IDENTIFIKASI JENIS Meloidogyne spp., PENYEBAB PENYAKIT UMBI BERCABANG PADA WORTEL, Daucus carota (L.) DI JAWA TENGAH
MUHAMAD TAHER
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ABSTRAK
MUAHAMAD TAHER. Identifikasi Jenis Meloidogyne spp., Penyebab Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel, Daucus carota (L.) di Jawa Tengah. Dibimbing oleh SUPRAMANA dan GEDE SUASTIKA. Penyakit umbi bercabang merupakan permasalahan baru dalam budidaya tanaman wortel di Indonesia. Penyakit dapat menurunkan kuantitas dan kualitas umbi sehingga menimbulkan kerugian yang besar bagi petani. Kurniawan (2010) menemukan beberapa spesies nematoda puru akar/NPA, Meloidogyne spp. sebagai penyebab primer penyakit umbi bercabang wortel di wilayah Jawa Barat. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran untuk melakukan identifikasi jenis Meloidogyne spp. pada wortel di wilayah Jawa Tengah. Penelitian dilakukan di 3 lokasi di wilayah Dataran Tinggi Dieng dengan ketinggian/elevasi yang berbeda, yaitu 1300-1500 m dpl (di atas permukaan laut), 1500-1700 m dpl, dan di atas 1700 m dpl. Lokasi pertama dan kedua terletak di Dusun Sirangkel, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, dan lokasi ketiga di Dusun Condong Campur, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara. Penelitian dilakukan dalam empat tahap: (1) survei dan pendataan, (2) identifikasi gejala penyakit umbi bercabang pada tanaman wortel, (3) identifikasi pola perineal/sidik pantat, dan (4) identifikasi biologi molekuler. Survei dan pendataan dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan lokasi pengambilan sampel wortel. Identifikasi gejala penyakit umbi bercabang pada tanaman wortel dilakukan untuk memperoleh informasi tentang tipe gejala yang ditimbulkan oleh serangan NPA pada tanaman wortel di lahan. Identifikasi pola perineal/sidik pantat dilakukan dengan menggunakan sampel sebanyak 150 nematoda betina yang berasal dari umbi wortel yang terinfeksi NPA di tiga lokasi pada ketinggian berbeda. Sampel tersebut diidentifikasi dengan menggunakan metode pembuatan sidik pantat yang dilakukan Eisenback et al. (1981) dan Shurtleff and Averre (2005), dan disesuaikan dengan buku kunci identifikasi A guide to the four most common species of Root Knot Nematodes (Meloidogyne species) with a pictorial key (Eisenback 2001). Identifikasi biologi molekuler dilakukan dengan teknik PCR ITS r-DNA (Internal Transcribed Spacer ribosomal DNA), menggunakan 3 primer spesifik untuk spesies Meloidogyne incognita, Meloidogyne javanica, dan Meloidogyne arenaria. Selain itu digunakan pula jenis primer multipleks untuk mengidentifikasi spesies Meloidogyne hapla (Adam et al. 2007). Proses ekstraksi yang dilakukan, disesuaikan dengan metode ekstraksi yang digunakan oleh Zouhar et al. (2000). Hasil identifikasi pola perineal/sidik pantat yang dilakukan menunjukan adanya empat spesies NPA, yaitu M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla yang berasosiasi dengan penyakit umbi bercabang di tiga lokasi pengamatan. Hal ini diperkuat dengan adanya hasil identifikasi dengan teknik PCR ITS r-DNA nematoda yang menunjukkan hasil yang positif terhadap keberadaan empat spesies NPA tersebut. Kata Kunci : Wortel, Penyakit umbi bercabang, identifikasi, Meloidogyne spp.
IDENTIFIKASI JENIS Meloidogyne spp., PENYEBAB PENYAKIT UMBI BERCABANG PADA WORTEL, Daucus carota (L.) DI JAWA TENGAH
MUHAMAD TAHER
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul
Nama Mahasiswa NRP
: Identifikasi Jenis Meloidogyne spp., Penyebab Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel, Daucus carota (L.) di Jawa Tengah. : Muhamad Taher : A34070008
Disetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Supramana, M.Si.
Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc.
NIP. 19620618 198911 1001
NIP. 19620607 198703 1003
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. NIP. 19650621 198910 2001
Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 17 Oktober 1989 dari pasangan Bapak Muhammad Natsir Mansyur dan Ibu Siti Asmah sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Inpres Nae Kota Bima, Nusa Tenggara Barat pada tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan studi di Sekolah Menengah Pertama 2 Kota Bima, Nusa Tenggara Barat hingga tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di SMA N 1 Kota Bima, NTB hingga lulus. Selama menempuh pendidikan tersebut, penulis aktif di berbagai kegiatan ekstrakulikuler OSIS dan Karya Tulis Ilmiah. Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Proteksi Tanaman. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan, diantaranya sebagai Kepala Divisi Politik dan Kajian Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian Periode 2008-2009, menjadi anggota klub fotografi Capung Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman, asisten praktikum Mata Kuliah Hama dan Penyakit Tanaman Setahun, asisten praktikum Mata Kuliah Hama dan Penyakit Tanaman Tahunan, dan penyaji pada Seminar Internasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Tahun 2011 di Surakarta, Jawa Tengah.
PRAKATA Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Identifikasi Jenis Meloidogyne spp. Penyebab Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel, Daucus carota (L.) di Jawa Tengah” Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Supramana, M.Si. dan Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan serta masukan dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran bagi perbaikan skripsi. Ucapan terima kasih pula kepada segenap rekan-rekan Laboratorium Nematologi dan Virologi Tumbuhan (Mba Tuti, Bu Tri, Sherli, Fitri, Santi, Pak Edi). Kepada teman-teman Komunitas Basil, Johan (terima kasih sudah menemani pengambilan sampel), Harwan, Eter, Basten, Alfian, Latip, Vero, Bowo, Dika, Radhy, dkk. Kepada Mia selaku rekan satu penelitian nematoda dan Pak Gatot Heru Bromo yang telah banyak membantu dalam proses identifikasi. Tidak lupa pula ucapan terima kasih kepada para petani Dusun Sirangkel, Kepala Dusun dan keluarga, petani Dusun Condong Campur, Pak Iksan dan Pak Sukur. Kepada bunda yang menjadi inspirasi untuk selalu melakukan halhal yang positif. kepada Pak Yayi, Pak Kikin, dan Pak Saodik yang selalu memberikan motivasi (terima kasih untuk diskusinya tentang PCR dan fotografi). Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, petani, dan institusi dalam bidang pertanian.
Bogor, 29 Februari 2012 Muhamad Taher
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1 Tujuan Penelitian.............................................................................................. 3 Manfaat Penelitian............................................................................................ 3 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 4 Botani Tanaman Wortel.................................................................................... 4 Meloidogyne spp. ............................................................................................. 6 Klasifikasi .................................................................................................... 6 Morfologi ..................................................................................................... 6 Biologi.......................................................................................................... 7 Mekanisme Infeksi NPA................................................................................... 8 Gejala Penyakit ................................................................................................ 9 Gejala pada Tanaman di Lahan ................................................................... 10 Gejala pada Perakaran ................................................................................ 10 Spesies Meloidogyne ...................................................................................... 11 Meloidogyne incognita................................................................................ 12 Meloidogyne javanica ................................................................................. 13 Meloidogyne arenaria................................................................................. 13 Meloidogyne hapla ..................................................................................... 14 Identifikasi Spesies Meloidogyne Melalui Pola Perineal (Perineal Pattern) .... 15 Identifikasi Spesies Meloidogyne Secara Molekuler........................................ 16 METODE PENELITIAN ................................................................................... 18 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................... 18 Metode Penelitian .......................................................................................... 18 Survei dan Pendataan ..................................................................................... 18 Survei ......................................................................................................... 18 Pendataan ................................................................................................... 19 Identifikasi ..................................................................................................... 19 Identifikasi Gejala Penyakit pada Tanaman Wortel ..................................... 19 Identifikasi Spesies NPA Berdasarkan Morfologi Sidik Pantat .................... 20 Identifikasi Spesies NPA Secara Molekuler (PCR ITS r-DNA) ................... 20 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 24 Kondisi Geografis Lokasi Pengambilan Sampel Dusun Sirangkel ................... 24 Kondisi Geografis Lokasi Pengambilan Sampel Desa Condong Campur ........ 26 Gejala pada Tanaman di Lahan ....................................................................... 28
vii
Tipe Gejala pada Umbi Wortel ....................................................................... 30 Bentuk Umbi .............................................................................................. 30 Tipe Puru .................................................................................................... 32 Spesies Meloidogyne Berdasarkan Morfologi Sidik Pantat.............................. 33 Spesies Meloidogyne Berdasarkan Hasil PCR ITS r-DNA .............................. 35 Distribusi Spesies NPA Berdasarkan Ketinggian Tempat................................ 36 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 39 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 40
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1
Primer yang digunakan untuk setiap jenis NPA………………………
21
Tabel 2
Komposisi bahan PCR reagen…………………………………………
22
Tabel 3
Tipe gejala penyakit pada umbi wortel yang terinfeksi NPA pada 3 lokasi pengambilan sampel berbeda ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur ……….……………………...................
31
Tabel 4
Tabel 5 Tabel 6
Keberadaan tipe puru pada umbi pada 3 lokasi pengambilan sampel berbeda ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur................................................................................................... 32 Prevalensi distribusi NPA pada 3 lokasi pengambilan sampel berbeda ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur………… 37 Keberadaan spesies NPA pada 3 lokasi pengambilan sampel berbeda ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur berdasarkan hasil uji biologi molekuler ………………………………. 38
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1
Tanaman wortel………………………...............................
4
Gambar 2
Morfologi pola perineal Meloidogyne spp. ………………
6
Gambar 3
Siklus Hidup Meloidogyne spp. ………………………......
7
Gambar 4
Ciri khusus pola perineal Meloidogyne incognita ……….
12
Gambar 5
Ciri khusus pola perineal Meloidogyne javanica ………..
13
Gambar 6
Ciri khusus pola perineal Meloidogyne arenaria………...
14
Gambar 7
Ciri khusus pola perineal Meloidogyne hapla …………...
14
Gambar 8
Prosedur pembuatan pola perineal NPA betina…………...
16
Gambar 9
Foto satelit wilayah pengambilan sampel di Dusun Sirangkel, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo dan Dusun Condong Campur Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara………………………………….
24
Benih wortel yang ditanam petani di lahan penelitian Dusun Sirangkel, Desa Mlandi, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo…………………………………….
25
Gambar 10
Gambar 11
Titik pengambilan sampel: (a) titik 1 dan (b) titik 2 di lahan penelitian Dusun Sirangkel ………………………..
Gambar 12
Titik pengambilan sampel 3 di Dusun Condong Campur,
26
Kecamatan Pejawaran Kabupaten Banjarnegara…………
27
Ciri khas serangan NPA berupa gejala botak pada pertanaman di lokasi pengambilan sampel di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur………………….
29
Contoh Gejala pada umbi wortel yang ditemukan di lokasi pengambilan sampel……………………………….
30
Gambar 15
Tipe puru pada perakaran wortel………………………….
33
Gambar 16
Pola Sidik Pantat NPA…………………………………….
34
Gambar 17
Hasil Amplifikasi DNA Spesies NPA Jawa Tengah……...
