2
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dasar pertimbangannya ialah sebagai Negara yang berdasarkan pancasila, sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunya dasar agama/ kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir / jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga. Demikian juga dengan Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan pasal 56 sampai dengan pasal 58 KHI serta pasal 40 sampai dengan pasal 44 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, diatur juga mengenai syarat diperbolehkan seorang laki-laki melakukan poligami, yaitu wajib mengajukan permohonan ke pengadilan agama untuk memperoleh izin dengan syarat sebagai berikut : 1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri 2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan 3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan 4. Adanya persetujuan dari isteri 5. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri dan anak-anak mereka 6. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri- isteri dan anak-anak mereka Makna dari ketentuan di atas adalah sebagai upaya untuk melindungi hak dan kewajiban seorang isteri dalam suatu perkawinan. Akan tetapi pada
3
kenyataannya banyak terjadi perkawinan poligami yang dilakukan tanpa melalui tata cara atau prosedur yang sesuai dengan ketenuan Undang-Undang yang berlaku. Dan pada umumnya akan mengancam perlindungan hak dan kewajiban seorang isteri. Meskipun ketentuan tersebut telah diatur, pada prakteknya terjadi penyimpangan. Kasus yang terjadi terhadap harta poligami pada masyarakat membuktikan bahwa ketentuan yang ada tidak berlaku efektif. Dalam hal seorang suami berpoligami atau beristeri lebih dari seorang maka berlaku ketentuan isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi. Mereka mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing. Terhadap suatu peralihan hak atas harta yang didapat dalam perkawinan poligami khususnya harta benda tidak bergerak berupa tanah dan/ bangunan, maka setiap peralihan hak tersebut haruslah dilakukan dihadapan pejabat yang khusus ditunjuk untuk itu yaitu Pejabat Notaris-PPAT. Kenyataan hukum di lapangan khususnya menyangkut tindakan hukum Notaris-PPAT dalam menangani peralihan hak atas tanah/bangunan suatu harta perkawinan poligami banyak berpotensi konflik. Notaris-PPAT adalah Pejabat umum yang berwenang dalam membuat Akta Otentik sejauh dalam pembuatan Akta Otentik tertentu tidak dikhususkan bagi Pejabat umum lainnya. pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh perturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan
4
Notaris-PPAT, bukan saja karena diharuskan oleh pertauran perundangundangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukumbagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat keseluruhan. Melalui akta otentik yang dibuat dihadapan NotarisPPAT yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya konflik atau sengketa. Selain itu, dalam kenyataan, Notaris-PPAT acapkali menghadapi dilema. Di satu pihak, mereka harus tunduk pada ketentuan hukum dengan sifatnya yang normatif. Dipihak lain, kenyataan lapangan yang begitu kompleks seiring tidak bisa ditangani dan ditampung oleh peraturan yang begitu kaku. Oleh karena itu, dalam konteks situasi tersebut Notaris-PPAT melakukan penafsiran terhadap peraturan yang ada untuk menangani kliennya. Penafsiran dalam konteks situasi antara Notaris-PPAT dan klien tidak dapat dihindari. Disatu sisi, Notaris-PPAT karena fungsinya harus melayani klien, sedangkan disisi lain, klien membutuhkan pelayanan tanpa terlalu peduli dengan peraturan-peraturan yang mengikat Notaris-PPAT. Selain itu, dalam upaya menjaga kelangsungan pekerjaannya, Notaris-PPAT membutuhkan klien, sementara klien sering tidak mau direpotkan oleh persyaratan teknis yang disyaratkan secara hukum. Secara hukum dalam pelaksanaan tugasnya, Notaris-PPAT pada dasarnya tertumpu pada kegiatan pembuatan Akta yang serba formal-prosedural, meski disamping tugas tersebut ia dapat juga
