1
I. 1.1.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Kawasan dilindungi memiliki peran yang tidak tergantikan sebagai benteng perlindungan spesies (Bruner dkk., 2001, Schulman dkk., 2007), kunci bagi konservasi dan pembangunan yang berkelanjutan (Nelson & Serafin, 2010) dan bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati (Dudley, 2008). Kawasan dilindungi juga memiliki laju deforestasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kawasan yang tidak dikonservasi (Clark dkk., 2008; Gaveau dkk., 2009). Kawasan dilindungi menjadi bagian terpenting dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati di tingkat global maupun lokal. Ada banyak pengertian tentang kawasan dilindungi. Tak kurang ada 1.388 istilah yang terkait dengan kawasan dilindungi di seluruh dunia (Guthridge-Gould, 2010). Dalam rangka menyatukan pemahaman dan kesatuan langkah maka disepakati satu pengertian kawasan dilindungi yang berlaku global. Kawasan dilindungi
(protected
areas)
menurut
batasan
International
Union
for
Conservation of the Nature (IUCN) merupakan suatu wilayah yang diakui, diperuntukkan dan dikelola berdasarkan peraturan perundang-undangan atau landasan yang lain untuk meraih kelestarian alam dalam jangka panjang, termasuk di dalamnya jasa lingkungan dan nilai-nilai budaya yang terkait dengannya (Dudley, 2008). Pengertian kawasan dilindungi tersebut merupakan perluasan cakupan dari pengertian kawasan dilindungi menurut
World
Commision on Protected Areas (WCPA) sebelumnya. WCPA merupakan salah
2
satu komisi dari IUCN yang membidangi kawasan dilindungi.
Kawasan
dilindungi dalam kongres WCPA pada tahun 1994 disepakati sebagai wilayah daratan atau lautan yang secara khusus diperuntukkan dan dikelola berdasarkan peraturan perundang-undangan ataupun landasan yang lain untuk perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati beserta sumber daya alam dan budaya yang terkait dengannya (Dudley, 2008). Pada pengertian kawasan dilindungi versi IUCN ada penekanan pada sasaran yang diharapkan dari pengelolaan yaitu untuk mencapai kelestarian alam dalam jangka panjang. Penekanan pada sasaran yang diharapkan dari pengelolaan kawasan dilindungi ini bertujuan agar kinerja pengelolanya dapat diukur (Dudley, 2008). Penekanan pada perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati pada batasan pengertian WCPA diperluas menjadi kelestarian alam yang mencakup jasa lingkungan dan nilai-nilai budaya yang terkait dengannya. Meskipun ada perluasan konsep kawasan dilindungi dalam pengertian IUCN namun kategorisasi kawasan lindung dalam kedua pengertian tersebut tetap sama. Kawasan dilindungi menurut IUCN dikelompokkan ke dalam 6 kategori, yaitu: (1) Strict Nature Reserve/Wilderness Area; (2) National Park; (3) Natural Monument; (4) Habitat/Species Management Area; (5) Protected Land/Seascape; dan (6) Protected Area with Sustainable Use of Natural Resources (Dudley, 2008). Kategorisasi kawasan dilindungi ini digunakan untuk mengklasifikasikan aneka ragam wujud dan istilah yang terkait dengan kawasan dilindungi yang terkadang berbeda antara negara satu dengan negara yang lain.
