13
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setiap manusia selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja. Bekerja dapat dilakukan secara mandiri atau bekerja kepada orang lain. Bekerja kepada orang lain dapat dilakukan dengan bekerja kepada negara yang selanjutnya disebut sebagai pegawai atau bekerja kepada orang lain (swasta) yang disebut sebagai pekerja atau buruh. Pengertian pekerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja atau buruh adalah seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah.1 Sedangkan definisi tenaga kerja berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan “Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”. Bertolak dari pengertian bahwa pekerja atau buruh adalah orang yang melakukan pekerjaan untuk orang lain (swasta) berarti sedikitnya harus ada dua pihak yang terlibat dalam hubungan kerja yaitu orang yang melakukan pekerjaan yang
1
Iman Soepomo, Pengantar HukumPerburuhan, (Jakarta: Djambatan, 1974), hlm.6.
1
Universitas Sumatera Utara
14
disebut dengan pekerja atau buruh dan orang yang memberikan pekerjaan yang disebut dengan Pengusaha. Pengertian pengusaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 butir (a) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri, dan selanjutnya pada Pasal 1 angka 5 butir (b) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa Pengusaha adalah ”orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya”. Secara sosiologis, pekerja atau buruh memang merupakan pihak yang lebih lemah dibanding pihak pengusaha. Pekerja atau Buruh adalah orang yang tidak bebas dalam menentukan kehendaknya terhadap pengusaha, karena dalam suatu hubungan kerja pengusaha telah memberikan batasan-batasan yang harus diikuti oleh pihak pekerja atau buruh.2 Sangat sulit bagi pihak pekerja atau buruh untuk menentang, dan bila mereka berkeras untuk menentang maka mereka akan kehilangan mata pencaharian. Bagi pengusaha, kehilangan seorang pekerja atau buruh bukan persoalan karena masih ada ribuan tenaga kerja yang mencari pekerjaan. Berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh dibuat berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah berbeda dengan pengertian perjanjian kerja (arbeidsovereenkomst) 2
Sehat Damanik, Hukum Acara Perburuhan, (Jakarta: Dss Publising, 2004), hlm.2.
Universitas Sumatera Utara
15
pada Pasal 1601a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dinyatakan bahwa perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Secara umum perjanjian dapat diartikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Suatu perjanjian dapat dilakukan terhadap apa saja yang disepakati sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan norma yang berlaku. Bentuk perjanjian kerja tidak dimintakan dalam bentuk tertentu, jadi dapat dilakukan secara lisan yaitu dengan surat pengangkatan oleh pengusaha, maupun secara tertulis yaitu dengan adanya surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yakni antara Pekerja dan Pengusaha. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan turut memberikan peluang adanya ketidakwajiban pengusaha untuk membuat perjanjian kerja perorangan secara tertulis, dengan alasan kondisi masyarakat yang beragam yang memungkinkan perjanjian kerja secara lisan. 3 Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan, bahwa “Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau 3
Akibat Hukum Perjanjian Lisan, diakses dari http://www.koranradar.com/berita/read/5088/2010/Repot-Jika-Tidak-Pegang-Perjanjian-Kerja-Tertulis, terakhir diakses tanggal 12 April 2010.
