Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 1 Januari 2006
TELAAH RESIDU ORGANOKLOR PADA WORTEL Daucus Carota L. DI KAWASAN SENTRA KAB. KARO SUMUT Karya Sinulingga Staf Pengajar Jurusan Fisika F-MIPA UNIMED
Abstrak: Penelitian ini dilakukan penulis dengan tujuan untuk menganalisis kandungan residu pestisida organoklor terhadap sampel wortel yang merupakan hasil panen dari beberapa lahan milik petani di mana sampel I diduga adalah petani pemakai pestisida dosis/frekuensi relatif tinggi sedangkan sampel II diduga adalah petani pemakai pestisida dosis/frekuensi relatif sedang/rendah. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Kromatografi Gas (KG) yang diuji di Laboratorium Pestisida Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Barat, Padang. Hasil analisis menunjukkan pada sampel I dan II terdapat residu dari golongan organoklor yakni dengan bahan aktif Gamma BHC, Aldrin, dan Endosulfan di mana residu dari bahan aktif Aldrin (sampel I) telah melampaui Batas Maksimum Residu (BMR) sesuai dengan SK Bersama Menkes dan Mentan. Kata kunci: BMR, efek residu, pencemaran lingkungan Abstract: The aims of the research is to analysis the content of pesticide especially organochlor residu at carrot sample. The method used in this study is quantitative analysis method with the gas chromatograph to analysis the pesticide residu at carrot sample. The result of analysis show that residu of pesticide Organochlor in carrot sample for the assumption of high usage pesticide namely Gamma BHC, Aldrin and Endosulfan, from the third type Aldrin at sample 1 (one) which residu far exceed the maximum boundary of residu (BMR) whereas Gamma BHC and Endosulfan with the certain rate and still under BMR. However in sample 2 (two) for the assumption of low usage pesticide indication the third type there is but it is not detected. For the faction of organochlor residu Aldrin in carrot of high pesticide usage assumption have abysmal of BMR. Keywords: BMR, Residual effect, Environmental Toxicology
PENDAHULUAN Latar Belakang Laju pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan manusia akan pangan maka pertanian harus dikembangkan menjadi pertanian yang menerapkan berbagai teknologi (termasuk pengendalian hama dengan penggunaan bahan kimia atau pestisida). Pada awal abad ke-20, revolusi pengendalian hama berkembang dengan menggunakan pestisida. Hampir semua kegiatan pertanian di seluruh dunia menerapkan pengendalian hama dengan menggunakan pestisida. Bersamaan dengan hal tersebut, bermunculannya pabrik pestisida secara besar-besaran di negara maju. Awal tahun 1990-an, pengendalian hama dengan penggunaan pestisida dianggap cara yang paling aman dan baik. Namun anggapan tersebut berkurang dengan adanya laporan penelitian dan kasus-kasus yang terjadi akibat penggunaan pestisida yang berlebihan. Beberapa jurnal penelitian entomologi dan ahli lingkungan melaporkan bahwa pestisida dapat menimbulkan resistensi hama, ledakan hama, timbulnya hama sekunder, kontaminasi lingkungan, terdapatnya 92
efek residu pada hasil pertanian dan peternakan serta mengganggu kesehatan manusia. Bahan kimia pestisida yang memiliki persistensi/beresidu tinggi dikategorikan sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang merupakan suatu bahan yang karena sifat dan atau konsentrasi atau jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia, serta makhluk hidup lainnya. Layaknya belajar dari pengalaman, masyarakat telah merasa puas dengan penggunaan pestisida, maka sulit sekali untuk mengubah pola pikirnya, sehingga penyalahgunaan dalam penggunaan pestisida sudah menyebar. Berbagai media cetak di tanah air menyatakan bahwa sikap keras pemerintah Singapura yang mengimpor sayur mayur dari Indonesia khususnya dari Tanah Karo Sumatera Utara di mana mereka menganggap sayur mayur tersebut tidak memenuhi standar. Sebaliknya pemerintah Indonesia belum cukup berani membuat perlakuan keras terhadap buah-buahan
Telaah Residu Organoklor pada Wortel... Karya Sinulingga
