I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Bekkang Pembangunan Nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya serta Indonesia.
Realisasi
pernbangunan seluwh rnasyarakat
dari pembangunan itu tertuang dalam program
pembangunan jangka panjang yang dilaksanakan secara bertahap don berkesinambungan melalui tahapan Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Adapun tujuan dari setiap tahapan pembangunan adalah untuk rneningkatkan taraf hidup don kesejahteraan seluruh rakyat serta meletakkan landasan yang kuat untuk tahapan berikutnya, seperti tertuang dalam GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam pembangunan nasional Indonesia, manusia diletakkan sebagai faktor pelaku don penggerak pernbangunan. don sekaligus menjadi fokus dalam tujuan pernbangunan, yaitu dalam rangka mewujudkan kualitas manusia
Indonesia
yang
maju
don
mandiri,
sejahtera
lahir
batin.
Pembangunan Nasional adalah pembangunan dari rakyat ,oleh rakyat, untuk rakyat.
Pernbangunan dari rakyat berarti rakyat sebagai faktor dominan
diberikan peran sentral dalam menggerakkan pembangunan, don perlu ditingkatkan kernarnpuannya untuk berproduksi dengan lebih baik melalui investasi di bidang sumberdaya manusia. Pembangunan untuk rakyat berarti menjarnin bahwa setiap kemajuan yang diperoleh sebagai hasil dari programprogram pernbangunan dipergunakan semata-mata untuk meningkatkan kesejahteroon rakyat banyak (Nota Keuangan dpn RAPBN, 1995).
Rentang waktu duo puluh limo tahun pembangunan nasional yang telah berlalu telah rnenghasilkan berbagai kemajuan ditunjukan oleh tejadinya kenaikan pendapatan perkapita.
Pendapatan per kapita selama duo puluh
limo tahun tenebut, telah rneningkat dari US $ 70 perkapita pada awal repelita I (tahun 1969) menjadi sekitar US $700 perkapita pada akhir Repelita V (akhir PJPT I). Diukur dengan produksi nasional pada harga konstan, selarna 25 tahun tersebut perekonomian lndonesia telah tumbuh dengan rata-rota lebih dari 6 penen setiap tahun (Presiden RI, 1993 dan Nota Keuangan don RAPBN, 1995).
Tabel 1. Rata-rata Laju Perturnbuhan Ekonomi Indonesia , tahun 1986 -1 997
Tahun
Rata-rota Laju Pertumbuhan Ekonomi (penen per tahun)
5.9 4.9 5.7 7.4 7.2 6.9 6.45 6.5 7.48 (tahundasar 1993) 8.07* (tahundasar 1993) 7.8 **
7.7 ** Sumber : Nota Keuangan dan RAPBN, BPS 1995 * Angka Sementara • ** Annual Report, 1995, AD6 (Angka proyeksi).
Perturnbuhan ekonomi pada tahun 1994 dengan menggunakan tahun dasar 1983 rnencapai 6.8 penen. Dengan menggunakan tahun dasar 1993,
rnaka pada tahun 1995 perturnbuhan ekonorni nasional mencapai 8.07 penen naik dibanding tahun 1994 yang rnencapai 7.48 penen (BPS. 1995 dan BI. 1995). Bank Dunia rnernasukkan Indonesia sebagai salah satu don delapan negara Asia yang rnernpunyai perturnbuhan ekonorni paling pesat di dunia (High Performing Asian EconomicslHPAEsj di rnana kurun waktu 1965
-
1990
pertumbuhanrota-rota per tahun mencapai 5.5 penen (Bank Dunia, 1993). Tabel 2. Produk Dornestik Bruto Indonesia Dalam Berbagai Kriteria (Atas Dasar Harga Konstan 1993) tahun 1993 - 1995 Perfumbuhan
Tahun Perincian 1993
1994 ( rnilyar rupiah)
PDB Migas PDB tanpa Migas PDB tanpa Migas don tanpo Pertanian PDB tanpa Migas tanpa tanarnan k h a n Makanan PDB (Produk Dornestik Bwto) PNB (Produk Nasional Bwto) PDB perkapita (ribu Rp) PNB perkapita (ribu Rp) PDB perkapita (US dollar) PNB perkapita (US dollar) Surnber : BPS, 1995 *) Angka Sementara
1995
1994
(%I
1995
(%I
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada tahun
1994 don tahun 1995, maka pendapatan per kapita juga rnengalami peningkatan, Produk Domestik Bruto perkapita (US $) mengalami peningkatan masing-masing sebesar 2.14 penen don 2.30 penen pada tahun 1994 don tahun1995 (tabel 2).
