1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri haid adalah keluhan ginekologis yang paling sering terjadi pada wanita. Nyeri saat haid menyebabkan ketidaknyamanan dalam aktivitas fisik sehari-hari. Keluhan ini berhubungan dengan ketidakhadiran berulang di sekolah ataupun di tempat kerja, sehingga dapat mengganggu produktivitas. Empat puluh hingga tujuh puluh persen wanita pada masa reproduksi mengalami nyeri haid, dan sebesar 10 persen mengalaminya hingga mengganggu aktivitas sehari-hari (Khorsidi dkk, 2002). Sekitar 70-90 persen kasus nyeri haid terjadi saat usia remaja (Proctor dan Farquar, 2002; Singh dkk, 2008) dan remaja yang mengalami nyeri haid akan terpengaruh aktivitas akademis, sosial dan olahraganya (Antao dkk, 2005). Di Amerika Serikat, nyeri haid dilaporkan sebagai penyebab utama ketidakhadiran berulang pada siswa wanita di sekolah (Banikarim dkk, 2000). Sedangkan di Indonesia belum ada angka yang pasti untuk kejadian nyeri haid. Nyeri haid dapat dibagi menjadi 2 yaitu nyeri haid primer dan nyeri haid sekunder. Nyeri haid primer didefinisikan sebagai nyeri kram yang berulang yang terjadi saat menstruasi tanpa ada kelainan patologik pada pelvis. Nyeri haid sekunder adalah nyeri saat haid yang didasari oleh adanya kelainan patologik pada pelvis, contohnya endometriosis (Dawood, 2006). Nyeri haid primer biasanya mulai saat usia remaja, saat dimana siklus ovulasi mulai teratur. Penyebab nyeri haid primer sampai saat ini masih belum jelas, tetapi beberapa teori menyebutkan
2
bahwa kontraksi miometrium akan menyebabkan iskemia pada uterus sehingga menyebabkan rasa nyeri. Kontraksi miometrium tersebut disebabkan oleh sintesis prostaglandin. Prostaglandin disebut dapat mengurangi atau menghambat sementara suplai darah ke uterus, yang menyebabkan uterus mengalami kekurangan oksigen sehingga menyebabkan kontraksi miometrium dan terasa nyeri (Eby, 2006). Gejala dari nyeri haid primer berupa rasa nyeri di perut bagian bawah, menjalar ke daerah pinggang dan paha. Kadang-kadang disertai mual, muntah, diare, sakit kepala dan emosi yang labil. Nyeri timbul sebelum haid dan berangsur hilang setelah darah haid keluar (Dawood, 2006). Penanganan awal pada penderita nyeri haid primer adalah dengan memberikan obat-obatan penghilang rasa nyeri dan sebesar 80% penderita mengalami penurunan rasa nyeri haid setelah minum obat penghambat prostaglandin (Speroff, 2005). Obat-obatan anti inflamasi golongan non-steroid seperti ibuprofen, naproksen, asam mefenamat dan aspirin banyak digunakan sebagai terapi awal untuk nyeri haid (Dawood, 2006).
Tetapi
obat-obatan
tersebut
memiliki
efek
samping
gangguan
gastrointestinal seperti nausea, dispepsia, dan muntah-muntah (Harel, 2006). Meskipun keluhan nyeri haid umum terjadi pada wanita, sebagian besar wanita yang mengalami nyeri haid jarang pergi ke dokter, mereka mengobati nyeri tersebut dengan obat-obat bebas tanpa resep dokter. Telah diteliti bahwa sebesar 30-70% remaja wanita mengobati nyeri haidnya dengan obat anti nyeri yang dijual bebas (Campbell dan Mc Grath, 1997). Hal ini sangat berisiko, karena efek samping dari obat-obatan tersebut jika digunakan secara bebas dan berulang
3
tanpa pengawasan dokter. Sebagai alternatif, dilakukan berbagai penelitian untuk menemukan terapi pengganti ataupun terapi pelengkap yang lebih aman jika dibandingkan terapi dengan NSAID, seperti terapi herbal, terapi suplemen, terapi akupuntur, terapi tingkah laku, dan aroma terapi (Proctor dan Murphy, 2001; Han dkk, 2006). Di antara berbagai jenis terapi tersebut di atas, terapi suplemen merupakan terapi yang banyak diteliti, di antaranya berupa pemberian vitamin E, B1, B6, minyak ikan maupun golongan mikronutrien seperti magnesium, serta zink untuk mengatasi nyeri haid (Antao dkk, 2005). Vitamin E dapat mengurangi nyeri haid, melalui hambatan terhadap biosintesis prostaglandin di mana Vitamin E akan menekan aktivitas ensim fosfolipase A dan siklooksigenase melalui penghambatan aktivasi post translasi siklooksigenase sehingga akan menghambat produksi prostaglandin. Sebaliknya vitamin E juga meningkatkan produksi prostasiklin dan PGE2 yang berfungsi sebagai vasodilator yang bisa merelaksasi otot polos uterus (Dawood, 2006). Sedangkan vitamin B1 dan B6 dapat mengurangi nyeri haid, terbukti dari uji klinik yang dilakukan sebelumnya di mana efek vitamin B tersebut lebih baik dari plasebo (Wilson and Murphy, 2001). Begitu pula dengan minyak ikan dan terapi herbal lainnya, dilaporkan lebih baik daripada plasebo dalam mengurangi nyeri haid,
tetapi
masih
diperlukan
penelitian
lebih
lanjut
untuk
dapat
direkomendasikan sebagai terapi alternatif mengatasi nyeri haid (Proctor dkk, 2001).
4
Magnesium digunakan sebagai terapi nyeri haid primer karena magnesium memiliki efek langsung pada tekanan pembuluh darah dan mengatur masuknya kalsium ke dalam sel otot polos, sehingga dapat mempengaruhi kontraktilitas, tegangan dan relaksasi otot polos uterus, tetapi dosis pemberiannya memiliki variasi yang sangat besar (Proctor dan Murphy, 2001). Zink dapat menghambat metabolisme prostaglandin di endometrium manusia (Kelly dan Abel, 1983). Begitu pula pada penelitian dilakukan pada tikus, di mana tikus yang mengalami defisiensi zink memiliki kadar metabolit prostaglandin yang tinggi di dalam plasmanya, dibandingkan dengan tikus yang tidak mengalami defisiensi zink (Akinola dan Odutuga, 1999). Zink juga merupakan salah satu nutrisi yang dapat meningkatkan konversi asam lemak esensial sebagai antiinflamasi bagi prostaglandin (Mayo, 1997).
Zink
diteliti
sebagai salah satu terapi untuk nyeri haid karena efeknya dapat mengurangi sintesis prostaglandin melalui kemampuannya sebagai antiinflamasi
dan
katalisator antioksidan endogen yang dapat meningkatkan sirkulasi pembuluh darah mikro. Dalam penelitian ini didapatkan wanita yang mengkonsumsi zink 31 mg/hari tidak mengalami nyeri haid, dibandingkan dengan wanita yang menkonsumsi zink 15 mg/hari (Eby, 2006). Jika dibandingkan dengan mikronutrien yang lain seperti magnesium dan kalsium yang memiliki variasi dosis yang besar dan efek samping panas pada wajah, berdebar dan sakit kepala, zink tidak memiliki efek-efek tersebut (Guerrera dkk, 2009). Zink tidak memerlukan dosis yang besar untuk menimbulkan efek terapi, sehingga efek samping akibat dosis yang besar dapat dihindari. Namun
5
penelitian zink sebagai terapi tambahan untuk mencegah nyeri haid masih sangat terbatas, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut (Eby, 2006). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1) Apakah pemberian zink per oral selama 4 hari sebelum haid dapat menurunkan kadar prostaglandin dalam plasma darah penderita nyeri haid primer? 2) Apakah pemberian zink per oral selama 4 hari sebelum haid dapat mengurangi nyeri haid pada kasus nyeri haid primer? 3) Apakah ada korelasi antara kadar prostaglandin dengan intensitas nyeri haid pada kasus nyeri haid primer? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pemberian zink per oral selama 4 hari sebelum haid menurunkan kadar prostaglandin dalam plasma darah sehingga dapat mengurangi nyeri haid pada kasus nyeri haid primer. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui pemberian zink dapat menurunkan kadar prostaglandin di plasma darah pada kasus nyeri haid primer. 2. Untuk mengetahui pemberian zink dapat mengurangi nyeri haid pada kasus nyeri haid primer.
6
3. Untuk mengetahui hubungan prostaglandin dengan intensitas nyeri haid pada kasus nyeri haid primer. I.4. Manfaat Penelitian Manfaat praktis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai data dasar dan dapat memberikan masukan bagi terapi tambahan penderita nyeri haid primer. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah diperolehnya teori, pengetahuan tentang zink dalam menurunkan kadar prostaglandin dan nyeri pada nyeri haid primer.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiologi Menstruasi Panjang siklus menstruasi rata-rata 28 + 3 hari dan durasi rata-rata hari menstruasi 5 + 2 hari dengan total kehilangan darah kurang lebih 130 ml (Berkow, 1987). Siklus menstruasi dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu fase folikular dan fase luteal, yang merupakan interaksi kompleks antara hipotalamus, hipofise, dan ovarium. Siklus ini membutuhkan kerjasama yang serasi antara kelenjar-kelenjar tersebut, yang melibatkan hormon-hormon seperti gonadotropin releasing hormone (GnRH),
follicle stimulating hormone (FSH),
luteinizing hormone
(LH), estrogen, dan progesterone (Cunningham dkk, 2001). Hubungan antar hormon ini saling tergantung satu sama lainnya, di mana hormon estrogen dan progesteron akan memberikan umpan balik negatif dan positif terhadap sekresi LH dan FSH. Sekresi LH dan FSH yang berasal dari kelenjar hipofise sangat tergantung dari sekresi GnRH dari hipotalamus yang dicetuskan oleh efek umpan balik dari estrogen dan progesteron. Hormon-hormon ini dilepaskan seperti lonjakan singkat dalam waktu 1-3 jam, sehingga kadar konstan tidak dapat terdeteksi di dalam sirkulasi. Frekuensi dan lonjakan tersebut dicetuskan oleh variasi hormon estrogen dan progesteron selama siklus menstruasi. Ada tiga tahapan yang terjadi pada endometrium, yaitu: 1. Fase proliferatif atau fase estrogen, kira-kira 5 hari setelah menstruasi,
dan berlangsung selama 11 hari. Estrogen disekresikan oleh ovarium untuk merangsang pertumbuhan endometrium yang berefek pada sel-sel stroma
8
dan epitelial endometrium tumbuh dengan cepat, kelenjar-kelenjar pada lapisan endometrium tumbuh dan memanjang, dan arteri-arteri juga bertambah untuk memberikan nutrisi pada dinding endometrium yang menebal. Peningkatan estrogen akan mencetuskan lonjakan LH pada pertengahan siklus yang kemudian akan merangsang terjadinya ovulasi. Saat ovulasi terjadi, ketebalan endometrium mencapai 3-4 mm. Pada saat ini, kelenjar-kelenjar endometrium akan mensekresikan mukus yang tipis dan berserabut, yang akan melindungi dan menggiring sperma masuk ke dalam uterus. 2. Fase sekresi, yang disebut juga fase progesteron yang terjadi setelah
ovulasi dan berlangsung kira-kira selama 12 hari. Korpus luteum mensekresikan sejumlah besar progesteron dan sedikit estrogen. Estrogen menyebabkan proliferasi sel di endometrium, sedangkan progesteron menyebabkan penebalan pada endometrium dan mengubahnya menjadi jaringan yang aktif mensekresi lendir. Progesteron juga menghambat kontraksi otot polos uterus dan dalam jumlah besar dapat melawan rangsangan dari estrogen dan prostaglandin. Tebal endometrium mencapai kira-kira 5-6 mm seminggu setelah ovulasi. Tujuannya untuk menyiapkan dinding rahim untuk implantasi ovum jika terjadi fertilisasi. 3. Fase menstruasi, yaitu fase peluruhan endometrium yang disebabkan oleh
kadar hormon estrogen dan progesteron yang menurun tiba-tiba, sehingga membuat korpus luteum menjadi regresi. Luruhnya lapisan endometrium, karena tidak didukung oleh kadar estrogen dan progesterone yang tiba-tiba
9
mengalami penurunan. Keadaan inilah yang menyebabkan konstriksi pembuluh darah uterus yang menyebabkan menurunnya asupan oksigen dan makanan ke miometrium. Setelah mengalami konstriksi pembuluh darah, arteriol-arteriol endometrium akan melebar yang
menyebabkan
perdarahan melalui dinding kapiler. Aliran darah menstruasi tersebut terdiri dari darah yang tercampur dengan lapisan fungsional dari endometrium. 2.2 Patofisiologi Nyeri Haid Primer Nyeri haid adalah nyeri saat haid yang sedemikian beratnya sehingga memaksa penderita untuk istirahat dan meninggalkan pekerjaan atau cara hidup sehari-hari untuk beberapa jam atau beberapa hari (Dawood, 2006). Nyeri haid digolongkan menjadi 2 yaitu nyeri haid primer dan nyeri haid sekunder. Nyeri haid primer disebut sebagai nyeri haid sejati, intrinsik, esensial atau fungsional, timbul sejak menars, biasanya pada bulan-bulan atau tahun-tahun pertama haid. Terjadi pada usia antara 15 sampai 25 tahun dan kemudian hilang pada usia akhir 20-an atau awal 30-an dan tidak dijumpai kelainan alat-alat kandungan. Nyeri haid sekunder, dimulai pada usia dewasa, menyerang wanita yang semula bebas dari nyeri haid. Disebabkan oleh adanya kelainan alat-alat kandungan, misalnya : endometriosis, peradangan di daerah panggul, tumor kandungan, dan sebagainya.