5
memberi nasehat hukum. Dikatakan demikian karena kewajibannya hanya melayani pengesahan perbuatan hukum dari pihak-pihak yang memakai jasanya. Itulah sebabnya perjanjian dan pernyataan yang dibuat oleh NotarisPPAT dalam bentuk akta merupakan perbuatan dari para pihak yang meminta jasanya untuk membuat pengesahan formal. Pada dataran empiris tidak tertutup kemungkinan transaksi atau perbuatan hukum para pihak yang mengandung permasalahan-permasalahan yang tidak sekedar formal-yuridis, tetapi juga non-yuridis. Oleh karena itu, berbagai kemungkinan konflik yang bersifat sosial, kultural, ekonomi, politik, dapat saja menjadi bagian inheren dalam perbuatan hukum tersebut. Justru karena tugas dan kewenangan Notaris-PPAT hanya bersifat menyaksikan dan mengesahkan perbuatan hukum yang dibuat oleh para pihak, maka konflik-konflik laten merupakan hal yang niscaya dalam sebuah akta. Seperti diketahui, Notaris Indonesia tergolong dalam Notaris latin, yang menurut Black adalah orang yang mencatat apa yang dikatakan oleh orang lain atau orang yang menyalin apa yang telah ditulis oleh orang lain. Ciri Notariat latin adalah bahwa ia melaksanakan tugas melayani kebutuhan masyarakat dalam ruang lingkup hukum privat/perdata. Karena ia adalah amanuensis, hanya mengkonstatir apa yang dikatakan orang atau para pihak, maka ia bersikap dan berkedudukan netral. Ia bukanlah pihak dalam akta yang dibuat dihadapannya, karena itu ia harus dapat memberikan jalan dalam jalur hukum yang berlaku agar maksud para pihak yang meminta bukti tertulis akan terjadinya hubungan hukum diantara para pihak dapat tercapai sesuai dengan
6
kehendak mereka. Disini, tuntutan utamanya adalah pengetahuan hukum yang luas dari seorang Notaris-PPAT agar dapat meletakkan hak dan kewajiban para pihak secara proporsional sehingga masing-masing pihak memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya. Notaris-PPAT adalah pejabat yang berwenang untuk membuat akta terhadap peralihann hak atas tanah. Perbuatan hukum mengenai hak atas tanah seperti Jual-Beli, Penghibahan, Pembebanan, Hak Tanggungan, Penyertaan Modal dan Pembebanan hak lain yang dilakukan berdasarkan akta yang dibuat oleh Pejabat. Pejabat yang dimaksud adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang diberi kewenangan untuk membuat akta yang berkaitan dengan tanah. Setelah keluarnya UUPA, semua peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat yang ditunjuk, Pejabat yang dimaksud adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dalam perkembangan dimasyarakat banyak terjadi perbuatan yang tidak terang, tidak sah yang tidak berlaku terhadap pihak-pihak atau juga pihak ketiga seperti yang terjadi dalam prilaku masyarakat hukum terhadap suatu perkawinan poligami. Perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dalam suatu harta perkawinan poligami haruslah memenuhi beberapa persyaratan yang diatur sebagaimana peraturan perundang-undangan. Untuk peralihan hak atas tanah, balik nama, terhadap permasalahan tersebut haruslah secara terang dan sah. Akan tetapi di dalam kenyataannya dalam praktik, masih saja banyak kita? jumpai peralihan hak atas tanah terhadap harta perkawinan poligami terjadi sengketa, disebabkan oleh berbagai macam alasan-alasan dan masih
7
