BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1.
Tanaman Garut (Maranta arundinaceae L.) Garut (Maranta arundinaceae L.) berasal dari Amerika Tengah Tropis yang dikenal juga dengan nama arowroot adalah tanaman umbiumbian yang kaya akan karbohidrat yang termasuk dalam famili Marantaceae (Suhertini dan Wawan, 2003). Menurut Rukmana (2000), tingkatan takson tanaman garut adalah sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Monocotyledoneae
Bangsa : Zingerbales Suku
: Marantaceae
Marga
: Maranta
Jenis
: Maranta arundinacea Linn
Gambar 2.1 Tanaman Maranta arundinacea (Djaafar dkk., 2010 dan Maulani dkk., 2012). Suhu berpengaruh terhadap proses metabolisme tanaman garut. Suhu tanah berperan dalam pertumbuhan awal (inisiasi) pembentukan kalus dari umbi. Suhu lingkungan yang optimal adalah 25-30°C (Villamajor dan Jukema 1996) agar proses respirasi, transpirasi maupun fotosintesis berjalan optimal. Untuk mendapatkan suhu yang optimal, garut sebaiknya ditanam pada ketinggian kurang dari 1.000 m dari permukaan laut (dpl)
7
8
(Djaafar dkk., 2010). Garut umumnya ditanam di lahan kering dengan curah hujan 1.500-2.000 mm/tahun. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan air selama pertumbuhan tanaman (Djaafar dkk., 2007). Tanaman garut mampu tumbuh maksimal dibawah tegakan atau ternaungi pohon dengan intensitas naungan 30-70%, tumbuh pada berbagai jenis tanah, tumbuh di berbagai tipe tanah baik subur maupun kritis/tanah miskin hara, tumbuh secara baik mulai dari tepi pantai sampai wilayah pegunungan dengan ketinggian 900 m dpl dan tidak membutuhkan perawatan yang khusus sehingga mudah dibudidayakan dan dipelihara (Arimbi, 1998; Villamayor dan Jukema, 1996). Potensi hasil umbi garut berkisar antara 12,5 ton umbi/ha. Budidaya secara intensif akan menghasilkan rata-rata 21 ton umbi/ha (Suhendrata, 2013). Berdasarkan sensus pertanian, luas tanam tumbuhan garut di provinsi Jawa Tengah tahun 2013 berkisar 247.627 m2 (BPS Jawa Tengah, 2013). Tanaman garut banyak mengandung karbohidrat yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan alternatif. Tingginya kadar karbohidrat dan energi membuat umbi garut dapat digunakan sebagai pengganti sumber karbohidrat sehingga berpotensi menggantikan tepung terigu. Analisa komposisi gizi terhadap tepung garut menunjukkan bahwa dalam 100 gram tepung garut mengandung kalori sebesar 355 kalori, lemak 0,2 gram, karbohidrat 85,2 gram, protein 0,7 gram (Mien dkk., 2009). Menurut Marsono (2002), umbi garut memiliki manfaat kesehatan karena indeks glisemiknya lebih rendah (14) dibanding umbi-umbian lainnya, seperti gembili (90), kimpul (95), ganyong (105), dan ubi jalar (179). Indeks glisemik menyatakan ukuran kenaikan kadar gula darah seseorang setelah mengkonsumsi makanan yang bersangkutan. Makin tinggi indeks glisemik, berarti makanan tersebut makin tidak baik dikonsumsi oleh penderita diabetes. Indeks glisemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap gula darah. Pangan yang menaikkan kadar gula darah dengan cepat memiliki IG tinggi. Sebaliknya, pangan
9
yang menaikkan kadar gula darah dengan lambat memiliki IG rendah. Nilai IG pangan didefinisikan sebagai nisbah antara luas area kurva glukosa darah makanan yang diuji yang mengandung karbohidrat total setara 50 g gula terhadap luas glukosa darah setelah makan 50 g glukosa pada hari yang berbeda dan pada orang yang sama. Berdasarkan definisi tersebut, glukosa (sebagai standar) memiliki nilai IG 100. Nilai IG pangan dikelompokkan menjadi IG rendah (<55), sedang (55-70) dan tinggi (>70) (Purwani dkk., 2007). 2. Pati garut Pati garut diperoleh dari penepungan umbi garut. Umbi garut yang baik dipanen jika tanaman tua, yaitu 10-11 bulan. Tanaman garut berpotensial sebab produktivitasnya cukup tinggi, yaitu berkisar 12,5-31 ton/ha (Karjoyo, 1998). Menurut Djaafar dan Rahayu (2006), pati garut dapat dimanfaatkan sebagai bahan substitusi terigu dalam pengolahan pangan. Tingkat substitusi bergantung pada produk pangan yang akan dihasilkan. Untuk kue kering (cookies), tingkat substitusi 60-100% dapat menghasilkan kue kering dengan kerenyahan tinggi (Djaafar dkk., 2004). Dalam pembuatan cake dan roti, diperlukan protein gandum yaitu gluten yang tidak ditemukan dalam bahan pangan umbi-umbian seperti garut (Khatkar dan Schofield 1997). Oleh karena itu, dalam pembuatan cake dan roti, tingkat substitusi terigu dengan pati garut hanya 40% (Husniarti et al., 2001). Pati alami seperti tapioka, pati jagung, sagu dan pati-pati lain mempunyai beberapa kendala jika dipakai sebagai bahan baku dalam industri pangan maupun non pangan. Jika dimasak pati membutuhkan waktu yang lama (hingga butuh energi tinggi), juga pasta yang terbentuk keras dan tidak bening. Disamping itu sifatnya terlalu lengket dan tidak tahan perlakuan dengan asam. Kendala-kendala tersebut menyebabkan pati alami terbatas penggunaannya dalam industri (Koswara, 2009), serta pati garut memiliki kelemahan yaitu swelling power dan kelarutan yang tidak memenuhi kriteria (sangat rendah) (Rakhmawati dkk., 2014).