3
Begitu pentingnya fungsi kawasan dilindungi sehingga berbagai negara di seluruh dunia berlomba-lomba mengalokasikan kawasan dilindungi. Sejak tahun 1990 kawasan dilindungi global jumlahnya naik 58 persen dan luasannya meningkat 48 persen (Bertzky dkk., 2012). Saat ini terdapat kurang lebih 160.000 kawasan dilindungi di seluruh dunia yang mencakup 13 persen daratan dan 1,6 persen ekosistem lautan (Bertzky dkk., 2012; Woodley dkk., 2012). Jumlah dan luasan kawasan dilindungi terus meningkat seiring meningkatnya komitmen dunia terhadap konservasi keanekaragaman hayati. Dalam Rencana Strategis Global tentang Konvensi Keanekaragaman Hayati telah disepakati target paling tidak 17 persen daratan dan 10 persen pesisir dan lautan di masing-masing tipe ekoregion terlindungi dalam sistem kawasan dilindungi global pada tahun 2020 (Woodley dkk., 2012). Target tersebut merupakan salah satu turunan dari Aichi Biodiversity Target 2020, yaitu pada target yang ke-11. Target cakupan kawasan dilindungi global tersebut melonjak tajam dari target Kongres Taman Nasional se-Dunia di Caracas tahun 1992. Kongres Taman Nasional pada tahun 1992 masih mengamanatkan proporsi luas minimal kawasan dilindungi pada suatu wilayah adalah 10 persen dari luas wilayah keseluruhan (Brooks dkk., 2004). Angka 10 persen tersebut digunakan oleh banyak negara untuk menentukan alokasi minimal kawasan dilindungi di negara masing-masing (Brooks dkk., 2004). Proporsi 10 persen kawasan dilindungi diterapkan tidak saja pada skala negara, namun juga diterapkan pada tingkat pulau, regional maupun wilayah administrasi tertentu.
4
Meskipun pada skala global telah banyak dialokasikan kawasan dilindungi, namun kecukupannya banyak dipertanyakan (Powell dkk., 2000; Rodrigues dkk., 2003; Rodrigues dkk., 2004; Brooks dkk., 2004; Pliscoff dan Fuentes-Castillo,
2011).
Banyak
kawasan
dilindungi
ditetapkan
tanpa
pertimbangan ilmiah yang memadai sehingga tak kurang dari 1.000 spesies burung, mamalia dan amphibi yang tidak terwakili dalam sistem kawasan dilindungi global (Rodrigues dkk., 2003; Rodrigues dkk., 2004)
dan juga
beberapa klasifikasi ekosistem tertentu (Powell dkk., 2000; Pliscoff dan FuentesCastillo, 2011). Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan 27,2 juta hektar kawasan konservasi yang terdiri 521 unit pengelolaan (Partono, 2011). Istilah kawasan konservasi lazim digunakan bahkan secara resmi untuk menyebut kawasan dilindungi di Indonesia yang merujuk pada cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam dan taman buru (Bapenas-Ministry of Forestry, 1994; Sembiring dkk., 1999; Wiryono, 2003; Brockhaus dkk., 2012). Meskipun cukup banyak kawasan konservasi yang dialokasikan namun kecukupannya sering menjadi perdebatan. Upaya mengevaluasi kecukupan kawasan konservasi di Indonesia juga telah mulai dilakukan. Jepson dkk. (2002) telah mengevaluasi kecukupan sistem kawasan konservasi di Provinsi Kalimantan Timur. Hermawan (2002) telah mengevaluasi persebaran kawasan konservasi di pulau Jawa bagian tengah. Kedua penelitian tersebut melakukan analisis kesenjangan sistem kawasan konservasi di tingkat provinsi, namun belum pada
5
tingkat kabupaten. Padahal sejak tahun 1998 sistem pemerintahan di Indonesia telah bergeser dari sentralistik ke desentralisasi pada tingkat kabupaten. Desentralisasi yang diadopsi dalam sistem pemerintahan Indonesia melalui Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbarui dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 mensyaratkan pelimpahan kewenangan pada sebagian aspek tata kelola pemerintahan.
