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah variabel pada suatu kelompok melalui wawancara langsung terhadap responden dan tetap berpedoman pada daftar pertanyaan atau kuesioner yang telah disusun (Saaty 1991; Singaribuan 1995 dan Sugiono 2003). Populasi penduduk di Lokasi Penelitian (93.947 jiwa) Expert (Ahli kebijakan mangrove) 25 responden
Pengambil Hasil Hutan (17 responden)
Kayu (4), Arang (4) Bibit Mangrove (2)
Populasi Nelayan (1.728 jiwa)
Nelayan Tangkap (80 responden)
Ikan (6), Udang (6) Kepiting (6), Kerang (2)
Petani Ikan /Tambak (60 responden)
Monokultur (12) Polikultur (6)
Pengambil Satwa (15 responden)
Burung (2) Kelelawar (2)
Gambar 9. Skema rincian pengambilan sampel dari jumlah populasi
Sedangkan pengumpulan data sekunder diperoleh dari beberapa instansi dan lembaga yang terkait, seperti : kantor bupati kepala daerah tingkat II Barru, badan perencanaan pembangunan daerah (Bappeda) Kabupaten Barru, badan pusat statistik (BPS) Kabupaten Barru, dinas eksplorasi laut dan perikanan Kabupaten Barru, dinas kehutanan Kabupaten Barru, dinas pengendalian dampak lingkungan Kabupaten Barru, kantor desa dan kecamatan pada setiap lokasi penelitian di Kabupaten Barru.
37
3.4 Analisis Sampel Sampel mangrove diidentifikasi berdasarkan buku petunjuk : Noor et al. (1999) dan Soerianegara (1987), sedangkan sampel parameter lingkungan perairan dianalisis berdasarkan (Hutagalung et al. 1997). 3.5 Analisis Data Hasil survei, interpretasi dan evaluasi kebijakan yang telah dilakukan di daerah penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan dan pemanfatan ekosistem mangrove secara umum belum optimal dan belum menunjukkan dampak positif terhadap kondisi mangrove dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Indikator penilaian yang diguna kan untuk mengevaluasi kebijakan ekosistem meliputi : (a) tingkat kerusakan dan degradasi ekosistem mangrove, dengan kriteria perubahan luasan areal mangrove, (b) optimalisasi kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove, dengan kriteria kuantitas kegiatan, (c) pencapaian target dan penyelesaian masalah lingkungan dan sosial ekonomi
masyarakat,
dengan
kriteria
tingkat
kesejahteraan
masyarakat.
Berdasarkan hasil evaluasi kebijakan tersebut, maka selanjutnya dilakukan pengambilan dan analisis data ekologi, data sosial dan data ekonomi masyarakat untuk mendukung penyusunan kebijakan yang relevan dengan kondisi lingkungan dan masyarakat di lokasi penelitian. Dalam rangka penyusunan kerangka konsep kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove tersebut, maka dilakukan analisis data secara komprehensif yang melibatkan analisis data ekologi hutan mangrove dan data sosial ekonomi, selanjutnya akan dilakukan kroscek dengan tabel standar kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ekosistem mangrove, sehingga diperoleh jenis dan kegiatan pemanfaatan yang terbaik bagi stakeholders dalam rangka pemanfaatan ekosistem mangrove tersebut. Selanjutnya akan dilakukan analisis SWOT (strengths weaknesses opportunities and threaths) dan AHP (analitical hierarchy process) untuk menentukan kebijakan pema nfaatan ekosistem mangrove yang sesuai di
lokasi penelitian,
sehingga didapatkan kebijakan
terbaik yang dapat diterapkan dan diimplementasikan di lokasi penelitian maupun di daerah lainnya yang memiliki kondisi ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat ya ng sesuai. Adapun alur analisis data dalam penyelesaian penelitian ini, dapat dilihat pada Gambar 10.
38
Kebijakan Pemerintah Daerah tentang Pemanfaatan Ekosistem Mangrove saat ini
Survey dan Interpretasi Kebijakan Pemerintah Daerah tentang Pemanfaatan Ekosistem Mangrove saat ini
Indikator Penilaian dari Aplikasi Kebijakan : 1. Tingkat kerusakan dan degradasi mangrove 2. optimalisasi kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan mangrove 3. pencapaian target dan penyelesaian masalah lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat.
Kriteria Penilaian : Perubahan luas areal mangrove, kuantitas kegiatan, tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pengumpulan dan Analisis Data Primer dan Sekunder
Analisis Data ekologi mangrove : kerapatan, frekuensi, penutupan jenis dan NP.
GIS (Geografis Information System)
Kondisis Ekosistem Mangrove dan Sosial Ekonomi Masyarakat
Analisis Data Ekonomi : NML (Nilai Manfaat Langsung/direct use value)
Parameter lingkungan / hutan mangrove
Analisis Kesesuaian untuk Pemanfaatan Lahan Mangrove
Analisis A’WOT untuk Menentukan Alternatif Kebijakan Terbaik
Analis is SWOT untuk menentukan strategi kebijakan
Analisis AHP untuk Memilih Alternatif Pemanfaatan Terbaik Strategi kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove
Penentuan Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove yang Baru
Gambar 10. Alur analisis data untuk menentukan kebijakan pemanfaatan mangrove di Kabupaten Barru
39
3.5.1
Analisis Vegetasi Mangrove Data vegetasi mangrove yang diperoleh dari lapangan selanjutnya dianalisis
untuk mengetahui : kerapatan jenis
dan penutupan jenis
(Bengen 2002 dan
Kusmana 1997) dengan formulasi sebagai berikut : 1. Kerapatan Jenis i (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area dengan rumus : ni Di =
dan
A
ni RDi =
X 100 %
?
n
dimana : Di = Kerapatan jenis i (Ind iv/m2 ), ni = Jumlah total tegakan jenis i, A = Luas total area pengamatan sampel (m2 ), RDi = Kerapatan relatif Jenis i (%), dan ∑ n = Jumlah total tegakan seluruh jenis 2. Frekuensi Jenis i (Fi) adalah peluang jenis i dalam plot, dapat dihitung dengan rumus : Pi Fi =
dan
Fi RFi =
?p
?
X 100 % F
Dimana, Fi = Frekuensi Jenis I, pi = Jumlah plot ditemukannya jenis I, Σp = Jumlah total plot yang diamati, RFi = Frekuensi relatif jenis i (%), ΣF = Jumlah frekuensi seluruh jenis. 3. Penutupan Jenis i (Ci) adalah Luas penutupan jenis i dalam plot yang dihitung dengan rumus : ?BA
Ci
dan
Ci RCi =
=
?
X 100 % C
A
dimana: Ci= Penutupan jenis dalam satu unit area, A = Luas total plot (m2 ), ΣC = Jumlah penutupan dari semua jenis, RCi = Penutupan relatif jenis i (%), DBH = Lingkar batang (m), dimana : BA = π DBH2 / 4 4. Jumlah nilai Kerapatan relatif jenis (RDi), Frekuensi relatif jenis (RFi), dan Penutupan relatif jenis (RCi) menunjukkan Nilai Penting Jenis (NPi) dengan rumus : NPi = RDi + RFi + RCi
dimana : nilai penting jenis mangrove berkisar antara 0 - 300 (Bengen 2002).
40
3.5.2
Analisis Organisme Organisme yang hidup berasosiasi dengan vegetasi mangrove dianalisis
dengan menggunakan analisis Kelimpahan dan Keanekaragaman sebagai berikut : 1.
Kelimpahan organisme dihitung dengan menggunakan persamaan yang dikemukakan oleh Odum (1971) sebagai berikut :
10000 K
x ΣXi
= nxa
dimana : K = Kelimpahan Organisme; Σ Xi = Total individu pada 5 sub plot (ekor); n = Jumlah ulangan sub plot ( 5 kali ); a = Luas sub plot/luas bukaan mulut Grab Sampler (20 x 20 = 400 cm2 ). 2. Keanekaragaman organisme atau biological diversity (biodiversity), dihitung menggunakan persamaan Shannon Indeks (H’) oleh English et al. (1994); Ludwig and Re ynolds (1998) dengan persamaan sebagai berikut :
S
Ni
H’ = - ? I=1
Ni Ln
N
N
dimana : Ni = jumlah individu pada spesies i; N = jumlah total individu seluruh spesies.
3.5.3
Analisis Ekonomi Data ekonomi sumberdaya mangrove yang diperoleh dari masyarakat
melalui kuesioner sebagai data primer dan data sekunder yang didapatkan dari instansi terkait akan dianalisis untuk menentukan Nilai Manfaat Langsung yang merupakan bagian dari total economic value oleh Borton (1994) dengan persamaan sebagai berikut : 1. Nilai manfaat langsung (NML) atau direct use value (DUV) dihitung dengan rumus berikut : NML = ML Hi + ML Pi + ML Si + ML Ti + ML Wi +
41
dimana : ML = manfaat langsung; ML Hi = manfaat langsung hasil hutan (i = 1,2,3,4, 5… n) 1 = potensi kayu untuk bahan bangunan, 2 = ranting kayu bakar, 3 = arang, 4 = daun nipah, dan 5 = bibit mangrove). Sehingga :
ML Hi
n = ? Hi i=1
ML Pi = manfaat langsung perikanan (i = 1,2,3,4 ... n) 1 = kepiting, 2 = udang, 3 = ikan, dan 4 = kerang. Sehingga : n ML Pi = ? P i i=1 ML Si = manfaat langsung hasil satwa (i = 1,2,3,4... n)1 = burung, 2 = biawak, 3 = kera, 4 = kroto. Sehingga : n ML Si = ? S i i=1 ML Wi = manfaat langsung sebagai habitat flora dan fauna untuk wisata yang dapat diestimasi setara dengan nilai rupiah yang diperoleh dari wisatawan.
3.5.4
Kuantifikasi Seluruh Manfaat dan Fungsi ke dalam Nilai Rupiah Tahap kuantifikasi manfaat dilakukan setelah seluruh manfaat dan fungsi
ekosistem mangrove berhasil diidentifikasi.
Adapun teknik kuatifikasi yang
digunakan yaitu : a. Nilai pasar, digunakan untuk merupiahkan komoditas yang langsung dapat dipasarkan, pendekatan ini terutama untuk menilai manfaat langsung ekosistem mangrove seperti : hasil hutan, hasil perikanan, dan hasil satwa. b. Harga tidak langsung, pendekatan ini digunakan bila mekanisme pasar gagal memberikan nila terhadap komponen yang diteliti sebagai contoh misalnya : komponen atau komoditas tersebut belum memiliki pasar dan cara seperti ini digunakan untuk merupiahkan nilai manfaat tidal langsung bagi ekosistem mangrove.
42
c.
Contingent valuation method (metode penilaian menyeluruh), metode ini digunakan untuk mengkuatifikasi manfaat dari keberadaan ekosistem mangrove.
3.5.5
Kriteria Kesesuaian Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Berdasarkan hasil survei dan analisis data, maka disusun suatu matriks
kriteria ekobiologi untuk pemanfaatan secara spesifik ekosistem mangrove disetiap lokasi penelitian, selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian untuk pemanfaatan lahan berdasarkan kriteria kesesuaian lahan yang merupakan standar baku nasional. Kriteria kesesuaian pemanfaatan ekosistem mangrove, didasarkan pada empat kelas yaitu : (1) kelas S1 kategori sangat sesuai (higly suitable), lahan tidak mempunyai pembatas yang kuat untuk suatu tujuan pemanfaatan tertentu secara lestari atau hanya mempunyai pembatas yang lemah dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi lahan tersebut, serta tidak menambah pengusahaan yang baru terhadap lahan tersebut, (2) kelas S2 ketegoti sesuai (suitable), lahan mempunyai pembatas agak kuat untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari, pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas lahan dan keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan masukan terhadap penguasaan lahan tersebut, (3) kelas S3 kategori tidak sesuai saat ini (currently not suitable), lahan yang mempunyai pembatas sangat kuat, akan tetapi masih dapat diatasi, artinya masih dapat diolah dengan bantuan teknologi sehingga kelasnya dapat setingkat lebih tinggi (kategori sesuai), (4) kelas N kategori tidak sesuai permanen (permanently not suitable), lahan yang mempunyai pembatas sangat kuat/permanen, sehingga tidak memungkinkan untuk digunakan.
Matriks kesesuaian pemanfaatan lahan
ekosistem mangrove dapat di lihat pada Tabel 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Sedangkan indeks ovelay (nilai indeks evaluasi kelayakan lahan) dapat ditentukan berdasarkan dari nilai dan bobot setiap parameter biofisik lingkungan yang tertera dalam tabel matriks kesesuaian pemanfaatan lahan pada masing – masing peruntukan, dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut : n
S =
∑
i=1 n
∑
S iB
i=1
B
i
i
43
dimana : S = Nilai Indeks Evaluasi Kelayakan Si = Nilai Skor Parameter/Peta ke- i Bi = Nilai Bobot Parameter/Peta ke- i n = Jumlah Parameter/Peta Tabel 2. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman penduduk. No
1 2 3 4 5 6
Parameter
Kategori dan Skor
Bobot
S1
Skor
S2
Skor
S3
Skor
N
Skor
Kemiringan lahan % Ketersediaan air tawar ltr/dt Landuse
3
3-8
4
8 – 15
3
0 -2
2
>16
1
6
>20
4
15-20
3
10-15
2
<10
1
4
A
4
B
3
C
2
D
1
Jarak dari pantai (m) Drainase
3
>200
4
100-200
3
50-100
2
<50
1
4
Tdk tergena ng
4
Tdk tergenang
3
Tdk tergena ng
2
1
Jarak dari sarana dan prasaran penting (m )
5
0-500
4
500-1000
3
>1000
2
Tdk terge nang 1000
1
Sumber : Haris 2003, Sugiarti 2000 (modifikasi) Keterangan : A = pengembangan industri, perkotaan, dan sawah B = kebun campuran, sawah, semak belukar, dan alang-alang C = cadangan pengembangan, hutan produksi, rawa asin, dan rawa air tawar D = hutan lindung, hutan suaka alam Evaluasi Kelayakan : = 3.25 : Sangat Sesuai 1.75 – 2.5 : Sesuai Bersyarat 2.5 – 3.25 : Sesuai = 1.75 : Tidak Sesuai
Tabel 3. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi. No
1 2 3 4
Parameter
Kemiringan lahan ( %) Vegetasi Aspirasi masyarakat
Bobot
Kategori dan Skor S1
Skor
S2
Skor
S3
Skor
N
Skor
2
0 - 15
4
15 – 25
3
25- 40
2
>40
1
3 4
Mangrove Sangat mendukun g
4 4
Mangrove Mendukun g
3 3
2 2
belukar Tidak mendukun g
1 1
3
Mangrove Kurang mendukun g 150-200
2
>200
1
3
30 & 34
2
<30&>34
1
3
28-29
2
<27 & >29
1
Jarak dari 3 <100 4 100-150 pantai (m) 5 Salinitas air 3 30-32 4 32-34 (ppt) 30-33 6 Suhu air 3 29-30 4 ( oC) Sumber : Soedarma 1992, (modifikasi) Evaluasi Kelayakan : = 3.25 : Sangat Sesuai 2.5 – 3.25 : Sesuai 1.75 – 2.5 : Sesuai Bersyarat = 1.75 : Tidak Sesuai
44
Tabel 4. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan wisata pantai kategori wisata mangrove. No
1
Parameter
Bobot
Kategori dan Skor S1
Skor
S2
Skor
N
Skor
2
0 -5
3
5 - 10
2
> 10
1
2
Kedalaman perairan (m) Material dasar
3
Pasir
3
Karang berpasir
2
Lumpur
1
3
Fisiografi pantai
3
Dataran pasut
3
Delta pasut
2
Perbukita n
1
4 5
Amlitudo pasut Kecepatan arus (m/det) Kecerahan perairan (%) Jarak dari pantai (m) Jarak dari sungai (m) Jarak dari sumber pencemar (m) Obyek biota
3 5
0,8-1
3 3
1-1,5 3,8 - 10
2 2
> 1,5 < 3,8
1 1
5
3
2
Rendah (< 25) > 200
1
3
Sedang (50-75) 100 - 200
2
4
Tinggi (>75) < 100
3
< 500
3
500 - 2000
2
> 2000
1
3
< 5000
3
2000 - 5000
2
< 2000
1
3
Ikan, udang, kepiting moluska, reptile dan burung
4
Ikan, udang, kepiting moluska
2
Salah satu biota air
1
Ketebalan mangrove (m) Penutupan lahan pantai (vegetasi)
5
>500
4
>200-500
3
>50-200
1
6
Mangrove
3
Semak belukar, savana
2
Kelapa lahan terbuka.
1
6 7 8 9
10
11 12
10 – 13
1
Sumber : Poernomo 1992, Bakosurtanal 1996, Yulianda 2007 (modifikasi) Evaluasi Kelayakan : = 2.33 : Sangat Sesuai 1.67 – 2.33 : Sesuai = 1.67 : Tidak Sesuai
Tabel 5. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan industri. Kategori dan Skor No
Parameter
1 2 3 4 5
Kemiringan (%) Jenis tanah Fisiografi pantai Ketersediaan air tawar l/dtk Drainase
6 7
Jarak dari jalan (m) Landuse
S1
S2
S3
N
3 -8 Katrt isol Dataran >20 Sangat tidak tergenang 0 - 200 Alangalang,semak,hut an, dan kebun campuran
9 - 15 alluvial Dataran pasut 15 - 20 Tidak tergenag
0 -2 2 Perbukitan 10 - 15 Tergenang periodek > 500 -
> 16 Podsolik Gambut/delta < 10 Tergenang permanen Jalur hijau, hutan lindung, hutan bakau, penyangga rawa.
Sumber : Poernomo 1992, Widigdo 2001 (modifikasi) Evaluasi Kelayakan : = 3.25 : Sangat Sesuai 2.5 – 3.25 : Sesuai 1.75 – 2.5 : Sesuai Bersyarat = 1.75 : Tidak Sesuai
>200 - 500 Pemukiman, perkebunan campuran
45
Tabel 6. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya tambak. No
Parameter
Bobot
Kategori dan Skor S1
Skor
S2
Skor
N
Skor
1
Kemiringan (%)
4
0–2
3
2–8
2
>8
1
2
Jenis tanah
4
alluvial
3
alluvial
2
Podsolik
1
3
Fisiografi pantai
3
Dataran
3
Delta pasut
2
Perbukit
1
4
Amlitudo pasut
3
3
1-1,5
2
5
PH
3
Salinitas (ppt)
4
pasut
6
an
0,8-1
3 15-25
> 1,5
2
3
25-35
1 1
2
> 35
1
7
o
Suhu air ( C)
4
8
Jarak dari sungai (m)
4
<2000
3
2000-4000
2
> 4000
1
9
Jarak dari jalan (m)
4
<1000
3
1000-2000
2
> 2000
1
10
Landuse
3
A
3
B
2
C
1
3
2
1
Sumber : Poernomo 1992, Widigdo 2001 (modifikasi) Evaluasi Kelayakan : Keterangan : = 2.33 : Sangat Sesuai A = rawa asin 1.67 – 2.33 : Sesuai B = cadangan pengembangan sawah, belukar, alang-alang = 1.67 : Tidak Sesuai C = hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam,rawa pengembangan industri, pengembangan perkotaan.
Tabel 7. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum. No
Parameter
Kategori dan Skor S1(skor 4)
S2 (skor 3)
S3( skor 2)
N ( skor 1)
Bobot
1.
Kemiringan (%)
0-2
2–8
8
8 - 15
20
2.
Kecepatan arus (m/det.)
0 - 20
21 - 30
31 - 40
> 40
20
3.
Kedalaman perairan (m)
> 15
12 - 15
10 - 12
< 10
15
4.
Material dasar/sedimen
Lempung
Pasir berlumpurPasir berkarangKarang
15
berpasir 5.
Tinggi gelombang
0 - 20
21 - 40
41 - 50
> 50
15
6.
Keterlindungan
Sangat
Terlindung
Semi
Terbuka
10
terlindung Sumber : Kramadibrata 1985 (modifikasi). Evaluasi Kelayakan : 3,15 – 3,80 : Sangat Sesuai 2,50 – 3,15 : Sesuai 1,85 – 2,50 : Sesuai Bersyarat 1,20 – 1,85 : Tidak Sesuai
tertutup
46
3.5.6 Analisis Spasial Analisis data spasial untuk pemanfaatan ekosistem mangrove dilakukan dengan menggunakan pengolahan data SIG (sistem informasi geografis). Menurut (Barus dan Wiradisastra 2000) teknolo gi SIG merupakan suatu perangkat alat untuk mengumpulkan, menyimpan, memproses kembali, mentransformasi, dan menyajikan data spasial sesuai aspek-aspek di permukaan bumi. Dalam analisis SIG
menggunakan software ArcView GIS Versi 3.2 terhadap 6 jenis pilihan
kesesuaian lahan, yaitu :
(1) konservasi, (2) pariwisata pantai, (3) budidaya
ikan/tambak, (4) pelabuhan umum, (5) pemukiman penduduk, dan (6) kawasan industri. Adapun pekerjaan yang dilakukan SIG antara lain : 1. Akuisisi data, akuisisi data meliputi pengumpulan data-data yang diperlukan, baik data yang berupa peta, data tabel, dan lain sebagainya. Data tersebut meliputi : peta administrasi Kabupaten Barru, peta LPI lembar 2011-4 edisi 1993, data citra landsat ETM+ 12-09-2002, dan data survey lapangan 2004. 2. Penyusunan basis data digital, pekerjaan ini bertujuan untuk merubah data analog yang berupa peta-peta di atas menjadi format digital. Selain itu juga merubah data-data digital yang sudah tersedia menjadi format yang diinginkan, sehingga terbentuk keseragaman format data digital. 3. Analisis, pekerjaan ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian pemanfaatan lahan ekosistem mangrove dengan menggunakan metode tumpang susun masing- masing data spasial dan atribut parameter-parameter kesesuaian. Selanjutnya dilakukan proses digitalisasi untuk membentuk satu kesatuan basis data tentang informasi tutupan lahan yang berbentuk peta digital, dibutuhkan juga data pendamping lainnya sebagai bahan overlay untuk merumuskan analisis tutupan lahan yang paling sesuai (Gambar 11). Hal- hal yang dilakukan dalam penyusunan basis data digital meliputi : (1) ketersediaan dan kemampuan perangkat keras dan perangkat lunak, (2) kelengkapan data, (3) penentuan kodefikasi terhadap Unsur_id dari setiap feature, setiap informasi yang berbeda harus mempunyai Unsur_id yang berbeda pula.
47
Gambar 11. Diagram alur penyusunan basis data Digitasi dilakukan terhadap data berupa peta-peta yang masih dalam format analog (kertas). Editing dilakukan guna memperbaiki segala kesalahan-kesalahan yang terjadi pada saat pendigitasian yang meliputi overshoot, undershoot, bentuk arc, unsur_id, dan lain- lain. Topologi, proses pembentukan topologi diperlukan agar terdapat hubungan antara data spasial dan data tabular. Input data tabular, dilakukan secara paralel dengan input data spasial, dimana sebelumnya sudah terdapat kesesuaian kodefikasi yang jelas antara data spasial dan data tabular, hal ini penting agar tidak terjadi miss-linked data. Tagging, dilakukan untuk memberikan tanda atau atribut pada spasial agar dapat link dengan data tabular. Hal yang harus diperhatikan pada saat tagging kesesuaian kode yang telah dibuat pada saat persiapan. Proyeksi/Tranformasi, proses ini berfungsi agar data spasial yang ada sesuai dengan keadaan sesungguhnya di bumi (real world). Ada banyak sistem proyeksi peta yang dapat diterapkan, tergantung dari wilayah cakupannya. Indonesia,
48
merujuk sistem proyeksi yang digunakan Bakosurtanal, yaitu sistem proyeksi UTM (universal transverse mercator). QC (quality control ), hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah masih terdapat kesalahan-kesalahan yang bersifat prinsip, baik terhadap data spasial maupun tabularnya, agar diperoleh hasil yang sebaik mungkin. Proses terakhir yang dilakukan adalah
overlay peta, proses overlay
penting dilakukan sehingga informasi yang didapatkan lebih tajam karena salah satu keunggulan teknologi SIG adalah kemampuannya dalam melakukan analisis spasial yaitu melalui proses overlay peta. Basis data dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian ditrasformasi menjadi bentuk layers atau coverage, selanjutnya dilakukan proses untuk menghasilkan peta – peta tematik dalam format digital sesuai kebutuhan dan kesesuaian pemanfaatan masing – masing lahan.
Setelah basis data terbentuk maka dilakukan analisis spasial dengan
metode tumpang susun (overlay) terhadap parameter yang berbentuk garis atau poligon. Proses overlay dilakukan dengan menggabungkan masing – masing layers untuk setiap jenis kesesuaian lahan.
Penilaian setiap kelas kesesuaian
pemanfaatan lahan dilakukan sesuai dengan indeks ovelay dari masing – masing jenis kesesuaian lahan tersebut (Gambar 12).
Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Gambar 12. Diagram alur metode analisis spasial
49
3.5.7 Analisis Penentuan Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Kebijakan
pemanfaatan
ekosistem
mangrove
dianalisis
dengan
menggunakan analisis SWOT (strengths weaknesses opportunities and threaths) dan Software AHP (analitical hierarchy process), selanjutnya kedua analisis tersebut dipadukan dengan menggunakan analisis A’WOT (Rangkuti 1999; Saaty 1991; dan Budiharsono 2003). Adapun prosedur analisis secara detail dapat diuraikan sebagai berikut : 3.5.7.1 Analisis SWOT Tahapan analisis SWOT yang digunakan dalam menganalisis data lebih lanjut yaitu mengumpulkan semua informasi yang mempengaruhi ekosistem mangrove, baik secara eksternal maupun secara internal.
