BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya populasi manusia, maka semakin besar kebutuhan manusia itu akan tanah, terutama dalan hal bangunan gedung. Bangunan gedung merupakan buah karya manusia yang dibuat untuk menunjang kebutuhan hidup manusia, baik sebagai tempat bekerja, usaha, pendidikan, sarana olahraga dan rekreasi, serta sarana lain sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pada dasarnya setiap orang, badan, atau institusi bebas untuk membangun bangunan gedung sesuai dengan kebutuhan, ketersediaan dana, bentuk, konstruksi, dan bahan yang digunakan. Setiap bangunan gedung harus memenuhi pesyaratan fungsi utama bangunan gedung, yang di sebut juga fungsi bangunan gedung. Fungsi bangunan gedung ialah ketetapan mengenai pemenuhan persyaratan administrasi dan persyaratan teknis bangunan gedung, baik ditinjau dari segi tata bangunan dan lingkungannya, maupun keandalan bangunan gedungnya. Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, sosial dan budaya, serta fungsi khusus. Hanya saja mengingat mungkin saja pembangunan suatu bangunan dapat mengangu orang lain maupun mungkin membahayakan kepentingan umum, tentunya pembangunan bangunan gedung harus diatur dan diawasi oleh pemerintah untuk itu, diperlukan suatu aturan hukum yang dapat mengatur agar bangunan dapat di bangun secara benar.1 Hukum nasional yang mengatur tentang bangunan gedung diantaranya; 1.
Undang-Undang No.28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No.134)
1
Jakarta, h. 1
Marihot Pahala Siahaan, 2008, Hukum Bangunan Gedung Di Indonesia, Raja Grafindo Perseda,
2.
Peraturan
menteri
pekerja
umum
No.29/PRT/MS/2006
Tentang
Pedoman
Teknis Bangunan Gedung Dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 antara lain ditegaskan, bahwa pembangunan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Proses pelakasanaan pembangunan di satu pihak menghadapi permasalahan jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pertambanhan yang tinggi, di lain pihak sumberdaya alam adalah terbatas. Kegiatan pembanguan dan jumalah penduduk yang meningkat dapat mengakibatkan tekanan sumber daya alam. Pendayagunaan sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat harus disertai dengan upaya untuk melestarikan kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang guna menunjang pembangunan yang berkesinambungan, dan dilakasanakan dengan kebijaksanaan terpadu dan menyeluruh serta memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan akan dating, dengan demikian pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat tersebut, baik generasi sekarang ataupun generasi mendatang, adalah pembangunan berwawasan lingkugan. Dalam penyelenggaraaannya, tentunya pemerintah pusat tidak dapat bekerja sendiri, mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beberapa Provinsi dan dibagi menjadi beberapa Kabupaten/Kota. Sesuai amanat Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemerdayaan, dan peran serta masyarakat. Keberhasilan penyelengaraan otonomi Daerah juga tidak terlepas dari adanya partisipasi aktif anggota masyarakatnya baik
sebagai kesatuan sistem, maupun sebagai individu, merupakan bagian integral yang sangat penting dalam sistem pemerintahan daerah, karena secara prinsip penyelengaran otonomi daerah ditujukan guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera di daerah bersangkutan.2 Pemerintah dapat dibedakan dalam arti sempit dan luas, pengertian dalam arti luas adalah segala kegiatan badan publik yang meliputi kekuasaaan legislatif, eksekutif , dan yudikatif dalam usaha mencapai tujuan negara. Dalam arti sempit, pemerintah adalah segala kegiatan badan publik yang hanya meliputi kekuasaan eksekutif.3 Selanjutnya dikatakan oleh oleh Meriun bahwa maksud dan tujuan diadakannya pemerintahan daerah akan mejadi lebih demokratis. Hal ini disebabka karena dalam hal negara yang menganut paham demokratis, seharusnya diberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyatnya untuk ikut serta dalam pemerintahan. Semboyan demokrasi ialah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Kalau semboyuan ini benar-benar hendak direalisasi, maka tidaklah cukup dengan melaksanakannya pada tingkat nasional atau pusat saja, tetapi juga pada tingkat daerah. Hal ini berhubugan langsung dengan kenyataan bahwa dalam wilayah negara itu terdapat masyarakat-masyarakat setempat yang masing-masing yang diliputi oleh keadaan khusus setempat, sehingga masingmasing masyarakat mempunyai kebutuhan/kepentingan khusus yang berbeda-beda dari daerah ke daerah. Mengusahakan, menyelenggarakan kepentingan masyarakat setempat itu (mengurus rumah tangga daerah) sebaiknya diserahkan kepada rakyat Daerah itu sendiri. Dasar, maksud, alasan dan, tujuan kedua bagi adanya pemerintahan daerah ialah: pelaksanaan demokrasi, khususnya demokrasi di/dari bawah. Jika diperhitungkan darai uraian, maka terlihat jelas adanya hubungan yang sangat erat antara efektivitas pemerintahan dengan