35
Gambar 13
Gambar` 14
PENDAHULUAN
Latar Belakang Wortel (Daucus carota (L.)) merupakan tanaman yang berasal dari wilayah beriklim sedang (subtropis) yakni berasal dari Asia Timur dan Asia Tengah (Rukmana, 1995). Menurut Tindall (1983), budidaya wortel sendiri dimulai dari daerah Eropa dan Mediterania, kemudian menyebar ke berbagai wilayah tropis lainnya di dunia hingga wilayah Asia Tenggara. Di Indonesia budidaya wortel pada mulanya hanya terkonsentrasi di Jawa Barat yaitu daerah Lembang dan Cipanas, kemudian semakin berkembang dan menyebar luas ke daerah-daerah sentra sayuran di Jawa dan luar Jawa. Berdasarkan hasil survei pertanian produksi tanaman sayuran di Indonesia (BPS 2010), luas areal panen wortel nasional mencapai 27.149 hektar yang tersebar di 22 propinsi yaitu; Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera
Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Wortel bermanfaat sebagai sumber vitamin A, antioksidan, dan bermanfaat pula mencerahkan dan memutihkan kulit. Disamping itu, potasium yang dikandung oleh wortel dapat digunakan untuk membantu menetralkan racun (terutama logam berat yang ditimbulkan oleh polusi udara), serta dapat mengantisipasi pembentukan endapan dalam saluran kencing, paru-paru, jantung, dan hati (Honggodipuro 2008). Budidaya tanaman wortel di Indonesia mengalami kendala akibat adanya infeksi oleh Nematoda Puru Akar (NPA) yang menyebabkan penyakit umbi bercabang. Penyakit umbi bercabang merupakan penyakit baru dan menjadi penyakit penting pada tanaman wortel. Awalnya nematologis menduga penyakit umbi bercabang diakibatkan oleh infeksi nematoda, ahli bakteri menduga adanya infeksi bakteri karena disertai dengan adanya hairy root, ahli cendawan menduga akibat infeksi Pythium spp. yang menyebabkan ujung akar klorosis dan terputus, akibatnya akar akan membentuk percabangan baru baru yang lebih banyak (Mayberry 2000; Davis et al. 2005). Ahli fitoplasma menduga bahwa penyakit
2
umbi bercabang disebabkan oleh fitoplasma, entomologis menduga penyakit tersebut akibat dari gigitan serangga pada awal pertumbuhan, dan ahli tanah menduga karena kurangnya unsur hara tanah, manajemen pengairan yang kurang tepat, dan tanah yang terlalu keras dan berbatu (Nunez et al 2008). Kurniawan (2010) melaporkan hasil surveilan dan identifikasi yang dilakukan di daerah Cipanas, Kabupaten Cianjur bahwa di daerah tersebut ditemukan adanya gejala dan infeksi nematoda pada wortel berupa malformasi bentuk pada umbi. Hasil penelitian yang dilakukan di College of Tropical Agriculture and Human Resource University o Hawaii menjelaskan bahwa gejala malformasi bentuk pada umbi dapat berupa umbi bercabang (forking) dan adanya puru (galling) (Tanaka et al. 1997). Selain itu terdapat pula bentuk umbi membulat dengan ukuran lebih pendek, dan membentuk akar rambut yang cukup banyak (hairiness) (Vrain and Baker 1980; Vrain 1982). Gejala malformasi bentuk umbi ditemukan mulai dari dataran medium hingga dataran tinggi. Gejala malformasi bentuk pada umbi sebelumnya telah dilaporkan pula oleh Hay (2005), bersumber dari hasil penelitian yang dilakukan di Tasmanian Institut of Agricultural Research bahwa gejala yang terjadi pada umbi wortel tersebut disebabkan oleh infeksi nematoda puru akar (NPA). Penyakit umbi bercabang merupakan penyakit penting dalam budidaya tanaman wortel. Penyakit ini menjadi masalah nomor dua dalam budidaya wortel di Amerika Serikat dengan tingkat kehilangan hasil mencapai 50% (Ferris 2008; Sorensen and Long 2000). Meloidogyne incognita dilaporkan menjadi penyebab kehilangan hasil pada tanaman wortel CV Gold Pac di Italia, M. incognita dan M. javanica juga menyebabkan kerugian pada wortel CV Aline di Brazil (Luc et al. 2005). Data BPS produksi wortel di Indonesia sendiri pada tahun 2005-2006 mengalami penurunan sebesar 11,05% (dari 440.002 menjadi 391.370 ton/tahun) dan pada tahun 2005-2009 menjadi 19,78% (dari 440.002 menjadi 352.963 ton/tahun). Hasil survei yang dilakukan Kurniawan (2010) di daerah Cipanas, Kabupaten Cianjur, diketahui pula terjadi kehilangan hasil dengan kisaran 5 hingga 95% akibat gangguan penyakit ini. Berdasarkan beberapa data sebelumnya dan hasil penelitian Kurniawan (2010) diketahui bahwa penyakit ini disebabkan oleh infeksi NPA, oleh karena itu
3
fokus permasalahan menjadi semakin jelas bahwa penyebab penyakit pada wortel yang menyebabkan terjadinya malformasi bentuk adalah NPA. Penelitian penyakit umbi bercabang telah dilakukan oleh Kurniawan (2010) di daerah Jawa Barat dengan hasil yang membuktikan bahwa terdapat serangan NPA di lokasi penelitian. Penambahan lokasi surveilan dan identifikasi dilakukan kembali untuk melihat potensi penyebaran NPA sendiri di Indonesia. Salah satu daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah Jawa Tengah. Survei dan identifikasi penyakit umbi bercabang yang disebabkan oleh NPA dilakukan untuk mengetahui beberapa jenis NPA yang terdapat di daerah tersebut.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis NPA (Meloidogyne spp.) yang berasosiasi dengan penyakit umbi bercabang pada wortel di daerah Jawa Tengah.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang jenis Meloidogyne spp. penyebab penyakit umbi bercabang pada tanaman wortel di daerah Jawa Tengah dan dapat pula menjadi dasar untuk menentukan strategi pengendalian penyakit yang efektif dan efisien.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Wortel Tanaman Wortel dalam taksonomi tumbuhan termasuk ke dalam Kelas Dicotyledonae (berkeping dua), Ordo Umbeliferae, Genus Daucus, dan Spesies Daucus carota (L.) (Cahyono 2002 dalam Pohan 2008). Susunan tubuh tanaman wortel terdiri atas daun dan tangkainya, batang, dan akar. Secara keseluruhan wortel merupakan tanaman setahun yang tumbuh tegak hingga 30-100 cm atau
lebih. Wortel memiliki daun yang bersifat
majemuk menyirip ganda dua atau tiga dan anak-anak daun berbentuk lanset (garis-garis). Setiap tanaman memiliki 5 sampai 7 tangkai daun yang berukuran agak panjang. Tangkai daun kaku dan tebal dengan permukaan yang halus, sedangkan helaian daun lemas dan tipis (Keliat 2008). Tanaman ini memiliki batang pendek, akar tunggang yang bentuk dan fungsinya berubah menjadi umbi bulat dan memanjang, dan kulit umbi yang tipis. Umbi memiliki warna seperti kuning kemerahan, jingga, putih, ungu. Kulit luar umbi terlihat tipis, dan jika dimakan mentah terasa renyah dan agak manis. Tanaman wortel tumbuh dengan baik pada tanah yang subur, gembur, kaya bahan organik (humus), dan lahan tidak tergenang (pengairan yang baik) (Honggodipuro 2008).
a
b
c
Gambar 1 Tanaman Wortel: (a) Umbi wortel, (b) Bunga, (c) Bagian-bagian penampang wortel (Makmum 2007)
5
Tanaman wortel memiliki pola tumbuh yang bersifat biennial. Tanaman ini memiliki batang yang pendek dan berbentuk seperti piringan pada pertumbuhan awal dan akan memanjang pada pertumbuhan berikutnya. Tandan bunga merupakan karangan karangan bunga yang berbentuk payung. Bunga wortel bersifat hermaprodit dengan sistem penyerbukan melalui menyerbuk silang yang umumnya dibantu oleh serangga (Tindall 1983). Bunga wortel berwarna putih dan terdiri atas masing-masing sepal dan petal yang berjumlah lima. Bakal buah berbulu, buah berbentuk bulat, panjang 3 sampai 4 mm dengan tepi berduri. Kedudukan daun berselang dengan tangkai daun, panjang dan membentuk pelepah pada pangkalnya (Tindall 1983). Tanaman wortel membutuhkan lingkungan tumbuh yang suhu udaranya dingin dan lembab. Menurut Rukmana (1995), di Indonesia wortel umumnya ditanam di dataran tinggi pada ketinggian di atas 1000 m dpl, namun terdapat pula pada ketinggian 700 m dpl seperti di daerah Cipanas, Jawa Barat (Kurniawan 2010). Tanaman wortel tumbuh dengan baik pada tanah lempung berpasir yang dalam sedangkan tanah yang berat dapat menghambat pertumbuhan umbi wortel. Wortel memerlukan tanah dengan pH 6 sampai 6,5 dan suhu lingkungan 16 sampai 24 0C untuk dapat tumbuh dengan baik. Suhu tinggi mengakibatkan terhambatnya perkecambahan, penurunan kandungan β-karoten, memucatnya warna umbi, dan berseratnya jaringan akar (Tindall 1983). Wortel segar cukup kaya akan nilai gizi karena mengandung β-karoten, protein, dan mineral. Komposisi kimia wortel dalam 100 gram bahan yang dapat dimakan adalah: protein (1,20 g), lemak (0,30 g), karbohidrat (9,30 g), Ca (339 mg), P (37,00 mg), Fe (0,80 mg), vitamin A (12.000,00 mg), vitamiun C (6,00 mg), air (88,20 g). Komposisi kimia utama umbi wortel adalah air sebanyak 88,20 %. Perbedaan komposisi kimia wortel dipengarungi oleh beberapa faktor, seperti iklim, varietas, tingkat kemasakan umbi, dan tanah (Direktorat Gizi 1979).
6
Meloidogyne spp.
Klasifikasi Meloidogyne spp. termasuk dalam Ordo Tylenchida, Subordo Tylencina, Famili Heteroderoidae, dan Genus Meloidogyne (Dropkin 1991). Nematoda ini memiliki sedikitnya 90 spesies (Karsen 2000), dan terdapat lima spsesies yang dipertimbangkan sebagai nematoda parasit penting pada tanaman secara global, diantaranya spesies M. incognita, M. javanica, M. arenaria, M. hapla, M. chitwood (Kurniawan 2010).
Morfologi Nematoda memiliki ukuran tubuh yang kecil dan tidak dapat dilihat secara langsung dengan mata telanjang sehingga dibutuhkan bantuan mikroskop untuk melihat ciri morfologi yang dimilikinya. Spesies jantan dan betina memiliki bentuk tubuh yang berbeda satu sama lain. Nematoda jantan memiliki bentuk tubuh memanjang seperti cacing, sedangkan nematoda betina pada saat dewasa memiliki bentuk tubuh seperti buah pear atau sferoid (Agrios 2005). Nematoda jantan dewasa memiliki ukuran panjang tubuh antara 887 hingga 1268 µm. Bentuk kepala tidak berlekuk dan memiliki stilet yang lebih panjang dibandingkan dengan betinanya yakni 16 sampai 19 µm. bergerak lambat di dalam tanah dengan ekor pendek dan membulat pada bagian posterior terpilin (Eisenback 2003).
Gambar 2 Morfologi pola perineal Meloidogyne spp. (Sumber: Eisenback 2003)
7
Betina dewasa memiliki ukuran panjang 430-740 µm. Stilet untuk menembus perakaran mempunyai panjang 11,5-14,5 µm. Nematoda betina memiliki stilet lemah melengkung ke arah dorsal dengan knob dan pangkal knob yang tampak jelas. Terdapat pola jelas pada striae yang berada di sekitar vulva dan anus yang disebut dengan pola perineal (perinneal pattern) (Gambar 2). Morfologi umum dari pola perineal jenis Meloidogyne spp. dibagi menjadi dua, yaitu bagian dorsal dan ventral. Bagian dorsal terdiri dari lengkungan striae dorsal, punctuations (tonjolan berduri), phasmid, ujung ekor, dan garis lateral, sedangkan bagian ventral terdiri dari striae ventral, vulva, dan anus. Setiap spesies Meloidogyne memiliki beberapa variasi pola perineal yang menjadi ciri khusus untuk dapat diidentifikasi.