Pengumpulan data
merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis, pada tahap ini data dapat dibagi dua yaitu : pertama data eksternal dan kedua data internal. Data eksternal meliputi : peluang (opportunities) dan acaman (threaths)
dapat
diperoleh dari lingkungan luar yang mempengaruhi kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove. Sedangkan data internal meliputi : kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) diperoleh dari lingkunagan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove. Tahapan pengumpulan data sampai pada tahap analisis dapat dirinci pada Gambar 13. Tahap Pengumpulan Data
Evaluasi Faktor Eksternal
Evaluasi Faktor Internal
Matrik Profil Kompetitif
Tahap Analisis Data
Matrik SWOT Gambar 13. Rangkaian kerja analisis SWOT Tahap analisis data untuk menyusun faktor- faktor strategi, diolah dalam bentuk matriks SWOT. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana
50
peluang dan ancaman eksternal yang kemungkinan muncul, demikian pula penyesuaian dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.
Matriks dapat
menghasilkan empat kemungkinan alternatif stategi secara detail (Tabel 8). Tabel 8. Standar matriks kombinasi SWOT IFAS
EFAS
Strengths (S)
Weaknesses (W)
Tentukan 2 – 10 faktor- Tentukan 2 – 10 kekuatan faktorkelemahan internal internal
Opportunities (O)
Strategi (SO)
Strategi (WO)
Tentukan 2 – 10 faktorfaktor kelemahan
Ciptakan starategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan
Ciptakan strategis yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluag
Strategis (ST)
Strategi (WT)
Treaths (T)
Tentukan 2 – 10 faktor – Ciptakan strategi yang faktor ancaman ekstarnal. menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman
Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghidari ancaman
Sumber : Rangkuti (2000)
3.5.7.2 Proses Hirarki Analisis (PHA / AHP) Saaty (1991) mengemukanan bahwa ikhtisar langkah- langkah PHA dalam tahapan analisis data sebagai berikut : 1. De finis ika n persoa la n da n r inc i pe meca ha n ya ng d iinginka n ( ide nt ifik as i s iste m). 2. Strukturkan hirarki dari sudut pandang manajerial menyeluruh dari tingkat puncak sampai ke tingkat di mana dimungkinkan campur tangan untuk memecahkan persoalan (penyusunan struktur hierarki). 3. Buat la h ma tr ik s ba nd ing berpa sa ng unt uk ko nt r ib us i ata s pe ngar uh se t iap e le me n ya ng re le va n atas s et iap kr it er ia ya ng berp e ngar uh ya ng berada set ingka t d iat as nya. Ba nd ingka n pas a nga n e le me n d i t iap t ingkat berda sarka n
51
acua n e le me n d i t ingka t atas nya me nggunaka n a ngka bulat me nunj ukka n dominas i sa t u e le me n ter had ap e le me n la innya. Res ip roka lnya d i pa sa ng pada e le me n s is i s ime tr is nya ( me mb uat mat r iks perba nd inga n / ko mpar as i berpasa nga n (pa irwise comparison). 4. Dapatka n se mua pert imba nga n ya ng d ipe r luka n unt uk me nge mba ngka n pera ngkat matr iks d i la ngka h 3 ( me nghit ung matr iks pe ndapa t ind ivid u). 5. Dat a ba nd ing berpasa ng d is us un da la m matr iks be sert a res iproka lnya, de nga n entr i b ila nga n 1 pada d ia go na l mat r iks. Pr io r it as d ic ar i d a n ko ns iste ns i d iuj i ( me nghit ung pe ndapa t gab unga n). 6. Laksa naka n la ngka h 3, 4 da n 5 unt uk se mua t ingkat da n gugusa n da la m hirark i te rseb ut (pe ngo la ha n ho r izo nta l). 7. Gunaka n ko mpos is i secara hir ark is (s int es is ) unt uk me mbobot vek tor- vek tor pr ior itas it u de nga n bobot kr ite r ia- kr iter ia, da n j umla hk a n se mua e ntr i pr ior itas terbobot ya ng be rsa ngk uta n de nga n e nt r i pr ior itas da r i t ingka t bawa h ber ik ut nya, d a n set er us nya. Has ilnya ada la h vek tor pr ior itas me nye lur uh unt uk t ingkat hira rk i pa ling ba wa h (pe ngo la ha n ver t ika l). 8. Evaluasi konsistensi untuk seluruh hirarki dengan mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas kriteria bersangkutan dan menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masing- masing matriks. Dengan cara yang sama setiap indeks konsistensi acak juga dibobot berdasarkan prioritas kriteria yang bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. Ratio konsistensi harus sama atau kurang dari 10% (revisi pendapat). Pendekatan yang digunakan sebagai kriterian penilaian PHA yaitu skala banding secara berpasangan (skala Saaty) dengan kisaran mulai dari nilai bobot 1 sampai 9 Saaty (1991), dapat dilihat pada Tabel 9.
52
Tabel 9. Skala banding berpasangan oleh Saaty. Intensitas Pentingnya 1
Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama penting
Sumbang peran dua elemen sama besar pada sifat tersebut
Pengalaman dan pertimbangan Elemen satu sedikit lebih penting sedikit menyokong satu daripada yang lainnya. elemen atas yang lain
3
5
Elemen satu sangat banding yang lain
penting
Pengalaman dan per timbangan dengan kuat mendukung satu di elemen atas yang lain. Satu elemen dengan kuat dominannya tlh terlihat dlm praktek,
7
Elemen satu jela s lebih penting elemen yang lain.
dari Bukti menyokong kuat elemen satu secara tegas lebih dominan.
9
Elemen satu mutlak lebih penting dari Kompromi diperlukan antara dua elemen yang lain. pertimbangan.
2,4,6,8
Nilai-nilai di antara dua pertimbangan yang berdekatan.
Resiprokal/ Kebalikan
Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j , maka j mempunyai nilai kebalikan dari i
Vektor pembobotan elemen–elemen penelitian terdiri dari A1 , A2 , ..., An yang dinyatakan sebagai vektor w, dimana w = (w1 , w2 , ..., wn ). Nilai intensitas kepentingan elemen penelitian Ai dibandingkan Aj
yang dinyatakan sebagai
perbandingan berpasangan Ai terhadap Aj atau wi / wj = Aij . Nilai wi / wj dimana ij = 1, 2, …, wn , diperoleh dari para expert (stakeholders) yang memiliki kemampuan, pengetahuan, dan kompotensi terhadap permasalahan ekosistem mangrove.
Jika hasil observasi disusun dalam bentuk matriks, kemudian
dikalikan dengan vektor kolom diperoleh hubungan sebagai berikut :
53
Aw = ?w
….……………………………………….
(1)
Bila matrik A diketahui dan ingin diperoleh w, maka dapat deselesaikan melalui persamaan berikut :
| A – ?I | w = 0
…………………………………….
(2)
dimana : I = matriks identitas ? = akar ciri Selanjutnya dilakukan perhitungan akar ciri, vektor ciri, dan hasil yang diperoleh tidak konsisten maka diulangi atau dikoreksi kembali. Untuk mendapatkan (w) divalidasi dengan menggunakan rata-rata aritmetik/ geometrik, selanjutnya dapat dihitung berdasarkan matriks berikut :
| A – ?I | = 0
……………………………………….
(3)
Sedangkan untuk mendapatkan niali vektor ciri (w) yang merupakan bobot setiap elemen, untuk mensintesis judgement (pendapat) yang digunakan dalam menentukan prioritas untuk mendapatkan akar ciri (?), sedangkan akar ciri maksimum (? max ) diperoleh dari hasil perkalian vektor ciri yang mempunyai nilai tertinggi melalui normalisasi matriks, yang disubtitusikan melalui persamaan 2 dan persamaan 3 di atas. Langkah terakhir yang dilakukan yaitu perhitungan indeks konsistensi atau Consistensi Indeks (CI), menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang tingkat konsisten suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan, dapat dihitung dengan persamaan berikut :
? max – n CI =
………………………….. n - 1
dimana : ? n
max
= akar ciri maksimum = banyaknya alternatif
(4)
54
nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk memenuhi konsistensi jawaban dari responden (expert) yang sangat menentukan tingkat akurasi hasil.
Untuk
mengetahui apakah CI dengan besaran tertentu cukup baik atau tidak, perlu diketahui rasio yang dianggap baik apabila nilai CR ≤ 0,1 dimana CR (consistensi rasio), RI (random indeks) dengan rumus sebagai berikut : CI CR =
....…………………………
(5)
RI nilai RI (Random Indeks) ditentukan berdasarkan banyaknya alternatif (n) mengikuti tabel yang dikeluarkan oleh Oarkridge Laboratory (Tabel 10). Tabel 10. Standarisasi nilai Random Indeks (Budiharsono 2003 dan Saaty 1991) n
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
RI 0.00 0.00 0.58 0.90 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49 1.51 1.54 1.56
3.5.7.3 Analisis A’WOT Analisis A’WOT merupakan perpaduan antara SWOT dan AHP. Penggunaan
A’WOT
diharapkan
untuk
mencapai
proses
penelusuran
permasalahan dan membantu pengambilan keputusan dengan strategi terbaik melalui langkah berikut : 1. Sistematik dalam mengamati dan meneliti ulang tujuan dan alternatif strategi atau cara bertindak untuk mencapai tujuan atau kebijakan. 2. Membandingkan secara kuantitatif dari segi ekonomi, manfaat, dampak dari setiap alternatif 3. Menentukan alternatif terbaik untuk diimplementasikan 4. Membuat strategi pemanfaatan ekosistem mangrove secara optimal dengan menentukan atau menyusun prioritas kegiatan. A’WOT dalam menentukan prioritas kebijakan dilakukan secara rasional berdasarkan fakta dan persepsi responden (expert). Adapun tahapan hirarki dalam analisis data, dapat dilihat pada Gambar 14.
55
Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove
Level 1 Fokus/Tujuan
Level 2 Kriteria
Strengths
Level 3 Subkriteria
Level 4 Alternatif
a
b
Perumahan
c
d e
Konservasi
Weaknesses
f
g
Industri
h
Opportunities
i
j
k
Budidaya Ikan
l
Treaths
m n o p q
Wisata Pantai
Pelabuhan Umum
Keterangan : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q.
Keanekaragaman spesies pada hutan mangrove. Potensi sumberdaya hutan mangrove belum dimanfaatkan secara optimal. Kebijakan pemerintah daerah no. 23 tahun 2001, tentang kawasan mangrove sebagai kawasan lindung, yang memungkinkan untuk dikelola dan dimanfaatkan. Tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat lokal masih cukup rendah tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove secara lestari Partisipasi dan kesadaran masyarakat masih relatif rendah terhadap fungsi dan pemanfaatan hutan mangrove. Penataan dan penggunaan ruang untuk pemanfaatan perlu diperjelas batasan dan peruntukannya agar tidak terjadi alih fungsi lahan mangrove. Low enforcement (rendahnya penegakan hukum) terhadap pelaku perusak hutan mangrove Pengembangan mangrove menjadi kawasan konservasi, rehabilitasi, wisata bahari, ekowisata, dan tambak. Akses informasi dan sarana prasarana cukup baik untuk mendukung pengelolaan hutan mangrove. Penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat dan PAD. Adanya animo stakeholders untuk mengembangkan bentuk pengelolaan hutan mangrove Kondisi hutan mangrove mempunyai daya dukung yang terbatas, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan Timbulnya Ego-sektoral yang memungkinkan terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan pesisir. Pengelolaan hutan mangrove tidak sesuai dengan peruntukannya Permintaan pasar domestik dan eksport. Perilaku dan interaksi masyarakat terhadap ekosistem mangrove mengakibatkan Laju konversi ekosistem mangrove
Gambar 14. Proses hirarki A’WOT untuk penentuan prioritas kebijakan
56
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi fisik wilayah penelitian secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : secara administratif Kabupaten Barru adalah salah satu kabupaten yang terdapat di Sulawesi Selatan dengan luas wilayah sekitar 1.174.72 km2 atau sekitar 1.88 % dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, mempunyai wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 65 km. Secara geografis Kabupaten Barru terletak antara 119o 35' 00'' – 119o 37' 16'' Bujur Timur dan 04o 0.5' 49'' – 04o 47' 35'' Lintang Selatan, diapit dan dibatasi oleh beberapa kabupaten, yaitu disebelah barat berbatasan langsung dengan Selat Makassar, sebelah selatan Kabupaten Pangkep, sebelah timur Kabupaten Soppeng / Bone, dan disebelah utara Kodya Pare – Pare (BPS 2003). Ditinjau dari sudut kemiringan lereng Kabupaten Barru mempunyai kemiringan 0 % sampai lebih dari 40 %, yang terdiri dari kemiringan 0 % – 15 % pada daerah dataran rendah dan pesisir pantai dengan luas 31.105 ha (24.48 %), sedangkan daerah kemiringan lereng 15 % - 40 % dikategorikan sebagai daerah daratan pegunungan mempunyai luas sekitar 33.416 ha (28.45 %). Tabel 11. Kondisi topografi dan kemiringan lereng Kabupaten Barru. Kemiringan Lereng Lereng (%) 0 -3 3 - 15 15 - 40 > 40
Kriteria datar landai terjal sangat terjal Jumlah
Luas (ha) 23.452 7.653 52.951 33.416 117.472
Persentase (%) 19.96 6.51 45.08 28.45 100.00
Ketinggian dari Permukaan Laut (MDPL) Ketinggian (Mdpl) 0 - 25 25 - 100 100 - 500 500 - 1000 > 1000 Jumlah Sumber : Bappeda (2000)
Luas (ha) 19.271 18.146 56.589 21.794 1.672 117.472
Persentase (%) 16.40 15.45 48.17 18.55 1.43 100.00
57
4.1.1 Batasan Wilayah Penelitian Batasan wilayah penelitian secara adminstrasi Kabupaten Barru terdiri dari 4 kecamatan dan 13 desa / kelurahan khususnya daerah pantai yang bervegetasi mangrove, luas wilayah penelitian berkisar 165.26 km (16.526 m) dengan panjang garis pantai aktual 54.400 m dan panjang garis pantai potensial untuk ditumbuhi mangrove sekitar 13.500 m yang terdiri dari : Kecamatan Mallusetasi mempunyai luas wilayah 34.22 km2 (3.422 ha)
dengan panjang pantai potensial untuk
pertumbuhan mangrove 3.500 m (3.5 km), Kecamatan Soppengriaja luas wilayah 47.33 km2 (4.733 ha) dengan panjang pantai potensial untuk pertumbuhan mangrove 6.500 m (6.5 km) , Kecamatan Balusu luas wilayah 34.72 km2 (3.472 ha) dengan panjang pantai potensial untuk pertumbuhan mangrove 3.500 m (3.5 km), Kecamatan Barru 48.99 km2 (4.899 ha) dengan panjang pantai potensial untuk pertumbuhan mangrove 5.050 m (5.05 km) , dengan sudut kemiringan lereng berkisar 0 % - 3 % luas keseluruhan kawasan penelitian adalah 16.526 ha, posisi masing – masing stasiun pengamatan ditentukan dengan global positioning system (Tabel 11, 12 dan Lampiran 1). Tabel 12. Stasiun pengamatan dan luas wilayah penelitian dirinci berdasarkan kecamatan dan desa / kelurahan. Kecamatan / Stasiun
Desa / Kelurahan
Luas Wilayah km ha 2
Mallusetasi I Soppengriaja II
Balusu III
Barru IV
Bojo Cilellang Sub-Total Batupute Siddo Lawallu Mangkoso Ajakkan Sub-Total Takkalasi Lampoko Madello Pannikiang Sub-Total Siawung Mangempang Coppo Sub-Total Total
Sumber : BPS (2004) dan data primer (2006).
20.37 13.85 34.22 6.80 8.80 6.10 2.63 23.00 47.33 13.80 8.25 11.69 980 34.72 8.36 13.80 26.83 48.99 165.26
2.037 1.385 3.422 680 880 610 263 2.300 4.733 1.380 825 1.169 98 3.472 836 1.380 2.683 4.899 16.526
58
4.1.2
Geologi dan Geomorfologi Pantai Geologi merup akan gambaran tentang proses dan waktu pembentukan
batuan bumi atau batuan induk yang menyusun suatu wilayah, serta kemampuan morfologi tanah seperti sesar, tebing, kaldera dan lain – lain. Daerah penelitian secara geologi tersusun oleh beberapa jenis batuan, yaitu : batuan beku, batuan sedimen, batuan metamorf, batuan aluvial dan batuan
orgaik, jenis batuan
tersebut mengandung berbagai mineral dan terbentuk melalui proses dan waktu geologi tersendiri. Menurut Munir (1996) dan Bappeda (2000), secara garis besar batuan induk dikelompokkan menjadi 5 (lima) golongan, yaitu : (1) batuan beku (egneus), terbentuk dari pembentukan dengan bahan baku antara lain : granit, diorit, andesit, basalt dan grabo yang tersusun atas mineral primer seperti pasir kuarsa, felspat, mineral berwarna kelam mencakup biotit, angina dan horm blende, (2) batuan endapan (sedimentary rock), dihasilkan dari endapan perekatan hasil – hasil penghancuran batuan lain, kemudian diendapkan di dasar laut atau danau prasejarah, karena perubahan geologi endapan tersebut dapat menjadi suatu massa yang padat berupa mineral sekunder, (3) batuan malihan atau batuan metamorf (metamorphic rock), terbentuk dari metamorfosa atau perubaha n bentuk mineral primer yang berasal dari batuan lain, perubahan tersebut terjadi akibat dari perubahan tekanan atau suhu tinggi, contoh batuan gneiss, schist, kuarsit, batu sabak (slate), dan marmer, (4) batuan aluvial (aluvium), tersusun dari batuan aluvial di daerah daratan aluvial sungai, dataran aluvial pantai, dataran aluvial lanan dan dataran aluvial vulkam, (5) batuan organik, berasal dari sisa – sisa vegetasi rawa yang terdapat di daratan pantai berawa. Kondisi geologi Kabupaten Barru dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian timur terdiri dari rangkaian pegunungan yang tersusun dari endapan gunung api tua, sedangkan di bagian barat atau pada bagian pantai dimana penelitian ini dilakukan ditemukan penyebaran geologi didominasi oleh batu gamping terumbu berlapis, sisipan batu gamping pasiran atau tufaan berbutir halus sampai kasar, breksi, batu gamping, batu lempung, juga diselingi dengan batuan beku terobosan bersifat ultra basa terutama peridotit. Penyebaran geologi yang menyusun setiap kecamatan atau stasiun pengamatan (Tabel 13) .
59
Tabel 13. Penyebaran geologi Kabupaten Barru KECAMATAN Tanete Rilau Barru Tanete Riaja Soppengriaja Mallusetasi
a 3.348 3.650 11.235 4.358 2.985
B 2.976 4.823 7.380 2.675 14.554
GEOLOGI C d 6.885 11.235 8.785 536 1.156
Kab. Barru (ha) Persentase (%)
25.576 21.77
32.408 27.59
11.235 17.362 9.56 14.78
e 453 1.650 9.574 9.537 2.963
f 573 1.935 -
G 565 2.975 246 -
24.177 2.508 20.85 2.13
3.785 3.22
Sumber : Bappeda dan LPPM-Unhas (2000) Keterangan : a = aluminium endapan pantai dan sungai, lumpur, lempung, lava dan kerikil. b = seri dari endapan gunung api tua terdiri dari tufa buputia, halus sampai kasar, beraksi algomerat, lava dengan endapan sisipan batu pasir atau lempung. c = aliran lava basal, percikan oleh limpahan kandungan lensit. d = batu gamping terumbu berlapis, berisi batu gamping pasiran atau taufan berbutir halus sampai kasar, breksi batu gamping, nepal, batu lempung, tufa e = batu sediment bersifat flis serta batuan sediment laut berselingan dengan batu gunung api terdiri dari batu pasir, batu lava, batu lempung nepal f = batuan beku bersifat basa, terutama batuan basal g = batuan beku serobosan bersifat ultra basa, terutama peridesit
Secara geomorfologi daerah penelitian dibedakan atas 2 satuan bentuk lahan, yaitu satuan dataran aluvial dan satuan pantai berkarang. Satuan dataran aluvial merupakan daerah yang mempunyai kemiringan lereng 0 sampai 3 %, dataran ini terbentuk oleh endapan aluvial yang pada umumnya satuan bentuk lahan ini digunakan sebagai pertambakan dan pemukiman. Satuan pantai pada umumnya landai dan tidak teratur, pada beberapa bagian pesisir pantai ditumbuhi vegetasi mangrove dan sebagaian pantainya tidak ditumbuhi vegetasi. 4.1.3
Dinamika Pantai Pasang surut merupakan peristiwa gerakan naik turunnya permukaan air laut
akibat gaya tarik bulan dan matahari terhadap permukaan bumi dengan bantuan gaya sentripetal (gaya lempar bumi) dan ga ya sentripugal (gaya tarik bulan dan matahari).
Ketinggian permukaan air laut di belahan bumi tertentu sangat
ditentukan oleh posisi bulan dan matahari terhadap bumi, jika posisi bumi, bulan dan matahari berada pada satu garis lurus maka terjadi pasang tertinggi di salah satu sisi bumi, sedangkan pada sisi lainnya terjadi air surut. Pasang surut yang terjadi di lokasi penelitian secara umum menunjukkan tipe pasang Semi-diurnal campuran dominant harian artinya pasang surut terjadi dengan periode dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari dengan ketinggian permukaan air yang
60
berbeda, tunggang pasang surut yang terjadi di lokasi penelitian berkisar antara 0 cm sampai dengan 159 cm (Tabel 14), tunggang pasang surut tersebut dapat mencapai genangan air la ut ke wilayah pesisir pantai hingga ke arah daratan melalui sungai – sungai, kondisi ini merupakan salah satu faktor yang mendukung pertumbuhan mangrove dan ekstensifikasi pertambakan. Gelombang merupakan suatu proses rambatan naik turunnya permukaan air yang terjadi di pantai pada dasarnya dibangkitkan oleh angin. Mula- mula angin membangkitkan ombak, kemudian ombak menepi ke pantai. Selama penjalaran ombak menuju pantai yang membias akan membangkitkan arus susur pantai (longshore current) atau arus tolak pantai (rip current), arus tersebut yang dapat mengubah bentuk garis pantai, karena dapat menyebabkan angkutan sedimen susur pantai (longshore transport) atau angkutan sedimen lintas pantai (crossshore transport). Tabel 14. Kondisi parameter oseanografi di sekitar hutan mangrove di beberapa kecamatan dan desa/kelurahan di Kabupaten Barru. No
Kecamatan
Desa / Kelurahan
Tipe Pasut
Pasut (cm) 0 – 159 0 – 159
Tinggi Gelombang (m) 0.51 – 1 0.51 – 1
Kecepatan Arus (m/det) 0.02045
Arah Arus N -Eo 21
Tunggang
1
Mallusetasi
Bojo Cilellang
Semi-diurnal campurandominant -harian
2
Soppengriaja
Batu Pute Siddo Mangkoso Ajjakang
Semi-diurnal campurandominant -harian
0 – 159 0 – 159 0 – 159 0 – 159
0.51 – 1 0.51 – 1 0.51 – 1 0.51 – 1
0.05556
260
3
Balusu
Takkalasi Madello P. Pannikiang
Semi-diurnal campurandominant -harian
0 – 159 0 – 159 0 – 159
0.51 – 1 0.51 – 1 0.51 – 1
0.02347
24
4
Barru
Siawung Mangempang Coppo
Semi-diurnal campurandominant -harian
0 – 159 0 – 159 0 – 159
0.51 – 1 0.51 – 1 0.51 – 1
0.03572
27-60
Sumber : Hasil Pengukuran (2006) dan Bappeda (2000)
Di sepanjang pantai daerah penelitian merupakan pantai yang semi terbuka dan berhadapan dengan Selat Makassar sehingga pantai tersebut dapat dihempas oleh ombak yang dibangkitkan oleh angin yang berhembus dari Selat Makassar. Akibat hembusan angin musiman yang berganti setiap 6 bulan menyebabkan pantai menerima hempasan ombak yang berubah - ubah sesuai dengan arah
61
hembusan angin, pada musim barat ombak terjadi sangat besar sehingga saat tiba di pantai ombak tersebut akan menghempas dan melepaskan energi yang cukup besar, menyebabkan kerusakan material pantai termasuk mangrove pasca rehabilitasi yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini dinas kehutanan bekerjasama dengan LMS (lembaga swadaya masyarakat) dan masyarakat lokal, disisi lain tumbuhan mangrove dapat berfungsi sebagai penghalang untuk meredam energi gelombang yang menghantam pantai. Arus yang terukur di sekitar pantai umumnya arus pasang surut (tidal current), sehingga pada saat pasang naik maka arah arus umumnya menuju ke pantai, arus ini memungkinkan terjadinya arus susur pantai (longshore current) dan arus tolak pantai (rip current). Arus pasang surut dibangkitkan oleh pasang surut air laut yang terjadi di daerah sebelum ombak pecah, sedangkan arus susur pantai dan tolak pantai dibangkitkan oleh ombak setelah pecah. Besar kecepatan arus di sepanjang pantai daerah penelitian berkisar antara 0.02045 m/detik sampai 0.05556 m/detik, seperti disajikan pada Tabel 14.