10
Estrogen Progesteron
PGF2α PGE2
Sensitization of afferent nerves PAIN
Vasopresin
Cervical Obstruction
Myometrium contraction, Altered blood flow
Other factors
Uterine ischemia
Unknown factors Gambar 2.1 Patofisiologi Nyeri haid Primer
(dikutip dari: Primary Nyeri haid Consensus Guideline, 2005) Etiologi nyeri haid primer belum jelas tetapi umumnya berhubungan dengan siklus ovulatorik. Beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya nyeri haid primer yaitu: 1. Prostaglandin Penyelidikan dalam tahun-tahun terakhir menunjukkan bahwa peningkatan kadar prostaglandin penting peranannya sebagai penyebab terjadinya nyeri haid. Terjadinya spasme miometrium dipacu oleh zat dalam darah haid, mirip lemak alamiah yang kemudian diketahui sebagai prostaglandin, kadar zat ini meningkat pada keadaan nyeri haid dan ditemukan di dalam otot uterus (Dawood, 2006). Ditemukan kadar PGE2 dan PGF2α sangat tinggi dalam endometrium, miometrium dan darah haid wanita yang menderita nyeri haid primer (Pickles dkk, 1975). Prostaglandin menyebabkan peningkatan aktivitas uterus dan serabutserabut saraf terminal rangsang nyeri. Kombinasi antara peningkatan kadar
11
prostaglandin dan peningkatan kepekaan miometrium menimbulkan tekanan intra uterus sampai 400 mm Hg dan menyebabkan kontraksi miometrium yang hebat. Atas dasar itu disimpulkan bahwa prostaglandin yang dihasilkan uterus berperan dalam menimbulkan hiperaktivitas miometrium. Kontraksi miometrium yang disebabkan oleh prostaglandin akan mengurangi aliran darah, sehingga terjadi iskemia sel-sel miometrium yang mengakibatkan timbulnya nyeri spasmodik. Jika prostaglandin dilepaskan dalam jumlah berlebihan ke dalam peredaran darah, maka akan timbul efek sistemik seperti diare, mual, muntah (Harel, 2006). 2. Hormon steroid seks Nyeri haid primer hanya terjadi pada siklus ovulatorik. Nyeri haid hanya timbul bila uterus berada di bawah pengaruh progesteron. Sedangkan sintesis prostaglandin berhubungan dengan fungsi ovarium. Kadar progesteron yang rendah akan menyebabkan terbentuknya prostaglandin dalam jumlah yang banyak. Kadar progesteron yang rendah akibat regresi korpus luteum menyebabkan terganggunya stabilitas membran lisosom dan juga meningkatkan pelepasan enzim fosfolipase-A2 yang berperan sebagai katalisator dalam sintesis prostaglandin melalui perubahan fosfolipid menjadi asam arakhidonat. Kadar estradiol wanita yang menderita dismenore lebih tinggi dibandingkan wanita normal (Ahrendt dkk, 2007). Peningkatan kadar estradiol
dalam darah vena
uterina dan vena ovarika disertai juga dengan peningkatan kadar PGF2α yang tinggi dalam endometrium (Harel, 2006) 3. Sistem saraf
12
Uterus dipersarafi oleh sistem saraf otonom (SSO) yang terdiri dari sistim saraf simpatis dan parasimpatis. Nyeri haid ditimbulkan oleh ketidakseimbangan pengendalian SSO terhadap miometrium. Pada keadaan ini terjadi perangsangan yang berlebihan oleh saraf simpatik sehingga serabut-serabut sirkuler pada ismus dan ostium uteri internum menjadi hipertonik (Akhtar, 2001). 4. Psikis Semua nyeri tergantung pada hubungan susunan saraf pusat, khususnya talamus dan korteks. Derajat penderitaan yang dialami akibat rangsang nyeri tergantung pada latar belakang pendidikan penderita. Pada nyeri haid, faktor pendidikan dan faktor psikik sangat berpengaruh; nyeri dapat dibangkitkan atau diperberat oleh keadaan psikik penderita. Seringkali nyeri haid hilang segera setelah
perkawinan
dan melahirkan.
Mungkin kedua keadaan
tersebut
(perkawinan dan melahirkan) membawa perubahan fisiologik pada genitalia maupun perubahan psikik (Latthe dkk, 2006). 2.3 Peranan Prostaglandin Pada Nyeri Haid Primer Prostaglandin adalah komponen mirip hormon yang berfungsi sebagai mediator dari berbagai respon fisiologis seperti inflamasi, kontraksi otot, dilatasi pembuluh darah, dan agregasi platelet. Prostaglandin terbentuk dari asam lemak tak jenuh yang disintesis oleh seluruh sel yang ada dalam tubuh (Fortier dkk, 2008). Setelah ovulasi terjadi penumpukan asam lemak pada bagian fosfolipid dalam sel membran. Tingginya asupan asam lemak omega 6 pada diet menyebabkan meningkatnya kadar asam lemak omega 6 pada bagian fosfolipid dinding sel (Simopolous, 1991). Pada saat kadar progesteron menurun sebelum
13
haid, asam lemak omega 6 tersebut yaitu asam arakhidonat dilepaskan dan mengalami reaksi berantai menjadi prostaglandin dan leukotrin, yang diawali di uterus. Prostaglandin dan leukotrin menyebabkan respon inflamasi, yang akan menimbulkan spasme otot uterus dan keluhan sistemik seperti mual, muntah, perut kembung dan sakit kepala. PGF2α merupakan hasil metabolisme dari asam arakhidonat oleh enzim siklooksigenase, menyebabkan vasokontriksi dan kontraksi dari miometrium, yang menyebabkan iskemik dan rasa nyeri (Fortier dkk, 2008). Sebuah studi menunjukkan berbagai variasi kadar prostaglandin pada saluran reproduksi wanita mempengaruhi regresi korpus luteum dan peluruhan endometrium. Prostaglandin juga mempengaruhi efek LH saat ovulasi (Cunningham dkk, 2001). Ditemukan ada hubungan antara keluhan nyeri haid dan produksi prostaglandin serta adanya substansi dalam darah menstruasi yang menstimulasi kontraksi otot polos uterus. Substansi tersebut mengandung PGF2α dan PGE2, dimana rasio PGF2α/PGE2 lebih tinggi dalam endometrium dan darah menstruasi wanita yang mengalami nyeri haid primer (Lumsden, 2005). PGF 2α dan PGE2 memiliki efek vaskular yang berlawanan, yang menyebabkan vasokontriksi dan vasodilatasi (Clark and Myatt, 2008). Pemberian PGF2α merangsang kontraksi uterus selama seluruh fase siklus haid, sedangkan PGE2 menghambat kontraktilitas miometrium selama haid dan merangsangnya saat fase proliferatif dan fase luteal. Dawood dan Dawood (2007)
melakukan penelitian mengukur kadar
PGF2α pada darah menstruasi yang terdapat dalam tampon, mendapatkan bahwa
14
kadar PGF2α
dua kali lebih tinggi pada wanita yang mengalami nyeri haid
dibandingkan dengan yang tidak mengalami nyeri haid. Lundstrom and Green (1978) melakukan penelitian pada sediaan endometrium wanita dengan nyeri haid yang tidak menjalani pengobatan, diperoleh kadar PGF2α empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita tanpa nyeri haid saat hari pertama menstruasi. Begitu pula pada penelitian lain yang memberikan NSAIDs seperti ibuprofen pada saat menstruasi membuat kadar prostaglandin dalam darah menstruasi wanita dengan nyeri haid menjadi menurun hampir sama dengan kadar prostaglandin pada wanita tanpa nyeri haid (Daniels dkk, 2002). Wanita dengan nyeri haid menunjukkan peningkatan konsentrasi PGF2α dan metabolitnya dalam darah menstruasi dan sirkulasi perifer (Milne, dkk, 2003). Hal ini semakin memperkuat hipotesis bahwa nyeri haid berhubungan dengan hipertonisitas dari miometrium yang disertai dengan iskemia uteri yang disebabkan pelepasan lokal prostaglandin. Lepasnya prostaglandin dari uterus ke sirkulasi sistemik mengakibatkan efek sistemik seperti gangguan gastrointestinal, lesu, pusing dan sakit kepala. Teori tersebut didukung oleh beberapa penemuan yaitu: 1. Tingginya kadar prostaglandin terutama PGF2α selama fase sekresi
dibandingkan fase proliferative pada siklus menstruasi (Cunningham dkk, 2001). 2. Tingginya kadar prostaglandin dan rasio PGF2α/PGE2 yang ditemukan
dalam endometrium dan darah menstruasi (Dawood, 2006)
wanita dengan nyeri haid
15
3. Pemberian prostaglandin menimbulkan keluhan yang sama dengan nyeri
haid (Daniels, 2002) 4. Pemberian penghambat prostaglandin dapat mengurangi keluhan nyeri
haid (Daniels, 2002). Phospolipids Phospolipase Arachidonic Acid Cyclo-oxygenase
Cyclic endoperoxidase (PGG2,PGH2)
Prostacyclin synthetase
Isomerase reduction
Prostacyclin (PGI2)
PGF2α dan PGE2
Thromboxan synthetase Tromboxane A2 (TxA2)
Uterine muscle contraction Vasocontriction, Hypersensitization of Pain Fibers
Gambar 2.2 Skema Pembentukan Prostaglandin (dikutip dari: Dawood, 2006, Primary Dysmenorrhea: Advanced in Pathogenesis and Management) Keterangan : --------- = enzim sebagai katalisator reaksi. Sejak ovulasi dianggap mengawali kejadian nyeri haid primer, hormonhormon ovarium dianggap terlibat dalam produksi prostaglandin intrauteri. Kadar estrogen yang tinggi saat fase luteal menyebabkan produksi prostaglandin dalam jumlah besar. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa aksi prostaglandin
16
dalam uterus tergantung pada kadar hormon progesteron, di mana tingginya kadar progesteron menyebabkan uterus resisten terhadap stimulasi prostaglandin, dan saat awal menstruasi kadar progesteron yang rendah menyebabkan uterus tidak resisten terhadap
kadar prostaglandin sehingga menyebabkan nyeri haid
(Cunningham dkk, 2001). 2.4 Manajemen Terapi Penderita Nyeri haid Primer Ada 3 macam pendekatan umum dalam menangani nyeri haid primer, yaitu: 1. Pendekatan
farmakologik :
yaitu menangani penderita dengan
menggunakan obat-obatan, dan suplemen, yang paling sering adalah dengan
non steroid anti inflammatory drugs
(NSAIDs) (Antao dkk,
2005). 2. Pendekatan
non farmakologik:
menangani penderita dengan metode
TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation), akupuntur dan akupresur, yang memfokuskan manipulasi pada sistem saraf perifer, sehingga menimbulkan efek relaksasi yang dapat mengurangi nyeri (Pouresmail dan Ibrahimzadeh, 2002; Schiotz, dkk, 2007; Witt, dkk, 2008; Li dan Wang, 2008: Taylor dkk, 2008). 3.
