BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang paling sempurna karena manusia memiliki akal pikiran. Dari keistimewaan diantara makhluk Tuhan lainnya inilah manusia juga bisa bertukar pikiran dengan manusia lainnya sehingga muncullah kebutuhan untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Mac Iver dan Charles H.Page (Soekanto, 1975: 96) mengenai kebutuhan manusia untuk membentuk sebuah kesatuan kecil atau kelompok sehingga terjadi hubungan timbal balik diantara manusia tersebut untuk saling memberikan pengaruh dan berkesadaran untuk saling tolong menolong. Setelah adanya rasa saling membutuhkan untuk berkolompok diantara manusia tersebut timbul lagi keinginan untuk mencapai sebuah tujuan bersama-sama dengan kelompok. Beberapa rangkaian sistem seperti yang dikatakan oleh Hodge dan Anthony memberi gambaran terperinci mengenai pembentukan organisasi sebagai cara untuk mencapai tujuan dalam sebuah kelompok tertentu. System of cooperation us made up of several parts: the human element, the physical element, the work element, and the coordination element (Hodge dan Anthony, 1988: 7).
1
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh suatu organisasi, ada baiknya untuk melihat apa yang menjadi motif terbentuknya sebuah organisasi. Motif dari pembentukan organisasi tersebut bisa berasal dari kesamaan hobi atau kegemaran dari masing-masing pembentuk organisasi. Dari berbagai kegemaran seperti menulis, melukis, memasak, atau kegemaran berkesenian lainnya, ada salah satu kegemaran yaitu musik. Kegemaran musik di masyarakat kita saja jika dijabarkan bisa bercabang dalam berbagai bentuk organisasi, salah satunya organisasi marching band. Marching band adalah satuan musik lapangan yang dimainkan secara berbaris oleh para pemainnya. Mereka terdiri dari kelompok perkusi sebagai penunjang derap dan pemain alat musik tiup sebagai penunjang melodi. Pada awalnya marching band adalah bentuk dari band militer yang terdiri dari para pemuda eks perang dunia kedua untuk membakar semangat para veteran perang yang dipertunjukkan dalam pawai – pawai militer. Di Indonesia, band militer terbentuk karena interaksi kultural bangsa pribumi dengan penjajah barat yang dibawa oleh penjajah Belanda. Para pemain dalam korps musik tersebut adalah para abdi dalem kraton (Kirnadi 2004 : 43). Seiring perkembangannya, marching band di masa kini alat – alat yang dimainkan menjadi lebih beragam jenisnya. Berbagai alat musik dimainkan seperti alat tiup brass (trumpet, mellophone, baritone, euphonium, tuba, dll) alat pukul/perkusi baik yang bernada beserta assesorisnya (marimba, vibraphone, timpani, dll) atau yang ritmis (snare, bass drum, dll), dan color guard yaitu penari yang memainkan flag,
2
sabre, riffle, dll. Terdapat pula yayasan Grand Prix Marhing Band yang hingga sekarang masih juga mempertahankan eksistensinya dengan mengedepankan aspek keindahan seni yang dipadu dengan olah tubuh (dalam kegiatan display, yaitu kegiatan drill/berbaris membentuk formasi sambil memainkan alat musik), sehingga marching band merupakan perpaduan antara kesenian dan olahraga. Sebuah unit marching band memiliki struktur organisasi sebagai pakem untuk menjalankan prosesnya. Seluruh tatanan dalam organisasi unit marching band ini biasanya disebut dengan AD/ART (anggaran dasar / anggaran rumah tangga). Selain peraturan tertulis terdapat pula tatanan yang tidak tertulis yang berlaku dalam budaya organisasi unit – unit ini. Tatanan tak tertulis inilah yang nantinya mampu menggiring perasaan esprit de corps / semangat korsa ( Kirnadi, 2004 : 40), atau yang dikenal dengan