impor yang terbukti mengandung residu pestisida yang terlarang di Indonesia. Berdasar hal tersebut, peneliti konsern untuk menganalisis residu pestisida pada wortel (Daucus carota) di mana wortel termasuk salah satu jenis sayuran berumbi yang banyak diusahakan petani di Kabupaten Karo. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Karo tahun 2002 luas panen wortel adalah 2.321 ha, produksinya 56.259 ton dengan rata-rata produktivitas 242,39 kw/ha. Wortel juga termasuk salah satu tanaman umbi komoditas ekspor dan termasuk jenis sayuran umbi yang sering dikonsumsi langsung tanpa dimasak terlebih dahulu. Perumusan Masalah Masalah yang dirumuskan adalah sejauh mana kandungan residu organoklor pada hasil panen wortel milik petani. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis kandungan residu organoklor pada hasil panen wortel milik petani. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian bahwa diduga residu organoklor pada sampel wortel hasil panen masih ditemukan Kegunaan Penelitian Adapun urgensi penelitian adalah sebagai bahan informasi penting bagi masyarakat pemerhati lingkungan, Dinas Pertanian dan Dinas Kesehatan Kabupaten Karo. TINJAUAN PUSTAKA Definisi dan Klasifikasi Pestisida Bahan kimia yang digunakan untuk membasmi semua jenis jasad pengganggu dikenal sebagai pestisida. Bagi para petani, jasad pengganggu ini meliputi: hama, penyakit, dan gulma yang merugikan tanaman. Sedangkan bagi orang kota, jasad pengganggu ini meliputi serangga pembawa kuman (vektor) penyakit, merusak bangunan, alat-alat rumah tangga, dan lain-lain. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 tentang Peredaran Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida, pada pasal 1 disebutkan bahwa pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah hama atau penyakit yang merusak
tanaman, atau hasil pertanian, memberantas hama ternak, hama air, hama dalam rumah tangga, vektor penyakit pada manusia atau hewan yang dilindungi dan juga memberantas gulma serta mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman. Sesuai dengan definisi tersebut dibuat, diedarkan atau disimpan untuk maksud penggunaan seperti di atas. Organoklor adalah senyawa insektisida yang mengandung atom-atom karbon, klor dan hidrogen dan kadangkala oksigen. Senyawa DDT dan BHC (Benzena Hexa Chlorida) merupakan senyawa Organoklor yang pertama kali di ketahui mempunyai sifat sebagai racun serangga. Senyawa dari golongan ini khususnya DDT telah mencatat sejarah di dalam penggunaan pestisida sepanjang abad XX. Golongan senyawa ini memiliki formula umum CxHyClz. Golongan ini di bagi 3 sub golongan utama yaitu DDT, BHC dan Siklodien (Sudarmo, 1991). Transportasi Pestisida di Lingkungan Di dalam lingkungan, pestisida diserap oleh berbagai komponen lingkungan, kemudian terangkut ke tempat lain oleh air, angin atau organisme yang berpindah tempat. Ketiga komponen lingkungan ini kemudian mengubah pestisida tersebut melalui proses kimiawi atau biokimiawi menjadi senyawa lain yang masih meracun atau senyawa yang bahkan telah hilang sifat meracunnya. Yang menjadi perhatian utama dalam toksikologi lingkungan ialah berbagai pengaruh dinamis pestisida dan derivat-derivatnya setelah mengalami perubahan oleh faktor lingkungan secara langsung atau oleh faktor hayati terhadap sistem hayati dan ekosistemnya. Air merupakan medium utama bagi transportasi pestisida. Pindahnya pestisida dapat bersama partikel air atau debu pembawa. Pestisida dapat pula menguap karena suhu yang tinggi (pembakaran). Pestisida yang di udara bisa kembali ke tanah oleh hujan atau pengendapan debu. Dalam menelaah dinamika pestisida di lingkungan terdapat dua istilah yang berhubungan yakni deposit dan residu. Deposit ialah materi yang terdapat pada permukaan segera setelah aplikasi, sedangkan residu merupakan materi yang terdapat di atas atau di dalam benda lain setelah beberapa saat atau mengalami penuaan (aging), perubahan kimia (alteration) atau keduanya. Residu permukaan atau residu efektif ialah banyaknya materi yang 93
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 1 Januari 2006