Kecepatan arus di lokasi
penelitian dapat digolongkan sebagai arus dengan kecepatan lemah, kondisi ini terjadi karena pada saat pengukuran dilakukan tepat pada musim pancaroba dimana angin sebagai pembangkit utama arus cukup tenang. 4.1.4 Parameter Lingkungan Hasil pengukuran parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan ekosistem mangrove seperti : suhu, salinitas, disolved oxygen (DO), substrat, pH, Eh, nitrat dan fosfat. Parameter - parameter lingkunga n tersebut merupakan parameter kunci untuk menganalisis tingkat kesesuaian pemanfaatan lahan.
Secara umum kisaran parameter ekosistem
mangrove yang terukur di lapangan selama penelitian, yaitu : suhu udara 26.6 – 32 o C, suhu air 29 – 33 o C, salinitas 11 – 28 ‰, pH 7.20 – 8.11, dan DO atau oksigen terlarut 2.08 – 8.48 ppm (Tabel 15). Sedangkan parameter lingkungan yang memerlukan analisis laboratorium dari sampel yang diperoleh selama penelitian dengan kisaran, sebagai berikut : nitrat (N-total) 0.10 – 0.14 %, fosfat (P2 O5 ) 5.78 – 16.84 mg/100g, dan Eh 244.78 – 248.58 (Tabel 16).
62
Tabel 15 . Data hasil pengamatan kualitas air di sekitar ekosistem mangrove pada lokasi penelitian Desa/ Kelurahan
Suhu Udara (o C)
Suhu air (o C)
Salinitas (‰)
pH
DO (ppm)
Bojo
30
32.7
28
8.11
1.44
I Mallusetasi
Cilellang
29.8
29.4
22
6.94
8.48
Batupute
28.8
29.9
25
7.71
3.36
II Soppengriaja
Siddo
Stasuin/ Kecamatan
31.3
30.5
20
7.2
3.36
Mangkoso
26.6
30.3
27
7.66
3.36
Ajakkang
28.4
30.9
25
7.38
3.68
Takkalasi
32
32.9
11
7.75
4.8
Madello
31.3
30.7
20
7.20
2.08
Pannikiang
28.4
30.9
25
7.38
2.56
Siawung
29.9
30.4
25
7.42
2.72
Mangempang
31.8
32.7
20
7.56
5.06
29-33
19.5
7.52
7.36
III Balusu
IV Barru
Coppo
Sumber : Hasil pengukuran (2006)
Tekstur sediment yang diperoleh pada areal ekosistem mangrove di setiap stasiun / kecamatan di Kabupaten Barru, yaitu : Kecamatan Mallusetasi jenis sedimennya lupur berpasir dan pasir, Kecamatan Soppengriaja jenis sedimennya lumpur berpasir dan pasir berlumpur, Kecamatan Balusu jenis sedimennya lumpur berpasir, pasir berlumpur dan berpasir, sedangkan Kecamatan Barru jenis sedimennya adalah lumpur berpasir dan pasir berlumpur. Tabel 16. Kondisi parameter sediment/substrat mangrove di beberapa kecamatan dan desa/kelurahan di Kabupaten Barru. No
Kecamatan
Desa/ Kelurahan
1
Mallusetasi
Bojo Cilellang
Lumpur berpasir Berpasir
Nitrat Total (% ) 0.13 0.10
2
Soppengriaja
Batu Pute Siddo Mangkoso Ajjakang
Lumpur berpasir Pasir berlumpur Lumpur berpasir Lumpur berpasir
0.11 0.13 0.10 0.11
16.84 10.78 13.45 9.87
244.78 246.65 247.14 246.34
3
Balusu
Takkalasi Madello Pannikiang
Berpasir Lumpur berpasir Pasir berlumpur
0.12 0.11 0.12
16.84 12.47 5.78
245.78 246.51 244.87
4
Barru
Siawung Mangempang Coppo
Lumpur berpasir Pasir berlumpur Lumpur berpasir
0.12 0.12 0.14
10.45 8.87 12.24
247.78 248.56 246.77
Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
Jenis Sedimen (Substrat)
Fosfat P2 O5 (Mg/100g) 15.47 12.66
Eh (mV) 245.66 248.58
63
4.2 Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove adalah ekosistem pantai yang disusun oleh berbagai jenis vegetasi yang mempunyai bentuk adaptasi biologis dan fisiologis secara spesifik terhadap kondisi lingkungan yang cukup bervariasi. Ekosistem mangrove umumnya didominasi oleh beberapa spesies mangrove sejati diantaranya Rhizophora sp, Avicennia sp, Bruguiera sp, dan Sonneratia sp. Spesies mangrove tersebut dapat tumbuh dengan baik pada ekosistem perairan dangkal, karena adanya bentuk perakaran yang dapat membantu untuk beradaptasi terhadap lingkungan perairan, baik dari pengaruh pasang surut maupun faktor – faktor lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap ekosistem mangrove seperti : suhu, salinitas, oksigen terlarut, sedimen, pH, Eh, arus, dan gelombang. 4.2.1 Komposisi Jenis dan Kerapatan Mangrove Luas areal mangrove di daerah penelitian berdasarkan hasil estimasi dari survei lapangan 2006, peta administrasi Kabupaten Barru, peta lingkungan pantai / LPI lembar 2011-4-edisi 1993, dan citra satelit landsat ETM + 12-09-2002 path /row : 114/803, didapatkan luas areal mangrove yang tumbuh di 4 (empat) kecamatan di pesisir pantai Kabupaten Barru, masing – masing Kecamatan Mallusetasi 3.57 ha (3.16%), Kecamatan Soppengriaja 6.85 ha (6.06%), Kecamatan Balusu dan Pulau Pannikiang Barru
96.37 ha (85.26%), dan Kecamatan
6.23 ha (5.51%), dapat dilihat pada Tabel 17. Secara umum jenis
tumbuhan yang menyusun ekosistem mangrove di lokasi penelitian terdiri dari jenis tumbuhan mangrove sejati dan mangrove ikutan. Jenis tumbuhan mangrove sejati yang dimaksud meliputi : jenis bakau (Rhizophora sp), Api – api (Avicennia sp), tanca (Bruguiera sp), jenis gogen (Sonneratia sp), Ceriops sp, nipa (Nypa fruticans), dan jenis
jaruju hitam (Acanthus ilicifolius).
mangrove ikutan terdiri dari jenis Ipomoea pes-caprae.
Sedangkan jenis Penyebaran setiap
vegetasi tersebut merata di setiap kecamatan khususnya di daerah pesisir pantai, namun demikian jenis pohon yang menunjukkan penyebaran yang dominan adalah jenis bakau (Rhizophora sp), api – api (Avicennia sp), tanca (Bruguiera sp), jenis gogen (Sonneratia sp).
Keempat jenis pohon mangrove tersebut
menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik dengan tingkat penutupan tajuk yang
64
cukup rapat, hal ini mengindikasikan bahwa jenis pohon mangrove tersebut di atas berpotensi untuk dikembangkan di daerah penelitian. Tabel 17. Rekapitulasi areal ekosistem mangrove pada setiap kecamatan dan desa / kelurahan di Kabupaten Barru. No Kecamatan
Desa/Kelurahan Bojo Cilellang Sub-Total
Panjang Pantai (m) 3.000 500 3.500
Luas (Ha) 3.5 0.32 3.57
Persentase (%) 2.88 0.28 3.16
1
Mallusetasi
2
Soppengriaja
Batu Pute Siddo Mangkoso Ajjakang Lawallu Sub-Total
500 2.000 2.000 500 1.500 6.500
0.28 3.75 1.20 0.12 1.50 6.85
0.24 3.32 1.06 0.11 1.33 6.06
3
Balusu
Takkalasi Madello P. Pannikiang Sub-Total
500 2.000 1.000 3.500
0.95 13.25 82.17 96.37
0.84 11.72 72.70 85.26
4
Barru
Siawung Mangempang Coppo Sub-Total
2.300 2.200 550 5.050
0.28 5.50 0.45 6.23
0.24 4.87 0.39 5.51
18.550
113.02
100
Total Mangrove Kab. Barru + P. Pannikiang
Sumber : Hasil analisis data primer (2006); Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Barru (2003); Amri (2002).
Kondisi ekosistem mangrove di lokasi penelitian umumnya cukup baik khususnya di Kelurahan Mangempang dan Desa Siawung Kecamatan Barru, Kelurahan Madello dan Pulau Pannikiang Kecamatan Balusu, Kelurahan Siddo Kecamatan Soppengriaja, dan Desa Bojo Kecamatan Mallusetasi.
Namun
demikian di beberapa desa / kelurahan dijumpai kondisi pertumbuhan mangrove mengalami kerusakan yang cukup memprihatinkan, kerusakan ekosistem mangrove tersebut disebabkan oleh adanya aktifitas stakeholders yang merubah fungsi ekosistem mangrove menjadi areal pertambakan, pemukiman, pelabuhan, dan industri (hatchery). Selain hal tersebut di atas penyebab kerusakan ekosistem mangrove juga disebabkan adanya penebangan hutan mangrove untuk keperluan rumah tangga, kayu bakar, industri rumah tangga, pembuatan arang, bahan bangunan dan lain – lain.
65
Secara spesifik ditinjau dari segi luasan, jenis pohonnya, bentuk pemanfaatannya, dan peluang pengembangannya, maka
kondisi ekosistem
mangrove di setiap kecamatan memiliki ciri khas tertentu, untuk menyimak lebih jauh kondisi ekosistem mangrove pada setiap kecamatan di lokasi penelitian dapat dijelaskan sebaga i berikut : (1) Kecamatan Mallusetasi menunjukkan bahwa luas ekosistem mangrove di Kecamatan Mallusetasi sekitar 3.50 ha atau sekitar 3.16 % dari luas ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, yang dijumpai di Desa Bojo dengan luas sekitar 3.25 ha dan Desa Cilellang dengan luas sekitar 0.15 ha. Sedangkan desa – desa lainnya yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Mallusetasi yang terdapat di pesisir pantai meliputi Desa Bojo Baru, Kupa, dan Desa Palanro tidak memiliki ekosistem mangrove (Gambar 15 dan Lampiran 2). Ekosistem mangrove di Kecamatan Mallusetasi terdiri dari tiga spesies mangrove sejati, yaitu Ceriops decandra, Rhizophora stylosa, dan Sonneratia alba dengan formasi campuran, sedangkan spesies lainnya dari jenis nipa (Nypa fruticans) ditemukan secara berkoloni di pinggiran sungai.
Kerapatan jenis
mangrove secara keseluruhan untuk kategori pohon 101 indiv/100 m2 , kategori anakan 57 indiv/100 m2 , sedangkan kategori semaian tidak diidentifikasi. Jenis Rhizophora stylosa ditemukan mendominasi areal mangrove dengan tingkat kerapatan tertinggi ketegori pohon yaitu 67 indiv/100 m2 , untuk kategori anakan dan 57 Indiv/100 m2 untuk kategori semaian, selanjutnya jenis Sonneratia alba dengan kerapatan untuk kategori pohon 30 Indiv/100 m2 , selanjutnya jenis Ceriops decandra mempunyai kerapatan jenis kategori pohon 4 indiv/100 m2 sedangkan anakan dan semaian tidak ditemukan (Tabel 18). Tabel 18. Kerapatan jenis mangrove yang ditemukan di Kecamatan Mallusetasi
Spesies Ceriops decandra Rhizophora stylosa Sonneratia alba Jumlah Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
Kerapatan Jenis (Indiv/100 m2 ) Pohon Anakan Semaian 4 67 57 30 101
57
-
66
Stabilitas dan keberadaan ekosistem mangrove sangat ditentukan oleh spesies penyusun ekosistem mangrove tersebut, peranan satu spesies mangrove terhadap jenis mangrove lainnya dapat dilihat dari indekas nilai penting jenis (NPi). Jika suatu spesies menunjukkan NPi tinggi maka peranan spesies tersebut sangat besar terhadap jenis mangrove lainnya dalam ekosistem mangrove tersebut. Jenis mangrove yang ditemukan maka Rhizophora stylosa menunjukkan NPi cukup besar sekitar 63.19 % untuk kategori pohon dan 100 % untuk kategori anakan, diikuti oleh jenis Sonneratai alba dengan NPi sekitar 28.66 %, selanjutnya jenis Ceriops decandra dengan nilai 8.16 % (Tabel 19). Tingginya nilai penting jenis Rhizophora stylosa di Kecamatan Mallusetasi mengindikasikan bahwa Rhizophora stylosa mempunyai peranan, dominansi spesies, dan kosntribusi bahan organik yang cukup besar terhadap ekosistemnya dibandingkan dengan jenis lainnya yang ditemukan. Menurut Bengen (2002) semakin besar nilai penting jenis suatu jenis mangrove, maka mempunyai pengaruh yang dominan terhadap ekosistemnya. Tabel 19. Indeks nilai penting jenis (%) mangrove di Kecamatan Mallusetasi Spesies
Pohon
Anakan
Semaian
Ceriops decandra
8.16
-
-
Rhizophora stylosa
63.19
100
-
Sonnerati alba
28.66
-
-
100
100
-
Jumlah Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
Secara umum dalam penelitian ini telah didapatkan berbagai jenis tumbuhan mangrove dan jenis organisme yang hidup berasosiasi pada akar, batang dan daun mangrove, hal ini menunjukkan tingkat stabilitas ekosistem mangrove khususnya di lokasi penelitian (lampiran 21).
67
68
(2) Kecamatan Soppengriaja menunjukkan bahwa luas ekosistem mangrove di Kecamatan Soppengriaja sekitar 6.85 ha atau sekitar 6.06 % dari luas ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, yang dijumpai di Desa Batupute dengan luas sekitar 0.28 ha, Desa Siddo seluas 3.75 ha, Desa Mangkoso seluas 1.20 ha, Desa Ajakkang seluas 0.12 ha, dan Desa Lawallu dengan luas sekitar 1.50 ha. Mangrove tumbuh hampir di semua
desa di pesisir Kecamatan Soppengriaja
walaupun masih jauh di bawah standar garis hijau mangrove (green belt) yaitu 200 meter di sepanjang garis pantai dan 50 meter di sisi sungai, oleh karena itu untuk memenuhi luas ekosistem mangrove yang ideal di pesisir pantai, di kecamatan ini perlu dilakukan rehabilitasi hutan mangrove (Gambar 16 dan Lampiran 3). Hasil identifikasi ekosistem mangrove di Kecamatan Soppengriaja menunjukkan ada empat spesies mangrove sejati yang menyusun ekosistem mangrove, yaitu Avicennia alba, Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba dengan formasi capuran.
Kerapatan jenis mangrove secara
keseluruhan yaitu kategori pohon 103 indiv/100 m2 , kategori anakan 122 indiv/100 m2 , sedangkan ketegori semaian 72 indiv/100 m2 . Jenis Sonneratia alba ditemukan mendominasi areal mangrove dengan tingkat kerapatan tertinggi ketegori pohon yaitu 51 indiv/100 m2 , anakan 61 indiv/10 m2 , semaian 22 indiv/100 m2 , selanjutnya jenis
Rhizophora stylosa ketegori pohon dengan
2
kerapatan 30 indiv/100 m , anakan 33 indiv/100 m2 , semaian 18 indiv/100 m2 , diikuti oleh Avicennia alba kerapatan jenis untuk kategori pohon 22 indiv/100 m2 , anakan 22 indiv/100 m2 , semaian 32 indiv/100 m2 , dan Rhizophora mucronata kerapatan jenis kategori pohon dan semaian tidak ditemukan, anakan 6 indiv/100 m2 (Tabel 20). Tabel 20. Kerapatan jenis mangrove yang ditemukan di Kecamatan Soppengriaja
Spesies Sonneratia alba Avicennia alba Rhizophora stylosa Rhizophora mucronata Jumlah Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
Kerapatan Jenis (Indiv/ 100 m2 ) Pohon Anakan Semaian 51 61 22 22 22 32 30 33 18 6 103
122
72
69
70
Dari keempat jenis mangrove yang ditemukan di Kecamatan Soppengriaja jenis Sonneratia alba kategori pohon menunjukkan indeks nilai penting jenis cukup besar sekitar 60.28 %, anakan 55.22 %, dan jenis semaian 17.39 %, diikuti oleh jenis Rhizophora stylosa untuk kategori pohon 21.59 %, anakan 18.29 %, semaian 61.68 %, berikutnya Avicennia alba dengan niali NPi untuk kategori pohon 18.13 %, anakan 12.19 %, semaian 20.93 %, selanjutnya jenis Rhizophora mucronata dengan nilai NPi untuk kategori anakan sekitar 14.31 % (Tabel 21). Tabel 21. Indeks nilai penting jenis (%) mangrove di Kecamatan Soppengriaja Spesies
Pohon
Anakan
Semaian
Sonneratia alba
60.28
55.22
17.39
Avicennia alba
18.13
12.19
20.93
Rhizophora stylosa
21.59
18.29
61.68
-
14.31
-
100
100
100
Rhizophora mucronata Jumlah Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
(3) Kecamatan Balusu menunjukkan bahwa luas ekosistem mangrove di Kecamatan Balusu sekitar 96.37 ha atau sekitar 85.26 % dari luas ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, yang dijumpai di Desa Takkalasi dengan luas sekitar 0.95 ha, Desa Madello dengan luas sekitar 13.25 ha, Pulau Pannikiang seluas 82.17 ha (Gambar 17). Ekosistem mangrove di Kecamatan Balusu terdiri dari empat spesies mangrove sejati yang menyusun ekosistem mangrove, yaitu Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata dan
Sonneratia alba,
Ceriops decandra dengan
formasi capuran, sedangkan jenis Nipa (Nypa fruticans) ditemukan umumnya ditemukan tumbuh berkeloni di pinggiran sungai.
Kerapatan jenis mangrove
secara keseluruhan yaitu kategori pohon 300 indiv/100 m2 , kategori anakan 1 indiv/100 m2 , sedangkan ketegori semaian 1 indiv/100 m2 . Jenis Rhizophora stylosa ditemukan mendominasi areal ekosistem mangrove dengan tingkat kerapatan tertinggi ketegori pohon yaitu 158 indiv/100 m2 , anakan 1 indiv/100 m2 , semaian 1 indiv/100 m2 , selanjutnya jenis Rhizophora apiculata ketegori pohon
71
72
dengan kerapatan 78 indiv/100 m2 , anakan dan semaian tidak ditemukan, diikuti oleh Sonneratia alba kerapatan jenis untuk kategori pohon 60 indiv/100 m2 , anakan dan semaian tidak ditemukan, selanjutnya Ceriops decandra kerapatan jenis kategori pohon 4 indiv/100 m2 (Tabel 22).
Tabel 22. Kerapatan jenis mangrove yang ditemukan di Kecamatan Balusu Kerapatan Jenis (Indiv/ 100 m2 ) Spesies Sonneratia alba Rhizophora stylosa Rhizophora apiculata Ceriops decandra Jumlah
Pohon
Anakan
Semaian
60
-
158
1
1
78
-
-
4
-
-
300
1
1
Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
Dari keempat jenis mangrove yang ditemukan di Kecamatan Balusu jenis Sonneratia alba kategori pohon menunjukkan indeks nilai penting jenis cukup besar sekitar 49.94 % , anakan tidak ditemukan, semaian 16.91 %, diikuti oleh jenis Rhizophora stylosa untuk kategori pohon 40.07 %, anakan 100 %, semaian 83.09 %, berikutnya jenis Rhizophora apiculata dengan nilai NPi untuk kategori pohon sekitar 6.85 %, dan jenis Ceriops decandra menunjukkan NPi yang cukup rendah yaitu untuk kategori pohon 3.14 %, anakan dan semaian tidak ditemukan (Tabel 23 dan Lampiran 4). Tabel 23. Indeks nilai penting jenis (%) mangrove di Kecamatan Balusu Spesies
Pohon
Anakan
Semaian
Sonneratia alba
49.94
-
16.91
Rhizophora stylosa
40.07
100
83.09
Rhizophora apiculata
6.85
-
-
Ceriops decandra
3.14
-
-
Jumlah
100
100
100
Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
73
(4) Kecamatan Barru menunjukkan bahwa luas ekosistem mangrove di Kecamatan Barru sekitar 6.23 ha atau sekitar 5.51 % dari luas ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, yang dijumpai di Desa Siawung dengan luas sekitar 0.28 ha, Kelurahan Mangempang (Dusun Garongkong) seluas 5.50 ha, jenis vegetasi yang menyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora apiculata, R. Stylosa, R. Mucronata, Sonneratia alba. Sedangkan di Kelurahan Coppo (Dusun Lembae) luas ekosistem mangrove sekitar 0.45 ha, dengan jenis vegetasi panyusunnya yaitu Rhizophora apiculata, R. Stylosa, R. Mucronata, Sonneratia alba, dan Acanthus ilicifolius, juga ditemukan mangrove ikutan dari jenis Ipomoea pes-caprae (Gambar 18 dan Lampiran 5). Ekosistem mangrove di Kecamatan Barru terdiri dari empat spesies mangrove sejati yang menyusun ekosistem mangrove, yaitu Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, dan Rhizophora apiculata
dengan
formasi campuran, sedangkan jenis lainnya yang ditemukan di pinggiran sungai adala h jenis Nipa (Nypa fruticans) dan Jaruju hitam (Acanthus ilicifolius). Kerapatan jenis mangrove secara keseluruhan yaitu kategori pohon 184 indiv/100 m2 , kategori anakan 142 indiv/100 m2 , sedangkan ketegori semaian 119 indiv/100 m2 . Jenis Sonneratia alba ditemukan mendominasi areal hutan mangrove dengan tingkat kerapatan tertinggi ketegori pohon dengan kerapatan 101 indiv/100 m2 , anakan 76 indiv/100 m2 , semaian 5 indiv/100 m2 , selanjutnya jenis
Rhizophora stylosa ketegori pohon yaitu 59 indiv/100 m2 , anakan 30
indiv/100 m2 , semaian 86 indiv/100 m2 ,
diikuti oleh Rhizophora apiculata
kerapatan jenis untuk kategori pohon 12 indiv/100 m2 , anakan 36 indiv/100 m2 , semaian 19 indiv/100 m2 , dan Rhizophora mucronata kerapatan jenis dan penutupan jenis kategori pohon 12 indiv/100 m2 , anakan tidak ditemukan, semaian10 indiv/100 m2 (Tabel 24).
74
Tabel 24. Kerapatan jenis mangrove yang ditemukan di Kecamatan Barru Kerapatan Jenis (Indiv/ 100 m2 ) Spesies
Pohon
Anakan
Semaian
Sonneratia alba
101
76
5
Rhizophora apiculata
12
36
19
Rhizophora mucronata
12
-
10
Rhizophora stylosa
59
30
86
Jumlah
184
142
119
Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
Jenis mangrove yang ditemukan di Kecamatan Barru jenis Rhizophora stylosa kategori pohon menunjukkan indeks nilai penting jenis cukup besar sekitar 33.42 %, anakan 42.63 %, semaian 42.37 %, diikuti oleh jenis Sonneratia alba dan Rhizophora apiculata untuk kategori pohon 22.19 %, anakan 28.69 %, semaian 19.21 %, berikutnya jenis Rhizophora mucronata dengan nilai NPi untuk kategori pohon 22.19 %, anakan tidak ditemukan, semaian 19.21 %,
hal ini
mengindikasikan bahwa Rhizophora stylosa mempunyai peranan yang besar terhadap ekosistem mangrove di Kecamatan Barru, sedangkan jenis lainnya tidak memperlihatkan nilai maupun konstribusi yang signifikan terhadap ekosistem mangrove secara umum (Tabel 25). Tabel 25. Indeks nilai penting jenis (%) mangrove di Kecamatan Barru
Spesies
Pohon
Anakan
Semaian
Sonneratia alba
22.19
28.69
19.21
Rhizophora apiculata
22.19
28.69
19.21
Rhizophora mucronata
22.19
-
19.21
Rhizophora stylosa
33.42
42.63
42.37
100
100
100
Jumlah Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
75
76
4.2.2 Organisme yang Berasosiasi 4.2.2.1 Makrozoobentos Makrozoobentos merupakan salah satu organisme yang hidup berasosiasi dengan vegetasi mangrove, organisme ini biasanya ditemukan hidup pada bagian substrat (akar mangrove). Golongan organisme ini umumnya hidup menetap pada dasar perairan, karena organisme bentos tidak mempunyai kemampuan bergerak secara bebas untuk berpindah tempat, sehingga organisme ini biasanya membuat lobang untuk menghindar dari predator dan fluktuasi faktor fisik lingkungan. Organisme bentos adalah semua jenis organisme yang hidup dan berasosiasi dengan sedimen dasar perairan termasuk tumbuhan dasar (benthic plants) disebut juga sebagai fitobentos dan hewan dasar (benthic animals) disebut juga sebagai zoobentos (Hutabarat dan Evans 1984). Komposisi jenis organisme di lokasi penelitian masih memperlihatkan tingkat kemerataan pada semua ekosistem mangrove di Kabupaten Barru. Secara umum nilai kelimpahan bentos masih cukup tinggi dengan kisaran nilai 85 - 456 indivi/m2 pada setiap stasiun / kecamatan. Kelimpahan makrozoobentos tertinggi ditemukan di stasiun IV Kecamatan Barru dengan kisaran antara 400 – 456 indiv/m2 , tingginya nilai kelimpahan di stasiun ini diduga disebabkan oleh kondisi dan keberadaan ekosistem mangrove yang terdapat di sekitar muara sungai sehingga faktor – faktor lingkungan seperti salinitas, suhu, bahan organik dan sirkulasi air tidak memperlihatkan fluktuasi yang berarti terhadap keberadaan bentos.