10
a. Komposisi Pati Garut Umbi garut yang akan diolah menjadi pati sebaiknya dipanen pada umur 10 bulan setelah tanam karena rendemen pati dan kandungan amilosanya tinggi. Kadar amilosa pati garut meningkat seiring dengan bertambahnya umur umbi. Komposisi kimia pati garut berdasarkan umur panennya akan dijelaskan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Komposisi Kimia Pati Garut Berdasarkan Umur Panen Sifat Fisik dan Kimia Umur Panen (bulan) 6 8 10 Rendemen (%) 14,81 14,46 16,37 Derajat putih 97,44 97,33 97,61 Kadar air (%) 13,52 9,56 14,85 Kadar serat (%) 8,25 21,26 40,92 Sumber: Djaafar dkk. (2006)
b. Granula Pati Garut Pati dalam bahan pangan terdapat dalam bentuk granula, yaitu tempat dimana amilosa dan amilopektin berada. Granula pati berbedabeda ukuran dan bentuknya, tergantung sumber atau asal patinya. Bentuk dan ukuran pati ini dapat dibedakan satu sama lain secara mikroskopis. Granula pati memiliki sifat birefringence, yaitu sifat yang mampu merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga terlihat kontras gelap terang yang tampak sebagai warna biru-kuning. Sifat ini akan terlihat bila granula pati diamati di bawah mikroskop polarisasi. Sifat birefringence ini akan hilang apabila granula pati mengalami gelatinisasi (Murano, 2003). Pati garut, seperti halnya pati dari komoditas lainnya merupakan polimer karbohidrat yang disusun dalam tanaman melalui pengikatan kimiawi dari ratusan hingga ribuan satuan glukosa yang membentuk molekul berantai panjang. Molekul-molekul tersebut disusun dalam bentuk granula yang tidak larut dalam air dingin. Granula pati garut mempunyai diameter 5-7 µm, rata-rata 30 µm. Granula tersebut berbentuk bulat telur atau bulat terpotong. Suhu gelatinisasi pati garut berkisar antara 66,20-70°C (Haryadi, 1999).
11
c. Karakteristik kimia Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri atas dua fraksi, yaitu fraksi amilosa dan fraksi amilopektin. Amilosa merupakan α-glukan yang relatif lebih panjang dan linear, serta mengandung sekitar 99% ikatan α-(1,4)-D-glukosa. Amilosa memiliki
bobot
molekul
kira-kira
1x105–1x106.
Sedangkan
amilopektin merupakan molekul yang lebih besar daripada amilosa dengan bobot molekul 1x107-1x109, struktur bercabang, tersusun atas sekitar 95% ikatan α-(1,4)-D-glukosa dan 5% α-(1,6)-D-glukosa. Perbedaan struktur amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.2. (Tester et al., 2004).
Struktur (a)
Struktur (b) Gambar 2.2 Struktur (a) amilosa: α-(1,4)-glukan dan (b) amilopektin: α-(1,6)-branching points (Tester et al.. 2004) Amilosa tersusun oleh molekul glukosa yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan α-1,4-glikosidik membentuk homopolimer yang linear. Ikatan ini menghubungkan antara C1 pada glukosa yang satu dengan C4 pada glukosa yang lain dalam struktur piranosa. Molekul amilosa terdiri atas 200 sampai 20.000 unit glukosa yang berbentuk heliks (Murano, 2003). Panjang rantai polimer akan mempengaruhi berat molekul amilosa. Sementara dalam molekul amilopektin, di samping ikatan α-1,4 glikosidik yang membentuk
12
homopolimer linear, juga terdapat ikatan α-1,6 glikosidik yang membentuk struktur percabangan. Amilopektin terdiri atas lebih dari 2 juta unit glukosa dan setiap 20-30 unit glukosa membentuk struktur percabangan (Murano, 2003). Berdasarkan
penelitian
Winarti
dkk.