Biologi Nematoda puru akar bersifat obligat tersebar luas di daerah iklim tropik maupun iklim sedang. Perkembangbiakan tanpa individu jantan dalam reproduksi terjadi pada banyak jenis, namun pada jenis yang lain reproduksi seksual masih terjadi dalam perkembangbiakannya. Telur-telur yang dihasilkan nematoda betina dewasa diletakan berkelompok pada massa gelatinus yang bertujuan untuk melindungi telur dari kekeringan dan jasad renik (Dropkin 1991).
Gambar 3 Siklus Hidup Meloidogyne spp. (Sumber: Eisenback 2003)
8
Massa telur yang baru terbentuk biasanya tidak berwarna dan berubah menjadi coklat setelah tua. Nematoda betina dapat menghasilkan telur hingga 500 butir telur dalam satu massa gelatinus (paket telur). Embrio nematoda berkembang menjadi juvenil 1 (J1) yang mengalami pergantian kulit pertama di dalam telur. Telur menetas dan J1 mengalami perubahan menjadi juvenil 2 (J2) yang muncul pada suhu dan kelembaban yang sesuai dan bergerak aktif di dalam tanah menuju akar yang sedang tumbuh. Juvenil 2 masuk ke dalam akar dan merusak sel-sel akar dengan stiletnya. Selanjutnya, di dalam akar J2 bergerak di antara sel-sel sampai tiba di tempat dekat silinder pusat atau berada di daerah pertumbuhan akar samping. Juvenil 2 akan hidup menetap pada sel-sel tersebut, mengalami pertumbuhan dan pergantian kulit hingga menjadi juvenil 3 (J3) dan juvenil 4 (J4) yang selanjutnya menjadi nematoda jantan atau betina dewasa (Dropkin 1991). Nematoda jantan dewasa berbentuk memanjang seperti cacing dan hidup di dalam tanah atau pada jaringan akar, sedangkan nematoda betina yang berbentuk seperti buah pear akan tetap tertambat dan tinggal pada daerah makanannya atau sel awal di dalam stele dengan bagian posterior tubuhnya berada pada permukaan tanah. Selama hidupnya, nematoda betina akan terus-menerus menghasilkan telur hingga mencapai 1000 butir telur. Keberadaan nematoda akan merangsang sel-sel untuk membelah, sehingga terbentuk puru pada akar tanaman (Luc et al. 1995). Proses pembentukan puru ditandai dengan adanya lima sampai tujuh sel di sekeliling nematoda yang menjadi sel raksasa (giant cell) (Agrios 2005).
Mekanisme Infeksi NPA Mekanisme penyerangan oleh Meloidogyne spp. dimulai dengan penetrasi nematoda ke dalam akar tumbuhan melalui bagian-bagian epidermis yang terletak di sekitar tudung akar. Molekul signal nematoda atau elisitor dikeluarkan dari sekresi kelenjar eshopagus nematoda yang diinjeksikan melalui stilet dalam jaringan inang. Sekresi dari kelenjar eshopagus nematoda pada nematoda endoparasit (NPA) berhubungan dengan respon inang yang kompatibel yang kemudian merubah sel inang menjadi feeding site yang spesifik seperti giant cell
9
dan sinsitium sebagai sumber nutrisinya (Vrain 1999; Williamson & Richard 1996). NPA mengeluarkan enzim yang dapat menguraikan dinding sel tumbuhan terutama terdiri dari protein, polisakarida seperti pektin selulase dan hemiselulase serta patin sukrosa dan glikosid menjadi bahan-bahan lain. Meloidogyne spp. mengeluarkan enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulosa dan enzim endopektin metal transeliminase yang dapat menguraikan pektin. Terurainya bahan-bahan penyusun dinding sel ini menyebabkan dinding sel akan rusak dan terbentuk luka. Selanjutnya nematoda ini bergerak di antara sel-sel atau menembus sel-sel menuju jaringan sel yang terdapat cukup cairan makanan. Betina NPA yang bersifat endoparasit sedentari hidup dan berkembang biak di dalam jaringan sel, mengeluarkan enzim proteolitik dengan melepaskan asam indol asetat (IAA) yang merupakan heteroauksin tritopan yang diduga membantu terbentuknya puru (Lamberti and Taylor 1979). Akar tanaman yang terinfeksi NPA dapat mengakibatkan timbulnya puru bulat atau memanjang dengan ukuran yang bervariasi. Apabila tanaman terinfeksi berat oleh NPA, sistem akar yang normal berkurang sampai pada batas jumlah akar yang berpuru berat dan menyebabkan sistem pengangkutan mengalami gangguan secara total. Sistem akar mengalami disfungsi dalam menyerap dan menyalurkan air maupun unsur hara. Tanaman mudah layu, khususnya dalam keadaan kering dan tanaman sering menjadi kerdil (Luc et al. 1995). Akar yang terinfeksi oleh Meloidogyne spp. Mengalami gangguan diferensiasi xilem dan floem. Sel-sel periskel mengganti beberapa pembuluh kayu dan tapis didalam puru akar yang menyebabkan fungsi akar menjadi berkurang. Akar yang terinfeksi mengalami pertumbuhan baru dan pengangkutan air dan nutrisi dari akar ke bagian permukaan atas tanaman makin berkurang (Dropkin 1991).
Gejala Penyakit Nematoda Puru Akar memiliki kisaran inang yang sangat beragam, yakni lebih dari 2000 spesies tanaman yang sebagian besarnya merupakan tanaman budidaya. Infeksi NPA dapat mengakibatkan tanaman menjadi layu dan mati dengan gejala penyakit berupa pertumbuhan tanaman yang terhambat dan kerdil
10
serta perakaran yang memiliki banyak bintil atau puru akar (Endah & Novizan 2002). Tanaman wortel merupakan salah satu inang bagi nematoda Meloidogyne spp. (Agrios 2005). Infeksi NPA pada tanaman wortel dapat dideteksi dari gejala yang timbul pada tajuk dan perakaran. Lahan yang terinfeksi nematoda dapat terlihat pula dari kondisi tanaman di lahan, ditandai dengan adanya pertumbuhan dan tinggi tanaman yang tidak merata pada pertanaman atau disebut juga dengan gejala botak pada pertanaman.
Gejala pada Tanaman di Lahan Gejala awal pada tanaman yang terinfeksi umumnya terlihat pada tajuk, ditandai dengan menguningnya daun di sekitar tajuk, layu, dan tanaman menjadi kerdil. Pertumbuhan tanaman menjadi tidak maksimal akibat adanya gangguan saluran pengangkut air dan nutrisi (xilem dan floem) (Agrios 2005). Individu tanaman yang terinfeksi tidak dapat tumbuh secara optimal sehingga terlihat berbeda dengan tanaman sehat. Menurut Kurniawan (2010), infeksi ringan nematoda di lahan pertanaman wortel berawal dari infeksi spasial pada pertanaman. Hal ini memungkinkan masih terdapatnya individu tanaman yang bebas NPA pada infeksi awal di lahan. Tanaman yang terinfeksi dan tidak terinfeksi terlihat berbeda pertumbuhannya sehingga tinggi tanaman menjadi tidak merata. Gejala ini merupakan gejala khas dari infeksi nematoda di lahan atau disebut juga dengan gejala botak pada pertanaman. Gejala botak pada pertanaman disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan tanaman, dan infeksi dengan intensitas infeksi yang tinggi dapat menyebabkan benih tanaman mati muda.
Gejala pada Perakaran Gejala infeksi NPA pada perakaran dapat berupa hipertropi dan hiperplasia, yaitu membengkaknya jaringan perakaran yang disebut puru. Puru terjadi karena adanya pembesaran dan pembelahan sel yang berlebihan pada jaringan perisikel, dan juga terjadi perubahan bentuk pada jaringan pengangkutan. Timbulnya puru pada sistem perakaran merupakan gejala awal yang berasosiasi
11
dengan infeksi NPA. Tanaman yang terinfeksi berat oleh NPA dapat menyebabkan sistem perakaran mengalami disfungsi secara total (adanya pengurangan jumlah akar). Pembentukan akar baru hampir tidak terjadi dan fungsi perakaran terhambat dalam menyerap dan menyalurkan air dan unsur hara ke seluruh bagian tanaman (Davis 1981). Akar yang terinfeksi biasanya pendek dan mempunyai sedikit akar lateral dan rambut-rambut akar (Agrios 2005). NPA juga menginfeksi umbi sehingga umbi mengalami malformasi, bentuk umbi menjadi bulat pendek, bercabang, dan berpuru (Nunez et al. 2008). Bentuk lain dari malformasi umbi yang terinfeksi NPA juga terlihat seperti umbi bercabang (forking) (Tanaka et al. 1997), membulat dengan ukuran lebih pendek, dan membentuk akar rambut yang cukup banyak (hairiness) (Vrain and Baker 1980; Vrain 1982). Tanaman wortel yang terinfeksi NPA menyebabkan menjadi lebih rentan terhadap infeksi cendawan (Fusarium, Pythium, Rhizoctonia, dan Sclerotium rolfsii), bakteri (Pseudomonas/Ralstonia solanacearum), dan virus (Tobacco mosaic virus). Sifat interaksi dengan patogen lain adalah sinergistik, artinya keparahan penyakit akan meningkat dengan adanya infeksi ganda. Pada infeksi yang parah, maka stele yang keras merupakan satu-satunya sisa sistem perakaran yang masih utuh (Luc et al. 2005). NPA dapat meningkatkan infeksi oleh cendawan patogen karena kandungan eksudat puru akar diubah dan jumlahnya meningkat, sehingga cendawan pada stadium istirahat yang terjangkau oleh akar menjadi aktif (Agrios 2005).
Spesies Meloidogyne Meloidogyne spp. merupakan jenis nematoda yang tersebar hampir di seluruh dunia dan memiliki kisaran inang yang sangat luas, meliputi gulma dan berbagai tanaman yang dibudidayakan. (Dropkin 1991). Spesies ini memiliki lebih dari 75 spesies yang tersebar di seluruh dunia. Menurut Karsen (2000), nematoda jenis ini sedikitnya memiliki 90 spesies dengan kisaran inang yang luas. Terdapat 4 spesies Meloidogyne sebagai nematoda penting yang menginfeksi pertanaman wortel, yakni M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla.
12
Meloidogyne incognita Spesies M. incognita merupakan nematoda parasit tanaman yang penting di seluruh daerah tropika. Beberapa tanaman inang spesies ini adalah kapas, kentang, tebu, wortel, tomat, tanaman hias, dan lain-lain (Thomas et al. 2004). Suhu optimum
yang dibutuhkan oleh M. incognita untuk melakukan
reproduksi berkisar antara 18-30 0C, dapat mengalami peningkatan populasi hingga 47% pada suhu optimum pertumbuhannya yakni antara 15-25
0
C
(Eisenback 2003). Spesies M. incognita memiliki ciri khas berupa lengkung striae bagian dorsal yang berbentuk persegi (sudut ± 900), dan lengkung striea dengan pola garis yang bergelombang (Gambar 4). Hal inilah yang menjadi karakter khusus untuk mengenali M. incognita dalam kegiatan identifikasi pola perineal (Eisenback et al. 1981).
Gambar 4 Ciri khusus pola perineal Eisenback 2003)
Meloidogyne incognita (Sumber:
Siklus hidup dari nematoda ini sekitar 30 sampai 60 hari tergantung dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hidup nematoda seperti suhu optimum, ketersediaan inang, dan lingkungan yang sesuai untuk melakukan reproduksi.