Universitas Sumatera Utara
16
lisan”. Perjanjian Kerja pada prinsipnya dapat dibuat secara tertulis dan lisan dengan syarat harus terpenuhinya syarat-syarat keabsahan perjanjian kerja sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwasannya syarat sahnya perjanjian kerja dibuat atas dasar : a. Kesepakatan kedua belah pihak b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesepakatan diartikan sebagai bentuk persetujuan para pihak atas apa yang diperjanjikan dan hal-hal yang termuat dalam perjanjian. Apabila perjanjian itu dibuat dalam bentuk tertulis seperti kontrak, maka tentunya dinyatakan dalam draft kontrak tersebut. Namun apabila dibuat secara lisan, maka cukup dengan pernyataan yang secara bersama disetujui oleh kedua belah pihak dan sebaiknya disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Hubungan kerja melalui perjanjian kerja tertulis ditandai dengan adanya penandatanganan perjanjian kerja yang mengatur tentang syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak. Sedangkan hubungan kerja melalui perjanjian kerja lisan adalah hubungan kerja tanpa adanya penandatanganan perjanjian kerja. Karena tidak
Universitas Sumatera Utara
17
ada perjanjian kerja yang ditandatangani, maka hubungan kerja tersebut akan mangacu kepada peraturan ketenagakerjaan yang berlaku.4 Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh yang didasarkan pada perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”, sehingga dengan demikian apabila terpenuhinya ketiga unsur tersebut maka jelas terdapat hubungan kerja baik yang dibuat dalam bentuk perjanjian kerja secara tertulis maupun secara lisan. Meskipun Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan perjanjian kerja bisa dibuat secara lisan namun praktiknya buruh berada dalam posisi yang sangat sulit jika tidak memiliki kontrak kerja tertulis. Perusahaan bisa dengan sepihak memutuskan hubungan kerja dengan berbagai alasan.5 Hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh idealnya merupakan hubungan yang saling menguntungkan dikedua belah pihak namun seringkali posisi pekerja/buruh tidak seimbang dengan posisi pengusaha. Dalam realita sekarang ini terdapat praktik-praktik yang dilakukan oleh pengusaha
dalam
memperkerjakan
pekerja/buruh
dengan
memperkerjakan
pekerja/buruh tanpa adanya perjanjian tertulis, walaupun dibenarkan oleh Undang4
Sehat Damanik, Op.Cit, hlm. 5. Radar Online, Repot jika tidak pegang perjanjian kerja tertulis, Jakarta 08 Desember 2009, diakses dari http://www.satuportal.net/node/2781, , terakhir diakses tanggal 12 April 2010. 5
Universitas Sumatera Utara
18
Undang Ketenagakerjaan namun implikasinya perlindungan terhadap pekerja/buruh menjadi lemah, hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi yang diantaranya adalah pekerja/buruh tidak berhak atas sejumlah tunjangan seperti tunjangan jamsostek, tunjangan lembur kerja, tunjangan cuti kerja dan apabila terjadi perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dikemudian hari terhadap pekerja/buruh oleh pengusaha maka pekerja/buruh tersebut sangat rentan untuk tidak menerima uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja yang disesuaikan dengan masa kerja serta uang penggantian hak, hal ini dikarenakan sulitnya pihak pekerja/buruh untuk dapat membuktikan adanya hubungan kerja diantara pekerja/buruh dengan pengusaha. Selama pelaksanaan hubungan kerja tidak tertutup kemungkinan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja baik yang dilakukan atas inisiatif pengusaha atau atas inisiatif pekerja. Lemahnya posisi pekerja/buruh yang diperjanjikan kerja secara lisan disebabkan karena alasan, yaitu pertama, ketidaktahuan dari salah satu atau masingmasing pihak pekerja/buruh dan pengusaha. Kedua, karena kekosongan hukum. Ketiga, adanya itikad buruk dari pengusaha dan ketidaktahuan pekerja/buruh. Menurut
Eggy Sudjana secara umum
penyebab
lemahnya kondisi
pekerja/buruh di Indonesia diantaranya yakni:6 1. Lemahnya posisi tawar tenaga kerja berhadapan dengan pemilik perusahaan atau industri karena keahlian dan tingkat pendidikan yang rendah. 6
Eggy Sudjana, Nasib Dan Perjuangan Buruh di Indonesia, makalah disampaikan pada diskusi publik Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia yang diselenggarakan Pusat Kajian Ketenagakerjaan Majelis Nasional KAHMI Center, Jakarta 24 Juni 2005, Hal 2-3
Universitas Sumatera Utara
19
2. Kebijakan pemerintah yang kurang responsif dan akomodatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Secara sosiologis buruh adalah orang atau kelompok yang tidak bebas sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada tenaganya saja, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain dan majikan inilah pada dasarnya menentukan syaratsyarat kerja itu7. Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan
bertindak
seperti
dalam
perundang-undangan
tersebut
benar-benar
dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis .8 Ditinjau dari aspek perlindungan hukum dari berbagai peraturan perundangundangan ketenagakerjaan maka diatur perlindungan sejak sebelum adanya hubungan kerja, selama dalam hubungan kerja dan setelah hubungan kerja berakhir. Perlindungan terhadap pekerja sebelum bekerja maksudnya bahwa pekerja mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pekerjaan tanpa adanya diskriminasi. Perlindungan pekerja dalam hubungan kerja maksudnya bahwa pekerja harus diberikan upah yang layak berdasarkan upah minimum yang ditetapkan pemerintah dan diikutsertakan dalam program jamsostek dan pekerja dilindungi hak-hak 7
A.s. Finawati, Buruh Di Indonesia:Dilemahkan Dan Ditindas dalam Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan (Jakarta: Djambatan, 2003),hlm 8, diakses dari http//www.pemantauankeadilan.com/detil/detil.php?id=168&tipe=opini pada tanggal 12 April 2010 8 Zainal Asikin, Dasar-dasar hukum perburuhan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm.5.
