BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan Manusia merupakan makhluk yang kompleks. Beragam gelar diberikan kepada dirinya. Para antropolog demikian kagum pada sifatsifat manusia, sehingga memberikan sebutan homo sapien, seperti keterampilan bahasa, teknologi yang tinggi dan kemampuan untuk membuat pertimbangan etis (Leakey, 2003: 1). Para filosof menyebut rational animal karena manusia merupakan makhluk yang handal dalam berpikir (Copleston, 1993: 104). Manusia juga dikenal dengan makhluk suka bertanya, sebutan tersebut mengandaikan bahwa manusia sejak awal telah memiliki bakat berfilsafat. Manusia sejak dini telah mempertanyakan segala sesuatu, bahkan tentang hakikat dirinya, dari mana berasal dan ke arah mana menuju (Weij, 1991: 6). Kecenderungan manusia mempertanyakan segala hal, karena rasa kagum akan realitas, baik perihal sederhana maupun rumit (Hadi, 2005: 14). Manusia dalam kajian sejarah agama, dikenal sebagai makhluk spiritual atau homo religiosus (Amstrong, 1993: 28). Gelar makhluk spritual bagi manusia merupakan sebuah afirmasi bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan suatu bentuk kepercayaan kepada kekuatan adi kodrati, gaib, atau Tuhan. Manusia dengan kepercayaan tersebut menciptakan tata nilai yang menopang hidupnya.
1
2
Nilainilai tersebut mewujudkan dalam institusi dan tradisi yang diwariskan secara turuntemurun antar generasi manusia (Bakhtiar, 1997: 55). Sebagian pemikir berpendapat bahwa manusia menyembah kekuatan kekuatan adi kodrati setelah menyadari bahwa dirinya adalah manusia. Kekuatan adi kodrati tersebut diberi beragam nama oleh manusia sesuai dengan budaya dan bahasa masingmasing, seperti Dewa, Tuhan, God, Deus, Allah dan lain sebagainya (Ya’kub, 1984: 6). Konsep atau gagasan manusia tentang Tuhan tak pernah berada di luar ruang dan waktu. Gagasan mengenai Tuhan selalu berada dalam sejarah, karena mengada dalam beragam locus dan tempus manusia yang berbeda. Problem ketuhanan atau keagamaan merupakan fenomena kemanusiaan, oleh sebab itu perihal ketuhanan sifatnya tidak terikat ruang dan waktu. Para peneliti telah lama melakukan kajian tentang sejarah gagasan Tuhan yang diyakini oleh manusia. Pertanyaan yang muncul antara lain, manakah yang terlebih dahulu antara kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal (monotheisme) dengan kepercayaan manusia pada segala benda yang memiliki kekuatan atau mana (dinamisme)? ataukah sesudah itu berkembang kepercayaan manusia pada roh nenek moyang yang dikenal dengan animisme ataukah politheisme yakni kepercayaan manusia pada dewadewa? Perihal tersebut para peneliti tidak mempunyai kesamaan pandangan (Hamka. 1987: 4). Para pendukung teori evolusi meyakini bahwa kepercayaan manusia pada awalnya demikian sederhana dan berkembang menjadi lebih komplek, berpendapat bahwa, kepercayaan paling primitif adalah dinamisme dan paling tinggi adalah monotheisme. Teori termodinamika berpandangan bahwa
3
kepercayaan manusia yang pertama adalah monoteisme murni, namun karena perjalanan hidup manusia, kepercayaan tersebut menjadi kabur dan dimasuki oleh anasir animisme dan politheisme (Bakhtiar, 1997: 56). Manusia dengan keberagaman gagasan tentang Tuhan, Xenophanes mengatakan bahwa seandainya binatang seperti kuda, kerbau dan singa memiliki tangan maka mereka akan melukis gambar Tuhan mereka menyerupai citra mereka sebagai binatang (Lesher, 1998: 9085). Manusia kemudian bertanya, siapakah Tuhan? Seorang sastrawan Yunani yang bernama Pindar pada abad ke5 SM memberikan sebuah jawaban bahwa Tuhan adalah segala sesuatu (Morris, 2003: 27). Filosof atheis yaitu Jean Paul Sartre (19051980), memberikan jawaban berbeda. Ia berpendapat bahwa sekiranya Tuhan benarbenar ada, tetap perlu ditolak karena keberadaannya menafikan kemerdekaan manusia (Amstrong, 1993: 184). Pemikir teistik memberikan definisi bahwa Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Pencipta. Tuhan dan makhluk sangat berbeda. Tuhan berada di alam (imanen), tetapi Dia juga jauh dari alam (trancendent). Theisme secara umum dianut oleh agamaagama besar seperti Islam, Kristen dan Yahudi. Tuhan dalam Islam dipahami sebagai Dzat Yang Esa. Tuhan juga dipahami sebagai Dzat trancendent dan imanent. Allah berfirman dalam AlQur’an surat AlIkhlas ayat 1, surat Al‘Araaf ayat 54 dan surat AlKahf ayat 16:
( ۱ ) î‰ymr& ª!$# uqèd ö@è% Artinya: “Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa” (Departemen Agama, 1989:1118)
4
§NèO 5Q$-ƒr& Ïp-GÅ™ ’Îû uÚö‘F{$#ur ÏNºuq»yJ¡¡9$# t,n=y{ “Ï%©!$# ª!$# ãNä3-/u‘ c ž Î) }§ôJ¤±9$#ur $ZW•ÏWym ¼çmç7è=ôÜtƒ u‘$pk¨]9$# Ÿ@ø‹©9$# ÓÅ´øóムĸó•yêø9$# ’n?tã 3“uqtGó™$# ª!$# x8u‘$t6s? 3 â•öDF{$#ur ß,ù=sƒø:$# ã&s! Ÿwr& 3 ÿ¾ÍnÍ•öDr'Î/ ¤Nºt•¤‚|¡ãB tPqàf‘Z9$#ur t•yJs)ø9$#ur ( ٥٤ ) tûüÏHs>»yèø9$# •>u‘ Artinya: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan bintangbintang (masingmasing) tunduk kepada perintah Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al‘Araaf: 54) (Departemen Agama, 1989: 230).