13
Meloidogyne javanica Nematoda M. javanica termasuk spesies yang tersebar hampir di seluruh dunia, khususnya di daerah tropika sampai ketinggian 3000 m dpl (Semangun 2006). Tanaman inang dari M. javanica antara lain tomat, kentang, wortel, tanaman hias, tembakau, sayuran, dan buah-buahan (Semangun 2006).
Gambar 5
Ciri khusus pola perineal Meloidogyne javanica (Sumber: Eisenback 2003)
Suhu optimum yang dibutuhkan oleh spesies ini memiliki perbedaan pada setiap setiap stadium daur hidupnya (Southey 1978), namun suhu optimum yang diperlukan untuk berkembang dengan baik berkisar antara 25-30 0C. Munculnya populasi M. javanica terbesar terjadi pada pH antara 6,4 sampai 7 dan akan terhambat pada pH di bawah 5,2 (Southey 1978). Proses identifikasi pola perineal pada spesies ini dilakukan dengan cara melihat ciri khas berupa garis lateral yang memisahkan striae bagian dorsal dan ventral (Gambar 5) (Eisenback 2003). Diantara dua garis lateral tersebut terdapat daerah kosong dan tidak ada striae dorsal dan ventral yang saling berikatan.
Meloidogyne arenaria M. arenaria merupakan spesies yang dapat menyebar bukan hanya di daerah tropik, namun juga terdapat di daerah subtropik (Luc et al. 1995). Karakteristik morfologi dari spesies ini berupa pola perineal yang sangat variabel, ditandai dengan lengkungan tepi yang rendah dan bulat dengan striae yang halus hingga bergelombang (Eisenback dan Triantaphyllou 1991). Pola perineal dari
14
spesies ini merupakan variasi dari spesies M. hapla dan M. incognita. Bagian striae bercabang pada garis lateralnya dan merupakan pola yang dimiliki oleh sebagian besar spesies ini (Gambar 6). Nematoda jantan memiliki bentuk kepala dan stilet yang pendek dan agak bulat (Eisenback et al. 1981).
Gambar 6 Ciri khusus pola perineal Meloidogyne arenaria (Sumber: Eisenback 2003) Meloidogyne hapla Spesies ini terdapat di daerah beriklim sedang dan kadang-kadang terdapat di dataran tinggi tropik (Luc et al. 1995). M. hapla akan memiliki populasi dan tingkat infeksi yang rendah apabila temperatur dari wilayah tersebut tidak sesuai dengan suhu optimum yang dibutuhkannya. Beberapa tanaman yang memiliki tingkat infeksi M. hapla yang rendah antara lain semangka, kapas, dan jagung.
Gambar 7 Ciri khusus pola perineal Meloidogyne hapla (Sumber: Eisenback 2003)
15
Gambar 7 memperlihatkan jenis M. hapla yang memiliki ciri khas pola perineal berupa tonjolan-tonjolan seperti duri pada zona ujung ekor (Eisenback et al. 1981). Tonjolan-tonjolan seperti duri membentuk lingkaran atau elips pada ujung ekor. Karakter ini tidak dimiliki oleh spesies Meloidogyne lainnya sehingga menjadi karakter khas M. hapla. Bentuk gejala yang disebabkan oleh infeksi nematoda ini berbeda denga gejala infeksi spesies lainnya, yakni berupa puru kecil, bentuk seperti bola, dan terbentuk akar rambut (hairy roots) yang berasal dari jaringan puru (Luc et al. 1995).
Identifikasi Spesies Meloidogyne Melalui Pola Perineal (Perineal Pattern) Identifikasi pola perineal (perineal pattern) atau pola sidik pantat merupakan salah satu teknik identifikasi nematoda yang diperkenalkan oleh Eisenback et al. (1981). Identifikasi pola perineal atau sidik pantat dilakukan untuk mengatahui spesies NPA berdasarkan ciri morfologi pada nematoda betina. Teknik ini menggunakan individu nematoda betina dewasa sebagai sampel identifikasi. Masing-masing nematoda betina diidentifikasi melalui pola perineal dan dilihat karakter khas yang dimilikinya. Prosedur identifikasi pola perineal yang dilakukan dimulai dari mendeteksi keberadaan nematoda (terutama telur) pada puru akar, proses pembuatan preparat sidik pantat, pengamatan preparat di bawah mikroskop, dan identifikasi. Proses pembuatan preparat dilakukan sesuai dengan acuan kegiatan identifikasi pola perineal yang telah dilakukan Eisenback et al. (1981) dan Shurtleff and Averre (2005), kemudian disesuaikan dengan buku kunci identifikasi A guide to the four most common species of Root Knot Nematodes (Meloidogyne species) with a pictorial key (Eisenback 2001) Deteksi NPA pada puru di akar dilakukan dengan cara merendam bagian umbi yang bergejala ke dalam larutan Phloxine B. hal ini dilakukan dengan maksud melihat keberadaan paket telur nematoda dan gejala infeksi nematoda berupa nekrosis. Paket telur dari nematoda akan berwarna kemerahan karena massa gelatinus menyerap Phloxine B.
16
Gambar 8
Prosedur pembuatan pola (Sumber: Eisenback 2003)
perineal
NPA
betina
Pembuatan preparat pola perineal nematoda betina mengacu pada proses pembuatan preparat Eisenback et al. (1981), seperti yang terlihat pada Gambar 8. Umbi yang diduga terinfeksi nematoda dijadikan sebagai sampel bedah. Kemudian dari sampel umbi yang bergejala dilakukan pembedahan untuk mengambil individu nematoda betina dewasa. Individu nematoda betina dewasa inilah yang dijadikan sebagai bahan identifikasi spesies NPA dengan cara mengamati bagian perinealnya. Bagian perineal (preparat sidik pantat) diamati di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x dan hasilnya disesuikan dengan kunci identifikasi.
Identifikasi Spesies Meloidogyne Secara Molekuler Identifikasi nematoda dengan pendekatan biologi molekuler berbasis DNA merupakan langkah identifikasi yang lebih maju dan memiliki tingkat kecepatan, akurasi, dan sensitifitas yang terpercaya. Teknik PCR-RFLP (Restiction Fragment Length Polymorphism) diketahui telah berhasil digunakan untuk melakukan identifikasi spesies NPA (Power 1993; Zijlstra 1995; Orui 1998). Terdapat pula teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD-PCR) yang ternyata diketahui lebih sederhana dan lebih cepat dalam pelaksanaannya. Cenis (1993) mengadopsi RAPD-PCR untuk mengidentifikasi 4 spesies NPA, tetapi tidak diuji coba untuk juvenil II NPA kecuali M. javanica. Teknik lainnya adalah PCR ITS rDNA (Internal Transcribed Spacer Ribosomal DNA) berdasarkan sistem kerja
17
pemisahan spesies Meloidogyne dengan amplifikasi gen DNA ribosoma. Amplifikasi bagian tertentu dari genom nematoda merupakan langkah yang efektif untuk melihat karakterisasi dan identifikasi nematoda (Powers dan Harris 1993). Bagian genom yang paling informatif adalah bagian ribosomal DNA repeat unit (r-DNA), yang mengandung Internal Transcribed Spacers 1 (ITS1) dan ITS2. Prosedur yang dilakukan pada teknik PCR untuk identifikasi nematoda dimulai dengan proses ekstraksi DNA NPA yang dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain (1) metode minipreparation yang dilakukan oleh Cenis (1993) untuk mengekstraksi jumlah DNA yang cukup banyak dari nematoda betina dewasa; (2) Metode buffer lisis; (3) Metode air steril yang menggunakan air steril untuk mengekstraksi DNA nematoda. Menurut Muladno (2010), proses amplifikasi DNA nematoda terjadi melalui tahap awal yakni tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada suhu 94 0
C sampai dengan 96 0C, molekul DNA mengalami denaturasi sehingga
strukturnya berubah dari untai ganda menjadi untai tunggal. Tahap kedua, pada suhu 50 0C sampai dengan 60 0C terjadi proses penempelan atau annealing. Primer forward yang runutan nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel pada posisi komplemennya. Hal yang sama juga terjadi pada primer reverse yang menempel pada untai tunggal lainnya. Proses berikutnya, setelah kedua primer tersebut menempel pada posisinya masing-masing, enzim polymerase mulai mensintesis molekul DNA baru yang dimulai dari ujung 3” masing-masing primer. Sintesis molekul DNA baru ini disebut juga dengan proses ekstensi yang terjadi pada suhu 72 0C. Setelah proses tersebut, satu untai DNA ganda akan berlipat jumlahnya menjadi dua untai DNA. Proses ini terjadi berulang kali, mulai dari denaturasi, penempelan, dan sintesis. Suhu pada proses denaturasi dan ekstensi bersifat tetap, masing-masing pada suhu 95 0C dan 72 0C, sedangkan suhu penempelan (annealing) bergantung pada panjang atau pendeknya primer (Muladno 2010). Siklus PCR yang dilakukan untuk nematoda (NPA) pada wortel sebanyak 45 kali (Kurniawan 2010).
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan identifikasi penyebab penyakit umbi bercabang pada wortel dilakukan di Laboratorium Nematologi dan Laboratorium Virologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan sampel wortel yang terserang penyakit umbi bercabang dilakukan di daerah Dusun Sirangkel, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, dan Dusun Condong Campur, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara. Penelitian dilakukan sejak bulan April 2011 hingga Oktober 2011.
Metode Penelitian Penelitian dilakukan dalam empat tahap kegiatan: (1) survei dan pendataan, (2) identifikasi gejala penyakit pada tanaman wortel, (3) identifikasi sidik pantat, dan (4) identifikasi biologi molekuler.
Survei dan Pendataan
Survei Survei dilakukan secara acak di beberapa kebun wortel milik petani di daerah Dusun Sirangkel, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, dan Dusun Condong Campur, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara. Lokasi pengambilan sampel pertama (lokasi 1) bertempat di Dusun Sirangkel dengan ketinggian lokasi 1300-1500 m dpl. Titik pengambilan sampel kedua dilakukan pula di Dusun Sirangkel dengan ketinggian yang berbeda dari lokasi pertama yakni 1500-1700 m dpl. Lokasi pengambilan sampel ketiga bertempat di Dusun Condong Campur dengan ketinggian > 1700 m dpl. Salah satu metode pengambilan sampel yang dapat digunakan adalah pola zig-zag, dan tidak menutup kemungkinan akan menggunakan metode lain sesuai dengan kondisi di lapangan (Barker and Campbell. 1981). Sampel yang diambil berupa sampel umbi dan perakaran wortel yang bergejala. Sampel umbi yang
19
bergejala diusahakan dalam keadaan lembab dan disimpan dalam kantung plastik secara terpisah. Bagian atas tumbuhan biasanya lebih cepat membusuk sehingga harus ditempatkan di dalam kantung khusus bila ingin disimpan dalam beberapa hari (Trigiano et al. 2004).
Pendataan Pendataan dilakukan untuk mendapatkan informasi awal mengenai lokasi kebun, ketinggian tempat, luas kebun, varietas wortel yang ditanam, produksi per hektar, jumlah dan tipe puru, keberadaan wortel bercabang, adanya hairy root, teknik olah tanah, kedalaman olah tanah, jenis tanah, intensitas dan asal irigasi, serta penggunaan pupuk dan nematisida. Hasil pendataan dimaksudkan untuk dapat memberikan informasi tambahan tentang kondisi wilayah serta keberadaaan gejala penyakit di lahan pengamatan.