we-feeling dalam terminologi sosiologis, diantara anggota unit marching band. Rasa saling memiliki dan kebersaman di antara anggota unit dianggap sangat penting untuk menumbuhkan semangat dalam mencapai tujuan. Mengingat marching band adalah organisasi yang terdiri dari banyak individu, baik dari kalangan alumni hingga yang masih aktif, dibutuhkan sebuah instrumen untuk berkomunikasi. Informasi mengenai perkembangan unit menjad hal yang penting yang harus disampiakan ke semua anggota organisasi. Dalam era globalisasi ini di mana informasi menjadi hal yang penting dibutuhkan sesuatu yang mampu menyebarkan hal tersebut secara cepat dan tepat tanpa terhalang oleh batasan jarak, ruang, dan waktu. Salah satu kemajuan termutakhir dalam teknologi ialah dalam
3
teknologi komunikasi yang mampu menciptakan sebuah konsep dan ruang baru yaitu ruang virtual atau cyberspace. Dalam era globalisasi dewasa ini, kecanggihan akan teknologi komunikasi semakin pesat terlebih dengan adanya peran media sebagai pemain kunci dalam sirkulasi informasi (Shield, 2011 : 199) sehingga terbentuklah invisible road yang menghubungkan setiap individu untuk melakukan interaksi sosial layaknya dengan kabel yang terhubung dari rumah ke rumah (Jan van Dijk, 2006 : 1). Kemajuan inipun memiliki dampak yang signifikan dalam proses kehidupan masyarakat salah satunya di bidang teknologi komunikasi yang mampu menyediakan ruang baru berupa ruang simulasi sosial. Social media sebagai salah satu wujud konkret dari kemajuan teknologi komunikasi karena mampu memfasilitasi komunikasi secara real time dan tanpa batas. Penggunaan social media diharapkan memberikan manfaat dan kemudahan untuk penggunaannya. Ketika social media belum populer di kalangan anggota marching band, mereka sering menuliskan ‘unek-unek’nya melalui Buset dan Buaya. Kedua buku tersebut memang disediakan untuk hal itu, untuk Buset (buku chatting, lalu ‘diplesetkan’ namanya dari chatting menjadi seting dan akhirnya jadilah buku seting atau buset) ditaruh di ruang sekretariat yang ada di gelanggang mahasiswa dan Buaya (buku purna budaya) ditaruh di tempat latihan yaitu di purna budaya. Setelah social media populer, mereka bisa menuliskannya sendiri – sendiri, bahkan sambil ‘leyeh – leyeh’ di depan laptop, smartphone, maupun tablet masing – masing, tidak seperti buset yang harus bergantian mengisinya dan harus berada di tempat sesuai
4
dengan buku tersebut ditempatkan. Namun yang terjadi adalah beberapa hal yang menurut sebagian pihak mampu menggeser nilai-nilai bahkan budaya yang telah ada dalam organisasi sehingga menimbulkan masalah baru, terutama dalam organisasi marching band yang dikenal dengan semangat kebersamaan yang kental. Budaya yang telah diturun-temurunkan oleh senior sebelumnya harus terus dilestarikan eksistensinya karena bisa dipastikan nilai-nilai senioritas masih sangat dijunjung tinggi sehingga ketika terjadi wacana perubahan sedikit saja mereka (para senior) langsung bereaksi. Masalah yang timbul tidak saja hanya dari senior namun juga dari para junior yang masih bertahan untuk menjalankan roda unit secara langsung dan berperan untuk meng-counter sikap interventif senior. Distribusi kekuasaan, pembentukan opini, hingga intrik – intrik yang biasa terjadi di panggung sandiwara pun bisa terjadi di dalam suatu organisasi karena adanya penggunaan social media. Masalah tersebut bukan hanya menjadi masalah di dunia virtual itu sendiri karena memang masyarakat terdapat pada dimensi nyata. Dua dimensi yang saling berhubungan tersebut menciptakan suatu ketergantungan baru dalam dunia virtual (Sassen, 1998: 177).
