BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia.
Fungsi
lahan
sebagai
tempat
manusia
beraktivitas
untuk
mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat oleh manusia, seperti untuk tempat tinggal, tempat melakukan usaha, pemenuhan akses umum dan fasilitas lain akan menyebabkan lahan yang tersedia semakin menyempit. Kebutuhan akan lahan non pertanian cenderung terus mengalami peningkatan, seiring pertumbuhan dan perkembangan peradaban manusia, maka penguasaan dan penggunaan lahan mulai beralihfungsi. Alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali apabila tidak ditanggulangi dapat mendatangkan permasalahan yang serius, antara lain dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan. Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dapat berdampak terhadap turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang lebih luas dan berkaitan dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat. Alih fungsi lahan sawah juga menyebabkan hilangnya kesempatan petani memperoleh pendapatan dari usahataninya. Arah perubahan ini secara langsung atau tidak langsung akan berdampak terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian wilayah dan nasional (Winoto, 1995; Nasoetion dan Winoto, 1996) dalam Rahmanto et al. (2003).
1
Saat ini sangat marak sekali alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. Menurut Sutomo dalam Abdurachman et. al. (2005:131), lahan sawah di luar Jawa terutama dikonversi menjadi lahan pertanian bukan sawah (48,60%) dan perumahan (16,10%), sedangkan di Jawa menjadi perumahan (58,70%) dan lahan pertanian bukan sawah (21,80%). Menurut Irawan dalam Abdurachman et al. (2005:131), luas sawah yang terkonversi di Jawa selama tahun 1978-1998 mencapai 1,07 juta ha, yang berarti bahwa terjadi penyusutan sebesar 8.000 ha/tahun atau 23%/tahun. Kemudian pada periode Agustus 1999-Agustus 2002 telah terjadi pengurangan sawah di Indonesia sebesar 563.159 ha dan sekitar 30% diantaranya berupa lahan sawah subur di Jawa (Sutomo dalam Abdurachman et al.,2005:131). Berkurangnya
lahan
pertanian
juga
menimbulkan
dampak
pada
produktifitas hasil pertanian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahmanto, et al. (2003), ditinjau dari aspek produksi, kerugian akibat alih fungsi lahan sawah di Jawa selama kurun waktu 18 tahun (1981-1998) diperkirakan telah menyebabkan hilangnya produksi beras sekitar 1,7 juta ton/tahun atau sebanding dengan jumlah impor beras tahun 1984-1997 yang berkisar antara 1,5- 2,5 juta ton/tahun. Alih fungsi lahan pertanian dapat terjadi karena latar belakang sosial maupun ekonomi pemilik lahannya. Faktor ekonomi itulah yang seringkali menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan di luar pertanian. Kondisi demikian memang sulit dihindari mengingat pemanfaatan lahan untuk kegiatan di luar pertanian memberikan keuntungan per satuan lahan yang jauh lebih tinggi. Hal ini dicerminkan oleh nilai land rent lahan untuk
2
penggunaan pertanian yang sangat rendah dibandingkan kegiatan lain yaitu sekitar 1: 500 untuk kawasan industri dan 1 : 622 untuk kawasan perumahan (Nasoetion dan Winoto, 1996) dalam Simatupang dan Irawan (2003). Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menyebutkan Provinsi DIY merupakan kawasan andalan yang mempunyai banyak potensi, salah satunya potensi di bidang pertanian. Sektor pertanian merupakan sektor yang strategis bagi DIY yang memegang peranan penting sebagai sumber penyediaan bahan pangan, penyediaan lapangan kerja, dan juga pemberi input bagi sektor industri. Kondisi tahun 2013, luas sawah di Provinsi DIY adalah 56.539 ha. Lahan sawah
terluas berada di Kabupaten Sleman, yaitu 22.835 ha sedangkan di Kota Yogyakarta luas lahan sawah hanya sebesar 71 ha. Selanjutnya tabel 1 menunjukkan sawah (wetland) tahun 2009-2013 di Provinsi DIY. Tabel 1. Luas Sawah/Wetland di Provinsi DIY tahun 2009-2013 No
Kabupaten/ Kota
Luas Sawah/Wetland (ha) 2009
2010
2011
2012
2013
1.
Kulonprogo
10.280
10.304
10.304
10.299
10.297
2.
Bantul
15.569
15.465
15.453
15.482
15.471
3.
Gunungkidul
7.865
7.865
7.865
7.865
7.865
4.
Sleman
22.914
22.819
22.786
22.642
22.835
5.
