1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang sempurna, setiap orang yang hidup di dunia ini pasti akan mengalami suatu peristiwa yang penting dalam hidupnya. Salah satunya yakni peristiwa hukum seperti kematian. Kematian adalah suatu peristiwa yang pasti akan dialami oleh setiap manusia, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang manusia. Dan tidak ada orang yang bisa mengetahui kapan akan meninggal dunia karena kematian merupakan rahasia Allah SWT. Ketika orang sudah meninggal dunia, akan menimbulkan akibat hukum yaitu tentang bagaimana kelanjutan pengurusan hak dan kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia, yang sering menjadi masalah setelah seseorang itu meninggal dunia adalah dalam hal kewarisan yakni pembagian harta warisan. Dalam pembagian harta warisan ini sering menyebabkan sengketa karena berhubungan dengan berpindahnya hak milik seseorang kepada orang lain. Masalah warisan seringkali menimbulkan persoalan dalam kehidupan seharihari. Masalah ini sering muncul karena adanya salah satu pihak yang merasa tidak puas dengan pembagian warisan yang diterimanya. Hal ini timbul dari sifat serakah manusia yang selalu berkeinginan untuk mendapatkan yang lebih dari haknya.
1
Universitas Sumatera Utara
2
Untuk mendapatkan harta warisan sesuai dengan jumlah yang diinginkan, para ahli waris menempuh segala cara yang dapat dilakukan guna mencapai tujuanya, baik melalui jalur hukum maupun dengan cara melawan hukum. Jika perolehan harta warisan diperoleh dengan jalan melawan hukum, maka akan ada sanksi hukum yang menanti para pihak yang melakukan perbuatan tersebut. Jika perolehan harta warisan diperoleh dengan jalan sesuai dengan hukum, maka tidak akan ada sanksi hukum yang diberikan. Masalah yang timbul adalah apakah jalan hukum yang ditempuh tersebut memenuhi prinsip keadilan bagi semua pihak yang berperkara. Terutama di dalam masalah warisan, seringkali putusan yang adil bagi salah satu pihak belum tentu dianggap adil oleh pihak yang lain. Allah SWT telah menetapkan aturan bagi kehidupan manusia di atas dunia ini. Aturan ini dituangkan dalam bentuk titah atau kehendak Allah SWT tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. Aturan Allah SWT tentang tingkah laku manusia secara sederhana adalah Syari’ah atau hukum Syara’ yang sekarang ini disebut Hukum Islam.1 Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah SWT adalah aturan tentang warisan, yaitu harta dan kepemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seorang yang
1
Muhammad Muhibbin dan Wahid Abdul, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal 1
Universitas Sumatera Utara
3
meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya.2 Hukum Kewarisan Islam didasarkan kepada beberapa ayat Al-Qur’an. Sebagian dari ayat-ayat kewarisan ini sudah jelas dan pasti. Di antara ayat-ayat tersebut ada yang masih memerlukan penjelasan dari Nabi, baik dalam penjelasan arti, pembatasan maksud dan perluasan makna. Penjelasan nabi ini terdapat dalam Sunnah Nabi atau Hadits. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Sabda Nabi Muhammad SAW dalam Sunnah yang berfungsi menjelaskan Al-Qur’an yang berbicara tentang hukum itu disebut Syari’ah. Dalam merumuskan maksud ayat AlQur’an dan penjelasan Nabi tersebut menjadi aturan yang terurai untuk dapat dijadikan pedoman dalam berbuat yang bersifat operasional, diperlukan daya pikir para pakar yang disebut dengan Ijtihad. Hasil Ijtihad itulah yang kemudian disebut dengan Fiqh. Bila Firman Allah SWT dan Sabda Nabi itu disebut Syari’ah, maka Fiqh itu disebut penerapan Syari’ah dalam bentuknya yang terurai secara operasional dalam formulasi hukum.3 Timbulnya kebutuhan untuk mengetahui kejelasan ketentuan hukum kewarisan tersebut tidak harus menunggu karena adanya sengketa perkara waris, tetapi sewajarnya karena ingin agar dapat melaksanakan ketentuan hukum waris ini sebagaimana menurut ketentuan Hukum Islam, mengingat sebagian besar bangsa Indonesia adalah penganut agama Islam. Sekalipun diantara mereka penganut agama
