BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang banyak sekali. Adanya kebutuhan hidup inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut (Suriasumantri, 1996). Salah satu tindakan yang dilakukan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhannya adalah dengan berbelanja. Berbelanja telah menjadi suatu kebutuhan. Hampir setiap pusat perbelanjaan di berbagai tempat, dipadati pengunjung. Apakah sekadar mencari hiburan, atau benar-benar mempergunakan waktu berbelanja. Hal ini membuat tren berbelanja berubah dari masa ke masa. Dahulu orang berbelanja karena ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Saat ini orang berbelanja karena berbagai macam sebab, untuk memanjakan diri sendiri, menyenangkan orang lain, membeli sesuatu dengan alasan hari raya, atau karena potongan harga. Bahkan, hanya sekadar gengsi, memperlihatkan dengan status sosial tertentu dapat berbelanja di tempat "X" dan mampu membeli barang dengan merek ternama (Moningka, 2006). Sikap membeli sesuatu sering tidak didasari pada kebutuhan yang sebenarnya. Perilaku yang dilakukan semata-mata demi kesenangan, sehingga
13
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan seseorang menjadi boros dan dikenal dengan istilah perilaku konsumtif (Widiastuti, 2002). Perilaku konsumtif adalah membeli barang tanpa pertimbangan rasional atau bukan atas dasar kebutuhan (Sumartono, 1998). Selanjutnya Mowen dan Minor (2002) mengatakan bahwa perilaku konsumtif adalah suatu perilaku yang tidak lagi didasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan membeli produk atau jasa tertentu untuk memperoleh kesenangan atau hanya perasaan emosi. Dahlan mendefinisikan yakni suatu perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan mewah yang berlebihan, penggunaan segala hal yang dianggap paling mahal memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik sebesar-besarnya serta adanya pola hidup manusia yang dikendalikan oleh suatu keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata (dalam Sumartono, 2002). Dahulu, perilaku konsumtif identik dengan para wanita, karena wanita selalu ingin merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Hal ini dilakukan dengan membeli kosmetik, pergi ke salon, dan membeli produk-produk perawatan tubuh. Berbeda dengan pria yang justru gemar berkumpul dalam komunitasnya dan melakukan aktivitas yang menguras keringat. Bahkan pria tidak mengenal deodorant, mereka akan menanyakan kembali apakah deodorant itu? Seiring dengan berubahnya tren yang terjadi di masyarakat dan juga pada
akhirnya
wanita membawa kebiasaan mempercantik diri ke dalam dunia kerja, sehingga penampilan dijadikan salah satu kriteria dalam penilaian karyawan dan diperhitungkan dalam promosi karir. Tidak mengherankan akhirnya para pria juga mengikuti perilaku wanita dalam hal berbelanja, melakukan perawatan diri ke
14
Universitas Sumatera Utara
salon dan membentuk badan yang ideal dengan pergi ke pusat kebugaran (Kartajaya, 2004). Hal ini membuat pergeseran gaya hidup pria saat ini. Pria dituntut lebih memperhatikan penampilan, tak hanya penampilan dirinya sendiri, tetapi juga halhal yang berhubungan dengannya. Kamar pria saat ini tidak identik dengan “ruangan yang kumuh”. Bahkan jika diperhatikan lebih teliti, kamar pria saat ini sudah jauh lebih rapi, bahkan daripada kamar wanita (Skripsiadi & Aning, 2005). Jika dahulu pria tidak senang berdandan atau berbelanja, karena dianggap hanya menghabiskan uang dan waktu, saat ini pria mulai gemar memanjakan