Berdasarkan harga berlaku, PDB per kapita (US $) akan
mengalami kenaikan dari US $920 perkapita pada tahun 1994 mennjadi US $
1 023 per kapita pada tahun 1995 (BPS, 1995). Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang tinggi tahun 1994 don tahun 1995 disebabkan rneningkatnya konsumsi masyarakat serta kegiatan investasi baik PMDN rnaupun PMA. Konsumsi masyarakat pada tahun 1994 meningkat 5.4 penen dan pembentukan modal tetap meningkat 12.6 penen. Bila dihitung pungsa terhadap pertumbuhan PDB, maka konsumsi masyarakat memiliki pangsa 44.0 penen don pembentukan modal tetap 45.1 penen (laporan tahunan 199411995 Bank Indonesia, 1995). Kontribusi sektor pertanian pada pertumbuhan PDB 1994 sebesar 0.1 penen sedangkan kontribusi di luar sektor pertanian 7.38 penen. Narnun demikian pada tahun 1994,kontribusi tanarnan bahan makanan mengalami penurunan 0.21 penen.
Pada tahun 1995
kontribusi sektor pertanian pada pertumbuhan PDB mencapai 0.66 penen don kontribusi di luar sektor pertanian 7.41 penen. Sektor tanaman bahan makanan mernberikan kontribusi 0.40 penen (BPS, 1995). Peningkatan kontribusi sektor pertanian dan sektor tanarnan bahan makanan pada tahun 1995 disebabkan karena pada tahun sebelumnya
produksi tanaman bahan makanan
mengalami penurunan sebesar 2.14 penen, sernentara pada tahun 1995
mengalami peningkatan 4.46 penen.
Penurunan produksi tanaman bahan
makanan terjadi pada tanaman padi don hampir seluruh tanaman palawija kecuali jagung, disebabkan oleh kekeringan pada tahun 1994 (BPS. 1994). Tejadi fenomena menorik dari pergeseran pola pertumbuhan ekonomi lndonesia yaitu tumbuhnya sektor manufaktur dan konstruksi yang menggeser peranan
sektor
pertanian dan
pertambangan.
Pada
tahun
1983,
perekonomian lndonesia masih sangat agraris dimana peran sektor pertanian mencapai 23 penen bobot dari produk domestik bruto (PDB) sementara sektor pertambangan mencapai 20.8 penen sehingga gabungan keduanya 43.8 penen. Sementara sektor industri peranannya mencapai hanya 12.7 persen. Kecendrungan ini berubah, dimulai sejak tahun 1991.dimana keadaan menjadi terbalik. Pada tahun 1993 peran sektor industri terhadap produk domestik bruto rnencapai 22.30 persen don pada tahun 1994 mencapai 23.91 penen. Seboliknya sektor pertanian pada tahun 1993 peranannya tulun menjadi 17,88 persen dari PDB dan pada tahun 1994 menjadi 17.44 penen dari PDB, sementara sektor pertambangan pada tahun 1994 tuwn menjadi 8.32 persen dari PDB (BPS, 1994). Hingga akhir 1980, struktur ekspor lndonesia di dominasi oleh minyak. Penurunan harga minyak dunia tahun1980 don menguatnya mata uang dotlar (akhir 1985) mengakhiri masa "oil boom". Ketergantungan yang tinggi pada pendapatan ekspor migas, menyebabkan perekonomian lndonesia rentan terhadap fluktuasi don goncangan eksfernal, sehingga mulai awal 1981. perekonomian Indonesia melakukan transformasi dari ekonomi yang berbasis
pada ekspor minyak kearah divenifikasi ekspor non migas.
Dalam rangka
menunjang kebijakan pemerintah dibidang perdagangan internasional, peningkatan ekspor non migas dan pengembangan industri dalam negeri, sejak 1 Januari 1989 dilakukan
penyempurnaan
buku
Indonesia (Nota Keuangan dan RAPBN, 1994/1995).
tarif
bea masuk
Upaya mendorong
pengembangan ekspor non migas tews berlanjut dengan digulirkan paket 6 Juli 1992 (melonggarkan tataniaga don penghapusan bea masuk tambahan barang impor). Paket 23 Oktober 1993 yaitu deregulasi dibidang ekspor impor dan tarif serta tataniaga impor, antara lain mencakup penurunan bea masuk sebesnr 5 sampai 15 penen terhadap 198 pos tan'f dan penghapusan 92 pos tarif. Paket 23 Mei 1995 mencakup 5 kebijakan yaitu penurunan tarif bea masuk dan bea masuk tambahan, tataniaga impor, kawasan benkat, penanaman modal don perizinan serta restrukturisasi usaha.
Penuwnan tarif bea masuk
mencakup 6 030 pos tarif (64.1 6 penen). Kebijakan tenebut dimaksudkan untuk mengurangi perlindungan nontarif menjadi perlindungan melalui tarif. dalam rangka mengefisienkan sektor-sektor produksi sehingga dapat meningkatkan daya saing di pasar internasional. Penerimaan pajak ekspor dalam tahun pertama Repelita 1 (1969/1970) mencapai 7.4 milyar rupiah, meningkat menjadi 171.5 milyar rupiah pada tahun pertama Repelita V (1 989/1990). Namun demikian sejak tahun 1990/1991hingga tahun anggaran 1992/1993 penenmaan pajak ekspor berturut-brut mencapai sebesar 44.2 milyar rupiah, 18.8 milyar pia ah don 8.5 milyar rupiah. Penuwnan penerimaan pajak ekspor tenebut terutama disebabkan oleh adanya kebijakan
untuk mendorong ekspor non rnigas. sehingga sebagian besar komoditas ekspor dibebaskan dari pajak. Sernentara itu salah satu komoditas ekspor yang dikenakan pajak ekspor cukup tinggi adalah kayu gergajian dan kayu olahan serta minyak sawit (GPO).