Identifikasi
Identifikasi Gejala Penyakit pada Tanaman Wortel Wortel yang terinfeksi oleh nematoda umumnya memiliki gejala yang terlihat pada tajuk, ditandai dengan menguningnya daun di sekitar tajuk, layu, dan tanaman menjadi kerdil. Pertumbuhan tanaman menjadi tidak maksimal akibat adanya gangguan saluran pengangkut nutrisi (xilem dan floem) (Agrios 2005). Individu tanaman yang terinfeksi tidak dapat tumbuh secara optimal sehingga terlihat berbeda dengan tanaman yang tidak terinfeksi. Selain itu, tanaman bergejala akan memperlihatkan keadaan umbi yang mengalami malformasi. Kegiatan identifikasi gejala penyakit pada pertanaman wortel dilakukan terhadap tanaman bergejala pada bagian tajuk (di atas permukaan tanah) dan terhadap perakaran tanaman. Gejala pada bagian tajuk yang diamati berupa tinggi tanaman (kerdil), warna daun (menguning, klorosis) dan kelayuan pada siang hari sedangkan gejala pada bagian perakaran (umbi) berupa bentuk, ukuran puru, dan keberadaan akar rambut (hairy root).
20
Identifikasi Spesies NPA Berdasarkan Morfologi Sidik Pantat Identifikasi dilakukan melalui sidik pantat nematoda betina. Akar-akar terinfeksi NPA dicuci untuk menghilangkan partikel tanah yang menempel. Nematoda betina yang membengkak pada jaringan puru akar dicungkil hati-hati. Bagian anterior dipotong dengan pisau khusus kemudian bagian posterior ditekan agar kandungan di dalamnya keluar. Potongan dipindahkan ke dalam laktofenol dingin (0.03% cotton blue) dan dibiarkan sedikitnya 24 jam. Bagian posterior disayat dan jaringan di dalam dibuang secara hati-hati. Sidik pantat kemudian dipindahkan ke gelas objek lain dengan ditetesi setetes laktofenol (0.01% cotton blue). Gelas penutup direkat dengan kutek kuku kemudian diamati lebih lanjut di bawah mikoskop cahaya dengan perbesaran 400x (Eisenback et al. 1981; Shurtleff and Averre 2005). Sampel betina yang diamati secara keseluruhan berjumlah 150 ekor
Identifikasi Spesies NPA Secara Molekuler (PCR ITS r-DNA) Identifikasi biologi molekuler dilakukan dengan menggunakan teknik PCR ITS r-DNA. Secara sistematis proses dimulai dari ekstraksi DNA nematoda langsung dari akar yang berpuru. Sebanyak 0,5 g puru akar ditambahkan dengan nitrogen cair, digerus dengan mortar dan pestle. Kemudian ditambahkan buffer ekstrak (50 mM Tris-HCl pH 8.0, 0.7 NaCl, 10 mM EDTA, 1 % CTAB) hingga menjadi homogen dengan pistil. Hasil gerusan dimasukan ke dalam tabung mikro 2 ml, kemudian diinkubasi dalam penangas air (water bath) pada suhu 60 oC selama 2 jam (setiap 10 menit tabung mikro dibolak-balik untuk membantu proses lisis). Tabung mikro dari penangas selanjutnya didinginkan sekitar 3-5 menit pada suhu ruang. Proses selanjutnya adalah penambahan chloroform dengan perbandingan 1:1, dicampurkan hingga homogen dengan cara divorteks selama 3 menit. Suspensi yang terbentuk disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 12.000 rpm. Supernatan hasil sentrifugasi, diambil secara hati-hati sebanyak 500 µl dan dipindahkan ke dalam tabung mikro yang baru. Sodium asetat (CH3COONa 3M; pH 5,2) ditambahkan ke dalam supernatan dengan perbandingan 1:10 dan dicampur hingga homogen. Sebanyak 1 ml alkohol absolut ditambahkan untuk presipitasi DNA dan dicampur hingga
21
homogen. Selanjutnya, tabung diinkubasi pada suhu -20 oC selama 1 malam (overnight). Suspensi kemudian disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Cairan dalam tabung dibuang dan pelet (endapan DNA) yang terbentuk dicuci dengan alkohol 70% sebanyak 200 ml, kemudian dilanjutkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Cairan alkohol yang digunakan untuk mencuci pelet dibuang dan endapan DNA dikeringkan. Buffer TE ditambahkan pada tabung mikro sebanyak 30-100 µl sesuai dengan ketebalan endapan DNA. Amplifikasi DNA menggunakan teknik PCR dengan primer spesifik untuk M. javanica, M arenaria, M. incognita, dan multipleks primer untuk M. chitwood, M. hapla, M. falax. Primer didesain dari bagian mitokondria untuk mengkode sitokrom oksidase unit II dan 16S rRNA (Tabel 1).
Tabel 1 Primer yang digunakan untuk setiap jenis NPA Spesies NPA M. incognita
Tipe Primer Spesifik
M. javanica
Spesifik
M. arenaria
Spesifik
M. hapla M. chitwood M. falax
Multipleks
Sequence 5’-3’ MI-F 5’-GTG AGG ATT CAG TCT CCC AG-3’ MI-R 5’-ACG AGG AAC ATA CTT CTC CGT CC-3’ Fjav 5’-GGT GCG CGA TTG AAC TGA GC-3’ Rjav 5’-CAG GCC CTT CAG TGG AAC TAT AC-3’ Far 5’-TCG GCG ATA GAG GTA AAT GAC-3’ Rar 5’-TCG GCG ATA GAC ACT ACA AAC T-3’ JMV1 5’-GGA TGG CGT GCT TTC AAC3’/JMV2 5’-TTT CCC CTT ATG ATG TTT ACC C-3’/JMV-hapla 5’AAA AAT CC CTC GAA AAA TCC ACC-3’
Sumber
(Meng et al. 2004)
(Zijlstra et al. 2000)
(Zijlstra et al. 2000)
(Wishart et al. 2002)
22
PCR reagen yang digunakan terdiri dari ddH2O, Taq buffer 10x Mg2+, sukrosa, dNTP, primer F (forward), primer R (reverse), dan Taq DNA polymerase. Komposisi bahan yang digunakan dibuat untuk 18 kali reaksi dengan komposisi sesuai keterangan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Komposisi bahan PCR reagen Bahan ddH2O Taq buffer 10x Mg2+ Sukrosa dNTP Primer F Primer R Taq DNA polymerase Total
18 Kali Reaksi (µl)
1x Reaksi (µl)
292,5 45 45 9 18 18 4,5 432
16,25 2,5 2,5 0,5 1 1 0,25 25
Mesin PCR (thermo cycle) di program sesuai dengan primer yang digunakan. Barulah proses amplifikasi DNA nematoda dilakukan melalui lima tahap, yakni denaturasi, annealing, extension/elongation, final elongation, dan final hold. Proses denaturasi extension/elongation, final elongation, dan final hold untuk setiap DNA spesies Meloidogyne umumnya memerlukan suhu dan waktu yang sama, hanya proses annealing saja yang berbeda untuk setiap DNA spesies yang diuji. Proses annealing untuk setiap DNA spesies nematoda diprogram secara terpisah, tergantung primer yang digunakan. Proses anneling spesies M. incognita membutuhkan suhu antara 57-59 oC selama 45 detik, M. javanica membutuhkan suhu antara 55-58 oC selama 45 detik, M. arenaria membutuhkan suhu 56 oC selama 45 detik, dan M. hapla membutuhkan suhu 58 oC selama 45 detik. Kondisi PCR yang digunakan untuk amplifikasi adalah 94 oC selama 4 menit untuk proses denaturasi, 72
o
C selama 1 menit untuk proses
extension/elongation, 72 oC selama 5 menit untuk proses final elongation, dan 4 o
C selama 5 menit untuk proses final hold. Siklus PCR cycle dilakukan sebanyak
45 kali. Produk PCR dari masing-masing spesies NPA dengan primer pada Tabel 1 memiliki perbedaan satu sama lain. M. incognita memiliki produk PCR yang
23
berukuran ± 1000 bp, M. javanica memiliki ukuran ± 720 bp, M. arenaria memilki ukuran ± 420 bp, dan M. hapla memiliki ukuran ± 440 bp. DNA nematoda hasil amplifikasi dianalisis untuk melihat visualisasi DNA melalui elektroforesis menggunakan gel agarose 1% dalam 40 ml buffer TBE (sebanyak 0,403 g) dengan komposisi bahan Tris-HCl 1 M pH 8 sebanyak 5 ml, EDTA 0,25 M sebanyak 2,5 ml, NaCl 2,5 M
sebanyak 2,5 ml, SDS 10%
sebanyak 1,25 ml, dan air 13,75 ml. Setelah agarose dipanaskan selama 2 menit dan agarose dingin, bahan tersebut ditambahkan dengan ethidium bromide sebanyak 0,5 µl untuk setiap 10 ml bahan. Kemudian sebanyak 40 ml agarose dingin dituangkan ke dalam wadah cetakan. Pengukuran DNA menggunakan penanda 1 Kb ladder. Sampel disiapkan dengan mencampurkan 7 µl sediaan DNA yang masing-masing sampel diisikan dalam sumuran gel dengan mikro pipet. Elektroforesis dilakukan dengan tegangan 100 V DC selama 20 menit. Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan transiluminator UV dan direkam dengan kamera. Selain ekstraksi menggunakan puru, digunakan pula ekstraksi nematoda betina Meloidogyne spp.. Sebanyak 20 ekor nematoda betina dimasukan ke tabung mikro 2 ml. Kemudian ditambahkan buffer ekstrak (200 mM Tris HCl: pH 8,5, 250 mM Na Cl, 25 mM EDTA: pH 8,0, dan 0,5% SDS) sebanyak 150 µl ke dalam tabung. Selanjutnya nematoda dalam tabung digerus sampai halus dengan menggunakan cornical grinder steril. Larutan sodium asetat (CH3COONa 3 M: pH 5,2) sebanyak 0,5 volume ditambahkan ke dalam tabung dan disimpan dalam suhu -20 0C selama 10 menit. Kemudian suspensi tersebut disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 13.000 rpm. Supernatan yang terbentuk diambil dan dipindahkan ke dalam tabung mikro yang baru. Selanjutnya ditambahkan 1 volume isopropanol ke dalam tabung dan disimpan salam suhu ruang selama 30 menit. Suspensi tersebut kemudian disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 13.000 rpm. Cairan isopropanol yang digunakan dalam tabung, dibuang dan ditambahkan 1 volume alkohol 80%. Kemudian suspensi disentrifugasi kembali selama 15 menit pada kecepatan 13.000 rpm. Cairan alkohol dibuang dan endapan DNA dapat dikeringkan. Selanjutnya buffer TE ditambahkan pada tabung mikro sebanyak 30-100 µl sesuai dengan ketebalan endapan DNA.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Geografis Lokasi Pengambilan Sampel Dusun Sirangkel Dusun Sirangkel merupakan salah satu dusun yang terdapat di Desa Mlandi sedangkan Desa Mlandi sendiri adalah bagian dari 15 Desa yang terdapat di Kecamatan Garung Kabupaten Wonosobo (Gambar 9a). Potensi pertanian Kecamatan Garung meliputi lahan pertanian seluas 5.122,03 ha dengan 5,74% merupakan tanah sawah dan 94% adalah tanah kering. Tanaman yang umum ditanam di daerah ini meliputi tanaman serealia, tanaman palawija, tanaman hortikultura, tanaman biofarmaka, tanaman perkebunan, dan tanaman kehutanan (BPP Marsudi 2011).
a
b
Gambar 9 Foto satelit wilayah pengambilan sampel berada pada satu garis Dataran Tinggi Dieng: (a) Dusun Sirangkel, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, (b) Dusun Condong Campur Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara.
