IDENTIFIKASI JENIS PENYAKIT PADA LIMA JENIS DIPTEROCARPACEAE DI KALAMPANGAN ZONE KALIMANTAN TENGAH Eritha Kristiana Firdara1, Djumali Mardji2 dan B.D.A.S. Simarangkir3 1
2
Fakultas Kehutanan Univ. Palangka Raya, Palangka Raya. Laboratorium Perlindungan 3 Hutan Fahutan Unmul, Samarinda. Laboratorium Silvikultur Fahutan Unmul, Samarinda
ABSTRACT. Determination of the Types of Diseases on Five Species of Dipterocarpaceae at the Kalampangan Zone of Central Kalimantan. The research aimed to find out: (a) the types of diseases at the primary and burnt-over forests attacking saplings, poles and trees, (b) the distribution and the most dominant types of disease and (c) the types of vegetation attacked by pathogen (sources of disease). The research resulted that at the primary forest, the highest indexes of diversity (H), dominance (C) and eveness of disease were stem canker disease, with the value of index was 0.1581, 0.1790 and 0.1750, respectively. The same results occured at the burnt-over forest, where the disease with the highest indexes of diversity (H) and dominance (C) were also stem canker disease with the value of index was 0.1560, 0.2034 and 0.1727, respectively. The disease with the lowest index of diversity (H), dominance (C) and eveness (e) at the primary forest were resinosis with the value of index was 0.0194, 0.0001 and 0.0215, respectively. The same results occured at the burnt-over forest, where the disease with the lowest index of diversity was stem tumor (0.0335) and leaf blight (0.0335). The disease with the lowest index of dominance was the stem tumor (0.0004) and leaf blight (0.0004). Furthermore, there were 2 types of diseases with the lowest index of eveness, namely stem tumor (0.0370) and leaf blight (0.0370). Kata kunci: penyakit, Dipterocarpaceae, Kalampangan.
Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai hutan tropis terluas dan terkaya di dunia. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna yang kelimpahannya tidak tertandingi oleh negara lain dengan luas yang sama. Pembangunan yang terjadi secara besar-besaran dan berlangsung cepat mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman hayati dalam bentuk gangguan pada ekosistem. Salah satu bentuk gangguan yang dapat menimbulkan kerugian adalah kehadiran penyakit pada pohon-pohon yang tumbuh di hutan alam (Anonim, 2001). Menurut Rahayu (1998) penyakit dapat terjadi karena gangguan proses fisiologis dari tanaman (meliputi bagian biji, bunga, buah, daun, pucuk, cabang, batang dan akar) sebagai akibat terganggunya fungsi jaringan atau organ tanaman oleh penyebab penyakit (patogen). Hutan disebut sakit bila pohon-pohon yang ada di dalamnya mengalami tekanan secara terus-menerus oleh faktor-faktor biotik (organisme) atau oleh faktor-faktor abiotik (fisik dan kimia) lingkungannya sehingga menimbulkan kerugian. Hutan alam merupakan pusat kehidupan patogen, tetapi selalu dalam keadaan seimbang. Artinya bahwa siklus kehidupan patogen dengan predatornya atau 29
30
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
pemangsanya berada dalam keadaan seimbang. Timbulnya penyakit tidak terlepas dari rusaknya lingkungan yang disebabkan antara lain oleh kebutuhan terhadap lahan pertanian yang biasanya dilakukan dengan cara menebas hutan-hutan alam. Padahal penebasan hutan itu akan menimbulkan ancaman kelestarian bagi organisme hidup yang ada di dalam hutan itu, termasuk satwanya yang unik/khas dan langka serta tumbuhan yang indah-indah (Anonim, 2001). Hutan tanaman yang monokultur (sejenis) sangat rentan terhadap penyakit, karena jenisnya yang seragam akan mempermudah penyebaran organisme pengganggu tanaman (OPT) secara cepat, bila dibantu dengan lingkungan yang mendukung. Untuk menghindari hal tersebut dapat dilakukan dengan cara (i) pencampuran jenis, (ii) pembatasan luar pertanaman, (iii) pemilihan jenis yang telah beradaptasi dengan baik, (iv) penanaman jenis hanya pada rentang alaminya atau pada kondisi yang mirip aslinya, (v) pemeliharaan keragaman kelas umur dan (vi) penerapan silvikultur untuk pemeliharaan pohon dan regenerasi kelas umur (Sumardi, 2004). Bila pohon-pohon besar di hutan terinfeksi/sakit, maka dalam jangka waktu yang lama akan rebah dan membuka peluang untuk masuknya sinar matahari sehingga memacu pertumbuhan semai yang tidak ternaungi, semai yang tadinya kerdil, pertumbuhannya menjadi lebih cepat (Sagala, 1999). Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, jenis-jenis penyakit yang pernah ditemukan menyerang hutan alam Kalampangan Zone menurut Jhon (2006) adalah: 1. Penyakit bercak daun pada jenis kambalitan putih (Polyalthia glauca/ Annonaceae), jambu-jambuan (Eugenia sp./Myrtaceae), hangkang (Palaquium leiocarpum/ Sapotaceae) dan bintangur/jinjit (Calophyllum inophyllum/Clusiaceae). 2. Penyakit tumor daun pada jenis kambasira (Chaetocarpus castanocarpus/ Euphorbiaceae). 3. Penyakit batang pada jenis gerunggang (Cratoxylon arborescens/Hypericaceae) dan jenis jambu-jambuan (Eugenia sp./Myrtaceaeae). Pada hutan bekas terbakar sering dijumpai pohon-pohon hutan dengan daundaun yang berlubang-lubang akibat dimakan serangga, contohnya pada jenis gerunggang (Cratoxylon arborescens/Hypericaceae) dan jenis kerandau (Xanthophyllum amoeneum/Polygalaceae) (Jhon, 2006). Tumbuhan yang diteliti pada penelitian ini adalah jenis-jenis Dipterocarpaceae. Jenis-jenis pohon dari suku ini merupakan bagian akhir dari suksesi hutan karena hanya tumbuh di hutan-hutan yang sudah memiliki kanopi yang rapat. Jenis-jenisnya tersebar luas sekali, tumbuh di hutan-hutan dari dataran rendah sampai kaki pegunungan di seluruh Asia Tenggara dan sub-benua India. Suku Dipterocarpaceae merupakan bagian dari kayu keras yang paling berharga di dunia. Satu pohon nilainya mencapai beberapa ribu dollar. Salah satu karakteristik yang paling nyata dari Dipterocarpaceae adalah pola reproduksinya yang dikenal sebagai pembuahan massal (mass-fruiting) (Anonim, 2001). Areal penelitian didominasi oleh jenis-jenis Dipterocarpaceae, seperti bangkirai batu (Hopea myrtifolia), kahoi (Shorea balangeran), meranti lampong (S. leprosula), meranti batu (S. pallidifolia) dan resak bukit (Cotylelobium lanceolatum).