2
Josef Riwu Kaho, 2003, Otonomi Daerah Di Republik Indonesia, cet. 7, Jakarta h. 120 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, 2010, Education Antara realita Politik dan Implementasi Hukumnya, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, h. 138 3
pelakasaaan paham demokrasi dapat menambah efektivitas pemerintahan. Hal ini disebabkan karena: 1. Pemerintahan dilakukan oleh rakyat daerah itu sendiri. dalam prinsipnya, yang menentukan politik daerah itu adalah rakyat daerah itu, maka dapatlah diharapkan bahwa politik itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat-masyarakat daerah itu. (juga memenuhi semboyan “Pemerintahan Untuk Rakyat”). 2. Dalam prakteknya, penguasa pemerintah daerah adalah putra-putra daerah itu sendiri, setidak-tidaknya orang-orang yang sudah cukup lama menjadi penduduk daerah itu, yang sudah tentu diharapkan lebih mengetahui keadaan-keadaan daripada “orang luar”, akibatnya para penguasa daerah diharapkan tahu pula cara pemerintahan yang lebih tepat bagi daerahnya.4 Pemerintahan Daerah terdiri dari putra-putra daerah, maka dapatlah diharapkan merekamereka itu akan bekerja dengan penuh semangat, keikhlasan, dan rasa tanggung jawab yang tebal. Hal ini mempunyai pengaruh atas kelancaran pemerintahan yang baik. Keuntungan yang diperoleh dengan dianutnya sistem desentralisasi antara lain sebagi perpanjangan tangan atau senagai menjalankan tugas eksekutif di pemerintahan.5 Seperti pada apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (8) UU No.23 Tahun 2014 (Lampiran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244) yang menyebutkan “Desentralisasi adalah penyerahan urusan Pemerintah kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi daerah”. Sementara itu otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan
4 5
Josef Riwu Kaho, op.cit, h. 13 Ibid, h. 14
Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, Sehingga keputusan dan kebijakan dapat diambil langsung di daerah tanpa campur tangan pusat.6 Peranan kepala daerah
sangat besar sekali dalam pelaksanaan tugas-tugas daerah,
khususnya tugas-tugas otonomi. Sehubungan dengan hal ini maka, berhasil atau tidaknya tugastugas daerah tergantung pada kepala daerah sebgai manager daerah bersangkutan. Berhasil tidaknya seorang menjabat suatu jabatan dalam menjalankan tugas-tugas tergantung pada kualitas yang dimilikinya. Demikian pula halnya dengan kepala daerah, berhasil tidaknya ia menjalankan tugasnya tergantung pada kualitas yang dimikinya. Tugas Kepala Daerah sangat berat, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kepala Daerah disamping merupakan alat daerah juga alat pemerintahan pusat.7 Dalam memudahakan dan membantu Pemerintah dalam urusan penyelenggaraan Negara, Pemerintahan Daerah baik Provinsi atau kabupaten/kota merupakan perpanjangan tangan pemerintah dalam mengefektifkan dan mengefisiensikan penyelenggaraan Pemerintahan. Begitu juga peran pemerintah kabupaten/kota dalam membantu mengefektifkan penyelengaraan pemerintah di masing-masing kabupaten kota. Bangunan Fungsi Usaha merupakan bangunan gedung yang digunakan sebagai fungsi usaha. Dalam penjelasan Pasal 4 Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 5 Tahun 2005 menggolongkan bangungan gedung fungsi usaha sebagai berikut: a. Perkantoran, termasuk kantor yang disewakan: b. Perdangan, seperti warung, toko, pasar, dan mall; c. Perindustrian; seperti pabrik, laboratirium, dan perbengkelaan; d. Perhotelan, seperti wisma, losmen, hotel, dan motel; 6
Khairul Ikhwan Danamik, et. al., 2010, Otonomi Daerah, Etmonasionalisme, Dan Masa Depan Indonesia, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, h.9 7 Ibid, h. 71-72