5
1.2 Rumusan Masalah 1. Faktor apa yang mempengaruhi kecenderungan penggunaan twitter di kalangan anggota Marching Band UGM? 2. Bagaimana efek dari penggunaan twitter terhadap perilaku berorganisasi anggota Marching Band UGM?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui seberapa jauh pengaruh interaksi sosial di social media terhadap interksi di dunia nyata 2. Memberi kontribusi terhadap studi tentang masyarakat jejaring dalam kajian sosiologi organisasi 3. Mengetahui perubahan dinamika yang terjadi ketika dikorelasikan dengan intensitas penggunaan social media
1.4 Kerangka Teori 1.4.1 Budaya Organisasi Menurut B.J. Hodge dan William P. Anthony dalam bukunya yang berjudul Organization Theory, budaya organisasi dapat terbentuk dari berbagai aspek yaitu
6
nilai, kepercayaan, asumsi, makna, dan harapan yang nantinya mendasari atau membimbing anggota pada perilaku angota dan pengambilan keputusan. Budaya organisasi dapat dimanifestasikan dari beberapa hal penanda yang menjadi kebiasaan dari organisasi tersebut. Bisa berupa upacara, simbol, slogan, bahasa, mitos/cerita, dan lingkungan fisik organisasi. Kesemua hal tersebut memiliki sebuah esensi bagi mereka para anggota organisasi salah satunya bahwa dengan masih adanya kegiatan atau wujud nyata dari menifestasi organisasi maka organisasi tersebut bisa mempertahankan eksistensinya. Menifestasi dan nilai-nilai yang ada dalam organisasi selalu diberikan turun-temurun dari mereka yang lebih tua kepada mereka yang lebih muda. Ketika seseorang sudah berkomitmen untuk masuk ke dalam lingkungan organisasi tersebut maka ia berkewajiban untuk menjaga komitmennya dengan cara bersikap sesuai apa yang menjadi pakem di organisasinya dan bersedia untuk melestarikan nilai-nilai yang sudah ada di organisasinya. Penetrasi nilai budaya organisasi tersebut kepada anggota baru ditujukan untuk mengikat mereka secara emosi dan personal sehingga mereka juga bisa memberikan suatu kontribusi dengan berbagai macam hal. Dengan adanya regenerasi anggota maka organisasi tersebut pun mengerti bagaimana caranya untuk tetap bertahan dan melanjutkan eksistensi organisasi tersebut. Dalam teori ini dijelaskan mengenai seberapa tebal atau tipisnya keterlekatan aspek-aspek budaya terhadap kepribadian dan jiwa dari para anggotanya. Ketika penetrasi budaya organisasi tersebut tersebar secara luas dan mempengaruhi setiap
7
perilaku seluruh anggota organisasi dan menjadi maka budaya organisasi dalam kelompok organisasi tersebut dinyatakan ‘thick’ atau tebal. Sebaliknya jika budaya organisasi tersebut dinyatakan ‘thin’ atau tipis maka budaya tersebut tidak menjadi sentral atau inti utama dari seluruh aktvitas para anggotanya. Maka dari itu setiap organisasi harus memiliki suatu strategi tersendiri untuk eksistensi dari organisasinya tersebut karena dimungkinkan adanya perubahan budaya organisasi dan pengabaian budaya organisasi. Perubahan tersebut bisa berupa bottom-up atau top-down dengan seorang reformer yang mungkin saja lebih demokratis dari sebelumnya atau apapun, hal tersebut semata-mata yang menjadi pikirannya untuk membuat organisasi memiliki budaya yang lebih baik lagi. Karena perubahan tidak hanya menuju ke arah yang baik maka perubahan dalam budaya organisasi bisa saja ke arah yang lebih buruk dari sebelumnya. Hodge dan Anthony juga menyebutkan kekuasaan (power), wewenang (authority), dan konflik dalam indikatornya sebagai pembentuk budaya organisasi. Masing – masing memiliki peran yang kuat dalam pembentukan buaday organisasi dan teori ini dianggap memiliki keterkaitan yang kuat dengan apa yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini yaitu penitikberatan budaya organisasi yang dilihat dari perilaku anggota dalam berorganisasi sebagai aktor pembangun dari budaya organisasi. 1.4.2 Masyarakat Jejaring (Network Society) Perubahan era masyarakat industri ke era informasi pun turut mengubah kepentigan serta kebutuhan manusia. Revolusi industri menjadi awalan menguatnya
8