Sedangkan kelimpahan bentos pada stasiun I, II dan III tidak
memperlihatkan nilai yang signifikan, sehingga nilai kelimpahan yang diperoleh masih dalam kategori stabil dengan kisaran 135 – 325 indiv/m2 , kecuali pada stasiun III Kecamatan Balusu khususnya pada sub-stasiun Desa/Kelurahan Madello menunjukkan niali kelimpahan yang cukup rendah yaitu 85 indiv/m2 , rendahnya nilai kelimpahan di stasiun ini diduga disebabkan oleh keberadaan ekosistem mangrove yang berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk. Secara umum hasil pengamatan mengindikasikan bahwa ekosistem mangrove di setiap kecamatan masih cukup baik, artinya masih cukup layak dihuni oleh beberapa spesies organisme (Gambar 19 dan Lampiran 6).
Kelimpahan Organisme (K = indiv/m2)
77
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
456
415 400
325 250
220
225 170
135
155 160 85
Sop pen gria ja
Mal luse tasi
Balu
Bar ru
su
Stasiun Pengamatan
KELIMPAHAN (K = indiv/m2)
Gambar 19.
Grafik hasil analisis kelimpahan makrozoobentos stasiun/kecamatan di Kabupaten Barru.
di empat
Keanekaragaman spesies makrozoobentos menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman spesies berkisar 1.34 – 2.46 perstasiun. Nilai keanekaragaman tertinggi didapatkan pada stasiun IV Kecamatan Barru khususnya pada substasiun Desa/Kelurahan Siawung, selanjutnya nilai keanekaragaman terendah didapatkan di stasiun I Kecamatan Mallusetasi sub-stasiun Desa/Kelurahan Batupute, sedangkan pada stasiun dan sub-stasiun lainnya tidak menunjukkan nilai keanekaragaman yang signifikan, hal ini dapat mengindikasikan bahwa ekosistem mangrove disetiap kecamatan masih cukup baik. Menurut Odum (1971) nilai
keanekaragaman
=
3.5
kategori
ekosistem
sangat
stabil,
nilai
keanekaragaman 2.5 – 3.5 kategori ekosistem baik atau stabil, nilai keanekaragaman 1.25 – 2.5 kategori ekosistem sedang, sedangkan nilai keanekaragaman < 1.25 kategori ekosistem tidak stabil. Sesuai dengan kriteria tersebut, maka nilai keanekaragaman yang diperoleh di setiap lokasi pengamatan di Kabupaten Barru mengindikasikan bahwa ekosistem mangrove mesih dalam kategori stabilitas ekosistem sedang sampai sangat stabil, sehingga masih cukup layak dihuni oleh beberapa spesies bentos yang berasosiasi pada akar, batang, dan daun mangrove (Gambar 20).
1.5
2.4 58 1.9 49
1.8 23 1.8 15
1.7 21
1.6 62 1.5 66
1.4 54 1.3 38
2
1.6 63
Keanekaragaman (H')
2.5
2.0 68 2.0 68
78
1 0.5 0 Mallusetasi
Soppengriaja
Balusu
Barru
Stasiun Pengamatan KEANEKARAGAMAN (H’ )
Gambar 20.
Grafik hasil analisis keanekaragaman makrozoobentos di empat stasiun/kecamatan di Kabupaten Barru.
Menurut Odum (1971), organisme bentos memengang peranan penting dalam komunitas perairan khususnya dalam proses mineralisasi dan pendaurulang bahan-bahan organik sehingga menduduki posisi penting dalam rantai makan, hubungan ini didasarkan pada rantai makanan detritus yang dimulai dari organisme mati yang kemudian diuraikan oleh mikroorganisme, kemudian mikroorganisme beserta hancurannya akan dimakan oleh organisme pemakan detritus (detritivor). Selanjutnya dikatakan bahwa makrozoobentos memegang peranan penting dalam menentukan produktivitas sekunder yang selanjutnya dapat memberikan ketersediaan makanan bagi organisme lainnya dan sebagai indikasi kesesuaian potensi kualitas perairan khususnya sebagai indikator pencemaran. 4.2.2.2 Ikan dan Crustacea Hasil investigasi dan inventarisasi ikan dan crustacea di lapangan didapatkan berbagai jenis ikan yang hidup pada ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Barru. Adapun jenis ikan yang di temukan pada masing – masing kecamatan atau stasiun pengamatan, yaitu Kecamatan Mallusetasi ditemukan sebanyak 15 spesies, di Kecamatan Soppengriaja sebanyak 14 spesies, di Kecamatan Balusu sebanyak 18 spesies, dan di Kecamatan Barru ditemukan sebanyak 21 spesies. Spesies ikan yang ditemukan termasuk dalam beberapa famili antara lain : Carangidae, Celonidae, Caetondotidae, Clupeidae, Elopsidae,
Hemiramphidae, Latidae,
Leiognatidae, Mugilidae, Penaedae, Peripthalmidae, Pomacentridae, Portunidae,
79
Gobidae, Siganidae, Toxotidae. Sedangkan dari jenis Crustacea yang ditemukan selama penelitian yaitu udang putih (Penaed spp), udang windu (Paneus monodon), dan beberapa jenis kepiting diantaranya kepiting bakau (Scilla serrata) yang hidup berasosiasi dengan mangrove (Lampiran 7). 4.2.2.3 Burung dan Mamalia Keberadaan dan penyebaran burung di kawasan ekosistem hutan mangrove Kabupaten Barru, didapatkan sekitar 34 spesies burung, sedangkan jenis burung yang didapatkan pada setiap stasiun atau kecamatan masing – masing di stasiun I (Kecamatan Mallusetasi) ditemukan sebanyak 12 spesies, stasiun II (Kecamatan Soppengriaja) ditemukan sebanyak 11 spesies, stasiun III (Kecamatan Balusu) ditemukan sebanyak 18 spesies, sedangkan di stasiun IV (Kecamatan Barru) ditemukan sebanyak 13 spesies (Lampiran 8). Keberadaan dan penyebaran burung tersebut erat hubungannya dengan tingkat kesuburan, kelimpahan, dan keanekaragaman spesies ekosistem mangrove, burung tersebut biasanya hidup di dalam areal hutan mangrove atau datang untuk mencari makan pada waktu – waktu tertentu.
Dengan kehadiran burung yang
berwarna – warni serta kicauan yang khas di kawasan ekosistem mangrove, dapat menciptakan nuangsa alami dan keindahan ekosistem mangrove tersebut. Selain burung, juga ditemukan beberapa jenis mamalia seperti : kelelawar, biawak, dan ular. Kelelawar banyak ditemukan di Pulau Pannikiang Kecamatan Balusu yang bergelantungan di dahang dan ranting hutan mangrove pada siang hari, dengan tingkah laku kelelawar yang mencari makan pada malam hari dan istirahat pada siang hari, maka kondisi ini dimanfaatkan para nelayan untuk memasang jaring (perangkat) guna menangkap kelelawar yang selanjutnya akan di jual ke pasar atau pedagang yang bertindak selaku tukang tada yang biasanya menjemput hasil tangkapan para nelayan ke pulau – pulau (lokasi penangkapan).
80
4.3 Kondisi Sosial Budaya 4.3.1 Penduduk Kondisi sosial dan kependudukan merupakan salah suatu faktor yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk pemanfaatan ekosistem mangrove.
Kondisi sosial masyarakat dapat memberikan gambaran tentang
ketersedian
tenaga
kerja,
pengembangan
sumberdaya
manusia,
tingkat
kesejahtraan masyarakat, budaya dan agama yang dianut oleh masyarakat lokal. Penyebaran penduduk di empat kecamatan pada lokasi penelitian hampir merata dengan jumlah total penduduk sebanyak
93.947 jiwa, masing – masing di
Kecamatan Mallusetasi sebanyak 23.502 jiwa, Kecamatan Soppengriaja 17.467 jiwa, Kecamatan Balusu 17.908 jiwa, dan Kecamatan Barru sebanyak 35.070 jiwa (Tabel 26 dan Gambar 21). Tabel 26. Jumlah penduduk di lokasi penelitian dirinci menurut Kecamatan dan jenis kelamin.
No
1 2 3 4
Kecamatan
Mallusetasi Soppengriaja Balusu Barru Total
Laki – Laki (jiwa) 11.252 8.535 8.523 16.959 45.269
Perempuan (jiwa) 12.250 8.932 9.385 18.111 48.678
Jumlah Penduduk (jiwa) 23.502 17.467 17.908 35.070 93.947
Sumber : BPS (2004)
Penduduk di lokasi penelitian pada umumnya bekerja sebagai nelayan, petani tambak, petani sawah, peternakan, dan berdagang. Jenis pekerjaan tersebut biasanya dikerjakan pada musim tertentu, misalnya masyarakat bekerja sebagai nelayan pada musim timur, bekerja sebagai petani sawah pada saat musim barat. Masyarakat yang bekerja sebagai nelayan biasanya menggunakan beberapa jenis alat tangkap, seperti : pancing, pukat, bagang dan parit. Penggunaan jenis alat tangkap tersebut umumnya masih dioperasikan secara tradisional dan tergantung musim dan jenis ikan yang akan di tangkap.
81
Mallusetasi 23.502 jiwa
35.07 jiwa
Soppengriaja Balusu 17.467 jiwa
Barru
17.908 jiwa
Gambar 21. Rekapitulasi penduduk pada setiap kecamatan di lokasi penelitian (BPS 2004). Distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa jumlah penduduk dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak daripada jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki – laki (Gambar 22). Hal ini disebabkan karena jumlah kelahiran perempuan jauh lebih besar daripada laki – laki , selain itu resiko kematian laki – laki akibat pekerjaan cukup besar dibandingkan perempuan, hal ini merupakan suatu fakta yang berlaku secara nasional.
Rekapitulasi penduduk berdasarkan jenis kelamin
Jumlah Penduduk
20 15 Laki - Laki
10
Perempuan
5 0 Mallusetasi
Soppeng Riaja
Balusu
Barru
Kecamatan
Gambar 22.
Rekapitulasi penduduk berdasarkan jenis kelamin pada setiap Kecamatan di lokasi penelitian (BPS 2004).
82
Sedangkan tingkat pendidikan masyarakat yang menjadi responden pada penelitian ini, memperlihatkan data yang cukup beragam yaitu : tingkat pendidikan masyarakat yang tidak tamat sekolah dasar sebayak 14 reponden (8.15 %), tamat sekolah dasar sebayak 96 responden (55.81 %), tamat sekolah lanjutan tingkat pertama sebanyak 22 responden (12,79 %), tamat sekolah lanjutan atas sebanyak 31 responden (18.02 %), tamat diploma sebanya 5 responden (2.90 %), dan sarjana sebanyak 4 responden (2.33 %) dengan total masyarakat sebagai sampel sebanyak 172 responden (Gambar 23).
3%2% 8% 18%
13% 56%
Tidak Tamat SD
SD
SLTP
SLTA
Diploma (D3)
Sarjana (S1)
Gambar 23. Persentase tingkat pendidikan responden yang diwawancarai di lokasi penelitian. 4.4 Kondisi Ekonomi Perekonomian wilayah pemerintahan Kabupaten Barru berdasarkan data statistik tahun
2004, menunjukkan bahwa sumber dana proyek untuk
pengembangan wilayah diperoleh dari jenis anggaran DAU (dana umum) sebesar 77 %, APBD (anggaran pendapatan belanja daerah) Tk II / PAD (pendapatan asli daerah) sebesar 13 %, APBD Tk I sebesar 3 %, dan DAK (dana khusus) sebesar 7%, dengan total anggaran pembangunan sebesar Rp. 169.384.908,00. Sedangkan anggaran pendapatan pemerintah daerah, tahun anggaran tahun 2004 sebesar Rp. 216.126.560,00.
83
Pertumbuhan ekonomi wilayah ditinjau dari konstribusi berbagai sektor terhadap peningkatan PDRB menunjukkan bahwa, sektor pertanian dan perikanan berada pada posisi pertama dengan konstribusi sebesar 52.72 %, selanjutnya sektor perdagangan memberi konstribusi sebesar 22.11 %, hotel dan restoran dengan konstribusi sebesar 13.57 %, selanjutnya sektor jasa dengan persentase pertumbuhan sebesar 11.60 %.
Kondisi ini dapat memberikan dorongan dan
mativasi bagi pemerintah daerah untuk memanfaatkan segala potensi sumberdaya alam wilayah pesisir secara optima. Karena sektor perikanan merupakan salah satu penunjang dalam peningkatan PDRB, maka perhatian pemerintah dan stakeholders lainnya tercurah untuk memikirkan dan mencoba menetapkan suatu kebijakan pemerintah daerah melalui undang – undang nomor 23 tahun 21, tentang konservasi dan pengelolan ekosistem mangrove, karena disadari bahwa untuk mempertahankan potensi perikanan secara berkelanjutan harus didukung oleh ekosistem mangrove yang mempunyai tingkat stabilitas yang homeostatis (tingkat keseimbangan ekosistem yang optimal) . Optimalisasi fungsi ekologis ekosistem mangrove yang baik dapat memicu terjadinya peningkatan daya dukung dan potensi sumberdaya ekosistem mangrove untuk menunjang dan meningkatkan keberlanjutan pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan khususnya areal penangkapan.
Jumlah rumah tangga
nelayan yang bekerja sebagai nelayan tangkap dan nelayan budidaya tersebar disetiap kecamatan (Tabel 27 dan Gambar 24). Tabel 27. Jumlah rumah tangga nelayan dan petani tambak disetiap kecamatan Kecamatan
Mallusetasi Soppengriaja Balusu Barru Total Sumber : Hasil analisis data (2006)
Usaha Nelayan (jiwa)
Petani Tambak (jiwa)
400 143 138 231 912
61 268 237 250 816
Jumlah (jiwa) 461 411 375 481 1728
84
25% 44%
15% 16%
Mallusetasi
Soppengriaja
Balusu
Barru
Gambar 24. Jumlah rumah tangga penduduk yang berprofesi sebagai nelayan di setiap kecamatan di lokasi penelitian Masyarakat yang berdomisili di wilayah pesisir, sangat menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan, dari sejumlah responden yang diwawancarai terdapat sekitar 80 responden yang hanya bekerja sebagai nelayan dengan berbagai macam alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan (Tabel 28). Tabel 28. Estimasi responden (nelayan) berdasarkan jenis alat tangkap yang di gunakan
No 1 2 3 4
Kecamatan Mallusetasi Soppengriaja Balusu Barru Total Persentase (%)
Jaring Pancing (unit) (unit) 7 9 4 11 10 7 6 12 27 39 33.75 48.75
Parit (unit) 3 3 3 2 11 13.75
Bagan Bagan Tancap Perahu Jumlah (unit) (unit) (unit) 1 20 2 20 20 20 1 2 80 1.25 2.50 100
Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
Hasil estimasi alat tangkap dan jumlah yang umum dipergunakan oleh nelayan pada setiap stasiun pengamatan atau kecamatan menunjukan penggunaan alat tangkap yang berbeda tergantung dari musim dan jenis organisme yang akan ditangkap, adapun persentase jumlah dan jenis alat tangkap (Gambar 25).
85
(Unit/Kecamatan)
JumlahAlatTangkap
14 12 10 8 6 4 2 0 Jaring
Pancing
Parit
Bagan Tancap
Bagan Perahu
Jenis Alat Tangkap Mallusetasi
Soppeng Riaja
Balusu
Barru
Gambar 25. Jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan pada setiap kecamatan di lokasi penelitian. 4.4.1 Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove Pemanfaatan
ekosistem
mangrove
untuk
kesejahteraan
masyarakat
memerlukan penilaian atau valuasi ekonomi secara detail, sehingga maanfaat yang didapatkan dari ekosistem mangrove secara keseluruhan dapat diprediksi dan diestimasi untuk mengetahui besarnya manfaat yang diperoleh untuk kesejahtraan masyarakat khususnya yang menggantungkan hidup di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Kegiatan yang memerlukan dayadukung dari ekosistem mangrove diantaranya : budidaya tambak, budidaya perairan, penangkapan organisme perairan, penangkapan burung dan kelelawar, maupun pengambilan kayu.
Kegiatan tersebut merupakan suatu bentuk pemanfaatan ekosistem
mangrove secara langsung (manfaat langsung), di sisi lain ekosistem mangrove secara alami memberikan manfaat tidak langsung sebagai penahan badai angin topan dan gelombang, mengurangi abrasi pantai. Bila ditinjau dari sudut pandang ekonomi, ekosistem mangrove memberikan maanfaat yang sangat besar terutama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan asli daerah dan kelestarian lingkungan. Manfaat ekosistem mangrove secara ekonomi seharusnya diketahui dan dipahami oleh para stakeholders dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove sehingga dalam melakukan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove mereka tetap mengacu pada aturan konservasi dan kebijakan pemanfaatan yang telah ditetapkan oleh lembaga eksekutif dan legislatif.
Salah satu elemen
pendukung yang sangat penting dalam menentukan kebijakan atau aturan pemanfaatan ekosistem mangrove adalah penilaian atau valuasi ekonomi komponen dari ekosistem mangrove. Valuasi ekonomi dapat memberikan nilai
86
tertentu berdasarkan asumsi - asumsi penilaian yang dapat diterima dan dianalisis untuk mengetahui besarnya biaya pengelolaan dan manfaatnya yang diterima. Penilaian ekosistem mangrove di lokasi penelitian secara umum dapat diidentifikasi dengan kategori penilaian manfaat sebagai berikut : (1) nilai manfaat langsung (direct use value); (2) nilai manfaat tidak langsung (indirect use value); (3) nilai manfaat pilihan (option value); dan (4) nilai manfaat keberadaan (existence value). Namun pada penelitian ini nilai ekonomi difokuskan pada nilai manfaat langsung (direct use value) mengingat tujuan dari valuasi ini hanya untuk memenuhi kriteria penyusunan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove, oleh karena itu nilai valuasi ekonomi yang tercantum pada penelitian ini tidak mengevaluasi total nilai ekonomi dari ekosistem mangrove.
Adapun hasil
analisis valuasi ekonomi komponen manfaat ekosistem mangrove dapat dijabarkan sebagai berikut. 4.4.1.1 Manfaat Langsung Manfaat langsung merupakan nilai guna ekosistem mangrove yang dirasakan manfaatnya secara ekonomis untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, manfaat langsung di peroleh melalui pendekatan nilai pasar dari berbagai komoditas produk dari ekosistem mangrove. Hasil identifikasi manfaat langsung ekosistem mangrove yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian secara makro, meliputi : (1) pemanfaatan hasil hutan; (2) pemanfaatan hasil perikanan; (3) pemanfaatan satwa; dan (4) pemanfaatan untuk pembukaan lahan tambak. Sedangkan pemanfaatan ekosistem mangrove yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian secara spesifik, meliputi : pengambilan kayu, pembuatan arang, pembenihan bibit mangrove, penangkapan ikan, udang, kepiting, kerang - kerangan, burung, kelelawar, dan pembukaan tambak monokultur bandeng atau udang, maupun tambak polikultur bandeng dan udang.
Nilai manfaat langsung yang dapat diterima dari setiap
kegiatan tersebut di atas, secara ekonomi atau analisis biaya dan manfaat menunjukkan nilai manfaat ekosistem mangrove sebesar Rp. 52.002.957.94 per hektar per tahun, dengan total biaya operasional yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk pemanfaatan ekosistem mangrove sebesar Rp. 21.490.075.06 per hektar per tahun, sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp. 30.512.882.88 per hektar per tahun (Tabel 29).
87
Penelitian serupa pernah dilakukan pada ekosistem mangrove di Sega ra Anakan oleh Paryono et.al (1999), menegaskan bahwa jenis pemanfaatan ekosistem mangrove terdiri dari manfaat hasil hutan, manfaat hasil perikanan, manfaat wisata, dan manfaat satwa,
nilai manfaat ekosistem mangrove yang
diperoleh dari kegiatan tersebut sebesar Rp. 125.388.487.381 per hektar per tahun, dengan total biaya operasional sebesar Rp. 70.076.703.265 per hektar per tahun, sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp. 33.405.145.356 per hektar per tahun. Selanjutnya Adrianto (2006) mengestimasi nilai ekonomi total sumberdaya ekosistem mangrove di Kecamatan Barru Provinsi Sulawesi Selatan dengan menggunakan kerangka analisis permintaan (demand analysis), menunjukkan bahwa
surplus
konsumen
terbesar
dari
pemanfaatan
kepiting
sebesar
Rp. 17.644.744.08 per tahun, sedangkan surplus konsumen terkecil disumbangkan oleh pemanfaatan kayu bakar sebesar Rp. 17.855.02 per tahun per hektar, sehingga diperoleh total manfaat ekonomi ekosistem mangrove sebesar Rp. 697.279.739.12 per tahun. Perbedaan nilai manfaat ekosistem mangrove pada hasil penelitian tersebut di atas disebabkan oleh luas areal dan kondisi ekosistem mangrove. Tabel 29.
No 1 2 3 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Rekapitulasi analisis valuasi ekonomi pemanfaatan ekosistem mangrove Jenis Pemanfaatan
Kayu Arang Bibit mangrove Burung Kelelawar Ikan Udang Kepiting Kerang Tambak Udang+Ikan Tambak Udang Tambak Ikan Jumlah
Biaya (Rp/ ha /thn) 162.825.16 154.928.33 865.333.57 44.461.16 497.699.52 7.105.133.72 8.070.154.66 682.121.16 1.999.646.08 1.665.078.80 115.031.69 127.661.21 21.490.075.06
NilaiManfaat (Rp /ha/thn) 251.946.56 163.577.24 2.468.589.63 59.723.94 564.059.46 7.249.454.37 27.605.733.5 3.651.743.05 2.350.734.38 6.447.500.00 534.720.81 655.175.00 52.002.957.94
Keuntungan / Manfaat Optimal (Rp /ha/thn) 89.121.40 8.648.91 1.603.256.06 15.262.78 66.359.94 144.320.65 19.535.578.84 2.969.621.89 351.088.30 4.782.421.20 419.689.12 527.513.79 30.512.882.88
Sumber : Hasil analisis data primer(2006)
Nilai
manfaat
langsung ekosistem mangrove pada setiap bentuk
pemanfaatan secara spesifik, setelah dilakukan kuantifikasi sesuai harga pasar dan
88
valuasi ekonomi dari setiap
komoditas ekosistem mangrove, maka manfaat
langsung dapat diketahui. Adapun nilai manfaat langsung dari setiap bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dijabarkan berikui ini. Manfaat Kayu, pemanfaatan hasil hutan mangrove khususnya kayu di lokasi penelitian, umumnya digunakan untuk kayu bangunan, tiang atau patok parit, pembuatan pintu air di tambak, pembuatan perahu atau sampan, dan kayu bakar.
Namun saat penelitian ini dilaksanakan pola pengambilan dan
pemanfaatan kayu mangrove mengalami penurunan secara kuantitatif dan frekuensi pengambilan, hal ini seiring dengan diberlakukannya Perda no mor 23 tahun 2001, tentang pelarangan pengrusakan hutan mangrove, konversi jadi tambak, dan pengambilan kayu untuk kepentingan tertentu. Teleh diidentifikasi bahwa kegiatan pengambilan kayu mangrove oleh masyarakat secara terbatas dengan memperhatikan kelestarian hutan mangrove itu sendiri, kegiatan pengambilan kayu hanya digunakan untuk kepentingan tiang dan patok parit, untuk alat tangkap kepiting, pengambilan ranting yang telah rapuh untuk kayu bakar.
Pengambilan dan pemanfaatan kayu pada ekosistem mangrove oleh
masyarakat nelayan maupun petani tambak, setelah dilakukan valuasi ekonomi berdasarkan hasil pengambilan kayu dan harga kayu di pasaran, maka diperoleh nilai manfaat kayu mangrove
dengan periode pengambilan setiap pengguna
sekitar 30 kali per tahun, jumlah kayu yang diambil sekitar 83.75 meter kubik per tahun, harga rata-rata Rp. 20.000 per meter kubik, rata-rata manfaat yang diperoleh sebesar Rp. 1.675.000 per tahun. Sedangkan analisis nilai manfaat langsung setelah dikuatifikasi dengan seluruh biaya yang keluarkan didapatkan sebesar Rp. 89.121.39 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 9). Manfaat Arang, kegitan pembuatan arang yang dilakukan masyarakat yang berdomisili di sekitar ekosistem mangrove sipatnya temporer tergantung dari kondisi hutan mangrove, apabila dijumpai pohon yang mati karena usia tua atau ranting pohon mangrove yang patah dan jatuh, maka kayunya biasanya dipergunakan untuk pembuatan arang, adapun arang yang dihasilkan biasanya disimpan sebagai persiapan atau cadanga n kayu yang akan dipergunakan untuk kebutuhan sendiri pada saat-saat tertentu, misalnya tidak ada minyak tanah atau ingin membakar ikan.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa jenis kayu
89
mangrove yang biasa digunakan oleh masyarakat di lokasi penelitian unt uk pembuatan arang yaitu jenis mangrove Rhizophora sp, Bruguiera sp dan Avicennia sp.