e. Wisata dan rekreasi, seperti gudang pertemuan, olahraga, anjungan, bioskop, dan gedung pertunjukan f. Terminal, seperti terminal angkutan darat, stasiun kereta api, bandara dan pelabuhan laut; dan g. Penyimpangan, seperti gudang, tempat pendingin, gedung, dan parkir. Seiring percepatan animo masyarakat dalam membangun bangunan gedung, tidak bisa dipungkiri semakin menipis juga kesadaran masyarakat akan pentingnya memperhatikan ketentuan-ketentuan arsitektur bali sebagai identitas kota. Denpasar sebagai kota berwawasan budaya akan betul-betul mencerminkan Bali bila seluruh masyaratkat benar-benar sadar akan pentinya sebuah arsitektur sebagai identitas kota itu sendiri. Peruntukan pabrik atau pertokoan harus mencitrakan atau mencerminkan arsitektur Bali, cerminan arsitektur Bali itu tentu tidak sekadar tempelan.8 Dengan ditemukannya masih ada pelanggaran-pelanggaran yang terjadi menunjukkan belum adanya suatu pengaturan hukum yang tegas serta lemahnya pengaturan serta upaya pengawasan dari pemerintah kota Denpasar sehingga masih ada bangunan-banguan fungsi yang luput dari pengawasan Pemerintah yang dalam hal ini ialah Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Denpasar. Terlebih Kota Denpasar belum memiliki suatu peraturan berupa Peraturan Daerah Kota Denpasar seperti yang diamatkan dalam Penjelasan atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 5 Tahun 2005 Tentang Persyartan Arsitektur Gedung dalam penjelasan Umum menyatakan bahwa
setiap setiap Kabupaten/Kota harus membuat
peraturan daerah
kabupaten/kota yang memuat ketentuan tentang persyaratan arsitektur bangunan gedung dengan mengadopsi, menjabarkan, dan lebih memperinci substansi Peraturan Daerah ini. Dengan masih
8
Ir. Ketut Witarka Yudiata, M.T., 2009, TABG, Mampukah Berperan Dalam Penataan Kota, http://www.balipost.co.id, diakses pada tanggal 26 maret 2015
lemahnya aturan saat ini merupakan suatu hal yang berat dalam mewujudkan misi Pemerintah Kota Denpasar dalam meweujudkan Denpasar sebagai kota yang berwawasan budaya, yang mana wajah kota merupakan cerminan dari identitas kota itu sendiri. Sehingga penulisan skriskpi ini menjadi sangat menarik mengingat Denpasar merupakan ibu kota Bali tentunya mendapat banyak sorotan dari domestik ataupun mancanegara karena merupakan tujuan destinasi pasriwisata Internasional. Penelitian ini sangat penting, mengingat manfaat yang sangat besar didapatkan ketika pelanggaran yang terjadi khususnya dapat diminimalisir. Dengan adanya penelitian ini dapat diketahui sejauh manakah Pemerintah Kota Denpasar mengimplementasikan Peraturan Daerah Provinsi Bali No.5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Artitektur Bangunan Gerdung. Berdasarkan pemaparan di atas, maka merupakan pendorong bagi penulis untuk menulis skripsi dengan judul: ”Penggunaan Arsitektur Style Bali pada Bangunan Gedung Dengan Fungsi Usaha Menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung (Studi: di Kota Denpasar) ”
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik dua permasalahan hukum, yaitu: 1. Bagaimanakah penerapan Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung di Kota Denpasar pada Bangunan Gedung Dengan Fungsi Usaha? 2. Bagaimanakah tindakan hukum terhadap pelanggaran arsitektur style bali pada bangunan gedung dengan fungsi usaha di kota Denpasar?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Agar tidak terjadi pembahasan yang berlebihan dan ada kesesuaian antara pembahasan dengan permasalahan maka penulis merasa perlu untuk memberikan batasan-batasan terhadap permasalahan tersebut sehingga masalah yang dibahas mempunyai ruang lingkup yang jelas. Adapun pembatasanya adalah sebagai berikut: 1. Dalam ruang lingkup pertama akan dibahas mengenai bagaimakah pengaturan Arsitektur Bangunan Gedung Fungsi Usaha. Dalam hal ini pembahasan yang dimaksud alah mengenai sikap dari pemerintah Kota Denpasar terkait instruksi Penjelasan atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 5 Tahun 2005 Tentang Persyartan Arsitektur Gedung dalam penjelasan Umum menyatakan bahwa setiap setiap Kabupaten/Kota harus membuat peraturan daerah kabupaten/kota yang memuat ketentuan tentang persyaratan arsitektur bangunan gedung dengan mengadopsi, menjabarkan, dan lebih memperinci substansi Peraturan Daerah ini. 2. Dalam ruang lingkup keduan akan lebih menekankan kepada tindakan hukum Pemerintahkan kota Denpasar dalam mewujudkan Denpasar yang Berwawasan Budaya terhadap pelanggaran style Bali pada Bangunan Gedung dengan Fungsi Usaha.