kekuatan jaringan karena revolusi industrilah yang menjadi tonggak awal modernisasi di barat dan hal tersebut semakin merangsang ilmuwan untuk menciptakan berbagai peralatan industri, komunikasi, dll menjadi alat yang lebih canggih. Network society atau masyarakat jejaring adalah suatu bentuk rangkaian dari nodes yang terhubung oleh codes. Jika diilustrasikan nodes itu berupa titik yang merepresentasikan individu atau kelompok dengan suatu kepentingan tertentu, sedangkan codes adalah semacam garis yang mengubungkan titik – titik atau nodes tersebut di mana codes merepresentasikan kontribusi dan nilai guna dari setiap nodes tersebut. Codes bisa juga diartikan sebagai jalan untuk pesan antar nodes didistribusikan. Dalam suatu masyarakat jejaring terdapat aktor maupun kelompok yang disebut sebagai include dan exclude. Include adalah mereka yang berada dalam jejaring, yang saling memiliki kepentingan satu sama lain, saling membutuhkan, dan saling memberi kontribusi. Sedangkan exclude adalah mereka yang berada di luar suatu jejaring sosial tertentu, atau bahkan masih berada dalam jejaring tersebut tapi mereka sebenarnya di luar jejaring tersebut. Hal ini terjadi di unit marching band yang sedang diteliti di mana setiap kelompok seperti player, pengurus harian, bahkan alumni memiliki masing – masing jejaring. Jejaring besar tersebut, yang bernama unit marching band, bahkan memiliki jaringan – jaringan kecil yang masing – masing memiliki ketertarikan masing – masing dengan predikat include atau exclude masing – masing. Taruhlah pengurus harian, player, dan alumni sebagai beberapa nodes yang
9
terhubung dengan codes. Pengurus harian jelas berada dalam posisi include karena selain mereka berada dalam naungan sebuah institusi mereka juga berlaku sebagai programmer. Sedangkan player bisa berlaku sebagai include dan exclude, include di mana mereka menjalankan program sesuai dengan ‘mandat’ programmer. Di sini bukan semata – mata hubungan vertikal mengenai elite dan rakyat, namun mereka berada dalam posisi saling membutuhkan dan masyarakat jejaring sosial pada dasarnya memiliki landasan yang kuat mengenai hubungan yang horizontal. Player ingin untuk mengaktualisasikan hobi dan keinginan mereka untuk berlatih secara maksimal, maksimal di sini dengan fasilitas yang memadahi. Pengurus harian pun demikian, ketika mereka sudah ‘mengetok palu’ untuk target tertentu maka mereka pun harus konsisten untuk mewujudkannya salah satunya dengan menjadi supporting system dengan memfasilitasi player secara layak selain menuntut player untuk maksimal. Meskipun player secara struktural organisasi berada di bawah pegurus harian dan masih terdapat dalam include area namun tidak menutup kemungkinan beberapa orang player untuk berada dalam wilayah exclude. Mereka bisa berada di wilayah itu ketika melakukan hal – hal yang kontra terhadap kebijakan pengurus harian. Masih ada satu nodes lagi yaitu alumni, interest dan peran alumni di sini menjadi kabur penempatannya diantara exclude atau include. Peran alumni menjadi bersifat kondisional karena disebabkan alumni di sini bisa dimungkinkan lebih bebas dalam menyuarakan pendapatnya karena label ‘senior’ yang melekat pada alumni, namun dengan masih adanya esprit de corps atau dalam terminologi sosiologisnya disebut we – feeling. Sering dalam beberapa kesempatan ketika pengurus harian 10
berhubungan dengan alumni untuk menanyakan alternative solusi masalah tertentu alumni yang satu menyuarakan dukungan terhadap pengurus harian namun alumni yanglain bersifat kontra. Mengenai perihal include dan exclude ini ada satu hal yang patut menjadi hal penting karena menurut Manuel Castells tidak selalu include yang memiliki power namun exclude pun juga memiliki potensi yang demikian. Bukan tidak mungkin pula untuk suatu kepentingan tertentu mereka yang berada di wilayah exclude diminta masuk ke wilayah jejaring include atau ke wilayah jejaring include lain. Sifat mudah keluar masuknya exclude dalam masyarakat jejaring ini terdapat dalam 3 prinsip masyarakat jejaring sosial yaitu flexibility, scalability, dan survivability. Flexibility seperti yang dijelaskan dalam alinea sebelumnya bahwa nodes memiliki kemampuan untuk menembus kekolotan suatu struktur organisasi tertentu. Scalability adalah kemampuan jejaring tersebut untuk memperbesar skala jaringan. Dalam marching band ini biasanya mereka berjejaring tidak hanya dengan orang – orang marching band saja namun dengan pemerintah, organisasi, perusahaan, bank, dll untuk menunjang pihak sponsor. Sedang survivability yaitu kemampuan jejaring untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dari adanya flexibility misalnya nodes baru yang berasal dari player yang kontra dengan kebijakan pengurus harian atau exclude memasuki jejaring include yaitu sebagai staf pengurus harian dalam salah satu bidang yaitu bidang sumber daya manusia. Jaringan include memiliki