Ïmø‹s9Î) Ü>t•ø%r& ß`øtwUur ( ¼çmÝ¡øÿtR ¾ÏmÎ/ â¨Èqó™uqè? $tB ÞOn=÷ètRur z`»|¡SM}$# $uZø)n=yz ‰ ô s)s9ur ( ۱٦ ) ωƒÍ‘uqø9$# È@ö7ym ô`ÏB Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. AlQaaf: 16) (Departemen Agama, 1989: 852). AlGhazali seorang filosof dan sufi dalam Islam berpendapat bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Pencipta, berperan aktif dalam mengendalikan alam. Allah merupakan Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak. Allah mampu mengubah segala ciptaannya sesuai dengan kehendak mutlakNya (AlGhazali, 1968: 240). Menurut AlGhazali dalam AlMunqidz min alDhalal wa ma’ahu Kimya’u alSa’aadah wa alAdab fi al Din, pengetahuan akan Tuhan hanya bisa dilakukan
5
melalui media “rasa” (dzauq). Dzauq ibarat melihat dengan mata atau memegang dengan tangan, merupakan jalan tasawuf atau mistik Islam. AlGhazali berpendapat bahwa manusia terdiri atas dua elemen yakni jasmani dan hati. Hati yang dimaksud oleh AlGhazali merupakan hakikat ruh yang merupakan tempat untuk makrifat atau mengetahui Allah. Hati yang mampu mengenal Allah adalah hati yang sehat (AlGhazali,tt:7475). Pandangan AlGhazali ini diilhami Al Qur’an Surat AlSyu’araa’ ayat 89:
( ۸۹ ) 5OŠÎ=y™ 5=ù=s)Î/ ©!$# ’tAr& ô`tB žwÎ) Artinya: “Kecuali orangorang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (Departemen Agama, 1989: 580). AlGhazali dalam karya yang berjudul “Kimia Kebahagiaan” (Kimyaa’u alSa’adah), menggarisbawahi bahwa pengenalan Tuhan selalu diawali oleh pengenalan diri sebagai manusia (AlGhazali, tt:108). Pengetahuan diri merupakan kunci pengetahuan tentang Tuhan. Pandangan AlGhazali ini diilhami AlQur’an surat AlFushshilat ayat 53:
3 ‘,ptø:$# çm¯Rr& öNßgs9 tû¨üt7oKtƒ 4Ó®Lym öNÍkŦàÿRr& þ’Îûur É-$sùFy$# ’Îû $uZÏF»tƒ#uä óOÎgƒÎŽã\y™ ( ٥۳ ) Íky- &äóÓx« Èe@ä. 4’n?tã ¼çm¯Rr& y7În/t•Î/ É#õ3tƒ öNs9urr& Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tandatanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Departemen Agama, 1989: 801). AlGhazali dalam buku Kimiya asSa’adah (kimia kebahagiaan) menerangkan :
6
ﺑﻪﺭ ﻑ ﺮ ﻋﻘﺪ ﻪ ﹶﻓ ﹶ ﺴ ﻔ ﻧ ﹾ ﻑ ﺮﻦ ﻋ ﻣ
Artinya: “Barang siapa mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhannya.” AlGhazali berpendapat bahwa manusia merupakan merupakan citra dari Tuhan (AlGhazali,1997:20), yang sesuai dengan sabda Rasulullah saw. dalam hadits qudsi: ﻪﺭﺗ ﻮ ﻋﻠﹶﻰ ﺻ ﺩﻡ ﻖ ﺁ ﺧﻠﹶ ﷲ َ ﹺﺇﻥﱠ ﺍ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menyerupai citraNya.” Setiap pribadi bertugas mengetahui hakikat dirinya, darimana datang, untuk apa diciptakan dan dengan apa merasakan kebahagiaan (AlGhazali, tt: 108). AlGhazali berpendapat bahwa, nikmat kebahagiaan tertinggi seorang manusia adalah mengetahui Allah SWT, sedangkan medium yang dipakai adalah hati (AlGhazali, tt: 130). Tuhan itu sendiri merupakan cahaya sejati (AlGhazali, 1997: 20). AlGhazali berpendapat bahwa pengenalan kepada Allah merupakan sebuah upaya menemukan kebahagiaan sejati. Pengenalan kepada Allah akan melahirkan kecintaan kepadaNya. AlGhazali berpendapat bahwa kecintaan kepada Allah merupakan tujuan paling utama dan derajat tertinggi yang bisa diraih oleh manusia (AlGhazali, 1995: 294). Manusia ideal atau sempurna adalah yang telah sampai pada tahap cinta kepada Tuhannya, maka bukan sebuah keniscayaan jika Allah SWT mengukur kadar keimanan seseorang atas kecintaannya kepada Allah dan RasulNya. Pandangan AlGhazali ini diilhami Al Qur’an surat AlBaqarah ayat 165 :
7
( «!$# Éb=ßsx. öNåktXq™6Ïtä† #YŠ#y‰Rr& «!$# Èbrߊ `ÏB ä‹Ï‚-Gtƒ `tB Ĩ$¨Z9$# šÆÏBur z>#x‹yèø9$# tb÷rt•tƒ øŒÎ) (#þqãKn=sß tûïÏ%©!$# “t•tƒ öqs9ur 3 °! ${6ãm ‘‰x©r& (#þqãZtB#uä tûïÉ‹©9$#ur ( ۱٦٥ ) É>#x‹yèø9$# ߉ƒÏ‰x© ©!$# ¨br&ur $Yè‹ÏJy_ ¬! no§qà)ø9$# ¨br& Artinya; “Dan di antara manusia ada orangorang yang menyembah selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orangorang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaanNya (niscaya mereka menyesal)” (Departemen Agama, 1989:39). Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits: ﻦﻌﻴ ﻤ ﺟ ﺎﺱﹺ ﺃﹶﺍﻟﻨﻪ ﻭ ﻟﺎﻭﻣ ﻪ ﻠﻫ ﻦ ﺃﹶ ﻣ ﻴﻪ ﺐ ﺇﹺﹶﻟ ﻪ ﺃﹶﺣ ﹸﻟﻮﺭﺳ ﻭ ﷲ ُ ﻮﻥﹶ ﺍ ﻳﻜﹸ ﻰﺣﺘ ﻛﻢ ﹸﺣﺪ ﺃﹶﻣﻦ ﺆ ﻝﹶﺍﻳ
Artinya: “Tidaklah seseorang di antara kamu beriman hingga Allah dan RasulNya lebih dicintainya daripada keluarga dan hartanya serta semua orang.” Manusia ideal memiliki ciri yakni kosongnya hati dari selain Tuhan dan kesempurnaan pengetahuan atau makrifatnya (AlGhazali,1995: 297298). Pengenalan kepada Tuhan berimplikasi terhadap pribadi seseorang menjadi manusia ideal. Konsep Ketuhanan AlGhazali demikian penting untuk diteliti, karena didalamnya mengandung ajaranajaran agama terutama tentang masalah Tuhan, yang dapat membangkitkan semangat berupaya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT sehingga timbul keinginan untuk senantiasa beribadah semaksimal mungkin agar terhindar dari perbuatanperbuatan dosa.