1.4 Orisinalitas Penelitian Untuk menunjukkan bahwa skripsi ini merupakan hasil pemikiran sendiri, penulis sampaikan 2 (dua) judul skripsi yang membahas mengenai persyaratan arsitektur bangunan gedung sebagai pembanding.
Pertama skripsi pada tahun 2010 yang ditulis oleh Alin Musfiriroh Arum dari Universitas Indonesia yang berjudul “Tinjauan Bentuk Aristektur Batavische Kunsetekring Jakarta Sebagai Bangunan Cagar Budaya”dengan satu rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimanakah pengaturan bentuk arsitektur pada Batavische Kunsetekring Jakarta sebagai peninggalan Cagar Budaya ? Kedua, skripsi pada tahun 2013 yang ditulis oleh Yasir Arfan dari Universitas Sumatra Utara yang berjudul “Status Kepemilikan Hak Cipta Arsitertur Yang dibuat Berdasarkan Hubungan kerja” dengan dua rumusan masalah yaitu 1. Bagaimanakah status kepemilikan hak cipta arsitektur yang dibuat berdasarkan hubungan kerja ? 2. Bagaimanakah akibat hukum dari putusnya hubungan kerja terhadap status kepemilikan hak cipta arsitektur ?
1.5 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Tujuan umum dari penulisan skripsi ini ialah untuk memberikan penjelasan umum tentang peranan pemerintah daerah dalam menjalakan aturan daerahnya. Pemerintah daerah Kota Denpasar dalam mewujudkan Kota Denpasar sebagai kota yang berwawasan budaya terhadap bangunan gedung fungsi usaha di kota Denpasar berkewajiban menerapkan ketentuan Peraturan Daerah Provinsi Bali No.5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitektur Gedung. b. Tujuan Khusus Sesuai permasalahan yang telah dipaparkan diatas adapun tujuan khusus dari penelitian ini
adalah
mengetahui
bagaimana
tindakan
Pemerintah
Kota
Denpasar
dalam
mengimplementasikan Peraturan Daerah Provinsi Bali No.5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur Gedung pada Bagungan Gedung Fungsi Usaha di Kota Denpasar. Berkaitan dengan rumusan masalah yang dipaparkan penulis, adapun tujuan khusus selanjutnya adalah untuk mengetahui bagaimana upaya-upaya Pemerintah Kota dalam mewujudkan Denpasar yang berwawasan budaya pada bangunan gedung dengan fungsi usaha.
1.6 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teorotis Manfaat teoritis adalah manfaat yang diberikan terhadap pengembangan ilmu hukum. Dari penelitian ini yaitu hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan pikiran bagi pengembangan disiplin bidang ilmu hukum khusunya cabang hukum administrasi dan langkah-langkah yang digunakan pemerintah sebagai alat negara dalam menjaga dan penegakan peraturan daerah yang berlaku.