2 3
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, 2004, hal 3 Ibid, hal 173
Universitas Sumatera Utara
4
Islam, tetapi belum tentu memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang Kewarisan Islam, sekalipun hanya sekedar dasar-dasarnya. Mungkin seorang Muslim yang taat pada aturan agamanya menginginkan untuk melaksanakan hukum waris Islam, tetapi kadang-kadang ia ragu dan takut salah yang akan menimbulkan dosa, sehingga untuk menghilangkan keragu-raguan atau kekhawatiran berbuat salah terhadap harta peninggalan itu, ia akan meminta jasa pengetahuan para sarjana hukum. Tentu saja pengetahuan hukum waris Islam ini akan lebih penting lagi bagi seorang hakim dan pengacara yang menghadapi perkara demikian yang secara moral berkewajiban untuk menguasai pengetahuan hukum waris Islam tersebut.4 Hukum/Syariat Islam telah menentukan pembagian waris secara adil dan bijaksana dalam Al - Qur’an dan Hadist. Ketentuan ini, siapapun tidak berhak menambah dan atau mengurangi, oleh karenanya setiap muslim harus menyadari akan kewajiban menaati hukum waris yang telah ditentukan Al-Qur’an dan Hadist itu. Namun pada kenyataannya, masih sering kita jumpai dalam masyarakat khususnya yang beragama Islam, konflik dalam hal waris yang menimbulkan sengketa atau pertengkaran diantara keluarga. Konflik-konflik tersebut tidak sedikit yang memaksa para pihak membawanya ke Pengadilan (dalam hal ini : Pengadilan Agama). Sementara itu, Al-Qur’an dan Hadist menghendaki kerukunan dan kedamaian di antara para ahli waris dengan membawa manfaat dan kemaslahatan baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana Rosulullah bersabda yang artinya “Berdamailah, itulah hukum yang tertinggi”. Demikian pula Allah SWT berfirman yang artinya 4
Muhammad Muhibbin, dan Wahid Abdul, Op.Cit,hal 3
Universitas Sumatera Utara
5
“Berdamai itulah yang terbaik, walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir” (Surat An Nissa ayat 28). Langkah awal penyelesaian sengketa tersebut adalah dengan memusyawarahkannya hingga mencapai kemufakatan bahkan damai (Islah). Penyelesaian sengketa dengan musyawarah dan mufakat dapat dikatakan sebagai penyelesaian menurut hukum Islam, karena salah satu prinsip hukum Islam adalah mengutamakan musyawah dan mufakat, tetapi penyelesaian dengan musyawah dan mufakat ini bisa saja hanya musyawarah untuk memilih hukum waris yang akan dipakai dalam penyelesaian sengketa tersebut, dan selanjutnya para pihak menyerahkan ke badan peradilan, artinya para ahli waris diberi hak opsi untuk menyelesaikan masalah waris mereka. Namun bisa saja semuanya diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat, sehingga tidak perlu diselesaikan di lingkungan peradilan.5 Cara penyelesaian pembagian harta warisan yang dilakukan secara perdamaian yaitu berdasarkan kesepakatan para ahli waris, merupakan solusi yang bijaksana untuk menyikapi perbedaan kondisi ekonomi para ahli waris. Melalui sistem ini, ahli waris yang secara teoritis bisa mendapatkan bagian yang besar, bisa saja menyerahkan bagiannya kepada ahli waris lain yang normalnya mendapatkan porsi yang lebih kecil tapi secara ekonomis membutuhkan perhatian khusus.
