I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam,
baik di darat maupun di laut. Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia berupa hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, dan pertambangan. Kekayaan alam yang melimpah terutama dari hasil tambang berupa minyak bumi pernah menjadikan Indonesia sebagai salah satu anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) yang merupakan organisasi dari negara-negara penghasil minyak bumi. Namun penurunan produksi minyak bumi dalam negeri dan peningkatan konsumsi minyak bumi menyebabkan Indonesia berubah status menjadi negara net importir. Kondisi perminyakan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kondisi Perminyakan Indonesia Tahun 2000-2008 Tahun
Produksi Minyak (ribu barrel)
Konsumsi Minyak (ribu barrel)
Impor Minyak Mentah (ribu barrel)
Ekspor Minyak Mentah (ribu barrel)
Kapasitas Pengilangan (ribu barrel)
Output Pengilangan (ribu barrel)
Cadangan Minyak (MB)
2000
1 272.5
996.4
219.1
622.5
1 057.0
968.2
5 123
2001
1 214.2
1 026.0
326.0
599.2
1 057.0
1 006.1
5 095
2002
1 125.4
1 075.4
327.7
639.9
1 057.0
1 002.4
4 722
2003
1 139.6
1 112.9
306.7
433.0
1 057.0
944.4
4 320
2004
1 094.4
1 143.7
330.1
412.7
1 055.5
1 011.6
4 301
2005
1 059.3
1 139.9
341.5
374.4
1 057.0
1 054.1
4 188
2006
883.0
1 061.3
289.6
301.3
1 057.0
1 053.5
4 370
2007
837.6
1 047.9
298.3
319.3
1 050.6
1 213.2
3 990
2008
856.7
1 054.1
260.8
214.1
1 050.6
1 184.1
3 990
Sumber : Organization of Petroleum Exporting /OPEC (2008)
Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi minyak dalam negeri mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Data ekspor dan impor minyak mentah pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa sampai tahun 2007 Indonesia adalah net eksportir,
2
tetapi sebagian besar ekspor dilakukan oleh Kontraktor KPS (Production Sharing Contract) sehingga penerimaannya tidak masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedangkan impor seluruhnya dilakukan oleh Pertamina sehingga masuk pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Pertamina, 2007). Dilihat dari sisi konsumsi, permintaan minyak bumi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah menyebabkan konsumsi minyak bumi semakin meningkat pula. Peningkatan jumlah penduduk ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1930-2010 Tahun 1930
Jumlah Penduduk (Juta Jiwa) 60.7
Pertumbuhan (%) -
1961
97.1
59.96
1971
119.2
22.76
1980
146.9
23.23
1990
178.6
21.57
2000
205.1
14.83
2010
237.6
15.84
Sumber : Badan Pusat Statistik (2010)
Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada saat sensus penduduk pertama kali dilaksanakan pada tahun 1930 adalah 60.7 juta jiwa. Jumlah ini terus meningkat menjadi 237.6 juta jiwa pada sensus penduduk tahun 2010. Tingginya tingkat konsumsi tidak diimbangi dengan peningkatan produksi menyebabkan defisit bahan bakar minyak (BBM), sehingga untuk mencukupi kebutuhan minyak dalam negeri pemerintah melakukan impor dari negara lain. Minyak dan gas bumi merupakan sumberdaya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam
3
perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, hal ini tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Pasal 8, pemerintah menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemanfaatan minyak dan gas bumi ini secara tidak langsung diimplementasikan melalui penyediaan BBM murah dengan adanya subsidi BBM yang merupakan pengeluaran rutin negara. Harga minyak dunia pada tahun 2005 sampai dengan pertengahan tahun 2008 mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Peningkatan harga minyak dunia dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Harga Rata-Rata Minyak Dunia Tahun 2005-2008 Tahun 2005
Harga Rata-rata Minyak Dunia/West Texas Intermediate Spot Average/WTI (USD/barel) 53.4
2006
64.3
2007
72.3
2008
97.0
Sumber : Kementerian Keuangan (2010)
Berdasarkan Tabel 3, rata-rata harga minyak dunia (West Texas Intermediate Spot Average) pada tahun 2005 adalah sebesar USD 53.4 per barel meningkat menjadi USD 64.3 per barel pada tahun 2006 dan USD 72.3 per barel pada tahun 2007. Pada awal tahun 2008 terjadi peningkatan harga yang sangat drastis mencapai USD 97.0 per barel. Seiring dengan peningkatan harga minyak dunia (WTI), harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude-Oil Price/ICP) juga mengalami peningkatan. Dalam semester I pada tahun 2009 harga minyak ICP mencapai rata-rata USD 51.6 per barel, kemudian pada semester II
4