b. Manfaat Praktis Manfaat praktis adalah manfaat yang memberikan kontribusi pada keperluan praktek di lapangan. Diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan sebagai wawasan dan bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kota Denpasar dalam hal orang atau badan hukum yang hendak mendirikan bangungan gedung dengan fungsi usaha, sehingga nantinya bermanfaat juga bagi masyarakat yang hendak membangun bangunan gedung dengan fungsi usaha juga akan mendapat arahan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
1.7 Landasan Teoritis
Landasan-landasan teoritis yang nantinya digunakan dalam penelitian hukum merupakan sebuah pijakan dasar yang kuat dalam membedah permasalah-permasalahan hukum terkait. Adapun Landasan Teoritis yang digunakan dalam penelitian ini yakni Teori Negara Hukum, Teori Kewenangan, Teori Penegakan Hukum. a. Teori Negara Hukum Secara Konstitusional Negara Indonesia adalah Negara Hukum, yang di ketahui dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyebutkan bahwa “Negara Indonesia Adalah Negara Hukum”. Untuk dapat disebut sebagai Negara Hukum maka harus memiliki dua unsure pokok yakni adanya perlindungan Hak Asasi Manusia serta adanya pemisahan dalam negara.9 Dalam perkembangannya timbul dua teori negara hukum. Unsurunsur rechtsstaat dikemukakan oleh Friedrich Julius stahl dari kalangan ahli hukum Eropa barat Kontinental sebagai berikut: 1. Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia; 2. Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan Negara harus berdasarkan teori Trias politika; 3. Dalam
menjalankan
tugas-tugasnya,
pemerintah
berdasarkan
undang-undang
(wetmatigbestuur); 4. Apabila dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasarkan Undang-Undang pemerintah masih melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang) maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya. Dalam pada itu, AV Dicey dari kalangan hukum Anglo Saxon memberikan penghertian the rule of law sebagai berikut:
9
Moh Kusnardi dan Bintang R. Saringgih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cet. 4, Gaya Media Pratama, Jakarta, h.132
1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum; 2. Kedudukan yang sama di depan hukum baik rakyat ataupun pejabat; 3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan.10 Perumusan ciri-ciri Negara hukum yang dilakukan oleh Stahl dan Dicey kemudian ditinjau lagi sehinga dapat menggambar perluasan tugas pemerintah yang tidak boleh lagi bersufat pasif. ”International Commision of Jurists” pada konferensinya di Bangkok pada tahun 1965 menenkankan bahwa di samping hak-hak politik rakyat harus diakui pula adanya hak-kak sosial dan ekonomi sehingga perlu dibentuk standar-standar dasar ekonomi. Komisi ini dalam konfrensi tersebut juga merumuskan syarat-syarat (ciri-ciri) pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law (yang dinamis, baru) sebagai berikut; 1. Perlindungan konstitusioanal, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi haruslah pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh hak-hak yang di jamin 2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. 3. Pemilihan umum yang bebas. 4. Kebebasan menyatakan pendapat. 5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi 6. Pendidikan kewarganegaraan. Dari ciri-ciri negara hukum (material) di atas, nampak adanya perluasan makna negara hukum formil dan pengakuan peran pemerintah yang lebih luas sehingga dapat menjadi rujukan bagi berbagai konsepsi Negara hukum.11 2. Teori Kewenangan
10 11
Anwar C., 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Intrans Publishing, h. 47-48 Ibid, h. 48
Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, misalnya mendatangi/menerbitkan surat izin dari seorang pejabat atas nama Menteri atau Gubernur Kepala daerah, sedangkan kewenangan tetap berada di tangan Menteri/Gubernur Kepala Daerah, dalam hal ini terdapat pendelegasian wewenang, jadi dalam kewenangan terdapat wewenangwewenang12 Kewenangan secara teorotik dapat diperoleh melalui 3 (tiga) cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Mengenai Atribusi, delegasi, dan mandate ini H.D. van Wijk/ Willem Konijnenbelt mengindenfikasikan sebagai berikut:13 1. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah 2. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah dari satu organ pemerintah kepada pemerintah lainnya 3. Mandat terjadi ketika organ pemerintah telah mengizinkan kewenanggannya dijalankan organ lain atas namanya. Dalam perkembangannya dan diterbitakanya Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru yaitu Undang-Undang No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Kewenangan terdiri dari kewenangan Desentrasisasi dan Dekonsentrasi. Desentrasilasi merupakan penyerahan urusan pemerintah oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah berdasarkan asas Otonomi Daerah, sedangkan Dekonsentrasi merupakan pelimpahan sebagain urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat kepada kepada instansi vertikal di wilayah tertentu dan atau kepada Gubernur atau Walikota sebagai penanggung jawab pemerintahan umum
12 13
Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah, P.T. Alumni Bandung, h. 271 Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, Edisi evisi, cet. 9, Rajawali Pers, h. 102
3. Teori Penegakan Hukum Secara konsepsional inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar dalam kaidah-kaidah yang mantab dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran
nilai-nilai
tahap
akhir
untuk
menciptakan,
memelihara,
dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.14 Penegakan Hukum dalam bahasa Inggris disebut dengan Law Enforcment, dalam baha Belanda disebut dengan Rechtshandhaving. Penegakan hukum sangat erat kaitannya dengan efektivitas hukum. menurut Freidmann berhasil atau tidaknya Penegakan hukum bergantung pada: Substansi Hukum,Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum.