5
Ramdlon Naning, Penyelesaian sengketa dalam Islam (Peran Badan Arbitrase Syariah Nasional dan kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah),https://andukot.wordpress.com/tag/penyelesaian-sengketa waris/, diakses tanggal 2 Pebruari 2012
Universitas Sumatera Utara
6
Pembagian waris dengan perdamaian sesungguhnya didasarkan pada keyakinan para ulama Fiqh bahwa masalah waris adalah hak individu di mana yang mempunyai hak boleh menggunakan atau tidak menggunakan haknya, atau menggunakan haknya dengan cara tertentu selama tidak merugikan pihak lain sesuai aturan standar yang berlaku dalam situasi biasa. Hal ini berbeda dengan hak Allah SWT (atau disebut juga hak umum), seperti aturan tentang larangan mencuri, berzina, membunuh, di mana hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut sudah jelas dan harus ditegakkan.6 Persyaratan paling utama yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan secara perdamaian ini adalah adanya kesepakatan dan kerelaan dari para ahli waris. Lebih jauh, ahli waris tersebut juga dapat menggugurkan haknya untuk tidak mendapatkan hak waris dan memberikannya kepada ahli waris yang lain. Sebaliknya, bila para ahli waris, atau di antara ahli waris tidak setuju atau tidak rela harta warisan tersebut dibagi secara kekeluargaan, maka sistem pembagiannya dilakukan sesuai aturan faraid yang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, atau dalam konteks Indonesia, sesuai peraturan perundang-undangan yang telah menjelaskan hal itu. Pembagian waris dengan cara perdamaian itu, bisa jadi didorong oleh pertimbangan perbedaan kondisi ekonomi sebagian ahli waris yang lebih baik dibanding ahli waris yang lain sehingga diharapkan warisan tersebut bisa lebih membantu kondisi kehidupan mereka. Alasan lain boleh jadi adalah karena
6
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, Universitas Indonesia-Press, Jakarta, 1988,
hal 217
Universitas Sumatera Utara
7
pertimbangan para ahli waris bahwa seorang atau lebih di antara mereka lebih banyak terlibat dalam pengurusan pewaris dan seterusnya. Dengan demikian menjadi logis bila mereka mendapat bagian yang lebih selama para pihak tersebut menyepakati prinsip tersebut dan telah mengetahui hak mereka masing-masing.7 Penyelesaian sengketa waris tidakah mutlak harus secara pembagian faraidh walaupun semua ahli waris dan pewaris adalah Muslim. Mereka para ahli waris jika atas kehendaknya sendiri secara sepakat bulat ingin membagikan harta warisan mereka secara hukum adat hingga anak wanita dan anak laki-laki dapat pembagian yang sama maka pembagian itu dianggap sah dan tidak bertentangan dengan syariat Islam bila mereka sepakat. Alasannya di dalam Al-Qur’an sendiri ada dalil bahwa para ahli waris itu dapat melakukan perdamaian diantara mereka dalam pembagian harta warisan tersebut “Siapa ragu boleh jadi pemberi wasiat itu keliru atau salah maka boleh dia damaikan saja diantara mereka (para ahli waris), tidak ada dosa atas mereka, sebab Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Al-Baqarah : 182).8 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
7
Salman, Penyelesaian Pembagian waris dengan prinsip kesepakatan (kekeluargaan), http://andukot.wordpress.com/2010/11/28/penyelesaian-pembagian-waris-dengan-prinsip-kesepakatankekeluargaan/, diakses tanggal 2 Pebruari 2012 8 Hasbullah Bakry, Op.Cit, hal 217
Universitas Sumatera Utara
8
1.
Bagaimanakah pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh) menurut hukum Islam?
2.
Bagaimanakah kekuatan hukum hasil pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh) menurut Hukum Islam tersebut?
3.
Bagaimanakah pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh) di Pengadilan Agama?
C. Tujuan Penelitian Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh) menurut hukum Islam.
2.