Kebijakan tersebut adalah sebagai upaya agar
pemanfaatan hutan tropis dapat lebih efisien (rnenjaga kelestarian alam don lingkungan), disamping untuk rneningkatkan ekspor barang jadi dan melindungi konsumen dalam negeri (Nota Keuangan don RAPBN, 1994/1995).
1.2. Perumuran Maralah Ekspor sebagai sumber penerimaan negara rnengalami peningkatan yang cukup berarti (nominal) walaupun dalarn penentase terhadap PDB peningkatannya relatif kecil.
Peran ekspor terhadap PDB pada tahun 1989
rnencapai 25.42 penen ( 42 505.0 milyar rupiah), pada tahun 1993 mencapai
27.89 persen (85 296.2 rnilyar rupiah] atas dasar harga berlaku. Serneniara impor meningkat mengikuti perkernbangan ekspor, dirnana pada tahun 1989 mencapai 23.09 penen ( 38 601.0 rnilyar rupiah) rnenjadi 25.63 penen (78 383.0 milyar pi ah) pada tahun 1993. Pada tahun 1968, ekspor Indonesia di dorninasi oleh limo komoditas utarna yaitu karet, kopi, tirnah, kopra, don tebu. Maka pada tahun 1989/1990 kornoditas ekspor utama adalah kayu lapis. tekstil. hasil-hasil tambang, udang don ikon. Mulai tahun 197211973, kayu rne~pakanpenghasil devisa terbesar dalam ekspor non migas. Pada tahun 198311984 ekspor kayu lapis harnpir
kayu lapis mengalami peningkatan 24.4 penen dibandingkan tahun 198811989. Kenaikan ekspor kayu lapis disebabkan meningkatnya perrnintaan dari Jepang dan kenaikan harga dunia, serta adanya kebijakan membatasi ekspor kayu bulat pada awal pelita IV tahun 198411985. Ekspor tekstil don pakaian jadi mengalami peningkatan 41.8 penen pada tahun 1989/1990 dibandingkan tahun 198811989. Kenaikan terutama disebabkan peningkatan kuota ekspor pakaian jadi ke negara MEE, AS don Kanada.
Ekspor karet mengalami
penurunan 4.8 penen pertahun selama Pelita IV, tetapi pada tahun 198911990 nilai don volume ekspor karet mengalami penurunan masing-masing sebesar 21.5 penen don 0.3 penen dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan nilai ekspor karet disebabkan penurunan harga di pasaran dunia. Sementara nilai ekspor kopi pada tahun 1989/1990 mencapai US $ 499.2 juta, mengalami penurunan 12.5 penen dibondingkan dengan tahun sebelumnya. diiebabkon terjadinya kelebihan pasokan kopi dunia sehingga harga dunia mengalami penurunan. Secara umum pertumbuhan produk primer pertanian Indonesian don produk non primer pertanian Indonesia (Agroindustri)tercantum dalam tabel 3. Dari tabel tenebut terlihat bahwa peran produk primer pertanian dalam pertumbuhan PDB semakin menurun di loin pihak peran produk agroindustri semakin meningkat menunjukkan telah terjadi perubahan sintktural dalam perekonomianIndonesia. Penwvnan produk primer pertanion yang lebih cepat daripada peningkatan produk agroindustri, merupakan indikasi bahwa daya serap sektor agroindustri untuk meningkatkan nilai tambah masih relotif terbatas.
Konsumsi ataupun ekspor produk pertanian sebagian besar masih merupakan produk primer. Tabel 3. Kineja Produk Primer Pertonian don Produk Non Primer Pertanian (Agroindustri)Indonesia, Pelita 1 (1 96911970) - Pelita V(1989/1990). Uraian
Pangsa terhadap Perturnbuhon PDB (%)
Pangsa terhadap Pangsa terhadap PDB Nilai Ekspor
(%I
(%I
4.30
43.46
32.31
9.28
8.88
10.23
3.01
35.60
19.40
6.27
1 1.54
1 1.67
a. Primer Pertanian
4.1 8
30.44
15.46
b. Agroindustri
5.40
15.02
13.04
3.57
21.91
8.88
5.30
17.39
15.09
a. Primer Pertanian
2.66
18.94
8.04
b. Agroindustri
6.18
20.54
20.23
1 . Pelita I a. Primer Pertanian b. Agroindustri
2. Pelita II a. Primer Pertanian b. Agroindustri
3. Pelita 1 I1
4. Pelita IV
a. Primer Pertanian b. Agroindustri
5. Pelita V
Sumber :BPS dalam Wahyudi, 1996; diolah. Peranan ekspor primer pertanian rnengalami kecendrungan penurunan yang tajam, karena perkernbangan ekspor absolufnya relatif sangat lambot dan cenderung berfluktuasi.
Sernentara ekspor agroindustri mengalami
kenaikan yang cukup tinggi diiebabkan semakin meningkatnya peranan ekspor kayu olahan.