Firdara dkk. (2009). Identifikasi Jenis Penyakit
31
Selama ini masih belum ada laporan secara tertulis di Kalampangan Zone mengenai jenis-jenis penyakit yang ada pada hutan primer maupun hutan bekas terbakar, karena belum pernah diadakan penelitian, sehingga hal ini yang menjadi latar belakang diadakan penelitian di Kalampangan Zone. Penyakit yang menyerang pohon-pohon hutan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan nilai keanekaragaman hayati menjadi menurun. Berdasarkan hal ini diadakan penelitian mengenai jenis-jenis penyakit yang terjadi di hutan primer dan hutan bekas terbakar. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada hutan primer dan hutan bekas terbakar di Kalampangan Zone Kalimantan Tengah, kemudian dilanjutkan di Laboratorium Budidaya Pertanian Universitas Palangkaraya. Penelitian dilaksanakan selama lebih kurang 3 bulan yang meliputi persiapan, kegiatan lapangan menyangkut orientasi lapangan, pembuatan plot, pengukuran dan pengambilan data di lapangan. Dalam pelaksanaan penelitian ini yang menjadi objek adalah: tumbuhan kehutanan jenis Dipterocarpaceae yang sakit dari tingkat pancang, tiang dan pohon. Plot ditentukan berdasarkan orientasi lapangan, dibuat secara sistematik sampling with random start (acak). Peletakkan plot contoh dilakukan secara sistematik. Plot penelitian dibuat dengan ukuran 70x195 m (1,365 ha) masingmasing sebanyak 1 buah pada hutan primer dan 1 buah pada hutan bekas terbakar, sehingga luas keseluruhan adalah 2,73 ha. Pada plot 70x195 m tersebut dibuat subplot contoh untuk tingkat pohon berukuran 20x20 m, untuk tingkat tiang 10x10 m dan pancang 5x5 m. Subplot tersebut terletak pada sumbu jalur yang berjumlah 8 buah. Pada satu sumbu jalur terdapat 3 subplot contoh untuk masing-masing tingkatan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Jenis Vegetasi yang Terserang Patogen 1. Bangkirai Batu (Hopea myrtifolia) Menurut (Whitmore, 1999), ciri-ciri utama pohon adalah: ranting, tangkai daun dan tulang tengah atas dengan indumentum seperti beledu yang renggang dan lunak, pertulangan sekunder driobalanoid. Tinggi pohon dapat mencapai 40 m, diameter batang 80 cm, batang berbentuk silinder atau agak berlekuk, banir lurus atau cekung, tipis, akar jangkang sedikit pada pohon dewasa, meskipun menonjol pada pohon muda. Kulit luar licin atau kadang merekah, sedangkan kulit dalam berwarna kuning mengkilap. Bentuk ranting bulat, tangkai daun berukuran 0,61,2 cm dengan indumentum berupa bulu-bulu pendek yang rapat. Daun berbentuk jorong atau bulat telur, ujung daun lancip panjang, pangkal daun berbentuk pasak atau membundar, pertulangan daun sekunder. Urat-urat daun halus dan rapat. Daun penumpu berbentuk jarum dan mudah rontok. Permukaan atas daun bila mengering berwarna coklat kekuning-kuningan. Bunga kecil, stilopodium sempit, berbentuk silinder.