Pembedahan: dilakukan dengan melakukan ablasi pada sistem saraf uterosakral dan neurektomi presacral (Proctor, et al 2005). Kedua metode ini memutuskan serat nyeri sensoris di area pelvis. Sejauh ini pendekatan farmakologik, terbukti memiliki efikasi yang lebih
baik, meskipun pendekatan yang lain juga memiliki efikasi yang sangat bervariasi.
17
Terapi farmakologik yang paling sering untuk kasus nyeri haid adalah dengan obat
obatan
golongan
NSAIDs.
Obat
obatan
tersebut
menghambat
siklooksigenase, sehingga dapat mengurangi produksi prostaglandin. Rendahnya kadar
prostaglandin
akan
mengurangi
kontraksi
uterus,
sehingga
ketidaknyamanan dapat dikurangi. Sebagian besar NSAIDs bekerja menghambat siklooksigenase, suatu NSAIDs golongan fenamate menunjukkan penghambatan terhadap siklooksigenase dan lipooksigenase pada percobaan in vitro (Nasir and Bope, 2004). Kadar PGF2α dan rasa nyeri menurun pada beberapa wanita nyeri haid yang diterapi dengan obat golongan NSAIDs. Penelitian selanjutnya dilakukan pada sampel yang lebih besar, dengan metode random plasebo kontrol menunjukkan bahwa beberapa obat golongan NSAIDs seperti sodium naproksen, sodium somepirac, asam mefenamat, ketoprofen, ibuprofen, dan diklofenak sangat efektif untuk terapi nyeri haid. Sebuah penelitian dilakukan pada 45 orang gadis berumur rata-rata 15 tahun dengan memberikan terapi sodium naproksen yang ditingkatkan dosisnya pada menjadi
550 mg ternyata lebih baik dalam
mengurangi keluhan nyeri haid dibandingkan dosis regular sebesar 275 mg. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan dosis NSAIDs (biasanya hingga 2 kali dosis regular) dapat digunakan sebagai terapi awal yang selanjutnya diikuti dengan dosis regular (Daniels dkk, 2002). Pendekatan farmakologik juga menggunakan obat-obatan golongan lain seperti kontrasepsi oral. Telah dilakukan penelitian uji klinik dengan menggunakan pil kontrasepsi oral kombinasi mengandung estrogen dosis sedang dan progestogen generasi kedua , didapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan
18
plasebo dalam mengatasi nyeri haid primer (Proctor dkk, 2001). Obat nitrogliserin juga digunakan sebagai terapi nyeri haid berdasarkan teori menurunnya kadar nitrit oksid merangsang kontraksi miometrium. Nitrogliserin sebagai sumber dari nitrit oksid diharapkan dapat merelaksasi kontraksi miometrium pada nyeri haid primer (Morgan dkk, 2002). Tetapi obat ini memiliki tolerabilitas yang rendah karena efek sakit kepala yang terjadi pada 20-26 % pasien pada seluruh studi. Kalsium antagonis dapat menghambat kontraktilitas miometrium dengan cara menghambat kalsium masuk ke dalam sel, sehingga kalsium intrasel menurun dan kontraksi otot polos berkurang, sehingga dapat mengurangi keluhan nyeri haid , tetapi penggunaan obat ini memiliki efek samping di antaranya: rasa panas di wajah, meningkatnya denyut nadi, berdebar dan sakit kepala. Selain terapi dengan obat-obatan di atas, penanganan nyeri haid juga dilakukan dengan terapi suplemen. Dengan terapi suplemen diharapkan dapat meningkatkan konversi asam lemak esensial menjadi seri 1 anti inflamasi dari prostaglandin. Adapun suplemen yang dapat meningkatkan konversi tersebut yaitu magnesium, vitamin B6, zink, niasin dan vitamin C (De Souza, 2000 ; Proctor dan Murphy, 2001) Magnesium digunakan sebagai terapi nyeri haid primer, karena magnesium memiliki efek langsung pada tekanan pembuluh darah dan secara fisiologis dapat mengendalikan dan mengatur masuknya kalsium ke dalam sel otot polos. Dengan mengatur masuknya kalsium tersebut, magnesium
dapat
mempengaruhi kontraktilitas, tegangan dan relaksasi dari otot polos uterus, tetapi dosis pemberiannya memiliki variasi yang sangat besar (Wilson dan Murphy,
19
2001). Magnesium yang diberikan dalam bentuk magnesium pidolat. Pada sebuah studi, pemberian magnesium dapat mengurangi kadar PGF2α dalam darah menstruasi hingga 45 % dari sebelum terapi, yang membuat penggunaan magnesium dapat dipertimbangkan sebagai terapi nyeri haid primer, tetapi masih membutuhkan penelitian lebih lanjut (Seifert dkk, 1989). Vitamin B6 dapat menstimulasi membran sel dalam mentransfer magnesium dan meningkatkan magnesium intrasel yang berperanan dalam relaksasi otot (De Souza, 2000). Selain itu menurunnya kadar vitamin B6 dalam darah mengakibatkan hati tidak dapat mengkonyugasikan estrogen yang akan menyebabkan meningkatnya kadar estrogen di dalam darah yang berhubungan dengan keluhan nyeri haid (Antao dkk, 2005; Dawood dkk, 2006). Vitamin E dapat mengurangi keluhan nyeri haid, melalui biosintesis prostaglandin. Vitamin E dapat meningkatkan
produksi vasodilator prostasiklin dan PGE2 yang
berperanan dalam relaksasi otot uterus (Wu dkk, 2005). 2.5 Metabolisme Zink Dalam Tubuh Zink merupakan trace element yang esensial bagi tubuh. Beberapa jenis enzim memerlukan zink bagi fungsinya dan bahkan ada enzim yang mengandung zink dalam struktur molekulnya, diantaranya enzim karbonik anhidrase (mengandung zink 0.33%) dan alkalinn fosfatase. Zink merupakan agen reduksi yang baik dan dapat membentuk ikatan yang stabil dengan ion-ion seperti alkalin fosfatase, alkohol dehidrogenase, insulin, karbonik anhidrase, dan karbopeptidase. Zink esensial untuk struktur dan fungsi protein, termasuk pengatur, struktur dan
20
enzymatic. Diperkirakan lebih dari 1 % kode genetic pada manusia terdiri dari campuran zink dengan protein (Insel dkk, 2002). Pada sistem saraf pusat, zink mempunyai peranan sebagai produk neurosekretori atau kofaktor. Pada peranan ini, zink berkonsentrasi tinggi dalam vesikel sinaptic pada bagian spesifik neuron, yang disebut “zink containing” neuron atau neuron yang mengandung zink (Christopher dkk, 2000). Zink tersebar di seluruh tubuh, di dalam tubuh terkandung 2-2,5 gram zink yang tersebar hampir di semua sel. Sebagian besar zink berada di dalam hati, pankreas, ginjal, otot dan tulang. Jaringan yang banyak mengandung zink adalah bagian mata, kelenjar prostat, kulit, rambut dan kuku. Sumsum tulang belakang dan ginjal merupakan tempat-tempat terbanyak mengandung zink labil. Tempattempat ini juga merupakan tempat-tempat yang pertama akan mengalami defisiensi zink dalam kondisi defisiensi zink (Piliang, 2000). Zink merupakan ion intraseluler di dalam cairan tubuh. Zink di dalam plasma hanya 0.1% dari seluruh zink di dalam tubuh yang mempunyai masa pergantian yang cepat. Zink dalam darah akan menurun jika terjadi infeksi, anemia, hipertiroid, kehamilan dan wanita yang menggunakan pil kontrasepsi (Almatsier, 2001). Sumber zink yang baik terutama pada sumber protein hewani seperti daging, hati, kerang, dan ikan. Susu, keju dan beberapa produk biji-bijian dapat menjadi sumber zink yang signifikan. Zink yang terkandung dalam protein hewani lebih mudah digunakan dalam tubuh daripada zink yang terdapat pada nabati (Almatsier, 2001).
21
Penyerapan zink terjadi pada bagian atas usus halus. Dalam plasma, sekitar 30% zink berikatan dengan 2 alfa makroglobulin, sekitar 66% berikatan dengan albumin dan sekitar 2% membentuk senyawa kompleks dengan histidin dan sistein. Komplek zink-albumin disebut ligan zink makromolekul utama sedangkan ligan mikromolekul adalah kompleks zink-histidin dan zink-sistein yang berfungsi untuk menstransport zink ke seluruh jaringan termasuk ke hati, otak, dan sel-sel darah merah (Ring dan Kirchner, 2000 ). Zink diangkut oleh albumin dan transferin masuk ke aliran darah dan dibawa ke hati. Kelebihan zink akan disimpan dalam hati dalam bentuk metalotionein, sedangkan yang lainnya dibawa ke pankreas dan jaringan tubuh lain. Zink digunakan untuk membuat enzim pencernaan di dalam pankreas yang pada waktu makan dikeluarkan ke dalam saluran pencernaan. Dengan demikian saluran cerna memiliki dua sumber zink, yaitu dari makanan dan cairan pencernaan pankreas. Absorpsi zink diatur oleh metalotionein yang disintesis di dalam sel dinding saluran pencernaan. Bila konsumsi zink tinggi, di dalam sel dinding saluran cerna zink akan diubah menjadi metalotionein sebagai simpanan, sehingga absorbs zink berkurang. Metalotionein di dalam hati mengikat zink hingga dibutuhkan oleh tubuh. Metalotionein diduga mempunyai peranan dalam mengatur kandungan zink di dalam cairan intraselular (Almatsier, 2001). Metalotionein sangat kaya akan asam amino sistein dan dapat mengikat 9 gram atom logam untuk setiap protein. Protein ini sangat terikat erat dengan mineralmineral zink. Beberapa penelitian membuktikan bahwa sintesis tionein dirangsang oleh adanya mineral zink (Piliang, 2001). Metalotionein-III (MT-III) merupakan
22
bagian yang spesifik dari metalonein yang terdapat pada otak yang mengikat zink dan berfungsi sebagai simpanan (cadangan) zink dalam otak. Metalotionein-III merupakan senyawa kompleks zink yang kemungkinan berperan dalam utilisasi zink sebagai neuromodulator (Almatsier, 2001). Banyaknya zink yang diserap berkisar antara 15-40%.
Absorpsi zink
dipengaruhi oleh status zink dalam tubuh. Bila lebih banyak zink yang dibutuhkan, lebih banyak pula zink yang diserap. Begitu pula jenis makanan mempengaruhi absorpsi. Serat dan fitat menghambat ketersediaan biologik zink, sebaliknya protein histidin, metionin dan sistein dapat meningkatkan penyerapan. Tembaga dalam jumlah melebihi kebutuhan faal menghambat penyerapan zink. (Insel, dkk, 2002). Nilai albumin dalam plasma merupakan penentu utama penyerapan zink. Albumin merupakan alat transpor utama zink. Penyerapan zink menurun bila nilai albumin darah menurun, misalnya dalam keadaan gizi kurang atau kehamilan. Zink diekskresikan melalui feses. Di samping itu zink dikeluarkan melalui urine dan keringat serta jaringan tubuh yang dibuang, seperti kulit, sel dinding usus, cairan haid dan mani (Almatsier, 2001). Zink terlibat dalam sejumlah besar metabolisme dalam tubuh, seperti: keseimbangan asam basa, metabolisme asam amino, sintesis protein, sintesis asam nukleat, ketersediaan folat, penglihatan, sistem kekebalan tubuh, reproduksi, perkembangan dan berfungsinya sistem saraf. Lebih dari 200 enzim bergantung pada zink, termasuk di dalamnya karbonik anhidrase, alkohol dehidrogenase,
23
alkalin fosfatase, RNA polimerase, DNA polimerase, nukleosida fosforilase, protein kinase, superoksida dismutase dan peroilpoli glutamat hidrolase. Enzim superperoksida dismutase di dalam sitosol semua sel, berperan dalam memunahkan anion superoksida yang merusak (Insel dkk, 2002). 2.6 Peranan Zink dalam Mencegah Nyeri Haid pada Nyeri Haid Pimer Sejak prostaglandin disebut sebagai penyebab nyeri haid, maka penelitianpenelitian yang dilakukan difokuskan pada penghambatan produksi prostaglandin. Zink sebagai salah satu mikronutrien dapat menghambat metabolisme prostaglandin di mana konsentrasi zink sebesar 1x10-5 mol/l, dalam rentang konsentrasi fisiologis pada jaringan uterus, dapat menghambat metabolisme prostaglandin, sehingga dapat mengurangi nyeri haid (Kelly dan Abel, 1983). Premenstrual tension tidak terjadi pada pasien-pasien yang mengkonsumsi 31 mg zink per hari
dibandingkan dengan pasien yang hanya mengkonsumsi 15 mg
zink/hari (Eby, 2006). Hipotesis lain mengatakan bahwa mekanisme zink dalam otot polos uterus sama dengan mekanisme zink pada pengobatan angina pectoris dengan cara meningkatkan sirkulasi pada pembuluh darah kapiler (Eby, 2006). Kontraksi uterus yang kuat mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke otot uterus, sehingga mengakibatkan berkurangnya asupan oksigen ke dalam jaringan yang menimbulkan iskemia. Keadaan iskemia akan mengakibatkan pelepasan reaktif oksigen spesies yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan rasa nyeri (Sugino dkk, 2000).