Walaupun demikian mengingat kayu olahan merupakan hasil
eksploitasi hutan yang tingkat pemulihan kelestariannya rendah, maka untuk mempertahankan tingkat ekspor dimasa yang akan datang perlu penanganan yang terencana (Wahyudi, 1996). Peningkatan nilai ekspor Indonesia dari tahun 1989
-
1994 rate rata
mencapai 12.62 penen pertahun. Peningkatan tenebut terutama disebabkan oleh meningkatnya nilai ekspor non migas, dengan kenaikan rota-rota pertahun sebesar 17.86 penen.
Sedangkan ekspor
pertahun sebesar 2.30 penen.
migas mengalami penurunan
Dari sektor non migas, rata-rota pertumbuhan
ekspor per tahun tertinggi dicapai oleh sektor lainnya yaitu 49.21 penen, diikuti oleh sektor pertambangan30.68 penen, sektor industri 18.75 penen don terakhir sektor pertanian 7.96 penen. Jika dilihat berdasarkan nilainya (F.0.8) menurut golongan barang SlTC tahun 1989 - 1994, ekspor hasil industri menempati posisi kedua, ekspor bahan makanan dan binatang hidup pada posisi ketiga don posisi terbawah ditempati oleh ekspor minvman don tembakau serta barang & transaksi khusus lainnya. Pada tahun 1995 total nilai impor komoditas non migas mencapai 37 71 7.93 juta dollar AS dengan pertumbuhan tidak lebih dari 15.13 penen.
Sedangkan nilai ekspor komoditas non migas hanya mencapai
34 953.57 juta dollar AS. Berarti tejadi defisit neraca perdagangan 2 764.36 juta dollar AS di sektor non migas.
Pertumbuhan nilai impor barang konsumsi
periode Januari - Desember 1995 mencapai 66.59 penen atau dari 1 363.378 juta dollar AS pada tahun 1994 menjadi 2 271.220 juta dollar AS. Kenaikan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya impor barang konsumsi untuk rurnahtangga yang sudah diolah sebesar 134.20 penen yaitu don 375.703 juta
dollar AS menjadi 879.888 juta dollar AS tahun 1994,menjadi 238.903 juta dollar
AS
tahun 1995 atau meningkat 107.79 persen. Sementara impor bahan baku
dan penolong mengalami kenaikan 28.43 persen yaitu dari 20 832.976 juta dollar AS menjadi 26 754.981 juta dollar AS pada tahun 1995.
Hal ini
menunjukkan bahwa industri hilir masih tergantung pada bahan baku dari luar negeri
. (BPS, 1995) Ekspor benih (balance of trade) tedihat mengalami stagnasi selama limo
pelita, disebabkan laju kenaikan impor rata-rata lebih besar daripada laju kenaikan ekspor.
Dominasi impor oleh bahan baku penolong don barang
modal memperlihatkan bohwa struktur produk dari industri masih memiliki kandungan impor yang tinggi dan mencerminkan masih bejalannya kebijakan subtitusi impor di Indonesia. Peningkatan impor bahan baku don barang modal untuk sektor pertanian berupa pupuk, pestisida don alat-alat pertanian. Kenaikan nilai impor barang-barang konsumsi don impor bahan baku don penolong yang cukup besar, disamping kenaikan impor barang-barang modal (17.14 penen) menyebabkan surplus neraca perdagangan akan mengalami penurunan dari 8 075.9 juta dollar AS [tahun 1994) menjadi 4 754.6 juta dollar AS pada tahun 1 W 5 [BPS. 1995).
Penurunan surplus neraca
perdagangan mempengaruhi posisi neraca transaksi berjalan Indonesia, dimana terjadi kenaikan defisii tronsaksi berjalan dari (tahun 1994) menjadi
-
-
3 488 juta dollar AS
7 943 juta dollar AS (tahun 1995). Kenaikan defisit
transaksi berjalan ini juga disebabkan oleh kenaikan pembayaran jasa neto dari
- 1 1 527 juta dollar AS menjadi - 13 001 juta dollar AS tahun 1995. Pembayaran
jasa neto tenebut sekitar 75 penen adalah transfer neto keluar negeri atas keuntungan investasi don biaya angkutan pengapalan (Nota Keuangan don RAPBN, 199611997). Kegiatan produksi barang dan jasa, baik untuk rnemenuhi permintaan domestik maupun irnpor, memerlukan input dalarn proses produksinya. Penggunaan faktor produksi oleh perusahaan memberikan balas jasa kepada pemilik faktor produksi (rumahtangga) berupa pendapatan.
Ditribusi
pendapatan rnenggambarkan distribusi atau pola pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan faktor produksi don rumahtangga.
Secara umum
tenaga keja Indonesia pada tahun 1990 masih rnenerima upah don gaji yang relatif rendah yaitu rota-rota sebesar Rp 1 297.23 ribu per tahun. Penerima upah dan gaji di kota (profesional, teknisi dan manajer) menerima upah don gaji yang tertinggi.