32
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
Kelopak buah dengan 2 sayap panjang dan 3 sayap pendek. Jenis ini tumbuh dengan baik pada tanah yang subur dan dalam, lahan bergelombang dan berdrainase baik. Daerah-daerah penyebarannya meliputi Semenanjung Malaysia, Sumatera, Irian Jaya, Kalimantan Barat (Melawi), Kalimantan Tengah (Muara Teweh), Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. 2. Kahoi (S. balangeran) Ciri-ciri utama: daun berbentuk agak elips, permukaan di bawahnya agak kasar dan pertulangan daun sekunder. Kulit luar batang berwarna merah tua sampai hitam, sedikit beralur dangkal (Whitmore, 1999). Tinggi pohon mencapai 2025 m dengan panjang batang bebas cabang sampai 15 m, diameter 50 cm, tidak berbanir. Batangnya biasanya agak lurus dengan alur-alur dalam atau dangkal, tidak berpilin dan mempunyai bonggol-bonggol (Heyne, 1987). Kelopak buah dengan 3 sayap panjang, 2 sayap pendek. Musim berbunga dan berbuah tidak terjadi setiap tahun. Musim berbuah sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim setempat. Pemungutan buah masak sering dilakukan bersama-sama dengan jenis-jenis lain dari famili Dipterocarpaceae yaitu dalam bulan Februari, April sampai Juni (Martawijaya, 1989). Jenis ini tumbuh dengan baik pada hutan primer tropis basah yang sewaktuwaktu tergenang air, di rawa atau di pinggir sungai, pada tanah berpasir, tanah gambut atau tanah liat dengan tipe curah hujan AB pada ketinggian 0100 m dari permukaan laut (Martawijaya, 1989). Daerah penyebarannya adalah Pulau Bangka, Belitung dan Kalimantan (Heyne, 1987). 3. Meranti Lampong (S. leprosula) Menurut Whitmore (1999), ciri-ciri utama jenis ini adalah tajuk berwarna tembaga, indumentum rapat, bagian bawah daun berwarna coklat kuning atau coklat kelabu. Saluran-saluran damar radial di dalam kayu gubal dan kayu teras terlihat jelas dengan mata biasa, terutama di ujung-ujung kayu gelondongan. Daun umumnya dengan jalur domatia yang menyerupai sisik-sisik pucat sampai tulang tengah dan kadang sampai bagian bawah pertulangan utama, yang menetap sampai tajuk menyeruak ke dalam tajuk. Batangnya terkenal dengan saluran-saluran damarnya yang radial. Tinggi pohon bisa mencapai 45 m, tinggi banir 1,5 m dan membentang, dengan batang yang lurus atau agak lurus, berbanir kecil kuat dan bertajuk tinggi. Tajuk berwarna coklat kekuningan seperti tembaga pucat. Tangkai daun berukuran 0,92,3 cm dengan indumentum berupa bulu-bulu pendek yang rapat. Daun berbentuk lonjong, jorong atau bulat telur. Permukaan bawah daun bila mengering berwarna coklat agak kelabu, kesan raba kasar dengan indumentum pendek berupa bulu-bulu yang rapat, pertulangan daun sekunder. Bunganya kecil, daun mahkota berwarna kuning, benang sarinya berjumlah 15 dan mempunyai kelopak buah dengan 3 sayap panjang, 2 sayap pendek. Jenis ini tumbuh dengan baik pada ketinggian kurang dari 700 m dpl. Memerlukan cahaya yang kuat dan tumbuh cepat sampai berumur 20 tahun. Daerah penyebarannya meliputi Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Bangka, Belitung dan Kalimantan. Jenis ini paling banyak tersebar luas di hutan Dipterocarpaceae, lereng-lereng bukit dan lembah hutan Dipterocarpaceae.
Firdara dkk. (2009). Identifikasi Jenis Penyakit
33
4. Meranti Batu (S. pallidifolia) Menurut Whitmore (1999), ciri-ciri utama dari jenis ini adalah ranting memipih, tangkai daun agak panjang 23,5 cm, bila mengering pada bagian bawah daun berwarna coklat kekuningan, sedangkan bagian atas daun bila mengering berwarna lembayung. Kesan raba kasar pada bagian bawah daun dan pertulangan daun sekunder, mula-mula lurus, melengkung hanya di dekat tepi daun. Tinggi pohon bisa mencapai 40 m dengan diameter batang sampai 80 cm, batang berbentuk silinder dengan banir yang kecil. Permukaan batang berwarna coklat kekuningan dan kayu teras berwarna merah kecoklatan. Tajuknya kecil dan rapat berwarna hijau atau hijau kelabu. Daun berbentuk lonjong, jorong atau bundar telur. Ujung daun luncip pendek, pangkal daun membundar agak berbentuk jantung, simetris. Permukaan atas daun bila mengering berwarna coklat lembayung. Kesan raba licin, permukaan bawah daun bila mengering berwarna coklat kekuningan. Permukaan daun licin. Bunganya kecil dan benang sarinya berjumlah 15. Kelopak buah dengan 3 sayap panjang dan dua sayap pendek. Jenis ini tumbuh dengan baik pada ketinggian kurang dari 700 m dpl. Jenis ini banyak hidup pada hutan kerangas. Daerah penyebarannya meliputi Kalimantan, Semenanjung Malaysia, Serawak Barat sampai Serawak Tengah. 5. Resak Bukit (Cotylelobium lanceolatum) Ciri utama: kayu gubal berwarna kuning muda atau coklat kuning muda, tangkai daun panjangnya 23 cm. Daunnya berbentuk lonjong, oval atau bundar telur berukuran 68x2,53 cm. Ujung urat daun sekunder saling berhubungan satu dengan yang lain, pertulangan daun sekunder, dengan susunan tulang daun yang berselang-seling (Whitmore, 1999). Tinggi pohon bisa mencapai 45 m dan kebanyakan tidak berbanir. Diameter batang mencapai 125 cm., kulit luar pohon berwarna abu-abu, licin, bercincin tidak beralur, sering mengelupas atau bersisik, kulit dalam berwarna hitam kecoklatan atau merah tua dan mengandung damar. daun kerap kali berlipatan di antara urat-urat sekunder, daun penumpu besar dan mudah rontok, tangkai daun agak pendek, buah bersayap 5 dengan 2 sayap terluar lebih panjang, pada bagian sayap yang besar terdapat 5 urat yang jelas, buah berbulu halus seperti wol (Hendarsyah dkk., 1991). Jenis ini tumbuh dengan baik pada tanah podsolik dan tanah berbatu atau pada tanah berkapur pada ketinggian 1.500 m dpl, daerah penyebarannya meliputi Srilangka, Birma, Lingga, Sumatera, Thailand, Semenanjung Malaysia, Kepulauan Anambas dan Pulau Kalimantan (Whitmore, 1999). Jenis Penyakit 1. Kanker Batang Penyakit kanker batang terjadi pada bagian batang tumbuhan yang berada di dekat permukaan tanah. Dilihat dari gejalanya, patogen masuk melalui bekas ranting yang telah mati. Diduga karena bekas ranting ini tidak segera tertutup oleh kallus, sehingga dimanfaatkan oleh patogen untuk tempat masuknya. Bagian batang di sekeliling tempat infeksi sedikit membengkak karena terbentuknya kallus.