mengalami peningkatan menjadi USD 71.6 per barel, sehingga selama tahun 2009 harga rata-rata minyak ICP mencapai 61.6 per barel (Kementerian Keuangan, 2010). Terjadinya kenaikan harga minyak dunia ini mengakibatkan pemerintah menaikkan harga BBM dua kali pada tahun 2005. Selain itu, kenaikan harga minyak dunia ini memberikan dampak terhadap meningkatnya beban subsidi BBM dalam APBN. Perkembangan subsidi BBM di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perkembangan Subsidi BBM di Indonesia Tahun 1994-2002 (Milyar Rupiah) Subsidi -886.60
Tahun Anggaran 1994/1995
Biaya Pokok BBM 14 049.00
Hasil Penjualan Bersih 14 935.60
1995/1996
15 829.50
14 858.30
-28.80
1996/1997
20 171.90
17 314.30
2 587.60
1997/1998
34 145.60
18 279.50
15 866.10
1998/1999
36 593.90
29 140.90
7 453.00
1999/2000
71 411.36
30 487.96
40 923.40
2000/2001
88 837.08
35 027.48
53 809.60
2001/2002
108 798.35
39 417.55
68 380.80
Sumber : Biro Pusat Statistik (2003)
Dalam anggaran belanja negara subsidi dialokasikan dengan tujuan untuk mengendalikan harga komoditas yang disubsidi, meringankan beban masyarakat dalam memperoleh kebutuhan dasarnya, dan menjaga agar produsen mampu menghasilkan produk, khususnya produk yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat, dalam hal ini bahan bakar minyak, dengan harga terjangkau. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) realisasi anggaran subsidi BBM pada tahun 2005 adalah 95.6 triliun rupiah, mengalami penurunan menjadi 64.2 triliun rupiah pada tahun 2006. Pada tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi 83.8 triliun rupiah, terus meningkat menjadi 139.1 triliun
5
rupiah pada tahun 2008, dan mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi 45.0 triliun rupiah. Berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), anggaran subsidi BBM pada tahun 2010 adalah 88.9 triliun rupiah (Kementerian Keuangan, 2011). Beban subsidi BBM yang terus meningkat ini dikendalikan pemerintah dengan cara mengurangi pengeluaran negara dalam mensubsidi bahan bakar minyak tanah bagi masyarakat melalui langkah-langkah penghematan subsidi, salah satunya adalah dengan melaksanakan program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG. Sebelum melakukan program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral melakukan perhitungan tentang jumlah subsidi yang dapat dihemat dengan adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG. Hasil perhitungan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Tahun 2007 menunjukkan bahwa penerapan kebijakan ini dapat mengurangi subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah sebesar Rp 20.12 triliun per tahun seperti yang terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perbandingan Minyak Tanah dan LPG Perbandingan Kesetaraan
Minyak Tanah 1 liter
0.57 kg
Nilai Kalori
8 498.75 (Kcal/liter)
6 302.58 (Kcal/liter)
Pengalihan Volume Minyak Tanah Subsidi
10 000 000 kiloliter
5 746 095 MT/tahun
Asumsi Harga Keekonomian
Rp 5 665 /liter
Rp 7 127 /kg
Harga Jual
Rp 2 000 /liter
Rp 4 250 /kg
Besaran Subsidi
Rp 3 665 /liter
Rp 2 877 /kg
Total Subsidi
Rp 36.65 triliun/tahun
Rp 16.53 triliun/tahun
Besarnya subsidi yang bisa dihemat
LPG
Rp 20.12 triliun/tahun
Sumber : Departemen ESDM (2007)
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 5, program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG dirasa perlu dilaksanakan. Program konversi
6
minyak tanah menjadi LPG direncanakan dilaksanakan secara bertahap sejak tahun 2007 dan berakhir pada tahun 2010. Kota Bogor yang terletak di wilayah Provinsi Jawa Barat adalah salah satu daerah sasaran konversi pada tahun 2007 (Pertamina, 2007). Target program konversi minyak tanah menjadi LPG adalah rumah tangga kelas sosial C1 atau yang berpendapatan di bawah Rp 1.5 juta/bulan dan usaha mikro yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar memasak dalam usahanya. Program konversi minyak tanah menjadi LPG yang sudah dilaksanakan kurang lebih empat tahun mengakibatkan adanya perubahan pola konsumsi energi pada rumah tangga. Selain memberikan pengaruh kepada rumah tangga, adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG ini juga memberikan pengaruh kepada para pelaku usaha, dalam hal ini usaha mikro, dalam hal pola konsumsi bahan bakarnya. Berdasarkan Sensus Ekonomi Tahun 2006, penyebaran usaha di Indonesia didominasi oleh skala usaha mikro yaitu sebesar 83.27 persen dibandingkan 15.81 persen usaha kecil dan 0.67 persen usaha menengah (BPS, 2006). Dibandingkan usaha kecil dan usaha menengah, usaha mikro juga mendominasi di Kota Bogor yaitu sebesar 80 persen dari keseluruhan jumlah usaha yang ada di Kota Bogor (Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, 2009). Perkembangan jumlah perusahaan menurut skala usaha di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perkembangan Jumlah Perusahaan Menurut Skala Usaha di Kota Bogor Tahun 2007-2009 No. 1.