Sedangkan penerima upah terendah adalah tenaga kerja
produksi, operator dan buruh kasar di pedesaan. Sektor bank don asuransi merupakan lapangan usaha yang memberikan upah don gaji yang paling tinggi. Lapangan usaha jasa peneorangan, jasa rumahtangga memberikan upah don gaji terendah. Total pendapatan tenaga keja secara nominal cenderung meningkat selama periode 1975-1990, tetapi terdapat beberapa golongan dirnana total pendapatan tenaga keja cenderung menurun. Penentase total pendapatan tenaga kerja yang cenderung menurun adalah pada tenaga keja perlanian bukan penerima upah dan gaji, tenaga keja produksi, operator alat angkut dan buruh kasar. Pendapatan tenaga kerja yang cenderung rneningkat tejadi
pada tenaga keja tata usaha, penjualan don jasa. Hal ini disebabkan karena jumlah ekivalen tenaga keqa golongan tenebut cendentng meningkat lebih banyak.
Kelompok tenaga kerja ini juga merupakan penampungan tenaga
keja pertanian yang bekeja di luar sektor pertanian karena ingin memperoleh tambahan pendapatan (SNSE, 1994). Pendapatan kapital adalah pendapatan faktor produksi di luar tenaga keja don tanah yang ditetima oleh pelaku-pelaku ekonomi dalam bentuk keuntungan, deviden, bunga, sewa rumah sebagai bolas jasa kapital dalam proses produksi.
Sektor pertambangan batu bara don bijih logam,
pertambangan migas merupakan sektor yang memberikan pendapatan kapital tertinggi secara total. Sedangkan sektor perhotelan mewpakan sektor yang memberikan pendapatan kapital terendah. Hal tenebut memperlihatkan bahwa pendapatan kapital yang tertinggi diperoleh oleh modal swasta dalam negeri sedangkan yang terendah oleh modal pemerintah (SNSE, 1994). Pangsa pendapatan tenaga keja terhadap
PDB sebesar 38.19 penen
sedangkan poni pendapatan kapital sebesar 59.16 penen pada tahun 1975. Komposisi ini pada tahun 1990 berubah menjadi sebesar 44.59 penen dan 49.59 penen. Perubahan ini terutama disebabkan karena peningkatan pendapatan nominal tenaga keja tidak dibayar yang meningkat relatif besar selama periode 1975-1990 akibat peningkatan ekivalen tenga keja tidak dibayar. Pendapatan rumahtangga benumber don pendapatan tenaga keja, pendapatan kapital don penerimaan transfer.
Pendapatan rumahtangga
terbesar diperoleh dari upah don gaji (59.31 penen). Dari total pendapatan
yang diterirna 83.31 penen digunakan untuk konsumsi don 15.19 persen ditabung. Rata-rata pendapatan perkapita pertahun pada tahun 1990 adalah sebesar Rp 870.67 ribu. Golongan rumahtangga dengan pendapatan kapita terendah adalah golongan rurnahtangga buruh tani, sedangkan pendapatan perkapita tedinggi adalah golongan rumahtanggo bukon pertanian (golongan atas) di kota. Hasil tenebut rnernperlihatkan bahwa wrnahtangga termiskin dalam ukuran relatif pada tahun 1990 adalah golongan rurnahtangga buruh tani.
Kesenjangan pendapatan antar rumahtangga dapat ditunjukkan oleh
rasio perbandingan pendapatan rumahtangga antar golongan.
Hasil
perhitungan rnenunjukkan rasio perbedaan rata-rata pendapatan terendah dengan yang te rtinggi pada tahun 1975 sebesar 1 : 6.47 tuwn rnenjadi 1 : 5.28 pada tahun 1980, tuwn kemboli rnenjadi 1 : 3.81 pada tahun 1985. Tetapi pada tahun 1990 naik rnenjadi 1 : 4.29 sehinga memperiihatkan tejadinya kenaikan kesenjangan pendapatan.
Perubahan pangsa pendapatan golongan
rumahtangga menujukkan bahwa pada tahun 1975-1 985 tejadi pergeseran dalam polo penerimaan pendapatan Indonesia, yaitu dari rumahtangga berpendapatan tinggi kepada rumahtangga berpendapatan rendah yang mencerminkan perbaikan pada pola pembagian pendapatan nasional. Tetapi polo tenebut cenderung rnemburuk kembali pada tahun 1990.
Sebagai
contoh pada tahun 1985 rurnahtangga buruh tani yang bejumlah 7.01 persen dari total penduduk Indonesia rnenerirna sekitar 4.06 penen pendapatan nasional don 8.41 penen penduduk kayo rnenerima 17.84 penen pendapatan nasional.