34
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
Tumbuhan berusaha untuk mencegah meluasnya patogen dengan membentuk kallus, tetapi bila tumbuhan tidak resisten, maka serangan patogen dapat lebih meluas, baik ke arah horizontal dan menggelang batang serta ke arah vertikal, sehingga mengakibatkan mati pucuk. Kematian pucuk disebabkan karena sel-sel yang berperan dalam pengangkutan zat-zat makanan di daerah infeksi mengalami kerusakan, sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan menyebabkan kematian bagian atasnya. Penyakit kanker batang terjadi karena batang luka yang disebabkan oleh beberapa faktor misalnya kebakaran, tertimpa pohon roboh, cakaran atau gigitan satwa liar dan aktivitas manusia (melukai batang), sehingga dari luka tersebut terinfeksi oleh jamur. Mardji (1996b), melaporkan penyakit ini juga ditemukan pada Dipterocarpus humeratus, Dryobalanops beccari, S. acuminatissima, S. bracteolata, S. laevis dan S. leprosula di Bukit Soeharto. Penyakit kanker batang di hutan primer paling banyak terjadi pada S. leprosula tingkat pancang (diameter 2,609,70 cm) dan paling sedikit pada S. leprosula tingkat pohon (diameter 21,10 cm). Di hutan bekas terbakar penyakit kanker batang paling banyak terjadi pada S. leprosula tingkat tiang (diameter 10,018,8 cm) dan paling sedikit pada S. pallidifolia tingkat pohon (21,022,5 cm). Jadi tingkat yang paling banyak terserang adalah tingkat pancang di hutan primer. 2. Tumor Batang Penyakit tumor batang terjadi pada bagian batang, sepanjang batang yang terserang mengalami pembengkakan, ada yang berupa bintil-bintil atau bisul-bisul dan ada juga yang melebihi ukuran biasa (hipertrofi), lama kelamaaan pertumbuhan pohon menjadi terhambat. Mardji (1996a) melaporkan, bahwa penyakit ini juga terjadi pada S. leprosula dan S. parvifolia di Bukit Soeharto. Gejala ini terjadi pada pucuk batang utama dan ranting yang masih muda. Sepanjang batang dan ranting yang terserang bengkak-bengkak, pertumbuhan pucuknya terhambat dan ada yang mati. Penyakit tumor batang di hutan primer paling banyak terjadi pada S. leprosula tingkat pancang (diameter 5,68,4) cm dan S. pallidifolia tingkat pancang (diameter 3,07,0 cm), sedangkan yang paling sedikit adalah pada S. balangeran tingkat tiang (diameter 19,1 cm) dan Cotylelobium lanceolatum tingkat pancang diameter 9,5 cm). Di hutan bekas terbakar penyakit tumor batang terjadi pada S. leprosula tingkat pancang (diameter 6,50 cm). Jadi tingkat yang paling banyak terserang adalah tingkat pancang di hutan primer. 3. Busuk Batang Penyakit busuk batang terjadi pada bagian batang karena matinya sel-sel atau jaringan-jaringan pada batang. Bagian yang busuk mengeluarkan cairan berwarna kecoklatan. Pembusukan dapat meluas ke bawah dan membusukkan akar, tetapi juga dapat meluas ke samping sehingga busuk pangkal batang menggelang. Menurut Widyastuti dkk. (1998), penyakit busuk disebabkan karena rusaknya sel-sel atau jaringan-jaringan. Sebenarnya gejala busuk sama dengan gejala nekrosis, tetapi lazimnya perkataan busuk dipakai untuk bagian-bagian tumbuhan yang tebal, seperti umbi, buah, batang dan akar. Gejala ini juga terjadi pada buah yang busuk
Firdara dkk. (2009). Identifikasi Jenis Penyakit
35
akhirnya menjadi kering dan berkerut-kerut (keriput) berwarna coklat tua atau hitam dan tetap melekat pada pohon. Gejala ini sering disebut mumifikasi, seperti yang terjadi pada buah karet yang terserang Phytophthora palmivora. Kayu yang mengalami penghancuran atau dekomposisi sering disebut lapuk (decay). Penyakit busuk batang di hutan primer paling banyak terjadi pada S. pallidifolia tingkat tiang (diameter 10,217,0 cm) dan paling sedikit menyerang S. balangeran tingkat tiang (diameter 15,0 cm), Hopea myrtifolia tingkat pancang (diameter 9,5 cm), S. leprosula tingkat pancang (diameter 9,7 cm) dan S. pallidifolia tingkat pancang (diameter 8,5 cm). Di hutan bekas terbakar penyakit busuk batang paling banyak menyerang S. leprosula tingkat tiang (diameter 12,118,0 cm) dan paling sedikit terjadi pada S. pallidifolia tingkat tiang (diameter 16,5 cm). Jadi yang paling banyak terserang adalah tingkat tiang di hutan primer. 4. Hawar Daun Penyakit hawar daun terjadi karena sel-sel yang terdapat pada jaringan daun mengalami kematian, pada bagian tersebut warnanya berubah menjadi coklat atau hitam yang ukurannya lebih lebar dari bercak daun. Gejala ini juga terjadi pada tanaman Dryobalanops beccarii, Dipterocarpus humeratus dan S. bracteolata yang berumur 5 tahun di Bukit Soeharto (Mardji, 1996b). Penyakit hawar daun di hutan primer paling banyak terjadi pada S. pallidifolia tingkat pancang (diameter 2,06,5 cm) dan paling sedikit terjadi pada S. leprosula tingkat pancang (diameter 3,79,1 cm). Di hutan bekas terbakar penyakit hawar daun hanya terjadi pada S. pallidifolia tingkat pancang (diameter 7,3 cm). Jadi yang paling banyak terserang adalah tingkat pancang di hutan primer. 