Pemberian zink dapat memperbaiki sirkulasi pembuluh darah
kapiler sehingga mengurangi kram dan nyeri. Pemberian zink juga berefek
24
sebagai antioksidan dan antiinflamasi yang dapat menurunkan kadar sitokinsitokin penyebab inflamasi sehingga dapat mengurangi kram dan rasa nyeri (Prasad dkk, 2004). Zink juga mengatur cyclooxygenase-2 (Cox-2) yaitu suatu enzim yang terlibat dalam nyeri dan inflamasi, dimana pemberian zink akan menurunkan aktivitas Cox-2 (Fong dkk, 2005). Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, perlu dilakukan penelitian zink selanjutnya karena pemberian zink dianggap lebih efektif dan memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan obat-obatan lainnya dan juga untuk menentukan dosis yang lebih tepat sehingga dapat memberikan efek terapi yang adekuat. 2.7 Nyeri dan Penilaiannya Nyeri adalah sensasi yang penting bagi tubuh. Nyeri merupakan hasil stimulasi reseptor sensorik. Provokasi saraf-saraf sensorik nyeri menghasilkan reaksi ketidaknyamanan. Jalur nyeri klasik terdiri dari rantai 3 neuron (neuron tingkat pertama, neuron tingkat kedua, dan neuron tingkat ketiga), yang meneruskan sinyal nyeri dari perifer ke korteks serebral. Sensasi nyeri dimulai dengan stimulasi ujung saraf neuron tingkat pertama (Guyton dan Hall, 2007). Ada beberapa sumber/penghasil senyawa kimia yang terlibat pada pengenalan nyeri, yaitu: 1.
Berasal dari sel-sel yang rusak.
2. Disintesis oleh sel-sel melalui enzim yang diinduksi karena kerusakan jaringan 3. Merupakan produk dari nosiseptor itu sendiri.
25
Pada kadar rendah, bradikinin suatu polipeptida hasil potongan protein plasma dapat menghasilkan vasodilatasi dan edema, mengakibatkan hiperalgesia, pada kadar tinggi bradikinin dapat secara langsung menstimulasi nosiseptor untuk aktif. Prostaglandin dan leukotrien merupakan senyawa yang disintesis di daerah kerusakan jaringan dan dapat mengakibatkan hiperalgesia melalui kerja langsungnya pada nosiseptor atau dengan mensensitisasi nosiseptor terhadap senyawa lain ( Rospond, 2008; Kilic dkk, 2008). Secara patologik, nyeri dapat dibagi menjadi dua yaitu nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut adalah nyeri yang muncul akibat jejas, trauma, spasme, atau penyakit pada kulit otot, struktur somatik atau organ viseral tubuh. Dua tipe sindroma nyeri akut yang utama adalah nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan selama minimum 6 bulan dan merupakan bagian dari situasi yang lebih kompleks. Nyeri kronik dapat muncul dari lokasi viseral, jaringan miofasial, atau penyebab-penyebab neurologik (Rospond, 2008). Nyeri haid tergolong nyeri akut yang termasuk tipe nyeri viseral. Nyeri viseral disebabkan oleh jejas pada organ dengan saraf simpatis. Nyeri ini dapat disebabkan oleh distensi abnormal atau kontraksi pada dinding otot polos, tarikan cepat kapsul yang menyelimuti suatu organ (hati), iskemi otot rangka, iritasi serosa atau mukosa, pembengkakan atau pemelintiran jaringan yang melekat dengan organ-organ ke ruang peritoneal dan iskemia jaringan. Nyeri yang disebabkan oleh bagian dalam perut atau pelvis biasanya ditandai dengan distribusi dan kualitas yang tidak jelas. Terasa sebagai nyeri paroksismal atau
26
kolik dan nyeri ini dapat disertai dengan mual, muntah, berkeringat, dan perubahan tekanan darah serta denyut jantung ( Kilic dkk, 2008). Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, nyeri haid merupakan nyeri saat haid yang terjadi akibat keluarnya prostaglandin dari sel-sel dinding endometrium yang mengalami deskuamasi akibat perubahan hormon estrogen dan progesterone yang turun secara tiba-tiba. Jadi nyeri yang terjadi pada nyeri haid diakibatkan oleh iskemia jaringan. Untuk menilai intensitas nyeri ada empat instrumen yang biasa digunakan yaitu : Numeric Rating Scale (NRS), Graphical Rating Scale (GRS), Verbal Rating Scale (VRS) dan Visual Analog Scale (VAS) (Knox, 2005). Pada penelitian ini digunakan instrumen Verbal Rating Scale yang mengandung sejumlah sifat dan frase yang menerangkan peningkatan intensitas nyeri. Intensitas nyeri diberi skor dan dideskripsikan dengan empat kriteria (tidak nyeri, ringan, sedang, berat). Skala deskripsi nyeri ini telah banyak digunakan, mudah digunakan dan menunjukkan validitas dan reliabilitas (Jeon dkk, 2004). Intensitas nyerinya dapat dijelaskan sebagai berikut: 0
= Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak saat ditanya
1
= Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya tanpa gangguan tingkah laku.
2
=
Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya dengan
ditandai adanya gangguan tingkah laku atau nyeri spontan yang dilaporkan.
27
3
= Nyeri berat dihubungkan dengan respon suara, tarikan tangan atau lengan, wajah merintih atau menangis.
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
28
3.1 Kerangka Berpikir Nyeri haid adalah nyeri haid yang mengganggu sehingga memaksa penderita untuk istirahat dan meninggalkan pekerjaan atau cara hidup sehari-hari untuk beberapa jam atau beberapa hari. Nyeri haid dapat digolongkan menjadi 2 yaitu nyeri haid primer dan nyeri haid sekunder. Nyeri haid primer disebabkan oleh kontraksi miometrium
yang disebabkan oleh sintesis prostaglandin.
Prostaglandin dapat mengurangi suplai darah ke uterus, yang menyebabkan uterus mengalami kekurangan oksigen sehingga terjadi kontraksi miometrium dan terasa nyeri. Rasa nyeri tersebut dapat dihilangkan dengan pemberian anti prostaglandin. Tetapi obat-obatan golongan anti prostaglandin tersebut memiliki efek samping iritasi pada gastrointestinal jika dikonsumsi terus menerus. Zink adalah mineral yang essensial yang terdapat pada seluruh sel tubuh, zink menstimulasi aktivitas lebih dari 200 enzim yang bekerja pada reaksi biokimia tubuh. Sehubungan dengan kasus nyeri haid, zink sebagai salah satu mikronutrien yang dianggap dapat menghambat metabolisme prostaglandin dan memperbaiki sirkulasi darah perifer. Pemberian zink diharapkan dapat menghambat sintesis prostaglandin dan memperbaiki sirkulasi pembuluh darah kapiler sehingga dapat mengurangi kram dan nyeri pada kasus nyeri haid primer.
3.2.
Kerangka Konsep
Faktor Internal: Hormon, status gizi, stress, fisiologis tubuh
ZINK
Faktor External: Aktivitas olahraga, pola makan
29
WANITA HAID -
Kadar PGF2α Nyeri Haid
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Keterangan: ---------- = faktor-faktor yang mempengaruhi kadar PGF 2α, tetapi tidak diukur dalam penelitian ini. 3.3 Hipotesis Penelitian 1. Pemberian zink selama 4 hari sebelum menstruasi dapat menurunkan kadar prostaglandin (PGF2α) pada kasus nyeri haid primer 2. Pemberian zink selama 4 hari dapat menurunkan keluhan nyeri pada kasus nyeri haid primer. 3. Ada korelasi antara kadar prostaglandin dengan nyeri haid pada kasus nyeri haid primer.
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan penelitian
30
Rancangan penelitian adalah rancangan eksperimental murni dengan desain Randomized Pre Test-Post Test Control Group Design (Campbell dan Stanley, 1968) Po O1
P
S
O2
R P1 O3
Keterangan: P = Populasi S = Sampel R = Random Po= Kontrol P1= Perlakuan O1= Observasi sebelum perlakuan plasebo O2= Observasi sesudah perlakuan plasebo O3= Observasi sebelum perlakuan zink
O4
31
O4= Observasi sesudah perlakuan zink
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian di Fakultas Kedokteran UNUD Denpasar berlangsung selama bulan Maret-Juni 2011. 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Populasi target: semua wanita yang mengalami nyeri haid primer. Populasi terjangkau: mahasiswi Fakultas Kedokteran UNUD . Populasi penelitian ini adalah mahasiswi Fakultas Kedokteran UNUD yang memenuhi syarat sebagai berikut: 4.3.1.1 Kriteria Inklusi: 1. Penderita nyeri haid primer yang berusia 17-21 tahun.
2. Mengalami nyeri haid sedang-berat selama 3 bulan terakhir. 3. Belum pernah menikah dan melahirkan. 4. Memiliki siklus haid yang teratur selama 3 bulan terakhir (28-30 hari) 5. Sukarela mengikuti penelitian ini. 4.3.1.2 Kriteria Eksklusi: 1.
Wanita yang mengalami keluhan lain di daerah kandungan dan pelvis
32
2.
Wanita yang sedang mengalami nyeri sakit di bagian tubuh yang lain
3.
Wanita yang sedang menjalani pengobatan dengan obat penghilang nyeri.
4.
Wanita yang pernah menjalani operasi di bagian abdomen dan pelvis.
5.
Wanita yang menggunakan alat kontrasepsi dan obat-obatan lain.
6.
Wanita yang memiliki riwayat gastritis.
4.3.1.3 Kriteria Drop Out 1. Tidak bisa mengikuti pemberian zink per oral 30 mg/hari selama 4 + 1 hari
sebelum haid hari I. 2. Bila haid keluar sebelum hari ke-3 diberikan perlakuan zink. 3. Bila haid keluar setelah hari ke-5 diberikan perlakuan zink
4.3.2 Besar Sampel Besar sampel ditentukan dengan rumus Pocock (2008):
= standar deviasi α = tingkat kesalahan I
33
β = tingkat kesalahan II µ 1 = rerata skor pre test µ2 = rerata skor post test f (α,β) = nilai pada tabel
N = 12,9 dibulatkan menjadi 13 orang + 20 % = 16 orang (1 lengan) Jadi jumlah sampel yang diperlukan sebanyak 32 orang. Hasil studi pendahuluan mendapatkan nilai μ = 46,68 dan SD = 2,965 4.3.2.1 Teknik Pengambilan Sampel: Penentuan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1.
Dari populasi mahasiswi FK. UNUD, diadakan pemilihan sejumlah sampel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
2.
Dari 100 orang mahasiswi didapatkan 56 penderita nyeri haid primer, dengan pengelompokan sebanyak 40 orang dengan intensitas nyeri sedang, dan 16 orang dengan intensitas nyeri berat. Dari kelompok intensitas nyeri sedang diambil sampel sebanyak 24 orang, dan dari kelompok intensitas nyeri berat diambil sampel sebanyak 8 orang. Setiap anggota kelompok kemudian diberi nomor random, kemudian ditentukan untuk nomor ganjil menjadi sampel kelompok perlakuan, untuk nomor genap menjadi sampel
34
kelompok kontrol. Sehingga didapatkan 16 orang masuk ke dalam kelompok perlakuan dan 16 orang ke dalam kelompok kontrol secara random. 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1. Klasifikasi variabel: 1. Variabel bebas adalah : zink per oral 30 mg 2. Variabel tergantung adalah: kadar prostaglandin dalam plasma, nyeri haid. 3. Variabel terkendali adalah : umur, aktivitas fisik 4. Variabel pengacau adalah: kondisi fisiologis dan psikologis penderita,
asupan makanan.