Universitas Sumatera Utara
20
normatifnya seperti hak cuti, hak beribadah pada saat waktu bekerja, hak mendapatkan upah lembur dan hak mendapatkan perlindungan keselamatan dan keamanan dalam melakukan pekerjaan. Bentuk perlindungan setelah hubungan kerja maksudnya bahwa adanya kewajiban pengusaha untuk membayar pesangon apabila pekerja di PHK secara sepihak dan kewajiban pengusaha untuk mengikutsertakan pekerja dalam program jaminan hari tua atau program pensiun pekerja. Sehubungan dengan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan, pada tanggal 06 Mei 2009 Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan telah menerima pendaftaran gugatan dengan Register Nomor:140/Pen.K/09/PHI-Mdn antara Harizon Pane, dkk sebagai Penggugat melawan PT. Rivera Village Permai berkedudukan di Medan sebagai Tergugat yang mana duduk perkaranya adalah bahwa pada tanggal 03 Nopember 2008 Harizon Pane, dkk telah diberhentikan oleh pihak PT.Rivera Village Permai tanpa diberikan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Pihak perusahaan tidak memberikan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja kepada Harizon Pane, dkk beralasan bahwa Harizon Pane, dkk bukan merupakan karyawan perusahaan dan tidak pernah terdaftar sebagai karyawan dalam perusahaan padahal mereka sudah bekerja masing-masing selama 6 s.d 10 tahun di perusahaan tersebut. Gugatan yang diajukan Harizon Pane, dkk telah diputus oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 22 Juli 2009 dengan registrasi perkara Nomor : 41/G/2009/PHI Mdn yang mengabulkan sebagian
Universitas Sumatera Utara
21
tuntutan para pekerja khususnya mengenai hubungan kerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan. Pada pertimbangan hukumnya majelis hakim berpendapat bahwa hubungan kerja antara Harizon Pane, dkk sebagai Penggugat dan PT. Rivera Village Permai sebagai Tergugat merupakan hubungan kerja yang didasarkan pada perjanjian kerja yakni adanya unsur pekerjaan, perintah dan upah yang mana perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan sehingga para penggugat berhak mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka peneliti tertarik memilih judul Analisis yuridis terhadap hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja berdasarkan perjanjian kerja secara lisan.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka penelitian ini akan membahas sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan? 2. Bagaimana perlindungan hukum ketenagakerjaan terhadap pekerja yang hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan? 3. Apakah putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor: 41/G/2009/PHI.Mdn mengenai hubungan kerja antara pengusaha dan
Universitas Sumatera Utara
22
pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan sudah sesuai dengan hukum ketenagakerjaan? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukum ketenagakerjaan terhadap hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum ketenagakerjaan terhadap pekerja yang hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor: 41/G/2009/PHI.Mdn mengenai hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu: 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pengembangan hukum ketenagakerjaan/perburuhan dan dapat bermanfaat untuk
Universitas Sumatera Utara
23
perkembangan ilmu pengetahuan hukum bidang keperdataan khususnya hukum ketenagakerjaan. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja agar dapat menjamin hubungan kerja yang seimbang dalam pengaturan hak dan kewajiban pihak pekerja/buruh dan pengusaha, sehingga pada akhirnya pekerja/buruh serta pengusaha dapat saling merasakan ketentraman.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah dilakukan di Perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara terhadap hasil-hasil penelitian yang ada, ternyata belum ada yang melakukan penelitian mengenai “Analisis yuridis terhadap hubungan kerja antara Pengusaha dan Pekerja berdasarkan perjanjian kerja secara lisan.(Studi Kasus: Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor: 41/G/2009/PHI.Mdn), oleh karena itu penelitian yang dilakukan
dalam
penulisan
tesis
ini
adalah
asli
sehingga
dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan nilai-nilai objektivitas dan kejujuran.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Untuk mendalami perjanjian kerja secara lisan sudah seharusnya didasarkan kepada teori, penelitian-penelitian, undang-undang ataupun ketentuan-ketentuan yang