Untuk mengetahui kekuatan hukum hasil pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh) menurut Hukum Islam tersebut.
3.
Untuk mengetahui pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh) di Pengadilan Agama.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi dampak yang positif dalam menambah ilmu pengetahuan dan wawasan hukum di Indonesia baik secara ilmiah maupun secara praktis, adapun manfaat yaitu : 1.
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum bagi para pembacanya untuk
Universitas Sumatera Utara
9
dapat lebih mengerti dan memahami tentang Hukum Islam khususnya dalam hal pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh). 2.
Manfaat Praktis Pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat memberikan pemahaman atau masukan bagi kalangan masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan khususnya umat Islam di Indonesia dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan pembagian warisan secara perdamaian (Tashaluh).
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, bahwa belum ada judul penelitian sebelumnya yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS
TENTANG
PEMBAGIAN
WARISAN
DENGAN
CARA
PERDAMAIAN (TASHALUH) MENURUT HUKUM ISLAM”. Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya serta dapat dipertanggung jawabkan secara akademis keasliannya. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Seiring dengan perkembangan masyarakat pada umumnya, peraturan hukum
juga mengalami perkembangan. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain
Universitas Sumatera Utara
10
bergantung pada metodelogi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.9 Teori adalah anggapan yang teruji kebenarannya, atau pendapat, cara, aturan untuk melakukan sesuatu, atau asas hukum umum menjadi dasar ilmu pengetahuan atau keterangan mengenai suatu peristiwa. Menurut W.L. Neuman yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan Anton F.Susanto menyebutkan bahwa : “Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.10 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuanpenemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori merupakan suatu penjelasan yang bersifat rasional serta harus sesuai dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung dengan adanya fakta yang bersifat empiris agar dapat diuji kebenarannya. Kerangka teori merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis menjadi landasan, acuan,
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, hal 6 HR. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005,
10
hal.22
Universitas Sumatera Utara
11
dan pedoman untuk mencapai tujuan11, dalam pelaksanaan pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh) dalam penyelesaian sengketa waris ditinjau dari Hukum Waris Islam. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah Teori Sulhu (Perdamaian). Dalam Al-Qur’an banyak diajarkan ayat-ayat suci yang hakikatnya menekankan prinsip penyelesaian sengketa atau konflik melalui upaya perdamaian seperti antara lain tercantum dalam surat Al Hujurat ayat 10 dikatakan :
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.12
Selanjutnya di dalam Surat An-Nissa ayat 35 juga dikatakan :
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang 11
Muhammad Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal 72-73 12 QS Al Hujarat ayat 10
Universitas Sumatera Utara
12
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.13
Perintah mengambil hakam dalam ayat di atas, adalah mengenai persengketaan yang terjadi antara suami isteri. Namun oleh karena tujuan hakam itu adalah untuk mendamaikan dan ini merupakan usaha yang terpuji di sepanjang waktu, maka segala persengketaan dapat diqiyaskan dengan persengketaan rumah tangga ini. Dalam Surat An-Nissa ayat 114 dan ayat 128, juga dikatakan “ … dan jika ada dua golongan dan orang-orang yang mukmin berperang, maka damaikankanlah antara keduanya jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang telah berbuat aniaya itu sehingga kembali kepada perintah Allah dan jika mereka telah kembali kepada perintah Allah maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (Al Hujurat ayat 9) “… tiada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh manusia memberi sedekah atau berbuat makruf atau mengadakan perdamaian antara manusia dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari
13
QS An-Nissa ayat 35
Universitas Sumatera Utara
13