Dalam sistem
desentralisasi tersebut peranan pemerintah kabupaten dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya semakin kuat (Barr dkk., 2006). Pemerintah kabupaten berwenang mengelola sumber daya nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan (Barr dkk., 2006; Hariyanto dan Tukidi, 2007; Subarudi dan Dwiprabowo, 2007). Sayangnya pelimpahan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten tersebut tidak termasuk dalam hal pengelolaan kawasan konservasi (pasal 7 ayat 2 Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah), kecuali pada penetapan kawasan konservasi laut di tingkat kabupaten (Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota). Mengingat fungsi kawasan konservasi yang sangat penting dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati maka tanggung jawab pemerintah kabupaten memelihara kelestarian lingkungan di daerah masing-masing akan terkendala jika sistem kawasan konservasi yang ada tidak mencukupi.
Keberadaan habitat
spesies dan ekosistem di luar kawasan konservasi seharusnya diikuti dengan penambahan kawasan konservasi baru, terutama pada wilayah-wilayah yang
6
ekosistemnya tidak tergantikan (irreplaceable) dan menghadapi ancaman yang tinggi (Rodrigues dkk., 2004). Pemerintah kabupaten dengan kewenangan yang dimilikinya perlu mencari strategi untuk mengisi kesenjangan dalam sistem kawasan konservasi agar kelestarian lingkungan di wilayahnya terjaga. Pemerintah daerah tidak berwenang mengelola kawasan konservasi namun memiliki kewenangan dalam mengatur, menyelenggarakan dan mengendalikan penataan ruang wilayah di daerah masing-masing. Kewenangan pemerintah kabupaten dalam pengaturan tata ruang wilayah tersebut diantaranya adalah dalam hal menetapkan, mengatur pemanfaatan dan mengendalikan pemanfaatan kawasan lindung. Kawasan lindung menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya buatan (pasal 1 ayat 21). Cakupan pengertian dan ragam kawasan lindung dalam Undang-undang Penataan Ruang ini lebih luas dari pengertian kawasan konservasi. Kawasan konservasi hanya merupakan salah satu kategori dalam ragam kawasan lindung. Berbeda dengan kawasan konservasi yang terbatas pada kawasan hutan negara dan dikelola oleh pemerintah dengan tujuan untuk konservasi keanekaragaman hayati, maka kawasan lindung dapat berada di luar tanah hutan negara serta dimungkinkan dikelola oleh pihak-pihak selain pemerintah.
7
Selama ini dari berbagai kategori kawasan lindung, baru kawasan konservasi yang secara resmi dijadikan tumpuan bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati. Upaya konservasi keanekaragaman hayati yang bertumpu pada kawasan konservasi dapat terkendala oleh kesenjangan sistem kawasan konservasi yang ada maupun oleh keterbatasan kemampuan pemerintah sebagai pengelola. Konservasi keanekaragaman hayati yang bertumpu pada kawasan konservasi menunjukkan tidak adanya pengakuan terhadap kawasan berfungsi serupa namun dikelola oleh pihak-pihak selain pemerintah. Kawasan yang dikelola oleh pihak-pihak selain pemerintah, namun juga memiliki fungsi yang menyerupai kawasan konservasi inilah yang dalam penelitian ini disebut sebagai kawasan lindung partikelir. Revitalisasi
peran
kawasan
lindung
partikelir
dalam
konservasi
keanekaragaman hayati memerlukan kajian yang bersifat multidisiplin, yang mencakup aspek fisik, biotik dan sosiobudaya. Ilmu lingkungan adalah kajian tentang lingkungan abiotik, biotik dan budaya (Allaby, 2000): interaksi lingkungan antar lingkungan abiotik, biotik dan budaya (Tanjung, 2000). Kajian fungsi kawasan lindung partikelir dalam kesenjangan sistem kawasan konservasi yang menjadi topik penelitian disertasi ini memerlukan dukungan data dan informasi fisik, keanekaragaman hayati, peraturan perundang-undangan, sejarah kawasan, dan tradisi budaya masyarakat setempat terkait kawasan lindung partikelir yang merupakan cakupan dari kajian ilmu lingkungan.