8
Berdasarkan pemikiran di atas, penulis mengambil judul “Konsep Ketuhanan AlGhazali dalam Perspektif Filsafat Ketuhanan dan Relevansinya dalam Pembentukan Pribadi Ideal di Indonesia”.
2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis menguraikan beberapa rumusan masalah: a. Bagaimana karakteristik pemikiran ketuhanan AlGhazali ? b. Bagaimana konsep ketuhanan AlGhazali dalam pembentukan pribadi ideal ? c. Apa relevansi pemikiran AlGhazali tentang ketuhanan dalam konteks Indonesia ?
3. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pemikiran kefilsafatan AlGhazali sudah banyak dilakukan oleh para cendekiawan, baik pada waktu yang lampau maupun saat ini, misal: Konsep Pendidikan AlGhazali oleh Fathiyah Hasan Sulaiman (Baths Fi’l Madzhab Al tarbawy Inda’lGhazaly) (1964), Etika AlGhazali (The Ethics of Al Ghazali: A Composite Ethics in Islam) (1975) oleh Muhammad Abul Quasem, Manusia Menurut AlGhazali oleh Muhammad Yasir Nasution (1988). Filsafat Manusia menurut Confucius dan AlGhazali tahun 2004 oleh peneliti. Penelitian dalam bentuk disertasi antara lain: Konsep Kefilsafatan Tentang Ketuhanan Menurut Alfred North Whitehead, disusun oleh Damardjati Supadjar
9
tahun 2005; dan Hakikat Ketuhanan Budhisme Awal, disusun oleh Dhamarputra Aris Wardoyo tahun 2009. Penelitian dalam bentuk tesis antara lain: Konsep Ketuhanan Dalam Neo Sufisme Fathurrachman, disusun oleh Ridha Ahida tahun 1998; Pemikiran Ketuhanan Asya’riyah (Tinjauan Filosofis dan Kontribusinya Terhadap Masyarakat Dewasa Ini), disusun oleh Taisik Ibrahim tahun 2001; dan Makna Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila Relevansi Pelaksanaannya dalam Bermasyarakat dan Bernegara, disusun oleh Syafroni tahun 2005. Beberapa buku dan penelitian telah disebutkan di atas, sejauh pengamatan penulis belum menemukan penelitian yang berkaitan dengan “Konsep Ketuhanan AlGhazali dalam Perspektif Filsafat Ketuhanan dan Relevansinya dalam Pembentukan Pribadi Ideal di Indonesia”. Penelitian ini didasarkan karangan karangan asli AlGhazali, seperti: Ihya Ulumuddin, AlMunqidz Min alDhalal, Kimya’u Sa’adah, Misykaat alAnwaar serta karyakarya AlGhazali yang lain dan perlu diketahui bahwa objek formal penelitian ini adalah filsafat ketuhanan.
4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: A. Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan Penelitian ini berusaha menganalisis konsep ketuhanan AlGhazali dan relevansinya dalam pembentukan pribadi ideal di Indonesia melalui analisis filsafat ketuhanan, sehingga dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
10
pengetahuan terutama untuk memperdalam dan memperluas cakrawala ilmu pengetahuan terutama filsafat ketuhanan. B. Bagi Ilmu Filsafat Penelitian ini adalah penelitian yang berbasis filsafat berupaya menelaah halhal yang berciri khas kefilsafatan pemikiran AlGhazali, maka diharapkan dapat memberikan inspirasi yang berharga dan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam dunia kefilsafatan. C. Bagi bangsa Indonesia Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia, karena bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa religius berdasarkan Pancasila dan mayoritas beragama Islam, sudah sewajarnya dalam kehidupan seharihari melaksanakan ajaran agama Islam dengan sebaikbaiknya. Konsep ketuhanan Al Ghazali yang akan dibahas dalam penelitian ini diharapkan dapat menggugah semangat keberagamaan bangsa Indonesia sehingga akan relevan dalam upaya pembentukan pribadi ideal yaitu pribadi muslim yang senantiasa bertanggung jawab terhadap kemajuan dan perkembangan bangsa dan negara Indonesia dengan berpegang teguh pada nilainilai akhlakul karimah sehingga terhindar dari perbuatanperbuatan yang menyimpang dari kebenaran dan keadilan.
B. Tujuan Penelitian Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :
11
1. Menemukan hakikat Tuhan secara filosofis dan mengetahui bagaimana karakteristik pemikiran kefilsafatan AlGhazali sebagai seorang filosof dan sufi dalam dunia Islam. 2. Berupaya memperoleh pemahaman dan kejelasan tentang konsep ketuhanan AlGhazali dalam pembentukan pribadi ideal. 3. Melakukan evaluasi kritis dan pengamatan terhadap konsep ketuhanan Al Ghazali dan relevansinya dalam konteks Indonesia. C. Tinjauan Pustaka Permasalahan tentang Tuhan merupakan hal yang sudah lama dibahas. Bron R. Taylor dalam The Encyclopedia of Religion and Nature, merujuk pada penelitian yang dilakukan seorang arkeolog yakni Jacques Cauvin, penemuan arkeologis membuktikan bahwa kepercayaan kepada Tuhan mendahului revolusi pertanian (Taylor, 2005: xix). Marsha E. Ackermann dalam Encyclopedia of World History: The Ancient World Prehistoric Era to 600 C.E., pada sekitar tahun 10.000 SM di China aktivitas pertanian telah dimulai sepanjang Sungai Kuning dalam bentuk budidaya padi, gandum dan hasil bumi lainnya (Ackermann, 2008: xxix). Philip Wilkinson dan Douglas Charing dalam Encyclopedia of Religion, agama pertama hidup pada tahun 5.000 tahun SM, dengan bukti adanya Stonehenge sebagai situs keagamaan di daerah selatan Inggris yang diperkirakan dibangun sekitar tahun itu (Wilkinson dan Charing, 2004: 13). Gagasan tentang Tuhan merupakan idea yang telah lahir dan berkembang semenjak ribuan tahun yang lalu. Setiap aliran keagamaan memiliki gagasan sendiri tentang Tuhan. F.B. Jevons dalam karyanya yang berjudul The Idea of God