25
Kecamatan Garung berada pada ketinggian 800 hingga 1500 m dpl. Dusun Sirangkel sendiri merupakan Dusun yang terletak pada ketinggian tertinggi di kecamatan tersebut. Dusun ini berada pada ketinggian antara 1300 hingga 1500 m dpl dan masih menjadi bagian dari jalur Pegunungan Dieng. Tanaman yang banyak ditanam di daerah ini antara lain kentang, wortel, bawang daun, kubis, wasabi, dan sawi. Dusun Sirangkel Desa Mlandi, terletak di wilayah pegunungan dengan tanah berjenis andosol hasil letusan gunung berapi (tanah vulkanik). Jenis tanah ini termasuk tanah yang subur sehingga banyak jenis tanaman hortikultura yang dapat ditanam di wilayah ini. Tanah di daerah ini memiliki warna tanah coklat tua dan hitam dengan pH tanah antara 6,5-7,0. Tanah berasal dari abu vulkanik dengan kondisi drainase pada tingkat sedang-tinggi. Rata-rata curah hujan/tahun adalah 307,4 mm, rata-rata hari hujan/tahun 215 hari, dan
rata-rata bulan
basah/tahun adalah 12 bulan (BPP Marsudi 2011). Tanaman wortel merupakan komoditas yang memiliki potensi yang cukup besar di daerah ini selain kentang dengan luas panen 200 ha dan produktivitas aktual sebesar 13,18 kw/ha. Tanaman wortel sudah lama ditanam dan menjadi komoditas penting bagi Dusun Sirangkel. Penerapan teknologi anjuran sendiri oleh petani dalam penggunaan benih, pengolahan tanah, penggunaan pupuk, pengendalian OPT, pengaturan irigasi, dan penanganan hasil panen rata-rata mencapai persentasi hingga 70% (BPP Marsudi 2011).
Gambar 10 Benih wortel (jenis new kuroda) yang ditanam petani di lahan penelitian Dusun Sirangkel, Desa Mlandi, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo
26
Pada lahan pengambilan sampel, titik pengambilan sampel 1 berada pada ketinggian 1300-1500 m dpl. Pada titik ini lahan digunakan untuk penanaman wortel secara terus-menerus. Varietas yang digunakan diyakini oleh petani sebagai varietas Indofood, merupakan jenis wortel new kuroda yang dikeluarkan oleh PT Takii Indonesia (Gambar 10). Suhu pada siang hari di lokasi ini adalah 17-23 0C, dan pada malam hari berkisar antara 13-17 0C dengan luas lahan pengamatan ± 2000 m2. Titik pengambilan sampel 2 berada pada ketinggian 1500-1700 m dpl. Pada titik ini lahan digunakan untuk penanaman wortel dan bergilir dengan penanaman bawang daun dan kentang namun kadangkala dilakukan tumpang sari antara wortel dengan bawang daun. Varietas yang digunakan sama dengan lokasi 1 yakni varietas Indofood (jenis new kuroda). Suhu pada siang hari berkisar antara 16-22 0C dan pada malam hari antara 12-16 0C dengan luas lahan pengamatan ± 1500 m2.
a
b
Gambar 11 Titik pengambilan sampel: (a) titik 1 dan (b) titik 2 di lahan penelitian Dusun Sirangkel
Kondisi Geografis Lokasi Pengambilan Sampel Desa Condong Campur Secara geografis, Dusun Condong Campur merupakan bagian dari Desa Condong Campur, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Gambar 9b). Desa ini terletak di wilayah pegunungan dengan ketinggian < 1700 m dpl. Luas keseluruhan wilayah desa adalah 350,035 Ha dan terbagi menjadi 3
27
dusun, yaitu Dusun Condong Campur, Dusun Kandangan, dan Dusun Serang (Yunian et al. 2011). Dalam hal demografi, jumlah penduduk Desa Condong Campur akhir tahun 2010 adalah 2844 jiwa, dengan jumlah penduduk perempuan sebesar 1390 jiwa dan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1454 jiwa. Mata pencaharian ratarata penduduk adalah petani dan jenis tanaman yang banyak ditanam adalah kentang, wortel, kubis, dan cabai (Yunian et al. 2011). Desa Condong Campur terletak di wilayah pegunungan dengan tanah berjenis andosol hasil letusan gunung berapi (tanah vulkanik).. Desa Condong Campur juga terletak di dataran tinggi (< 1700 m dpl) sehingga suhunya relatif rendah dan kelembaban udara yang juga rendah. Dengan keadaan demikian, maka terdapat beberapa jenis tanaman yang dapat tumbuh subur di wilayah ini antara lain kentang, kubis, dan wortel dalam sektor pertanian dan kambing dalam sektor peternakan. Dusun Condong Campur menjadi titik pengambilan sampel 3 dengan kondisi titik pengambilan sampel berada pada ketinggian ± 1700 m dpl. Pada titik ini lahan digunakan untuk penanaman wortel berlanjut. Varietas yang digunakan diyakini oleh petani sebagai jenis wotel new kuroda (sama seperti benih pada lokasi 1), selain itu juga ditanam varietas lokal.
Gambar 12 Titik pengambilan sampel 3 di Dusun Condong Campur, Kecamatan Pejawaran Kabupaten Banjarnegara.
28
Dari hasil surveilan diketahui bahwa varietas lokal bebas dari serangan NPA. Hal ini dibuktikan dari hasil panen yang dilakukan, tidak ditemukan gejala NPA pada umbi wortel. Dugaan awal terhadap varietas lokal yang lebih tahan terhadap infeksi nematoda dikarenakan tekstur umbinya yang lebih keras dibandingan varietas Indofood. Penanaman wortel sebenarnya sudah mulai ditanam sejak 6 tahun yang lalu namun mulai intensif ditanam sejak tahun 2010. Lahan tanaman wortel sendiri tidak terlalu luas karena penanaman masih didominasi oleh komoditas kentang sebagai komoditi unggulan daerah ini. Luas lahan yang dijadikan titik pengambilan sampel seluas ± 3000 m2. Suhu di lokasi ini pada siang hari berkisar antara 15-19 0C dan pada malam hari 10-15 0C.
Gejala pada Tanaman di Lahan Gejala yang ditemukan pada pertanaman wortel di lokasi pengambilan sampel memiliki kesamaan dengan gejala yang ditemukan oleh Kurniawan (2010) di daerah Jawa Barat, yakni terdapat tanaman dengan gejala kerdil dan ketika dicabut umbi wortel bercabang dengan jumlah puru yang cukup banyak. Tanaman bergejala terkonsentrasi pada titik-titik tertentu dan tidak dijumpai pada titik lainnya. Pada lahan dengan tingkat infeksi masih rendah pola penyebaran penyakit terjadi pada beberapa titik dan mengelompok pada guludan tertentu. Pola sebaran inilah yang dikenal sebagai pola penyebaran spasial (Barker and Campbell. 1981). Gejala pada bagian umbi dan perakaran saling berhubungan dengan gejala pada tajuk tanaman. Pada tanaman sampel yang terinfeksi nematoda, bagian tajuk tanaman umumnya berukuran kerdil. Pertumbuhan tanaman di sekitar titik pengambilan sampel menjadi tidak merata, tanaman menjadi kerdil, dan rumpun sangat jarang. Gejala ini merupakan gejala khas dari infeksi nematoda yang disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan tanaman, dan infeksi dengan tingkat serangan yang tinggi dapat mengakibatkan benih tanaman mati muda.
29
Gambar 13 Ciri khas serangan NPA berupa gejala botak pada pertanaman di lokasi pengambilan sampel di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur Gejala ini terlihat pada ketiga lokasi pengambilan sampel mulai dari lokasi dengan ketinggian 1300 m dpl hingga ketinggian 1700 m dpl. Pada dasarnya penyebaran NPA juga dipengaruhi oleh jenis tanah di daerah Dataran Tinggi Dieng (jenis tanah andosol). Jenis tanah andosol terbentuk dari bahan induk abu volkan, merupakan tanah yang relatif muda dibandingkan latosol, yang sifatsifatnya sangat ditentukan oleh mineral liat yang dikandungnya yaitu alofan yang bersifat amorf. Tanah ini mempunyai horizon A1 tebal bewarna hitam yang kaya bahan organik, tetapi tidak mempunyai horizon A2, dengan horizon B berwarna kuning pucat, coklat kekuningan atau coklat keabu- abuan volkan terlapuk sampai ke horizon C (Rayes 2007). Jenis tanah andosol memilki kejenuhan basa yang relatif rendah tetapi mempunyai Al dapat ditukar relatif tinggi. Terbawa oleh sifat mineral liat dominan yang dimilikinya maka andosol mempunyai sifat tiksotrofik, mempunyai kemampuan mengikat air besar, porositas tinggi, bobot isi rendah, gembur, tidak plastis dan tidak lengket serta kemampuan fiksasi fosfat yang tinggi (Rayes 2007). Tanah jenis ini umumnya subur dan bertekstur gembur hingga seperti lempung, bahkan di beberapa tempat bertekstur debu dan agak berpasir. Hal tersebut membuat tanah menjadi sangat ringan diolah dan pori-pori tanahnya memudahkan sirkulasi udara masuk ke dalam tanah (Hanafiah 2005). Selain itu tanah jenis ini dapat membantu pergerakan nematoda di lahan terutama Juvenil II
30
NPA. Juvenil II dapat bergerak secara vertikal dan horizontal sejauh 75 cm dalam waktu 9 hari pada lahan yang tanahnya berpasir. Pada lahan dengan tanah mengandung lempung lebih dari 30%, pergerakan NPA umumnya sangat lambat bahkan terhenti (Kurniawan 2010).
Tipe Gejala pada Umbi Wortel
Bentuk Umbi Wortel yang terinfeksi oleh nematoda mengalami malformasi bentuk umbi. Menurut Kurniawan (2010) terdapat empat bentuk malformasi umbi wortel yang terinfeksi NPA, yakni umbi bercabang, umbi pendek membulat, umbi pecah, dan umbi berambut (hairiness). Umbi bercabang ditandai dengan bentuk umbi abnormal disertai adanya satu percabangan atau lebih (Gambar 14a). Umbi wortel yang berukuran besar biasanya memiliki percabangan berukuran lebih kecil, pendek, dan banyak. Umbi yang berukuran kecil dan pendek, percabangan biasanya tidak lebih dari dua dan berukuran simetris. Umbi yang berukuran besar terkadang memiliki percabangan dua atau tiga ukuran yang sama.
a
b
Gambar 14
c
d
Contoh Gejala pada umbi wortel yang ditemukan di lokasi pengambilan sampel, (a) Umbi bercabang, (b) umbi pecah, (c) umbi pendek membulat, (d) umbi berambut
Umbi pecah (Gambar 14b) ditandai dengan umbi yang mengalami keadaan pecah seperti terbelah setengah bagian hingga terlihat bagian stelenya. Pada bagian permukaan biasanya terdapat kumpulan rambut akar yang berpuru bulat
31
kecil. Pecahan diduga terjadi karena adanya permukaan umbi yang mengalami nekrosis akibat infeksi awal nematoda sehingga permukaan kulit umbi tidak bisa tumbuh mengimbangi pertumbuhan dan perkembangan umbi wortel secara keseluruhan. Hal ini diperkuat dari bagian umbi yang pecah dikelilingi oleh puru yang seperti kudis. Umbi pendek membulat (Gambar 14c) mengalami pertumbuhan abnormal dengan bentuk umbi yang nyaris bulat atau pendek dengan panjang sekitar 2-5 cm. bagian umbi yang membulat ada kalanya dipenuhi oleh rambut akar yang banyak (hairiness) dengan puru yang bulat kecil disepanjang rambut akar. Umbi berambut (hairy root) memiliki jumlah rambut berpuru banyak dan biasanya terdapat pada umbi wortel, baik yang berukuran normal maupun yang berukuran kecil (Gambar 14d). Hairy root sering kali muncul pada dua pertiga bagian atas umbi dengan jumlah yang cukup banyak (hairiness) dan juga pada bagian ujung umbi yang bentuknya membulat. Pada sepanjang hairy root terdapat puru yang banyak dengan bentuk bulat kecil dan berwarna putih krem. Berdasarkan hasil pengambilan sampel umbi wortel pada ketinggian 13001700 m dpl, ditemukan keempat tipe umbi tersebut. Umbi bercabang banyak ditemukan di lokasi pertama, sedangkan umbi pendek membulat terdapat banyak di lokasi ketiga.umbi berambut dan umbi pecah ditemukan pula, namun tidak begitu banyak seperti umbi bercabang dan umbi pendek membulat.