8
1.1.1
Rumusan Permasalahan
Kabupaten Banyuwangi secara alami merupakan habitat berbagai satwa langka dan dilindungi seperti Banteng (Bos javanicus), Merak (Pavo muticus) dan beberapa satwa lainnya (Whitten dkk., 1999). Wilayah Kabupaten Banyuwangi memiliki 5 kawasan konservasi yang telah ditunjuk sejak jaman kolonial Hindia Belanda. Luas keseluruhan kawasan konservasi di Banyuwangi mencapai 67.067,50 hektar (Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2009)
atau sekitar 11,6
persen dari luas kabupaten secara keseluruhan. Persentase tersebut sudah melebihi target minimal proporsi luasan kawasan konservasi pada satu wilayah sesuai hasil Kongres Taman Nasional se-Dunia di Caracas tahun 1992. Kongres Taman Nasional se-Dunia tahun 1992
telah mengamanatkan proporsi luas minimal
kawasan konservasi pada suatu wilayah adalah 10 persen dari luas wilayah keseluruhan (Brooks dkk., 2004). Meski luasan kawasan konservasi di wilayah Kabupaten Banyuwangi telah melebihi target minimal, namun kecukupan dari sistem kawasan konservasi tersebut dalam memenuhi kebutuhan upaya pelestarian keanekaragaman hayati belum diketahui. Seiring meningkatnya peran pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap sistem kawasan konservasi di Kabupaten Banyuwangi. Evaluasi tersebut bermanfaat untuk pengembangan strategi lanjutan dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007
(Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah),
maka pemerintah Kabupaten
9
Banyuwangi berwenang mengatur, menyelenggarakan dan mengendalikan penataan ruang wilayah di wilayahnya. Kewenangan ini mencakup pula kewenangan untuk menetapkan, mengatur pemanfaatan dan mengendalikan pemanfaatan kawasan-kawasan lindung yang ada di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Kewenangan menetapkan dan mengendalikan pemanfaatan kawasan lindung ini semestinya dapat digunakan untuk mendukung upaya pelestarian keanekaragaman hayati di Kabupaten Banyuwangi. Ada beberapa ragam kawasan lindung di wilayah Kabupaten Banyuwangi yang berada di atas tanah milik ataupun tanah dengan hak penguasaan yang lain. Kawasan lindung tersebut yang dikelola oleh perorangan maupun badan usaha. Meskipun tidak dikelola oleh pemerintah, kawasan lindung tersebut berpotensi difungsikan sebagai pendukung sistem kawasan konservasi di Banyuwangi. Hal ini sesuai dengan kecenderungan global untuk mengakui peran pihak non pemerintah dalam konservasi keanekaragaman hayati (Langholz dkk., 2000). Kongres Taman Nasional V di Durban pada tahun 2003 telah mengakomodasi keberadaan kawasan dilindungi yang dikelola oleh pihak-pihak di luar pemerintah. Kawasan lindung partikelir (Private Protected Areas) mencakup semua kawasan dilindungi yang tidak dikelola pemerintah (Langholz dkk., 2000), walaupun Carter dkk. (2010) memisahkan kawasan dilindungi yang dikelola perorangan dan komunal dari batasan kawasan lindung partikelir. Namun demikian, IUCN lebih sepakat pada pengertian kawasan lindung partikelir yang dibuat oleh Langholz dkk. (2000) yang tidak memisahkan kawasan konservasi masyarakat dan individu dari cakupan kawasan lindung partikelir.
10
Kawasan lindung partikelir semestinya dapat difungsikan dalam upaya pemenuhan kesenjangan sistem kawasan konservasi di Kabupaten Banyuwangi, namun demikian masih banyak permasalahan yang harus dijawab sebelumnya. Beberapa permasalahan yang perlu dicari jawabannya adalah: 1. Bagaimana kesenjangan dalam sistem kawasan konservasi di wilayah Kabupaten Banyuwangi? 2. Apakah kawasan lindung partikelir berpotensi memenuhi kesenjangan sistem kawasan konservasi di Kabupaten Banyuwangi? 3. Sejauh mana fungsi konservasi keragaman hayati dari kawasan lindung partikelir ?