4.4.2 Definisi Operasional Variabel 1. Nyeri haid: nyeri seperti tegang di daerah suprapubik yang mulai sehari
hingga beberapa jam sebelum mulainya haid hingga 1-2 hari setelah haid . 2. Nyeri haid primer : nyeri haid yang timbul 2-3 tahun setelah menarche
tanpa disertai kelainan patologik pada area ginekologis dan pelvis. 3. Zink per oral: diberikan dalam bentuk kapsul zink 30 mg sehari setelah
makan siang dengan dosis satu kali sehari selama 4 hari sebelum haid. 4. Empat hari perlakuan : pemberian perlakuan diberikan rentang pemberian
perlakuan selama 4 + 1 hari dengan pertimbangan siklus haid bulan
35
berikut datangnya maju atau mundur sehari dari perkiraan siklus sebelumnya. 5. Kadar prostaglandin: kadar PGF 2α yang merupakan jenis prostaglandin
spesifik sebagai penanda terjadinya kontraksi atau inflamasi dalam uterus yang diukur pada hari pertama haid. 6.
Tingkatan nyeri haid: adalah tingkat rasa nyeri pada saat haid hari I, yang diukur dengan verbal rating scale dengan intensitas : 0
=Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak saat ditanya
1
= Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya tanpa tingkah laku.
2
=
Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya dengan
ditandai adanya gangguan tingkah laku atau nyeri spontan yang dilaporkan. 3
= Nyeri berat dihubungkan dengan respon suara, tarikan tangan atau lengan, wajah merintih atau menangis.
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian 1. Kuesioner untuk mengetahui riwayat menstruasi, riwayat nyeri haid
riwayat pengobatan dan riwayat keluarga penderita 2. Bahan yang dipakai sebagai sampel pemeriksaan adalah darah penderita. 3. Alat yang dipakai spuit 5 cc, tabung penampung darah . 4. Kit pemeriksaan kadar PGF 2α.
36
4.6 Prosedur Penelitian Prosedur penelitian dibagi menjadi 2 tahap yaitu: Tahap 1: Seleksi Kasus 1. Sosialisasi terhadap anggota populasi sehingga diperoleh pengertian dan bersedia
menjadi
sampel
sukarela.
Hal
ini
didukung
dengan
penandatanganan surat persetujuan. 2. Penyebaran kuesioner untuk bisa mengetahui riwayat menstruasi, riwayat
nyeri haid, riwayat pengobatan dan riwayat keluarga. 3. Dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang untuk memastikan sampel
adalah penderita nyeri haid primer yang memenuhi kriteri inklusi dan eksklusi. 4. Sampel diperlakukan secara acak dengan teknik stratified random
sampling dipilih sebanyak jumlah sampel yang diperlukan. 5.
Sampel dibagi dua menjadi kelompok kontrol dan perlakuan.
Tahap 2. Alokasi Perlakuan 2.1 Pengukuran Sebelum Perlakuan 1. Penjelasan kepada masing-masing kelompok bahwa akan diambil
darah untuk pemeriksaan kadar PGF
2
α pada hari pertama haid.
37
Sebelumnya sampel diberitahu untuk menghubungi peneliti pada saat hari pertama haid. Pengambilan darah tidak bisa dilakukan bersamaan karena siklus haid yang berbeda pada masing-masing orang. 2. Pengambilan darah dilakukan oleh analis laboratorium. 3. Selain diambil darah, sampel juga ditanyakan intensitas nyeri haidnya
dan diukur berdasarkan “verbal rating scale”. 4. Darah yang diambil adalah darah vena mediana cubiti sebanyak 5 cc
dengan spuit 5 cc dan wing needle G24 dan disimpan dalam vaccutainer kemudian di-sentrifuge dan disimpan dalam kulkas yang bersuhu -80 oC, sambil menunggu jumlah sampel darah seluruhnya lengkap sesuai jumlah sampel yang ditentukan. 5. Setelah jumlah sampel darah lengkap dilakukan pengukuran kadar
PGF2 α dengan metode ELISA. 2.2 Pemberian Perlakuan 1. Tablet oral zink 30 mg diberikan selama 4 hari secara berturutan
sebelum haid hari I 2. Penentuan waktu pemberian perlakuan didasarkan pada perkiraan
siklus haid berdasarkan siklus haid sebelumnya. Misalnya, siklus haid bulan sebelumnya tanggal 24 Januari, jika sampel memiliki siklus haid 28 hari, maka diperkirakan hari pertama haid yang akan datang tanggal
38
22 Pebruari, sehingga pemberian perlakuan dilakukan mulai tanggal 18-21 Pebruari. 3. Sampel diberitahu untuk datang ke laboratorium faal pada tanggal
yang telah ditentukan setelah makan siang untuk diberi perlakuan pertama 4. Perlakuan yang diberikan adalah pemberian tablet oral zink 30 mg
pada kelompok perlakuan, dan pemberian plasebo pada kelompok control. Obat dimasukkan dalam kapsul warna yang sama, di mana kapsul plasebo diisi dengan sakarum laktis 30 mg. Kemudian kapsulkapsul tersebut diberi kode A untuk kapsul zink dan kode B untuk kapsul plasebo yang hanya diketahui oleh peneliti. 5. Pemberian obat dilakukan oleh petugas khusus sesuai dengan
perlakuan yang diterima oleh sampel dengan cara buta ganda. Setelah diberi obat disarankan untuk datang kembali esok hari pada waktu yang sama untuk diberikan obat dengan cara yang sama di mana obat langsung diminum di depan pemberi obat. 6. Pada hari ke-2 sampai ke -4 akan ditanyakan efek samping dan
keluhan yang timbul setelah minum obat dan dicatat di register. 7. Follow-up bagi sampel yang tidak datang, jika ada yang tidak datang
sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan akan dihubungi oleh peneliti untuk mengantisipasi drop out.
39
2.3 Pengukuran Setelah Perlakuan 1. Setelah menjalani perlakuan selama 4 hari diambil darah kembali pada
hari pertama haid pada masing-masing kelompok. 2. Selain diambil darah, sampel juga ditanyakan intensitas nyeri haidnya
dan diukur berdasarkan verbal rating scale. 3. Pengambilan darah dilakukan oleh analis laboratorium. 4. Darah yang diambil adalah darah vena mediana cubiti sebanyak 5 cc
dengan spuit 5 cc dan wing needle G24 dan disimpan dalam vaccutainer kemudian di-sentrifuge dan disimpan dalam kulkas yang bersuhu -80 oC, sambil menunggu jumlah sampel darah seluruhnya lengkap sesuai jumlah sampel yang ditentukan. 5. Setelah jumlah sampel darah lengkap dilakukan pengukuran kadar
PGF2 α dengan metoda ELISA 6. Hasil kedua kelompok dianalisis dengan statistik.
2.4 Pemberian Obat Anti Nyeri Setelah dilakukan pengambilan sampel darah, bagi subjek penelitian yang mengalami nyeri dan memerlukan pengobatan diberikan obat anti nyeri untuk mengurangi nyerinya.
40
4.7 Alur Penelitian
Populasi
Kriteria Inklusi
Kriteria Eksklusi
Sampel
Pemeriksaan Kadar PGF2 α dan Intensitas Nyeri Haid Hari I Siklus I Sebelum Perlakuan
Stratified Random Sampling
Kelompok Kontrol Diberikan Plasebo selama 4 hari sebelum haid siklus II
Kelompok Perlakuan Diberikan Zink 30 mg selama 4 hari sebelum haid siklus II
41
Pemeriksaan Kadar PGF2α dan Tingkat Nyeri Haid Hari I Siklus II Setelah Perlakuan Pada Kedua Kelompok
Analisis Data
Gambar 4.1 Alur Penelitian
4.8 Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut (Ridwan, 2003): 1. Uji Deskriptif untuk menganalisis varian umur, tinggi badan, berat badan. 2. Uji Normalitas dengan Shapiro-Wilk Test. Variabel yang diuji adalah,
umur, umur menarche, berat badan, tinggi badan, kadar prostaglandin sebelum dan sesudah perlakuan, selisih prostaglandin sebelum dan sesudah perlakuan bertujuan untuk mengetahui distribusi kedua kelompok perlakuan.
42
3. Uji Homogenitas antar kelompok dengan Levene’s Test untuk mengetahui
variasi antar kelompok. Variabel yang diuji adalah berat badan, tinggi badan, kadar prostaglandin sebelum dan sesudah perlakuan, dan selisih kadar prostaglandin sebelum dan sesudah perlakuan 4. Uji komparasi perbedaan rata-rata PGF2α antara kelompok perlakuan dan
kontrol dilakukan dengan independent t test karena data berdistribusi normal 5. Perbedaan intensitas nyeri antara kelompok perlakuan dengan kontrol
diuji dengan Mann-Whitney Test. 6. Hubungan antara kadar PGF2α dengan intensitas nyeri dianalisis dengan
uji Chi Square
yang merupakan uji kualitatif dan metode korelasi
Spearman Rank Test sebagai uji kuantitatifnya.