Universitas Sumatera Utara
24
saling berkaitan. Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.9 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.10 Dalam penelitian ini teori perjanjian sangat relevan untuk ditinjau dari hukum perdata, sebab menurut ketetapan undang-undang hukum perdata semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.11 Perjanjian diistilahkan dalam Bahasa Inggris dengan contract, dalam Bahasa Belanda dengan verbintenis atau perikatan juga dengan overenkomst atau perjanjian. Kata kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian yang tertulis dibandingkan dengan kata perjanjian.12 Kata perjanjian juga sering dikaitkan dengan perjanjian kerja sama yang dimaksudkan adanya hubungan timbal balik antara satu pihak dengan pihak yang lainnya.
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarata: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm. 122. 10 Made Wirantha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta: 2006), hlm. 6. 11 R. Subekti dan R. Tjitrosudibiyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek, terjemahan, cetakan 8, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), hlm. 338. 12 Supraba Sekarwati, Perancangan Kontra, ( Bandung: Iblam, 2001), hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
25
Perjanjian kerja yang dalam Bahasa Belanda disebut arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian, Pasal 1601a KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut : Perjanjian kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu yaitu buruh mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain yaitu majikan dengan upah selama waktu tertentu. Selain pengertian tersebut diatas, Imam Soepomo berpendapat bahwa “perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lain yakni membayar upah”.13 Profesor Subekti memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai berikut: Perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian yang ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu “hubungan diperatas” (dienstverhouding), yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan ) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh yang lain.14 Pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut diatas dapat dilihat bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah dibawah perintah pihak lain yang menunjukan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dengan atasan. Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi untuk memberikan perintah dan 13
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 36. 15 Abdul Achmad Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia, ( Jakarta: Rajawali Pres, 1997), hlm. 21. 14 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1996), hlm. 29.
Universitas Sumatera Utara
26
pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya. Dalam hubungan antara pekerja dengan pengusaha bukanlah seperti hubungan antara pembeli dan penjual, atau seperti hubungan antara dokter dengan pasien, ataupun pengacara dengan kliennya. Hal yang membedakan salah satunya adalah posisi tawar yang tidak sama diantara pekerja dan pengusaha. Secara yurisis pekerja/buruh memang bebas. Sebagaimana prinsip negara kita bahwa tidak seorangpun boleh diperbudak, namun secara sosiologis pekerja/buruh adalah tidak bebas.
Ketergantungan
pekerja/buruh
terhadap
pengusaha,
apalagi
kondisi
pekerja/buruh dewasa ini belum pada taraf pekerja/buruh yang menguasai ketrampilan dan pengetahuan keilmuan melainkan hanya mengandalkan tenaganya. Jika hubungan antara pekerja dengan pengusaha tidak diatur maka kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha dapat mendatangkan ketimpangan sosial yang besar terhadap pekerja/buruh, sehingga pekerja/buruh harus dilindungi melalui hukum yaitu hukum perburuhan.15 Hukum adalah fenomena sosial yang penting. Tak ada kelompok sosial yang bisa berlangsung tanpa hukum dalam arti luas. Hukum memiliki dua cita-cita kembar yaitu keadilan dan ketertiban. Ada masyarakat yang lebih mementingkan segi keadilannya ada pula yang memilih segi ketertibannya, perdebatan untuk menentukan
15
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 6-7.
