1
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Perubahan iklim telah dirasakan pada hampir seluruh wilayah di dunia
dan salah satu dampak yang dirasakan oleh manusia adalah pemanasan global (Dipayana dkk, 2012; DNPI, 2009; Harvell dkk 2002; IPCC, 2007; Sudarmadji dkk., 2012). Beberapa wilayah di Benua Eropa mengalami peningkatan suhu yang signifikan pada tahun 1980 hingga 2000 yaitu 0,55 °C (Hansen dkk,2005). Suhu udara di Indonesia juga telah meningkat sebesar 0,3 °C sejak tahun 1950 hingga 2000 (Hulme dan Sheard, 2000). IPCC (Inter-govermental Panel on Climate Charge) pada tahun 2001 mempublikasikan bahwa peningkatan suhu telah terjadi diseluruh wilayah di dunia, namun peningkatan suhu terbesar terjadi pada wilayah perkotaan.Tingginya suhu pada wilayah perkotaan dipicu oleh pembangunan kota yang pesat. Pembangunan
kota
yang
ditujukan
untuk
menyajikan
peluang
meningkatkan kualitas hidup, disisi lain justru membawa dampak negatif bagi kualitas lingkungan perkotaan. Peningkatan urbanisasi guna memperoleh kualitas hidup yang lebih layak berdampak pada bertambahnya penduduk di daerah kota. Hal ini memicu meningkatnya perubahan penggunaan lahan menjadi lahan-lahan terbangun atau permukaan yang sulit bertranspirasi. Lahan bervegetasi akan semakin berkurang tergantikan oleh lahan terbangun sehingga memicu kontrasnya radiasi permukaan dan suhu udara di daerah kota jika dibandingkan dengan daerah
desa (Wang dkk, 2004). Suhu udara yang berbeda antara daerah kota dan desa disebut dengan Heat Island Effect atau efek pulau bahang. Pulau bahang telah banyak ditemukan di kota besar di Indonesia dan Kota Surabaya adalah salah satu kota yang merasakannya (Hidayati, 2013; Juniwati dkk, 2013; Rushayati, 2009; Tursilawati, 2002; Wicahyani dkk, 2012). Peningkatan suhu akibat adanya pulau bahang dan lokasi Surabaya yang berada pada dataran rendah dengan ketinggian 3-6 meter dpl menyebabkan suhu udara di kota ini menjadi kurang nyaman. Data iklim Kota Surabaya menunjukkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan suhu udara rata-rata sebesar 1°C (BPS, 2014). Suhu udara di Surabaya memuncak pada waktu siang hari sehingga di waktu ini kondisi suhu di Surabaya jauh diatas kenyamanan termal ideal. Talarosha (2005) menyatakan bahwa kenyamanan suhu optimal terjadi jika suhu udara minimal 22,8 °C hingga 25,8 °C dengan kelembapan 70%. Menghadapi hal ini, sebagian masyarakat Surabaya meresponnya dengan melakukan upaya mitigasi praktis menggunakan alat pendingin ruangan (Air Conditioner) di dalam ruangan. Penggunaan alat pendingin ruangan memiliki manfaat yang terbatas karena hanya menurunkan suhu dalam ruangan saja dan panas yang terdapat didalam ruangan dihembuskan keluar sehingga meningkatkan suhu diluar ruangan (Dahlan, 2011). Penggunaan pendingin udara tidak terlepas dari peran freon yang berfungsi sebagai pendingin. Freon sendiri memiliki Global Warming Potential (GWP) 510 kali lebih besar dibandingkan CO2. Selain nilai GWP yang lebih tinggi, freon juga memiliki Atmosfer Life Time (ALT) sebesar 15, artinya gas
2
freon dapat bertahan 15 tahun di atmosfer sebelum terurai (UNFCCC, 2015). Penggunaan freon yang memperburuk kondisi pemanasan global menjadikan pendingin udara bukan merupakan solusi jangka panjang untuk menurunkan suhu udara. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa kenyamanan termal menjadi salahsatu indikator kenyamanan hidup. Kenyamanan termal adalah kondisi pikiran yang mengekspresikan kepuasan terhadap lingkungan termal (ISO 7730). Pentingnya kenyamanan ini diperkuat oleh pernyataan Thom (1959) dalam Tauhid (2008) bahwa suhu udara sangat berpengaruh terhadap kenyamanan manusia, baik secara langsung maupun tak langsung, sehingga perlu dilakukan perbaikan iklim mikro Kota Surabaya agar kondisi termal menjadi nyaman namun tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan. Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan cara efektif dan ramah lingkungan dalam menjaga kenyamanan suhu udara kota. Vegetasi memiliki efek menurunkan suhu udara disekitarnya (Dahlan, 2011; Hidayati, 2013; Juniwati dkk, 2013; Sari, 2013; Tauhid, 2009). Hidayati (2013) mengungkapkan bahwa permukaan benda di bumi memantulkan sebagian besar radiasi matahari, kecuali permukaan vegetasi. Pada siang hari vegetasi mampu menyerap sinar matahari dalam jumlah besar akan memacu transpirasi yang tinggi pada siang hari menyebabkan terjadinya penurunan suhu udara disekitar vegetasi. Kemampuan penurunan suhu udara oleh vegetasi semakin optimal bila vegetasi ditanam dalam satu komunitas vegetasi. Koto (1991) mengemukakan bahwa hutan kota dapat menurunkan suhu udara di kota dengan mempertimbangkan proporsi