(2014),
pati
garut
mengandung amilosa dalam jumlah tinggi (35,68%), berdasarkan penelitian Faridah dkk. (2013) kadar amilosa pati garut sebesar 24,64%. Sedangkan menurut Richana et al. (2000) kadar amilosa pati garut 29,03-31,34%. Menurut Chilmijati (1999), kandungan amilosa pati garut sebesar 31,35% bk dan amilopektin sebesar 68,05% bk, sedangkan menurut Mariati (2001), yang menganalisis pati garut dari varietas lokal, menyatakan bahwa kandungan amilosa dan amilopektin pati garut masing-masing berkisar 29,67-31,34% dan 55,81-69,16% bk. Kadar amilosa dipengaruhi beberapa faktor antara lain: jenis botani, varietas tanaman, umur botani (Naraya dan Moorthy, 2002). Pati native merupakan unit semikristalin yang tersusun atas daerah kristalin dan amorphous. Bagian amorphous dapat lebih mudah mengalami hidrolisis asam dibandingkan bagian kristalin dalam granula pati (Vasanthan dan Bhatty 1998). 3. Metode Modifikasi Pati adalah karbohidrat kompoleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati tersusun dari dua macam karbohidrat yaitu amilosa dan amilopektin dalam komposisi yang berbeda-beda. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-Dglukosa sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 2004). Secara umum, pati terbagi menjadi dua kelompok yaitu pati asli dan pati modifikasi. Pati alami memiliki kekurangan yang sering menghambat aplikasinya di dalam proses pengolahan pangan, sehingga diperlukan modifikasi terhadap pati untuk menutupi kekurangannya. Setiap jenis pati dapat dimodifikasi dengan berbagai cara untuk menghasilkan suatu bahan
13
dengan sifat fungsional yang diinginkan. Produk pati modifikasi umumnya mengalami perubahan karakteristik tertentu yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan produk pangan olahan. Modifikasi pati umumnya dirancang dengan tujuan mengubah karakteristik gelatinisasi, kekentalan dalam medium air, pembentukan gel, kestabilan suspensi karena pengaruh asam, panas dan proses pengolahan lainnya (Jati, 2006). Modifikasi disini dimaksudkan sebagai perubahan struktur molekul dari pati yang dapat dilakukan secara kimia, fisik maupun enzimatis. Pati alami dapat dibuat menjadi pati modifikasi atau modified starch, dengan sifat-sifat yang dikehendaki atau sesuai kebutuhan. Di bidang pangan, pati modifikasi banyak digunakan dalam pembuatan salad cream, mayonaise, saus kental, jeli marmable, produk-produk convectionary (permen, coklat dan lain-lain), breaded food, lemon curd, pengganti gum arab dan lainlain. Dewasa ini metode yang banyak digunakan untuk memodifikasi pati adalah modifikasi dengan asam, modifikasi dengan enzim, modifikasi dengan oksidasi dan modifikasi ikatan silang. Setiap metode modifikasi tersebut menghasilkan pati modifikasi dengan sifat-sifat berbeda-beda (Artiani dan Yohanita, 2009). Teknik modifikasi pati secara kimia antara lain modifikasi sifat reologi dan modifikasi dengan stabilisasi. Modifikasi sifat reologi meliputi depolimerisasi dan ikatan silang. Proses depolimerisasi akan menurunkan viskositas sehingga dapat digunakan untuk tingkat total padatan yang tinggi. Depolimerisasi dapat dilakukan dengan cara dekstrinasi, konversi asam, dan oksidasi. Teknik ikatan silang akan membentuk jembatan antara molekul sehingga didapatkan jaringan molekul yang kaku. Cara ini akan mengubah sifat reologi pati dan sifat resistennya terhadap asam. Modifikasi dengan stabilisasi dilakukan melalui reaksi esterifikasi dan eterifikasi. Modifikasi ini menghasilkan pati dengan tingkat retrogradasi yang lebih rendah dan stabilitas yang meningkat (Koswara, 2009). Metode hidrolisis merupakan metode modifikasi yang pertama dan sering digunakan. Untuk menghidrolisis ikatan glikosidik pati biasa
14
digunakan asam atau enzim sebagai katalisator. Pada metode ini suspensi pati dimasukkan ke dalam air dengan asam atau enzim yang mampu menghidrolisis pati. Pada proses hidrolisis ini terjadi pemecahan ikatan αD-glukosa dari molekul pati serta terjadi pelemahan struktur granula pati sehingga akan mengubah kekentalannya. Pati yang dimodifikasi dengan metode ini mempunyai kekentalan dalam keadaan panas yang rendah dan daya lekatnya tinggi (Smith dan Bell, 1986). Pati modifikasi asam menunjukkan sifat-sifat yang berbeda, seperti penurunan viskositas, pengurangan pembengkakan granula selama gelatinisasi, peningkatan kelarutan dalam air panas dibawah suhu gelatinisasi, suhu gelatinisasi lebih rendah. Karakteristik utama dari pati modifikasi asam ini adalah kecenderungkan untuk retrogradasi lebih rendah dibanding pati lainnya (Klanarong et al., 2002). Konsentrasi asam, temperatur, konsentrasi pati dan waktu reaksi dapat bervariasi tergantung dari sifat pati yang diinginkan. Molekul amilosa mudah terpecah dibanding dengan molekul amilopektin sehingga saat hidrolisa asam berlangsung akan menurunkan gugus amilosa (Atichokudomchaia et al., 2000). Viskositas dan suhu gelatinisasi merupakan sifat-sifat amilografi dari pati modifikasi. Sifat amilografi berguna untuk mengetahui karakteristik suhu awal dan suhu gelatinisasi dari pati modifikasi. Suhu gelatinisasi pati adalah pecahnya granula pati karena pembengkakan granula setelah melewati titik maksimum. Modifikasi pati dengan hidrolisis asam laktat telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu seperti hidrolisis asam laktat dan radiasi sinar UV dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Pudjihastuti dan Sumardiono (2011) menunjukkan hasil bahwa semakin tinggi konsentrasi asam laktat maka nilai baking ekspansi akan semakin kecil. Pengaruh pH pada pati terdapat pada penambahan gugus karbonil (C-O) dan gugus karboksil (C-O-O-H). Kedua gugus tersebut dangat berpengaruh pada viskositas pasta yang terbentuk, karena gugus karbonil sangat berpegaruh pada proses degradasi amilosa, sehingga semakin meningkatnya degradasi amilosa maka pasta yang terbentuk akan semakin
15
sedikit dan akan menurunkan nilai baking ekspansi serta nilai swelling power. Pada konsentrasi asam yang tinggi nilai swelling power mulai mengalami penurunan karena adanya gugus amilosa yang terbentuk, sehingga cenderung larut dalam air dan menyebabkan berkurangnya pasta yang terbentuk (Kesselmans et al., 2004). Prinsip dasar modifikasi pati secara kimiawi adalah dengan cara menghidrolisis komponen pati yang terdapat dalam tepung menggunakan asam di bawah suhu gelatinisasi (Alsuhendra dan Ridawati, 2009). Modifikasi secara kimia dapat dilakukan dengan cara penambahan reagen atau bahan kimia tertentu dengan tujuan mengganti gugus hidroksil (OH-) pada pati (Adebowale et al., 2002). Hidrolisis asam merupakan proses pemasukan/penggantian atom H ke dalam gugus OH pada pati sehingga membentuk rantai yang cenderung lebih panjang dan dapat mengubah sifat-sifat psikokimia dan rheologi dari pati. Molekul amilosa mudah terpecah dibanding dengan molekul amilopektin sehingga saat hidrolisis asam berlangsung akan menurunkan gugus amilosa (Pudjihastuti dan Siswo, 2011).