11
kemampuan untuk menarik exclude dan memasukkan ideologi yang tertanan di include tersebut untuk suatu kepentingan tertentu. 1.4.3 Kekuatan Komunikasi (Communication Power) Sebagai lanjutan dalam pembahasan masyarakat jejaring, power juga tentunya terdapat dalam alur jejaring antar mesyarakat tersebut. Manuel Castell menyatakan bahwa power dalam masyarakat jejaring adalah komunikasi. Power atau kekuatan merupakan suatu landasan utama dalam masyarakat bahkan saat pertama kali masyarakat tersebut terinstitusi, misalnya berada dalam struktur organisasi kepemimpinan atau kepengurusan. Lebih lanjut karena dalam hubungan kekuasaan dibingkai dominasi yang lekat pada institusi. Sebenarnya tidak semua dominasi lekat kaitannya dengan institusi, mereka yang berada di area exclude juga mampu untuk menghimpun dan mendominasi suatu jaringan tertentu atau bahkan malah menguasai include seperti yang dicontohkan secara umum di bagian teori network society. Di terminologi teori ini dikenal dengan adanya programmer (include) dengan pasangan switcher (exclude) yang memiliki kemugkinan sebagai pemegang power dengan pasangannya penghalau power. Dalam unit marching band hal ini terjadi ketika ada seorang player yang exclude karena kontra terhadap kebijakan unit. Sebenarnya hal ini akan menjadi biasa saja ketika kelompok exclude tersebut mendiskusikan hal ini dengan pengurus harian, namun hal
12
ini menjadi berefek massive dan berkepanjangan karena keluhan terse but di-posting via twitter. Manuel Castells membagi tiga bentuk dari liberasi komunikasi yaitu komunikasi interpersonal, mass communication, dan mass self-communication. Komunikasi interpersonal adaah tipe komunikasi yang bersifat interaktif, langsung mendapat balasan dari lawan bicara, dan biasanya terjadi secara langsung. Komunikasi massa (mass communication) memiliki contoh seperti televisi, radio, surat kabar dan segala bentuk mass media lainnya yang menyampaikan informasi secara searah kepada audience. Meski begitu audience juga bisa memberi feedback kepada media massa namun tidak secara direct dalam beberapa contoh media tertentu seperti majalah, surat kabar, dan beberapa jenis lain dari media cetak. Sebelumnya televisi, radio, dll belum bisa secara cepat menerima feedback dari audience. Kemajuan teknologi dengan semakin majunya terknologi wireless atau nirkabel beserta software yang mendukung terjadinya bentuk komunikasi yang lebih mutakhir lagi hingga inilah yang disebut mass self-communication. Menurut Cardoso (2006) dan Rice (2008) dengan adanya bentuk dari mass self-communication ini batas antara media massa dan komunikasi bentuk lain menjadi kabur. Youtube pun dikenal sebagai the largest mass self-communication dan yang kedua adalah MySpace. Dua raksasa mass self-communication tersebut adalah bentuk dari media jejaring sosial, yang tentu saja menyertakan twitter dan facebook di dalamnya. Hal ini sama seperti yang terjadi di unit marching band. Ketika twitter dan facebook belum masuk dan
13