3
yang tepat antara hutan kota dengan luas kota. Proporsi antara luas hutan kota dengan luas kota telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa persentase luas hutan kota paling sedikit 10% dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat. Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 29 ayat (2) mengatur, bahwa proporsi ruang terbuka hijau (RTH) pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Peraturan dan perundang-undangan ini membantu pemerintah daerah dalam menentukan target kepemilikan RTH dan Hutan Kota di daerah. Surabaya memiliki hutan kota seluas 2.711,12 ha atau setara dengan 8% dari luas kota (diluar area pertanian). Luas Hutan Kota ini masih jauh dari target Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dalam RTRW Surabaya 2014 sebesar 15% dari luas kota (BLH Surabaya, 2014). Guna memenuhi target ini Pemkot Surabaya melakukan perencanaan pembangunan RTH di dalam Kota Surabaya,namun pembangunan ini menemui beberapa kendala yang belum terpecahkan, yaitu perumusan luas minimal hutan kota yang efektif dalam mengendalikan iklimdan keterbatasan lahan di area perkotaan (www.koran-sindo.com/node/400551). Keterbatasan lahan di Surabaya direspon komisi B DPRD Kota Surabaya dengan merumuskan rancangan peraturan daerah (raperda) dengan tujuan untuk mengoptimalkan RTH menjadi hutan kota.
1.2
Permasalahan Penelitian Kota ini berada di dataran rendah dengan ketinggian 3-6 meter di atas
permukaan laut menjadikan suhu udara di Surabaya cukup panas. Kondisi ini
4
kemudian diperburuk oleh adanya pemanasan global yang terjadi di seluruh wilayah di Indonesia dan salah satu wilayah yang merasakannya adalah Surabaya. Perbaikan terhadap iklim mikro Surabaya perlu dilakukan agar kondisi termal menjadi nyaman. Solusi yang dipilih untuk melakukan perbaikan iklim perlu memperhatikan keseimbangan lingkungan agar dampak yang dirasakan tidak memperburuk pemanasan global. Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan cara efektif dan ramah lingkungan dalam menjaga kenyamanan suhu udara kota. Hal ini disebabkan karena vegetasi memiliki kemampuan menurunkan suhu udara. Pengembangan RTH menghadapi beberapa kendala, salah satunya adalah keterbatasan lahan. Keterbatasan lahan dapat disiasati dengan meningkatkan kemampuan RTH seperti hutan kota. Hutan kota memiliki kemampuan pengendalian iklim yang terbaik dibandingkan RTH jenis lain. Untuk melakukan peningkatan status RTH diperlukan RTH yang sesuai dengan karakter hutan kota. Perlu juga diketahui kemampuan pengendalian iklim yang dimiliki oleh RTH tersebut. Kemampuan pengendalikan iklim masing-masing RTH berbeda, berdasarkan bentuk, struktur, kemampuan individu pohon dan komunitas pohonnya. Untuk itu perlu dilakukan kajian mengenai RTH kemampuan RTH sebagai ameliorasi iklim. Ameliorasi iklim atau pengendalian iklim adalah pengaturan suhu, cahaya, kelembapan dan aliran udara pada ruang terbuka. Untuk mendapatkan hasil optimal efek pengendalian iklim mikro dari RTH diperlukan proporsi yang tepat antara luas RTH dengan luas kota. Luas minimal penutupan RTH dan hutan kota telah ditetapkan dalam undang-undang
5
dan peraturan pemerintah. Aspek penting selanjutnya adalah bagaimana penambahan hutan kota dapat memenuhi kenyamanan termal bagi warga disekitarnya. Untuk itu perlu dilakukan kajian mengenai jangkauan efek pengendalian iklim mikro hutan kota. Setelah diketahui jangkauan efek pengendalian iklim mikro dari RTH maka dapat dirumuskan besar penambahan hutan kota yang optimal sebagai ameliorasi iklim mikro, khususnya suhu udara. Dari masalah tersebut maka timbul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. bagaimana kemampuan RTH Kota Surabaya sebagai ameliorasi iklim? 2. sejauh mana jangkauan efek pengendalian iklim mikro dariRTH di Surabaya? 3. bagaimana merumuskan kebutuhan RTH atau Hutan Kota berdasarkan pada kenyamanan suhu dan jangkauan kemampuan ameliorasi RTH ? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai Kemampuan Ameliorasi Iklim Ruang Terbuka Hijau di Kota Surabaya. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk: 1.
mengkaji kemampuan RTH di Kota Surabaya sebagai ameliorasi iklim.