Gambar 2.3 Reaksi Hidrolisis Starch dengan Asam (Pudjihastuti, 2010). Asam akan mendegradasi dinding sel yang menyebabkan kerusakan dan integritas granula pati sehingga menyebabkan pati menyerap air (Greenwood dan Murno, 1979). Proses pembebasan granula pati ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari pati yang dihasilkan berupa naiknya vikositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudian kemudahan melarut (Subagio, 2007). Selama proses modifikasi asam, asam akan menghidrolisis ikatan glikosidik dan memperpendek panjang rantai pati. Wurzburg (1989) menunjukkan bahwa pada tahap awal proses modifikasi asam, jumlah amilosa atau fraksi linear meningkat, yang
16
mengindikasikan bahwa asam turut menghidrolisis bagian amilopektin yang mudah dijangkau. Wurzburg (1989) menunjukkan pula bahwa selama modifikasi asam tidak terjadi pembengkakan granula pati dan pati tidak kehilangan sifat birefringence, yang membuktikan bahwa asam akan lebih cenderung menyerang bagian amorfous dibandingkan bagian kristalin. Bagian amorfous lebih banyak tersusun rantai amilopektin, sedangkan bagian kristalin lebih banyak tersusun rantai amilosa. Wurzburg (1989) menyimpulkan bahwa selama proses modifikasi asam terjadi dua tahap penyerangan, tahap awal terjadi penyerangan cepat pada bagian amorfous yang mengandung amilopektin, lalu dilanjutkan dengan penyerangan yang lebih lambat terhadap kedua fraksi (amilosa dan amilopektin) pada bagian yang lebih kristalin. Begitu pula menurut Franco et al. (2002) yang menyatakan bahwa asam menghidrolisis lebih cepat bagian amorfous pada granula pati namun bagian yang lebih tersusun rapi (kristalin) lebih lambat untuk dihidrolisis. 1. Swelling Power dan Solubility Pati Swelling power merupakan kenaikan volume dan berat maksimum pati selama mengalami pengembangan di dalam air. Swelling power menunjukkan kemampuan pati untuk mengembang dalam air. Swelling power yang tinggi berarti semakin tinggi pula kemampuan pati mengembang dalam air. Nilai swelling power perlu diketahui untuk memperkirakan ukuran atau volume wadah yang digunakan dalam proses produksi sehingga jika pati mengalami swelling, wadah yang digunakan masih bisa menampung pati tersebut (Suriani, 2008). Faktor-faktor seperti rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat molekul dan panjang rantai, serta derajat percabangan dan konformasinya menentukan swelling power dan solubility (Moorthy, 2004). Nilai swelling power berkaitan dengan rasio amilosa-amilopektin dan daya penyerapan air. Semakin besar swelling power berarti semakin banyak air yang diserap. Semakin banyak air yang diserap berkaitan dengan kandungan
17
amilosa dan amilopektin yang terkandung dalam pati. Semakin tinggi kadar amilosa maka nilai pengembangan volume akan semakin tinggi. Hal itu dikarenakan dengan kadar amilosa yang tinggi maka akan menyerap air lebih banyak sehingga pengembangan volume juga semakin besar (Winarno, 2004). Sifat swelling pada pati sangat tergantung pada kekuatan dan sifat alami antar molekul di dalam granula pati, yang juga tergantung pada sifat alami dan kekuatan daya ikat granula. Berbagai faktor yang menentukan daya ikat tersebut adalah (1) perbandingan amilosa dan amilopektin, (2) bobot molekul dari fraksi-fraksi tersebut, (3) distribusi bobot molekul, (4) derajat percabangan, (5) panjang dari cabang molekul amilopektin terluar yang berperan dalam kumpulan ikatan (Leach, 1965). Perez and Lares (2005) yang melaporkan bahwa swelling power pati garut pada suhu 70oC adalah sebesar 4,13 g/g. Rakhmawati dkk. (2014) melaporkan bahwa swelling power pati garut adalah sebesar 4,75 g/g. Swelling power dan solubility terjadi karena adanya ikatan nonkovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2004). Ketika granula pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai mengembang (swelling). Swelling terjadi pada daerah amorf granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul pati pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati akan terus mengembang, sehingga viskositas meningkat hingga volume hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati (Swinkels, 1985). Ketika
molekul
pati
sudah
benar-benar
terhidrasi,
molekul-
molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula pati. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan
18
granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa (Fleche, 1985). Selain itu, Mulyandari (1992) juga melaporkan selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa. Rakhmawati dkk. (2014) melaporkan nilai solubility pati garut sebesar 0,75%. Menurut Pomeranz (1991), solubility pati semakin tinggi dengan meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap pati. Pola kelarutan pati dapat diketahui dengan cara mengukur berat supernatan yang telah dikeringkan dari hasil pengukuran swelling power. Penelitian yang dilakukan Purnamasari dkk. (2010) menyatakan bahwa kelarutan terkait dengan kemudahan molekul air untuk berinterkasi dengan molekul dalam granula pati dan menggantikan interaksi hidrogen antar molekul sehingga granula akan lebih mudah menyerap air dan mempunyai pengembangan yang tinggi. Adanya pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam sehingga granula akan pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar. Solubility (kelarutan) menunjukkan indikasi tingkat kemudahan suatu tepung untuk dapat larut dalam air. Solubility yang tinggi mengindikasikan bahwa tepung lebih mudah larut dalam air dan sebaliknya. Hal ini disebabkan partikel-partikel yang tidak larut dalam air akan lebih sedikit yang didispersikan. Semakin tinggi solubility, maka semakin bagus kualitas tepung tersebut (Janathan, 2007). 5. Daya Serap Air dan Daya Serap Minyak Menurut Suarni (2009), daya serap air tepung menunjukkan kemampuan tepung tersebut dalam menyerap air. Kapasitas penyerapan daya serap air didefinisikan sebagai jumlah air yang ditahan oleh berat bahan (tepung) dalam kondisi tertentu yang dipengaruhi oleh kapiler, ukuran pori, dan molekul protein yang berguna untuk menentukan formulasi produk yang dibuat dari adonan dan campuran dengan air untuk meningkatkan kualitas produk olahan pangan lanjutan (Marimuthu
19
dan Gurumoorthi, 2013). Daya serap air sebuah tepung berpengaruh terhadap kehomogenan adonan tepung ketika dicampurkan dengan air. Semakin tinggi daya serap air maka tepung akan cenderung lebih mudah homogen (Tam et al., 2004). Menurut Koswara (2009), tepung yang memiliki daya serap air tinggi sesuai apabila diaplikasikan dalam pembuatan roti. Daya serap air dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat, baik pati ataupun serat kasar, serta protein dan komponen lainnya yang bersifat hidrofilik. Pada tingkat penambahan air yang sama, tepung dengan kandungan protein tinggi mempunyai daya serap air lebih besar daripada tepung dengan kandungan protein rendah (Baik et al., 1995). Namun, semakin tinggi kandungan protein adonan, semakin lama waktu masak yang dibutuhkan (Oh et al., 1985). Selain itu Matz (1972) melaporkan peningkatan protein dapat berperan dalam peningkatan daya serap air. Menurut Perez dan Lares (2005), nilai daya serap air pati garut sebesar 1,94 g/g. Berdasarkan Jyothi et al. (2009) yang menyatakan bahwa nilai daya serap minyak pati garut alami yaitu sebesar 0,60 g/g. Adapun nilai daya serap minyak tepung gandum dengan 12 varietas yang berbeda (oais/Skauz//4*Bcn; hp1744; laJ3302/2*mO88; rabe/2*mO88; h-21; g21; g-18; menemen; basribey; alibey; selayar dan dewata) yaitu berkisar antara 1,18-1,75 g/g (Sihotang dkk., 2015). Kandungan amilosa pati turut mempengaruhi daya serap minyak. Amilosa mempunyai kemampuan membentuk kompleks dengan minyak (lipid) dalam bentuk amilosa-lipid (Swinkels, 1985). Kandungan amilosa yang tinggi pada tepung umbi gembili menyebabkan banyaknya minyak yang dapat diserap untuk membentuk kompleks amilosa-lipid. Menurut Adebowale et al. (2005), kemampuan pengikatan minyak dipengaruhi oleh gugus lipofilik yang menyelimuti granula pati. Lemak yang berada pada pati baik yang terkandung dalam granula pati maupun yang menyelimuti granula pati menyebabkan granula pati memiliki sisi hidrofobik sehingga diduga
20
mampu berikatan dengan komponen minyak atau lemak lain yang ditambahkan dari luar. Selain itu, daya serap minyak juga dipengaruhi oleh sifat permukaan partikel bahan, seperti porositas bahan. Absorpsi minyak yang tinggi tidak cocok untuk produk yang melalui proses penggorengan karena akan menyebabkan produk akan lebih berminyak, sehingga menurunkan kualitas produk. 6. Derajat Putih Warna merupakan sebuah atribut penampilan produk yang sering menjadi sebuah parameter penerimaan konsumen terhadap produk tersebut (Meilgaard et al., 1999). Metode Hunter memberikan tiga nilai pengukuran yaitu L, a, dan b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel. Semakin cerah sampel yang diukur, maka nilai L akan mendekati 100. Sebaliknya semakin gelap sampel, nilai L akan mendekati 0. Nilai a merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran merah-hijau. Bila a bernilai positif, sampel cenderung berwarna merah. Sebaliknya, bila a bernilai negatif maka sampel cenderung berwarna hijau. Nilai b merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran biru-kuning. Bila b bernilai positif, sampel cenderung bernilai kuning dan bila b bernilai negatif maka sampel cenderung bernilai biru (Hutching, 1999). Derajat putih tepung dihitung berdasarkan nilai L,a,b dengan menggunakan rumus 100 – [(100-L)2+(a2+b2)]1/2 (Mawarni dan Simon, 2015). Menurut Maulani dkk. (2012), derajat putih pati garut pada umur panen 8 bulan sebesar 60,70%, 9 bulan sebesar 72,35%, 10 bulan sebesar 76,60%, 11 bulan sebesar 83,10%, dan umur panen 12 bulan sebesar 84,20%. Derajat putih pati dipengaruhi oleh kandungan polifenol yang terdapat
di
menyebabkan
dalam
rimpang
terjadinya
garut.
reaksi
Kandungan
pencoklatan
polifenol
enzimatis.