12
in Early Religions menyatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak hanya klaim para penganut monoteisme, karena ide mengenai Tuhan juga dimiliki oleh para penganut politeisme. Tuhan bagi seorang penganut politeisme merupakan sosok yang suci dan lebih agung dari manusia (Jevons, 1913: 22). David M. Holley dalam Meaning and Mystery: What it Means to Believe in God, melihat bahwa gagasan tentang Tuhan biasanya dipahami dalam kaitannya bagaimana manusia menciptakan kesadaran sekitar tatacara dalam menjalani hidup yang seharusnya. Eksistensi Tuhan dibutuhkan oleh manusia sebagai penyempurna keberadaan dirinya di dunia (Holley, 2010: 3). Kautsar Azhari Noer menggarisbawahi terkait dengan gagasan atau ide mengenai Tuhan, perlu dibedakan dari Tuhan yang sejatinya. Noer dalam risalah yang berjudul Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang Sebenarnya, berpendapat bahwa Tuhan dalam konsep, ide atau gagasan bukanlah Tuhan sebenarnya. Tuhan yang sebenarnya berada di luar konsep, ide atau gagasan. Tuhan dalam konsep adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia, bukan Tuhan sebenarnya. Tuhan sebagaimana Dia yang sebenarnya, Tuhan pada diriNya, Dzat Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Ia dalam hal ini meminjam istilah Ibnu Arabi yakni The Real God atau alilah alhaq. Tuhan dalam arti tersebut adalah munazzah yang berarti tidak dapat dibandingkan sama sekali dengan alam, atau trancendent terhadap alam. (Noer, 1998: 132137). AlGhazali sebagai seorang filosof dan sufi Islam merupakan pemikir Islam yang kaya akan gagasan termasuk ide mengenai Tuhan. AlGhazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad AlGhazali dan mendapat gelar
13
Hujjatul Islam atau Zayn addin (hiasan agama). M. Abul Quasem dalam karya yang berjudul Etika AlGhazali: Etika Majemuk dalam Islam, memberikan sebuah testimoni bahwa AlGhazali merupakan seorang tokoh agama terbesar setelah Rasululullah saw. AlGhazali memiliki akhlak yang baik dan pengetahuan yang mendalam tentang berbagai disiplin keilmuan yang luas seperti etika, logika, teologi, filsafat dan hukum (Quasem,1988: 1). Idries Shah dalam karya yang berjudul Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi, menganggap bahwa gelar tertinggi “Hujjatul Islam” yang disematkan pada figur seorang AlGhazali karena kemampuannya mendamaikan Islam dengan intelektualisme dan memperbaiki kepercayaankepercayaan pokok Asy’ariah sebagai kepercayaan Islam universal. AlGhazali juga mampu memberikan keyakinan bagi pengikut Islam ortodoks bahwa sufisme tidak bertentangan dengan Islam. AlGhazali tidak hanya mempengaruhi pemikir pemikir Islam, tetapi juga pemikirpemikir di luar Islam seperti John Bunyan, Ramon Marti, Thomas Aquinas dan Pascal (Shah, tt: 150151). Rene Descartes yang mendapat gelar Bapak Filsafat Modern pemikirannya dipengaruhi oleh AlGhazali, meskipun hal itu tidak diakui secara tegas oleh Descartes. Mahmud Hamdi Zaqzuq dalam karya yang berjudul AlGhazali: Sang Sufi Sang Filosof (Sebuah Perbandingan Metoda Filsafat Antara AlGhazali dengan Descartes) menjelaskan hubungan pendapat AlGhazali dalam karya yang berjudul alMunqidz min al Dhalal. AlGhazali mengatakan bahwa keraguan merupakan peringkat pertama keyakinan dan pendapat Descartes yang tertuang dalam ucapan: “Aku berpikir, maka aku ada” (cogito ergo sum) (Zaqzuq, 1987:
14
vivii). Mahmud Hamdi Zaqzuq mengatakan ada seorang sejarawan muslim yakni ‘Utsman al Ka’ak yang saat itu menjabat sebagai Direktur Gerakan Nasional diminta oleh Muhammad ‘Abdul Hadi Abu Ridah guru besar di sebuah perguruan tinggi di Mesir diminta membantu dalam pengkajian tentang hubungan antara pendapat AlGhazali dan Descartes. Utsman alKa’ak pernah mengunjungi perpustakaan Descartes di Paris. Ia menemukan terjemahan dari karya AlGhazali (abad kesebelas Masehi) di perpustakaan tersebut. AlGhazali mendapatkan Descartes memberikan perhatian khusus pada ungkapan AlGhazali: “keraguan adalah peringkat pertama keyakinan...”. Ungkapan tersebut oleh Descartes diberi garis merah dan memberi catatan sebagai berikut: “pindahkan ini ke dalam metode kita.” Descartes dipengaruhi oleh pemikiran AlGhazali, demikian pula David Hume berkaitan dengan hukum kausalitas. Massimo Companini dalam tulisan berjudul “AlGhazali” dalam Eksiklopedi Tematis Filsafat Islam (Bagian Pertama). Ia berpendapat bahwa AlGhazali lebih awal dari David Hume yang beranggapan bahwa relasi kausalitas hanyalah penampakan dan merupakan efek dari kebiasaan manusia mengaitkan dua peristiwa yang terjadi secara konsisten dalam alam (Companini,2003: 326327). AlGhazali mengutarakan pandangan tersebut dalam karya yang berjudul Tahafut al Falasifah. AlGhazali berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan hubungan antar fenomena dalam kehidupan. Tuhan dapat menentukan hukumhukum alam dan menundukkan fungsifungsi alam kepada hukum yang sama sekali baru. Tuhan dalam hal memberikan sifat sifat alamiah kepada api untuk membakar atau air untuk memadamkan.