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1. Analisis Deskriptif Dalam penelitian ini dilibatkan sebanyak 32 mahasiswi Fakultas Kedokteran UNUD penderita nyeri haid primer grade sedang-berat yang berusia 17-21 tahun sebagai sampel, yang dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu
43
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Masing-masing berjumlah 16 orang dengan karakteristik yang dapat dilihat pada tabel 5.1 Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian dari Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Mahasiswi FK. UNUD Penderita Nyeri Haid Primer
Variabel
Kelompok Kontrol
Perlakuan
Umur
17,69±0,60
17,62±0,62
Umur Menarche
11,62±0,96
11,56±0,96
Berat Badan
51,62±5,57
50,00+7,20
Tinggi Badan
160,06±4,61
157,25+5,21
5.2 Uji Normalitas dan Homogenitas Data umur, umur menarche, berat badan, tinggi badan dan kadar prostaglandin baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan pada masingmasing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasil menunjukkan data berat badan, tinggi badan kadar prostaglandin dan selisih prostaglandin berdistribusi normal (p>0,05) pada kedua kelompok, disajikan pada
44
tabel 5.2 Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Data Tiap Kelompok Sebelum dan Sesudah Perlakuan Variabel Antar Kelompok
N
P
Umur Kontrol Umur Perlakuan Umur Menarche Kontrol Umur Menarche Perlakuan Berat Badan Kontrol Berat Badan Perlakuan Tinggi Badan Kontrol Tinggi Badan Perlakuan Kadar Prostaglandin Kontrol Pre Kadar Prostaglandin Perlaku Pre Selisih Prostaglandin Kontrol Selisih Prostaglandin Perlakuan
16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16
0,001 0,001 0,006 0,061 0,732 0,575 0,272 0,637 0,075 0,083 0,403 0,138
Dilakukan pula uji homogenitas pada variabel berat badan, tinggi badan kadar prostaglandin dan selisih prostaglandin masing-masing kelompok dengan Levene Test dengan α = 0,05, yang dapat dilihat pada tabel 5.3
Tabel 5.3 Hasil Uji Homogenitas Data Berat Badan, Tinggi Badan Kadar Prostaglandin dan Selisih Prostaglandin Tiap Kelompok Variabel
F
p
45
Berat Badan
0,604
0,443
Tinggi Badan
0,511
0,480
Kadar Prostaglandin
5,582
0.022
Selisih Prostaglandin
0.220
0.643
Uji homogenitas menunjukkan bahwa nilai p variabel berat badan, tinggi badan dan selisih prostaglandin lebih besar dari 0,05 (p > 0,05), yang berarti varians antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna, menunjukkan varian antara kedua kelompok homogen sedangkan kadar prostaglandin memiliki varian yang tidak homogen (p<0,05) 5.3. Uji Komparabilitas 5.3.1 Uji Komparabilitas Karakteristik Subjek Sebelum Perlakuan Dilakukan uji komparabilitas karakteristik subjek bertujuan untuk mengetahui perbedaan variabel karakteristik subjek yang meliputi umur dan umur menarche, berat badan dan tinggi badan antar kelompok sebelum diberikan perlakuan. Hasil analisis disajikan pada Tabel 5.4. dan Tabel 5.5. Tabel 5.4, menunjukkan bahwa rerata umur kelompok plasebo adalah 17,69±0,60 dan rerata kelompok zink adalah 17,62±0,62, rerata umur menarche kelompok plasebo adalah 11,62±0,96 dan rerata kelompok zink adalah 11,56±0,96. Analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa nilai probabilitas kemaknaan (p) untuk variabel umur dan umur menarche masingmasing adalah p = 0,75 dan p = 0,92. Hasil analisis menunjukkan bahwa rerata
46
umur dan umur menarche pada kedua kelompok tidak berbeda (p > 0,05). Ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut dapat diabaikan pengaruhnya terhadap perubahan kadar prostaglandin dan intensitas nyeri haid. Tabel 5.4 Rerata Umur dan Umur Menarche antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan
Variabel
Kelompok
U
p
17,62±0,62
120,50
0,75
11,56±0,96
125,50
0,92
Plasebo
Zink
Umur
17,69±0,60
Umur Menarche
11,62±0,96
Tabel 5.5 Rerata Berat Badan dan Tinggi Badan antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan
Variabel
Kelompok
F
p
50,00±7,2
0,604
0,483
157,25±5,21
0,511
0,116
Plasebo
Zink
Berat Badan
51,62±5,57
Tinggi Badan
160,06±4,61
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa rerata berat badan kelompok plasebo adalah 51,62±5,57 dan rerata kelompok zink adalah 50,00±7,2, rerata tinggi badan kelompok plasebo adalah 160,06 + 4,61 dan rerata kelompok zink adalah
47
11,56±0,96. Analisis kemaknaan dengan independent t- test menunjukkan bahwa nilai probabilitas kemaknaan (p) untuk variabel berat badan dan tinggi badan masing-masing adalah p = 0,483 dan p = 0,116. Hasil analisis menunjukkan bahwa berat badan dan tinggi badan pada kedua kelompok tidak berbeda (p > 0,05). Ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut dapat diabaikan pengaruhnya terhadap perubahan kadar prostaglandin dan intensitas nyeri haid. 5.3.2 Uji Komparabilitas Kadar Prostaglandin Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata kadar prostaglandin antar kelompok sebelum diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan independent t-test disajikan pada Tabel 5.6 berikut. Tabel 5.6 Rerata Kadar Prostaglandin antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan
Kelompok Subjek Plasebo Zink
N
Rerata Prostaglandin (prostaglandin/ml)
SB
16
514,49
226,78
16
743,44
t
p
-1,80
0,085
454,43
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa rerata kadar prostaglandin kelompok plasebo adalah 514,49±226,78, rerata kelompok zink adalah 743,44±453,43. Analisis kemaknaan dengan independent t test menunjukkan bahwa nilai t = -1,80
48
dan nilai p =0,085. Hal ini berarti bahwa rerata kadar prostaglandin sebelum perlakuan pada kedua kelompok tidak berbeda (p > 0,05). 5.3.3 Analisis efek perlakuan Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata penurunan kadar prostaglandin antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji disajikan pada Tabel 5.7 Tabel 5.7 Rerata Penurunan Kadar Prostaglandin antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan
Kelompok Subjek Plasebo Zink
N
Rerata Penurunan Kadar Prostaglandin (prostaglandin/ml)
SB
16
79,23
277,13
16
392,12
t
p
3,32
0,002
255,59
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa rerata penurunan kadar Prostaglandin kelompok
plasebo
adalah
79,23±277,13,
rerata
kelompok
zink
adalah
392,12±255,59. Analisis kemaknaan dengan uji independent t-test menunjukkan bahwa nilai t = 3,32 nilai p = 0,002. Hal ini berarti bahwa rerata penurunan kadar prostaglandin pada kedua kelompok berbeda secara bermakna (p < 0,05).
49
Gambar 5.1 Grafik Kadar Prostaglandin Sebelum dan Setelah Perlakuan
50
Gambar 5.1 menunjukkan perbedaan kadar prostaglandin yang tampak nyata
sebelum
dengan
sesudah
perlakuan
pada
kedua
kelompok.
Gambar 5.2 Grafik Penurunan Kadar Prostaglandin Setelah Diberikan Perlakuan Gambar 5.2 menunjukkan pemberian zink dapat menurunkan kadar prostaglandin lebih besar dibandingkan dengan placebo, di mana pada kelompok perlakuan, rerata kadar prostaglandin sebesar 743,44 pg/ml turun menjadi 351,32 pg/ml, sedangkan pada kelompok kontrol rerata kadar prostaglandin sedikit mengalami penurunan yaitu dari 514, 49 pg/ml menjadi 435,26 pg/ml.
51
5.3.4 Uji Komparabilitas Intensitas Nyeri Haid Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan median intensitas nyeri haid antar kelompok sebelum diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney disajikan pada Tabel 5.8. Tabel 5.8 Median Intensitas Nyeri Haid antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan Kelompok Subjek Plasebo
n
Median
16
2
Kuartil (Q1 – Q3) 2 2,75
p
0,674 Zink
16 2 2 2 Tabel 5.8 menunjukkan bahwa median intensitas nyeri haid kelompok
plasebo adalah 2 (2-2,75), median kelompok zink adalah 2(2-2). Analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa nilai U = 120,00 dan nilai p =0,674. Hal ini berarti bahwa median intensitas nyeri haid pada kedua kelompok adalah sama (p > 0,05). 5.3.5 Analisis efek perlakuan Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan median intensitas nyeri haid antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney disajikan pada Tabel 5.9 Tabel 5.9 Median Intensitas Nyeri Haid antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan Kelompok Subjek
N
Median
Kuartil
p
52
(Q1 – Q3) Plasebo
16
2
1,25
2 0,017
Zink
16
1
1
2
Tabel 5.9 menunjukkan bahwa median intensitas nyeri haid kelompok plasebo adalah 2(1,25-2), median kelompok zink adalah 1(1-2). Analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa nilai U = 71,00 dan nilai p =0,017. Hal ini berarti bahwa median intensitas nyeri haid pada kedua kelompok berbeda secara bermakna (p < 0,05). 5.4 Hubungan Kadar Prostaglandin dengan Intensitas Nyeri Haid
Hubungan antara kadar prostaglandin dengan intensitas nyeri haid, dianalisa secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, hubungan tersebut dianalisis dengan uji chi square, dan secara kuantitatif dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Tabel 5.9 Frekuensi Intensitas Nyeri Kedua Kelompok Sebelum Perlakuan
Kontrol Perlakuan Jumlah
1 0 0 0
Intensitas Nyeri 2 3 12 (75%) 4 (25%) 13 (81,25%) 3 (18,75%) 25 7
Jumlah 16 16 32
Dari tabel 5.1 dapat dilihat frekuensi penderita nyeri haid sebelum perlakuan digolongkan pada dua jenis derajat nyeri, yaitu nyeri derajat 2 (nyeri sedang) dan nyeri derajat 3 ( nyeri berat) . Pada kelompok kontrol 75% subjek menderita nyeri sedang, dan 25% subjek menderita nyeri berat, perlakuan, sebanyak 81, 25%
sedangkan
pada kelompok
subjek menderita nyeri sedang dan 18,75 %
53
menderita nyeri berat. Frekuensi derajat nyeri pada kedua kelompok hampir sama, dibuktikan dengan uji Chi-Square didapatkan nilai χ2 = 0,183 dan nilai p = 1,000 untuk sebelum perlakuan, yang artinya tidak ada perbedaan intensitas nyeri pada kedua kelompok sebelum perlakuan (p > 0,05). Tabel 5.10 Frekuensi Intensitas Nyeri Kedua Kelompok Setelah Perlakuan
Kontrol Perlakuan Jumlah
1 4 (25%) 10 (62,5%) 14
Intensitas Nyeri 2 9 (56,25%) 6 (37,5%) 15
Jumlah 3 3 (18,75%) 0 3
16 16 32
Setelah diberi perlakuan, frekuensi penderita nyeri pada kedua kelompok mengalami perubahan, yaitu pada kelompok kontrol sebanyak 75% subjek menderita nyeri sedang dan berat dan 25% subjek menderita nyeri ringan, tidak ada subjek yang menderita nyeri berat. Sedangkan pada kelompok perlakuan sebesar 62,5% subjek menderita nyeri ringan, dan hanya 37,5 % yangmenderita nyeri sedang, tidak ada yang menderita nyeri berat di kelompok perlakuan setelah mendapat zink. Dengan uji chi square didapat nilai χ2 = 6,17 nilai p = 0,046, yang berarti ada perbedaan intensitas nyeri yang bermakna pada kedua kelompok setelah perlakuan (p < 0,05). Yang bermakna bahwa
pemberian zinc akan
menurunkan intensitas nyeri lebih baik daripada hanya diberikan placebo.
54
Gambar 5.3 Grafik Frekuensi Nyeri Haid Sebelum Perlakuan Pada Kedua Kelompok
Gambar 5.4 Grafik Frekuensi Nyeri Haid Sesudah Perlakuan Pada Kedua Kelompok
55
Hubungan antara kadar prostaglandin dengan intensitas nyeri haid juga dianalisis secara kuantitatif dengan korelasi Spearman. Berdasarkan hasil analisis didapatkan nilar r = 0,483 dan nilai p = 0,005 (p<0,05). Yaitu ada hubungan positif yang bermakna antara kadar prostaglandin dengan intensitas nyeri haid, yang berarti semakin tinggi kadar prostaglandin berarti semakin tinggi intensitas nyeri haid yang dialami oleh penderita nyeri haid primer.
56
BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Subjek Penelitian Untuk mengetahui efek pemberian zink terhadap peningkatan kadar prostaglandin maka dilakukan penelitian yang melibatkan 32 orang mahasiswi Fakultas Kedokteran UNUD penderita nyeri haid primer derajat sedang-berat yang berusia 17-21 tahun. Rentang umur tersebut dipilih karena populasi penderita nyeri haid primer lebih banyakberada di rentang umur remaja hingga dewasa muda dimana sekitar 70-90 % kejadian nyeri haid primer terjadi pada rentang usia tersebut ( Proctor dan Farquar, 2002). Dosis zink yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 mg sehari berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eby (2006). Bedanya pada penelitian ini dosis zink sebesar 30 mg diberikan sekali sehari, sedangkan pada penelitian terdahulu dosis diberikan 15 mg dua kali sehari. Dosis ini dianggap aman karena dosis maksimal zink adalah 150 mg/hari (Prasad, 2004). Karena zink adalah suplemen makanan dan bukan obat, tidak ada efek zink yang membahayakan kesehatan jika diminum dalam dosis terapi. Efek samping zink jika diminum berlebihan adalah rasa mual, kembung dan rasa tidak nyaman di saluran pencernaan (Insel, 2002). Pada penelitian ini, dari 32orang subjek, hanya 2 orang yang merasakan keluhan sedikit mual setelah minum zink. Efek ini dapat diabaikan karena subjek penelitian tidak sampai menghentikan minum zink selama penelitian.
57
Pemberian zink dilakukan selama empat hari sebelum siklus haid didasarkan pada beberapa penelitian sebelumnya yang memberikan zink selama 1-4 hari, ternyata memberikan efek yang sama-sama menurunkan intensitas nyeri haid (Eby, 2006) 6.2. Pengaruh Zink terhadap Kadar Prostaglandin dan Intensitas Nyeri Haid Uji perbandingan sebelum perlakuan antara kedua kelompok menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna kadar prostaglandin antara kelompok plasebo dengan kelompok zink (p>0,05). Hal ini berarti bahwa kadar prostaglandin dalam darah pada kedua kelompok adalah sama atau dengan kata lain kedua kelompok sebelum diberikan perlakuan kadar prostaglandinnya tidak berbeda. Uji perbandingan sesudah perlakuan antara kedua kelompok menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna penurunan kadar prostaglandin dalam darah antara kelompok plasebo dengan kelompok zink dan juga terdapat perbedaan bermakna penurunan intensitas nyeri haid antara kelompok plasebo dengan kelompok zink. Uji korelasi menunjukkan ada hubungan positif antara kadar prostaglandin dengan intensitas nyeri haid, yang berarti semakin tinggi kadar prostaglandin berarti semakin tinggi intensitas nyeri haid yang dialami oleh penderita nyeri haid primer. 6.2.1 Zink Menurunkan Kadar Prostaglandin Sejak prostaglandin disebut sebagai penyebab nyeri haid, maka penelitianpenelitian yang dilakukan difokuskan pada penghambatan produksi prostaglandin. Zink sebagai salah satu mikronutrien dapat menghambat metabolisme
58
prostaglandin di mana konsentrasi zink sebesar 1x10-5 mol/l, dalam rentang konsentrasi fisiologis pada jaringan uterus, dapat menghambat metabolisme prostaglandin (Kelly dan Abel, 1983). Penelitian lain menyimpulkan bahwa mekanisme zink dalam otot polos uterus sama dengan mekanisme zink pada pengobatan angina pectoris dengan cara meningkatkan sirkulasi pada pembuluh darah kapiler (Eby, 2006). Pada keadaan nyeri haid terjadi kontraksi uterus yang kuat yang menimbulkan ischemia jaringan sehingga terjadi pengeluaran mediator nyeri seperti prostaglandin. Dengan pemberian Zink diharapkan dapat memperbaiki sirkulasi sehingga ischemia jaringan dapat dicegah. Zink juga mengatur Cox-2 yaitu suatu enzim yang terlibat dalam nyeri dan inflamasi, dimana pemberian zink akan menurunkan aktivitas Cox-2 sehingga dapat menurunkan sintesis prostaglandin (Fong dkk, 2005).