Pada tahun 1990 polo tenebut berubah dirnana 8.73 persen
penduduk rniskin menerima 4.40 penen pendapatan nasional don 1 1.96 penen penduduk kayo menerima 25.85 penen pendapatan nasional. Pendapatan golongan wmahtangga petani berdasarkan luas pemilikan lahan rnemperlihatkan bahwa pendapatan perkapita untuk semua golongan cenderung rneningkat, tetapi pendapatan petani dari usahatani cenderung rnenurun sernentara pendapatan di luar usahatani cenderung meningkat. Pado golongan nrmahtangga petani gurem pendapatan di luar usahatani pada tahun 1975 dan 1990 masing-masing 37.8 penen dan 47.1 penen. Pendopatan di luar usahatani untuk wrnahtangga petani dengan pernilikan lahan 0.5-1 hektar, pada tahun 1975 don 1990 masing-masing sebesar 22.6 penen dan 39.5 penen. Hasil ini rnenunjukkan penguasaan lahan pertanian relatif sempit don golongan wrnahtangga pernilik lahan sernpit semakin bertambah. Sernentara untuk rumahtangga petani pemilik lahan lebih dari satu hektar upaya untuk rnemperoleh pendapatan dari luar usahatani baru dirasakan pada tahun 1990, mengindikasikan nilai tukar sektor pertanian relatif menurun. Terjadinya penurunan peran sektor pertanian terhadap PDB, defisit neraca perdagongan non migas don turunnya surplus perdagangan Indonesia yang berpengaruh terhadap distribusi pendapatan, perlu segera diantisipasi dengan upaya rnendorong ekspor don menekan impor.
Sejalan dengan
perkembangan ekonomi yang semakin terbuka yang ditandai dengan diratifikasinya kesepakatan GATT (General Agreement on Tanifs and Trade) Putaran Uruguay, Deklarasi Bogor APEC (Asia Pasific Economic Cooperation),
CEPT don AFlA [Asean Free Tarde Area), rnaka upaya mendorong ekspor perlu rnengantisipasi perkernbangan pasar dunia. Kondisi ekonomi dunia yang lebih bebas diiamping mernbuka peluang usaha don ekspor yang lebih luas, juga mernperlihatkan tejadinya penaingan di pasar dornestik rnaupun pasar dunia yang sernakin rneningkat.
Bagi lndonesia ha1 tenebut berarti upaya
peningkatan ekspor harus t e ~ diikuti s upaya peningkatan daya saing rnelalui peningkatan ef~iensi. Hasil penelitian terdahulu mernperlihatkan bahwa besarnya manfaat yang bisa diiaih oleh suatu negara dalarn pasar dunia yang lebih bebas. tergantung kepada akses pasar yang disediakan oleh patner dagang dan juga terutarna kepada tingkat keterbukaan dan reformasi ekonorni dari negara yang benangkutan (Andersondan Tyen, 1990; Stephenson dan E~widodo,1995). Bagi lndonesia yang perlu diantiiipasi adalah adanya biaya penyesuaian akibat dari ketimpangan distribusi rnanfaat ekanornis tenebut dimana sebagian sektor ekonomi. khususnya pertanian don faktor produksi akan menderita kewgian dengan adanya penaingan yang semakin meningkat (Stephenson don Erwidodo, 1995). Langkah deregulasi sektor riil don perdagangan di lndonesia harus dipercepat agar dapat rnernanfaatkan peluang dari liberalisasi dan globalisasi ekonomi (Pangestu, 1995: Nasution don James, 1995; Stephenson. 1995). Deregulasi yang sarnpai saat ini dilakukan oleh pernerintah lndonesia lewat berbagai paket deregulasi dipandang masih terlalu lambat don sering tidak menyentuh akar permasalahan. Kendala investasi dan rintangan nontariff masih mewamai perekonomian Indonesia, sehingga rnendorong t e ~ s
berlangsungnya praktek rnonopoli yang rendah daya saingnya don menuntut proteksi pernerintah terus-menerus untuk benaing di pasar dunia. Kondisi "Ekonomi Biaya Tinggi" akan terus rnewarnai perekonornian lndonesia jka pemerintah tidak segera rnelakukan langkah deregulasi yang lebih kongkrit don dipercepat, sehingga dikuatirkan lndonesia akan semakin ketinggalan dalam upaya memanfaatkan peluang terbukanya pasar dunia. Stephenson (1995) rnenyatakan bahwa tingkat proteksi di lndonesia telah menurun seiring dengan berbagai paket deregulasi yang telah dilakukan pemerintah, meskipun masih cukup banyak industri yang menikmati tingkat proteksi yang sangat tinggi sarnpai saaf ini. Di negara berkembang, intervensi pernerintah cenderung rnemihak kepada konsurnen dengan rnenerapkan pajak terhadap produsen di sektor pertanian. Untuk mengurangi distoni pada perdagangan komoditas pertanian, kesepakatan GATT dalam
bidang pertanian merumuskan tiga
pokok
kesepakatan yaitu (Erwidodo, 1995: Asean Secretariat, 1995) : 1 . Peningkatan Akses Pasar
Kesepakatan GATT dalarn peningkatan akses pasar mencakup beberapa ha1 berikut : (1) konveni restriksi impor non-tarif menjadi ekuivalen tarif (tarifikasi),
(2) penurunan tarif 36 penen selama 6 tahun untuk negara rnaju dan 24 penen selarna 10 tahun untuk negara berkembang, (3) penurunan minimal 15 penen untuk negara maju don 10 penen untuk negara berkernbang untuk setiap tariffline, (4) rnembuka akses pasar bagi produk yang selama ini dikenakan iarangan
impor, yakni sebesar tiga penen dari total konsumsi domestik don selanjutnya menjadi limo persen pada akhir tahun keenam. Dengan kesepakatan ini, proteksi menjadi transparan dan secara berangsur akan berkurang.