popular di kalangan anggota marching band, mereka sering menuliskan ‘unekunek’nya lewat Buset dan Buaya. Kedua buku tersebut memang disediakan untuk hal itu, untuk Buset ditaruh di ruang sekretariat dan Buaya ditaruh di tempat latihan yaitu di purna budaya. Menurut alumni, dulu kedua buku itu bisa habis kurang dari satu tahun, sedangkan hingga hari ini bahkan, kedua buku tersebut masih awet sejak tahun 2010. Perubahan perilaku anggota unit ini dipengaruhi dengan adanya transformasi dari mass self-communication tersebut. Ketika menggunakan media jejaring mereka bisa menuliskannya sendiri – sendiri, bahkan sambil ‘leyeh – leyeh’, di depan laptop, smartphone, maupun tablet masing – masing, tidak seperti buset yang harus bergantian mengisinya dan harus berada di tempat sesuai dengan buku tersebut ditempatkan. Posting – posting inilah yang menunjukkan image mereka dan seperti apa jejaring mereka. Menurut Manuel Castells pembentukan image lewat mass selfcommunication mewadahi aktor sehingga memiliki power untuk meyakinkan publik. Power tersebut bersifat asimetris atau timbal balik dengan cara mampu membuat seseorang dalam hal decision making; nilai – nilai yang memberayakan keinginan, ketertarikan, dan mengkontruksi makna dari tindakan yang menjadi pedoman dalam masyarakat itu karena dalam hubungan kekuasaan selalu ada derajat yang lebih tinggi yang mempengaruhi. Dalam hal inilah terlihat dan terpetakan jejaring tersebut mengenai programmer dan switcher. Programmer dan switcher merupakan lanjutan dari include dan exclude dari teori masyarakat jejaring. Programmer biasanya bersifat
14
institusional yang terdapat include networtk. Mereka yang terdapat dalam area ini ialah pengurus harian. Informasi yang mereka share lewat media sosial, yang sudah menjadi media organisasi, ialah fokus pada bagaimana memberikan pengaruh, memperluas, dan memperdalam pemahaman audience. Share tersebut dapat dicontohkan seperti kata – kata semangat, motivasi, mengingatkan jam latihan, dll. Dengan power sebagai pengurus harian mereka bisa dikatakan menguasai jaringan player dan alumni. Switcher di sini ialah juga sebagai lanjutan dari exclude dari teori mayarakat jejaring sosial. Berbeda dengan ke-institusionalia-annya programmer, switcher di sini bersifat ke agen. Seperti yang telah dijabarkan di teori sebelumnya bahwa switcher yang kontra dengan keputusan pengurus programmer dengan kemampuan kounikasi dan jejaring yang baik ia akan memiliki jaringan baru untuk menghalau kekuatan dari jaringan. Switcher di sini pun yang seharusnya berada dalam program include ternyata juga exclude. Selain itu programmer juga memiliki kemampuan counter power dari switcher tersebut. Dengan menghipun jejaring counter-power dari power programmer, jejaring pengurus harian mencoba untuk megcounter power dari switcher tersebut. Peran alumni di sini pun seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa bisa terbagi antara pihak programmer ataupun ia berada di pihak switcher. Dalam hal ini pun media jejaring sosial juga menunjukkan fungsinya sebagai media propaganda dan media kontrol.
15
1.5 Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa pustaka maupun hasil penelitian mengenai budaya organisasi dan social media, salah satunya ialah hasil tulisan dari Dawn R. Gilpin mengenai pembentukan identitas professional melalui situs mikroblogging seperti twitter. Dalam kumpulan jurnal yang diedit oleh Zizi Papacharissi ini Gilpin membicarakan mengenai bagaimana individu bahkan suatu kelompok membentuk citra lewat kicauannya di twitter. Konstruksi identitas biasanya dilakukan oleh individu untuk menciptakan suatu citra diri dan biasanya merujuk pada suatu kepentingan tertentu. Hal tersebut mampu diakomodir oleh social media dengan baik. dalam buku inipun dijelaskan mengenai konstruksi identitas suatu organisasi untuk menunjang kebutuhan berjejaring bagi sesama anggota organisasi. Twitter sebagai social media yang hanya menyediakan 140 karakter mampu membuat memancing berbagai asumsi dan ide mengenai keterbatasan informasi yang nantinya berkembang pada arah informasi yang tidak terbatas mengenai citra dan identitas yang sengaja dikonstruksikan oleh si pemilik akun. Selain itu terdapat pula adanya simbol emotikon yang menjadi daya pancingan yang semakin kuat akan daya interpretasi si pembaca tweet sehingga terkonstruksilah sebuah identitas. Jurnal lain yang berhubungan dengan tema skripsi ini berjudul Emotion and Organizing (emosi dan mengorganisir) oleh Stephen Fineman. Perasaan menjadi salah satu hal penting dalam kehidupan orang yang menjalin hubungan mengenai makna dan pembentukan proses kognitif (Barry 1999, Forgas 2000, Isen 2000).