Jenis Usaha Usaha Mikro
2007 23 873
2008 25 718
2009 25 804
2.
Usaha Kecil
6 366
4 822
4 838
3.
Usaha Menengah
1 598
1 607
1 614
Sumber : Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor (2009)
7
Tabel 6 menunjukkan jumlah usaha mikro, kecil dan menengah di Kota Bogor cenderung meningkat dari tahun 2007 hingga tahun 2009. Usaha mikro pada tahun 2007 berjumlah 23 873 atau sebesar 75 persen dari jumlah keseluruhan, meningkat menjadi 80 persen pada tahun 2008 dan 2009 yaitu berjumlah 25 718 dan 25 804 dibandingkan usaha kecil dan usaha menengah. Usaha mikro pada penelitian ini dibatasi dengan pedagang mikro yaitu pedagang kaki lima di Kota Bogor. Di Kota Bogor terdapat 51 titik pedagang kaki lima dengan jumlah keseluruhan 9 710 PKL. Pedagang kaki lima Kota Bogor sebagian besar jenis barang dagangannya adalah berupa makanan, minuman, jajanan dan oleh-oleh yaitu sebesar 43 persen (Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Bogor, 2010). Jenis barang yang dijual oleh pedagang kaki lima Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Jenis Barang Dagangan Pedagang Kaki Lima Kota Bogor No. 1.
Jenis Barang Dagangan Makanan, minuman, jajanan, dan oleh-oleh
Persentase (%) 43.00
2.
Hasil pertanian
38.00
3.
Industri dan kerajinan
9.00
4.
Jasa (tambal ban dan servis)
2.00
5.
Bekas pakai
1.00
6.
Lainnya
11.00
Sumber : Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Bogor (2010)
Martabak dan pecel lele adalah salah satu jenis makanan yang berkembang dan banyak ditemui di Kota Bogor. Pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele merupakan pedagang mikro yang juga terkena dampak dari adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG terhadap kegiatan usaha mereka. Pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele sebelum program konversi menggunakan minyak tanah atau LPG 12 kg yang tidak disubsidi, setelah program konversi minyak tanah menjadi LPG pedagang
8
martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele menggunakan LPG 3 kg yang disubsidi pemerintah sebagai bahan bakar dalam kegiatan usahanya. Sebagai akibat dari konversi minyak tanah menjadi LPG, terdapat perubahan pola konsumsi dan permintaan bahan bakar yang dilakukan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. Oleh karena itu perlu adanya penelitian tentang bagaimana permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor. 1.2
Rumusan Masalah Program konversi minyak tanah menjadi LPG merupakan program
pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi subsidi BBM, dengan mengalihkan pemakaian minyak tanah menjadi LPG. Program ini diimplementasikan dengan membagikan paket tabung LPG beserta isinya, kompor gas dan aksesorisnya kepada rumah tangga dan usaha mikro pengguna minyak tanah. Adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG yang dilaksanakan oleh pemerintah akan mengubah kebiasaan rumah tangga, dalam hal ini pola konsumsi terhadap penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Usaha mikro yang selama ini menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar dalam produksinya, harus menggantinya dengan menggunakan LPG sebagai bahan bakar dalam proses produksi usahanya. Kota Bogor adalah salah satu daerah sasaran konversi minyak tanah menjadi LPG, dan sudah menjalankan program konversi minyak tanah menjadi LPG kurang lebih empat tahun. Hal ini mengakibatkan Kota Bogor dapat dijadikan salah satu daerah penelitian, untuk menganalisis permintaan LPG oleh
9
rumah tangga dan usaha mikro sebagai target program konversi minyak tanah menjadi LPG. Kota Bogor memiliki letak yang strategis (BPS Kota Bogor, 2010). Letaknya yang strategis menjadikan Kota Bogor sebagai wilayah transit dan tujuan wisata, baik wisata alam, budaya maupun wisata kuliner. Keadaan ini memberikan peluang untuk mengembangkan beberapa sektor, khususnya sektor perdagangan. Data menunjukkan bahwa usaha mikro mendominasi di Kota Bogor dengan jumlah 23 873 pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 25 804 pada tahun 2009. Usaha mikro di Kota Bogor 43 persen adalah usaha di bidang makanan, minuman, jajanan, dan oleh-oleh yang banyak menggunakan bahan bakar minyak dalam usahanya. Dalam penelitian ini diteliti usaha martabak kaki lima untuk mewakili makanan cemilan, dan usaha warung tenda pecel lele mewakili makanan berat untuk mengenyangkan, karena kedua jenis makanan ini berkembang dan banyak ditemui di Kota Bogor. Penelitian Hardian, 2011 menunjukkan bahwa jumlah pedagang martabak kaki lima yang tersebar di enam kecamatan di Kota Bogor adalah 106 orang, dan penelitian Abidin, 2011 menunjukkan bahwa pedagang warung tenda pecel lele di Kota Bogor berjumlah 148 orang. LPG sebagai bahan bakar memegang peranan penting bagi usaha mikro dalam hal ini usaha martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. LPG adalah salah satu input utama yang sangat dibutuhkan dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang akan mendatangkan keuntungan bagi pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. Permintaan LPG sebagai bahan bakar utama dipengaruhi oleh harga LPG itu sendiri dan harga barang-barang input lain yang digunakan dalam proses produksi. Harga bahan-
10
bahan pokok yang digunakan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele sangat fluktuatif. Perkembangan harga bahan-bahan pokok ini dapat dilihat pada Tabel 8. Permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sejauh mana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele menjadi hal yang penting, karena akan berhubungan dengan kelangsungan produksi dan pendapatan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele tersebut. Tabel 8. Perkembangan Harga Bahan Pokok di Indonesia Tahun 2010-2012 No.