Pemanfaatan kayu mangrove untuk pembuatan arang secara
ekonomi merupakan suatu nilai tersendiri yang dapat memberikan keuntungan terhadap masyarakat nelayan. Hasil analisis valuasi ekonomi untuk menghitung manfaat langsung ekosistem mangrove melalui kegiatan pembuatan arang menunjukkan, bahwa manfaat langsung hutan mangrove dalam pembuatan arang sebesar Rp. 8.648.91 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 10). Manfaat Bibit Mangrove, hutan mangrove sebagai hutan pantai memiliki adaptasi regeneratif untuk berkembang biak dengan cara penyerbukan vegetatif untuk menghasilkan bunga dan buah, buah yang matang akan berubah menjadi kecamba pada pohon induk dan tumbuh dalam semaian tanpa istirahat, selama waktu ini semaian akan memanjang dan mengalami perubahan distribusi berat ke arah ujung buah kemudian lepas keperairan atau kesubstrat lalu tumbuh sebagai bibit mangrove. Sedangkan pengambilan atau pembuatan bibit mangrove secara buatan seperti yang dilakukan masyarakat di lokasi penelitian adalah sebagai berikut : buah mangrove dari jenis Rhizophora sp, Bruguiera sp dan
Avicennia
sp yang diperkirakan sudah matang dipetik lalu disemaikan pada kantong plastik yang telah diisi dengan tanah atau mengambil buah yang telah jatuh dan menancap di bawah pohon induk, bibit mangrove yang tumbuh secara alami tersebut dilakukan penjarangan untuk dipindahkan ke kantong semaian, kantong yang telah berisi dengan bibit mangrove ditempatkan pada tempat persemaian di pinggir pantai sekitar vegetasi induknya. Kegiatan pengambilan buah atau bibit mangrove dilakukan oleh masyarakat pada musim tertentu misalnya pengambilan musim barat akan disemaikan selama 6 sampai 12 bulan untuk persiapan tanam atau rehabilitasi pada musim timur. Pembibitan mangrove dilakukan masyarakat sejak tahun 2000 sampai saat ini.
Frekuensi pengambilan bibit mangrove
dilakukan sekitar 2 sampai 4 kali per tahun, jumlah pohon atau bibit yang dikumpulkan sekitar 1.366.67 pohon per orang dengan harga Rp. 1.100 per pohon. Berdasarkan hasil analisis valuasi ekonomi menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh masyarakat dari pengambilan bibit mangrove dapat dirinci dengan menjumlahkan seluruh manfaat yaitu sekitar Rp. 2.468.589.63 per hektar per tahun dikurangi dengan biaya yang diluarkan sebesar Rp. 865.333.57 per hektar
90
per tahun, maka diperoleh keuntungan sekitar Rp. 1.603.256.06 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 11). Manfaat Burung, salah satu komponen ekosistem mangrove yang hidup berasosiasi dengan mangrove khususnya ditemukan pada wilayah atmospir atau bagian batang dan daun mangrove yaitu burung, berbagai jenis burung dapat dijumpai di lokasi penelitian, baik burung yang sifatnya hidup dengan membuat sarang di pohon mangrove maupun burung yang sifatnya datang untuk mencari makan di sekitar hutan mangrove, sehingga ekosistem mangrove sangat ramai dengan kicauan burung yang berbeda jenis dan berwarna – warni. Kondisi ini yang menarik perhatian para stakeholders sehingga menimbulkan keinginan untuk menangkap dan memiliki jenis burung tertentu. Sekitar tahun 1990-an kegiatan perburuan atau penangkapan burung sering dilakukan oleh masyarakat atau pengunjung yang sengaja datang untuk berburu
di hutan mangrove, namun
setelah ditetapkannya kebijakan konservasi hutan mangrove pada tahun 2001, maka kegiatan perburuan atau penangkapan burung sudah jarang dilakukan. Hasil indentifikasi di lapangan didapatkan bahwa kegiatan penangkapan burung bukan lagi sebagai suatu pekerjaan utama,
akan tetapi hanya merupakan kegiatan
tambahan yang sifatnya temporer dan lebih mengarah kepada pemenuhan hobbi atau kesenangan saja, namun demikian kadang – kadang masyarakat juga melakukan trangsaksi kepada peminat tertentu yang kebetulan tertarik dengan burung yang dipelihara oleh nelayan, biasanya nilai jual seekor burung tergantung dari jenisnya dengan kisaran harga antara Rp. 5.000 s/d Rp. 15.000 per ekor. Berdasarkan hasil analisis valuasi ekonomi untuk menghitung nilai manfaat langsung burung didapatkan sekitar Rp. 15.262.78 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 12). Manfaat Kelelawar, salah satu areal ekosistem mangrove di lokasi penelitian yang sangat disenangi kelelawar yaitu di Pulau Pannikiang Kecamatan Balusu Kabupaten Barru, luas ekosistem mangrove di pulau ini sekitar 87.17 ha. Kelelawar (hewan mamalia) pada siang hari sangat banyak dijumpai bergelantungan di pohon mangrove, lalu dimalam hari mereka akan terbang ke luar dari pulau untuk mencari makan di tempat lain, kemudian menjelang subuh mereka akan kembali ketempat hunian semula. Tingkah laku kelelawar tersebut memberi imajinasi para penangkap kelelawar untuk membuat pukat (jaring) yang
91
dipasang di atas areal hutan mangrove, jaring dirancang sedemikian rupa sehingga kelelawar dapat terperangkap didalamnya. Penangkapan kelelawar dilakukan oleh masyarakat dengan frekuensi penangkapan rata – rata 150 trip per tahun, hasil tangkapan rata – rata 750 ekor per tahun, nilai jual berkisar Rp. 5.000 s/d 12.000 per ekor, pendapatan rata – rata nelayan penangkap kelelawar sekitar Rp. 3.750.000 per tahun. Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi didapatkan nilai manfaat langsung kelelawar sekitar Rp. 66.359.94 per hektar per tahun (Tabel 29 dan La mpiran 13). Manfaat Ikan, kegiatan penangkapan ikan di lokasi penelitian merupakan pekerjaan yang umumnya ditekuni oleh masyarakat nelayan, daerah penangkapan ikan biasanya di lakukan disekitar hutan mangrove atau dengan jarak tertentu dari garis pantai, alat tangkap yang digunakan nelayan ada beberapa jenis seperti : pancing, jaring, bagan, dan parit. Adapun jenis ikan yang biasanya tertangkap di sekitar hutan mangrove seperti : ikan kakap (Lates calcalifer), baronang (Siganus sp), kerapu, sunu, bandeng (Chanos chanos), belanak (Mugil dussumieri), dan lain – lain (Lampiran 10). Harga jual ikan di pasaran berkisar antara Rp. 5.000 s/d 45.000 per kilogram, frekuensi rata – rata penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat 159 trip per tahun, hasil tangkapan rata – rata sekitar 796.67 kilogram per tahun, keuntungan yang diperoleh nelayan rata – rata sekitar Rp. 9.958.333 per tahun.
Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi yang kuantifikasi
berdasarkan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung ikan yang tertangkap di sekitar ekosistem mangrove sekitar Rp. 144.320.65 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 14). Manfaat Udang, penangkapan udang di lokasi penelitian merupakan pekerjaan yang umumnya ditekuni oleh masyarakat nelayan, daerah penangkapan udang biasanya di lakukan disekitar ekosistem mangrove, alat tangkap yang digunakan nelayan yaitu : jaring, dan parit. Adapun jenis udang yang biasanya tertangkap di sekitar hutan mangrove seperti : udang hitam (Paneus monodon), dan udang putih (Paneid sp).
Harga jual udang di pasaran berkisar antara
Rp. 7.500 s/d 75.000 per kilogram, frekuensi rata – rata penangkapan udang yang dilakukan masyarakat sekitar 173 trip per tahun, hasil tangkapan rata – rata sekitar 866.67 kilogram per tahun, keuntungan yang diperoleh nelayan rata – rata sekitar
92
Rp. 39.000.000 per tahun.
Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi yang
dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung ikan yang tertangkap disekitar ekosistem mangrove sekitar Rp. 19.535.578.84 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 15). Manfaat Kepiting, penangkapan kepiting biasa dilakukan pada musim timur karena pada saat ini kondisi perairan relatif lebih tenang atau pada kondisi air
pasang naik karena pada saat ini kepiting biasanya dalam keadaan berisi
(dagingnya padat), kegiatan penangkapan kepiting di lokasi penelitian hanya dilakukan oleh beberapa masyarakat nelayan, daerah penangkapan kepiting biasanya di lakukan disekitar ekosistem mangrove, alat tangkap yang digunakan nelayan berupa perangkap yang terbuat dari rotan dan waring (dalam bahasa daerah disebut rakkang - rakkang) dan jaring kepiting.
Jenis kepiting yang
biasanya tertangkap di sekitar ekosistem mangrove seperti : kepiting bakau, kepiting rajungan. Harga jual kepiting di pasaran berkisar antara Rp. 10.000 s/d 35.000 per kilogram, frekuensi rata – rata penangkapan kepiting yang dilakukan masyarakat sekitar 155 trip per tahun, hasil tangkapan rata – rata sekitar 310.00 kilogram per tahun, keuntungan yang diperoleh nelayan rata – rata sekitar Rp. 5.159.500 per tahun.
Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi yang
dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung kepiting yang tertangkap disekitar ekosistem mangrove sekitar Rp. 2.969.621.89 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 16). Manfaat Kerang - kerangan, kegiatan penangkapan kerang-keranga n biasa dilakukan pada musim timur karena pada saat ini kondisi perairan relatif lebih tenang atau pada kondisi air surut. Penangkapan kerang-kerangan di lokasi penelitian
hanya
dilakukan
oleh
beberapa
masyarakat
nelayan,
daerah
penangkapan kerang-kerangan biasanya di lakukan disekitar hutan mangrove, bisanya kerang-kerangan dengan mudah dapat dikumpulkan saat air surut. Jenis kerang-kerangan yang biasanya ditangkap di sekitar hutan mangrove, seperti kerang hijau (Anadara granosa). Harga jual kerang-kerangan di pasaran berkisar antara Rp. 3.500 s/d 7.500 per kilogram, frekuensi rata – rata penangkapan kerang-kerangan
yang dilakukan masyarakat sekitar 123 trip per tahun, hasil
tangkapan rata – rata sekitar 1.230 kilogram per tahun, keuntungan yang diperoleh
93
nelayan rata – rata sekitar Rp. 3.321.000 per tahun. Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi yang dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung kerang-kerangan yang tertangkap di sekitar ekosistem mangrove sebesar Rp. 351.088.3 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 17). Manfaat Tambak, areal tambak yang dijumpai di lokasi penelitian umumnya dibangun dari hasil konversi hutan mangrove, masyarakat biasanya menanam mangrove di sepanjang garis pantai ke arah laut, jika mangrove tersebut tumbuh menjadi pohon yang besar dan diperkirakan sudah dapat berfungsi untuk melindungi pantai dari abrasi, maka pohon mangrove yang berada di belakang ke arah darat akan di tebang untuk dijadikan tambak. Oleh karena itu peranan hutan mangrove sangat diperlukan untuk melindungi pantai maupun tambak dari abrasi, melindungi perumahan penduduk dari badai dan angin topan. Tambak di lokasi penelitian dikelola secara tradisional dan intesif dengan metode monokultur dan polikultur, metode monokultur biasanya memelihara udang atau ikan bandeng, sedangkan tambak yang beroperasi dengan metode polikultur biasanya memelihara udang dan ikan bandeng secara bersamaan. Frekuensi atau siklus pengolahan tambak dalam setahun biasanya dikelola dua kali dalam setahun. Produksi tambak akhir – akhir ini mengalami penurunan yang sangat derastis khusnya produksi udang windu, akibat munculnya penyakit insang merah pada udang. Berdasarkan hasil analisis valuasi ekonomi untuk tambak, diperoleh hasil sebagai berikut : (a) produksi tambak monokultur udang memberikan manfaat langsung sebesar Rp. 419.689.12 per hektar per tahun, (b) produksi tambak monokultur ikan bandeng memberikan manfaat langsung sebesar Rp. 527.513.79 per hektar per tahun, (c) produksi tambak polikultur udang dan ikan memberikan manfaat langsung sebesar Rp. 4.782.421.20 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 18).
94
4.5 Kesesuaian Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Pontesi sumberdaya alam termasuk ekosistem mangrove merupakan suatu anugerah dan keberuntungan suatu daerah yang tak ternilai harganya, dengan demikian maka seharusnya potensi dan eksistensi sumberdaya ekosistem mangrove tersebut tetap dipertahankan dan dilestarikan, agar terjadi keberlanjutan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat saat sekarang tanpa mengurangi kebutuhan masyarakat pada masa yang akan datang. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan suatu komitmen atau suatu bentuk kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove yang sifatnya sustainabel, sehingga semua sektor baik dari pihak swasta maupun pemerintah dapat berjalan secara sinergi dalam menerapkan program atau kegiatan pemanfaatan yang telah direncanakan. Saru (2006) menunjukkan suatu bentuk hubungan linier yang cenderung parabolik antara sub- model ekologi dengan sub- model sosial ekonomi, kondisi ini mengindikasikan bahwa potensi dan sumberdaya ekosistem mangrove cenderung mengalami peningkatan yang diikuti oleh peningkatan manfaat secara ekonomi, tanpa mengurangi nilai atau manfaat sosial masyarakat, sehingga sumberdaya ekosistem mangrove secara ekologis seharusnya dipertahankan dalam tatanan stabilitas ekosistem mangrove lestari dan berkelanjutan. Seiring dengan penetapan undang – undang nomor 22 tahun 1999, tentang otonomi daerah khususnya tentang pembagian wilayah perairan laut dan undang – undang nomor 25 tahun 2000, tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta kewenangan pemerintah daerah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom, maka daerah - daerah tingkat dua yang memiliki perairan laut dan pantai, berupayah semaksimal mungkin untuk mengkaji, menggali dan memanfaatkan sumberdaya alam perairan laut dan pantai termasuk ekosistem mangrove dalam rangka peningkatan kesejaht eraan masyarakat dan peningkatan PAD (pendapatan asli daerah). Langkah - langkah yang ditempuh pemeritah daerah adalah : (1) melakukan pemetaan potensi sumberdaya pesisir dan lautan, (2) ana lisis keanekaragaman hayati, (3) penataan dan pemanfaatan ruang, (4) pengembangan sumberdaya manusia (masyarakat dan staf pemerintah) melalui penyuluhan dan pelatihan, (5) melakukan eksperimen dan aktualisasi program yang direncanakan. Pemerintah daerah juga sangat mendukung adanya penelitian ilmiah yang sifatnya dapat memberikan konstribusi terhadap pengembangan daerah, sehingga
95
dengan mudah penelitian ini dapat dilaksanakan. Hasil survei terhadap beberapa parameter, seperti : parameter ekologis, biofisik lingkungan, sosial, parameter ekonomi masyarakat dan parameter geomorfologi, nilai yang diperoleh dari hasil survei dan analisis setiap parameter tersebut di atas, selanjutnya dilakukan analisis dan interpretasi kesesuaian pemanfaatan lahan dengan mangacu pada matriks standar kesesuaian pemanfaatan lahan. Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi kriteria kesesuaian pemanfaatan ekosistem mangrove, didasarkan pada empat kelas kesesuaian lahan, yaitu : (1) kelas S1 kategori sangat sesuai (higly suitable), (2) kelas S2 ketegoti sesuai (suitable), (3) kelas S3 kategori tidak sesuai saat ini (currently not suitable), dan (4) kelas N kategori tidak sesuai permanen (permanently not suitable), sesuai dengan kelasifikasi tersebut menunjukkan bahwa di Kabupaten Barru khususnya di daerah perairan pantai dengan vegetasi mangrove, dapat dilakukan beberapa kegiatan pamanfaatan yaitu : konservasi, wisata
pantai,
budidaya
ikan/tambak,
pembangunan
pelabuhan,
pemukiman, dan kawasan industri. Kegiatan pemanfatan ekosistem mangrove sebagaimana dijelaskan pada pendahuluan penelitian ini, bahwa ekosistem mangrove yang terdapat di pesisir pantai dan pulau – pulau di Kabupaten Barru mempunyai potensi sumberdaya yang cukup besar untuk pengembangan berbagai bentuk kegiatan pemanfaatan ekosistem tersebut, kegitan pemanfaatan lahan sudak sejak lama dilakukan walaupun tidak sesuai dengan peruntukannya, akibat dari lemahnya pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan,
belum adanya kebijakan pemerintah daerah yang
sepenuhnya mengatur prioritas kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove. Oleh karena itu, konsep kebijakan pembangunan untuk pemanfaatan ekosistem
mangrove
secara
berkelanjutan
seharusnya
diterapkan
untuk
menghindari terjadinya konflik kepentingan antar sektor dan degradasi ekosistem mangrove.
Menurut Dahuri (2003) pada hakekatnya kebijakan pembangunan
sumberdaya kelautan
dihasilkan dari suatu proses politik, dalam pengertian,
bahwa kebijakan tersebut tersusun sesuai kepentingannya dan diimplementasikan melalui proses negosiasi antar berbagai stakeholders. Oleh karena itu, keberhasilan segenap kaidah pembangunan berkelanjutan sangat tergantung pada kemauan dan komitmen segenap stakeholders.
96
Interpretasi beberapa bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove dapat memberikan gambaran dan acuan pengelolaan wilayah pesisir khususnya kawasan ekosistem mangrove secara komprehensif, untuk memanfaatkan segala potensi yang tersedia sesuai dengan tingkat kebutuhan dan daya dukung lingkungan. Ekosistem mangrove di Kabupaten Barru umumnya tumbuh di wilayah pesisir di depan pantai sehingga keberadaannya dapat berfungsi sebagai kawasan lindung (reservasi) dari hempasan gelombang dan badai terhadap keberadaan kawasan tambak yang umumnya dibangun di belakang hutan mangrove kearah darat, demikian pula dengan kawasan pemukiman penduduk dan kawasan industri. Sedangkan pemanfaatan untuk kegiatan ekowisata dan rehabilitasi yang merupakan rangkaian dari konservasi dapat dilakukan di dalam kawasan hutan mangrove pada areal mangrove yang rusak maupun pada areal yang baru untuk tujuan ekstensifikasi atau penambahan luasan areal hutan mangrove,
kegiatan
wisata pantai dan pelabuhan dapat dikembangkan sekitar ekosistem mangrove. Komposisi
penggunaan
atau
pemanfaatan
lahan
untuk
menunjang
kebutuhan ruang secara khusus (strategis) pada kawasan perencanaan (kawasan ekosistem mangrove),
sesuai
dengan
kebijakan
pengembangan
wilayah
Kabupaten Barru untuk pemanfaatan lahan hingga 2010, maka komposisi pemanfaatan lahan dipandang sebagai suatu usaha untuk melihat pembagian ruang dalam peruntukan lahan yang menampung berbagai kegiatan, fungsi dan elemen yang sudah ada, dengan berbagai jenis elemen baru yang akan dikembangkan pada kawasan perencanaan, antara lain : kawasan pemukiman, kawasan pelabuhan rakyat, kawasan budidaya perikanan (tambak dan keramba apung), dan kawasan konsevasi hutan mangrove (Bappeda 2000).
Dengan demikian, pemanfaatan
ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, dari hasil interpretasi kesesuaian pemanfaatan lahan berkembang menjadi beberapa bentuk pemanfaatan, yaitu kesesuaian lahan untuk kawasan wisata pantai dan kawasan industri. Pemanfaatan ekosistem mangrove di setiap kecamatan di Kabupaten Barru, mempunyai bentuk kesesuaian pemanfaatan lahan yang sedikit berbeda sesuai bentang alam, masyarakat.
kondisi fisik lingkungan, ekobiologi dan sosial ekonomi
Adapun bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove pada setiap
kecamatan dapat dijabarkan sebagai berikut.
97
4.5.1 Kecamatan Mallusetasi Kesesuaian pemanfaatan lahan dengan menggunakan parameter fisik lingkungan, parameter ekologi (Tabel 30) dan aspek sosial ekonomi masyarakat, selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian lahan sesuai dengan matriks kesesuaian lahan yang telah ditentukan, hasil analisis menunjukkan bahwa di Kecamatan Mallusetasi khususnya di daerah perairan pantai dengan vegetasi mangrove pada posisi geografis sekitar 119o 37' 335'' – 119o 37' 572'' Bujur Timur dan 04o 13' 627'' – 04o 20' 402'' Lintang Selatan, dengan luas wilayah 4.102 ha meliputi Desa / Kelurahan Bojo seluas 2.037 ha, Cilellang seluas 1.385 ha dan Batupute seluas 680 ha, dapat dilakukan beberapa kegiatan pemanfaatan yaitu : konservasi, wisata pantai, budidaya ikan/tambak, dan kawasan industri (Gambar 26). Pemanfaatan ekosistem secara efesien dan optimal dapat memberikan keuntungan yang maksimal dan tetap memelihara stabilitas potensi dan sumberdaya ekosistem. Tabel 30. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kecamatan Mallusetasi. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Parameter Suhu udara (oC) Suhu air (o C) Salinitas ‰ pH DO (ppm) Eh (mv) Fosfat (mg/100 gr) Nitrat-total ( % ) Kecepatan arus (m/det) Gelombang (m) Tunggang pasut (cm) Tipe pasut Jenis sedimen (substrat) Luas wilayah (ha)
Desa / Kelurahan Kec. Mallusetasi Bojo Cilellang Batupute 30 29.8 28.8 32.7 29.4 29.9 28 22 25 8.11 6.94 7.71 1.44 8.48 3.36 245.66 248.58 244.78 15.47 12.66 16.48 0.13 0.10 0.11 0.02045 0.51 – 1 0 – 159 Semi-diurnal campuran dominan-harian lumpur berpasir berpasir lumpur berpasir 2.037 1.385 680
Sumber : Hasil pengukuran (2006) dan Bappeda (2000)
Pada dasarnya hasil inventarisasi kegiatan pemanfaatan lahan di Kecamatan Mallusetasi, umumnya dapat dimplementasikan karena dianggap sudah sesuai dengan kriteria optimalisasi pemanfaatan potensi dan sumberdaya ekosistem mangrove, namun untuk menghindari konflik pemanfaatan di berbagai sektor, maka setiap bentuk pemanfaatan kawasan diperlukan adanya analisis prioritas kegiatan yang sesuai dengan harapan stakeholders dan dayadukung ekosistem mangrove.
98
99
4.5.2 Kecamatan Soppengriaja Hasil survei, analisis dan interpretasi kesesuaian pemanfaatan lahan dengan menggunakan parameter fisik lingkungan, parameter ekologi (Tabel 31) dan aspek sosial ekonomi masyarakat, selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian lahan sesuai dengan matriks kesesuaian lahan yang telah ditentukan, hasil analisis menunjukkan bahwa di Kecamatan Soppengriaja khususnya di daerah perairan pantai dengan vegetasi mangrove pada posisi geografis sekitar 119o 36' 953'' – 119o 37' 396'' Bujur Timur dan 04o 14' 423'' – 04o 17' 138'' Lintang Selatan, dengan luas wilayah 4.733 ha meliputi Desa / Kelurahan Siddo seluas 1.490 ha, Mangkoso seluas 263 ha dan Ajjakang seluas 2.300 ha, hasil analisis kesesuaian pemanfaatan lahan menunjukkan bahwa di Kecamatan Soppengriaja dapat dilakukan beberapa kegiatan pamanfaatan yaitu : konservasi, wisata pantai, budidaya ikan/tambak, dan pembangunan pelabuhan (Gambar 27). Tabel 31. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kecamatan Soppengriaja No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Parameter Suhu udara (oC) Suhu air (o C) Salinitas ‰ pH DO (ppm) Eh (mv) Fosfat (mg/100 gr) Nitrat-total ( % ) Kecepatan arus (m/det) Gelombang (m) Tunggang pasut (cm) Tipe pasut Jenis sedimen (substrat) Luas wilayah (ha)
Desa / Kelurahan Kec. Soppengriaja Siddo Mangkoso Ajakkang 31.3 26.6 28.4 30.5 30.3 30.9 20 27 25 7.20 7.66 7.38 3.36 3.36 3.68 246.65 247.14 246.34 10.78 13.45 9.87 0.13 0.10 0.11 0.05556 0.51 – 1 0 – 159 Semi-diurnal campuran dominan-harian pasir berlumpur lumpur berpasir lumpur berpasir 1.490 263 2.300
Sumber : Hasil pengukuran 2006 dan Bappeda 2000.
Dari enam program pemanfaatan ekosistem mangrove yang direncanakan terdapat empat program yang memungkinkan dilaksanakan di Kecamatan Soppengriaja seperti telah disebutkan di atas, hal ini sesuai dengan kondisi ekosistem mangrove, bentang alam, dan parametar lingkungan hutan mangrove. Selain kriteria tersebut, juga didukung oleh kondisi sosial ekonomi masnyarakat dan kegiatan pemanfaatan yang sedang berlangsung.