16
Setiap tulisan dalam twitter mencerminkan peilaku dan emosi dari si pemilik akun, bahkan interpretasi tentang emosi tidak bisa hanya disimpulkan satu emosi saja namun berbagai macam emosi, misal :) yang biasanya tanda tersebut menjadi simbol senyum namun ketika diikuti tulisan tertentu bisa saja makna dari simbol senyum tersebut bukan berarti senyum, bisa saja menyindir, sinis, sedih tapi tetap tersenyum, dsb. Skripsi Prilo Sekundari dengan judul Kaskus dan Politisasi (Studi semiotik atas komunitas virtual kaskus) yang membicarakan mengenai ruang simulasi sosial oleh Yasraf Amir Piliang. Ia membagi tingkatan pengaruh menjadi tiga yaitu individu, antar individu, dan kelompok. Pada tingkat individu dunia virtual menciptakan perubahan mendasar mengenai pemahaman konsep identitas karena orang tersebut bisa menjadi siapapun di dunia maya (dua idenitas atau lebih). Pada tingkat antar individu komunikasi di dalam dunia virtual telah menciptakan relasi sosial di dalamnya pula sehingga menciptakan pemahaman bahwa tidak perlu ruang nyata untuk proses interaksi sosial. Pada tingkat komunitas ruang virtual, hal ini diimajinasikan menjadi model komunitas yang demokratik karena siapa saja bisa mengontrol, memimpin, dan mengutarakan pendapat secara bebas kepada siapapun yang mungkin di dunia nyata ia tidak mampu untuk melakukannya karena alasan struktur jabatan atau semacamnya.
17
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah sebuah metode penelitian di mana menggunakan narasi untuk menjelaskan kompleksitas yang dimiliki oleh objek peneilitian. Pendekatan yang digunakan dalam metode penelitian kualitatif ini adalah pendekatan deskriptif yang mengacu pada identifkasi sifat – sifat yang menandakan karakteristik sekelompok manusia, benda, dan peristiwa. Pendekatan deskriptif dianggap mampu memberikan gambaran secara menyeluruh terhadap objek yang diteliti mengenai studi khusus dalam setting sosial karena terdapat suatu hal yang disebut imponderabilia yaitu hal – hal yang kelihtannya tidak penting nampun tenyata sangat berperan (Silalahi, 2009 : 27) sehingga hasil dari penelitian mampu memberikan penjelasan beserta penjabaran yang lengkap dan jelas. Dalam melaksanakan penelitian ini, peneliti juga melakukan pendekatan reflektif deskriptif yang dianggap mampu membuat peneliti melihat secara kritis dan lebih dalam mengenai berbagai hal yang terjadi di organisasi ini. Pada saat – saat tertentu, peneliti juga ingin mengambil jarak dengan organisasi yang diteliti mengingat onjektivitas yang dibutuhkan dalam sebuah penelitian. 1.6.1 Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah di daerah Yogyakarta dengan objek penelitian Marching Band Universitas Gadjah Mada. Meskipun terdapat marching band mahasiswa lain peneliti lebih memilih untuk meneliti Marching Band
18
Universitas Gadjah Mada karena setelah dilakukan survey secara informal terhadap teman – teman peneliti di masing – masing marching band, Marching Band Universitas Gadjah Mada memiliki fenomena yang sangat representaif dan mendukung penulisan skripsi ini. Peneliti juga pernah aktif di organisasi tersebut sehingga memudahkan untuk akses pencarian data. Lokasi penelitian juga terjadi di dunia maya tempat di mana berbagai macam tweet dibuat oleh para pemilik akunnya. 1.6.2 Informan Informan untuk penelitian ini diambil beberapa dari mereka yang berada dalam posisi tertentu seperti player. Player sendiri terdiri dari tiga kategori yaitu Anggota Utama, anggota terbatas, dan anggota istimewa. Anggota utama adalah mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang telah resmi dilantik oleh pengurus harian Marching Band UGM dan memiliki hak beserta kewajiban sebagai anggota Marching Band UGM. Kewajiban anggota utama ialah membayar kas setiap bulan, datang memenuhi kuota dalam sidang tahunan unit, dll. sedangkan hak anggota utama ialah memberikan suara di sidang tahunan unit. Anggota terbatas ialah mahasiswa UGM yang biasanya berpartisipasi dalam kegiatan Marching Band UGM namun belum resmi dilantik oleh Marching Band UGM sehingga tidak memiliki hak dan kewajiban seperti yang dimiliki AU meskipun sama – sama mahasiswa UGM. Dari segi hak dan kewajiban untuk anggota istimewa sama dengan anggota terbatas, namun anggota istimewa bukan mahasiswa UGM. Anggota istimewa biasanya datang dari unit marching band lain atau bahkan ia adalah seorang freelancer.