15
AlGhazali oleh para pemikir dipandang sebagai seorang filosof sekaligus sufi, misal, Harun Nasution dalam karya yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya mengatakan bahwa AlGhazali sebagai filosof terlihat pada keraguan metodisnya dalam alMunqidz min alDhalal. Harun Nasution menggambarkan bahwa AlGhazali sekali waktu pernah diserang oleh penyakit ragu. AlGhazali meragukan pengetahuan yang diperoleh melalui pancaindera dan akal. AlGhazali mengkritik terhadap para filosof tentang tiga hal yang membawa mereka pada kekufuran, yaitu pandangan tentang alam ini qadim dalam arti tidak bermula dalam waktu, Tuhan tidak mengetahui halhal kecil yang terjadi di alam, dan tidak ada kebangkitan jasmani. AlGhazali sebagai seorang filosof dan sufi telah berhasil memberikan argumentasi yang meyakinkan bahwa tasawuf atau mistisisme tidak bertentangan dengan Islam (Nasution,1985: 5354). Harun Nasution dalam buku yang berjudul Akal dan Wahyu dalam Islam, mengatakan bahwa sebenarnya pertentangan antara AlGhazali dan para filosof Islam terdapat pada interpretasi tentang dasardasar ajaran Islam. Kedua pihak tetap mengakui bahwa Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Pencipta alam semesta ini. Alam diciptakan dan dipahami secara berbeda, apakah diciptakan sejak azali oleh Tuhan sehingga bersifat qadim ataukah diciptakan oleh Tuhan tidak semenjak azali sehingga ia bersifat baru? Kedua belah pihak juga tetap mengimani Dzat Yang Maha Mengetahui. Keduanya berbeda dalam melihat tentang pengetahuan Tuhan, apakah sama dengan pengetahuan manusia atau berbeda. Kedua belah pihak samasama mengakui adanya hari akhir tetapi berbeda dalam memandang
16
apakah kebangkitan rohani dan jasmani manusia sekaligus ataukah rohani saja? (Nasution,1986: 95) Pengetahuan manusia tentang Tuhan dalam perspektif AlGhazali, Ali Issa Othman dalam buku yang berjudul Manusia menurut AlGhazali menjelaskan bahwa medium yang digunakan adalah rasa atau dzauq. Pengetahuan itu bersifat batin, pribadi dan tidak dapat dihubungan dengan orang lain (Othman ,1981: 93). Henry Corbin dalam buku yang berjudul History of Islamic Philosophy, memandang bahwa konsep pengetahuan yang diutarakan oleh AlGhazali dalam alMunqidz min alDhalal dan Risalah al Laduniyyah merupakan konsep Isyraqi. Israqi sendiri menjadi tema sentral dari kajian Suhrawardi salah satu imam terbesar Syi’ah yang lahir empat dasawarsa setelah wafatnya AlGhazali (Corbin,1962: 181182). Karen Amstrong dalam buku yang berjudul A History of God: The 4.000 Year Quest of Judaism, Christianity and Islam mengupas pandangan AlGhazali tentang Tuhan yang dianggap salah satu model pendekatan para filosof dalam memandang Tuhan. AlGhazali, tanpa mengabaikan akal seseorang melalui latihan mistik mampu memperoleh pemahman langsung dan intuitif mengenai sesuatu yang disebut “Tuhan”. Pengetahuan kaum sufi tentang Tuhan bukan pengetahuan rasional, namun berbentuk pengalaman intuitif sebagaimana yang dialami oleh para nabi. Pandangan AlGhazali ini diilhami oleh AlQur’an surat AnNur ayat 35 yang berbunyi :
17
( îy$t6óÁÏB $pkŽÏù ;o4qs3ô±ÏJx. ¾ÍnÍ‘qçR ã@sWtB 4 ÇÚö‘F{$#ur ÅVºuq»yJ¡¡9$# â‘qçR ª!$# * ;ot•yfx© `ÏB ߉s%qムA“Íh‘ߊ Ò=x.öqx. $pk¨Xr(x. èpy_%y`–“9$# ( >py_%y`ã— ’Îû ßy$t6óÁÏJø9$# çmó¡|¡ôJs? óOs9 öqs9ur âäûÓÅÓム$pkçJ÷ƒy— ߊ%s3tƒ 7p¨ŠÎ/ó•xî Ÿwur 7p§‹Ï%÷ŽŸ° žw 7ptRqçG÷ƒy— 7pŸ2t•»t6•B Ÿ@»sWøBF{$# ª!$# ÛUÎŽôØo„ur 4 âä!$t±o„ `tB ¾ÍnÍ‘qãZÏ9 ª!$# “ωöku‰ 3 9‘qçR 4’n?tã î‘qœR 4 Ö‘$tR ( ۳٥ ) ÒOŠÎ=tæ >äóÓx« Èe@ä3Î/ ª!$#ur 3 Ĩ$¨Y=Ï9 Artinya:“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakanakan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampirhampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapislapis), Allah membimbing kepada cahayaNya siapa yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaanperumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”(Departemen Agama, 1989:550). AlGhazali dalam hal ini memberikan penafsiran ayat di atas bahwa Tuhan adalah hakikat dan sumber dari segala cahaya. Seseorang akan memperoleh pengetahuan tentang Tuhan melalui akal dan ruh kenabian merupakan realitas alam ruh yang bercahaya. Pengetahuan model mistik ini mengandaikan bahwa hanya Sang Pencipta yang ada atau memiliki wujud. Seseorang pada tingkat tertinggi, akan sampai pada peniadaan diri dan peleburan di dalam Tuhan. AlGhazali berpendapat bahwa realitas yang dikenal dengan Tuhan berada di luar persepsi indra dan pemikiran logis sehingga seseorang tidak bisa membuktikan maupun menolak bukti wujud Tuhan. Seseorang ingin berjumpa dengan Tuhannya hanya dengan pengalaman mistik (Amstrong,1993: 9698).
18
Arief Mudatsir dalam buku yang berjudul Makhluk Pencari Kebenaran: Pandangan AlGhazali tentang Manusia, menjelaskan bahwa puncak pemikiran filsafat AlGhazali adalah tentang pinsip keesaan Tuhan yang didasarkan pada firman Allah pada Surat AlBaqarah ayat 255 yang berbunyi :
’Îû $tB ¼çm©9 4 ×PöqtR Ÿwur ×puZÅ™ ¼çnä‹è{ù's? Ÿw 4 ãPq•‹s)ø9$# •ÓyÕø9$# uqèd žwÎ) tm»s9Î) Iw ª!$# ãNn=÷ètƒ 4 ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ žwÎ) ÿ¼çny‰YÏã ßìxÿô±o„ “Ï%©!$# #sŒ `tB 3 ÇÚö‘F{$# ’Îû $tBur ÏNºuq»yJ¡¡9$# $yJÎ/ žwÎ) ÿ¾ÏmÏJù=Ïã ô`ÏiB &äóÓy´Î/ tbqäÜŠÅsムŸwur ( öNßgxÿù=yz $tBur óOÎgƒÏ‰÷ƒr& šú÷üt/ $tB uqèdur 4 $uKßgÝàøÿÏm ¼çnߊqä«tƒ Ÿwur ( uÚö‘F{$#ur ÏNºuq»yJ¡¡9$# çm•‹Å™ö•ä. yìÅ™ur 4 uä!$x© ( ۲٥٥ ) ÞOŠÏàyèø9$# •’Í?yèø9$# Artinya : “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhlukNya); tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apaapa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apaapa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar” (Departemen Agama, 1989:63). Arief Mudatsir berpendapat bahwa AlGhazali adalah pribadi yang demikian bersemangat mencari kebenaran sejati dan kebenaran sejati itu adalah Tuhan. Al Ghazali dalam biografinya mengambil kesimpulan bahwa manusia ideal adalah mahluk yang telah sampai pada tahap cinta kepada Tuhannya, tidak lain hanya terdapat pada diri Rasullulah Muhammad saw (Mudatsir ,1987: 6988). Pribadi ideal bagi AlGhazali adalah tahap seseorang telah sampai pada cinta kepada Allah. Hamka berpendapat bahwa karakteristik pribadi yang baik,
19
terdapat dalam buku yang berjudul Pribadi menguraikan beberapa ciri yakni: daya tarik, cerdik, penimbang rasa, berani, bijaksana, tahu diri, sehat jasmani, percaya diri dan tenang. Hamka berpendapat bahwa pribadi berarti kumpulan sifat dan kelebihan diri seseorang dari yang lain. Kumpulan sifat akal budi, kemauan, cita cita dan bentuk tubuh, hal itu menyebabkan harga kemanusiaan seseorang berbeda dari yang lain (Hamka,1966: 1422). Konsep pemikiran kefilsafatan AlGhazali tentang Tuhan berdasarkan penelitian pustaka sebagaimana disebutkan atas belum secara komprehensif ditelaah, terlebih dalam hubungannya dengan pembentukan pribadi ideal.