banyaknya permasalahan mengenai peralihan hak itu sendiri. Permasalahan itu antara lain mengenai proses peralihan hak atas tanah/ bangunan bagi seorang suami yang melakukan perkawinan poligami yang dijumpai dan seberapa jauh akibat hukum jika suami yang berpoligami tidak mengikutkan isteri-isterinya dalam pengalihan hak atas tanah/ bangunan yang dilakukan dihadapan Notaris-PPAT. Maka berdasarkan latar belakang itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai ” Peralihan Hak Atas Tanah/ Bangunan di Hadapan Notaris-PPAT Bagi Suami Yang Melakukan Perkawinan Poligami”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis ini yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana proses peralihan hak atas tanah/ bangunan bagi suami yang melakukan perkawinan poligami? 2. Apa akibat hukum jika suami yang berpoligami tidak mengikutkan isteriisterinya dalam pengalihan hak atas tanah/ bangunan dihadapan NotarisPPAT? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Umum a. Untuk melatih dan mengasah kemampuan mahasiswa dalam menyatakan pemikiran dan pemahamannya di bidang peralihan hak
8
atas tanah/bangunan yang perbuatan hukumnya dilakukan dihadapan Notaris-PPAT. b. Sebagai karya ilmiah yang diperuntukkan guna memenuhi kewajiban yang sifatnya akademis, dalam rangka mengajukan usulan penelitian. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui dan menganalisis Proses Peralihan Hak Atas Tanah/ Bangunan di Hadapan Notaris-PPAT Bagi Suami yang Melakukan Perkawinan Poligami b. Untuk mengetahui dan menganalisis Akibat Hukum Suami yang Melakukan Perkawinan Poligami Dalam Perbuatan Hukum Peralihan Hak Atas Tanah/ Bangunan di Hadapan Notaris-PPAT. D. Manfaat Penelitian Penelitan ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran, manfaat, dan kontribusi di bidang ilmu hukum baik teoritis maupun praktis sebagai berikut: 1. Secara teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan akan mampu menguatkan teori-teori yang telah ada dan dapat dijadikan sebagai perbandingan antara teori-teori yang ada dan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi perkembangan hukum khususnya mengenai Peralihan Hak Atas Tanah/Bangunan di Hadapan Notaris-PPAT Bagi Suami yang Melakukan Perkawinan Poligami.
9
2. Secara Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para praktisi, maupun bagi pihak yang terkait mengenai Peralihan Hak Atas Tanah/ Bangunan di Hadapan Notaris-PPAT terhadap suami yang berpoligami. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Gadjah Mada, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Magister Kenotariatan menunjukkan bahwa penelitian dengan judul Peralihan Hak Atas Tanah/ Bangunan di Hadapan Notaris-PPAT Bagi Suami yang Melakukan Perkawinan Poligami. Hambatannya Dilihat Dari Aspek Sistem Hukum belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan keasliannya yang secara tidak langsung mempunyai objek permasalahan yang hampir sama. Penelitian yang dimaksud, yaitu penelitian yang dilakukan oleh: Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Sulastri, (2012). Penelitian tersebut mengungkapkan Kekuatan Pembuktian Akta Notaris/PPAT Sebagai Alat Bukti Dalam proses Pemeriksaan Sengketa Perdata (Studi Kasus Putusan Nomor : 8/Pdt.G./2001/PN.Klt). Adapun masalah yang diteliti adalah: Kekuatan Pembuktian Akta Notaris/PPAT sebagai alat bukti dalam proses pemeriksaan sengketa perdata.1
1
Sulastri, “Kekuatan Pembuktian Akta Notaris/PPAT Sebagai Alat Bukti Dalam Proses Pemeriksaan Sengketa Perdata (Studi Kasus Putusan Nomor : 8/Pdt.G./2001/PN.Klt) , Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2012.
10
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Indra Gani (2012). Penelitian tersebut mengungkapkan Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Bangunan oleh Notaris. Adapun masalah yang diteliti adalah: Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Bangunan oleh Notaris.2 Berdasarkan kedua penelitian di atas, persamaan dengan penelitian ini adalah pada objek penelitian, yaitu , sedangkan perbedaannya adalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah ”peralihan hak atas tanah/bangunan dihadapan Notaris-PPAT bagi suami yang melakukan perkawinan poligami”, sedangkan dalam penelitian terdahulu adalah ”jual beli bangunan”.
2
Gani Indra, “Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Bangunan oleh Notaris”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2012.