2.
mengkaji jangkauan kemampuan ameliorasi RTH di Kota Surabaya.
3.
merumuskan masukan penambahan hutan kota berdasarkan pada kenyamanan suhu dan jangkauan kemampuan ameliorasi RTH terhadap suhu udara.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan dan untuk kepentingan praktis bagi semua pihak terutama kepada pengembangan ilmu pengetahuan, masyarakat dan pemerintah. 6
1. Pengembangan ilmu pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan untuk pengembangan teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan ilmu lingkungan, terutama mengenai indeks kenyamanan termal dan jangkauan dari kemampuan ameliorasi RTH. 2. Masyarakat Manfaat penelitian bagi masyarakat adalah memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya keberadaan pepohonan di sekitar tempat tinggal. Disamping itu, kajian mengenai jangkauan kemampuan ameliorasi RTH dapat memberikan masukan teknis tentang peletakan pohon di sekitar tempat tinggal agar tercipta iklim mikro yang nyaman, khususnya suhu udara. 3. Pemerintah Hasil penelitian yang diperoleh dapat digunakan untuk membantu pemerintah menentukan kebijakan dalam perencanaan peletakan RTH dan Hutan Kota yang efektif membawa dampak langsung sebagai ameliorasi iklim mikro di perkotaan.
1.5 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai ruang terbuka hijau (RTH) sudah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Penelitian-penelitian tersebut lebih banyak terkait dengan perubahan fungsi, evaluasi dan pengawasan fungsi, perencanaan pembangunan berdasarkan ketersediaan oksigen, tingkat pencemaran pencemaran, jumlah penduduk dan pertimbangan ekonomi. Penelitian terkait dengan jarak jangkau
7
efek vegetasi pohon terhadap suhu udara telah dilakukan oleh Tauhid (2008) namun penelitian tersebut dilakukan pada individu pohon saja sedangkan penelitian terhadap komunitas pohon (RTH) belum pernah dilakukan peneliti sebelumnya. Penelitian terkait dengan elemen iklim mikro terhadap kenyamanan termal telah di ruang luar dilakukan oleh Sangkertadi (2013) namun penelitian ini lebih bertujuan untuk melihat keterkaitan antara variabel iklim mikro terhadap persepsi manusia dimana setting penelitian dilakukan pada lokasi ternaungi seluruhnya dan ternaungi sebagian tanpa melihat keterkaitannya dengan RTH. Penelitian yang lebih spesifik meneliti kenyamanan termal yang disebabkan oleh kemampuan RTH dalam mengendalikan iklim mikro belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Kemampuan Ameliorasi Iklim Ruang Terbuka Hijau di Kota Surabaya”.
8
Tabel l .1 Penelitian Terdahulu NO 1.
2.
NAMA, TAHUN Liangmei Huang; Dehua Zhao; Jiazhen Wang; Jiyu Zhu; Jianlong Li, 2007
Tauhid, 2008
JUDUL
TUJUAN
METODE
HASIL
Scale Impact of Land Cover and Vegetation Corridors on Urban Thermal Behavior in Nanjing, China.
1. Meneliti variasi suhu udara siang dan malam hari pada musim panas di empat tutupan lahan yang berbeda 2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi UHI dan iklim mikro di daerah perkotaan
Metode eksperimental
1. Distribusi suhu pada siang hari menunjukkan tutupan lahan paling rendah suhunya adalah hutan kemudian badan air lalu lapangan rumput dan paling tinggi adalah perkerasan beton. Pada malam hari suhu udara di hutan dan badan air cenderung stabil sedangkan suhu udara di lapangan rumput lebih rendah dibandingkan perkerasan beton 2. Pada skala mikro, iklim mikro kota dipengaruhi oleh kerapatan pohon, radiasi matahari, kondisi penutupan langit dan diamter panjang kanopi cakupan. Sedangkan yang mempengaruhi iklim pada skala meso adalah penutupan lahan, intensitas aliran udara, tingkat kelembapan dan keberadaan koridor vegetasi.