Meskipun demikian timbul kekuatiran bahwa
penurunan proteksi yang akan terjadi dengan kesepukatan GATl menjadi tidak berarti sebagai akibat praktek tarifikasi yang berlebihan (dirty tariffication).
2. Penurunan Subsidi Domestik Kesepakatan G A l l mewajibkan negara anggota untuk menuwnkan subsidi aggregat sektor pertanian (Aggregate Measure of Support-AMS), yakni
20 penen selama enam tahun untuk negara maju don 13 penen selama 10 tahun untuk negara berkembang. Kebijaksanaan subsidi yang mempunyai dampak minimum terhadap perdagangan dikecualikan dari ketentuan penuwnan ini.
Pengecualian ini
dikategorikan ke dalam "kotak hijau" yang terdiri dun pembiayaan pemerintah untuk beberapa program, antara lain : (1) penelitian don pengembangan. (2) pencegahan hama don penyakit. (3) konservasi dan proteksi lingkungan. (4) pengadaan stok pangan dalam rangka ketahanan pangan, (5) bantuan pangan, (6) asuransi tanaman. (7) penanggulangan bencanc alam. (8) bantuan pembangunan daerah. Damikian juga subsidi langsung bagi petani dalam bentuk pembayaran defsiensi dan kompensasi tidak termasuk dalam kategori AMS, sehingga tidak perlu diturunkan selama subsidi ini terkait dengan program pembatasan ekspansi produksi.
3. Penurunan Subsidi Ekspor Kesepakatan GATT mewajibkan negara anggota untuk menurunkan nilai (volume)subsidi ekspor sebesar 36 penen (24 penen) selama enam tahun untuk negara maju don 21 penen (14 persen) selama 10 tahun untuk negara berkembang. tertentu.
Ketentuan ini berlaku untuk produk atau kelompok produk
Diiamping itu, semua negara anggota sepakat untuk tidak
menerapkan subsidi ekspor bagi semua produk yang selama ini tidak menerima subsidi
ekspor.
Sebagian
ekonom
memperkirakan
bahwa
lebiialisasi
perdagangan komoditas pertanian akan bejalan sangat lambat, tewtama dalam realisasi penurunan restriksi impor dan subsidi domestik. Untuk menganfiipasi era perdagangan bebas dan dalam upaya meningkatkan ekspor non rnigas, Indonesia telah mengeluarkan serangkaian kebijakan deregulasi yang meliputi penurunan tarii bea masuk produk industri don pertanian (Paket 23 Mei 1995) don 20 persen menjadi sekitar lima penen pada tahun 2000.
Kebijakan Mei 1995 dalam upaya rnendorong ekspor don
meningkatkan daya saing diikuti oleh deregulasi 4 Juni 1996 yang antara lain berisikan : (1) Kelanjutan penjadwalan penurunan tarif bea masuk: (2) Pe~bahantarif bea rnasuk barang modal; (3) Penghapusan bea masuk tambahan; (4) Penyederhanaan tataniaga impor don (5) kemudahan ekspor. Unfuk menganalisis dampak penurunan tarif impor don pajak ekspor terhadap perekonomian Indonesia, dirumuskan beberapa perrnasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah penurunan tarif impor don pajak ekspor memperbaiki kineja perekonomian lndonesia ?
2. Apakah penurunan tarif impor don pajak ekspor meningkatkan kineja pertanion Indonesia ?
3. Bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah di bidang tarif impor don pajak ekspor
terhadap
distribusi
pendapatan
dari
faktor
produksi
don
rumahtangga?
1.3. Tujuan dan Kegunaan Pendman Berdasarkan
permasolahan yang dikemukakan, maka penelitian ini
bertujuan untuk : 1.
Menganalisis dampak penurunan tarif impor don pajak ekspor terhadap kineja perekonomian Indonesia.
2. Menganalisis dampak penurunan tarif impor don pajak ekspor terhadap kineja sektoc pertanian Indonesia.
3. Menganalisis dampak penurunan tarif impor don pajak ekspor terhadap distribusi pendapatan faktor produksi don rumahtangga. 4. Mengevaluasi alternatif kebijakan pemerintah dolam penurunan tarif impor
don pajak ekspor terhadap indikator ekonomi makro. Hasil analisis terhadap kebijakan tarif
impor don pajak ekspor,
mernberikanindikator makro ekonomi Indonesia sebogai berikut: 1. Pertumbuhan ekonomi yang ditunjukan oleh perubahan nil GDP, nilai
tambah, kenaikan investasi don surplus neraca perdogangan.
2. Pemerataan hasil-hasil pembangunan ditunjukkan oleh kenaikan don distribusi pendapatan dari faktor produksi don rumahtangga.