tertinggal, misalnya pada tanaman setelah aplikasi. Residu permukaan dapat hilang karena pencucian (pembilasan), penggosokan, hidrolisis, dan sebagainya. Pembilasan bukan hanya terjadi pada pestisida hidrofilik tetapi juga yang lipofilik. Dalam waktu 1 – 2 jam setelah aplikasi pestisida, kemungkinan besar 90% deposit telah hilang karena pencucian oleh air hujan. Sisanya biasanya terurai oleh sinar ultraviolet. Banyak jenis pestisida lipofilik yang cenderung berakumulasi (menumpuk) pada lapisan malam (lilin) dan lemak tanaman, terutama di bagian kulit. Itu sebabnya sayuran atau buah terutama yang dimakan mentah perlu dicuci atau dikupas dahulu. Insektisida yang tersimpan dalam lemak tidak atau kecil kemungkinannya untuk terdegradasi karena yang lipofilik biasanya bersifat stabil atau persisten. Ada tujuh faktor yang mempengaruhi nasib deposit pestisida dalam tanah yaitu: ¾ Pencucian oleh air hujan ¾ Penguapan, terutama karena penguapan air ¾ Degradasi atau aktivitas oleh mikroorganisme dalam tanah ¾ Dekomposisi fisiokimia maupun aktivitas yang terjadi karena kondisi dan komponen taah yang bersifat katalis. ¾ Dekomposisi oleh cahaya surya (fotodekomposisi) dan ¾ Translokasi melalui sistem hayati baik tanaman maupun hewan ke lingkungan yang lain. Dampak dan Persistensi Pestisida di Lingkungan Pestisida yang banyak digunakan para petani di Indonesia dalam usaha-usaha pengolahan lahan pertaniannya sebenarnya memiliki banyak dampak negatif yang ditimbulkannya di lingkungan. Dampak negatif
tersebut antara lain adalah: a. Menimbulkan resistensi pada hama pertanian, misalnya beberapa jenis ordo Lepidoptera. b. Menurunkan populasi predator baik dari golongan serangga, burung, maupun ikan yang sebenarnya bukan sasaran. c. Menurunkan populasi organisme-organisme yang berperan penting dalam menjaga kesuburan tanah (cacing tanah, jamur-jamur, dan serangga tanah). d. Menghambat aktivitas fiksasi nitrogen pada kacang-kacangan (menghambat aktivitas bakteri nitrat dan nitrit). e. Tidak terdegradasi di lingkungan sehingga residunya akan terdistribusi melalui rantai makanan. f. Menimbulkan keracunan pada hewan ternak dan manusia. g. Racun pestisida dapat terakumulasi melalui rantai makanan dan dapat mengkonsentrasikan pestisida pada tubuhnya hingga mencapai 20 kali konsentrasi pestisida pada tanah sekitarnya. h. Karena peristiwa akumulasi tersebut (bioakumulasi) melalui rantai makanan, pestisida cenderung untuk lebih terkonsentrasi pada organisme yang menempati piramida makanan yang lebih tinggi. Salah satu organisme itu adalah manusia. Hal ini menyebabkan manusia rawan untuk teracuni oleh pestisida, yang menurut penelitian diduga kuat termasuk bahan karsinogenik atau penyebab kanker. Persistensi dari beberapa pestisida organoklor dalam tanah dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 1. Persistensi Beberapa Pestisida dari Golongan Organoklor Insektisida Aldrin Klordan Endrin Heptaklor Dilan
Isodrin BHC Toksafen Dieldrin DDT
Sumber: Kusnaedi, 2001 94
Lama setelah aplikasi (tahun) 14 14 14 14 14
14 14 14 14 14
Sisa yang tertinggal (%) 40 40 41 16 23
15 10 45 31 39
Telaah Residu Organoklor pada Wortel... Karya Sinulingga
Persistensi adalah daya tahan pestisida di dalam tanah. Ini biasanya terjadi pada jenis-jenis pestisida yang diaplikasikan ke tanah. Ada jenis pestisida tertentu yang bisa bertahan di dalam tanah sampai puluhan tahun, misalnya aldrin dan dieldrin bisa bertahan sampai 10 tahun pada tanah, maka kedua jenis ini tidak boleh beredar (Wudianto, 1988). Senyawa-senyawa organoklorin terkenal sangat persisten, yakni tidak mudah diuraikan di alam, juga tidak mudah disekresikan bila masuk ke dalam tubuh hewan dan manusia. Oleh karena itu senyawa ini dapat terus berada dalam tubuh organisme dan berpindah dari organisme yang satu ke organisme lainnya melalui rantai makanan. Konsentrasinya juga cenderung makin meningkat jika tingkat trofik yang dilalui makin tinggi (Matthews, 1984). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Inggris di mana penggunaan DDT dan dieldrin pada tanaman sejak tahun 1948 dan seterusnya berpengaruh signifikan terhadap burung-burung predator, seperti elang yang mengalami keracunan karena telah memakan mangsa-mangsa yang telah tercemar pestisida. Akhirnya hasil pertanian di daerah Inggris bagian selatan memang meningkat terus tetapi berbagai jenis burung menjadi semakin jarang dijumpai lagi. Hal ini dapat dibuktikan dengan cara mengukur ketebalan kulit telurnya pada waktu sebelum dan sesudah digunakan pestisida (Matthews, 1984).