5. Karat Daun Penyakit karat daun terjadi pada permukaan atas dan bawah daun yang ditandai dengan bercak-bercak nekrosis berwarna coklat pada daun, berbentuk agak bersegisegi. Menurut Hadi dkk. (1996), penyakit ini juga terjadi pada pada pohon damar (Agathis damara) disebabkan oleh Aecidium fragiformae. Penyakit karat daun di hutan primer paling banyak terjadi pada S. pallidifolia tingkat pancang (diameter 1,78,8 cm) dan paling sedikit terjadi pada S. balangeran tingkat pancang (diameter 2,0 cm). Di hutan bekas terbakar penyakit karat daun terjadi pada S. pallidifolia tingkat tiang (diameter 13,7 cm) dan pancang (diameter 7,3 cm), S. leprosula tingkat tiang (diameter 18,8 cm) dan pancang (diameter 2,3 cm) dan S. balangeran tingkat tiang (diameter 17,5 cm) dan pancang (diameter 5,6 cm). Jadi yang paling banyak terserang adalah tingkat pancang di hutan primer. 6. Bercak Daun Penyakit bercak daun dicirikan dengan adanya bercak-bercak warna coklat (nekrosis), berbentuk bulat bersegi-segi sampai lonjong, dikelilingi oleh klorosis berwarna pucat. Nekrosis terjadi di permukaan bawah dan atas daun. Bagian yang
36
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
mengalami nekrosis rapuh dan daun menjadi berlubang-lubang. Bagian yang tidak terserang berwarna hijau. Mardji (1996b) melaporkan, bahwa penyakit ini juga terjadi pada C. lanceolatum, Dipterocarpus confertus, D. gracilis, D. cornutus, D. humeratus, Dryobalanops beccarii, D. lanceolata, S. acuminatissima, S. bracteolata, S. laevis, S. leprosula dan S. parvifolia di Bukit Soeharto. Penyakit bercak daun di hutan primer paling banyak menyerang S. pallidifolia tingkat pancang (diameter 2,24,4 cm) dan paling sedikit pada S. leprosula tingkat tiang (diameter 10,7 cm) dan pancang (diameter 3,5 cm) dan S. balangeran tingkat tiang (diameter 19,0 cm). Di hutan bekas terbakar penyakit bercak daun hanya terjadi pada S. balangeran tingkat pancang (diameter 5,6 cm) dan tiang (diameter 17,5 cm). Jadi yang paling banyak terserang adalah tingkat pancang di hutan primer. 7. Lubang Daun Penyakit lubang daun dicirikan dengan adanya lubang-lubang pada daun dengan ukuran bervariasi akibat diserang hama. Hama tersebut menyerang helaian daun antara tepi dan tulang daun primer dan ada juga yang menyerang dari tepi helaian daun, tulang daun primer dan tulang daun sekunder. Daun yang diserang berlubang, bentuk lubang ada yang bulat/lonjong dan ada juga bagian daun yang hilang sebagian karena dimakan hama. Mardji (1996a), melaporkan penyakit ini juga terjadi pada S. leprosula dan D. gracilis di Bukit Soeharto. Penyakit lubang daun di hutan primer paling banyak terjadi pada S. pallidifolia tingkat pancang (diameter 2,28,8 cm) dan paling sedikit pada S. balangeran tingkat pancang (diameter 2,0 cm). Di hutan bekas terbakar penyakit lubang daun terjadi pada S. balangeran tingkat pancang (diameter 5,6 cm) dan S. balangeran tingkat tiang (diameter 17,5 cm). Jadi yang paling banyak terserang adalah tingkat pancang di hutan primer. 8. Resinosis Penyakit resinosis yang terjadi adalah batang mengeluarkan getah (damar) secara berlebihan melalui kulitnya. Pada Coniferae yang keluar adalah damar atau resin dan gejala ini disebut resinosis, yang mana getah keluar dari kulit pohon. Menurut Widyastuti dkk. (1998), penyakit ini juga terjadi pada kulit atau cabang batang karet yang terserang jamur upas (Upasia salmonicolor) yang sering mengeluarkan lateks, gejala ini disebut lateksosis. Cairan yang keluar dapat berbentuk lendir yang sering disertai dengan peristiwa fermentasi sehingga kadangkadang berbau tidak enak. Ini sering disebut slime flux, misalnya terjadi penyakit kanker bekuan (lump canker) pada batang karet. Jika yang keluar (gum) atau blendok seperti pada jeruk, maka gejalanya disebut gumosis (gummosis), seperti pada penyakit kulit diplodia basah (Botryodiplodia theobromae) pada jeruk. Penyakit resinosis di hutan primer terjadi pada C. lanceolatum tingkat tiang (diameter 12,2 cm), sedangkan di hutan bekas terbakar penyakit resinosis terjadi pada S. leprosula tingkat tiang (diameter 12,118,0 cm). Jadi yang paling banyak terserang adalah tingkat tiang di hutan bekas terbakar.
