BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Depkes RI, 2009). Setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan yang artinya harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat. Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2025 adalah meningkatnya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI, 2009). Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kemampuan dan kualitas sumberdaya manusianya. Ukuran kualitas sumberdaya manusia dapat dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat antara lain dapat dilihat pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat (Depkes RI, 2009). Indeks ini mengukur pencapaian rata-rata sebuah
1 Universitas Sumatera Utara
negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia yaitu : 1) Derajat Kesehatan; 2) Pendidikan; dan 3) Ekonomi (Depkes RI, 2009). Menurut laporan penelitian yang dirilis oleh United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2013, nilai IPM Indonesia pada tahun 2012 meningkat dari 0,624 di tahun 2011 menjadi 0,629. Sehingga menjadikan Indonesia naik tiga posisi ke peringkat 121 dari 187 Negara. Menduduki peringkat yang sama dengan Indonesia adalah Afrika Selatan dan Kiribati. Meski naik tiga peringkat, IPM Indonesia masih di bawah rata-rata dunia 0,694 atau regional 0,683 (VoA, 2013). Indonesia dikategorikan sebagai “Negara Pembangunan Menengah” bersama 45 negara lainnya. Peringkat Indonesia masih jauh di bawah beberapa negara anggota ASEAN. Singapura memiliki IPM tertinggi di antara negara-negara ASEAN dengan 0,895 dan peringkat 18 di seluruh dunia. Brunei memiliki IPM 0,855 dan berada di peringkat 30, sementara Malaysia memiliki IPM 0,769 dengan peringkat 64. Thailand dan Filipina masing-masing ada di peringkat 103 dan 114, dengan IPM 0,690 dan 0,654 (VoA, 2013) Salah satu penentu kualitas sumber daya manusia adalah gizi. Pangan sebagai sumber zat gizi menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Karena begitu penting peranannya, pangan dan gizi dapat dianggap sebagai kebutuhan dan modal dasar pembangunan serta memberikan kontribusi dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas (UNICEF, 2012). Namun demikian, dunia masih menghadapi masalah gizi yang cukup kompleks, di saat penuntasan gizi buruk dan gizi kurang belum selesai, dunia 2 Universitas Sumatera Utara
dihadapkan dengan masalah gizi baru yaitu obesitas. Masalah gizi yang terjadi merupakan masalah multidimensi yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti faktor ekonomi, pendidikan, sosial budaya, pertanian dan kesehatan. Masalah gizi merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat. Masalah gizi secara garis besar disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung yang mempengaruhi status gizi adalah asupan makanan (energi dan protein) dan penyakit penyerta. Sedangkan faktor tidak langsung adalah tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pola asuh, sosial budaya, ketersediaan pangan, pelayanan kesehatan dan faktor lingkungan (Depkes RI, 2007). Masalah gizi pada hakikatnya menjadi masalah kesehatan masyarakat namun, penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor yang terkait. Masalah gizi tidak lagi semata-mata masalah kesehatan tetapi juga masalah kemiskinan, pemerataan, dan masalah kesempatan kerja (Supariasa, 2002). Untuk menghadapi masalah gizi ini perlu adanya upaya perbaikan gizi yang dilaksanakan secara lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya (Depkes RI, 2007). Pada hakikatnya masalah gizi dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat. Intervensi kegiatan untuk mengatasi masalah tersebut 3 Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan melalui pelayanan yang berkelanjutan pada periode kesempatan emas kehidupan, yaitu sejak janin dalam kandungan dan bayi baru lahir sampai berumur 2 tahun (Bappenas, 2010). Menurut hasil UNICEF-WHO (2012), diperkirakan terdapat 101 juta anak dibawah usia lima tahun di seluruh dunia mengalami masalah berat badan kurang, menurun dibandingkan dengan perkiraan sebanyak 159 