1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bekerja merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia baik secara fisik maupun psikis. Kebutuhan hidup manusia secara fisik antara lain sandang, pangan dan papan. Adapun kebutuhan hidup psikis antara lain berafiliasi, berprestasi, berkuasa dan kebutuhan lain yang menunjukkan eksistensi dirinya. Pada saat memasuki usia tertentu seseorang akan berhenti dari pekerjaan atau disebut juga dengan pensiun dan mulai memasuki masa istirahat. Tidak semua orang dapat menerima masa pensiun sebagai masa istirahat dari pekerjaannya atau jabatannya. Bagi sebagian orang, pensiun adalah sesuatu yang harus dihindari. Ketakutan ini muncul karena individu merasa bahwa pensiun berarti kehilangan apa yang dimiliki antara lain jabatan, status sosial, kekuasaan, penghasilan dan penghormatan, yang mengakibatkan banyak orang memandang pensiun sebagai hal yang negatif dan cenderung untuk menolak pensiun. Sejauh ini banyak kasus yang terjadi bahwa tidak semua orang mempunyai pandangan yang positif tentang pensiun hal tersebut terjadi karena ketidaksiapan seseorang menghadapi masa pensiun. Kecemasan menghadapi masa pensiun juga dirasakan oleh para pegawai yang bekerja disuatu lembaga atau instansi seperti pegawai negeri sipil. Sesuai peraturan kepegawaian yang telah ditetapkan, seorang pegawai harus menjalani pensiun yaitu berhenti bekerja secara formal dari suatu lembaga atau instansi
1
2
tempatnya bekerja karena sudah mencapai usia maksimal 60 tahun yang telah ditentukan dan akan menerima uang balas jasa atas darma baktinya selama bekerja yaitu uang pensiun. Menurut Zarit (dalam Santrock, 1999), seseorang yang memasuki masa pensiun menganggap bahwa pensiun berarti kehilangan peran dan status sosial serta kekuasaan, akibatnya banyak orang yang menganggap pensiun sebagai masa yang mendatangkan stress dan merupakan peristiwa yang menakutkan. Kebanyakan pegawai, mereka menghadapi dan memandang pensiun dengan kacamata yang agak buram. Memasuki wilayah yang serba asing dan tidak menentu ini harus mereka jalani sendiri. Masa depan seolah dipenuhi perasaan was-was dan berbagai pertanyaan yang membingungkan. Masa depan lebih sebagai akhir kehidupan. Umumnya ketika memasuki pensiun mereka membayangkan kondisi yang semakin buruk, antara lain: kehilangan status dan penghormatan, kekurangan penghasilan, kehilangan fasilitas dan kemudahan, dan ketersisihan dari pergaulan lama serta perasaan menjadi tua (Sutarto dan Cokro, 2008). Schwartz (dalam Hurlock, 1994) mengatakan bahwa pensiun merupakan akhir pola hidup atau masa transisi ke pola hidup baru. Pada masa pensiun, orang dapat mengalihkan kegiatannya ke hal-hal yang bersifat santai seperti menekuni hobi atau membuka usaha baru untuk menutupi penghasilan yang berkurang. Survey yang dilakukan oleh Decker (1980) menemukan bahwa bagi orang yang pensiun merasa kehilangan uang dan orang-orang di lingkungan kerja. Sebagian besar mengatakan bahwa mereka merasa kehilangan pekerjaan itu sendiri, perasaaan berguna, peristiwa-peristiwa disekitar mereka dan sikap hormat
3
dari orang lain. Hartati (2002) mengatakan bahwa orang-orang pensiunan yang terputus dari pekerjaan dan dari arus kehidupan menghadapi masalah penyesuaian keuangan dan psikologis. Kenyataan yang dihadapi oleh semua pensiunan pada dasarnya sama, pertama akan menghadapi masalah berkurangnya penghasilan dan ketidaksibukan kerja. Hal-hal inilah yang menjadi pemicu munculnya kecemasan dalam menghadapi masa pensiun. Walaupun pensiun bukan hal yang baru dan akan terjadi pada setiap orang yang bekerja, tetapi kenyataannya masih menjadi peristiwa yang mencemaskan bagi orang yang akan mengalaminya. Masa pensiun dirasakan sebagai ancaman terhadap kehidupan dimasa datang, akibatnya banyak pegawai yang mangalami kecemasan menghadapi datangnya pensiun. Kecemasan ini dirasakan mulai beberapa tahun menjelang masa pensiun tiba. Akan tetapi, kecemasan tersebut tentunya berbeda pada diri masing-masing individu. Salah satu faktor yang berhubungan dengan tinggi rendahnya kecemasan pegawai dalam menghadapi pensiun adalah penerimaan dirinya. Hurlock (1994) mengemukakan bahwa penerimaan diri merupakan kemampuan menerima segala hal yang ada pada diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki, sehingga apabila terjadi peristiwa yang kurang menyenangkan maka individu tersebut akan mampu berpikir logis tentang baik buruknya masalah yang terjadi tanpa menimbulkan perasaan, permusuhan, perasaan rendah diri, malu, dan rasa tidak aman. Hal ini menunjukkan bahwa para pegawai yang memiliki penerimaan diri yang baik akan mampu menerima segala hal yang ada pada diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki, sehingga apabila terjadi masa pensiun maka individu
4