D. Landasan Teori Konsep ketuhanan AlGhazali merupakan ruang lingkup filsafat ketuhanan, maka perlu dipahami terlebih dahulu apa itu filsafat ketuhanan. Filsafat ketuhanan adalah salah satu cabang filsafat, memiliki masalahmasalah dalam pengertiannya (problems of definition) yang muncul dari fokus dan prioritas analisis para pemikir yang melakukan kajian. Penelusuran hakikat pengertian filsafat ketuhanan menjadi hal yang tidak terhindarkan untuk memperoleh pemahaman yang mengakar dan menyeluruh terhadapnya. Filsafat ketuhanan merupakan frasa yang terdiri atas dua kata filsafat dan ketuhanan. Kata filsafat merupakan kata asal dari bahasa Yunani yakni philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan diambil dari kata philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopos (kebijaksanaan, pengetahuan, ketrampilan, pengalaman praktis, intelegensi). Filsafat secara terminologis,
20
memiliki beberapa pengertian, yakni: pertama, upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang suatu realitas; kedua, upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata; ketiga, upaya untuk menentukan batasbatas dan jangkauan pengetahuan seperti sumber, hakikat, keabasahan dan nilainya; keempat, penyelidikan kritis atas pengandaian pengandaian dan pernyataanpernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan; dan terakhir, disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu seeorang melihat yang di katakan dan untuk mengatakan yang dilihatnya (Bagus, 1996: 242). Tuhan secara etimologis berarti sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa dan sebagainya. Istilah ketuhanan berarti sifat keadaan Tuhan; halhal ketuhanan berarti sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan, ilmu ketuhanan berarti ilmu mengenai keadaan Tuhan dan agama, dan dasar ketuhanan berarti kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal (Sugono, 2008: 1493). Hamka menjelaskan bahwa istilah filsafat ketuhanan berarti sebuah penyelidikan tentang keberadaan Dzat Yang Maha Kuasa, Dzat Yang Maha Tunggal, Dzat Yang Maha Penggerak segala sesuatu, atau yang disebut dengan Tuhan (Hamka,1987: 6). Louis Leahy mengartikan filafat ketuhanan sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik dan secara refleksif realitas yang tertinggi disebut Allah atau Tuhan. (Leahy,2004: 20). Hamzah Ya’kub berpendapat bahwa filsafat ketuhanan merupakan sebuah hikmah atau kebijaksanaan menggunakan akal pikiran dalam menyelidikan Ada dan EsaNya Tuhan. Ia menambahkan bahwa istilah ini nampak baru tetapi materi kajiannya
21
merupakan hal yang bersifat lampau, karena masalah pencarian dan penyelidikan manusia tentang Tuhan telah terjadi semenjak manusia ada di muka bumi (Ya’kub,1984:20). Brian Leftow berpendapat bahwa istilah Tuhan yang terdapat di dalam agamaagama mengandaikan dua hal mendasar yakni: pertama, bahwa Tuhan tidak diciptakan, karena apapun yang diciptakan bukan Tuhan; kedua, Tuhan adalah sumber dari segala sesuatu yang bukan Tuhan. Tuhan juga dipahami sebagai Dzat Yang Maha Tinggi yang menjelaskan kesempurnaanNya dan otoritasNya. Tuhan mengatur segala sesuatu yang bukan diriNya dan Dzat Yang Maha Paripurna. Leftow menyatakan bahwa manusia mendekati Tuhan dari tiga medium yakni: pengalaman keagamaan (religious experience), melalui kitab suci atau wahyu (revealed or authoritative texts), dan refleksi akal budi (rational reflection). Ketiganya merupakan jalan atau cara mendasar dalam memahami keberadaan Tuhan, tidak semua yang nampak merupakan pengalaman mistik terhadap Tuhan. Kitab suci dan pemikiran filsafati membantu memisahkan antara yang sejati dan ilusi. Pengalaman mistik terhadap Tuhan, tidak hadir tanpa makna makna rahasia yang harus disingkap, karena membutuhkan penafsiran yang diberikan oleh kitab suci dan akal budi. Kitab suci membutuhkan penafsiran, dan akalbudi berusaha memahaminya. Pengalaman religius dan kitab suci merupakan data, pertimbangan teologis dan filsafati bekerja dalam mengartikan secara penuh teoriteori tentang hakikat Tuhan (Leftow,1998: 31593160). Filsafat ketuhanan mengajukan beberapa argumentasi tentang keberadaan Tuhan, yakni: ontologis, kosmologis, teleologis dan moral (Bakhtiar, 1997: 169
22
193). Pertama, argumen ontologis. Ontologi atau ontology berasal bahasa Yunani dari dua kata yakni on atau ontos berarti ada atau keberadaan, dan logos berarti ilmu atau teori. Ontologi berarti ilmu atau teori tentang hakikat yang ada (Bagus, 1996: 746). Argumen ontologis tidak banyak didasarkan alam nyata, tetapi argumen ini berdasarkan pada logika sematamata. Contoh argumen ontologis diberikan oleh St. Agustinus (354430 M), bahwa manusia mengetahui dari pengalaman hidup yaitu adanya alam kebenaran. Akal manusia kadangkadang merasa mengetahui yang benar tapi raguragu bahwa yang diketahuinya itu adalah kebenaran. Akal manusia mengetahui bahwa di atasnya masih ada sesuatu kebenaran tetap, kebenaran yang tidak berubahubah. Kebenaran