Firdara dkk. (2009). Identifikasi Jenis Penyakit
37
Jenis Dipterocarpaceae yang Sakit Jenis Dipterocarpaceae tingkat pohon, tiang dan pancang yang sakit ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis Dipterocarpaceae yang Sakit di Hutan Primer dan Hutan Bekas Terbakar Tipe hutan, Jenis Jumlah Diameter (cm) tingkat pertumbuhan individu Min-maks Rata-rata Hutan primer, Hopea 3 20,10-29,40 23,90 tingkat pohon myrtifolia Cotylelobium 2 22,40-26,90 24,65 lanceolatum Shorea 2 28,30-30,00 16,80 pallidifolia S. leprosula 1 21,10 21,10 Jumlah 8 Hutan primer, S. pallidifolia 8 10,20-17,00 12,31 tingkat tiang S. leprosula 7 10,00-16,60 13,43 S. balangeran 6 11,10-19,10 9,97 C. lanceolatum 5 10,00-18,90 15,06 H. myrtifolia 2 12,50-17,70 15,10 Jumlah 28 Hutan primer, S. leprosula 23 2,60-9,70 4,30 tingkat pancang S. pallidifolia 20 2,00-8,80 4,41 C. lanceolatum 1 9,50 9,50 S. balangeran 1 2,00 2,00 Jumlah 45 Hutan bekas S. pallidifolia 2 21,00-22,50 21,75 terbakar, tingkat pohon Jumlah 2 Hutan bekas S. leprosula 18 11,00-18,80 14,14 terbakar, S. pallidifolia 3 13,70-16,50 14,90 tingkat tiang S. balangeran 1 17,50 17,50 Jumlah 22 Hutan bekas S. leprosula 8 2,30-9,30 6,95 terbakar, S. pallidifolia 1 7,30 7,30 tingkat pancang S. balangeran 1 5,60 5,60 Jumlah 10 Jumlah individu 115
Tinggi (m) Min-maks Rata-rata 14,00-15,00 14,67 28,00
28,00
20,00-21,00
10,50
15,00
15,00
6,00-21,50 7,50-15,00 12,00-21,30 9,00-21,20 9,50-18,00
10,44 11,07 10,05 17,04 13,75
3,50-13,00 2,00-9,00 12,00 3,00
5,37 5,73 12,00 3,00
9,00-10,00
9,50
8,00-10,00 8,00-9,20 8,50
9,11 8,40 8,50
2,00-9,50 8,00 6,00
7,81 8,00 6,00
Pada Tabel 1 terlihat, bahwa jenis Dipterocarpaceae yang sakit pada tingkat pohon, tiang dan pancang di hutan primer dan bekas terbakar adalah 5 jenis, yaitu bangkirai batu (H. myrtifolia), kahoi (S. balangeran), meranti lampong (S. leprosula), meranti batu (S. pallidifolia) dan resak bukit (C. lanceolatum). Di hutan primer pada tingkat pohon ditemukan sebanyak 4 jenis (8 individu), tingkat tiang sebanyak 5 jenis (28 individu) dan tingkat pancang sebanyak 4 jenis (45 individu). Pada tingkat pohon yang paling banyak sakit adalah H. myrtifolia, tingkat tiang adalah S. pallidifolia dan tingkat pancang adalah S. leprosula.
38
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
Di hutan bekas terbakar jenis Dipterocarpaceae yang sakit pada tingkat pohon ditemukan hanya 1 jenis (2 individu), tingkat tiang sebanyak 3 jenis (22 individu) dan tingkat pancang sebanyak 3 jenis (10 individu). Pada tingkat pohon yang ditemukan sakit adalah S. pallidifolia, sedangkan tingkat tiang dan pancang yang paling banyak sakit adalah S. leprosula. Pada kedua areal tersebut, di hutan primer lebih banyak ditemukan tumbuhan yang sakit dibandingkan dengan hutan bekas terbakar. Perbedaan jumlah individu tumbuhan sakit disebabkan perbedaan jenis tumbuhan, yang mana setiap jenis tumbuhan mempunyai sifat genetik yang berbeda dan di dalam sifat genetik tersebut terdapat sifat ketahanan terhadap penyakit. Hasil penelitian terhadap jenis Dipterocarpaceae yang sakit berdasarkan diameter dan tinggi pohon di hutan primer pada tingkat pohon yang paling banyak terjadi adalah diameter 20,1029,40 cm dan tinggi 14,0015,00 m, tingkat tiang adalah diameter 10,2017,00 cm dan tinggi 6,0021,50 m dan tingkat pancang adalah diameter 2,609,70 cm dan tinggi 3,5013,00 m (Tabel 1). Jenis Dipterocarpaceae yang sakit di hutan bekas terbakar pada tingkat pohon yang paling banyak terjadi adalah diameter 21,0022,50 cm dengan tinggi 9,0010,00 m, tingkat tiang 11,0018,80 cm tinggi 8,0010,00 m dan tingkat pancang 2,309,30 cm tinggi 2,009,50 m. Selanjutnya jenis Dipterocarpaceae yang sakit di hutan primer pada tingkat pohon yang paling sedikit