akan
Terdapat
kecenderungan semakin lama umur panen rimpang akan menghasilkan pati dengan derajat putih yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin tua umur panen, kandungan polifenol rimpang semakin berkurang sehingga proses pencoklatan enzimatis menurun (Maulani
21
dkk., 2012). Tepung biasanya diharapkan memiliki derajat putih yang tinggi. Menurut penelitian Ekawidiasta (2003), nilai derajat putih tepung terigu kunci biru adalah 82,79%. Derajat putih yang tinggi diharapkan mampu meningkatkan penerimaan pati garut modifikasi. 7. Profil Gelatinisasi Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula pati yang berbeda-beda. Apabila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air sehingga granula pati menjadi membengkak, namun jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Jumlah air yang diserap mencapai 30%. Peningkatan volume granula pati pada air suhu 5565oC merupakan pembengkakan yang sesuangguhnya, dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula (Yaningtyas, 2013). Menurut Winarno (2004), gelatinisasi yaitu suatu kejadian dimana granula pati mengalami pembengkakan yang luar biasa dan bersifat tidak mampu kembali pada kondisi semula. Suhu pada saat pati pecah disebut gelatinisasi, yang dapat dilakukan dengan penambahan air panas. Suhu gelatinisasi bergantung pada konsentrasi pati, semakin kental larutan, maka semakin lambat pula suhu gelatinisasi tersebut tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun. Apabila suspensi pati dalam air dipanaskan, air akan menembus lapisan luar granula dan granula ini mulai menggelembung. Hal tersebut terjadi saat temperatur meningkat 60-85oC. Granula-granula dapat menggelembung hingga volumenya lima kali lipat volume semula. Ketika ukuran granula pati membesar, campurannya menjadi kental. Pada suhu kira-kira 85oC granula pati pecah dan isinya terdispersi merata ke seluruh air di sekelilingnya. Molekul berantai panjang mulai membuka atau terurai dan campuran pati atau air menjadi semakin kental dan membentuk sol. Pada pendinginan, jika perbandingan pati dan air cukup besar, molekul pati membentuk jaringan dengan molekul air terkurung di dalamnya
22
sehingga membentuk gel. Keseluruhan proses tersebut yang dinamakan gelatinisasi (Gaman dan Sherrington, 1992). Gelatinisasi merupakan satu proses dimana granula pati ireversibel kehilangan molekulnya yang disebut birefringence, sebagai hasil dari serangkaian peristiwa ketika granula pati yang dipanaskan pada air yang berlebihan. Proses gelatinisasi diawali dengan membengkaknya butiran sebagai akibat dari ikatan hidrogen pada bagian amorf terganggu. Selanjutnya, air yang bertindak sebagai plasticizer diserap dan hidrasi yang lebih serta pembengkakan terjadi di daerah amorf seiring dengan meningkatnya suhu yang menyebabkan kristal pecah dan kemudian mengalami hidrasi dan mencair. Terakhir, molekul primer terutama amilosa meluluh dari butiran dan meningkatkan viskositas (Manaois, 2009). Menurut Gaman dan Sherrington (1992), gelatinisasi pati sangat penting dalam proses pengolahan. Contohnya yaitu, gelatinisasi pada pengentalan macam-macam saus, sup dan kuah daging dengan penambahan tepung dan tepung jagung. Gelatinisasi juga penting pada saat pemanggangan roti atau makanan yang dibuat dari tepung lainnya karena berperan dalam menimbulkan sifat remah yang diinginkan dan pada tekstur produknya. Menurut Maulani dkk. (2013) pada pH asam umumnya seluruh pati yang diuji memiliki suhu gelatinisasi yang lebih rendah dibanding pada pH 6,5. Suhu gelatinisasi yang paling rendah ditunjukkan oleh pati yang dimodifikasi dengan konsentrasi propilena oksida 10% (<68oC). Hal tersebut disebabkan karena lemahnya ikatan hidrogen akibat terjadinya hidrolisis asam, sehingga menyebabkan pasta mengembang dengan lebih cepat, sehingga suhu untuk mencapai gelatinisasi lebih rendah. Hal senada juga diungkapkan oleh Wattanachant et al. (2002) yang menyatakan perlakuan asam akan menurunkan viskositas pasta dan konsistensi pati hasil modifikasi.
