PENDAHULUAN Olahraga pada hakikatnya adalah salah satu unsur yang berperan penting dalam kehidupan manusia. Untuk menjadi sehat dan bugar, seorang manusia mutlak harus melakukan kegiatan olahraga. Menurut Renstrom & Roux (1988), olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana untuk memelihara gerak (mempertahankan hidup) dan meningkatkan kemampuan gerak (meningkatkan kualitas hidup). Olahraga sebagai alat untuk memelihara dan membina kesehatan, tidak dapat ditinggalkan. Olahraga merupakan alat untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani, dan sosial. Selain memberikan banyak manfaat positif, olahraga pun dapat memainkan peran menjadi semacam alat untuk mengharumkan nama suatu daerah bahkan bangsa. Menilik kenyataan di atas, menjadi tidak mengherankan apabila setiap bangsa di seluruh dunia berlomba-lomba menampilkan atlet-atlet terbaiknya untuk mencetak prestasi di setiap pertandingan olahraga karena tingginya prestasi olahraga akan turut pula mendongkrak citra sebuah bangsa di kancah internasional. Pembinaan dan latihan-latihan untuk meningkatan kemampuan secara fisik, kognisi, maupun emosi diberikan kepada tiap atlet dalam rangka mencapai prestasi yang maksimal. Pada bidang olahraga yang sama, dengan perlakuan yang sama, dan menggunakan fasilitas berlatih secara bersama, prestasi yang dihasilkan pada diri tiap atlet berbeda. Ada atlet yang dapat memenangkan pertandingan berkali-kali sedangkan lainnya tidak (Hutapea, 2010). Untuk menjadi seorang atlet yang berprestasi diperlukan rasa percaya diri, bakat, pengalaman, dan juga motivasi untuk berprestasi. Menurut Smith (dalam Satiadarma, 2000), motivasi memiliki peran 1
yang penting dalam mempengaruhi prestasi atlet. Gill (dalam Gould & Weinberg, 2007) menyatakan bahwa motivasi berprestasi adalah orientasi individu untuk berusaha mencapai kesuksesan, bertahan saat gagal, dan mendapatkan penghargaan saat mencapai prestasi. Menurut Gunarsa (1989), atlet yang berprestasi tinggi hampir tidak mungkin muncul dari hasil latihan diri sendiri. Dalam banyak hal justru peran pelatih sangat penting dalam mencetak seorang atlet yang berkualitas dan berprestasi tinggi. Seorang pelatih bertindak sebagai pemimpin yang bertugas untuk mengarahkan atletnya untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Fungsi pelatih sebagai pemimpin menjadi menarik, karena salah satu kunci utama dalam keberhasilan para atlet terletak pada kemampuan seorang pelatih dalam memimpin atletnya (Situmorang, 2008). Zainun (1990) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi adalah kepemimpinan yang ada dalam organisasi. Dalam sebuah organisasi terdapat dua pelaku utama aktivitas organisasi, yaitu pimpinan dan bawahan yang dipimpinnya. Dengan penerapan fungsi-fungsi manajemen yang tepat oleh para pemimpin maka akan terjalin hubungan kerjasama yang baik antara pemimpin dengan bawahannya sehingga pada akhirnya apa yang menjadi visi, misi, dan tujuan organisasi dapat dicapai. Sejalan dengan Zainun,
Weinberg
dan
Gould
(dalam
Satiadarma,
2000)
mengungkapkan bahwa menurut teori orientasi interaksional, salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi adalah gaya kepemimpinan. Menurut Nawawi (2003) ada tiga gaya kepemimpinan, yaitu otoriter, demokratis, dan kendali bebas. Gaya kepemimpinan otoriter menghimpun sejumlah perilaku atau gaya kepemimpinan yang bersifat terpusat pada pemimpin (sentralistik) sebagai satu-satunya penentu, 2