Universitas Sumatera Utara
27
mana pilihan terbaik tak akan pernah selesai, sama halnya perdebatan menentukan dimana titik tengahnya.16 Kehadiran
hukum
dalam
masyarakat
diantaranya
adalah
untuk
mengintegrasikan dan mengkordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa menimbulkan konflik (conflict of interest). Melalui hukum, konflik itu bisa ditekan sekecil-kecilnya. Pengorganisasian kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Hukum dalam pengertiannya yang utama adalah suatu aturan yamg dicitacitakan dan diwujudkan dalam Undang-Undang, namun sebelumnya perlu ditegaskan bahwa hukum memiliki dua pengertian yang perlu dipahami yaitu:17 1. Hukum dalam arti keadilan. Maka disini hukum menandakan peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan. 2. Hukum dalam arti Undang-Undang atau lex/wet. Kaidah-kaidah yang mewajibkan itu dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang adil tersebut. Hukum bertujuan menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan dengan tercapainya ketertiban dalam masyrakat yang diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi dalam mencapai tujuannya. Hukum berfungsi membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat,
16
AL Andang L Binawan, Hukum di Pusat Pasar : Keadilan sosial yang memudar dalam Keadilan Sosial Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Editor AL Andang L Binawan & A Presetyantoko, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2004), hlm. 75. 17 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, ( Yogjakarta: Kanisius, 1995), hlm. 49.
Universitas Sumatera Utara
28
membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.18 Dalam literatur dikenal beberapa teori tentang tujuan hukum. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Menurut teori etis (etische theori), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf yunani, Aristoteles, dalam karyanya Eticha Nicomachea dan Retorika, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi kepada setiap orang sesuatu yang ia berhak menerimanya. 19 Hukum ketenagakerjaan merupakan hukum yang dibentuk untuk mengadakan keadilan dalam hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Secara sosial ekonomi posisi pengusaha dan pekerja/buruh sangat bertolak belakang. Hal ini menyebabkan hubungan antara keduanya diatur oleh hukum, yaitu hukum yang adil. Keadilan yang merupakan tujuan dasar dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum bahkan yang menjadi tujuan hidup bernegara tidak akan dicapai dengan menyerahkan sistem ekonomi semata-mata pada mekanisme pasar.20 18 19
E.Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia,(Jakarta: 1966), hlm. 31. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, ( Bandung: Alumni, 1985),
hlm. 23. 20
Bustanul Arifin dan Didik J.Rachbini, Ekonomi Politik Kebijakan Publik, (Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001), hlm. 57.
Universitas Sumatera Utara
29
Hubungan kerja adalah merupakan suatu hubungan yang timbul antara pekerja dan pengusaha setelah diadakan perjanjian sebelumnya oleh pihak yang bersangkutan. Pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan sebaliknya pengusaha menyatakan pula kesanggupannya untuk memperkerjakan pekerja dengan membayar upah. Dengan demikian hubungan kerja yang terjadi antara pekerja dan pengusaha adalah merupakan bentuk perjanjian kerja yang pada dasarnya memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Didalam hubungan kerja terdapat tiga unsur yaitu :21 a. Ada Pekerjaan Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian) dan pekerjaan itu haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja/buruh. Secara umum yang dimaksud dengan pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dilakukan oleh pekerja/buruh untuk kepentingan pengusaha sesuai isi perjanjian kerja. b. Ada Upah Unsur kedua yang harus ada dalam setiap hubungan kerja adalah adanya upah. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang atau bentuk lain sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi 21
Aruan, SH,M.Hum, Direktorat PPHI Depnakertrans RI, Dalam Melindungi Pekerja Menurut UU No.13 Tahun 2003 Dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menuju Terciptanya Kepastian Hukum, Sumber : Informasi Hukum Vol 1 Tahun VI, 2004
Universitas Sumatera Utara
30
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah dilakukan. Dengan demikian intinya upah merupakan imbalan prestasi yang dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh pekerja/buruh. c. Ada Perintah Perintah merupakan unsur yang paling khas dari hubungan kerja maksudnya bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh berada dibawah perintah pengusaha. Dalam praktek unsur perintah ini misalnya dalam perusahaan yang mempunyai banyak pekerja/buruh yaitu adanya peraturan tata tertib yang harus dipatuhi oleh pekerja/buruh. Dengan dipenuhinya ketiga unsur tersebut diatas,jelaslah ada hubungan kerja baik yang dibuat dalam bentuk perjanjian kerja tertulis maupun lisan. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada prinsipnya telah memberikan defenisi normatif mengenai perjanjian kerja. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mendefenisikan perjanjian kerja sebagai perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak, Atas pengertian tersebut, maka dapat dijelaskan beberapa unsur penting perjanjian kerja sebagai berikut: a. Adanya perbuatan hukum/peristiwa hukum berupa perjanjian kerja b. Adanya subjek atau pelaku yakni pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja yang masing-masing membawa kepentingan.