23
Budijanto dan Yuliyanti (2012) menyatakan bahwa kadar amilosa dan amilopektin pada tepung sorgum berpengaruh pada viskositas puncak dan suhu gelatinisasi patinya. Kandungan amilosa yang tinggi menyebabkan tepung sorgum B100 memiliki viskositas puncak yang rendah (1437,50 cP). Amilosa dapat menghambat pengembangan granula pati dengan membentuk kompleks bersama lemak yang berakibat pada rendahnya viskositas puncak pada suhu pasting yang lebih tinggi (Sang et al., 2008). Selain itu, amilopektin merupakan komponen pati yang bertanggung jawab terhadap proses pengembangan granula (Ratnayake et al., 2002). 8. Pemastaan (pasting properties) Menurut Adebowale dan Lawal (2003), pada awalnya pemanasan suspensi pati mengakibatkan pembengkakan granula pati. Dengan berlanjutnya pemanasan, peningkatan viskositas dapat diamati yang mencerminkan proses pemastaan. Viskositas tersebut terus meningkat seiring
dengan
meningkatnya
suhu
pemanasan
hingga
tingkat
pembengkakan granula sama dengan tingkat hancurnya granula yang disebut dengan viskositas puncak (PV). PV mencerminkan tingkat bengkak atau kapasitas pati untuk mengikat air dan korelasi dengan kualitas akhir produk sejak granula membengkak dan runtuh yang berhubungan dengan tekstur pemasakan pati. Tepung dengan karakter viskositas yang tinggi dapat digunakan sebagai pengental pada sup atau sebagai bahan dasar pembuatan pudding karena memiliki daya thickening yang tinggi (Wincy, 2001). Viskositas maksimum sangat berpengaruh terhadap produk olahan misalnya untuk cake atau produk roti-rotian volume cake berkorelasi negatif terhadap viskositas puncak (Mizukoshi, 1985). Viskositas puncak (PV) terjadi ketika jumlah pati yang membengkak seimbang dengan jumlah pati yang rusak (lisis). Tidak ditemukan korelasi antara viskositas puncak dengan beberapa parameter kimia pati. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah kadar dan rasio amilosa dan amilopektin, berat molekul, konformasi inolekuler, derajat polimerisasi
24
amilosa dan amilopektin, serta jumlah percabangan amilopektin maupun keberadaan komponen minor, juga ukuran granula (Melo et al., 2003). Setelah PV tercapai, penurunan viskositas atau kerusakan dapat diamati sebagai disintegrasi granula. Breakdown adalah pengukuran kondisi dimana granula pati yang membengkak mulai mereda dan menjadikannya stabil selama proses pemasakan (Adebowale dan Lawal, 2003). Peningkatan nilai viskositas breakdown menunjukkan bahwa pati tidak tahan terhadap pemanasan dan pengadukan (Budijanto dan Yuliyanti, 2012). Viskositas minimum (MV) disebut juga viskositas pasta panas yang memegang kekuatan, dan menjadi tanda berakhirnya tahap holding pada suhu maksimum. Final viscosity atau viskositas akhir adalah viskositas setelah dilakukan pendinginan pada suhu 50oC. Menurut Budijanto dan Yuliyanti (2012), viskositas akhir merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan pati untuk membentuk pasta kental atau gel setelah proses pemanasan dan pendinginan serta ketahanan pasta terhadap gaya geser yang terjadi selama pengadukan. Tahap pendinginan dan naiknya viskositas balik (setback) disebabkan oleh retrogradasi pati terutama amilosa. Setback merupakan indikator tekstur produk akhir dan terkait dengan sineresis selama siklus beku-cair (Batey, 2007). Setback merupakan parameter yang dipakai untuk melihat kecenderungan retrogradasi maupun sineresis dari suatu pasta (Budijanto dan Yuliyanti, 2012). Menurut Schoch dan Maywald (1968), tipe amilografi diklasifikasikan sebagai berikut: a. Tipe A yang menunjukkan pengembangan granula yang tinggi dan diikuti dengan penurunan viskositas dengan cepat selama pemasakan. Pati yang termasuk dalam tipe ini yaitu kentang, tapioka dan waxy cereal.
25
b.
Tipe B yang menunjukkan penggelembungan granula yang lebih rendah daripada tipe A dan bersifat moderat selama pemasakan. Pati yang termasuk dalam kategori ini adalah pati serealia.
c. Tipe C yang menunjukkan penggelembungan granula terbatas dan tidak menunjukkan viskositas puncak serta relatif bersifat konstan selama pemasakan. Pati yang termasuk dalam kategori ini adalah pati Leguminosae dan pati modifikasi. d. Tipe D yang menunjukkan penggelembungan granula sangat terbatas. Pati yang termasuk dalam kategori ini adalah pati yang mempunyai kadar amilosa yang lebih dari 50%. 9. Retrogradasi Menurut Whistler dan BeMiller (1997), retrogradasi akibat pemasakan pati melibatkan dua unsur pokok polimer, amilosa dan amilopektin, dimana amilosa lebih cepat mengalami proses retrogradasi. Rasio retrogradasi dipengaruhi oleh beberapa variabel meliputi rasio molekular dari amilosa dan amilopektin, struktur dari amilosa dan amilopektin, yang mana ditentukan oleh asal/sumber tanaman dari pati, temperatur, konsentrasi pati, dan kehadiran maupun konsentrasi dari konmponen penyusun lainnya seperti surfaktan dan garam. Retrogradasi terjadi ketika amilosa yang luluh dari granula pati selama gelatinisasi berinteraksi dengan rantai amilopektin dari granula pati yang membengkak membentuk struktur yang kaku (Kurakake et al., 2001). Amilosa mengalami kristalisasi yang cepat secepat pendinginan yang terjadi sehingga proses retrogradasi bergantung pada kandungan amilosa, jumlah dalam bentuk bebas dan terkomplekskan dengan lipid yang ada pada sampel. Di sisi lain, rekristalisasi amilopektin bergantung pada panjang rantai amilopektin (Philpot et al., 2006). Retrogradasi yang diakibatkan oleh amilosa terjadi pada konsentrasi pati yang rendah dan menghasilkan bahan yang sangat tahan terhadap hidrolisis enzimatik. Rekristalisasi dan retrogradasi dari amilopektin dominan pada konsentrasi yang lebih tinggi dari padatan (Orford et al.,