penguasa, dan pengendali anggota organisasi dan kegiatannya dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Sedangkan gaya kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia, dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal (pada diri sendiri) dan kerjasama yang baik. Kekuatan kepemimpinan demokratis ini bukan terletak pada person atau individu pemimpin, akan tetapi kekuatan justru terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok. Gaya kepemimpinan kendali bebas (laissez faire) pada gaya kepemimpinan ini sang pemimpin praktis tidak memimpin, dia membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semau sendiri. Pemimpin tidak berpartisipasi sedikit pun dalam kegiatan kelompoknya, semua pekerjaan dan tanggung jawab harus dilakukan oleh bawahan sendiri. Berbeda dengan Nawawi, menurut Burns (1978) terdapat dua gaya kepemimpinan, yaitu gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional. Gaya kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Sedangkan gaya kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggung jawab mereka lebih dari yang diharapkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), gaya kepemimpinan transformasional merupakan gaya kepemimpinan yang mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh perhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Menurut Burn (dalam Bass, 1985) kepemimpinan
transformasional
merupakan
perluasan
dari
kepemimpinan karismatik; menciptakan visi, dan lingkungan yang 3
memotivasi para bawahan untuk berprestasi melampaui harapan. Situmorang (2008) menyatakan bahwa tidak ada gaya kepemimpinan yang paling baik. Gaya kepemimpinan hendaknya disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan yang ada di lapangan. Dalam penelitian ini, subjek yang akan diteliti adalah atlet olahraga cabang kempo di Provinsi Jawa Tengah. Olahraga kempo memiliki nama asli Shorinji Kempo dan atlet Kempo disebut kenshi. Kempo adalah beladiri yang semula berasal dari India yang kemudian berkembang pesat di daratan Cina dan kini berpusat di Jepang. Olahraga kempo memiliki ciri bertahan yang dipengaruhi oleh dasar falsafah untuk tidak menyakiti terlebih dahulu. Berdasarkan doktrin ini, mempengaruhi pula susunan beladiri Kempo, sehingga gerakan teknik selalu dimulai dengan mengelak atau menangkis serangan dahulu, baru kemudian membalas. Selanjutnya disesuaikan menurut kebutuhan, yakni menurut keadaan serangan lawan (PERKEMI, 1990) Di Indonesia kempo berkembang pada tahun 1966 dengan terbentuknya PERKEMI (Persaudaraan Bela Diri Kempo Indonesia), dan sejak PON IX tahun 1976 di Jakarta, kempo termasuk salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan. Kempo sudah ada sejak lama, namun baru berkembang pembinaan dan pelatihannya. Prestasi tim kempo Indonesia dapat dilihat pada kejuaraan dunia kempo di Jepang pada tahun 2005 lalu, Indonesia meraih posisi kedua untuk memperebutkan juara umum (dalam Majalah Tempo Online, 24 Oktober 2005) serta menempati posisi pertama pada kejuaraan dunia kempo saat menjadi tuan rumah pada tahun 2009 yang lalu (dalam Kompas.com, 31 Juli 2009). Indonesia menjadi tuan rumah pada Sea Games XXVI 2011 dan kempo menjadi salah satu cabang olahraga yang pertama kali ditampilkan di salah satu event olahraga bergengsi 4
ini. Meskipun baru pertama kali ditampilkan dalam Sea Games, tim kempo Indonesia boleh berbangga karena dapat menjadi juara umum setelah menyisihkan tujuh negara yang mengikuti cabang olahraga ini (dalam suarapembaruan.com, 21 November 2011). Kempo di Jawa Tengah berkembang sejak tahun 1968 dan telah mengirim atlet-atletnya dalam Kejuaraan Nasional Kempo, Kejuaraan Nasional antar Mahasiswa Kempo, dan Pekan Olahraga Nasional namun belum pernah menjadi juara umum, hanya beberapa atlet yang meraih prestasi (Handayani dan Novianto, 2006). Berdasarkan wawancara dengan Pengurus Provinsi PERKEMI Jawa Tengah, prestasi maksimal sulit dicapai karena sulitnya menyatukan visi dan