100
101
4.5.3 Kecamatan Balusu Hasil survei, analisis dan interpretasi kesesuaian pemanfaatan lahan di Kecamatan Balusu dengan menggunakan parameter fisik lingkungan, parameter ekologi (Tabel 32) dan aspek sosial ekonomi masyarakat, selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian lahan sesuai dengan matriks kesesuaian lahan yang telah ditentukan, hasil analisis menunjukkan bahwa di Kecamatan Balusu khususnya di daerah perairan pantai dengan vegetasi mangrove pada posisi geografis sekitar 119o 35' 653'' – 119o 37' 572'' Bujur Timur dan 04o 17' 641'' – 04o 21' 764'' Lintang Selatan, dengan luas wilayah 3.472 ha meliputi Desa / Kelurahan Takkalasi seluas 2.205 ha, Madello seluas 1.169 ha dan Pulau Pannikiang seluas 98 ha, pada areal tersebut di atas dapat dilakukan beberapa kegiatan pamanfaatan yaitu : konservasi, wisata pantai, budidaya ikan/tambak, pemukiman, dan kawasan industri (Gambar 28) Tabel 32. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kecamatan Balusu. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Parameter Suhu udara (oC) Suhu air (o C) Salinitas ‰ pH DO (ppm) Eh (mv) Fosfat (mg/100 gr) Nitrat-total ( % ) Kecepatan arus (m/det) Gelombang (m) Tunggang pasut (cm) Tipe pasut Jenis sedimen (substrat) Luas wilayah (ha)
Desa / Kelurahan Kec. Balusu Takkalasi Madello P.Pannikiang 32.0 31.3 28.4 32.9 30.7 30.9 11 20 25 7.75 7.20 7.38 4.80 2.08 2.56 245.78 246.51 244.87 16.84 12.47 5.78 0.12 0.11 0.12 0.02347 0.51 – 1 0 – 159 Semi-diurnal campuran dominan-harian berpasir lumpur berpasir pasir berlumpur 2.205 1.169 98
Sumber : Hasil pengukuran 2006 dan Bappeda 2000.
Salah satu potensi sumberdaya ekosistem mangrove di Kecamatan Balusu, yaitu Pulau Pannikiang yang mempunyai luas kawasan hutan mangrove sekitar 82.17 ha lebih luas dari pada hutan mangrove yang terdapat di kawasan pesisir garis pantai Kabupaten Barru, dengan kondisi ekosistem mangrove yang baik memungkinkan dilaksanakan.
lima
program
pemanfaatan
ekosistem
mangrove
dapat
102
103
4.5.4 Kecamatan Barru Hasil survei, analisis dan interpretasi kesesuaian pemanfaatan lahan di Kecamatan Barru dengan menggunakan parameter fisik lingkungan, parameter ekologi (Tabel 33) dan aspek sosial ekonomi masyarakat, selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian lahan sesuai dengan matriks kesesuaian lahan yang telah ditentukan, hasil analisis menunjukkan bahwa di Kecamatan Barru khususnya di daerah perairan pantai dengan vegetasi mangrove pada posisi geografis sekitar 119o 37' 45'' Bujur Timur dan 04o 20' 57'' Lintang Selatan, dengan luas wilayah 4.899 ha meliputi Desa / Kelurahan Siawung seluas 836 ha, Mangempang seluas 1.380 ha dan Coppo seluas 2.683 ha, hasil analisis dan interpretasi kesesuaian pemanfaatan lahan menunjukkan bahwa di Kecamatan Barru khususnya di daerah perairan pantai dengan vegetasi mangrove, dapat dilakukan beberapa kegiatan pemanfaatan
yaitu
:
konservasi,
wisata
pantai,
budidaya
ikan/tambak,
pembangunan pelabuhan, dan pemukiman (Gambar 29) Tabel 33. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kecamatan Barru. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Parameter Suhu udara (oC) Suhu air (o C) Salinitas ‰ pH DO (ppm) Eh (mv) Fosfat (mg/100 gr) Nitrat-total ( % ) Kecepatan arus (m/det) Gelombang (m) Tunggang pasut (cm) Tipe pasut Jenis sedimen (substrat) Luas wilayah (ha)
Desa / Kelurahan Kec. Barru Siawung Mangempang Coppo 29.9 31.8 30.4 30.7 29 - 33 25 20 19.5 7.42 7.56 7.52 2.72 5.056 7.36 247.78 248.56 246.77 10.45 8.87 12.24 0.12 0.12 0.14 0.03572 0.51 – 1 0 – 159 Semi-diurnal campuran dominan-harian lumpur berpasir pasir berlumpur lumpur berpasir 836 1.380 2.683
Sumber : Hasil pengukuran 2006 dan Bappeda 2000.
Kecamatan Barru merupakan kecamatan yang terdapat di pusat kota Kabupaten Barru, sehingga di daerah ini terjadi optimalisasi pemanfaatan lahan termasuk kawasan pesisir dengan vegetasi mangrove. Dari enam program yang direncanakan terdapat lima program yang sesuai untuk pemanfaatan ekosistem mangrove, hal ini didukung oleh kawasan pesisir yang terlindung dari pulau Pannikiang dan bentang alam lebih spesifik memungkinkan untuk dikembangkan berbagai bentuk kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove.
104
105
4.6 Konsep Keterpaduan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Konsep keterpaduan disusun dan diformulasikan berdasarkan jastifikasi dari seluruh stakeholders yang mempunyai kompotensi merumuskan dan memformulasikan kebijakan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, yaitu (1) expert (pembuat kebijakan) terdiri dari aparat pemerintah diantaranya para kepala dinas, lembaga swadaya masyarakat (LSM), swasta yang selama ini terlibat langsung dalam pemanfaatan ekosistem mangrove, peneliti dari perguruan tinggi, tokoh masyarakat dan tokoh agama yang mengetahui secara historis peluangpeluang
pengembangan
pemanfaatan
ekosistem
mangrove
khususnya
di
Kabupaten Barru. Expert dalam penelitian ini memberikan input pemanfaatan ekosistem mangrove mengacu pada Peraturan Daerah nomor 23 tahun 2001 tentang konservasi (rehabilitasi, perlindungan atau penetapan kawasan jalur hijau hutan mangrove) dan peluang pengembangan budidaya tambak. Hasil analisis pembobotan yang dilakukan terhadap expert yang terdiri 25 responden menunjukkan bahwa konservasi (rehabilitasi, perlindungan atau penetapan kawasan jalur hijau hutan mangrove) sebagai output pemanfaatan tertinggi dengan nilai 72%, sedangkan peluang pengembangan budidaya tambak 28%. Hal ini menunjukkan bahwa Perda nomor 23 tahun 2001 yang merupakan acuan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, sangat membatasi peluang-peluang pengembangan dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang selama ini dilakukan oleh stakeholders termasuk masyarakat nelayan yang sangat menggatungkan hidupnya pada ekosistem mangrove, (2) masyarakat nelayan yang terlibat dan berinteraksi langsung dalam pemanfaatan ekosistem mangrove, masyarakat yang hidup di wilayah pesisir khususnya di sekitar hutan mangrove umumnya sangat menggantungkan kehidupannya dari potensi dan sumberdaya ekosistem mangrove, sehingga dalam melakukan kegiatan-kegiatan pemanfaatan potensi ekosistem mangrove umumnya dilakukan berdasarkan persepsi, perilaku secara turun-temurun dan berbagai kegiatan yang dianggap memberikan keuntungan secara ekonomi untuk meningkatkan kesejahtraan keluarga dan masyarakat nelayan secara umum. Dari 172 responden yang diwawancarai dengan mengacu pada daftar pertanyaan pada kuesioner yang telah disusun secara detail didapatkan informasi tentang berbagai bentuk pemanfaatan atau kegiatan-kegiatan yang selama ini
106
dilakukan oleh masyarakat dengan persentase masing- masing : budidaya tambak 35%, industri 14%, pemukiman 11%, persawahan 11%, areal penangkapan 10%, penebangan atau pengambilan kayu 8%, dan mengambil satwa 7%, kegiatan pemanfaatan tersebut di atas biasanya dilakukan secara temporer berdasarkan musim atau keinginan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sesaat, sehingga dalam melakukan kegiatan pemanfaatan di ekosistem mangrove terkadang tidak menghiraukan aturan-aturan yang telah ditetapkan sehingga sangat berpeluang untuk terjadinya konflik yang bermuara kepada kerusakan ekosistem mangrove, (3) peneliti yang merupakan mediator antara pemerintah dan masyarakat maupun stakeholders lainnya dalam merumuskan dan memformulasikan konsep kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove.
Indikator input yang digunakan dalam
menganalisis pemanfaatan potensi sumberdaya ekosistem mangrove untuk berbagai bentuk pemanfaatan yang sesuai, yaitu : (a) nilai manfaat langsung ekosistem mangrove merupakan suatu nilai ekonomi yang memberikan konstribusi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat termasuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Manfaat langsung dari produk ekosistem mangrove mengidikasikan bahwa ekosistem mangrove tersebut lanyak untuk dikelola atau dimanfaatkan, (b) kondisi biofisik ekosistem mangrove memberikan input tentang fungsi ekologis, biologis, dan fungsi fisik ekosistem mangrove tersebut, selain itu input biofisik juga digunakan untuk menganalisis kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ekosistem mangrove, dengan analisis kesesuaian pemanfatan
lahan
diharapkan
dapat
memberikan
output
atau
jastifikasi
pemanfaatan ekosistem mangrove yang sesuai peruntukannya dan menata berbagai bentuk kegiatan pemanfaatan secara terpadu dan komprehensif.
Output
pemanfaatan ekosistem mangrove yang merupakan hasil jastifikasi dari data sosial ekonomi masyarakat sebagai kontrol terhadap tingkat kesejahtraan masyarakat yang selama ini melakukan kegiatan pemanfaatan terhadap ekosistem mangrove dan hasil analisis spasial kesesuaian pemanfaatan lahan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru dengan bobot persentase dari setiap kegiatan pemanfaatan yang direkomendasikan adalah sebagai berikut : konservasi 39%, budidaya tambak 20%, wisata pantai 15%, industri 10%, pelabuhan dan pemukiman masing- masing 8% (Tabel 34).
107
108
Analisis konsep keterpaduan pemanfaatan ekosistem mangrove merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk memadukan berbagai bentuk kepentingan pemanfaatan ekosistem mangrove dari sudut pandang yang berbeda berdasarkan kepentingan masing- masing stakeholders terhadap ekosistem mangrove tersebut. Ada tiga elemen atau pemrasaran yang dilibatkan secara langsung untuk memberikan input dalam menganalisis keterpaduan pemanfaatan ekosistem mangrove yaitu : expert, masyarakat, dan peneliti (Gambar 30).
PENELITI
25%
- KONSERVASI - BUDIDAYA IKAN/ TAMBAK - WISATA PANTAI - INDUSTRI - PELABUHAN - PEMUKIMAN
25%
MASYARAKAT
- Konservasi (rehabilitasi, perlindungan atau jalur hijau hutan mangrove - Budidaya tambak
50%
-Pertambakan -Pemukiman -Industri -Persawahan -Penebangan Manngrove -Penangkapan -Pengambil satwa
EXPERT
-Konservasi - Industri -Budidaya Ikan/Tambak - Pelabuhan -Wisata Pantai - Pemukiman
Gambar 30. Keterpaduan konsep dan alternatif pemanfaatan ekosistem mangrove Konstribusi dari setiap pemrasaran dalam menentukan keterpaduan pemanfaatan ekosistem mangrove ditentukan berdasarkan interpretasi input dan bobot setiap kegiatan pemanfaatan yang disarankan, sehingga diperoleh nilai persentase sebagai berikut : expert memberikan konstribusi sebesar 25%, peneliti sebagai mediator dan konseptor formulasi kebijakan pemanfaatan di Kabupaten Barru memberikan konstribusi sebesar 50%, dan masyarakat memberikan konstribusi sebesar 25%.
Berdasarkan hasil analisis keterpaduan konsep
pemanfaatan ekosistem mangrove tersebut diperoleh beberapa bentuk kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove yang dapat dilakukan secara terpadu pada ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, yaitu : konservasi, budidaya
109
ikan/tambak, wisata pantai, industri, pelabuhan, dan pemukiman. Oleh karena itu untuk mencapai hasil yang optimal dalam mengimplementasikan setiap bentuk kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove perlu dilakukan analisis lanjutan tentang strategi dan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya di Kabupaten Barru. 4.7 Strategi Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Formulasi strategi kebijakan pemanfaatan potensi sumberdaya ekosistem mangrove sangat menentukan arah dan tujuan perencanaan dan pengembangan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu berkelanjutan. Formulasi strategi pemanfaatan ekosistem mangrove memerlukan suatu proses analisis secara multidimensi dengan
mengakumudir
semua
aspek
yang
terkait
dengan
perencanaan pemanfaatan ekosistem secara strategis. Aspek – aspek yang perlu diperhatikan dalam formulasi strategi pemanfaatan ekosistem mangrove, yaitu aspek ekologis, sosial budaya, dan aspek ekonomi. Inp ut data mengenai aspek ekologis merupakan hasil pengukuran dan analisis yang dilakukan langsung pada ekosistem mangrove selama penelitian, input data sosial dan ekonomi merupakan hasil wawancara dengan para responden yang telah ditentukan sebelumnya dan input data sekunder yang diperoleh dari beberapa instansi terkait. Berdasarkan input data ekologis, sosial budaya dan ekonomi, maka dilakukan suatu analisis strategis dengan menggunakan analisis SWOT yang menggunakan elemen kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman.
Dalam
analisis SWOT ada dua faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan arah dan strategi pengembangan dan perencanaan pemanfaatan ekosistem mangrove, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal meliputi komponen
kekuatan dan kelemahan, sedangkan faktor eksternal meliputi peluang dan ancaman. Kedua faktor tersebut dijabarkan menjadi beberapa elemen yang terkait dengan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan, selanjutnya dilakukan penilaian dan pembobotan oleh responden kemudian dilakukan tabulasi data dari judgement setiap responden. Hasil penilaian para responden selanjutnya dilakukan perivikasi untuk menganalisis penentuan strategi pemanfaatan ekosisntem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan.
110
Komponen kekuatan menunjukkan nilai yang cukup signifikan terhadap pemanfaatan ekosistem mangrove dengan nilai + 1.253. Sedangkan kelemahan dalam pemanfaatan ekosistem mangrove menunjukkan nilai – 1.946, sehingga akumulasi nilai dari pengaruh faktor – faktor internal adalah – 0.693 (Tabel 35). Tabel 35. Hasil analisis dan akumulasi pendapat dari responden untuk komponen internal SWOT. Faktor -Faktor Strategi Internal
Bobot
Rating
Bobot x Rating
Kekuatan : •
Kelimpahan dan keanekaragaman organisme pada ekosistem mangrove
0.155
3
0.465
•
Potensi sumberdaya hutan mangrove belum dimanfaatkan secara optimal
0.197
4
0.788
Kelemahan : •
Kebijakan pemerintah daerah nomor 23 tahun 2001 menetapkan kawasan mangrove sebagai kawasan lindung, yang memungkinkan untuk dikelola dan dimanfaatkan
0.187
-4
-0.748
•
Tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat lokal masih cukup rendah
0.087
-2
-0.174
•
Partisipasi dan kesadaran masyarakat masih relatif rendah terhadap fungsi dan pemanfaatan ekosistem mangrove
0.098
-2
-0.196
•
Penataan dan penggunaan ruang untuk pemanfaatan perlu diperjelas batasan dan peruntukannya agar tidak terjadi alih fungsi lahan mangrove
0.097
-3
-0.291
•
Low enforcement (rendahnya penegakan hukum) terhadap pelaku perusak ekosistem mangrove
0.179
-3
-0.537
Total
1
-0.693
Selanjutnya hasil analisis komponen peluang menunjukkan nilai yang signifikan terhadap pemanfaatan ekosistem mangrove dengan nilai + 2.207,
sedangkan
111
ancaman dalam pemanfaatan ekosistem mangrove menunjukkan nilai – 0.965, sehingga akumulasi nilai dari pengaruh faktor – faktor internal adalah + 1.242 (Tabel 36). Tabel 36. Hasil analisis dan akumulasi pendapat dari responden untuk komponen eksternal SWOT. Faktor -Faktor Strategi Eksternal
Bobot
Rating
Bobot x Rating
Peluang : •
Pengembangan mangrove menjadi kawasan konservasi, wisata bahari, tambak, industri.
0.175
4
0.700
•
Akses informasi dan sarana prasarana cukup baik untuk mendukung pengelolaan ekosistem mangrove
0.137
4
0.548
•
Penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat
0.101
4
0.404
•
Peningkatan pendapatan masyarakat dan PAD
0.098
3
0.294
•
Adanya animo stakeholders untuk mengembangkan bentuk pengelolaan ekosistem mangrove
0.087
3
0.261
Ancaman : •
Kondisi ekosistem mangrove mempunyai daya dukung yang terbatas, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan
0.105
-3
-0.315
•
Timbulnya Ego-sektoral yang memungkinkan terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan mangrove
0.059
-4
-0.236
•
Pengelolaan ekosistem mangrove sesuai dengan peruntukannya
0.101
-2
-0.202
•
Permintaan pasar domestik dan eksport
0.075
-2
-0.150
•
Perilaku dan interaksi masyarakat terhadap ekosistem mangrove mengakibatkan Laju konversi ekosistem mangrove
0.062
-1
-0.062
Total
tidak
1
1.242
112
Berdasrkan hasil analisis matriks SWOT, yaitu IFAS (internal factor evaluation strategis) dan EFAS (eksternal factor evaluation strategis) pada Tabel 37, menunjukkan bahwa kondisi ekosistem mangrove di Kabupaten Barru berada pada posisi kuadrant III dengan nilai – 0.693 sampai dengan 1.242, artinya ekosistem mangrove di Kabupaten Barru dapat dikembangkan baik ditinjau dari segi penambahan areal maupun untuk pemanfaatan tertentu berdasarkan potensi sumberdaya ekosistem mangrove (Gambar 31).
Peluang
III. Posisi Strategi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove – 0,693 sampai +1,242 (mendukung strategi trun-around)
I. (mendukung strategi agresif)
Kelemahan
Kekuatan
IV. (mendukung strategi defensif)
II. (mendukung strategi diversifikasi)
Ancaman
Gambar 31. Hasil analais matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan faktor eksternal. Hasil pembobotan matriks SWOT yang dianalisis dari data responden melalui kuesioner dan input data potensi sumberdaya ekosistem mangrove menunjukkan bahwa posisi kondisi ekosistem mangrove untuk pemanfaatan secara terpadu dan berkelanjutan, kondisi ini menunjukkan situasi yang memerlukan pengelolaan yang cermat dengan menggunakan strategi yang tepat sesuai dengan kondisi dan potensi sumberdaya ekosistem mangrove, kondisi sosial budaya dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu,
pemanfaatan ekosistem
mangrove di Kabupaten Barru mengacu pada suatu strategi yang memanfaatakan seluruh peluang seoptimal mungkin untuk me minimalkan kelemahan, sehingga para stakeholders dapat memanfaatan ekosistem mangrove sesuai dengan
113
peruntukan ekosistem yang telah ditetapkan pada analisis kesesuaian pemanfaatan lahan, sehingga dapat memperoleh keuntungan sesuai yang diharapkan. Kondisi pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru berada pada kuadran ke tiga, yaitu posisi strategi pemanfaatan trun-around.
ekosistem mangrove mendukung strategi
Posisi tersebut mengindikasikan bahwa pemanfaatan ekosistem
mangrove harus menciptakan strategi yang meminimalkan kememalahan untuk memanfaatkan peluang seoptimal mungkin. Tabel 37.
Matriks SWOT untuk penentuan strategi pemanfaatan ekosistem mangrove. IFAS
Strengths (S)
Weaknesses (W)
• Kelimpahan dan keanekaragaman • Potensi sumberdaya ekosistem mangrove
• Kebijakan pemerintah • Tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat lokal masih cukup rendah • Partisipasi dan kesadaran masyarakat • Penataan dan penggunaan ruang mangrove • Low inforcement
Strategi (SO)
Strategi (WO)
Ciptakan starategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan
Ciptakan strategis yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluag
EFAS Opportunities (O) • Pengembangan mangrove • Akses informasi dan sarana prasarana • Penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat • Peningkatan pendapatan masyarakat dan PAD • Animo stakeholders Treaths (T)
• Daya dukung ekosistem Strategis (ST) yang terbatas • Ego-sektoral Ciptakan strategi yang • Pengelolaan yang tidak menggunakan kekuatan sesuai untuk menghindari ancaman • Permintaan pasar domestik dan eksport • Konversi ekosistem mangrove
Strategi (WT) Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghidari ancaman
Kombinasi yang dilakukan pada setiap elemen SWOT khususnya pada komponen peluang dan ancaman memberikan konstribusi strategis untuk
114
pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru secara keseluruhan terhadap berbagai bentuk pemanfaatan dapat dilakukan dengan langkah – langkah strategi sebagai berikut : Strategi trun-around OW (peluang dan kelemahan) yaitu ciptakan strategis yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang), dengan strategi umum pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru sebagai berikut : 1.
Penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem mangrove secara spesifik seharusya melibatkan para stakeholders dengan pendekatan multikriteria, sesuai peruntukan dan pemanfaatan ekosistem mangrove.
2.
Pemanfaatan
ekosistem
mangrove
mempertimbangkan kelestarian dan
harus
tetap
mengacu
dan
potensi sumberdaya ekosistem
mangrove. 3.
Dalam pemanfaatan ekosistem mangrove, para stakeholders harus mempunyai visi, misi, dan tujuan pengelolaan yang jelas sesuai peraturan dan kebijakan pemerintah daerah yang berlaku.
4.
Peningkatan akses informasi dan sarana prasarana untuk mendukung setiap bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove.
5.
Melakukan pelatihan terhadap masyarakat untuk mendukung setiap bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove dan melibatkan mereka dalam pengelolaan ekosistem mangrove tersebut.
6.
Melakukan pemantauan pasar dan promosi potensi sumberdaya mangrove baik di tingkat regional maupun internasional.
7. Membuat master plan and action plan (rencana pengelolaan dan rencana aksi) di wilayah pesisir khususnya pemanfaatan ekosistem mangrove dan areal disekitarnya. 8.
Menghindari terjadinya konflik kepentingan dari berbagai pihak / sektor dalam pemanfaatan ekosistem mangrove, dengan melakukan penataan pemanfaatan ruang secara spesifik.
9.
Meningkatkan keterlibatan, partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem mangrove, melalui pembinaan individu atau kelompok, pelatihan, dan proyek percontohan.
115
10. Memicu daya tarik investor untuk menanamkan modalnya di wilayah pesisir melalui promosi potensi sumberdaya ekosistem mangrove dan peruntukan ruang secara spesifik untuk pengembangan usaha tertentu. 11. Melarang mengkonversi hutan mangrove yang tidak sesuai dengan master plan pemanfaatan ekosistem mangrove yang telah disepakati sebagai suatu kebijakan pemerintah daerah. 12. Mencegah kerusakan lingkungan melalui konservasi, rehabilitasi, dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove. 13. Pelarangan penebangan, pengambilan kayu, atau konversi hutan mangrove untuk peruntukan yang tidak sesuai dengan master plan. 14. Melakukan sosialisasi dan penegakan hukum terhadap stakeholders yang terkait
langsung
dengan pemanfaatan
dan
keberadaan
ekosistem
mangrove. 15. Luasan areal dan potensi ekosistem mangrove harus tetap dipertahankan, sehingga tidak mengurangi fungsi fisik, kimia dan biologis hutan mangrove. 16. Melakukan studi kelayakan untuk kesesuain lahan dan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) meliputi RKL (rencana pengelolaan lingkungan)
dan RPL (rencana pemantauan lingkungan) untuk setiap
kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove. 17. Sosialisasi dan pemahaman terhadap masyarakat tentang program pemanfaatan ekosistem mangrove yang telah disepakati dan ditetapkan sebagai kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove. 18. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap setiap implementasi kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove secara berkala. Dari 18 strategi umum pemanfaatan ekosistem mangrove yang dihasilkan dari analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan acaman terdapat beberapa point strategi yang sangat erat relevansinya
dengan strategi nasional pengelolaan
ekosistem mangrove. Menurut Tim Revisi Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove Indonesia (2004) bahwa strategi nasional mempunyai Visi dan Misi sebagai berikut : (1) Visi : terwujudnya pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat, (2) Misi : melakukan upayah
116
rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove di kawasan lindung dan budidaya, meningkatkan kepedulian masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove, meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan nilai manfaat sumberdaya mangrove dan pemanfaatan hutan yang bijak, meningkatkan kapasitas kelembagaan dan kemanpuan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove, dan misi yang terakhir yaitu menyusun peraturan perundang – undangan dan penegakan hukum. 4.8 Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Berdasarkan hasil analisis kesesuaian pemanfaatan lahan di Kabupaten Barru telah ditetapkan bahwa terdapat 6 (enam) jenis kegiatan pemanfaatan lahan khususnya pada areal ekosistem mangrove, adapun kegiatan yang dimaksud adalah konservasi, wisata pantai, budidaya tambak, pelabuhan, pemukiman, dan kawasan pengembangan industri. Untuk mengaktualisasikan kegiatan – kegiatan tersebut di atas, maka diperlukan suatu bentuk analisis prioritas kegiatan sehingga tidak terjadi konflik kepentingan antar sektor baik swasta maupun pihak pemerintah. Analisis prioritas kegiatan untuk menentukan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove dalam penelitian ini adalah analytical hierarchy process dan analisis strengths weak neses opportunities theaths
(A’WOT) dengan menggunakan
software MAHP. Hasil analisis prioritas komponen SWOT menunjukkan bahwa komponen opportunity (peluang) dengan nilai prioritas 0.3112 (31.12 %) merupakan prioritas utama dalam mendukung kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove, kemudian komponen pada prioritas kedua weakneses (kelemahan) dengan nilai prioritas 0.2973 (29.73 %), lihat Gambar 32 dan Lampiran 19. 35.00
31.12
29.73
Persentase (%)
30.00 25.00
23.62
20.00 15.53 15.00 10.00 5.00 0.00 1
Keterangan : Strength 0.2362 P3
Weakneses 0.2973 P2
Opporthunity 0.3112 P1
Treaths 0.1553 P4
Prioritas komponen SWOT
Gambar 32. Kebijakan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove dengan komponen prioritas SWOT.