Tabel 3 Tipe gejala penyakit pada umbi wortel yang terinfeksi NPA pada 3 lokasi pengambilan sampel berbeda ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur. Ketinggian (m dpl) Bentuk Umbi 1300-1500 1500-1700 > 1700 Umbi bercabang Umbi pecah Umbi pendek membulat Umbi berambut (hairy root) Keterangan:
+ = ada - = tidak ada
+ + + +
+ + + +
+ + + +
32
Tipe Puru Umbi wortel yang terserang NPA pada ketiga ketinggian memiliki puru pada akar dengan bentuk puru yang sama. Terdapat lima gejala tipe puru pada umbi yang terserang NPA. Kelima tipe puru diketahui terdapat pada tiap ketinggian walupun jumlahnya tidak sama besar. Tipe puru tersebut adalah (1) tipe bulat pada hairy root, (2) bulat berukuran besar (+ 0.5 cm), (3) puru memanjang, (4) puru seperti kudis, (5) seperti akar gada. Gejala puru ini dapat dijumpai pada akar yang umbinya tidak normal atau mengalami malformasi (Kurniawan 2010).
Tabel 4
Keberadaan tipe puru pada umbi pada 3 lokasi pengambilan sampel berbeda ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur. Ketinggian (m dpl) Tipe Puru 1300-1500 1500-1700 > 1700
Bulat pada hairy root ulat berukuran besar (+ 0.5 cm) Memanjang Seperti kudis Seperti akar gada Keterangan:
+ + + + +
+ + + + +
+ + + + +
+ = ada - = tidak ada
Puru bulat pada hairy root (Gambar 15a) dideskripsikan dengan adanya puru di sepanjang rambut yang tumbuh di permukaan umbi wortel. Rambut terlihat jarang hingga cukup banyak sehingga terlihat jelas berbeda dengan umbi wortel normal. Umbi normal hanya terdapat sedikit rambut tanpa puru pada bagian rambut. Puru yang terdapat pada tipe ini berbentuk bulat kecil sempurna denga warna putih krem. Puru bulat berukuran besar (+ 0.5 cm) banyak terdapat pada umbi wortel yang membulat dan pada percabangan umbi dan akar lateral. Puru berukuran lebih besar (lebih dari 0.5 cm), berwarna sama dengan warna umbi wortel, umumnya permukaannya licin dan tidak ada pertumbuhan akar rambut dari puru tersebut (Gambar 15b). Puru
memanjang
berbentuk
panjang
mengikuti
panjang
akar.
Terbentuknya puru ini diduga akibat infeksi yang tinggi sehingga menyebabkan
33
jumlah puru yang banyak dan kemudian saling bergabung membentuk puru yang lebih besar dan memanjang (Gambar 15c). Puru seperti kudis ditandai dengan bagian akar yang terlihat seperti kudis, seperti pada bagian akar lateral yang membentuk bulatan mirip kudis (Gambar 15d). Berbeda dengan puru seperti kudis, puru yang berbentuk akar gada menyerupai akar gada yang biasanya terdapat pada famili kubis-kubisan. Bentuknya yang nyaris sempurna akan menyebabkan kesulitan membedakan dengan gejala kubis jika tidak melihat bagian tajuknya (Gambar 15e).
a
c
b
d
e
Gambar 15 Tipe puru pada perakaran wortel (a) puru bulat pada hairy root, (b) puru bulat berukuran besar (+0.5 cm), (c) puru memanjang, (d) puru seperti kudis, (e) puru seperti akar gada. Spesies Meloidogyne Berdasarkan Morfologi Sidik Pantat Pola sidik pantat merupakan salah satu teknik identifikasi nematoda yang diperkenalkan oleh Eisenback et al. (1981). Puru pada akar yang mengandung NPA betina dewasa dipilih dan direndam dalam air pada cawan selama ± 48 jam hingga puru menjadi lunak dan mudah dibedah. Nematoda betina yang diperoleh
34
dipotong, dan diambil bagian sidik pantatnya. Sampel yang diamati berjumlah 150 ekor betina yang dibagi menjadi 50 ekor dari masing-masing lokasi.
a
b
c
d
e
f
g
h
Gambar 16 Pola Sidik Pantat NPA (a) M. incognita, (b) M. javanica, (c) M. arenaria, (d) M. hapla (a-d : Pictorial key), (e) M. incognita, (f) M. javanica, (g) M. arenaria, (h) M. hapla (e-h)hasil pola sidik pantat).
Hasil indentifikasi pola sidik pantat nematoda betina dewasa menunjukan adanya 4 spesies NPA di semua lokasi pengambilan sampel. Keempat spesies tersebut adalah M. incognita, M. javanica, M. arenaria, M. hapla. Masing-masing spesies dapat dikenali berdasarkan ciri khas dari pola sidik pantat yang dimilikinya. M. incognita memiliki ciri khas lengkung dorsal yang tinggi dan menyempit, sedangkan pada bagian paling luarnya sedikit melebar dan agak mendatar, tidak memiliki garis lateral dan bagian stria terlihat jelas. Gambar 16e memperlihatkan ciri khas tersebut dan sesuai dengan pictorial key pada gambar 8a. M. javanica dicirikan oleh dua garis lateral yang sangat jelas. Pada Gambar 16f terlihat jelas garis lateral yang menandakan ciri khas dari M. javanica dan sesuai dengan pictorial key pada gambar 16b. M. arenaria memiliki lengkung dorsal rendah dan ramping di sekitar garis lateral. Bagian lengkung stria bercabang di dekat garis lateral dengan bagian stria atas lebih mendatar. Gambar
35
16g memperlihatkan bagian percabangan di dekat garis lateral. Percabangan inilah yang memudahkan identifikasi terhadap M. arenaria. M. hapla (gambar 16h) dicirikan oleh lengkung dorsal yang rendah dengan bagian ujung sering membentuk sayap ke bagian lateral baik pada satu ujung atau kedua ujungnya. Pada bagian atas anus terdapat duri-duri yang menonjol tepat pada ujung ekornya (Eisenback et al. 1981; Ferris 2008).
Spesies Meloidogyne Berdasarkan Hasil PCR ITS r-DNA Hasil elektroforesis yang divisualisasikan melalui transiluminator UV menunjukan keberadaan empat spesies NPA yaitu M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla. Hal ini memperkuat hasil identifikasi pola sidik pantat yang dilakukan sebelumnya. Pengujian dengan pendekatan biologi molekuler diyakini lebih cepat dan lebih akurat dibandingkan dengan identifikasi karakter morfologi dan pola sidik pantat (Esbendshade and Tirantaphyllou 1990).
M
J1
J2
J3
I1
I2
I3
K-
M
H1 H2 H3
± 1000 bp ± 720 bp ± 440 bp
a M
b
A1 A2 A3
± 420 bp
c Gambar 17
Hasil Amplifikasi DNA Spesies NPA Jawa Tengah (marker 1 Kb ladder). M: Marker, (a) J1-J3: M. javanica lokasi 1-3, I1-I3: M. incognita lokasi 1-3, (b) H1-H3: M. hapla lokasi 1-3, (c) A1-A3: M. arenaria lokasi 1-3, K-: kontrol negatif
36
Gambar
17 menunjukan hasil positif terhadap keberadaan NPA di
masing-masing lokasi yang memiliki ketinggian berbeda. Pada gambar terlihat pita dari tiap spesies yang berbeda ketebalannya, hal ini menunjukan kadar DNA hasil ekstraksi yang berbeda. Pita dari masing-masing spesies dilihat kembali kesesuaiannya dengan ukuran fragmen DNA untuk setiap primer yang digunakan yaitu, M. incognita dengan ukuran fragmen DNA ± 1000 bp, M. javanica berukuran ± 720 bp, M. arenaria berukuran ± 420 bp, dan M. hapla dengan ukuran ± 440 bp. Jenis M. falax (± 670 bp) dan M. chitwood bernilai negatif (tidak teridentifikasi) setelah diuji secara molekuler yang ditandai dengan tidak munculnya pita kedua spesies ini pada hasil elektroforesis. Spesies M. hapla dideteksi dengan teknik PCR multipleks yang merupakan langkah tunggal dengan menggunakan tiga primer sekaligus untuk mendeteksi spesies campuran. Primer ini dapat pula mendeteksi keberadaan M. chitwood dan M. fallax. Primer JMV1 dan JMV2 untuk mendeteksi spesies M. chitwood dan M. fallax, sedangkan primer JMV1 dan JMV-hapla untuk mendeteksi spesies M. hapla. Penggunaan primer multipleks dapat memberikan keuntungan yakni hanya melakukan sekali reaksi tanpa membutuhkan beberapa kali PCR reagen sehingga dapat menghemat biaya bahan dan waktu yang digunakan.