Keadaan iklim tropis di Indonesia juga menyebabkan cepatnya sisa-sisa tumbuhan dan hewan terdekomposisi sehingga terdapat kandungan bahan organik yang tinggi di atas permukaan tanah terutama di lahan pertanian yang landai. Residu pestisida akan terserap pada partikel bahan organik berakibat persistensi yang lebih mantap. Lebih-lebih lagi dengan aplikasi DDT yang begitu tinggi di masa lampau, maka masalah persistensi di Indonesia tidaklah ringan (Achmadi, 2003). BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada kawasan sentra utama wortel di Kabupaten Karo Sumatera Utara Metode Penelitian Sesudah sampel diambil untuk kemudian diuji dan dianalisis dengan metode analisis yang menggunakan kromatografi gas untuk golongan organoklor di mana metode pengujiannya sesuai dengan “Metode Pengujian Residu Pestisida dalam Hasil Pertanian” yang dikeluarkan oleh Komisi Pestisida Departemen Pertanian, dan selanjutnya sampel tersebut dianalisis di Laboratorium Pestisida BPTPH Sumbar (di mana; sampel 1 (satu) diasumsikan berasal dari lahan petani pemakai pestisida relatif tinggi sedangkan sampel 2 (dua) diasumsikan berasal dari lahan petani pemakai pestisida relatif rendah/sedang).
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 2. Hasil Analisis Residu Pestisida (ppm) No.
Sampel Uji
1.
Wortel (Sampel I)
2.
3.
Wortel (sampel II) Tanah Wortel (Sampel I)
Parameter
Organoklor - Gama BHC - Aldrin - Endosulfan Organoklor - Gama BHC - Aldrin - Endosulfan Organoklor - Endosulfan - pp DDT
Metode Analisis
Batas Penetapan (Ppm)
Hasil Analisis (Ppm)
Batas Maksimum Residu* (Ppm)
Kromatografi Gas
0,012 0,120 0,006
0,0292 **0,6984 0,0236
0,50 0,10 0,20
Kromatografi Gas
0,012 0,120 0,006
ttd ttd ttd
0,50 0,10 0,20
Kromatografi Gas
0,006 0,060
0,0289 ttd
-
Keterangan: t t d = tidak terdeteksi *= Keputusan Bersama Menteri 881/Menkes/SKB/VIII/1996 711/Kpts/TP.270/8/9 ** = Melampaui BMR
Kesehatan
dan
Menteri
Pertanian
Nomor:
95
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 1 Januari 2006
Dari hasil analisis residu pestisida (Tabel 2) dapat diketahui bahwa pada sampel I dan II masih terdapat residu dari golongan organoklor yakni Gamma BHC, Aldrin, dan Endosulfan. Pada sampel I untuk Gamma BHC residunya masih di bawah Batas Maksimum Residu (BMR), sedangkan residu Endosulfan sedikit melampaui BMR, tetapi residu dari Aldrin jauh melebihi BMR yang ditetapkan pemerintah. Pada sampel II ada indikasi residu Gamma BHC, Aldrin, dan Endosulfan, namun kandungan residunya tidak terdeteksi karena berada di bawah batas penetapan. Di sini dapat dibedakan bahwa untuk residu pada sampel I yakni asumsi pemakaian pestisida yang relatif tinggi lebih signifikan residunya ketimbang sampel II yakni asumsi pemakaian pestisida yang rendah. Kalau kita lihat dari hasil analisis untuk golongan organoklor baik untuk sampel wortel dan tanah terlihat bahwa residu pada tanah tidak terindikasi adanya residu Gamma BHC dan Aldrin seperti pada wortel, tetapi yang terindikasi adalah residu ppDDT walaupun kadar residu tidak terdeteksi dan diduga berasal dari penyemprotan pada masa-masa sebelumnya. Residu terindikasi Endosulfan sama terdapat pada wortel dan tanah dengan yang diduga ada indikasi penyemprotan dari pestisida ini di mana kandungan residu