117
Komponen peluang dan kelemahan dalam analisis prioritas memberikan gambaran dan prediksi pengembangan dan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru sangat menggembirakan, karena ketersedian potensi sumberdaya ekosistem mangrove dan daya dukung lingkungan mengindikasikan adanya peluang pemanfaatan ekosistem mangrove sesuai skala prioritas kegiatan yang direncanakan. Namun demikian masih terdapat beberapa kelemahan yang harus diminimalisir, oleh karena komponen weakneses (kelemahan), salah satu elemen yang mendukung komponen kelemahan adalah elemen kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove, tingginya nilai prioritas kelemahaan mengindikasikan bahwa kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove yang tertuang dalam perda nomor 23 tahun 2001 di lokasi penelitian sangat lemah dan tidak optimal dalam mendukung tingkat kesejahtraan masyarakat dan keberlanjutan ekosistem, sehingga sangat dibutuhkan adanya kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove yang dapat mengakumudir
semua
kepentingan
stakeholders
dan
bersifat
terpadu
berkelanjutan. Komponen berikutnya adalak kekuatan dan ancaman, komponen strength (kekuatan) menunjukkan skala prioritas ketiga dengan nilai prioritas 0.2362 (23.62 %), sedangkan komponen terakhir yaitu treaths (ancaman) dengan nilai prioritas 0.1553 (15.53 %) menunjukkan bahwa komponen tersebut cukup rendah artinya bahwa ancaman terhadap pemanfaatan ekosistem mangrove tidak signifikan jika komponen – komponen lainnya dioptimalkan untuk menekan semua bentuk ancaman yang berdampak negatif terhadap pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove.
Dalam analisis SWOT menggambarkan bahwa untuk
mengembangkan suatu usaha diperlukan konstribusi komponen peluang pada tatanan skala prioritas untuk mengurangi pengaruh dari komponen kelemahan, komponen ancaman harus ditekan dan dibenahi semaksimal mungkin, atau dengan kata lain memanfaatkan peluang untuk menutupi kelemahan dan mengoptimalkan peluang untuk menghindari segala macam ancaman yang dapat menghambat atau mengga galkan program yang telah direncanakan. Setiap komponen SWOT yang digunakan dalam AHP pada level kriteria, masing – masing dilengkapi sub-komponen yang merupakan input atau judgement (pendapat) dari responden yang selama ini terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru.
Sub-komponen (sub-
118
kriteria) yang memberikan konstribusi terhadap setiap alternatif kegiatan yang direncanakan. Komponen Strength (kekuatan) yang memungkinkan dapat dikembangkan dalam pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, dilengkapi dua subkomponen, yaitu : (1) keanekaragaman organisme pada ekosistem mangrove, (2) potensi sumberdaya ekosistem mangrove belum dimanfaatkan secara optimal. Hasil analisis prioritas komponen strength menunjukan bahwa
prioritas utama
adalah potens i sumberdaya ekosistem mangrove belum dimanfaatkan secara optimal, dengan nilai skala prioritas 0.588 (58.80 %), sedangkan skala prioritas kedua yaitu komponen keanekaragaman organisme pada ekosistem mangrove juga memberikan input yang cukup signifikan dengan nilai berkisar 0.412 (42.20 %),
Persentase (%)
lihat pada Gambar 33. 70.00 58.80
60.00 50.00
41.20
40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Proiritas pemanfaatan
Keterangan
:
Keanekaragaman 0.412 P2
Sumberdaya 0.588 P1
Gambar 33. Prioritas dan persentase komponen strength Komponen weakneses (kelemahan) yang dikembangkan dalam pemanfaatan ekosistem mangrove terdiri dari : (1) kebijakan pemerintah daerah no mor 23 tahun 2001
menetapkan
kawasan
mangrove
sebagai
kawasan
lindung,
yang
memungkinkan untuk dikelola dan dimanfaatkan, (2) tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi perilaku dan interaksi masyarakat terhadap ekosistem mangrove, (3) partisipasi dan kesadaran masyarakat masih relatif rendah terhadap fungsi dan pemanfaatan ekosistem mangrove, (4) penataan dan penggunaan ruang untuk pemanfaatan perlu diperjelas batasan dan peruntukannya agar tidak terjadi alih fungsi lahan mangrove, (5) low enforcement (rendahnya penegakan hukum)
119
terhadap pelaku perusak ekosistem mangrove. Kelima sub-komponen kelemahan tersebut memerlukan penekanan khusus dengan memanfaatkan semua peluang yang ada, agar perencanaan pemanfaatan ekosistem mangrove dapat terealisasi sesuai dengan harapan stakeholders.
Hasil analisis skala prioritas yang harus
diatasi dari kelima komponen tersebut di atas, yaitu komponen low enforcement (rendahnya penegakan hukum) terhadap pelaku perusak ekosistem mangrove dengan nilai prioritas 0.3793 (37.93 %), selanjutnya kebijakan pemerintah dengan persentase prioritas 0.2469 (24.69 %), sedangkan komponen lainnya tidak
Persentase (%)
signifikan dengan persentase berkisar 10.54 – 15.98 %), lihat pada Gambar 34. 37.93
40.00 35.00 30.00
24.69
25.00 20.00
15.98
15.00
10.54
10.86
10.00 5.00 0.00 Prioritas pemanfaatan
Keterangan
:
Kebijakan Pemerintah 0.2469 P2 Partisivasi masyarakat 0.1598 P3 Low inforcement 0.3793 P1
Pendidikan rendah 0.1054 P5 Penataan ruang 0.1086 P4
Gambar 34. Prioritas dan persentase komponen weakneses Input dari responden untuk komponen opportunity (peluang) pemanfaatan ekosistem mangrove adalah : (1) pengembangan mangrove menjadi kawasan konservasi, wisata bahari, pemukiman, industri dan tambak, (2) akses informasi dan sarana prasarana cukup baik untuk mendukung pengelolaan ekosistem mangrove, (3) penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat, (4) peningkatan pendapatan masyarakat dan PAD, (5) adanya animo stakeholders untuk mengembangkan bentuk pengelolaan ekosistem mangrove.
Dari kelima sub-
komponen tersebut di atas, setelah dilakukan analisis prioritas didapatkan prioritas setiap sub-komponen sebagai berikut : pengembangan mangrove menjadi kawasan konservasi, wisata bahari, pemukiman, industri, dan tambak dengan nilai 0.3975 (39.75 %), akses informasi dan sarana prasarana cukup baik untuk mendukung pengelolaan ekosistem mangrove 27.37 %, penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat 11.03 %, peningkatan pendapatan masyarakat dan PAD 10.98 %,
120
sedangkan sub-komponen adanya animo stakeholders untuk mengembangkan bentuk pengelolaan ekosistem mangrove tidak memperlihatkan nilai prioritas yang signifikan dengan nilai (8.71 %), lihat Gambar 35.
Persentase (%)
45.00
39.75
40.00 35.00 27.37
30.00 25.00 20.00 15.00
11.03
10.98
10.87
10.00 5.00 0.00
Keterangan
Prioritas pemanfaatan
:
Pengembangan 0.3975 P1 Tanaga Kerja 0.1103 P3 Animo Stakeholders 0.1087 P5
Informasi & Prasarana 0.2737 P2 Peningkatan PAD 0.1098 P4
Gambar 35. Prioritas dan persentase komponen oppotunity Komponen
treaths
(ancaman)
yang
memungkinkan
menghambat
pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove terdiri dari : (1) kondisi ekosistem mangrove mempunyai daya dukung yang terbatas, sehingga dapat mengakibatkan
kerusakan
lingkungan,
(2)
timbulnya
Ego-sektoral
yang
memungkinkan terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan pesisir, (3) pengelolaan ekosistem mangrove tidak sesuai dengan peruntukannya, (4) permintaan pasar domestik dan eksport (5) perilaku dan interaksi masyarakat terhadap ekosistem ma ngrove mengakibatkan laju konversi ekosistem mangrove. Kelima sub-komponen tersebut merupakan beberapa bentuk ancaman terhadap pemanfaatan ekosistem mangrove, oleh karena itu diperlukan optimalisasi dalam memanfaatkan peluang untuk meminimalisir ancaman yang ada, bentuk ancaman yang menduduki prioritas utama ya ng memerlukan penekanan adalah kondisi ekosistem mangrove mempunyai daya dukung yang terbatas, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dengan nilai prioritas 0.3603 (36.03 %), selanjutnya pengelolaan ekosistem sesuai peruntukannya dengan nilai skala prioritas 0.3201 (32.01 %), sedangkan jenis ancaman lainnya tetap memerlukan penekanan – penekanan tertentu agar tidak memberikan pengaruh yang signifikan
121
terhadap semua kegiatan jenis pemanfaatan ekosistem mangrove di lokasi
Persentase (%)
penelitian dengan nilai skala prioritas 10.55 % - 10.75 % (Gambar 36). 40.00
36.03 32.01
35.00 30.00 25.00 20.00 15.00
10.75
10.59
10.62
10.00 5.00 0.00
Keterangan : Daya Dukung 0.3603 P1 Peng. Ekosistem 0.3201 P2 Laju konversi tinggi 0.1062 P4
Prioritas pemanfaatan Ego-sektoral 0.1059 P5 Peluang pasar 0.1075 P3
Gambar 36. Prioritas dan persentase komponen treaths Hasil analisis prioritas kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru secara umum menunjukkan bahwa terdapat 6 jenis alternatif kegiatan pemanfaatan,
urutan prioritas pertama dalam pemanfaatan ekosistem
mangrove di Kabupaten Barru adalah konservasi dengan nilai skala prioritas 0.2379 (23.79 %), sedangkan pada prioritas kedua adalah budidaya perikanan (tambak) dengan nilai skala prioritas 0.2025 (20.25 %), sebagai prioritas ketiga adalah wisata pantai dengan nilai skala prioritas 0.1865 (18.65 %), yang berada pada prioritas keempat adalah pelabuhan dengan nilai skala prioritas 0.1382 (13.82 %), berikutnya pada skala prioritas kelima adalah industri dengan nilai skala prioritas 0.1189 (11.89 %), dan prioritas yang keenam untuk pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru adalah pemukiman penduduk dengan skala prioritas 0.1158 (11.58 %), lebih jelasnya lihat Gambar 37 dan Lampiran 19. Pada
dasarnya
semua
kegiatan
tersebut
di
atas
memungkinkan
untuk
diaktualisasikan pada areal hutan mangrove di Kabupaten Barru, akan tetapi untuk mencegah tingkat kerusakan dan degradasi ekosistem mangrove maka diperlukan pengaturan kegiatan, sehingga hasil analisis prioritas sangat perlu untuk diperhatikan untuk menunjang peningkatan kesejahtraan masyarakat dan pelestarian sumberdaya ekosistem mangrove itu sendiri. Selain itu pemanfaatan ekosistem mangrove dengan mengacu pada skala prioritas kegiatan pemanfaatan
122
akan dapat mengurangi atau meminimalisir
konflik antar sektor, penggunaan
dana, laju pemanfaatan potensi sumberdaya alam secara optimal.
Adapun
penjabaran hasil analisis prioritas alternatif kegiatan adalah sebagai berikut. Konservasi dan rehabilitasi merupakan suatu paket kegiatan yang sulit dipisahkan, karena jika konservasi ditingkatkan maka rehabilitasi sebagai pendukung kelestarian areal yang masuk dalam kawasan konservasi. Hasil analisis prioritas kegiatan yang menunjukkan bahwa konservasi dan rehabilitasi sebagai alternatif utama yang semestinya dijalankan untuk pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, sesuai dengan Pengelolaan Hutan Lestari Berdasarkan Undang-Undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya Pasal 43 menyatakan bahwa dalam kaitan kondis i mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan
Persentase (%)
perlindungan konservasi (http://www.dkp.go.id/).
25.00 20.00
23.79 18.65
20.26
15.00
13.83 11.58
11.90
10.00 5.00 0.00 Prioritas pemanfaatan
Keterangan : Konservasi 0.237942122 P1 Budidaya Tambak 0.202572347 P2 Pemukiman 0.115755627 P6
Wisata Pantai 0.186495177 P3 Pelabuhan 0.138263666 P4 Industri 0.118971061 P5
Gambar 37. Prioritas kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove Hasil analisis perumusan strategi pemanfaatan ekosistem mangrove yang merupakan implementasi dari setiap alternatif yang menjadi prioritas dalam kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru merupakan suatu
123
komponen yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, oleh karena output (luaran) dari setiap implementasi elemen-elemen kebijakan dapat terealisasi sesuai yang diharapan apabila distimulus oleh strategi yang objektif (Tabel 38). Tabel 38. Strategi dan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Strategi a. Kebijakan konservasi b. Pelatihan terhadap masyarakat c. Meningkatkan Keterlibatan/partisifasi dan kesadaran masyarakat d. Menghindari konversi ekosistem mangrove e. Mencegah kerusakan lingkungan f. Pelarangan eksploitasi mangrove g. Sosialisasi dan penegakan hukum h. Monitoring dan evaluasi. a. Kebijakan budidaya tambak b. Menetapkan visi misi pemanfaatan mangrove c. Membuat master plan d. Peningkatan akses informasi, sarana dan prasara e. Mencegah kerusakan lingkungan f. Luasan areal mangrove dipertahankan. a. Kebijakan ekowisata dan wisata pantai b. Kelestarian dan potensi SD-Mangrove c. Peningkatan akses informasi, sarana dan prasara d. Promosi dan pasar e. Membuat master plan f. Menarik investor. a. Kebijakan pelabuhan b. Peningkatan akses informasi, sarana dan prasara c. Membuat master plan d. Menghindari konflik e. Mencegah kerusakan lingkungan f. Studi AMDAL (RKL & RPL), g. Monitoring dan evaluasi. a. Kebijakan industri b. Menetapkan visi misi pemanfaatan mangrove c. Peningkatan akses informasi, sarana dan prasara d. Promosi dan pasar e. Menghindari konflik f. Menarik investor g. Studi AMDAL (RKL & RPL) h. Monitoring dan evaluasi. a. Kebijakan pemukiman b. Membuat master plan c. Menghindari konflik d. Sosialisasi tentang program pemanfaatan yang disepakati.
Kebijakan Konservasi (P1, 23.79%)
Budidaya Perikanan (P2, 20.26%)
Wisata Pantai (P3, 18.65%)
Pelabuhan (P4, 13.83%)
Industri (P5, 11.90%)
Pemukiman (P6, 11.58%)
124
Konservasi (perlindungan) ekosistem mangrove merupakan suatu upayah yang dapat ditempuh untuk mempertahankan dan melestarikan potensi sumberdaya mangrove, karena konservasi sumberdaya mangrove dapat menjamin pemanfaatan secara bijaksana dan berkesinambungan, sehingga persediaan potensi sumberdaya tetap terpelihara dan dapat meningkatkan kualitas nilai keanekaragaman hayati, hal ini sesuai dengan peraturan pemerintah daerah nomor 23 tahun 2001 tentang penetapan jalus hijau hutan mangrove sebagai kawasan konservasi dan rehabilitasi. Pemerintah daerah dan masyarakat di Kabupaten Barru sejak tahun 2001 menyadari sepenuhnya bahwa peranan dan fungsi ekosistem hutan mangrove sangat besar terhadap stabilitas garis pantai, peningkatan daya dukung lingkungan, dan peningkatan keanekaragaman spesies untuk budidaya dan penangkapan. Kondisi ekosistem mangrove di Kabipaten Barru masih cukup baik ditinjau dari aspek fisik, ekobiologi, dan aspek sosial budaya, maupun aspek ekonomi. Fungsi fisik hutan mangrove sebagai barier (penghalang) dapat mengurangi gempuran gelombang laut, genangan air pada saat pasang dan hujan, angin topan di musim barat, hal ini sangat dirasakan oleh masyarakat khususnya petani tambak dan penduduk yang berdomisili di daerah pantai sekitar ekosistem mangrove. Fungsi ekobiologi ekosistem hutan mangrove sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah pembesaran (nursery ground) dan daerah mencari makan (feeding ground) sangat dirasakan oleh masyarakat khususnya nelayan tangkap dan nalayan budidaya, karena dengan keberadaan hutan mangrove maka hasil tangkapan para nelanyan
sampai
saat
ini
masih
cukup
baik,
demikian
pula
dengan
keanekaragaman spesies yang dapat tertangkap, seperti ikan baronang (Siganus sp), ikan kakap putih (Lates calcliper), ikan bandeng (Chanos chanos) ikan sembilan, dan udang windu (Paeneus monodon), udang putih (Paenid sp), kepiting bakau (Scilla serrata) dan lain sebagainya. Sedangkan fungsi ekosistem mangrove dari aspek ekonomi, mempunyai nilai konstribusi sebagai manfaat langsung, manfaat tidak lansung, manfaat pilihan dan nilai manfaat eksistensi. Konservasi merupakan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove yang merupakan prioritas utama dengan nilai skala prioritas 23.79 %, hal ini mengindikasikan bahwa ekosistem mangrove di Kabupaten Barru secara umum ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Kebijakan pemanfaatan ekosistem
mangrove sebagai kawasan konservasi dapat dilaksanakan sesuai program
125
pengembangan dan perencanaan kawasan konservasi merupakan implementasi dari strategi kebijakan sebagai berikut : (1) penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem mangrove secara spesifik sebagai kawasan konservasi, (2) melakukan pelatihan terhadap masyarakat tentang pentingnya kawasan konservasi dan melibatkan mereka dalam pengelolaan ekosistem mangrove tersebut, (3) meningkatkan
keterlibatan,
partisipasi
dan
kesadaran
masyarakat
dalam
pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem mangrove, melalui pembinaan individu atau kelompok, pelatihan, dan proyek percontohan, (4)
melarang mengkonversi
hutan mangrove yang tidak sesuai dengan master plan pemanfaatan ekosistem mangrove yang telah disepakati sebagai suatu kebijakan Pemerintah Daerah, (5) mencegah kerusakan lingkungan melalui konservasi, rehabilitasi, dan keterlibatan masyarakat dalam penge lolaan ekosistem mangrove (6) pelarangan penebangan, pengambilan kayu, atau konversi hutan mangrove untuk peruntukan yang tidak sesuai dengan master plan, (7) melakukan sosialisasi dan penegakan hukum terhadap stakeholders yang terkait langsung dengan pemanfaatan dan keberadaan ekosistem mangrove, (8) melakukan monitoring dan evaluasi terhadap setiap implementasi kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove secara berkala. Rehabilitasi ekosistem mangrove di Kabupaten Barru harus tetap dilaksanakan setiap tahunnya untuk menambah luasan areal dan meningkatkan potensi sumberdaya ekosistem mangrove, rehabilitasi mangrove dalam skala prioritas merupakan bahagian dari konservasi yang sangat penting, rehabilitasi mangrove di lokasi penelitian umumnya dilakukan oleh pihak pemerintah sebagai motivator dan penyandang dana, Lembaga Swadaya Masyarakat dan masyarakat sebagai mitra. Dengan kerjasama yang sinergi dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat khususnya pembibitan dan proyek penanaman mangrove, output dari kegiatan konservasi yang dilakukan, yaitu meningkatkan luasan areal hutan mangrove di daerah pesisir Kabupaten Barru. Lebar hutan mangrove di pesisir Kabupaten Barru berkisar 75 sampai 200 meter, sehingga masih tergolong dalam kategori tingkat kerusakan sedang hingga kurang. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama
Menteri
Pertanian
dan
Menteri
Kehutanan
nomor
KB.
550/264/Kpts/4/1984 dan nomor 082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1984, dimana disebutkan bahwa lebar sabuk hijau untuk hutan mangrove adalah 200 meter, selain itu surat keputusan ini juga bertujuan memberikan legitimasi terhadap
126
perlindungan hutan mangrove.
Surat Keputusan Bersama ini lebih lanjut
dijabarkan dengan mengeluarkan Surat Edaran nomor 507/IV-BPHH/1990, diantaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau pada hutan mangrove 200 meter di sepanjang pantai dan 50 meter disepanjang tepian sungai. Penentuan lebar sabuk hijau sebagaimana disebutkan di atas lebih dikuatkan lagi dengan Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Keppres tersebut ditetapkan bahwa perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian dan fungsi pantai, dimana kriteria sempadan pantai yang dimaksud adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Selain ketetapan tersebut di atas, berdasarkan hasil kajian ekologis disarankan lebar sabuk hijau pada kawasan pantai yang berhutan mangrove minimal selebar 130 meter dikalikan nilai rata – rata selisih antara air pasang tertinggi dan surut terendah tahunan diukur dari air rendah ke arah darat. Misalnya pada suatu kawasan pantai berhutan mangrove, nilai rata – rata air pasang tertinggi dan surut terendah tahunan sebasar 1.5 meter, maka lebar sabuk hijau hutan mangrove yang harus dipetahankan (daerah sempadan pantai) adalah 130 x 1.5 meter = 195 meter. hingga penelitan ini dilaksanakan luas aktual hutan mangrove di Kabupaten Barru adalah 113,02 ha,
untuk memenuhi ketentuan
umum berdasarkan peraturan di atas, maka Kabupaten Barru masih membutuhkan pengembangan luasan areal hutan mangrove atau jalur hijau hutan mangrove (green belt) sekitar 202.11 ha pada daerah pesisir pantai yang sesuai dengan pertumbuhan hutan mangrove. Penanaman bibit mangrove di sekitar hutan mangrove yang telah tumbuh secara aktual maupun pada areal yang baru yang mempunyai kondisi lingkungan sesuai dengan kriteria pertumbuhan bibit mangrove memerlukan beberapa strategi kebijakan untuk mendapatkan hasil yang optimal, adapun strategi yang merupakan implementasi rehabilitasi pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru adalah sebagai berikut : (1) Penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem mangrove secara spesifik untuk kawasan rehabilitasi, (2) peningkatan akses informasi dan sarana prasarana untuk mendukung setiap bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove, (3) membuat master plan (rencana pengelolaan dan rencana
127
aksi) di wilayah pesisir khususnya pemanfaatan ekosistem mangrove dan areal disekitarnya, (4) menghindari terjadinya konflik kepentingan dari berbagai pihak / sektor dalam pemanfaatan ekosistem mangrove, dengan melakukan penataan pemanfaatan ruang secara spesifik, (5) meningkatkan keterlibatan, partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem mangrove, melalui pembinaan individu atau kelompok, pelatihan, dan proyek percontohan, (6) mencegah kerusakan lingkungan melalui konservasi, rehabilitasi, dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove, (7) melakukan sosialisasi dan penegakan hukum terhadap stakeholders yang terkait langsung dengan pemanfaatan dan keberadaan ekosistem mangrove, (8) melakukan monitoring dan evaluasi terhadap setiap implementasi kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove secara berkala. Ekowisata, merupakan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove yang merupakan bahagian dari konservasi yang memperkaya nuangsa estetika dan kesenangan masyarakat, ekowisata(ecotourism) adalah perjalanan ke daerah – daerah yang masih asli untuk memahami kebudayaan dan sejarah ekologi lingkungan tersebut sambil memelihara keterpaduan hutannya dan memberikan kesempatan ekonomi kepada penduduk asli di negara atau daerah tujuan wisata (Satriago 1996).
Hutan mangrove di Kabupaten Barru sangat
memungkinkan untuk dijadikan atau dimanfaatkan sebagai kawasan ekowisata oleh karena kegiatan ekowisata sangat menunjang prioritas utama pada skala prioritas yaitu konservasi, kegiatan ekowisata dapat memanfaatkan hutan mangrove sebagai obyek wisata atau tujuan wisata disamping itu kawasan ekosistem mangrove tetap terpelihara, sehingga fungsi fisik, ekobiologis dan sosial ekonomi tetap berjalan seiring dengan kegiatan ekowisata yang direncanakan. Kegiatan ekowisata dapat di kembangkan dibeberapa areal hutan mangrove di setiap Kecamatan diantaranya : Kecamatan Mallusetasi, Soppengriaja, Balusu, dan Kecamatan Barru. Budidaya Ikan/Tambak, merupakan urutan kedua dalam skala prioritas dengan nilai prioritas 20.26 %, pemanfaatan lahan di Kabupaten Barru untuk kegiatan pertambakan sudah sejak tahun 1980-an, lahan tambak umumnya merupakan hasil konversi dari lahan persawahan, perkebunan, dan hutan mangrove. Konversi hutan mangrove menjadi tambak dilakukan oleh masyarakat
128
secara besar – besaran sekitar tahun 1990-an, masyarakat yang diwawancarai saat penelitian umumnya sudah mengetahui dan memahami arti pentingnya keberadaan hutan mangrove, menyadari bahwa dengan adanya hutan mangrove dapat menjadi tamen dari gempuran gelombang dan genangan air pasang terhadap tambak. Oleh karena itu, tambak di Kabupaten Barru umumnya di bangun di belakang hutan mangrove. Pengembanga n kawasan tambak di Kabupaten Barru dapat dilakukan selama tidak merusak ekosistem mangrove, kegiatan pertambakan dapat dilakukan di beberapa Kecamatan diantaranya : Kecamatan Mallusetasi, Soppengriaja, Balusu dan Kecamatan Barru. Salah satu alternatif untuk pengembangan tambak di Kabupaten Barru yaitu tambak tumpangsari (silvofishery) yaitu tambak yang dibangun hasil konversi hutan mangrove dangan menebang mengrove sebanyak 20 % untuk parit tambak dan 80 % mangrove tetap dipertahankan, karena sistem tambak seperti ini dapat mempertahankan keberadaan mangrove dan tingkat kesuburan tanah.