juta pada tahun 1990. Meskipun prevalensi berat badan kurang pada anak usia dibawah lima tahun mengalami penurunan sejak tahun 1990, rata-rata kemajuan kurang berarti dengan jutaan anak masih termasuk dalam kategori beresiko. Pada periode tahun 1996-2005 kekurangan gizi pada balita di Timor Leste (46%), Kamboja (45%), dan Myanmar (32%). Sementara Thailand mampu menurunkan 50% kekurangan gizi pada anak hanya dalam waktu 4 tahun (19821986) melalui fokus pelayanan untuk kelompok ibu dan anak (Bappenas, 2011). Di Indonesia, persoalan gizi ini juga merupakan salah satu persoalan utama dalam pembangunan manusia. Sebagai salah satu negara dengan kompleksitas kependudukan yang sangat beraneka ragam, Indonesia dihadapi oleh dinamika persoalan gizi. Indonesia masih dalam kondisi masalah gizi yang kompleks terlihat dari angka nasional Indonesia, dimana 1 dari 23 anak meninggal sebelum usia 5 tahun dan 1 dari 3 anak balita terhambat pertumbuhannya (UNICEF, 2012). Dilihat dari kecenderungan data statistik, masih banyak persoalan yang perlu diselesaikan terutama yang menyangkut persoalan balita gizi kurang. Secara nasional prevalensi gizi buruk dan gizi kurang (berat badan menurut umur) pada balita di Indonesia memberikan gambaran yang fluktuatif. Prevalensi gizi kurang pada tahun 4 Universitas Sumatera Utara
2007 yaitu 18,4% menurun menjadi 17,9% tahun 2010 namun kemudian meningkat lagi menjadi 19,6% tahun 2013. Sementara itu prevalensi gizi buruk pada tahun 2007 yaitu 5,4% menurun menjadi 4,9% pada tahun 2010 namun kembali meningkat 5,7% tahun 2013. (Riskesdas, 2013). Tidak berubahnya prevalensi status gizi, kemungkinan besar belum meratanya pemantauan pertumbuhan, dan terlihat kecenderungan proporsi balita yang tidak pernah ditimbang enam bulan terakhir semakin meningkat dari 25,5% pada tahun 2007 menjadi 34,3% pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Kesenjangan masalah gizi kurang menurut provinsi sangat lebar, beberapa provinsi mengalami kemajuan pesat dan prevalensinya sudah relatif rendah, tetapi beberapa provinsi lain prevalensi gizi kurang masih sangat tinggi (Riskesdas, 2010). Dari 33 provinsi di Indonesia 18 provinsi diantaranya Sumatera Utara masih memiliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di atas angka prevalensi nasional. yaitu berkisar antara 21,2% sampai 33,1% (Riskesda, 2013). Sementara itu menurut hasil survei Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara bekerja sama dengan FKM USU menujukkan bahwa prevalensi gizi kurang dan buruk mengalami kencenderungan penurunan sejak tahun 2006. Prevalensi gizi buruk pada balita menurun dari 8,1% pada tahun 2006 menjadi 4,2% pada tahun 2009 dan prevalensi gizi kurang menurun dari 20,8% menjadi 16,2% (Bapedda Provsu, 2012). Gizi kurang tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi diawali dengan kenaikan berat badan yang tidak cukup. Perubahan berat badan balita dari waktu ke waktu merupakan petunjuk awal perubahan status gizi balita. Dalam periode 6 bulan, bayi 5 Universitas Sumatera Utara
yang berat badannya tidak naik 2 kali beresiko mengalami gizi kurang 12,6 kali dibandingkan balita yang berat badannya naik terus. Bila frekuensi tidak naik lebih sering, maka resiko akan lebih besar (Depkes RI, 2005a). Sejumlah penelitian telah menunjukkan peran penting zat gizi tidak saja pada pertumbuhan fisik tubuh tetapi juga dalam pertumbuhan otak, perkembangan perilaku, motorik, dan kecerdasan (Jalal, 2009). Kekurangan gizi pada masa kehamilan dan anak usia dini menyebabkan keterlambatan dalam pertumbuhan fisik, perkembangan motorik, dan gangguan perkembangan kognitif. Selain itu, akibat kekurangan gizi dapat berdampak pada perubahan perilaku sosial, berkurangnya perhatian dan kemampuan belajar sehingga berakibat pada rendahnya hasil belajar. Penelitian lain juga menyimpulkan bahwa intervensi gizi hanya akan efektif jika dilakukan selama kehamilan dan 2-3 tahun pertama kehidupan anak (Bappenas, 2010). Anak yang memiliki status gizi kurang atau buruk (underweight) berdasarkan pengukuran berat badan terhadap umur (BB/U) yang sangat rendah dibanding standar WHO mempunyai resiko kehilangan tingkat kecerdasan atau intelligence quotient (IQ) sebesar 10-15 poin (Bappenas, 2010). Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan fisik dan perkembangan kecerdasaan, menurunkan produktifitas kerja dan menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatnya kesakitan dan kematian (Direk Gizi RI, 2004). Anak balita yang tidak mendapat cukup makanan bergizi seimbang memiliki daya tahan yang rendah terhadap penyakit sehingga mudah terserang infeksi. Sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) 6 Universitas Sumatera Utara
dapat mengakibatkan asupan gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik sehingga berakibat gizi buruk. Oleh karena itu, mencegah terjadinya infeksi juga dapat mengurangi kejadian gizi kurang dan gizi buruk (Bappenas, 2010). Penelitian Simbolon (2008) di Kecamatan Medan Belawan tentang faktorfaktor yang berhubungan dengan status gizi anak balita, mengemukakan variabel yang memiliki hubungan yang bermakna secara signifikan dengan status gizi anak balita adalah status imunisasi, penyakit ISPA, pola asuh, tingkat penghasilan keluarga dan kesehatan lingkungan. Penelitian Ihsan (2012) mengenai faktor yang berhubungan dengan status gizi anak balita menunjukkan bahwa riwayat diare mempunyai hubungan yang bermakna secara signifikan terhadap status gizi kurang pada balita. Oleh karena beragamnya penyebab dari masalah gizi pada anak balita dan begitu juga dengan karakteristik anak balita serta karakteristik Ibu balita yang mengalami masalah gizi, maka perlu dilihat bagaimana karakteristik tersebut guna mempermudah upaya penanggulangan masalah gizi di masing-masing daerah. Begitupun di wilayah kerja Puskesmas Sentosa baru Kecamatan Medan Perjuangan yang merupakan daerah dengan jumlah kejadian gizi kurang tinggi di Kota Medan menurut laporan Dinas Kesehatan Kota Medan pada bulan Desember 2013. Dari hasil survei pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Sentosa baru Kecamatan Medan Perjuangan tercatat jumlah anak balita sebanyak 13.348 anak balita, yang terdiri dari 7.836 balita perempuan dan 5.512 balita laki-laki.
7 Universitas Sumatera Utara
1.2.
Perumusan Masalah Belum diketahuinya karakteristik anak dan ibu serta distribusi proporsi status
gizi anak balita berdasarkan karakteristik anak dan ibu di wilayah kerja Puskesmas Sentosa Baru Kecamatan Medan Perjuangan kota Medan. 1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui karakteristik anak dan ibu serta distribusi proporsi status gizi anak balita berdasarkan karakteristik anak dan ibu di wilayah kerja Puskesmas Sentosa baru Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2014. 1.3.2. Tujuan Khusus a) Mengetahui distribusi proporsi anak balita berdasarkan karakteristik anak (umur, jenis kelamin, status ASI Eksklusif, status imunisasi, dan riwayat penyakit infeksi meliputi penyakit ISPA dan diare) di wilayah kerja Puskesmas Sentosa Baru Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2014. b) Mengetahui distribusi proporsi anak balita berdasarkan karakteristik ibu (pekerjaan ibu, pendidikan ibu, jumlah anak dan pengetahuan ibu) di wilayah kerja Puskesmas Sentosa Baru Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2014. c) Mengetahui distribusi proporsi status gizi anak balita di wilayah kerja Puskesmas Sentosa Baru Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2014. d) Mengetahui distribusi proporsi status gizi anak balita berdasarkan karakteristik anak dan ibu di wilayah kerja Puskesmas Sentosa Baru Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2014.
8 Universitas Sumatera Utara
1.3.3. Manfaat Penelitian a) Sebagai bahan informasi bagi Puskesmas Sentosa Baru dalam meningkatkan pelayanan khususnya upaya perbaikan status gizi balita di wilayah kerja. b) Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dalam upaya penanggulangan masalah gizi kurang pada anak balita. c) Sebagai bahan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan status gizi anak balita.
9 Universitas Sumatera Utara