keridhaan Allah SWT, maka kelak Kami memberikan kepadanya pahala yang besar” (An Nissa ayat 114).14 Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ (4) ayat 7 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam yaitu (1) bagi anak laki-laki ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya, (2) bagi keluarga dekat laki-laki ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan keluarga dekatnya, baik laki-laki maupun perempuan, (3) bagi anak perempuan ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya, (4) bagi keluarga dekat perempuan ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan keluarga dekatnya, baik laki-laki maupun perempuan, (5) ahli waris yang disebutkan diatas ada yang mendapat harta warisan sedikit dan ada juga yang mendapat banyak, (6) ketentuan pembagian harta warisan garis hukum yang disebut diatas ditetapkan oleh Allah SWT.15 Hukum Kewarisan Islam adalah aspek ajaran Islam yang azasi dan berlaku secara universal bagi setiap muslim untuk diwujudkan dalam kehidupan sosial. Sebagai ajaran yang universal, Hukum Kewarisan Islam mengandung nilai-nilai abadi dan unsur-unsur yang berguna untuk senantiasa siap mengatasi setiap masalah sesuai dengan kondisi, ruang lingkup dan waktu. Oleh karena itu, tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam adalah perintah, sesuai hadits Rasulullah SAW, dalam riwayat 14
Ramdlon Naning, Penyelesaian sengketa dalam Islam (Peran Badan Arbitrase Syariah Nasional dan kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah),https://andukot.wordpress.com/tag/penyelesaian-sengketa waris/, diakses tanggal 2 Pebruari 2012 15 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal 103
Universitas Sumatera Utara
14
ahmad, An-Nisa’ I dan Ad-Daruquni, yang artinya : “Pelajarilah oleh kamu sekalian Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah manusia yang bakal terenggung (kematian), sedangkan ilmu akan dihilangkan. Hampir dua orang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang dapat memberi fatwa kepada mereka”.16 Hadist diatas tersebut mengisyaratkan keprihatinan Rasulullah SAW, bahwa dalam pembagian warisan atas harta si pewaris tidak jarang menjadi pemicu terjadinya pertengkaran. Persoalan waris, seringkali timbul menjadi salah satu persoalan krusial dan sensitif dalam sebuah keluarga. Ketertarikan alamiah terhadap harta sering kali memicu perubahan sesuatu yang tadinya merupakan anugerah ini, dan penuh dengan nilai positif menjadi kutukan, yang sarat nilai negatif dan kehancuran. Tak heran sebagai wujud keadilannya Allah SWT merinci penjelasan dan aturannya mengenai hal ini dalam Al-Qur’an maupun Sabda Rasulullah SAW, sehingga dapat menjadi jawaban bagi mereka dalam menyelesaikan perkara waris. Maka dari itu di dalam Islam berkepentingan untuk mengatur agar ajaranya dapat memberi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi pemeluknya. Sejauh mana Hukum Warisan Islam dapat dipahami dan dapat diwujudkan rasa keadilan, adalah suatu hal yang menuntut kearifan tersendiri.
16
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal 358
Universitas Sumatera Utara
15
2.
Konsepsi Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain,
seperti asa dan standart. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.17 Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.18 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu dalam penelitian ini dirumuskan kerangka Konsepsi sebagai berikut : a.
Harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu adalah sisa setelah diambil untuk berbagai kepentingan, yaitu biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat.19
17
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hal 397 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 7 19 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan Adaptabilitas, Ekonisia, Yogyakarta, 2002, hal 20 18
Universitas Sumatera Utara
16
b.
Waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
c.
Warisan adalah ketetapan hukum. Yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli waris berhak atas harta warisan tanpa perlu kepada pernyataan menerima dengan sekarela atau atas keputusan hakim. Namun, tidak berarti bahwa ahli waris dibebani melunasi hutang mayit (pewaris).20
d.
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup.21
e.
Tirkah secara etimologis adalah jamak dari tirkah. Tirkah adalah semua harta peninggalan orang meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran hutang, dan pelaksanaan wasiat. 22
f.