Adapun strategi yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan
ekosistem mangrove sebagai areal budidaya tambak adalah sebagai berikut : (1) penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem mangrove secara spesifik untuk peruntukan
dan
pemanfaatan
ekosistem
mangrove
sebagai
areal
pertambakan, (2) pemanfaatan ekosistem mangrove, para stakeholders harus mempunyai visi, misi, dan tujuan pengelolaan yang jelas sesuai peraturan dan kebijakan pemerintah daerah yang berlaku, (3) peningkatan akses informasi dan sarana prasarana untuk mendukung setiap bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove, (4) membuat master plan (rencana pengelolaan dan rencana aksi) di wilayah
pesisir
khususnya
pemanfaatan
ekosistem
mangrove
dan
areal
disekitarnya, (5) mencegah kerusakan lingkungan melalui konservasi, rehabilitasi, dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove, (6) luasan areal dan potensi ekosistem mangrove harus tetap dipertahankan, sehingga tidak mengurangi fungsi fisik, kimia dan biologis hutan mangrove. Wisata Pantai, merupakan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove yang berada pada skala prioritas ketiga dengan nilai prioritas 18.65 %, pemanfaatan ekosistem mangrove untuk tujuan wisata pantai dapat dilakukan di sekitar hutan mangrove tanpa menggangu ekosistem mangrove tersebut.
Kabupaten Barru
sebagai suatu kabupaten yang berada di wilayah pesisir dengan dukungan sarana
129
dan prasarana seperti akses transfortasi, informasi, administrasi, dukungan masyarakat lokal dan panjang garis pantai sekitar 18.550 km sehingga sangat strategis untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata pantai. Kegiatan wisata pantai dapat dikembangkan dibeberapa Kecamatan diantaranya : Kecamatan Soppengriaja, Balusu dan Kecamatan Barru. Pemanfaatan ekosistem mangrove untuk tujuan ekowisata dan wisata pantai merupakan salah satu peluang bisnis yang sangat menggembirakan bagi para stakeholders, untuk membangun kawasan ekowisata alam khususnya pada areal hutan konservasi, sehingga terjadi perpaduan yang sinergi antara kegitatan wisata dengan pelestarian ekosistem mangrove. Demikian juga dengan pengembangan wisata pantai dapat direncanakan dan dibangun di sekitar ekosistem mangrove di daerah pantai yang sesuai dengan kriteria pengebangan kawasan wisata pantai, pada kawasan ini dapat direncankan pembangunan berbagai sarana dan prasarana wisata, seperti : villa, mandi, selam, parasailing dan lain- lain. Hal tersebut di atas juga memberikan nilai estetika tersendiri khususnya bagi para pengunjung maupun penduduk setempat. Penetapan ekosistem mangrove sebagai kawasan ekowisata dan wisata pantai dapat terealisasi dengan baik apabila diimplementasikan sesuai dengan strategi pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai berikut : (1) penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem mangrove secara spesifik untuk ekowisata dan wisata pantai sesuai peruntukan dan pemanfaatan ekosistem mangrove (2) pemanfaatan ekosistem mangrove harus tetap mengacu dan mempertimbangkan kelestarian dan potensi sumberdaya ekosistem mangrove, (3) peningkatan akses informasi dan sarana prasarana untuk mendukung setiap bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove, (4) melakukan pemantauan pasar dan promosi potensi sumberdaya mangrove baik di tingkat regional maupun internasional, (5) membuat master plan (rencana pengelolaan dan rencana aksi) di wilayah pesisir khususnya pemanfaatan ekosistem mangrove dan areal disekitarnya, (6) memicu daya tarik investor untuk menanamkan modalnya di wilayah pesisir melalui promosi potensi sumberdaya ekosistem mangrove dan peruntukan ruang secara spesifik untuk pengembangan usaha tertentu. Pelabuhan, merupakan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove yang berada pada skala prioritas keempat dengan nilai prioritas 13.38 %, sudah menjadi tradisi atau kebiasaan para nelayan memanfaatkan hutan mangrove sebagai
130
pelabuhan rakyat atau tempat menyandarkan perahu pada saat selesai melaut, agar terlindung dari badai angin kencang dan hempasan gelombang, seperti yang dijumpai di Pulau Pannikiang Kecamatan Balusu, Kelurahan Mangempang dan Siawung Kecamatan Barru. Tradisi ini sebenarnya dapat merusak tatanan ekosistem mangrove atau merusak mangrove pasca-rehabilitasi. Namun disadari bahwa untuk mengembangkan sistem perekonomian dan perdangangan lewat laut dibutuhkan
pelabuhan
untuk
memenuhi
kebutuhan
masyarakat
nelayan,
keberadaan pelabuha n dapat dibangun disekitar hutan mangrove dengan pertimbangan tertentu, misalnya : kedalaman perairan, tidak merusak hutan mangrove, mudah dijangkau dan cukup terlindung. Ada beberapa daerah yang dapat direkomendasikan untuk pengembangan pelabuhan yaitu : Kecamatan Soppengriaja dan Kecamatan Barru. Adapun strategi yang dapat dilakukan untuk mengimplementasikan perencanaan dan pengembagan pelabuhan di sekitar areal ekosistem mangrove adalah sebagai berikut : (1) penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem
mangrove
secara
spesifik
untuk pelabuhan, (2)
peningkatan akses informasi dan sarana prasarana untuk mendukung setiap bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove, (3) membuat master plan (rencana pengelolaan dan rencana aksi) di wilayah pesisir khususnya pemanfaatan ekosistem mangrove dan areal disekitarnya, (4) menghindari terjadinya konflik kepentingan dari berbagai pihak / sektor dalam pemanfaatan ekosistem mangrove, dengan melakukan penataan pemanfaatan ruang secara spesifik, (5)
mencegah kerusakan
lingkungan melalui konservasi, rehabilitasi, dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove, (6) melakukan studi kelayakan untuk kesesuain lahan dan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) meliputi RKL (rencana pengelolaan lingkungan)
dan RPL (rencana pemantauan lingkungan)
untuk setiap kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove, (7) melakukan monitoring dan evaluasi terhadap setiap implementasi kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove secara berkala. Industri, merupakan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove yang berada pada skala prioritas kelima dengan nilai prioritas 11.90 %, pengembangan kawasan industri di Kabupaten Barru cukup strategis, khususnya pengembangan industri hatchery skala makro dan hatchery mini (skala rumah tangga). Kawasan
131
industri hatchery ini dapat di kembangkan di sekitar ekosistem mangrove, olehnya itu kegiatan ini tidak memberikan konstribusi merusak ekosistem mangrove. Kegiatan ini dapat dikembangkan dibeberapa Kecamatan di Kabupaten Barru, diantaranya : Kecamatan Mallusetasi dan Kecamatan Balusu.
Adapun strategi
untuk pengembangan industri di sekitar areal ekosistem mangrove adalah sebagai berikut : (1) penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem mangrove secara spesifik untuk peruntukan industri, (2) pemanfaatan ekosistem mangrove, para stakeholders harus mempunyai visi, misi, dan tujuan pengelolaan yang jelas sesuai peraturan dan kebijakan pemerintah daerah yang berlaku, (3) peningkatan akses informasi dan sarana prasarana untuk mendukung setiap bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove, (4) melakukan pemantauan pasar dan promosi potensi sumberdaya mangrove baik di tingkat regional maupun internasional, (5) menghindari terjadinya konflik kepentingan dari berbagai pihak / sektor dalam pemanfaatan ekosistem mangrove, dengan melakukan penataan pemanfaatan ruang secara spesifik, (6) memicu daya tarik investor untuk menanamkan modalnya di wilayah pesisir melalui promosi potensi sumberdaya ekosistem mangrove dan peruntukan ruang secara spesifik untuk penge mbangan usaha tertentu, (7) melakukan studi kelayakan untuk kesesuain lahan dan AMDAL (analisis nengenai dampak lingkungan) meliputi RKL (rencana pengelolaan lingkungan) dan RPL (rencana pemantauan lingkungan) untuk setiap kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove, (8)
melakukan monitoring dan evaluasi terhadap setiap implementasi
kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove secara berkala. Pemukiman, merupakan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove yang berada pada skala prioritas keenam dengan nilai prioritas 11.58 %, pemanfaatan ekosistem mangrove untuk pengembangan kawasan pemukiman di Kabupaten Barru dapat dilakukan di Kecamatan Balusu dan Kecamatan Barru. Bila ditinjau dari profil wilayah Kabupaten Barru yang sebahagian besar wilayahnya adalah daerah dataran rendah berupa tambak, persawahan, dan perkebunan, sehingga lokasi untuk kawasan pemukiman cukup luas tersedia.
Namun demikian
masyarakat nelayan yang sudah menyatu dengan laut, memilih membuka kawasan pemukiman dan membuat rumah di daerah pesisir pantai, mereka membangun rumah di belakang ekosistem mangrove dengan pertimbangan agar terhindar dari
132
badai angin topan dan gelombang. Rumah yang cocok dibangun di kawasan ini adalah jenis rumah panggung, supanya terhindari genangan air pada saat pasang dan juga pada bagian bawah atau kolom rumah dapat dijadikan sebagai tempat menyimpan berbagai macam alat tangkap dan perlenkapan lainnya. Adapun strategi yang dapat dilakukan untuk mengimplementasikan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove untuk pengembangan pemukiman penduduk adalah sebagai berikut : (1) penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem mangrove secara spesifik untuk peruntukan perumahan atau pemukiman, (2)
membuat
master plan (rencana pengelolaan dan rencana aksi) di wilayah pesisir khususnya pemanfaatan ekosistem mangrove dan areal disekitarnya, (3) menghindari terjadinya konflik kepentingan dari berbagai pihak / sektor dalam pemanfaatan ekosistem mangrove, dengan melakukan penataan pemanfaatan ruang secara spesifik, (4) sosialisasi dan pemahaman terhadap masyarakat tentang program pemanfaatan ekosistem mangrove yang telah disepakati dan ditetapkan sebagai kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove.
133
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Kondisi dan potensi sumberdaya ekosistem mangrove di Kabupaten Barru masih dalam kategori ekosistem yang mempunyai stabilitas tinggi ditinjau dari hasil inventarisasi komposisi jenis mangrove diantaranya : Rhizophora stylosa, R. apiculata, R. mucronata, Sonneratia alba, Avicennia alba, Ceriops decandra, Nypa fruticans, Acanthus ilicifolus, dan beberapa jenis mangrove ikutan diantaranya Ipomea pescaprae dengan kerapatan jenis yang tinggi, demikian juga dengan organisme yang berasosiasi seperti : Marozoobentos, ikan, udang, burung dan mamalia
masing – masing mempunyai nilai
kelimpahan dan keanekaragamam masih dalam kategori sedang sampai tinggi. 2. Analisis kesesuaian pemanfaatan lahan khususnya ekosistem mangrove dengan menggunakan beberapa parameter lingkungan seperti : kondisi geomorfologi pantai, dinamika oseanografi (arus, gelombang, dan pasang surut), suhu, salinitas, disolved oxygen (DO), pH, Eh tanah, N, P dan sedimen (substrat) yang diacu terhadap matriks kesesuaian lahan yang baku, maka di Kabupaten Barru khususnya empat kecamatan didapatkan 6 (enam) jenis kesesuaian pemanfaatan ekosistem mangrove, yaitu : kawasan konservasi, wisata pantai, budidaya ikan/tambak, kawasan pemukiman, pelabuhan dan kawasan industri. 3. Pengembangan dan pemanfaatan ekosistem mangrove secara efisien dan optimal
dapat dilakukan dengan pendekatan konsep keterpaduan antar
beberapa bentuk kegiatan pemanfaatan potensi sumberdaya ekosistem mangrove, untuk mencapai hal tersebut maka diperlukan suatu analisis prioritas kegiatan pemanfaatan sesuai dengan kondisi aktual ekosistem mangrove baik secara internal maupun eksternal. dengan menggunakan
Hasil analisis prioritas
A’WOT didapatkan prioritas kegiatan pemanfaatan
ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, yaitu Konservasi sebagai prioritas pertama, kedua budidaya ikan/tambak, ketiga wisata pantai, keempat pengembangan kawasan pelabuhan, kelima pengembangan kawasan industri dan prioritas terkhir pengembangan kawasan pemukiman.
134
4. Hasil analisis ekologis, sosial ekonomi, kesesuaian pemanfaatan lahan, dan analisis skala prioritas kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove, maka pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru direkomendasikan sebagai berikut : (a) ekosistem mangrove pada setiap kecamatan di Kabupaten Barru ditetapkan sebagai kawasan konservasi (termasuk ekowisata dan rehabilitasi), (b) pemanfaatan untuk pengembangan wisata pantai dapat dilakukan di Kecamatan Mallusetasi, Balusu dan Kecamatan Barru, (c) pemanfaatan ekosistem mangrove untuk budidaya ikan/tambak dapat dilakukan di semua kecamatan di Kabupaten Barru dengan model pengembangan tambak tumpang sari (silvofishery), (d) pengembangan dan pembangunan pelabuhan dapat dilakukan di sekitar areal hutan mangrove khususnya di Kecamatan Soppengriaja dan Barru, (e) pengembangan kawasan industri hatchery dapat dilakukan di belakang hutan mangrove di Kecamatan Mallusetasi dan Kecamatan Balusu, dan (f) untuk pengembangan pemukiman dapat dilakukan di Kecamatan Balusu dan Kecamatan Barru. 5.2 Saran 1. Pemanfaatan ekosistem mangrove oleh para stakeholders khususnya di Kabupaten
Barru, diharapkan mengacu pada kebijakan pemanfaatan
ekosistem yang telah ditetapkan dan mengacu pada skala prioritas kegiatan, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap stabilitas ekosistem mangrove. 2. Konsep kebijakan ekosistem mangrove yang dihasilkan pada penelitian ini, diharapkan dapat diadopsi dan diimplementasikan oleh pengambil kebijakan dalam rangka pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan. 3. Apabila stakeholders ingin mengimplementasikan alternatif kegiatan yang merupakan skala prioritas dalam penelitian ini, maka sebaiknya dilakukan analisis keuntungan dan pembiayaan (benefit cost analysis) pada setiap kegiatan yang direncanakan.
135
DAFTAR PUSTAKA Adrianto L, Azis N. 2006. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Mangrove Kecamatan Barru, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Sebuah Pendekatan Permintaan. Malang, 20 – 21 Februari. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. Bangkok. Thailand.
IUCN.
Anwar J, Sengli J, Damanik, Hasim N, Whitten AS. 1984. Ekologi Hutan Sumatra. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Bahar A. 2005. Kajian Kesesuaian Hutan Mangrove untuk Pengembangan Ekowisata di Tanakeke Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Torani 1 : 10 – 17. Makassar. Balithut Sul – Sel. 1995. Analisis Ekonomi dan Lingkungan Rehabilitasi Hutan Bakau Pola Tambak Parit di Sulawesi Selatan. Laporan Penelitian. Makassar. Bann C. 1998. The Economic Valuation of Mangrove. A Manual for Researchers. Economic and Enviromental Program for Southeast Asia. IDRC. Bappeda 2000. Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Pantai dan Penetapan Jalur Hijau Hutan Mangrove Kabupaten Barru. Rancangan Rencana. Pemerintah Daerah Kab. Barru. Sulawesi Selatan. Barton N, David. 1994. Economis Factor and Valuation of Tropical Coastal Resources SMR . Report 14/94 – Center for Studies of Enviromental and Resources. University of Norway. Bengen GD. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat kajian sumberdaya pasisir dan lautan. Institu Pertanian Bogor. ____________2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Hutan Mangrove. PKSPLIPB. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2003. Koordinator Statistik Kabupaten Barru. Badan Pusat Statistik Kabupaten Barru (Central Board of Statistic of Barru Regency. Barru. Sulawesi Selatan. BPS. 2004. Koordinator Statistik Kabupaten Barru. Badan Pusat Statistik Kabupaten Barru. Barru. Sulawesi Selatan. Bakosurtanal. 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marine. Kupang Nusa Tenggara Timur. Pusbina-Inderasig. Cibinong.
136
Barus B dan U.S. Wiradisastra, 2000. Sistem Informasi Geografis. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartograi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Budiharsono S. 2003. Analisis Prioritas Alokasi Anggaran Monitoring Dan Evaluasi Proyek Pembangunan. Pelatihan Perencanaan dan Pemanfaatan Wilayah Pesisir Terpadu (ICZPM). Kerjasama DKP dengan PKSPL Institut Pertanian Bogor. Bogor. Brotonegoro S, Abdulkadir S. 1978. Penelitian Pendahuluan Kecepatan Kecepatan Gugur Daun dan Pengurainya dalam Hutan Bakau Pulau Rambut. Prosiding Seminar I, Hutan Hutan Mangrove. Jakarta. Dahuri R, Ginting SRP, Rais J, dan Sitepu JG. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Paradyna Paramitha, Jakarta. Dahuri R. 2003. Paradikma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Darsidi A.
1984. Pemanfaatan Hutan Mangrove di Indonesia. Prosiding Seminar II Pemanfaatan Hutan Mangrove.
Dinas Kelautan dan Perikanan. 2003. Laporan Statistik Kelautan dan Perikanan Kabupaten Barru. Sulawesi Selatan. Direktorat Bina Program Kehutanan. 1982. Keadaan Hutan Indonesia. Direktorat Jenderal Kehutanan Deprtemen Kehutanan Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Djojobroto S. 1998. Pedoman Perencanaan dan Pemanfaatan Zona Pesisir Terpadu. Departemen Dalam Negeri. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah. Dunn W.
1994. Public Policy Analysis. University of Pittsburgh.
An Introduction Second Edition.
English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual For Tropical Marine Resource. Australian Intitute of Marine Science. ASEAN- Australian Marine Science Project Living Coastal Resource. Fork A.
1999. Modeling the Enviromental. An Introduction to System Dynamics Models of Enviromental Systems. Island Press. Washington DC. Covelo. California.
Giesen W, Baltzer M, Baruadi, Rudin. 1991. Integrating Conservating With Land Use Development in Wet Land Of South Sulawesi. PHPA. AWB. BP-Indonesia. Bogor Indonesia.
137
Haris A. 2003. Analisis Kesesuaian lahan dan Kebijakan Pemanfatan Ruang Wilayah Pesisir Teluk Kayeli Kabupaten Buru. Tesis Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Harris JM dan Godwin. 2002. A Survey of Sustainable Development: Social and Economic Dimensions. The Global Developtmen and Environment Institute Tufts University. Helald E. 1971. The Production of Organic Detritus in The South Florida Estuary. University of Miami. Sea Grant Technical Bulletin. Florida. Hunger DJ, Wheelen TL. 1996. Strategic Management. Edisi Bahasa Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Andi, 2003. Yogyakarta. Hutabarat S, Evans MS. 1984. Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas Indonesia. UI- Press. Hutagalung PH, Deddy S, Riyanto HS. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Pusat penelitian dan pengembangan oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. http://www.dkp.go.id/ 2005. Kebijakan Hutan Mangrove di Indonesia. Departeman Kalautan dan Perikanan. Jakarta. Indonesia. Intag. 1993. Hasil Penapsiran Luas Areal Mangrove dari Citra Lansat MSS Liputan 1986 – 1991. Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Kartadinata K, Adisoemarto S, Soemihardjo S, Tantra IGM. 1978. Status Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia. Prosiding Seminar I Hutan mangrove. Jakarta. Kramadibrata S. 1985. Perencanaan Pelabuhan. Ganesa Exact Bandung. Kusmana C. 1995. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Lab. Ekologi Hutan. Fak. Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. __________ 1995. Teknik Rehabilitasi Kerusakan Hutan Mangrove. Lab. Ekologi Hutan. Fak. Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. __________ 1997. Metode Susvey Vegetasi. Pertanian Bogor. Bogor.
Diterbitkan Oleh PT. Institut
__________ 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fakultas Kehutanan
Lugo AE, Suhendar SC. 1974. The Ecology of Mangrove. Animal Review of Ecological System.
138
Ludwig JA, Reynolds JF. 1998. Statistical Ecology. A Primer on Methods and Computing. A Wiley-International Publication. New York Muhammadi A, Erman, Budhi S. 2001. Analisis Sistem Dinamik. Lingkungan Hidup, Sosial Ekonomi Manajemen. Penerbit UMJ Press. Dicetak Oleh CV. Gajahmada Mandiri. Jakarta. Munir M. 1996. Geologi dan Mineral Tanah. Pustaka Jaya. Jakarta. Natzir M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia - Indonesia Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (terjemahan). PT. Gramedia, Jakarta. Noor YR, Khazali M, Suryadiputra, 1999. Panduan Mengenai Hutan Mangrove di Indonesia. Ditjen PKA. Jakarta. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Third Editio. WB. Saunders Co. Toronto. Paryono TJ, Kusumastanto T, Dahuri R, Bengen DG. 1999. Kajian Ekonomi Pengelolaan Tambak Di Kawasan Mangrove Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan volume 2 nomor 3 : 8-15. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Poernomo A. 1992. Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan. Balitbang Pertanian, Balitbang Perikanan. Kerjasama United Stated Agency for International Developmen Fisheries and Development Project (USAID/FRDP). Poerwowidigdo SJ. 2002. Modifikasi Pendekatan Pembandingan Serentak Sebagai Pengganti Pembandingan Berpasangan dalam Proses Hirarki Analisis (PHA). Universitas Hang Tuah. Surabaya. Rangkuti dan Freddy 1999. Analisis SWOT. Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia. Jakatra. Ruitenbeek J. 1991. Mangrove Mangement. An Economic Analysis of Management Options With a Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. Ministry of The Enviroment. Indonesia. Saaty TL. 1991. Pengambilan Keputuasan. Bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki Analisis untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Seri Manajemen nomor 132. Diterjemahkan PT. Pustaka Binaman Pressindo. Cetakan Pertama. PT. Dharma Aksdara Perkasa. Jakarta. Saru A. 2006. Analisis Hutan Mangrove dengan Pendekatan Model Ekologi di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian
139
Perikanan volume 9 nomor 1 Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Edisi Khusus Seminar Nasional Hasil – Hasil Penelitian di Bidang Perikanan dan Kelautan. Malang. Satriago H. 1996. Istilah Lingkungan untuk Manajemen. Institut Pengembangan Manajemen Indonesia. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Singaribun M, Sofian E. 1995. Metode Penelitian Survei. Edisi Revisi LP3ES. Jakarta. Sumana Y. 1985. Hutan Mangrove dan Permasalahannya di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembagan Kehutanan Vol. 1, No. 1. Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Sugandhy A. 1993. Pemanfaatan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Lautan . Makalah Lokakarya Pemantapan Strategi Pemanfaatan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Pembangunan Jangka Panjang tahap kedua. Jakarta. Sugiarti. 2000. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir di Kotamadya Dati II Pasurua ng Jawa Timur. Tesis, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sugiono 2003. Metode Penelitian Administrasi. Penerbit Alfabeta. Bandung. Soejarwo. 1978. Mengoptimalkan Fungsi – Fungsi Hutan Mangrove untuk Menjaga Kelestariannya demi Kesejahteraan Manusia. Prosiding Seminar I Hutan mangrove. Jakarta. Soerianegara. 1987. Mengenal Hutan Mangrove. Panduan teknis di lapngan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Sorensen JC, Mc. Crary, Hersman M.J. 1984. Instutional Arrangement for Management of Coastal Resources. Research Planning Institutes, Inc., Columbia, South Carolina. Susilo BS. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau – Pulau Kecil : Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tim Revisi Strategi Nasioanl Pengelolaan Hutan Mangrove Indonesia. 2004. Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove Indonesia. Makalah Strategi dan Program. Jakarta. Tomlinson PB, 1986. The Bitany of Mangrove. Cambrodge University Press. Cambridge. U.K
140
Walter H. 1971. Ecology of Tropical and Sub-Tropical Vegetation. Van Rostrand Reinhold Company. New York, Cincinnati, Toronto, London. Whitten IA, Mustapa M, Handerson SG. 1988. Ekologi Sulawesi . Cetakan ke 2. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Widigdo B,
Soewardi K. 1999. Kelayakan Lahan Tambak di Proyek Pandu Tambak Rakyat Karawang. Budidaya Udang (dalam hubungannya dengan kadar logam berat dan pestisida). PKSPL-IPB. Bogor.
Wightman GM. 1989. Mangrove of the Northern Territory. Noerthern Territory Botanical Bulletin No. 7. Conservation Commission of the Northern Territory, Palmerston, N.T. Australia. Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sains Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zonasi dan Manajemen Pengelolaan Wilayah Laut Kabupaten Barru. 2003. Laporan Akhir Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Barru. Kabupaten Barru Sulawesi Selatan.