19
Pengambilan data tidak semata – mata dari semua orang tersebut. Dengan menggunakan metode purposive sampling, maka informan dapat diposisikan sebagai yang subyek yang mengetahui secara pasti tentang informasi yang ingin digali lebih dalam. Pembatasan jumlah dari masing - masing informan berlaku pada siapa saja mereka yang terdapat dalam elemen anggota tersebut terdiri dari mantan pelatih, mantan pengurus harian, dan player aktif yang saat inipun secara aktif menggunakan twitter. 1.6.3 Jenis dan Sumber Data Adapun yang menjadi kebutuhan data dalam penelitian ini adalan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh pertama kali secara langsung dengan cara dicatat maupun diamati dari sumbernya (Marzuki, 1997: 55). Perolehan data primer ini berasal dari para informan dari masing – masing golongan (player, pengurus harian, dewan penasehat). Sedangkan untuk data sekunder yang merupakan data yang telah ada sebelumnya juga dibutuhkan dalam penelitian ini. Data sekunder didapatkan dari internet khususnya social media twitter. Data dari twitter tersebut nantinya berupa gambar yang berbentuk potongan – potongan tweet yang di-capture dari twitter. Hal ini diharapkan mampu memberikan gambaran secara jelas dan nyata mengenai alur terjadinya berbagai macam interaksi sehingga tidak akan bias dalam pemahaman dan penginterpretasian.
20
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan guna melengkapi penelitian ini dikumpulkan melalui beberapa teknik. Pertama adalah teknik observasi dengan berpartisipasi secara langsung atau participant observatory di dalam komunitas yang diteliti. Selain mendapatkan data yang lengkap, terperinci, bahkan mungkin sampai pada data di ranah yang privat, hal ini dianggap mampu membuat peneliti menjadi lebih bijak untuk menempatkan situasi ketika di dalam atau di luar komunitas tersebut dengan berganti peran sesuai kebutuhan. Wawancara adalah salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi yaitu kontak maupun hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan narasumber (responden), wawancara dilakukan untuk mengetahui dan menggali hal lain yang tidak kasat mata oleh obeservasi seperti keyakinan, perasaan, dan cita -cita (Adi, 2004:72). Sering diartikan ketika berada dalam ranah observasi peneliti mampu memikirkan banyak kemungkinan jawaban dari pertanyaan di rumusan masalahnya atau sering disebut berhipotesis, sehingga dalam kegiatan wawancara in-depth (mendalam) sembari mencari data peneliti juga melakukan kroscek atas hipotesisnya dalam obeservasi. Dokumentasi data juga menjadi salah satu teknik untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini. Data ini dapat berupa foto kegiatan unit Marching Band UGM,
21
poster kegiatan, juga data yang hasil printscreen dari twitter sebagai bukti mengenai pengaruhnya dalam kehidupan berorganisasi di Marching Band UGM 1.6.5 Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data secara interaktif yaitu dengan mengatur dan menghubungkan tiga proses dalam analisisnya. Proses yang pertama adalah reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan (Hubberman and Milles, 1994: 428). Reduksi data ialah suatu proses di mana peneliti menuliskan seluruh hasi data yang diperoleh dari obeservasi, wawancara, bahkan data sekunder. Setelah semua data tertuliskan maka dilakukan penyortiran data sesuai dengan apa yang ada di dalam rumusan masalah; dalam hal ini akan disortir hasil wawancara dengan informan, hasil pengamatan atau observasi di lapangan beserta hasil print-screen dari akun twitter tersebut akan disortir. Selanjutnya adalah proses penyajian data di mana semua data yang telah disortir secara terorganisir ditampilkan. Untuk tahap kesimpulan adalah setelah data ditampilkan maka terjadi suatu interpretasi oleh peneliti sehingga rumusan masalah beserta hipotesis dapat terjawab dan serta teranalisis secara terperinci dan mendalam. Dalam proses analisisnya penelitian ini akan melihat faktor apa saja yang mengakomodir masyarakat untuk berjejaring hingga sebagaimana kuatkah ia dalam jaringan tersebut. Teori budaya organisasi dari Hodge dan William P. Anthony dan teori Manuel Castells tentang masyarakat jejaring dan kekuatan komunikasi yang menjadi alat analisis terhadap social media dengan setting unit Marching Band Universitas Gadjah Mada.
22