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam. Hukum Islam merupakan bagian dan bersumber dari Agama Islam, mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam, yang merupakan wahyu Allah SWT dan 20
Muhammad Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hal 8 21 Ali Zainuddin, Op.Cit, hal 114 22 Abdullah Syah, dan Hayati Amal, Hukum Waris Islam, Wal Ashri Publishing, Medan, 2011, hal 5
Universitas Sumatera Utara
17
Sunnah Nabi, yang berkaitan erat dengan Ibadah manusia kepada Allah SWT dan perbuatan sesama manusia.23 g.
Hukum Waris Islam Hukum Waris Islam merupakan salah satu bagian dari hukum Islam. Oleh sebab itu pengertian Hukum Waris Islam haruslah didahului dengan memahami pengertian hukum.24 Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta, kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum kewarisan ini juga disebut dengan Hukum Faraidh sumbernya adalah Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para ulama. Hukum Waris Islam adalah salah satu hukum yang paling sempurna petunjuknya dari Nash, dan ilmu hukum ini adalah ilmu yang paling cepat hilang dimuka bumi menurut Hadits Rasullullah.25
h.
Perdamaian (Tashaluh) Dalam Ensiklopedi Hukum Islam damai sepadan dengan kata as-sulh yang artinya akad untuk menyelesaikan suatu persengketaan atau perselisihan menjadi perdamaian. Dalam pengertian yang lain ialah upaya yang dilakukan secara damai.26
23 Muhammad Ali Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal 58 24 Abdullah Syah, dan Hayati Amal, Op.Cit, hal 1 25 Muhammad Hasballah Thaib, Op.Cit, hal 1 26 Ensiklopedi Hukum Islam, hal 1653
Universitas Sumatera Utara
18
Secara etimologi arti kata Tashaluh berarti saling berdamai. Dalam arti terminologis biasa diartikan keluarnya seseorang atau lebih dari kumpulan ahli waris dengan penggantian haknya dari salah seorang di antara ahli waris yang lain. Pada hakikatnya Takharuj itu termasuk ke dalam salah satu bentuk penyesuaian dalam pelaksanaan hukum kewarisan Islam. Apabila para ahli waris mengadakan perdamaian dengan jalan mengeluarkan sebahagian ahli waris dari haknya atas bagian warisan dengan imbalan menerima sejumlah harta tertentu, dari harta warisan atau harta lain, disebut Takharuj atau Tashaluh.27 G. Metode Penelitian 1.
Spesifikasi Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini diarahkan
untuk mengetahui secara lebih mendalam serta menganalisa aspek hukum dalam pelaksanaan pembagian warisan dengan cara Perdamaian (Tashaluh) menurut Hukum Waris Islam. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan28. Artinya penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-
27 28
Ibid, hal 86 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2006, hal 14
Universitas Sumatera Utara
19
undangan yang berlaku. Penelitian yuridis normatif ini mengutamakan penelitian kepustakaan (Library research)29. 2.
Sumber Data Dalam penulisan ini bahan hukum yang dijadikan sebagai rujukan adalah
menggunakan data sekunder, yang terdiri dari : A. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang terdiri dari Al-Qur’an dan Hadits mengenai pembagian warisan dalam Hukum Islam. B. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer seperti Doktrin (Pendapat para ahli), Ijtihad (pendapat para ahli Fiqh), buku-buku, jurnal hukum, makalah, media cetak, dan elektronik. C. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier ini memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan melengkapi data dalam penelitian ini, yaitu seperti kamus umum, majalah, dan internet serta bahanbahan diluar bidang hukum yang berkaitan guna melengkapi data. 3.
Teknik dan Alat Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam Penelitian ini dilakukan dengan cara
penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan membaca dan menelaah semua literatur yang berhubungan dengan topik penelitian 29
Mahmud Marzuki Peter, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal 141
Universitas Sumatera Utara
20
yang sedang dilakukan. Data
diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil
penelitian, dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya dengan penelitian ini. 4.
Analisis Data Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian
dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Sebelum analisa data dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya, dan untuk selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis. Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan tertulis. “Sistematisasi berarti membuat klarifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi”.30
30
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 251
Universitas Sumatera Utara