1.1.2
Keaslian Penelitian Kecukupan sistem kawasan dilindungi dalam konservasi keanekaragaman
hayati mulai banyak dipertanyakan (Powell dkk., 2000; Jepson dkk., 2002; Brooks dkk., 2004) demikian pula upaya untuk mencukupi kesenjangan kebutuhan tersebut (Rodrigues dkk., 2004; Nel dkk.,
2009).
Kajian kecukupan sistem
kawasan dilindungi selama ini telah dilakukan pada skala regional, atau negara. Kajian serupa sudah dilakukan di Indonesia pada tingkat provinsi (Hermawan, 2002; Jepson dkk., 2002) namun kajian dalam skala kabupaten belum pernah dilakukan (Tabel 1.1). Pada era desentralisasi pemerintahan di Indonesia seperti saat ini peranan pemerintah
kabupaten
cukup
besar.
Pemerintah
kabupaten
mempunyai
11
kewenangan untuk mengatur, menyelenggarakan dan mengendalikan ruang di wilayah
masing-masing,
termasuk
untuk
menetapkan
dan
mengatur
penyelenggaraan pengelolaan kawasan lindung. Penelitian ini memulai suatu upaya untuk mengevaluasi kecukupan sistem kawasan konservasi pada tingkat kabupaten dan mengintegrasikannya dengan kewenangan pemerintah kabupaten dalam mengatur pemanfaatan dan penyelenggaraan pemanfaatan kawasan lindung untuk mendukung upaya konservasi keanekaragaman hayati di wilayah kabupaten masing-masing. Tabel 1.1 Penelitian Terkait Sebelumnya No 1
Peneliti dan tahun publikasi Powell dkk., 2000
2
Muta’ali 2001
3
Hermawan, M.T.T, 2002 Jepson dkk., 2002
4
dkk.,
5
Brooks 2004
dkk.,
6
Rodrigues dkk., 2004
7
Subagyo, 2009
8
Nel dkk., 2009
9
Santoso 2010
dkk.,
Judul Publikasi
Tujuan
Assessing representativeness of Protected Natural Areas in Costa Rica for conserving biodiversity Rencana Tata Ruang Kawasan Lindung kabupaten Banjarnegara
Mengkaji keterwakilan ekosistem dalam kawasan dilindungi pada skala negara Pengalokasian kawasan lindung dlm RTRW kabupaten Mengevaluasi kawasan konservasi pd skala propinsi Mengevaluasi sistem kawasan dilindungi pada skala provinsi
Persebaran kawasan konservasi di pulau Jawa bagian Tengah A Review of the efficacy of the Protected Areas System in East Kalimantan Province, Indonesia Coverage provided by the Global Protected Area system: Is it enough? Global Gap Analysis: Priority Regions for Expanding the Global Protected Areas Network Studi Penyusunan Kawasan Lindung Abadi di kabupaten Jepara Expanding protected areas beyond their terrestrial comfort zone: Identifying spatial options for river conservation Analisis penataan ruang kawasan lindung kabupaten Pandeglang dengan aplikasi GIS dan Remote Sensing
Mengevaluasi kecukupan kawasan dilindungi skala global Mengidentifikasi wilayah prioritas kehati namun belum terlindungi pada skala global Inventarisasi kawasan lindung permanen Mengidentifikasi peluang perluasan kawasan dilindungi dengan memanfaatkan sungai Mengevaluasi kesenjangan kawasan lindung aktual (RTRW) dan formal (regulasi)
Sumber: Olah Data, 2013
12