Distribusi Spesies NPA Berdasarkan Ketinggian Tempat Hasil identifikasi pola sidik pantat nematoda betina dewasa menunjukan bahwa pada ketinggian 1300-1500 m dpl terdapat empat spesies NPA yang teridentifikasi, yakni M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla. Nematoda yang teridentifikasi pada lokasi kedua dengan ketinggian 1500-1700 m dpl juga sejumlah empat spesies yang sama pada lokasi pertama. Hasil pada lokasi ketiga pun tidak jauh berbeda, pada ketinggian >1700 m dpl diperoleh empat spesies yang sama seperti di lokasi pertama. Hasil ini menunjukan bahwa keempat spesies NPA tersebut sudah tersebar pada ketiga lokasi yang memiliki ketinggian berbeda walaupun dengan jumlah tiap spesies yang berbeda. Hasil identifikasi pola sidik pantat dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
37
Tabel 5 Prevalensi distribusi NPA pada 3 lokasi pengambilan sampel berbeda ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur. Persentase nematoda pada ketiga ketinggian (%) Spesies Meloidogyne M. incognita M. javanica M. arenaria M. hapla
1300-1500 (m dpl)
1500-1700 (m dpl)
> 1700 (m dpl)
50 14 34 2
58 6 32 4
50 26 18 6
*jumlah sampel sebanyak 50 ekor betina dewasa setiap ketinggian
Dari setiap lokasi yang berbeda ketinggian, diperoleh keempat spesies nematoda yakni M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla. Jenis M. incognita memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga jenis lainnya. Pada ketinggian 1300-1500 m dpl M. incognita memiliki persentase sebesar 50% pada ketinggian 1300-1500 m dpl, 50% pada ketinggian 1500-1700 m dpl, dan 58% pada ketinggian >1700 m dpl. Spesies M. javanica memiliki persentase 26% pada lokasi pertama, 14% pada lokasi kedua, dan 6% pada lokasi ketiga. Jenis M. arenaria memiliki persentase sebesar 18% pada lokasi pertama, 34% di lokasi kedua, dan 32% di lokasi ketiga, sedangkan M. hapla memiliki persentase yang paling kecil yakni 6% di lokasi pertama, 2% di lokasi kedua, dan 4% di lokasi ketiga. Menurut Ferris (2008), suhu optimum untuk pertumbuhan M. incognita dan M. arenaria adalah 15-25 0C sedangkan untuk M. javanica adalah 20-30 0C. hal inilah yang menjelaskan akan besarnya jumlah ketiga spesies ini di lokasi. Kesesuaian suhu optimum yang dibutuhkan untuk tumbuh sesuai dengan suhu lokasi pengambilan sampel. Suhu di lokasi pertama pada siang hari berkisar antara 17-23 0C dan pada malam hari berkisar 13-17 0C. Suhu siang hari di lokasi kedua berkisar antara 16-22 0C dan pada malam hari berkisar antara 12-16 0C. Lokasi ketiga dengan ketinggian tertinggi dari lokasi pertama dan kedua memiliki kisaran suhu 15-19 0C pada siang hari dan 10-15 0C pada malam hari. M. hapla secara ekologis hanya dapat hidup dan berkembang biak pada kisaran suhu optimum 15-20
0
C, suhu optimum yang dibutuhkan untuk
melakukan infeksi adalah 5 0C dan maksimum 35 0C. Adapun suhu minimum untuk pertumbuhan adalah 15 0C dan maksimum 30 0C (Ferris 2008). Di daerah subtropis spesies ini dapat bertahan pada suhu -15 0C selama musim dingin, dan
38
keberadaannya terbatas pada suhu rata-rata kurang dari 27 0C selama musim panas (Taylor et al. 1982). Hasil identifikasi menunjukan keberadaan M. hapla dengan jumlah yang kecil. Spesies ini merupakan patogen yang masuk dalam daftar karantina yang digolongkan sebagai Organisme Pengganggu Tanaman (OPTK) kelas A2. Jenis ini sudah ada di Indonesia namun masih sangat terbatas jumlah dan penyebarannya. Spesies M. javanica masih ditemukan di semua ketinggian. Hal ini menjadi menarik mengingat jenis ini memerlukan suhu untuk hidup dan menginfeksi inang pada kisaran 20-30 0C (Ferris 2008), sedangkan suhu di lokasi lebih rendah. Tingkat adapatasi lingkungan yang tinggi adalah hal yang menyebabkan spesies NPA dapat bertahan hidup dan berkembang di lokasi peneltian. Hasil uji biologi molekuler memperkuat adanya temuan keempat spesies NPA dari hasil identifikasi pola sidik pantat. Semua lokasi yang teridentifikasi keberadaan keempat NPA ini diuji kembali dengan teknik PCR dan mengahasilkan informasi akan keberadaan keempat spesies NPA (Tabel 6).
Tabel 6 Keberadaan spesies NPA pada 3 lokasi pengambilan sampel berbeda ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur berdasarkan hasil uji biologi molekuler (PCR ITS-rDNA) Ketinggian (m dpl) Spesies NPA* 1300-1500 1500-1700 > 1700 M. incognita M. javanica M. arenaria M. hapla Keterangan
+ + + +
* = sudah dibuktikan dengan uji biologi molekuler + = positif terdeteksi : - = negatif (tidak terdeteksi)
+ + + +
+ + + +
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Terdapat empat spesies yang teridentifikasi positif berasosiasi dengan penyakit umbi bercabang pada wortel di Jawa Tengah yakni M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla. Distribusi keempat spesies tersebut tersebar di berbagai ketinggian lokasi, mulai dari ketinggian 1300-1500 m dpl, 1500-1700 m dpl, dan >1700 m dpl. Jenis M. incognita memiliki prevalensi jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga jenis NPA lainnya, yakni
pada
ketinggian 1300-1500 m dpl M. incognita memiliki persentase sebesar 50%, ketinggian 1500-1700 m dpl sebesar 50%, dan ketinggian >1700 m dpl sebesar 58%.
Saran Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut seperti uji Postulat Koch dengan spesies tunggal untuk mengetahui peran dari tiap spesies dalam menimbulkan gejala dan spesies yang paling dominan dalam menyebabkan terjadinya penyakit umbi bercabang di Indonesia. Selain itu, untuk mengatahui kekerabatan dari spesies NPA yang berasosiasi dengan penyakit umbi bercabang sehingga dapat diketahui asal spesies tersebut perlu dilakukan sequencing DNA.
DAFTAR PUSTAKA
Adam MAM, Blok VC, Philips MS. 2007. Molecular diagnostic key for identification of single juveniles of seven common and economically important species of root-knot nematode (meloidogyne spp.). J. Plant Pathol 56:190-197. Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Edisi ke 5. New York: Academic Press. Barker KR, And Campbell CL. 1981. Sampling Nematode Population. Dalam: Zuckerman BM, and Rohde RA, editor. Plant Parasitic Nematodes. Vol. III. New York: Academic Press. Hlm 451-473. [BPP] Biro Pengelolaan Pertanian Marsudi Tani. 2010. Program Penyuluhan Pertanian Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo Tahun 2010. http://www.wonosobokab.go.id/wonosobo/index.php?option=com_conte nt&view=article&id=12&Itemid=86.[20 Oktober 2011]. [BPS] Badan Pusat Statistika Republik Indonesia. 2010. Produksi sayuran Indonesia. Jakarta. http://www.bps.go.id/sector/agri/horti/index.html. [20 Oktober 2011]. Cenis JL. 1993. Identification of the morphological taxonomy of Meloidogyne spp., with reference to their race. Nematol. Soc. Tsubaka, 29-39 Japanese. Davis M, E Sorensen, and J. Nunez. 2005. Crop Profile for Carrots in The United States,http://pestdata.ncsu.edu/cropprofiles/Details.CFM?FactSheets_Re cordID=167 [20 Agustus 2009] Direktorat Gizi. 1979. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Dropkin V. 1991. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Edisi kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Endah HJ, Novizan. 2002. Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman. Jakarta: Agro Media Pustaka. Eisenback JD, H. Hirschman, JN. Sasser, AC. Triantaphyllou. 1981. A Guide to the Four Most Common Species of Root-Knot Nematodes (Meloidogyne spp.), with A Pictural Key. Cooperative Publication Departement of Plant Pathology. North Carolina State University and U.S Agency International Development, Washington D.C, North Carolina State University Graphics. Eisenback JD, Triantaphyllou HH. 1991. Root-knot nematode: Important nematode parasite. Dalam: Kinloch RA, Barker KR, Pederson GA,
41
Windham GL, editor. Plant and Nematode Interactions. USA: ASA, CSSA, SSA, Publishers. Esbenshade PR, Triantaphyllou AC. 1990. Isozyme phenotypes for the identification of Meloidogyne species. J. Nematol 22:10-15. Ferris H. 2008. Meloidogyne hapla. http://www.nematode.unl.edu/mhap.htm [20 Oktober 2011]. Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Divisi Buku Perguruan Tinggi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hay F. 2005. Nematode control in carrots. Tasmanian Institut of Agricultural Research. http://www.horticulture.com.au[20 Oktober 2011]. Hyman B, Powers T, Harris T. 1997. Workshop: Molecular Approaches to Nematode Identification. University of Arizona. Honggodipuro. 2003. Tanaman obat Indonesia. http://www.sinarharapan.co.id [1 September 2009]. Karssen G. 2000. The Plant-Parasitic Nematode Genus Meloidogyne Göldi, 1892 (Tylenchida) in Europe. Brill Academic Publishers, Leiden, The Netherlands. Keliat SD. 2008. Analisis sistem pemasaran wortel [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Kurniawan W. 2010. Identifikasi penyakit umbi bercabang pada wortel, Daucus carota (L.) di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lamberti F and Taylor CE. 1979. Root Knoot Nematodes Biology and Control. London: Academic Press. Li H, Gyllensten UB, Cui X, Saiki RK, Erlich HA, Arnheim N. 1988. Amplification and analysis of DNA sequences in single human sperm and diploid cells. Nature, 355:414-417. Luc M, Sikora RA, Bridge J. 1995. Plant Parasitic Nematodes in Subtropical and Tropical Agricultural. Ed ke-2. USA: CABI Publishing. Mayberry KS. 2000. Sample Cost to Establish and Produce Carrots, Imperial County – 2000. University of California Cooperative Extension, Circular 104-V August 2000, item no. CR-IM-00, pp.1-9. Meng QP, Long H, Xu JH. 2004. PCR assay for rapid and sensitive identification of three major root-knoot nematodes, Meloidogyne incognita, M. javanica, and M. arenaria. Acta Phytopathologica Sinica 34:204-210. Muladno. 2010. Teknologi Rekayasa Genetika. Edisi ke-2. Bogor: IPB Press.
42
Nunez J, Hartz T, Susulow T, Mc Giffen M, Natwick ET. 2008. Carrot Production in California. University of California Division of Agriculture and Natural Resources. http://anrcatalog.ucdavis.edu. [1 September 2009]. Orui Y. 1998. Identification of Japanese species of the genus meloidogyne (Nematoda: Meloidogynidae) by PCR-RFLP analysis. Appl. Entomol zool. 33:43-51. Pohan RA. 2008. Analisis usaha tani dan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani wortel [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Powers TO, Harris TS. 1993. A polymerase chain reaction method for identification of five major Meloidogyne spp. J. Nematol 25:1-6. Rayes, M. L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta. Rukmana R. 1995. Bertanam Wortel. Yogyakarta: Kanisius. Semangun H. 2006. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Shurtleff MC, Averre CW. 2005. Diagnosing Plant Disease Caused by Nematodes. USA: APS Press Minnesota. Sorensen
E, and Long G. 2000. Carrot IPM Survey http://ipm.wsu.edu/survey/carrot.html.[2 September 2009].
Resault.
Southey JF, editor. 1978. Plant Nematology. London: A.D.A.S Plant Pathology Laboratory, Harpenden. Tanaka JS, Nakagawa Y, and Sakuoka R. 1997. Carrots. College of Tropical Agriculture and Human Resources University of Hawai. Taylor AL, Sasser JN, Nelseon LA. 1982. Relationship of climate and soil characteristics to geographical distribution of Meloidogyne species in agricultural soil. Cooperative publication Departemen of Plant Pathology. North Carolina State University and U.S. Agency International Development, Washington D.C., north Carolina State University Graphics. Tindall HD. 1987. Vegetable Product in The Tropics. Mac Millan Education Ltd. London. Trigiano, N Robert, Mark T Widham, Widham AS. 2004. Plant Pathology Concept and Laboratory Exercise. CRC Press. Washington D.C. Vrain TC. 1982. Relationship between Meloidogyne hapla density and damage to carrots in organic soil. J Nematol 14:50-57. Vrain TC. 1999. Engineering natural and synthetic resistence for nematode management. J Nematol 31:424-436.
43
Williamson VM & Richard SH. 1996. Nematode pathogenesis and resistence in plant. J The Plant Cell 8:1735-1745. Yeates C, Gillings MR, Davison AD, Altavilla N, Veal DA. 1998. Methods for microbial DNA extraction from soil for PCR amplification. Biol Proc. Online, 1:40-47. Yulistiana R, Purnamasari P, Arilianti YN, Santoso MP, Sutjipto A. 2011. Program peningkatan ketahanan pangan dan peningkatan kegiatan pertanian berbasis pemberdayaan sosial, ekonomi, dan lingkungan [laporan Kegiatan KKP Fakultas Pertanian 2011]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Zijlstra C, Lever AEM, Uenk BJ, van Silfhout CH. 1995. Difference between ITS regions of isolated of root-knot nematodes Meloidogyne hapla and M. chitwoodi. Phytopathology. 85:1231-1237. Zouhar M, Tesarova B, Ryanek P. 2001. Survey of occurrence and moleculer detection of nematodes from the genus Meloidogyne in the Czech Republic. Dalam: Book of abstracts. Vol IV. Int. Nematol. Symp. Moscow, june 11-14, 2001:174.