Yogyakarta
84
85
83
76
71
Jumlah
56.712
56.538
56.491
56.364
56.539
Sumber: BPS Provinsi DIY (2014)
3
Berdasarkan data tabel 1 menunjukkan luas sawah di Provinsi DIY terus mengalami penyusutan dari tahun ke tahun. Selama tahun 2009-2013 telah terjadi pengurangan luas sawah dari 56.712 ha menjadi 56.539 ha atau sekitar 0,31%. Perubahan luas sawah terbesar terjadi di Kabupaten Bantul dengan pengurangan luas sawah dari 15.569 ha menjadi 15.471 ha atau sekitar 0,63%. Berbagai upaya telah dilaksanakan Pemerintah Provinsi DIY untuk mengendalikan laju konversi lahan pertanian, salah satunya adalah dengan melaksanakan amanat yang tercantum dalam UU Nomor 41 Tahun 2009 dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DIY Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dalam perda tersebut, Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah Daerah ditetapkan dengan luas paling kurang 35.911,59 Ha yang tersebar di wilayah: a. Kabupaten Sleman dengan luas paling kurang 12.377,59 Ha; b. Kabupaten Bantul dengan luas paling kurang 13.000 Ha; c. Kabupaten Kulon Progo dengan luas paling kurang 5.029 Ha; dan d. Kabupaten Gunungkidul dengan luas paling kurang 5.505 Ha.
Kabupaten Bantul sebagai daerah penyangga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai kedudukan yang strategis dan pemasok kebutuhan pangan di Provinsi DIY. Pada tahun 2012, produksi padi sawah di Kabupaten Bantul sebesar 204.959 ton, sedangkan produksi padi gogo/ladang sebesar 396 ton. Jumlah seluruh produksi padi di Kabupaten Bantul pada tahun 2012 sebesar 205.355 ton atau sekitar 21,70% dari seluruh produksi padi di Provinsi DIY (BPS Provinsi DIY, 2013).
4
Hampir setengah dari luas wilayah Kabupaten Bantul merupakan kawasan budidaya pertanian dengan tingkat kesuburan yang cukup tinggi dengan didukung irigasi teknis pada sebagian besar areal persawahan yang ada. Penggunaan lahan pada tahun 2013 menunjukkan jenis lahan yang berfungsi sebagai kebun campur dan sawah menunjukkan luasan yang paling banyak yaitu masing-masing seluas 16.597,40 ha dan 16.033,63 ha. Kondisi tersebut menunjukan bahwa sektor pertanian dan perkebunan merupakan sektor yang paling banyak di jadikan sumber mata pencaharian bagi warga Kabupaten Bantul sebagaimana tabel berikut: Tabel 2. Penggunaan Tanah di Kabupaten Bantul Tahun 2009-2013 No. Penggunaan Tanah
Luas Lahan (ha) 2009
2010
2011
2012
2013
3.810,73
3.844,39
3.874,46
3.796,75
3.828,07
1
Pemukiman
2
Sawah
16.046,22 15.994,20 15.942,34 16.062,70 16.033,63
3
Tegalan
6.637,39
4
Kebun Campur
5
Hutan
1.385,00
1.385,00
1.385,00
1.385,00
1.385,00
6
Tanah Tandus
543,00
543,00
543,00
543,00
543,00
7
Tambak
30,00
30,00
30,00
30,00
30,00
8
Lain-lain
5.630,21
5.652,54
5.674,34
5.630,21
5.634,07
Jumlah
50.685,00 50.685,00 50.685,00 50.685,00 50.685,00
6.633,41
6.633,41
6.635,26
6.633,84
16.602,46 16.602,46 16.602,46 16.602,08 16.597,40
Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul (2014) Berdasarkan tabel 2, luas lahan sawah mengalami penurunan dan sebaliknya luas pemukiman mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data alih fungsi pada tahun 2012 ke tahun 2013, penggunaan lahan pertanian ke non
5
pertanian meningkat, terlihat lahan pemukiman mengalami peningkatan sebesar 31,32 ha, sedangkan luas lahan sawah dan tegalan mengalami pergeseran sebesar 30,49 ha. Pergeseran luas sawah dan tegalan yang terjadi dikarenakan alih fungsi penggunaan ke non pertanian, dengan luas penggunaan yang besar untuk peruntukan pemukiman. Kondisi pengurangan lahan sawah maupun tegalan yang terjadi pada akhirnya akan merugikan petani dan seluruh masyarakat pada umumnya.
Gambar 1. Peta Kabupaten Bantul Upaya-upaya pengendalian konversi lahan pertanian terus diupayakan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul, salah satunya dengan memasukkan lahan pertanian dalam rencana tata ruang wilayah daerah. Berdasarkan Perda Kabupaten Bantul Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul Tahun 2010 – 2030 menjelaskan kawasan peruntukan pertanian meliputi kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, dan kawasan peternakan.