15
a) Substanasi Hukum Dalam Teori ini disebut sebagi sistem substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berati produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun. b) Struktur Hukum Teori ini disebut sebagai sistem struktural yang menentukan bisa atau tidakanya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Kewenangan lembaga negara penegak hukum
14
Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.5 15 Robby Aneuknanggroe, 2013, Teori Penegakan Hukum, https://masalahhukum.wordpress.com, diakses pada tangga l 4 april 2015
dijamin oleh undang-undang, sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. jadi seberapa bagus suatu peraturan perundang-undangan jika tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan tidak bias ditegakkan. c) Budaya Hukum Menurut Friedman, kultur adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat, semakin tinggi kesadaran masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat terhadap hukum.
1.8 Metode Penelitian Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi Pengetahuan yang didapat lewat metode ilmiah, karena ideal ilmu adalah untuk memperoleh inteerlasi yang sistematis.16 a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis gunakan untuk menjawab dari apa yang menjadi rumusan masalah penulis ialah jenis penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris yakni penelitian dengan mengkaji suatu permasalahan berdasarkan norma-norma hukum yang mendasarinya serta menyesuaikan dengan tindakan pemerintah terhadap keadaan yang terjadi secara nyata di lapangan
b. Jenis Pendekatan
16
Bambang Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, P.T. Raja Grafindo, Jakarta, h. 44
Dalam penelitian hukum empiris mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yang dapat dijadikan acuan, dalam penulisan ini yang digunakan diantaranya: Pendekatan perundangundangan (The Statute Aproach) dan Pendekatan Fakta (The Fact Approacch) Dimana penulis akan mengkaji peraturan undang-undang yang berlaku dan menyesuaikan dengan bagaimana tindakan pemerintah dan pihak-pihak terkait di lapangan. c. Sumber Data Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data primer dan data sekunder sebagai berikut; 17 1. Data primer adalah data yang bersumber dari suatu penelitian lapangan, yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber dilapangan baik dari responden ataupun informan 2. Data sekunder yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan, yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk-bentuk bahan buku.18 Adapun yang termasuk dalam data sekunder antara lain: 1.
Undang-Undang
No.
28
Tahun
2002
Tentang
Persyaratan
Arsitektur Gedung 2.
Undang-Undang
No.
23
Tahun
2014
Tentang
Pemerintahan
daerah 3.
Peraturan
Daerah
Provinsi
Bali
No.
5
Tahun
2005
Tentang
Persyaratan Arsitertur Gedung
17
M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet I, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.43 18 Ibid. h. 83
d. Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan dan Pengolahan data dilakukan dengan mengunakan sumber hukum sebagai landasan penelitian di lapangan dan fakta-fakta yang terjadi di lapangan, diantaranya: 1. Penelitian Kepustakaan, yaitu data yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini diambil dari beberapa literature yang berkaitan dengan pembahasan. Pengumpulan data kepustakaan dilakukan dengan menggunakan catatan-catatan kecil dari penelitian terhadap beberapa buku atau literatur. 2. Terhadap data dilapangan dipergunakan teknik interview dengan pejabat/aparatur negara
terkait
dan
orang/badan
hukum
terkait.
e. Teknik Analisis Di dalam pengelolaan data yang diperoleh, dipergunakan metode pengolahan data secara kualitatif yaitu mengkaji dan mengevaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada terkait dengan obyek permasalahan dan kenyataan yang ada
dalam praktek
pelaksanaanya. Setalah mengkaji data dilapngan dengan mencocokkan peraturan yang berlaku, kemudian disajikan secara deskriptif analisis yaitu dengan menggambarkan secara lengkap.