terjadi adalah diameter 21,10 cm dengan tinggi 15,00 m, tingkat tiang adalah diameter 12,5017,70 cm dengan tinggi 9,5018,00 m dan tingkat pancang ada dua individu masing-masing berdiameter 9,50 cm dan tinggi 12,00 m dan diameter 2,00 cm dan tinggi 3,00 m. Begitu juga jenis Dipterocarpaceae yang sakit di hutan bekas terbakar pada tingkat pohon yang paling sedikit terjadi adalah diameter 21,00–22,50 cm dengan tinggi 9,0010,00 m, tingkat tiang adalah diameter 17,50 cm dengan tinggi 8,50 m dan tingkat pancang ada dua individu masing-masing berdiameter 7,30 cm dan tinggi 8,00 m dan diameter 5,60 cm dan tinggi 6,00 m. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah individu tumbuhan sakit setiap tingkat pertumbuhan (pohon, tiang dan pancang) tidak dipengaruhi oleh ukuran pohon (diameter dan tinggi), karena dimensi pohon sudah memenuhi syarat untuk kebutuhan hidup patogen. Jenis Penyakit Berdasarkan Tingkat Pertumbuhan Pada Tabel 2 ditampilkan jenis penyakit berdasarkan tingkat pertumbuhan Dipterocarpaceae. Berdasarkan tingkat pertumbuhan Dipterocarpaceae pada hutan primer, jenis penyakit yang paling banyak ditemukan pada tingkat pohon adalah penyakit kanker batang, pada tingkat tiang penyakit busuk batang dan tingkat pancang penyakit kanker batang (Tabel 2). Begitu juga pada hutan bekas terbakar, jenis penyakit yang paling banyak ditemukan pada tingkat pohon, tiang dan pancang adalah penyakit kanker batang. Penyakit kanker batang adalah penyakit yang disebabkan oleh makhluk hidup (Mardji, 1996a). Butin (1989) menyatakan, bahwa penyakit batang adalah penyakit yang paling banyak mengakibatkan kerusakan berat dan mengakibatkan kematian tanaman.
Firdara dkk. (2009). Identifikasi Jenis Penyakit
39
Tabel 2. Jenis Penyakit Berdasarkan Tingkat Pertumbuhan Dipterocarpaceae di Areal Hutan Primer dan Hutan Bekas Terbakar Jenis penyakit Hutan Primer Kanker Batang Tumor Batang Busuk Batang Hawar Daun Karat Daun Bercak Daun Lubang Daun Resinosis Jumlah Hutan Bekas Terbakar Kanker Batang Tumor Batang Busuk Batang Hawar Daun Karat Daun Bercak Daun Lubang Daun Resinosis Jumlah Jumlah seluruh
Pohon
Jumlah tumbuhan sakit Tiang Pancang
Jumlah
8 0 0 0 0 0 0 0 8
12 1 13 0 0 2 0 1 29
24 7 2 7 10 6 11 0 67
44 8 15 7 10 8 11 1 104
2 0 0 0 0 0 0 0 2 10
15 0 6 0 3 1 3 6 34 63
6 1 1 1 3 1 2 0 15 82
23 1 7 1 6 2 5 6 51 155
Menurut Widyastuti dkk. (1998), batang merupakan hasil hutan yang sampai saat ini paling tinggi nilai ekonominya. Dari sudut pandang kesehatan hutan, secara fisik batang pohon berfungsi sebagai penopang tajuk dan secara fisiologis berperan sebagai organ penyangga sistem transport untuk mendistribusikan unsur hara dan energi dari akar ke tajuk dan sebaliknya. Bagian batang atau cabang yang terserang patogen terbatas pada kulit beserta kambium, pada berkas pembuluh atau kayu teras. Bila kambium terserang, maka terjadilah mati kulit (kanker) dan pengangkutan air serta hara dari akar menjadi terganggu. Kanker di batang menyebabkan sel-sel mati pada bagian tanaman berkayu. Kematian kulit dan kambium diikuti oleh kematian kayu yang di bawahnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Sumardi (2001), bahwa penyakit mati kulit hitam (black canker) pada tanaman Acacia mangium yang disebabkan Phytophthora palmivora, Cytospora dan Hypoxylon mammatum disebabkan karena keluarnya cairan berwarna hitam dari kulit batang tanaman. Bila pada bagian kulit batang yang berwarna hitam tersebut dikupas maka kayu di bawah kulit tersebut berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan warna kulit kayu yang sehat. De Guzman (1972) juga melaporkan, penyakit mati kulit batang ini juga banyak menyerang Eucalyptus grandis dan E. saligna di Mindanao, Filipina yang disebabkan oleh Stereum.