tersebut akan mampu berpikir logis tentang baik buruknya masa pensiun tanpa menimbulkan perasaan cemas yang berlebihan. Penelitian yang dilakukan oleh Holmes dan Rahe (dalam Eliana, 2003) bahkan mengungkapkan bahwa pensiun menempati rangking 10 besar untuk posisi stres. Kekhawatiran, kecemasan dan ketakutan yang berkelanjutan akan berdampak pada keseimbangan emosional individu dan akhirnya akan termanifestasi dalam berbagai keluhan fisik, keadaan seperti itu dikenal dengan sebutan postpower syndrome (Hawari, 2005). Oleh karena itu, penerimaan individu terhadap kondisi dirinya sangatlah penting dalam menghadapi masa pensiun. Sartain (Rohmah, 2004) menjelaskan bahwa dengan memiliki kesadaran untuk menerima dan memahami diri, maka individu dapat mengenali diri sendiri dan akan mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Oleh karena itu, individu dengan penerimaan diri yang baik tidak akan larut dalam kecemasan menghadapi masa pensiun, tetapi akan terus berupaya mengembangkan diri agar mampu menyesuiakan diri dalam menghadapi masa pensiun. Seseorang yang dapat menerima dirinya mempunyai penilaian yang realistik terhadap potensi-potensi yang ada pada dirinya disertai dengan penilaian yang positif akan harga dirinya (Hurlock, 1994). Sari (2002) mengatakan bahwa karakteristik yang dimiliki individu dengan penerimaan diri akan dihayati sebagai anugerah, segala yang ada pada diri individu dirasakan sebagai hal yang menyenangkan sehingga individu memiliki keinginan untuk terus dapat menikmati kehidupan. Oleh karena itu, perubahan status individu sebagai PNS menjadi pensiunan dapat diterima oleh individu yang memiliki penerimaan diri
5
dengan hati lapang. Hal ini sesuai pendapat Rubin (Rohmah, 2004), bahwa penerimaan diri merupakan sikap yang mencerminkan rasa senang sehubungan dengan kenyataan diri sendiri. Beberapa fenomena kecemasan terjadi pada Pegawai Negeri Sipil (PNS). PNS adalah orang-orang yang bekerja untuk pemerintah negara Indonesia yang telah memenuhi syarat, diangkat dan telah ditetapkan sesuai perundang-undangan, bukan militer dan secara khusus tidak termasuk mereka yang menjadi pegawai aparatur perekonomian negara seperti BUMN atau BUMD (Zainun, 1990). Menurut Daryanto (2007) PNS memiliki karakteristik kerja seperti bekerja sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh aturan, kerja rutin, cenderung menunggu perintash dari atasan, hidupnya terjamin sampai tua karena akan mendapatkan uang pensiun, status sosial tinggi di masyarakat, dan resiko di-PHK kecil. Karakteristik kerja yang dimiliki Direktorat Jendral Pajak tersebut memungkinkan semakin memicu timbulnya kecemasan menghadapi masa pensiun. Selain itu kantor pajak juga menerapkan reformasi birokrasi yaitu medernisasi sistem perpajakan dengan nilai-nilai sebagai berikut: integritas, professional sinergi pelayanan dan kesempurnaan. Dengan reformasi birokrasi tersebut pegawai ditjen pajak memperoleh remunerasi berdasarkan grading. Walaupun sudah mendapatkan uang pensiun, tetapi uang pensiun tidak sebesar gaji yang mereka dapatkan sewaktu masih bekerja. Selain itu, dulu mereka memiliki jabatan, pekerjaan dan status. Saat pensiun mereka sudah tidak memiliki ketiganya lagi. Pandangan negatif seseorang tentang pensiun juga dapat menimbulkan emosi-emosi negatif sehingga memicu kecemasan menghadapi
6
masa pensiun. Cemas atau tidaknya individu saat menghadapi masa pensiun dapat dikendalikan jika individu memiliki penerimaan diri yang optimal. Penerimaan diri yang tinggi dapat mengarahkan individu pada kondisi yang tidak cemas, sebaliknya penerimaan diri yang rendah dapat mengarahkan individu pada kondisi kecemasan. Berdasarkan uraian tersebut, penulis akan melakukan penelitian dengan judul “Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun pada Pegawai Negeri Sipil Daerah Istimewa Yogyakarta Ditinjau dari Penerimaan Dirinya”.
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penerimaan diri dengan kecemasan menghadapi masa pensiun pada pegawai negeri sipil Daerah Istimewa Yogyakarta.
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan bagi ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan, pada tahap dewasa akhir umumnya akan terjadi degradasi kepercayaan diri dan penerimaan diri dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan. Selain itu, penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan suatu pandangan baru yakni memberikan pemahaman tentang kecemasan menghadapi masa pensiun pada pegawai negeri sipil ditinjau dari penerimaan dirinya.
7
2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi subjek penelitian, yakni memberikan informasi atau gambaran mengenai manfaat penerimaan diri terhadap kecemasan pada Pegawai Negeri Sipil yang memasuki masa pensiun. Penelitian ini diharapkan juga bermanfaat juga bagi subjek untuk lebih dapat menerima keadaan dirinya, sehingga para pegawai tersebut dapat menghadapi masa pensiun dengan kondisi yang lebih baik.