dirinya. Ia mulai merawat sekujur tubuhnya, mulai dari perawatan rambut di salon, melakukan perawatan wajah, manikur-pedikur (perawatan kuku kaki dan tangan), membentuk badan di pusat kebugaran, hingga menggunakan wewangian (Kartajaya, 2004). Gaya hidup pria seperti yang dipaparkan diatas banyak terjadi di kota-kota besar dan tren ini disebut dengan gaya hidup metroseksual. Metroseksual diartikan sebagai sosok yang narsistik (cinta terhadap diri sendiri) dengan penampilan “dendi” yang jatuh cinta tidak hanya terhadap diri sendiri, tetapi gaya hidup urban. Pria metroseksual identik dengan pria yang suka memperhatikan penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pria metroseksual terdiri dari lelaki muda, yang mempunyai gaya hidup urban yang tinggi, seorang lelaki sejati, berpendidikan tinggi dan sentiasa kelihatan menarik (Kartajaya, 2004). Pria metroseksual akan melakukan berbagai hal agar dirinya terlihat semakin sempurna. Ia rela mengeluarkan uang banyak agar ia menjadi seseorang
15
Universitas Sumatera Utara
yang ia inginkan. Bentuk tubuh yang kurang bagus dapat diperbaiki dengan melakukan olahraga di pusat kebugaran, diet dan sebagainya. Bentuk rambut dapat dibentuk sesuai dengan yang diinginkan dengan melakukan perawatan di salon. Pria metroseksual betah berjam-jam di salon untuk melakukan perawatan rambut, wajah, sampai menghilangkan bulu-bulu di lengan atau punggung. Layaknya wanita, laki-laki metroseksual paling hobi belanja di mal atau butik, dan suka berkumpul di kafe. Mereka betah berjam-jam jalan-jalan di mal, dan itu dilakukan bukan untuk tujuan berbelanja, tapi lebih pada kesenangan berbelanja. Umumnya pria metroseksual hidup di kota besar dan kosmopolitan, mereka sangat brand-minded dan sangat tahu nama merek yang bagus dan bukan (Skripsiadi & Aning, 2005). Berdasarkan Indonesian Metrosexual Behavioral Survey yang dilakukan MarkPlus&Co, para pria metroseksual ini umumnya paling suka belanja (Yuswohady, 2006). Ketika masuk ke sebuah pusat perbelanjaan, umumnya pria metroseksual belum memiliki ide barang apa yang akan dibeli. Pria metroseksual hanya berjalan-jalan sambil melihat barang-barang yang ada di balik etalase kaca toko. Jika pria metroseksual akan membeli barang itu tergantung pada mood spontan yang muncul pada saat itu. Saat membeli suatu barang baik itu peralatan rumah tangga, mobil atau perangkat elektronik, pria metroseksual lebih memperhatikan
masalah
fungsionlitas
atau
estetika.
Apakah
para
pria
metrosesksual tersebut dapat menggunakan barang-barang tersebut merupakan bukan suatu masalah yang terpenting para pria metroseksual telah memiliki barang-barang itu terlebih dulu (Kartajaya, 2004).
16
Universitas Sumatera Utara
Pria metroseksual mempunyai pengeluaran yang cukup tinggi. Bagi pria metroseksual mengeluarkan uang lima juta rupiah sebulan untuk mendapatkan perawatan tubuh atau hanya untuk membeli setelan jas bukan suatu masalah (Kartajaya, 2004). Untuk hal yang berkaitan dengan mode, konsumen telah mencari informasi dan telah berbelanja terlebih dahulu (Robertson, Zielenski & Ward, 1984) Para pedagang atau penjaja barang-barang termasuk kelompok yang jeli melihat perkembangan ini. Di Indonesia para pemasar secara khusus menciptakan beragam produk mulai dari kosmetik, media, baju, hingga kafe. Pria metroseksual merupakan target para pemasar tersebut karena pria metrosekusal jelas punyak banyak uang dan tidak segan-segan mengeluarkannya demi membeli produkproduk
yang
diinginkan,
berapa
pun
harganya.