tetap dan kekal itu merupakan kebenaran mutlak dan kebenaran mutlak itulah yang disebut dengan Tuhan (Bakhtiar, 1997: 171). Kedua, argumen kosmologis. Kosmologi secara etimologis atau cosmology berasal dari bahasa Yunani, kosmos berarti dunia atau alam semesta dan logos berarti ilmu tentang alasan pokok bagi atau suatu pertimbangan tentang alam semesta (Bagus, 1996: 499). Argumen ini disebut juga dengan argumen sebab akibat, timbul dari paham bahwa alam adalah bersifat mungkin dan bukannya bersifat wajib dalam wujudnya. Alam adalah akibat dan setiap akibat tentu ada sebabnya, sebab alam lebih wajib adanya daripada akibat dan sekaligus mendahului alam, seperti halnya tukang kayu lebih wajib adanya daripada kursi. Dzat yang menyebabkan alam tidak mungkin yaitu Tuhan sebagai Sebab Utama. Sebab Utama tidak sebabkan oleh sesuatu yang lain. Tuhan adalah awal dan akhir, seandainya Tuhan disebabkan oleh yang lain tidak disebut Sebab Utama. Salah
23
satu pendukung argumen ini adalah Aristoteles (384322 SM). Tuhan mengatakan bahwa mustahil rangkaian sebab akibat itu tidak putusputus, sebab jika tidak putus, alam yang terjadi di dalamnya tidak dapat dipahami. Tuhan merupakan Sebab Pertama atau Penggerak Pertama yang sempurna. Tuhan menggerakkan karena, sebab tujuan atau segala sesuatu yang ada di alam ini bergerak menuju Penggerak yang sempurna. Tuhan atau Penggerak Pertama tersebut merupakan Dzat yang immateri abadi dan sempurna (Bakhtiar, 1997: 174177). Ketiga, argumen teleologis. Teleologi atau teleology berasal dari bahasa Yunani telos berarti tujuan atau akhir dan logos berarti wacana atau doktrin (Bagus, 1996: 1085). Argumen ini melihat bahwa alam diatur menurut suatu tujuan tertentu. Alam ini dalam keseluruhannya berevolusi dan beredar menuju suatu tujuan. Bagianbagian dari alam mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lain dan bekerja sama dalam menuju tercapainya suatu tujuan tertentu tersebut. Contoh argumen teleologis diajukan oleh William Paley (1743 1805) mengatakan bahwa mata adalah alat yang sempurna untuk mencapai tujuan, yaitu melihat. Paley mengibaratkan alam raya seperti sebuah jam, dengan membayangkan seseorang tidak pernah melihat jam seumur hidup, kemudian dia menemukan benda itu di tengah padang pasir yang tandus. Paley melihat pada jam itu adalah sebagai struktur mekanik yang semua bagianbagian saling bekerja sama. Paley mampu mengambil kesimpulan bahwa benda ini dibuat oleh seseorang yang pandai dengan tujuan tertentu, demikian pula alam raya ini penuh
24
keteraturan tidak lain yang menciptakan adalah Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa (Bakhtiar, 1997: 183184). Keempat, argumen moral. Argumen ini secara sederhana menyatakan bahwa jika manusia merasa dalam dirinya ada perintah mutlak untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk maka perintah ini diperoleh bukan dari pengalaman tetapi telah terdapat dalam diri manusia, dan pasti berasal dari suatu Dzat yang mengetahui baik dan buruk. Dzat itu adalah Tuhan. Perbuatan baik dan buruk mengandung arti nilainilai. Nilainilai itu terdapat diluar manusia, tetapi bersumber dari Tuhan. Suatu Dzat yang lebih tinggi dari manusia, dan Dzat itu adalah Tuhan. Pendukung dari argumentasi moral ini adalah Immanuel Kant, seorang filosof Jerman hidup pada tahun 17241804 Masehi (Bakhtiar, 1997: 188192). Landasan teori dari penelitian ini adalah filsafat ketuhanan juga merupakan objek formal yakni filsafat ketuhanan, meliputi pengertian filsafat ketuhanan, dan ruang lingkup filsafat ketuhanan.
E. Metode Penelitian 1. Materi dan Bahan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif bidang filsafat. Data dikumpulkan melalui sumber kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang menggunakan bukubuku sebagai sumber data (Hadi, 1990: 9). Sifat penelitian ini adalah kualitatif. Kualitatif, berarti prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata (bisa lisan untuk penelitian sosial,
25
budaya, filsafat), catatancatatan yang berhubungan dengan makna, nilai, serta pengertian (Kaelan, 2005: 5). Objek formal penelitian ini adalah filsafat ketuhanan, sedang objek material adalah konsep pemikiran AlGhazali tentang Tuhan dan relevansinya dengan pembentukan pribadi ideal. 2. Jalan Penelitian Langkahlangkah yang akan ditempuh oleh penulis dalam melakukan penelitian menggunakan metode analisis data yang berarti suatu proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke suatu pola, kategori dan satuan dasar (Kaelan, 2005: 66), sedangkan urutan aktivitas analisis data adalah sebagai berikut: a.
Reduksi data Proses pengumpulan data berupa uraian verbal yang harus ditangkap
maknanya, dalam hal ini penulis akan menyeleksi dan menginventarisasi karya karya AlGhazali, kemudian melakukan reduksi sesuai dengan konteks objek formal penelitian yaitu filsafat ketuhanan. Proses reduksi data ini penting bagi penulis untuk mempermudah dalam mengendalikan dan mengolah data. b.