Pada
penelitian ini didapat perbedaan yang bermakna pada penurunan kadar prostaglandin dalam darah pada kedua kelompok. Ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Akinola dan Odutuga(1999) yang dilakukan pada tikus, yang menyatakan bahwa tikus yang mengalami defisiensi zink memiliki kadar metabolit prostaglandin yang tinggi di dalam plasmanya, dibandingkan dengan tikus yang tidak mengalami defisiensi zink. Peningkatan kadar prostaglandin memiliki peranan yang penting sebagai penyebab terjadinya nyeri haid. Dawood (2006) berpendapat bahwa terjadinya spasme miometrium dipacu oleh zat dalam darah haid, mirip lemak alamiah yang kemudian diketahui sebagai prostaglandin. Kadar zat ini meningkat pada keadaan nyeri haid dan ditemukan di dalam otot uterus.
Zink
memiliki
efek
mengurangi
sintesis
prostaglandin
dan
59
kemampuannya sebagai antiinflamasi dan antioksidan dapat meningkatkan sirkulasi pembuluh darah mikro. Zink juga merupakan salah satu nutrisi yang dapat meningkatkan konversi asam lemak esensial sebagai antiinflamasi bagi prostaglandin (Mayo, 1997).
Oleh karena itu zink memiliki kemampuan
menurunkan kadar PGF2α seperti pada gambar 6.1 Asam Arakidonat
ZINK
Siklooksigenase
Siklik endoperoksidase (PGG2, PGH2)
Pengurangan Isomerase
PGF2α
Kontraksi otot uterus, Vasokontriksi dan Hipersensitisasi terhadap Nyeri Haid
Gambar 6.1 Skema Mekanisme Kerja Zink Dalam Mengurangi Prostaglandin dan Nyeri Haid 6.2.2 Zink Menurunkan Intensitas Nyeri Haid Pada keadaan nyeri haid terjadi kontraksi uterus yang kuat mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke otot uterus, sehingga mengakibatkan berkurangnya
60
asupan oksigen ke dalam jaringan yang menimbulkan iskemia. Keadaan iskemia akan mengakibatkan pelepasan reaktif oksigen spesies yang
mengakibatkan
kerusakan jaringan. Kerusakan jaringan akan menyebabkan pengeluaran mediator-mediator nyeri. Di sisi lain, di dalam uterus terdapat enzim copper-zink dismutase yang dapat meng-inaktivasi pelepasan reaktif oksigen spesies tersebut, di mana pemberian zink akan menjaga jumlah enzim tersebut tetap adekuat di dalam uterus (Sugino dkk, 2002). Pemberian zink juga berefek sebagai antioksidan dan antiinflamasi yang dapat menurunkan kadar sitokin-sitokin penyebab inflamasi sehingga dapat mengurangi kram dan rasa nyeri (Prasad, 2004). Pada penelitian ini didapat penurunan intensitas nyeri yang bermakna pada kelompok zink. Penurunan intensitas nyeri ini didukung
oleh hasil penelitian
Eby (2006) dalam penelitiannya tentang pemberian zink. Pada penelitian ini ditemukan bahwa wanita yang mengkonsumsi zink 31 mg/hari tidak mengalami nyeri haid, dibandingkan dengan wanita yang menkonsumsi zink 15 mg/hari. Pemberian zink juga akan menurunkan kadar Cox-2, suatu enzim yang terlibat dalam nyeri, inflamasi dan prekursor kanker uterus (Fong dkk, 2005). Didukung pula oleh Sieppmann dkk (2005), pada penelitiannya diperoleh hasil bahwa nyeri haid primer maupun sekunder akan memburuk pada keadaan defisiensi zink. Secara fisiologis tubuh yang normal adalah tubuh yang nyaman tanpa rasa nyeri, tetapi rasa nyeri adalah respon fisiologis tubuh kita terhadap suatu rangsang. Rasa nyeri dibutuhkan untuk mekanisme pertahanan tubuh kita untuk
61
mencegah kerusakan organ atau jaringan yang lebih luas, yang diakibatkan oleh suatu rangsang nyeri (Guyton dan Hall, 2006). Nyeri haid tergolong nyeri akut yang termasuk tipe nyeri viseral. Nyeri ini terjadi akibat kontraksi pada otot polos rahim disertai dengan iskemia jaringan akibat produksi prostaglandin yang berlebihan saat haid. Rasa nyeri ini sangat individual dan berbeda pada setiap orang. Sehingga di satu sisi ada yang tidak merasakan nyeri, tapi di sisi lain ada yang merasakan nyeri yang sangat hebat sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari, dan berpengaruh pada ketidakhadiran berulang di sekolah ataupun tempat kerja. Penemuan zink ini diharapkan dapat mengurangi bahkan mencegah keluhan nyeri haid yang terjadi sehingga kualitas hidup dan kualitas kerja dapat ditingkatkan. 6.2.3 Hubungan Prostaglandin dan Intensitas Nyeri Haid Prostaglandin menyebabkan peningkatan aktivitas uterus dan serabutserabut syaraf terminal rangsang nyeri. Kombinasi antara peningkatan kadar prostaglandin dan peningkatan kepekaan miometrium menimbulkan tekanan intra uterus sampai 400 mm Hg dan menyebabkan kontraksi miometrium yang hebat. Atas dasar itu disimpulkan bahwa prostaglandin yang dihasilkan uterus berperan dalam menimbulkan hiperaktivitas miometrium. Kontraksi miometrium yang disebabkan oleh prostaglandin akan mengurangi aliran darah, sehingga terjadi iskemia sel-sel miometrium yang mengakibatkan timbulnya nyeri spasmodik (Harel, 2006).
62
Dalam penelitian ini didapatkan adanya hubungan positif secara bermakna antara kadar prostaglandin dengan nyeri haid yaitu nilai r = 0,483 dari hasil analisis korelasi spearman, nilai r2 = 23%, berarti faktor prostaglandin mempengaruhi nyeri haid sebesar 23 %, selebihnya dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya kadar hormon, status gizi, stress, dan keadaan fisiologis tubuh, aktivitas olahraga dan pola makan (Mayo, 1997; Dawood, 2006). Adanya hubungan antara prostaglandin dan nyeri haid didukung oleh penelitian Fortier dkk (2008) di mana pada penelitiannya didapatkan prostaglandin dan leukotrin menyebabkan respon inflamasi, yang akan menimbulkan spasme otot uterus dan keluhan sistemik seperti mual, muntah, perut kembung dan sakit kepala. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dawood dan Khan-Dawood (2007), dengan mengukur kadar PGF2α pada darah menstruasi yang terdapat dalam tampon, didapatkan bahwa kadar PGF2α dua kali lebih tinggi pada wanita yang mengalami nyeri haid dibandingkan dengan yang tidak mengalami nyeri haid. Hubungan antara kadar PGF2α dan intensitas nyeri juga dijelaskan oleh Lundstrom and Green (1978) pada penelitiannya terhadap specimen endometrium wanita dengan nyeri haid yang tidak menjalani pengobatan, ditemukan kadar PGF2α empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita tanpa nyeri haid saat hari pertama menstruasi.
Pemberian obat seperti ibuprofen saat menstruasi
membuat kadar prostaglandin dalam darah menstruasi wanita dengan nyeri haid menjadi turun hampir sama dengan kadar prostaglandin pada wanita tanpa nyeri haid (Daniels, 2002). Peningkatan konsentrasi PGF2α dan metabolitnya dalam
63
darah menstruasi dan sirkulasi perifer terjadi pada wanita dengan nyeri haid (Milne, dkk, 2003). Hal ini semakin memperkuat hasil penelitian ini yang menyatakan nyeri saat menstruasi berhubungan dengan hipertonisitas dari miometrium yang disertai dengan iskemia uteri yang disebabkan pelepasan lokal prostaglandin. Kemudian lepasnya prostaglandin dari uterus ke sirkulasi sistemik mengakibatkan efek sistemik seperti gangguan gastrointestinal, lesu, pusing dan sakit kepala. Terdapat hubungan antara keluhan nyeri haid dan produksi prostaglandin dan ditemukan adanya substansi dalam darah menstruasi yang menstimulasi kontraksi otot polos uterus. Substansi tersebut mengandung PGF2α dan PGE2, dimana rasio PGF2α lebih tinggi dalam endometrium dan darah menstruasi wanita yang mengalami nyeri haid primer (Lumsden, 2005). PGF 2α dan PGE2 memiliki efek vascular yang berlawanan, yang menyebabkan vasokontriksi dan vasodilatasi . Pemberian PGF2α merangsang kontraksi uterus selama seluruh fase siklus menstruasi, sedangkan PGE2 menghambat kontraktilitas miometrium selama menstruasi dan merangsangnya saat fase proliferative dan fase luteal. (Clark and Myatt, 2008). 6.3 Kelemahan Penelitian Karena keterbatasan peneliti, penelitian ini memiliki beberapa kelemahan yaitu: 1. Penelitian ini belum bisa menjelaskan berapa hari sebelum haid sebaiknya
diberikan zink.
64
2. Pada penelitian ini kadar prostaglandin hanya diukur saat sebelum perlakuan dan 4 hari sesudah perlakuan,
tidak dilakukan pengukuran
kadar prostaglandin setiap hari. 3. Pada penelitian ini ditemukan bahwa pemberian zink mengganggu
aktivitas
enzim
prostaglandin.
siklooksigenase
sehingga
menghambat
sintesis
Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran kadar
enzim tersebut untuk mengetahui apakah jumlah enzim tersebut menurun atau tidak.
65
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian pada wanita penderita nyeri haid primer didapatkan simpulan sebagai berikut: 1. Pemberian zink selama 4 hari sebelum menstruasi dapat menurunkan
kadar prostaglandin (PGF2α) pada kasus nyeri haid primer. 2. Pemberian zink selama 4 hari dapat menurunkan keluhan nyeri pada kasus
nyeri haid primer. 3. Ada korelasi antara kadar prostaglandin dengan nyeri haid pada kasus
nyeri haid primer.
7.2
Saran Sebagai saran dalam penelitian ini adalah:
1.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme kerja zink
yang lebih mendalam dan lama pemberian zink sebelum haid 2.
Disarankan kepada wanita yang mengalami riwayat nyeri haid untuk
mengkonsumsi zink dengan dosis yang sesuai untuk mencegah mengurangi rasa nyeri menjelang atau saat terjadinya haid.