Komoditas
Unit Rp/620ml
1/12 2010 8 399
1/11 2011 9 697
1/12 2011 9 645
2/01 2012 9 652
1/02 2012 9 654
1.
Minyak Goreng Kemasan
2.
Minyak Goreng Curah
Rp/kg
10 750
10 566
10 547
10 831
11 354
3.
Daging Sapi
Rp/kg
67 633
71007
70 886
71687
72 432
4.
Daging Ayam Broiler
Rp/kg
25 808
24 268
23 680
25 870
26 796
5.
Daging Ayam Kampung
Rp/kg
44 864
46 278
47 334
47 401
47 960
6.
Telur Ayam Ras
Rp/kg
16 005
16 592
16 620
17 201
17 854
7.
Telur Ayam Kampung
Rp/kg
36 023
35 994
36 301
36 183
36 600
8.
Tepung Terigu
Rp/kg
7 577
7 562
7 601
7 674
7 604
9..
Beras Medium
Rp/kg
7 002
7 675
7 736
7 940
8 079
10.
Gula Pasir
Rp/kg
11 142
10 465
10 447
10 481
10 830
11.
Susu Kental Manis
Rp/kg
8 315
8 666
8 710
8 710
8 697
12.
Cabe Merah Keriting
Rp/kg
26 080
25 585
26 315
34 016
24 105
13.
Cabe Merah Biasa
Rp/kg
22 685
22 419
25 785
31 558
21 901
14.
Bawang Merah
Rp/kg
23 628
14 277
13 643
13 212
12 461
Sumber : Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2012)
Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa hal yang dianalisis dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimanakah karakteristik pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor yang menggunakan LPG sebagai bahan bakarnya?
11
2.
Bagaimanakah permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel
lele di
Kota
Bogor
dan
faktor-faktor
apakah
yang
mempengaruhinya? 3.
Bagaimanakah pendapatan usaha pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan utama
dari penelitian ini adalah menganalisis permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor. Atas dasar tujuan utama penelitian maka tujuan operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengidentifikasi karakteristik pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor yang menggunakan LPG sebagai bahan bakarnya.
2.
Menganalisis permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
3.
Menganalisis pendapatan usaha pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor.
1.4
Manfaat Penelitian Upaya untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele diharapkan dapat membantu para pembuat keputusan terutama para pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele untuk mengevaluasi usahanya dan mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi pengembangan usahanya.
12
Bagi pemerintah atau instansi pengambil keputusan terkait diharapkan penelitian ini dapat sebagai masukan dan bahan pertimbangan baik dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan terkait dengan kelanjutan program konversi minyak tanah menjadi LPG. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bagi penulis maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan sebagai sumber informasi dan masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya. 1.5
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Pedagang martabak dibatasi pada pedagang martabak kaki lima yang
melaksanakan usahanya di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak dan termasuk dalam skala usaha mikro. Jenis martabak yang dijual adalah martabak manis dan martabak telur. Pedagang pecel lele dibatasi pada pedagang warung tenda pecel lele yang menyajikan pecel lele, pecel ayam, bebek goreng, dan aneka masakan seafood. Pedagang warung tenda pecel lele dalam penelitian ini termasuk skala usaha mikro. Pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele berada di enam kecamatan di Kota Bogor. Keterbatasan penelitian ini terletak pada faktor-faktor yang diduga mempengaruhi permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele dalam penelitian ini tidak memasukkan variabel harga bahan bakar substitusi LPG seperti minyak tanah, arang, dan sebagainya.