26
1987) dan polimer yang terbentuk lebih longgar dibanding retrogradasi amilosa (Englyst, 1989) dan karenanya sangat rentan terhadap amilolisis. Secara umum, nilai viskositas balik (setback) menunjukkan kecenderungan retrogradasi (Medikasari dkk., 2009). Pati dengan kecenderungan retrogradasi rendah mengindikasikan kemampuan untuk mempertahankan tektur selama penyimpanan (Tan et al., 2001). Peningkatan viskositas balik selama pendinginan mengindikasikan kecenderungan komponen di dalam pasta panas (granula yang membengkak dalam bentuk utuh atau fragmen, dispersi koloid ataupun molekul-molekul terlarut) untuk berhubungan atau mengalami retrogradasi (Adebowale et al., 2009). Viskositas balik yang tinggi tidak diharapkan untuk produk kue, cake, maupun untuk rerotian, karena menyebabkan kekerasan sesudah produk dingin, namun sebagai bahan pengisi dan pengental justru lebih baik, karena akan menghasilkan produk yang lebih stabil (Mercier dan Feillet, 1975). 10. Whey Keju Whey keju adalah produk dari industri dairy, yang terbentuk setelah terjadinya proses koagulasi dari kasein susu dalam pembuatan keju. Whey diproduksi dalam jumlah yang besar dan menghasilkan beban polusi, oleh karena itu kehadirannya dapat menyebabkan masalah lingkungan yang sigifikan. Namun dari segi lain, bagaimanapun whey menyimpan banyak nutrisi dari susu, termasuk protein fungsional, peptida, lipid, laktosa, mineral dan vitamin dan sebab itu whey memiliki potensi yang sangat luas sebagai sumber nilai tambah dan merupakan tantangan bagi industri untuk memanfaatkan kelebihan whey, sehingga whey tidak hanya dilihat sebagai masalah limbah (Guimaraes et al., 2010). Berdasarkan Kelly et al. (2013), di dalam whey terdapat air (9394%), laktosa (4,5-5%), asam laktat (0,25-0,5%), protein (0,55-1,05%), lemak (0,03-0,05%). Whey yang digunakan adalah hasil samping dari proses pengolahan keju. Whey ini dihasilkan dari proses pemisahan curd. Hasil analisis kimia dari whey keju ini terlihat pada whey yang diperoleh
27
dari hasil samping pengolahan keju mozarella ini memiliki kadar air sebesar 93,42%, kadar asam tertitrasi sebesar 0,22%, dan pH 4,6. Di dalam whey masih terkandung berbagai nutrisi. Diantaranya adalah laktosa sebesar 5,43%, protein sebesar 0,76%, dan abu sebesar 0,46% (Nursiwi dkk., 2015). Whey dapat dimanfaatkan sebagai bahan aditif dalam banyak proses pembuatan makanan, antara lain dalam pembuatan roti, biskuit dan pastry. Whey merupakan salah satu penyebab masalah lingkungan karena dibuang begitu saja, namun disisi lain, whey masih memiliki nilai nutrisi yang tinggi termasuk protein, peptida fungsional, lemak, mineral, vitamin dan laktosa (Guimaraes et al., 2010). Ada dua jenis varian whey yaitu acid whey (pH<5) yang dihasilkan dari proses pembuatan soft cheese seperti cream cheese atau cottage cheese) dan sweet whey (pH 6-7) yang dihasilkan dari hard (ripened) cheese (Kosikowski, 1979; Siso, 1996; Yang dan Silva, 1995; Zall, 1984). Whey keju menghadirkan masalah yang penting bagi lingkungan karena volume produksi yang berlimpah dan tingginya senyawa organik yang terkandung didalamnya. Secara umum, dalam pembuatan 1 kg keju dapat menghasilkan sekitar 9L whey (Kosikowski, 1979). Produksi whey di dunia sekitar 160 juta ton per tahun (OECD-FAO, 2008; Smithers, 2008). Umumnya industri susu tradisional tidak mempunyai sistem perlakuan yang tepat untuk membuang whey Almeida et al. (2008), pembuangan whey ke lingkungan dapat menyebabkan polusi lingkungan sekitar karena whey dapat menyebabkan pengaruh kuat terhadap lingkungan. Apadun penelitian yang dilakukan menggunakan bahan dasar whey antara lain sebagai minuman fermentasi (Fatma dkk., 2012), bahan penyusun edible film (Hawa dkk., 2013), perubahan whey keju menjadi bioprotein, protein gizi/protein fungsional dan peptide bioaktif (Yadav et al., 2015), aktivitas whey terhadap penghambatan angiotensin converting enzyme (AGC) (Febrisiantosa dkk., 2013), pembentukan bioetanol dari laktosa pada whey (Guimaraes et al., 2010).
28
B. Kerangka Berfikir Perlu adanya diversifikasi pangan berbasis bahan lokal, yang mengandung karbohidrat cukup tinggi dan mampu digunakan sebagai bahan pengganti gandum dan turunannya seperti tepung terigu
Modifikasi pati dapat dilakukan dengan menggunakan asam, enzim, fermentasi, oksidasi, ikatan silang
Tanaman garut banyak mengandung karbohidrat yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan alternatif pengganti tepung tetigu
Whey merupakan limbah buangan hasil pengolahan keju yang masih memiliki kandungan asam laktat, sehingga diharapkan mampu memodifikasi pati
Pati alami banyak memiliki kendala jika diolah sehingga perlu adanya modifikasi pati untuk memperbaikin sifat alaminya
Adanya perlakuan pendahuluan suhu dan lama yang berbeda diharapkan mampu memaksimalkan modifikasi pati secara asam
Dikaji adanya pengaruh kombinasi perlakuan pendahuluan suhu dan lama perendaman terhadap sifat fisik dan kimia pati garut
Gambar 2.4 Kerangka Berfikir Penelitian C. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah whey keju yang masih memiliki kandungan asam laktat dapat digunakan untuk memodifikasi pati secara kimia, yaitu dengan metode hidrolisis asam. Adanya variasi perlakuan suhu dan lama perendaman yang digunakan dengan perendaman pati garut dalam whey keju dapat memberikan pengaruh terhadap sifat fisik dan kimia pati modifikasi.
29