pada tanah lebih tinggi dibanding pada wortel. Sebagaimana diperoleh keterangan bahwa pada tahun-tahun sebelumnya pestisida ini pernah terkenal dengan nama merk dagangnya adalah tiodan dan sevidan. Sedangkan pestisida ini menurut petani/PPL/toko pestisida tidak digunakan lagi sejak lima tahun belakangan. Kemungkinan lain munculnya residu jenis ini diduga berasal dari penyemprotan masa sebelumnya (5 atau 10 tahun lalu). Demikian juga halnya dengan Gamma BHC dengan nama dagang yang terkenal adalah Lindan di mana diduga residu berasal dari penyemprotan sekarang atau musim-musim tanaman sebelumnya. Pada tanah, ada indikasi ppDDT meskipun kandungannya tidak terdeteksi atau di bawah limit deteksi. Residu ini diduga berasal dari penggunaan pestisida ini pada tahun-tahun sebelumnya di mana sifat atau jenis pestisida organoklor menurut literatur memiliki residu sampai ± 14 tahun. Fakta yang terjadi di lapangan adalah petani kita jarang melakukan sistem monitoring terhadap hama/penyakit artinya penggunaan pestisida dilakukan secara terjadwal, ini 96
disebabkan pengetahuan petani yang sangat minim tentang sistem pemantauan populasi hama/penyakit, kurangnya pemahaman tentang predator hama atau serangga berguna, rasa takut berlebihan akan kehilangan hasil panen berupa kualitas dan kuantitas. KESIMPULAN 1. Masih terdapatnya residu pestisida organoklor pada wortel untuk asumsi pemakaian pestisida tinggi yakni Gamma BHC 0,0292 ppm (residu < BMR = 0,50 ppm), Aldrin 0,6984 ppm (residu > BMR = 0,10 ppm), dan Endosulfan 0,0236 ppm (residunya < BMR = 0,20 ppm). 2. Masih terindikasi residu pestisida organoklor pada wortel untuk asumsi pemakaian pestisida rendah yakni Gamma BHC, Aldrin, dan Endosulfan, namun kadarnya tidak terdeteksi. 3. Masih terdapat residu organoklor pada tanah wortel (sampel I) yakni Endosulfan 0,0289 ppm sedangkan indikasi ppDDT ada namun tidak terdeteksi. 4. Masih terindikasi residu pestisida endosulfan dan ppDDT serta Deltametrin dan Betasiflutrin pada tanah untuk asumsi pemakaian pestisida rendah (sampel II), namun kadarnya tidak terdeteksi. DAFTAR PUSTAKA Achmadi, S.S., 2003. Nasib Bahan Kimia POPs di Lingkungan. Seminar Pelatihan Inventori POPs. Jakarta. 4 Halaman. Karmisa, I., 2003. Kebijakan Pemerintah Mengenai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), Seminar untuk Training-Workshop Prosedur Inventarissasi POPs, 13 Januari 2003. Bagian Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan. KLH. Jakarta. Matthews, G. A., 1984. Pest Management. Published in the United States of America by Longman Inc. New York. 72 Pages. Mulianingsih, L., 2003. Bahan Pencemar Organik yang Persisten. Seminar Trainin. Workshop Prosedur Inventarisasi POPs. Jakarta. 12 Halaman. Sastroutomo, S., 1992. Pestisida dan Dampak Penggunaannya. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Halaman 1-26. Sudarmo, S., 1991. Pestisida. Kanisius. Yogyakarta, Halaman 9-34.
Telaah Residu Organoklor pada Wortel... Karya Sinulingga
Suryaman, G.E., 1995. Pengamanan Penggunaan Pestisida. Balai Pustaka. Jakarta. Halaman 3-9. Tarumingkeng, Rudy. C., 1992. Insektisida; Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta.
Wudianto, R., 1988. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta. 21 halaman.
97