66
DAFTAR PUSTAKA
Ahrendt, Hans Joachim. 2007. The effects of an oestrogen-free, desogestrelcontaining oral contraceptive in women with cyclical symptoms: Results from two studies on oestrogen-related symptoms and dysmenorrhoea European Journal of Contraception & Reproductive Health Care. Vol. 12, Iss. 4; p. 354. Akhtar, Begum K. 2001. Review article: Dysmenorrhea and Pelvic Pain: A common adolescent reproductive health problem. The ORION Vol. 10, September. Akinola O, Adisa and Adewale A. Odutuga. 1999. Metabolic interactions between zink and essential fatty acids in the mammalian organism. Nutrition and Food Science. Bradford: Vol 99. Iss.2; pg.99. Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia, Jakarta. Antao, V., Black, A., Burnett, M., Feldman, K., Lea, R., Robert, M. 2005. Primary Dysmenorrhea Consensus Guideline. No 169, December. Toronto Banikarim, C., Chacko,MR., Kelder, SH. 2000. Prevalence and Impact of Dysmenorrhea on Hispanic Female Adolescents. Arch Pediatr Adolesc Med ;154:1226-1229 Berkow R, editor. 1987. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy. Vol. 2. 15th ed. Rahway (NJ): Merck. Campbell, D.T., Stanley, J.D. 1968. Experimental and Experiment Quasi Experimental Design for Research. Chicago:Rand Mc Nally. Campbell, MA., McGrath, PJ. 1997. Use of medication by adolescents for the management of menstrual discomfort. Arch Pediatr Adolesc Med 151:905. Christopher.J.F., S.W. Suh, D.Silva., C.J.Fredickson & R.B. Thomson. 2000. Importance of Zink in The Central Nervous Sistem : The Zink Containing Neuron. J. Nutr; 130:345S-346S Clark, Kenneth., Myatt, Leslie. 2008. Prostaglandin and The Reproductive Cycle. Glob.libr. women’s med (ISSN: 1756-2228) 2008. Cunningham, Gary., Gant, Norman., Leveno, Kenneth. 2001. Williams Obstetrics: International Edition. Mc- Graw-Hill.
67
Daniels, SE., Talwalker, S., Torri, S., Snabes, MC., Recker, DP., Verburg, KM. 2002.
Original
Research:Valdecoxib,
a
Cyclooxygenase‐2‐Specific
Inhibitor, Is Effective in Treating Primary Dysmenorrhea. Obstetrics & Gynecology: August - Volume 100 - Issue 2 - p 350–358. Dawood, M. 1988. Nonsteroid anti inflammatory drugs and changing attitudes towards nyeri haid. Am J Med ; 84: 23-9. Dawood, M. 2006. Primary Dysmenorrhea Advances in Pathogenesis and Management. Journal Obstetric and Gynaecology Vol. 108, No. 2, August. Published by Lippincott Williams & Wilkins. ISSN: 00297844/06 Dawood, MY and Khan-Dawood, Firyal S. 2007. Clinical efficacy and differential inhibition of menstrual fluid prostaglandin F2α in a randomized, doubleblind, crossover treatment with plasebo, acetaminophen, and ibuprofen in primary dysmenorrhea. American Journal of Obstetrics & Gynecology Volume 196, Issue 1 , Pages 35.e1-35.e5. De Souza, Miriam C. 2000.A Synergistic Effect of a Daily Supplement for 1 Month of 200 mg Magnesium plus 50 mg Vitamin B6 for the Relief of Anxiety-Related Premenstrual Symptoms: A Randomized, Double-Blind, Crossover Study. Journal of Women's Health & Gender-Based Medicine. March, 9(2): 131-139. Eby, George . 2006. Zink Treatment Prevents Dysmenorrhea. Medical Hypotheses (2007) ; 69: 297-301. Elsevier.. Fong, LY., Zhang, L., Jiang ,Y., Farber , JL., 2005. Dietary zink modulation of cox-2 expression and lingual esophageal carcinogenesis in rats. J Natl Cancer Inst ;97 : 40-50. Fortier, M.A., Krishnaswamy, K., Danyod, G. 2008. A Postgenomic integrated view of prostaglandin: Implication for other body sistems. Journal of Physiology and Pharmacology; 59, Suppl 1, 65-89. Guerrera, Mary P., Volpe, SL., Mao, JJ. 2009. Therapeutic Uses of Magnesium. American Family Physician:. Vol. 80, Iss. 2; pg. 157, 6 pgs. Leawood
68
Guyton, Arthur C and Hall, John, E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran; alih bahasa: Irawati dkk; editor: Lukman Yanuar Rahman, dkk. Edisi 11. Jakarta. EGC. Han, SH., Hur, MH., Buckle, J. 2006. Effect of aromatherapy on symptoms of dysmenorrhea in college students: A randomized plasebo-controlled clinical trial. J Altern Complement Med;12:535-541. Harel, Zeev MD. 2006 . Dysmenorrhea in Adolescents and Young Adults: Etiology and Management .J Pediatr Adolesc Gynecol 19:363-371 Insel, P., Turner, RE., Ross, D. 2002. Nutrition Update. American Dietetic Association. Jones and Bartlett Publishers, Massachusets. Jeon, DG., Eun, JL., Park, SW., 2004. The Effects of 1% Lidocain on Pain Induced by Rocuronium. Department of Anestehesiology and Pain Medicine ;8: 239-244. Kelly, RW., Abel, MH. 1983. Copper and Zink inhibit the metabolism of prostaglandin by the human uterus. Biol Reprod ;28 :883-9. Khorshidi, N., Ostad, SN., Mossadegh, M., Soodi, M. 2003. Original Article Clinical Effects of Fennel Essential oil on Primary Dysmenorrhea. Iranian Journal of Pharmaceutical Research : 89-93 Kılıç, I., Kanbur, N., Derman, O., Aksu, T., Soyer, O., Kalaycı, O., Kutluk, T. 2008. Role of leukotrienes in the pathogenesis of dysmenorrheal in adolescent girls. The Turkish Journal of Pediatrics; 50: 521-525. Knox, HT. 2005. Pain Assesement Instrument for Use in the Emergency Department, in: Emergency Medicine Clinics of North America ;23 : 28595. Latthe, P., Mignini, L., Gray, R., Hills, R., Khan, K.2006. Factors predisposing women to chronic pelvic pain: sistematic review. British Medical Journal. (International edition). April, 1.Vol. 332, Iss. 7544; pg. 749. London. Li, CH and Wang, YZ. 2008. Acupuncture at Siguan Points for Treatment of Primary Dysmenorrhea. PubMed-NCBI. Lumsden, Mary Ann. 2005. Dysmenorrhea. Women Health Medicine. Volume 2, Issue 1. Pages 40-43. Lundstrom, V and Green, K. 1978. Endogenous Levels Of Prostaglandin F2 And Its Main Metabolites In Plasma And Endometrium Of Normal And Dysmenorrheic Women. Am J Obstet Gynecol ;130:640-46.
69
Mayo, Joseph MD, FACOG. 1997. A Healthy Menstrual Cycle. Clinical Nutrition Insights . By Cni 509 Rev. 7/98. Copyright ® 1997 by Advanced Nutrition Publications, Inc. McGraw-Hill. Milne, Stuart and Henry N, Jabbour. 2003. Prostaglandin (PG) F2 Receptor Expression and Signaling in Human Endometrium: Role of PGF2 in Epithelial Cell Proliferation The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism Vol. 88, No. 4 1825-1832. Morgan, PJ., Kung, R., Tarshis, J. 2002. Nitroglycerin as a uterine relaxant: a sistematic review. J Obstet Gynaecol Can ;24:403–9. Nasir, Laeth and Edward T. Bope. 2004. Management of Pelvic Pain from Dysmenorrhea or Endometriosis. The Journal of the American Board of Family Practice 17:S43-S47.American Board of Family Practice Pickles, VR., Hall, WJ., Best, FA . 1975. Prostaglandin in endometrium and menstrual fluid from normal and dysmenorrhoea subjects. J Obstet Gynecol Br Comm; 72: 185. Piliang, W. 2001. Fisiologi Nutrisi: Mineral. IPB. Bogor. Pocock, S.J. .2008. The Size of Clinical Trial, Clinical Trials-Practical Approach. Chicester: John Wiley & Sons – A Wiley Medical Publication, p123-141. Pouresmail, Z and Ibrahimzadeh R, 2002. Effects of acupressure and ibuprofen on the severity of primary nyeri haid. J Tradit Chin Med. 2002 Sep;22(3):205-10. Prasad, AS., Bao, B., Beck, FWJ., Kucuk, O., and Sarkar, FH . 2004. Antioxidant effect of zink in humans. Free Radic Biol Med ;37 : 1182-90 Proctor, M., Farquhar, C., 2002. Dysmenorrhoea. Clinical Evidence ;7:1654–62. Proctor, M., Latthe, P., Farquhar, C., Khan, K., Johnson, N. 2005. Surgical interruption of pelvic nerve pathways for primary and secondary dysmenorrhoea (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 4. Proctor, ML., Murphy, PA. 2001. Herbal and Dietary Therapies for primary and secondary dysmenorrhea. Cochrane Database Syst Rev ; (3): CD002124. Proctor, ML., Roberts, H., Farquhar, CM. 2001. Combined oral contraceptive pill (OCP) as treatment for primary dysmenorrhoea (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 4. Ridwan, MBA. 2003. Dasar-Dasar Statistika. Bandung . Alfabeta.
70
Rink, Lothar and Kirchner, Holger. 2000. Zink-Altered Immune Function and Cytokine Production; Journal of Nutrition;130:1407S-1411S. Rospond, RM. 2008. Penilaian Nyeri; alih bahasa: D. Lyrawati. Schiotz, AH., Jettestead, M., Al-heeti, D. 2007. Treatment of dysmenorrhoea with a new TENS device (OVA) . Journal of Obstetrics and Gynecology. Bristol: Oct . Vol. 27, Iss. 7; pg. 726 Seifert, B., Wagler, P., Dartsch, S., Schmidt, U., Nieder, J. 1989. Magnesium–a new therapeutic alternative in primary dysmenorrhea. Zentralbl Gynakol ; 111:755–60. Siepmann, M., Spank, S., Kluge, A., Scappach, A., Kirch, W. 2005. The pharmacokinetic of zink from zink gluconate; a comparison with zink oxide in healthy men. Int J Clin Pharmacol Therap; 43:562-5 Simopoulos AP. 1991. Omega-3 fatty acids in health and disease and in growth and development. Am J Clin Nutr ; 54:438 Singh, A., Kiran, D., Singh, H., Nel, B., Singh, P., Tiwari, Pl. 2008. Prevalence And Severity Of Dysmenorrhea : A Problem Related To Menstruation, Among First And SecondYear Female Medical Students. Indian J Physiol Pharmacol; 52 (4) : 389–397. Speroff L, FritSOGC CLINICAL PRACTICE GUIDELINE. Speroff, L., Fritzz, MA. 2005. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility, 7th ed. Philadelphia: Lippincot William and Wilkins :540-541. Sugino, N., Karube-Harada, A., Sakata, A., Takiguchi, S., Kato, H. 2002. Different mechanism for the induction of copper-zink superoxide dismutase and manganese superoxide dismutase by progesterone in human endometrial stromal cells. Hum Reprod ;17 (7):1709-14. Taylor, D., Miaskowski, C and Kohn, J . 2002. A Randomized Clinical Trial of the Effectiveness of An Acupressure Device (Relief Brief) for Managing Symptoms of Dysmenorrhea. The Journal of Alternative and Complementary Medicine. 8(3): 357-370. Wilson, ML., Murphy, PA. 2001. Herbal and dietary therapies for primary and secondary dysmenorrhoea (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 3, Oxford Witt, Claudia M., Reinhold, T., Brinkhaus, B., Roll, S., Jena, S., Willich, SN. 2008. Acupuncture in patients with dysmenorrhea: a randomized study on clinical effectiveness and cost-effectiveness in usual care. American
71
Journal of Obstetrics & Gynecology Volume 198, Issue 2 ,Pages 166.e1 -166.e8 Wu, D., Liu, L., Meydani, M, Meydani, SN. 2005. Vitamin E increases production of vasodilator prostanoids in human aortic endothelial cells through opposing effects on cyclooxygenase-2 and phospholipase A2. J Nutr ;135:1847–53 LAMPIRAN Lampiran 1 Uji Normalitas Data Umur, Umur Menarche, dan Kadar Prostaglandin
Shapiro-Wilk Kelompok Umur (th) Umur Menarche Berat badan (kg) Tinggi Badan (cm)
Statistic
df
Sig.
Plasebo
.759
16
.001
Zink Plasebo Zink Plasebo Zink Plasebo
.760 .827 .892 .964 .955 .933
16 16 16 16 16 16
.001 .006 .061 .732 .575 .272
Zink
.959
16
.637
Lampiran 2 Uji Normalitas Data Kadar Prostaglandin dan Selisih Prostaglandin Shapiro-Wilk Kelompok
Statistic
df
Sig.
Prostaglandin Pre
Placebo
.898
16
.075
Selisih
Zink Placebo
.901 .944
16 16
.083 .403
Zink
.915
16
.138
72