3. Stabilitas ekonomi yang ditunjukan oleh perubahan tingkat harga domestik ( inflasi) don perubahan nilai tukar rupiah.
lndikator makro ekonomi tenebut berguna sebagai dasar evaluasi dan menetapkan pilihan alternatif kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah. Hasili analisis berupa distribusi pendapatan dapat dipergunakan oleh perumus kebijakan untuk mengetahui lebih mendalam menganai siapa yang memperoleh manfaat dari pilihan alternatif kebijakan yang dijalankan. Dbamping itu keterkaitan antara ketiga indikator makro ekonomi di atas, dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap don menyeluruh dari dampak pelaksanaan kebijakan penurunan tarif irnpor dan pajak ekspor bagi perekonomian Indonesia.
1.4. Ruang Ungkup dan Keterbataran Penelftian Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengembangan model CGE Lewis dengan penekanan pada sektor pertanian yang dibagi menjadi lebih terperinci don faktor produksi serta rumahtangga yang mencoba mengakomodasi pemilikan tanah di sektor pertanian.
Model merupakan
model statik dimana stok modal sektoral adalah tetap. Hal tersebut berimplikasi bahwa hinggo input modal dimasukkan dalam periode berikutnya, barangbarang investasi baru hanya menggambarkan kategori permintaan akhii. Penutup makro [Macro closure) yang digunakan dalam model CGE ini adalah :
1. Pasar pertukaran luar negeri dimana keseimbangan dalarn perdagangan
(keseimbangantransoksi berjalan) ditentukan tetap secara eksogenous dan nilai tukar adalah variabel penyeimbong.
2. lnvestasi - Tabungan, yaitu model mengadopsi penutup neoklasik bahwo investasi agregat ditentukan oleh tabungan agregat.
3. Pemerintah, dimana pengeluaran real pemeritah adalah tetap secara eksogenous dun defisit pemerintah ditentukan sebagai residual. Analisis dampak penurunan pajak ekspor dan tarif impor terhadap kineja perekonomian Indonesia ditunjukkan oleh perubahan nilai Real Gross Domestic Product (RGDP), nilai tukar wpiah (EXR), Pewbahan tingkat harga (PINDOM). transaksi bejalan (CURACT)don investasi. Analisis terhadap kineja sektor pertanian ditunjukkan oleh pewbahan nilai ekspor, impor dan defisit perdagangan masing-masing sektor. Sedangkan analisis terhadap faktor produksi don rumahtangga ditunjukkan oleh pewbahan pendapatan yang
diterima oleh
masing-masing faktor
produksi don
rumahtangga. Analisis mengenai pilihan alternatif kebijakan berdasarkan pada indikator : 1. Perturnbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh perubahan nil GDP, nilai
tambah, kenaikan investasi don surplus neraca perdagangan.
2. Pemerataan hasil-hasil pembangunan dituniukkan oleh kenaikan don diitribusi pendapatan dari faktor produksi don rumahtangga.
3. Stabilitas ekonomi yang ditunjukkan oleh perubahan tingkat harga dornestik nilai tukar rupiah. (inflasi)dan p e ~ b a h a n
Dengan menggunakan model CGE, pertanyaan mengenai siapa yang paling merasakan dampak dari kebijakan penurunan tarif impor dan pajak ekspor. upaya rnenurunkan hambatan perdogangan melalui penurunan tarif, dapat dijawab dengan lebih baik melalui analisis perubahan distribusi pendapatan faktor produksi dan rumahtangga. Keterbatasan
model
CGE
dalarn
penelitian
ini
adalah,
tidak
memasukkan pasar finansial dan faktor lingkungan dalam pemodelannya. Data yang digunakan merupakan data Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia
1990 yang diterbitkan oleh BPS pada bulan Nopember 1994. Pendugaan nilainilai parameter elastisitas dilakukan dengan menggunakan hasil-hasil penelitian sebelumnya dan hasil studi literatur. Model merupakan model CGE statik don analisis berlaku untuk jangka pendek dengan stok modal sektoral adalah tetap. Pasar finansial yang tidak tergambarkan secara eksplisit pada model, mernbowa konsekuensi bahwa perubahan dalam kebijakan moneter tidak tergambarkan dengan baik pada hasil analuis data.
Walaupun demikian
karena model lebih menekankan pada sektor nil don model bekerja pada jangka pendek dimana stok modal sektoral tetap, maka perubahan pada pasar finansial diharapkan tidak akan berpengaruh nyata terhadap hasil analisis data yang dihasilkan. Sementara tidak rnasuknya faktor lingkungan ke dalam model terutarna disebabkan kesulitan di dalam pengukuran (valuasi) dari eksternalitas.
Pengaruh terhadap hail analisis secara rata-rata diharapkan
akan membenkan bias yang mendekati nol, karena analisis benifat agregasi
sehingga ekstemalitas negatif don eksternolitas positif diharapkan akan soling meniadakan.
Pengelompokan-pengelompokan sektor ke dalarn 14 sektor analisis berkaitan dengan tujuan analisis yang menitikberatkan pada sektor pertanian dan sektor industri lainnya. Untuk dapat menangkap dengan lebih baik sektorsektor unggulan maka pengelompokansektor dapat diperluas.