Pada Tabel 1.1 juga tampak bahwa kajian tentang kawasan lindung di tingkat kabupaten telah dilakukan oleh Muta’ali dkk. (2001), Subagyo (2009) dan Santosa dkk. (2010) namun tidak berfokus pada perlindungan keanekaragaman hayati secara khusus. Belum ada penelitian yang mengkaitkan kawasan lindung dengan upaya konservasi keanekaragaman hayati dan lebih spesifik lagi mengkaitkan dengan upaya untuk memenuhi kecukupan sistem kawasan konservasi yang ada di wilayah kabupaten tersebut. Penelitian ini adalah penelitian pertama yang mengkaitkan antara fungsi kawasan lindung dengan upaya pemenuhan dari kesenjangan sistem kawasan konservasi yang ada pada suatu wilayah kabupaten. Kawasan lindung yang dikelola oleh berbagai pihak berpeluang memunculkan pengakuan akan keberadaan kawasan lindung partikelir (private protected areas). Meskipun telah menjadi kecenderungan global pasca Kongres Taman Nasional ke-5 di Afrika Selatan tahun 2003 namun kajian tentang kawasan lindung partikelir belum banyak dilakukan di Indonesia, apalagi di Kabupaten Banyuwangi. Pada Tabel 1.1 tampak bahwa penelitian yang ada di Kabupaten Banyuwangi baru sebatas tentang kearifan masyarakat dalam pelestarian lingkungan secara luas (Herawati dkk., 2004) atau pola pemukiman (Nur dkk., 2010). Kedua penelitian tersebut belum mengkaji tentang potensi pelestarian keanekaragaman hayati melalui kawasan konservasi yang dikelola oleh masyarakat. Penelitian ini merupakan upaya awal untuk mengkaji fungsi konservasi keanekaragaman hayati kawasan lindung di Kabupaten Banyuwangi
13
yang dikelola oleh pihak selain pemerintah, termasuk kawasan lindung partikelir yang dikelola oleh masyarakat dan badan usaha.
1.1.3
Manfaat Penelitian Penelitian ini memberi manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan dan
praktek konservasi keanekaragaman hayati. Penelitian ini memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang tata rancang sistem kawasan dilindungi, khususnya pengembangan jejaring kawasan (reserve network) dengan memanfaatkan penggunaan lahan dengan variasi pelaku penguasaan dan pengelolaan lahan. Dengan demikian, penelitian ini dapat memberikan landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang kawasan lindung partikelir (private protected areas) yang belum banyak dikembangkan di Indonesia. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai landasan untuk mengakui keberadaan kawasan lindung partikelir (private protected areas) sebagai salah satu bagian dari strategi konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Penelitian ini juga bermanfaat bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati di Kabupaten Banyuwangi. Temuan atas kesenjangan kecukupan sistem kawasan konservasi di Banyuwangi serta peluang-peluang memfungsikan keberadaan kawasan lindung partikelir untuk mengisi kesenjangan tersebut dapat digunakan sebagai landasan strategi konservasi yang lebih efektif di tingkat kabupaten. Penelitian ini mendukung upaya konservasi yang aktif memasuki wilayah di luar kawasan konservasi (beyond the boundaries). Hasil penelitian juga memberi
14
landasan untuk melakukan upaya revitalisasi terhadap peranan pihak-pihak di luar pemerintah dalam konservasi keanekaragaman hayati. Partisipasi masyarakat dan dunia usaha akan menjadi kunci bagi keberhasilan pengelolaan keanekaragaman hayati di masa yang akan datang.
1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian dalam disertasi ini adalah sebagai berikut: a. Mengevaluasi kesenjangan dalam sistem kawasan konservasi di Kabupaten Banyuwangi. b. Menyusun pemodelan spasial kawasan lindung partikelir dalam memenuhi kesenjangan sistem kawasan konservasi di Kabupaten Banyuwangi. c. Mengkaji fungsi perlindungan keanekaragaman hayati dari kawasan lindung partikelir di Kabupaten Banyuwangi.