Kajian Jarak Jangkau Efek Vegetasi Pohon Terhadap Suhu Udara Pada Siang Hari di Perkotaan
1. Mengidentifikasi dan menganalisis jarak jangkau efek vegetasi pohon terhadap suhu udara siang hari di perkotaan 2. Menganalisi prosentase luas dan penempatan posisi hutan kota atau vegetasi pohon agar efektif mengendalikan kenaikan suhu udara di seluruh penjuru kota
Deskriptif Eksploratif
1. Kanopi pohon tidak mampu mengendalikan kenaikan suhu udara area non vegetasi seluas 9x dari luas canopy 2. Arah dan kecepatan angin mempengaruhi jarak jangkau efek vegetasi terhadap penurunan suhu udara
9
Tabel 1.1 (lanjutan) 3.
Sangkerta di, 2013
Pengaruh Kecepatan Angin Terhadap Tingkat Kenyamanan Termal di Ruang Luar Iklim Tropis Lembab
4.
Ibrahim Gulagnar Hanifa, 2014
Analisis Ekonomi Pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
1. Mengkaji hubungan antara variabel iklim ruang luar (suhu radiatif, suhu udara, kecepatan angin, kelembapan udara, radiasi matahari) terhadap persepsi termis yang dialami manusia 2. Mengkaji hubungan kecepatan angin dalam merendam rasa panas oleh manusia yang sedang berada di bawah terik matahari di lokasi tropis 1. Mengestimasi dampak polusi udara tercegahakibat pembangunan RTH 2. Menaksir nilai ekonomi pencegahan dampak polusi karena pembangunan RTH 3. Mengevalusi kelayakan proyek pembangunan RTH
Metode Eksploratif
1. Lingkungan kenyamanan termal di ruang luar dibentuk bukan hanya karena faktor iklim mikro tetapi juga faktor manusianya (aktifitas, ukuran dan pakaian). Jadi rasa kenyamanan termal di ruang luar, sebagaimana juga di ruang dalam beriklim tropis lembab merupakan fungsi terpadu antara suhu udara (Ta), suhu radiatif (Tg), kecepatan angin (v) dan parameter manusia (aktifitas,jenis pakaian, ukuran tubuh). 2. Kecepatan angin yang menyentuh tubuh manusia mempengaruhi rasa kenyamanan di ruang luar iklim tropis lembab secara signifikan.upaya untuk menurunkan suhu radiatif melalui praktek penaungan dan penerapan material permukaan non reflektor panas, juga merupakan cara yang ramah lingkungan termal.
Metode dose respon
1. Pembangunan RTH dapat mencegahdampak polusi udara seperti ISPA,TB dan Asma. 2. Nilai ekonomi pencegahannya dari tahun 2010 hingga 2012 sebesar 41,4 M 3. Proyek pembangunan RTH layak secara ekonomi dalam mengurangi dampak polusi udara
10
5.
Prasetyo Febrianto, 2014
Tata Hijau Pada uang Jalan Menuju Kenyamanan Termal Iklim Mikro (Studi Kasus Jalur Pedestrian, Penggal Jalan Slamet Riyadi di Surakarta
Mendapatkan kondisi ideal dengan membuat nyaman jalur pedestrian berdasarkan kenyamanan termal iklim mikro.
Metode eksperimental
1. Kenyamanan termal pada jalur pedestrian ruang jalanSlamet Riyadi ada yang nyaman dan tidak nyaman 2. Penataan jalur pedestrian berdasarkan kenyamanan termal iklim mikro berbasis tata hijau
6.
Annisaa Elok Permatasa ri, 2016
Kemampuan Ameliorasi Iklim Ruang Terbuka Hijau di Kota Surabaya
1. Mengkaji kemampuan RTH di Kota Surabaya sebagai pengendali iklim 2. Mengkaji jangkauan efek pendinginan RTH 3. Memberi masukan penambahan hutan kota berdasarkan kenyamanan termal dan jangkauan pendinginan RTH
Metode Purposive Sampling l
3. Taman Flora memiliki kemampuan ameliorasi iklim yang baik jika dilihat dari bentuk dan strukturnya (bergerombol berstrata banyak), kemampuan individu pohon (didominasi pohon yang sangat sesuai dan sesuai untuk ameliorasi iklim) dan kemampuan komunitas pohon (kerapatan yang sangat rapat dan luas tajuk yang lebar). 4. Taman Flora efektif menurunkan suhu pada luas RTH 30% dari luas kota dengan kemampuan penurunan suhu pada RTH sebesar 3,46°C dan pada RTH seluas 30% dari luas kota sebesar 2,09°C. 5. Untuk mencapai kenyamanan termal, dibutuhkan penambahan RTH sebesar 69,6% .
11