(http://www.kompas.co.id/kesehatan/news/0310/25/080628.htm). Di Indonesia tumbuhnya tren metroseksual didahului oleh masuknya produk perawatan dari luar negeri pada tahun 1997. Produk-produk tersebut kemudian banyak ditiru oleh produsen lokal dan sekarang produk pria ini sudah ada di pasaran, dari mulai harga yang murah sampai yang mahal, disesuaikan dengan kemapuan finansial yang ada. Pada awalnya terjadi hanya di kota –kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung (Skripsiadi & Aning, 2005). Saat ini kondisi ini telah merambah di kota Medan. Kota Medan merupakan kota yang dinamis, kota terbesar di Sumatera dan merupakan kota ketiga terbesar di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Banyak pusat-pusat perbelanjaan yang terdapat di kota Medan, terutama sekarang mulai dibangun
17
Universitas Sumatera Utara
pusat-pusat perbelanjaan yang cukup besar sehingga memudahkan warga Medan untuk berbelanja (dalam Wikipedia). Aktivitas berbelanja yang terlihat di pusat perbelanjaan tersebut tidak saja dilakukan oleh para ibu rumah tangga ataupun wanita bekerja, tetapi juga pada pria khususnya pada pria metroseksual. Perilaku konsumtif pada pria metroseksual dapat tergambar dari wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap seorang pria metroseksual pada hari Jum’at, tanggal 16 November 2007 di satu pusat perbelanjaan di kota Medan. “Hari gini, cowok tu harus wangi, rapi, bersih supaya cewek-cewek pada suka. Aku pasti belanja la. Biasanya sih aku belanja perlengkapan-perlengkapan laki-laki, kayak deodorant, body lotion, aftershave, pelembab muka, parfum klo ada yang baru. Baju dan celana juga lo. Beli kaos atau polo shirt. Aku suka beli-beli yang gak perlu kadang-kadang. Nanti niatnya beli apa yang dibeli bisa lebih dari itu, maklum la. Makanya aku suka ke pusat perbelanjaan. Kadang-kadang kalau ada waktu, aku juga suka creambath ke salon atau massage, enak lo, apalagi kalau udah capek di kantor. Lagian kalo kita gak kayak gini sekarang, kita bisa kalah ma cewek-cewek zaman sekarang. Ntar kita gak punya kerjaan lagi kalo gitu” Belanja merupakan kata yang sebenarnya sering digunakan sehari-hari dalam konteks perekonomian, baik di dunia usaha maupun di dalam rumah tangga. Kata yang sama telah berkembang artinya sebagai suatu cerminan gaya hidup dan rekreasi pada masyarakat kelas ekonomi tertentu (Tambunan, 2003). Melalui pemaparan masalah diatas maka peneliti ingin mengetahui perilaku konsumtif pria metroseksual di kota Medan.
I.B. Perumusan Masalah Dahulu hanya kaum wanita yang identik dengan hobi belanja, melakukan perawatan diri di salon, membeli produk kosmetik dan kecantikan, dan
18
Universitas Sumatera Utara
mengetahui merek yang bagus dan bukan. Semenjak banyak wanita bekerja, para pria mulai ingin tampil lebih menarik di lingkungan kerja dan akhirmya penampilan merupakan salah satu kriteria dalam penilaian karyawan. Sehingga membuat para pria sekarang melakukan hal-hal yang dilakukan para wanita. Dari uraian diatas penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku konsumtif pria metroseksual di kota Medan.
I. C. Pertanyaan Penelitian Permasalahan utama yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran perilaku konsumtif pria metroseksual di kota Medan dilihat dari indikator-indikator perilaku konsumtif tersebut.
I. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku konsumtif pria metroseksual di kota Medan.
I. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah memperkaya khazanah ilmu psikologi
khususnya di bidang Psikologi Industri dan Organisasi,
mengenai perilaku konsumtif pada pria metroseksual di kota Medan. 2. Manfaat praktisnya dapat digunakan bagi bidang pemasaran sebagai dasar menentukan strategi pemasaran untuk perkembangan perusahaan.
19
Universitas Sumatera Utara
I. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Dalam bab ini akan dijelaskan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan serta manfaat penelitian. Bab II Landasan Teori Dalam bab ini akan diuraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian yang meliputi landasan teori dari perilaku konsumtif. Bab III Metodologi Penelitian Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, lokasi penelitian, alat ukur yang digunakan, uji daya beda item, dan reliabilitas serta metode analisis data.
20
Universitas Sumatera Utara