I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Mikroba endofit merupakan mikrobia yang berasosiasi dengan tumbuhan. Tipe interaksi yang terjadi antara endofit dengan tumbuhan tersebut adalah simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan. Endofit akan memperoleh nutrien yang disediakan oleh tumbuhan inang sedangkan endofit tersebut akan menghasilkan suatu senyawa yang berperan untuk melindungi tumbuhan inang dari serangan hewan, serangga atau mikroba yang merugikan (Schulz, et al., 2006). Salah satu jenis mikroba endofit adalah jamur. Jamur ini mampu hidup pada jaringan tumbuhan dan membentuk koloni tanpa membahayakan inangnya. Jamur endofit mampu menghasilkan metabolit sekunder yang diduga sebagai hasil dari
transfer
genetik
tumbuhan
inangnya.
Kemampuan
jamur
endofit
memproduksi senyawa metabolit sekunder sesuai dengan inangnya menjadikan jamur ini sebagai penghasil metabolit terbaik, disamping dapat diproduksi dalam jumlah banyak juga dapat menjadi alternatif pengganti tumbuhan inang sehingga tidak perlu menebang tumbuhan inangnya (Bungihan, et al., 2011). Diaporthe sp. merupakan salah satu jamur endofit yang tumbuh pada tumbuhan Uncaria gambir (gambir) varietas nasi. Agusta, et al. (2006) melaporkan bahwa jamur Diaporthe sp. menghasilkan senyawa bisantraquinon
1
2
yaitu (+)-2,2’- Episitoskirin A yang berwarna kuning. Senyawa (+)-2,2’Episitoskirin A secara in vitro dapat memberikan efek sitotoksik terhadap sel KB (kanker mulut), sel HELA (kanker serviks), sel MCMB2 (kanker payudara), sel K5G2 (leukemia), dan sel A549 (kanker paru) dengan nilai IC50 dibawah 5 µg/ml. Selain itu senyawa ini juga memperlihatkan aktivitas antimikrobia terhadap Staphilococcus aureus dan Candida tropicalis dengan nilai MIC <16 µg/ml. Uji toksisitas akut telah dilakukan pada senyawa tersebut dengan menggunakan hewan uji berupa Mus musculus jantan strain DDY dan diperoleh nilai LD50 sebesar 1679 mg/kg BB yang dapat dikategorikan sebagai golongan senyawa dengan toksisitas rendah. Potensi yang demikian tersebut memungkinkan senyawa (+)-2,2’-Episitoskirin A menjadi suatu kandidat obat baru (Agusta, et al., 2011). Uji kelayakan suatu senyawa sebagai kandidat obat baru memerlukan uji toksisitas yang meliputi uji toksisitas akut, uji toksisitas sub kronis dan uji kronis. Uji toksisitas subkronis merupakan suatu uji yang digunakan untuk mengetahui toksisistas senyawa yang dilakukan pada hewan coba dengan sedikitnya tiga tingkat dosis, umumnya dalam jangka waktu 90 hari (Murtini, et al., 2008). Uji toksisitas subkronis perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan obat tersebut melalui parameter pertambahan berat badan, konsumsi pakan, rasio berat hati, rasio berat ginjal, fungsi, fungsi ginjal serta gambaran histopatologik hati dan ginjal.
3
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian ini, maka dapat dirumuskan permasalahan: 1. Apakah (+)-2,2’-Episitoskirin A mempengaruhi berat badan dan konsumsi pakan mencit (Mus musculus)? 2. Apakah (+)-2,2’-Episitoskirin A mempengaruhi rasio berat hati dan ginjal mencit (Mus musculus)? 3. Apakah (+)-2,2’-Episitoskirin A mempengaruhi kadar alanin aminotransferase (ALT), aspartat aminotransferase (AST), blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin mencit (Mus musculus)? 4. Apakah (+)-2,2’-Episitoskirin A mempengaruhi gambaran histologik hati dan ginjal mencit (Mus musculus)?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh (+)-2,2’-Episitoskirin A terhadap berat badan dan konsumsi pakan mencit (Mus musculus). 2. Mengetahui pengaruh (+)-2,2’-Episitoskirin A terhadap rasio berat hati dan ginjal mencit (Mus musculus) 3.
Mengetahui pengaruh (+)-2,2’-Episitoskirin A terhadap kadar ALT, AST, BUN dan kreatinin mencit (Mus musculus)
4
4. Mengetahui pengaruh (+)-2,2’-Episitoskirin A terhadap gambaran histologik hati dan ginjal mencit (Mus musculus)
D. Manfaat Penelitian
1.
Mengetahui pengaruh (+)-2,2'-Episitoskirin A terhadap pertambahan berat badan, konsumsi pakan, rasio berat hati dan ginjal, fungsi hati (ALT dan AST), fungsi ginjal (BUN dan kreatinin) dan struktur histologi hati dan ginjal mencit (Mus musculus)
2. Melengkapi data tentang toksisitas (+)-2,2'-Episitoskirin A sebagai kandidat obat baru
E. Keaslian Penelitian
Senyawa (+)-2,2'-Episitoskirin A pertama kali diisolasi dari jamur endofit Diaporthe sp. yang berasosiasi dengan tumbuhan teh, Camellia sinensis L. (Agusta, et al., 2006). Belakangan ini, senyawa (+)-2,2'-Episitoskirin A juga ditemukan pada jamur endofit Diaporthe sp. tumbuh pada tanaman gambir (Uncaria gambir). Beberapa tahapan penelitian dalam rangka mengungkap potensi obat senyawa (+)-2,2’-Episitoskirin A ini telah dilakukan antara lain mengenai toksisitas akut senyawa tersebut terhadap mencit (Mus musculus) jantan dan diperoleh nilai LD50 yaitu 1679 mg/kg BB (Agusta, et al. 2011). Aktivitas antikanker dengan menggunakan sel kanker lestari antara lain sel KB, sel
5
MCMB2, sel HeLa, sel A549, dan sel K5G2 telah dilakukan dan diperoleh nilai IC50 yaitu kurang dari 5 mg/ml. Senyawa (+)-2,2'-Episitoskirin A ini juga telah diujikan secara in vitro dengan kultur bakteri, antara lain Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia, Salmonella enteritidis, Salmonela paratyphi, dan Eschericia coli dengan nilai MIC yang lebih rendah dibandingkan dengan antibiotik kloramfenikol dan eritromisin (Agusta, et al. 2011). Penelitian mengenai senyawa bisanthraquinon lain yang memiliki struktur bangun kimia yang mirip dengan (+)-2,2'-Episitoskirin A adalah rugulosin dan luteoskirin. Ueno, et al. (1975) telah melakukan studi farmakokinetik dan hepatotoksisitas luteoskirin pada mencit. Penelitian lanjutan Ueno, et al. (1978) menunjukkan senyawa luteoskirin ternyata bersifat hepatotoksik dengan hasil mencit jantan lebih rentan terhadap efek hepatoksik senyawa tersebut dibandingkan mencit betina. Ueno, et al. (1980a) juga telah melakukan penelitian mengenai senyawa rugulosin dan dinyatakan senyawa tersebut bersifat hepatokarsinogen. Ueno, et al. (1980c) juga telah melakukan penelitian mengenai hepatotoksisitas dan akumulasi luteoskirin pada hati mencit. Sejauh ini belum ada penelitian mengenai studi toksisitas subkonis (+)-2,2’-Episitoskirin A yang pernah dilaporkan.