6
Kawasan pertanian lahan basah di Kabupaten Bantul direncanakan seluas kurang lebih 13.324 ha atau 26,29% dari luas wilayah Kabupaten Bantul difokuskan terutama pada bagian tengah dan selatan, tetapi penyebarannya terdapat di seluruh kecamatan di Kabupaten Bantul kecuali Kecamatan Kasihan hanya sebagian kecil wilayah. Kawasan pertanian lahan kering direncanakan seluas kurang lebih 5.247 ha atau 10,35% dari luas wilayah Kabupaten Bantul difokuskan terutama pada bagian timur. Dalam rencana tata ruang wilayah tersebut juga mengamanatkan agar direncanakan pembangunan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Saat ini proses penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LPPB) di Bantul masih belum selesai. Banyak kendala dan hambatan yang dihadapi dalam proses penetapan LPPB, tidak hanya faktor teknis, namun juga faktor sosial yang melibatkan masyarakat petani pemilik lahan. Faktor teknis yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan proses identifikasi dan pemetaan lokasi lahan sebesar 13.000 ha. Sedangkan faktor sosial yang dimaksud adalah lebih berhubungan dengan keengganan dari masyarakat untuk melepas lahan pertaniannya menjadi LPPB. Dalam proses penetapan LPPB, upaya Pemerintah Kabupaten Bantul tidak cukup hanya berupa dokumen perencanaan yang dapat dijadikan acuan dalam implementasinya, tetapi juga penting untuk melihat persepsi dari stakeholders lain seperti masyarakat petani yang langsung berkaitan sebagai pelaku utama, maupun dari pakar/akademisi di bidang pertanian yang paham tentang konsep LPPB. Pelibatan masyarakat petani sangat penting karena pada akhirnya masyarakat petani itu sendiri yang nantinya melakukan kegiatan konversi lahan dengan menjual lahan mereka dengan berbagai alasan. Sehingga walaupun bersifat
7
subyektif, penilaian tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam mengoptimalkan penetapan LPPB dengan mengakomodir semua kepentingan didalamnya. Berdasarkan
penjelasan
tersebut
menunjukkan
stakeholders
juga
mempunyai peranan yang cukup penting dalam mendukung keberhasilan proses penetapan LPPB. Masing-masing stakeholders pasti mempunyai banyak persepsi terkait kebijakan penetapan LPPB. Perbedaan persepsi ini yang mengakibatkan munculnya pro dan kontra dari berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut. Perbedaan persepsi dari stakeholders ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan dampak dari tujuan kebijakan tersebut terhadap kondisi kehidupan. Perbedaan persepsi ini sering kali menghasilkan visi yang berbeda dan bahkan seringkali memicu terjadinya konflik. Berdasarkan hal tersebut, maka sangat menarik untuk dilakukan suatu penelitian tentang persepsi stakeholders yang memiliki kepentingan terhadap rencana penetapan LPPB. Dengan demikian, proses formulasi penetapan LPPB dapat diterima oleh seluruh pemangku kepentingan dengan mempertimbangkan perbedaan kepentingan sehingga bisa menghasilkan strategi pengendalian konversi lahan pertanian yang optimal dan diterima oleh semua sektor. Selanjutnya, diharapkan hasil persepsi dari stakeholders pada setiap level ini bisa digunakan sebagai salah satu rekomendasi yang dapat memperkuat penetapan kebijakan Pemerintah Kabupaten Bantul serta sebagai pedoman untuk mengambil keputusan secara tepat.
8
1.2.
Perumusan Masalah Laju konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian di Kabupaten
Bantul terus terjadi yang terlihat pada penurunan luas sawah dari tahun ke tahun. Dampak dari konversi ini tidak hanya menurunkan produktifitas hasil pertanian, namun juga
mengancam ketahanan pangan dalam jangka panjang. Melalui
Undang Undang Nomor 41 tahun 2009 dan Perda Provinsi DIY Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, diharapkan mampu mendorong dalam penyediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan, untuk mencegah hilangnya manfaat perlindungan lingkungan. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah: Bagaimana persepsi stakeholders dalam proses penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bantul? 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan jawaban terhadap
perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas. Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Untuk mengetahui Stakeholders yang terlibat dalam proses Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui persepsi stakeholders dalam Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
9
1.4
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademik a. Sebagai tambahan literatur atau bahan kajian dalam studi ilmu administrasi publik. b. Sebagai bahan informasi ilmiah bagi peneliti-peneliti yang ingin melihat kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. 2. Manfaat Praktis a. Bagi pemerintah daerah sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. b. Bagi masyarakat sebagai tambahan pengetahuan bahwa untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional, lahan pertaniannya harus dipertahankan.
10