Universitas Sumatera Utara
31
c. Memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak Peristiwa hukum perjanjian merupakan tindakan yang dilakukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja untuk saling mengikatkan diri dalam suatu hubungan yang bersifat normatif atau saling mengikat. Dalam berbagai teori ilmu hukum perikatan, perjanjian merupakan bentuk dari perikatan dimana 2 (dua) pihak mengikatkan diri untuk berbuat, memberikan sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu yang dituangkan dalam suatu perjanjian baik secara lisan maupun secara tertulis. Perjanjian selalu menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya. Konsekuensi dari tidak terpenuhinya hak dan kewajiban tersebut dapat berupa batal atau kebatalan terhadap perjanjian tersebut dan bahkan memungkinkan menimbulkan konsekuensi penggantian kerugian atas segala bentuk kerugian yang timbul akibat tidak terpenuhinya prestasi yang diperjanjikan. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hubungan kerja baru dapat timbul setelah pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan, bahwa “hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh”. Dengan demikian tidak ada keterkaitan apapun yang menyangkut pekerjaan antara pekerja/buruh dan pengusaha tertentu apabila sebelumnya tidak ada perjanjian yang mengikat keduanya.
Universitas Sumatera Utara
32
2. Konsepsi Menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran tulisan ini, berikut dijelaskan defenisi operasional dari istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu : 1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesdudah masa kerja. 22 2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.23 3. Pekerja/buruh adalah orang-orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.24 4. Pengusaha ialah :25 a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri. b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya. c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesiamewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yangberkedudukan di luar wilayah Indonesia.
22
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 24 Pasal 1 angka (3) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 25 Pasal 1 angka (5) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 23
Universitas Sumatera Utara
33
5. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.26 6. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.27 7. Bentuk Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan28 8. Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.29 9. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.30 10. Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.31 11. Surat pengangkatan sekurang kurangnya memuat keterangan: a. nama dan alamat pekerja/buruh; b. tanggal mulai bekerja; c. jenis pekerjaan; dan d. besarnya upah.32
26
Pasal 1 angka (14) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka (15) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 28 Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 29 Pasal 56 ayat (1)Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 30 Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 31 Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 32 Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 27
Universitas Sumatera Utara
34
G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian yang berbasis kepada yuridis normatif, yaitu penelitian tentang asas-asas hukum, kaedah hukum, dan sistematika hukum, serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya. Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis analisis terhadap norma hukum, baik hukum dalam aturan perundang-undangan maupun dalam putusan pengadilan. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.33 Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis. Bersifat deskriptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.
2. Bahan Penelitian Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan (library research).
33
Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publising, 2006), hlm. 57.
Universitas Sumatera Utara
35
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Bahan Hukum Primer yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan peraturan-peraturan yang terkait dengan objek penelitian. 2. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti putusan pengadilan, hasilhasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, pendapat pakar hukum yang erat kaitannya dengan permasalahan penelitian. 3. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum dan kamus hukum, surat kabar, internet, serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.
3. Tehnik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan meliputi tehnik pengumpulan data secara studi kepustakaan (library research), sebagai suatu teknis pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur atau studi dokumen dengan cara meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini, seperti buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang ada kaitannya dengan penelitian, pendapat para sarjana dan bahan-bahan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
36
4. Analisis Data Keseluruhan data diorganisasikan dan diurutkan kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema seperti yang disarankan oleh data yang dianalisa secara kualitatif.34Data dari hasil penelitian dianalisis secara kualitatif, artinya data-data yang ada dianalisis secara mendalam, holistik dan komprehensif.
34
Lexy J.Moleong, MetodologiPenelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002),
hlm. 103.
Universitas Sumatera Utara