Klasifikasi data Penulis akan melakukan klasifikasi data berdasar sumbernya, yaitu data
primer dan data sekunder, karena kajian ini adalah kajian kepustakaan, maka sumber datanya adalah karyakarya yang dihasilkan oleh AlGhazali disebut dengan data utama (primer). Karyakarya dalam kategori tersebut antara lain: 1. AlGhazali, tanpa tahun, Al Munqidz Minadh Dhalal
26
2. AlGhazali, tanpa tahun, Ihya’ Ulumuddin 3. AlGhazali, tanpa tahun, Falsafah Akhlaq 4. AlGhazali, 1965, Pengantar Ilmu Tasawuf 5. AlGhazali, 1982, Timbangan Amal Menuju Kebahagiaan Akhirat 6. AlGhazali, 1984, Amar Ma’ruf Nahi Mungkar 7. AlGhazali, 1986, Kimia Kebahagiaan 8. AlGhazali, 1986, Tahafut Al Falasifah 9. AlGhazali, 1995, Raudah Taman Jiwa Kaum Sufi 10. AlGhazali, 1995, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin 11. AlGhazali, 1997, Misykat CahayaCahaya 12. AlGhazali, 1998, Al Munqidz Minadh Dhalal (Sebuah Kegelisahan Al Ghazali – Otobiografi Intelektual) 13. AlGhazali, 1999, Ibadah Perspektif Sufistik 14. AlGhazali, 2002, Benang Tipis antara Halal dan Haram 15. AlGhazali, 2006, Miskaat alAnwaar Sumber bantuan atau sekunder adalah literaturliteratur yang memuat kajian pemikiran AlGhazali, filsafat ketuhanan dan mistik Islam. Karyakarya dalam kategori tersebut antara lain: 1. Barmawie Umarie, 1966, Sistematik Tasawuf 2. Majid Fakhry, 1970, A History of Islamic Philosophy 3. Ali Mahdi Khan, 1973, The Elements of Islamic Philosophy 4. Ahmad Amin, 1977, Etika (Ilmu Akhlaq) 5. Hamka, 1978, Tasawuf Modern
27
6. Harun Nasution, 1983, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam 7. Hamzah Ya’kub, 1984, Filsafat Ketuhanan 8. Ahmad Azhar Basyir, 1984, Faham Akhlaq dalam Islam 9. Abu Al Wa’fa al Ghanimi al Taftazani, 1985, Sufi dari Zaman ke Zaman 10. A.J. Arberry, 1985, Pasang Surut Aliran Tasawuf 11. Sayyid Husein Nasr, 1985, Pasang Surut Aliran Tasawuf 12. Reynold A. Nicholson, 1986, The Mystic of Islam 13. Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986, Konsep Pendidikan AlGhazali 14. Ali Issa Othman, 1987, Manusia Menurut AlGhazali 15. Mahmud Hamdi Zaqzuq, 1987, AlGhazali Sang Sufi Sang Filosof 16. M. Abul Quasem, 1988, Etika AlGhazali Etika Majemuk di dalam Islam 17. Muhammad Yasir Nasution, 1988, Manusia Menurut AlGhazali 18. Ibrahim Madkour, 1988, Filsafat Islam Metode dan Penerapan 19. M. Amin Abdullah, 1992, The Idea of Universality of Ethical Norms in Al Ghazali and Immanuel Kant 20. Yusuf Qardhawy, 1999, Syaikh Muhammad AlGhazali yang Saya Kenal 21. Musa Asy’arie, 1999, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir 22. Louis Leahy, 2004, Filsafat Ketuhanan Kontemporer c.
Display data Tahap ini adalah proses pengolahan data dalam suatu peta yang sesuai
dengan objek formal dan tujuan penelitian, melakukan skematisasi dengan tujuan memahami masalah dan makna.
28
3. Analisis Hasil Penelitian Penelitian kualitatif ini mempunyai ciri khas senantiasa melakukan analisis dan interpretasi dalam proses pengumpulan data dan pengambilan kesimpulan. Penelitian dalam hal analisis data mengunakan dua metode yaitu verstehen dan interpretasi. Verstehen merupakan metode memahami objek penelitian melalui insight, einfuehlung serta empati dalam menangkap dan memahami makna kebudayaan, nilainilai, simbolsimbol, pemikiranpemikiran, serta perbuatan manusia yang memiliki sifat ganda (Kaelan, 2005: 72). Interpretasi artinya suatu proses menunjuk arti, yaitu mengungkapkan, menuturkan, mengatakan sesuatu yang merupakan esensi realitas (Kaelan, 2005: 76), maka digunakan satu metode lagi yaitu metode hermeneutika untuk mencari dan menemukan makna yang terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia, melalui pemahaman, interpretasi dan heuristika (Kaelan, 2005: 80). Penulis berupaya memahami secara mendalam konsep ketuhanan Al Ghazali dan relevansinya dalam pembentukan pribadi ideal serta melakukan interpretasi terhadap gagasan tersebut. Proses penelitian ini pada gilirannya menghasilkan tiga hal penting yaitu: pertama, menginventarisasi konsep pemikiran AlGhazali terutama tentang masalah ketuhanan. Kedua, berupaya memperoleh pemahaman dan kejelasan tentang konsep ketuhanan AlGhazali dalam pembentukan pribadi ideal. Ketiga, melakukan evaluasi kritis dan pengamatan terhadap konsep ketuhanan AlGhazali
29
dan relevansinya dalam pembentukan pribadi ideal sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa dan negara Indonesia. 4. Sistematika Penulisan Desertasi ini terdiri dari enam bab yang saling berkaitan satu sama lain. Keenam bab ini disusun berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I Bagian ini menguraikan latarbelakang masalah, permasalahan, rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, materi dan bahan penelitian, jalan penelitian, anlisis hasil penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Bagian ini menguraikan ruang lingkup filsafat ketuhanan, filsafat ketuhanan sebagai cabang filsafat, sejarah perkembangan pemikiran manusia tentang Tuhan, Tuhan dalam beragam perspektif, metode pendekatan terhadap Tuhan dan argumen keberadaan Tuhan. Bab III Bagian ini mendeskripsikan biografi dan karakteristik pemikiran Al Ghazali, latar belakang kehidupan AlGhazali, perjalanan intelektual AlGhazali, ciriciri pemikiran kefilsafatan AlGhazali, karyakarya pemikiran AlGhazali, ajaranajaran kaum sufi dan aliran Asy’ariyah yang memengaruhi pemikiran Al Ghazali.
30
Bab IV Bagian ini menguraikan pandangan AlGhazali tentang Tuhan dan hubungannya dalam pembentukan pribadi ideal, asal mula pengetahuan tentang Tuhan menurut AlGhazali, Tuhan hakikat segala cahaya, pengetahuan diri sebagai arah menuju Tuhan, hati merupakan salah satu sarana mengenal Tuhan, manusia ideal: kesempurnaan makrifat dan cinta Tuhan, evaluasi kritis terhadap konsep ketuhanan AlGhazali. Bab V Bagian ini menguraikan relevansi pemikiran ketuhanan AlGhazali dalam konteks Indonesia, relevansi pemikiran kefilsafatan AlGhazali dalam konteks ke Indonesiaan, konsep ketuhanan AlGhazali dengan filsafat ketuhanan Pancasila, korelasi beberapa pemikiran kefilsafatan AlGhazali dengan kepribadian bangsa Indonesia. Bab VI Bagian ini merupakan akhir dari penulisan disertasi berisi penutup, terdiri atas kesimpulan dan saran.