40
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
Tabel 3. Indeks Dominasi Jenis (C) dan Kemerataan Jenis (e) di Areal Hutan Primer dan Hutan Bekas Terbakar No. Jenis penyakit ni ni/N C Hutan Primer 1 Kanker Batang 44 0,4231 0,1790 2 Busuk Batang 15 0,1442 0,0208 3 Lubang Daun 11 0,1058 0,0112 4 Karat Daun 10 0,0962 0,0092 5 Tumor Batang 8 0,0769 0,0059 6 Bercak Daun 8 0,0769 0,0059 7 Hawar Daun 7 0,0673 0,0045 8 Resinosis 1 0,0096 0,0001 Jumlah 104 1,0000 0,2367 Hutan Bekas Terbakar 1 Kanker Batang 23 0,4510 0,2034 2 Busuk Batang 7 0,1373 0,0188 3 Karat Daun 6 0,1176 0,0138 4 Resinosis 6 0,1176 0,0138 5 Lubang Daun 5 0,0980 0,0096 6 Bercak Daun 2 0,0392 0,0015 7 Tumor Batang 1 0,0196 0,0004 8 Hawar Daun 1 0,0196 0,0004 Jumlah 51 1,0000 0,2617 ni = jumlah tumbuhan yang sakit tertentu. N = jumlah seluruh tumbuhan yang sakit
e 0,1750 0,1343 0,1143 0,1083 0,0949 0,0949 0,0873 0,0215 0,8305 0,1727 0,1311 0,1210 0,1210 0,1095 0,0611 0,0370 0,0370 0,7904
Berdasarkan hasil penelitian pada hutan primer, jenis penyakit yang mempunyai indeks dominasi (C) dan kemerataan (e) paling tinggi adalah penyakit kanker batang masing-masing 0,1790 dan 0,1750. Begitu juga pada hutan bekas terbakar, masingmasing 0,2034 dan 0,1727 (Tabel 3). Jenis penyakit yang mempunyai indeks dominasi dan kemerataan paling rendah pada hutan primer adalah resinosis masing-masing 0,0001 dan 0,0215, sedangkan pada hutan bekas terbakar, jenis penyakit yang mempunyai indeks dominasi dan kemerataan yang paling rendah adalah penyakit tumor batang dan hawar daun, yaitu masing-masing 0,0004 dan 0,0370. Hasil perhitungan indeks kemerataan menunjukkan bahwa tingkat kemerataan penyakit pada kedua tipe hutan yang diteliti adalah rendah. Hal ini menunjukkan bahwa hampir semua jenis penyakit menyebar tidak secara merata pada kedua tipe hutan tersebut. Namun secara umum pada areal hutan primer memiliki tingkat kemerataan yang lebih tinggi (0,8305) bila dibandingkan dengan pada areal hutan bekas terbakar (0,7904). Santosa (1996) menyatakan bahwa indeks kemerataan menunjukkan ukuran kemerataan proporsi jumlah individu pada setiap spesies yang dijumpai pada suatu komunitas tertentu. Bila setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama, maka komunitas tersebut memiliki nilai indeks kemerataan maksimum. Berdasarkan kisaran nilai kemerataan jenis menurut Krebs (1989) yaitu berkisar antara 0 sampai 1.
Firdara dkk. (2009). Identifikasi Jenis Penyakit
41
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Di Hutan Kalampangan Zone pada areal hutan primer dan hutan bekas terbakar ditemukan 115 individu jenis Dipterocarpaceae yang terserang patogen. Hasil identifikasi ditemukan sebanyak 8 jenis penyakit. Kedelapan jenis tersebut adalah kanker batang, tumor batang, busuk batang, hawar daun, karat daun, bercak daun, lubang daun dan resinosis. Pada dua areal yang berbeda, di hutan primer lebih banyak ditemukan tumbuhan yang sakit dibandingkan dengan hutan bekas terbakar. Pada kedua areal tersebut, jenis penyakit yang paling dominan menyerang tingkat pancang, tiang dan pohon adalah penyakit kanker batang dan yang paling banyak diserang adalah tingkat pancang. Jumlah individu tumbuhan sakit pada setiap tingkat pertumbuhan (pohon, tiang dan pancang) tidak dipengaruhi oleh ukuran pohon (diameter dan tinggi). Jenis vegetasi yang terserang patogen adalah bangkirai batu (Hopea myrtifolia), kahoi (Shorea balangeran), meranti lampong (S. leprosula), meranti batu (S. pallidifolia) dan resak bukit (Cotylelobium lanceolatum). Saran Untuk mencegah terjadinya kanker batang yaitu dengan cara tidak melukai kulit pohon dan tidak membakar hutan. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui perkembangan penyakit, terutama kanker batang, yaitu seberapa besar dampak/kerusakan yang ditimbulkan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch. Washington D.C. 102 h. Butin, H. 1989. Krankheiten der Wald- und Parkbaeume. Georg Thieme Verlag, Stuttgart. 215 h. de Guzman, E.D. 1972. Dangerous Insect Pests of Forest Plantations in Thailand. Second World Technical Consultation on Forest Diseases and Insects. New Delhi. 85 h. Hadi, S.; S.T. Nuhamara dan E. Santoso. 1996. Disease Problems Associated with LargeScale Establishment of Timber Estates in Indonesia. Proceeding of the IUFRO Symposium, Peechi, India. 110 h. Hendarsyah, D.; H. Wijayakusumah; H.A. Rasyid dan Marfuah. 1991. Vademikum Dipterocarpaceae. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta. 79 h. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Litbang Dephut, Jakarta. 1853 h. Jhon. 2006. Komunikasi Pribadi. Cimtrop, Universitas Palangkaraya. Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. New York. 315 h. a Mardji, D. 1996 . Survei Hama dan Penyakit Hutan. Balai Pelatihan Perlindungan Hutan (Hama dan Penyakit Hutan), Balai Latihan Kehutanan, Samarinda. 42 h. b Mardji, D. 1996 . Hama dan Penyakit Tanaman Jenis Dipterocarpaceae di Bukit Soeharto. Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman, Samarinda. 94 h. Martawijaya, A. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor, Indonesia. 442 h.
42
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
Rahayu, S. 1998. Penyakit Tanaman Hutan di Indonesia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 111 h. Sagala, P. 1999. Desain Kehutanan Holistik. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 56 h. Santosa, Y. 1996. Teknik Pengukuran Keanekaragaman Satwa Liar. Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. 60 h. Sumardi. 2001. Keterlibatan Pestalotia dalam Penyakit Bercak Daun Semai Pinus merkusii. Yogyakarta. 6 h. Sumardi. 2004. Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 228 h. Whitmore, T.C. 1999. Pedoman Identifikasi Pohon-pohon Dipterocarpaceae Pulau Kalimantan. Yayasan Prosea Bogor, Indonesia. 456 h. Widyastuti, S.M.; Sumardi dan Harjono. 1998. Patologi Hutan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 278 h.