komitmen setiap atlet. Kepribadian atlet yang beragam (seperti malas berlatih, mudah emosional, ingin menonjolkan diri bahkan ada yang sangat disiplin) membuat pelatih mengalami kesulitan. Hubungan antara tipe kepribadian atlet dengan motivasi berprestasi pernah diteliti sebelumnya oleh Hutapea (2010) pada atlet kempo di DKI Jakarta yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan motivasi berprestasi ditinjau dari tipe kepribadian. Selanjutnya Hutapea mengatakan, untuk meningkatkan motivasi berprestasi atlet, selain memperhatikan kebutuhan individu yang bersangkutan, faktor situasional seperti gaya kepemimpinan pelatih, fasilitas, dan hasil yang pernah dicapai sebelumnya juga harus diperhatikan. Di PERKEMI Jawa Tengah terdapat berbagai jenis gaya kepemimpinan pelatih (otoriter, demokratis, transformasional, dan sebagainya), oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang persepsi terhadap gaya kepemimpinan pelatih terhadap motivasi berprestasi atlet. 5
Penelitian lain dilakukan oleh Leonardo (2007) di PB Panorama Solo menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan dan positif antara motivasi berprestasi atlet dengan gaya kepemimpinan transformasional pelatih. Semakin tinggi persepsi terhadap gaya kepemimpinan transformasional pelatih, maka semakin tinggi pula motivasi berprestasi atlet. Subjek yang digunakan pada penelitian Leonardo adalah atlet bulutangkis. Menurut (Harsono, 1988), atlet bulu tangkis membutuhkan konsentrasi tinggi sedangkan pada penelitian yang peneliti lakukan, peneliti menggunakan atlet kempo yang merupakan olahraga beladiri dan dibutuhkan agresivitas yang lebih. Atlet pada olahraga bulutangkis tidak bersentuhan fisik langsung dengan lawan mainnya. Sedangkan pada olahraga kempo terjadi kontak fisik langsung dengan lawan mainnya sehingga lebih rentan terhadap tekanan mental. Seperti yang diungkapkan oleh Simon dan Marten (dalam Hardy dkk, 1999), kecemasan bertanding akan lebih tinggi pada olahraga kontak daripada olahraga non-kontak. Dengan adanya intimasi antara pelatih dengan atlet secara signifikan dapat mereduksi kecemasan atlet tersebut (Lee, 1993). Dari beberapa gaya kepemimpinan yang sudah disebutkan di atas, peneliti mengambil gaya kepemimpinan transformasional untuk diteliti. Alasan peneliti mengambil gaya kepemimpinan tersebut karena pada gaya kepemimpinan transformasional pemimpin berhubungan langsung dengan bawahan dibanding dengan gaya kepemimpinan yang lain, selain itu gaya kepemimpinan transformasional dapat menjawab kebutuhan yang ada di dalam PERKEMI Jawa Tengah, seperti menyamakan visi dalam berkempo, serta menciptakan lingkungan yang memotivasi para atlet untuk berprestasi dengan maksimal. Di samping itu, gaya kepemimpinan transformasional ini juga dapat 6
menciptakan hubungan baik antara pelatih dengan atlet pada olahraga kempo (seperti yang sudah dijelaskan di atas, atlet pada olahraga ini rentan terhadap kecemasan saat bertanding). Adanya hubungan yang baik tersebut, dapat menekan tingkat kecemasan atlet pada saat bertanding sehingga atlet dapat menampilkan performa terbaiknya dan berprestasi dengan maksimal.
Rumusan Permasalahan Rumusan permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan positif antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan transformasional pelatih dengan motivasi berprestasi atlet kempo di PB PERKEMI Jawa Tengah.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui hubungan positif antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan transformasional pelatih dengan motivasi berprestasi atlet kempo di PERKEMI Jawa Tengah. Sedangkan manfaat dari penelitian ini, secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan psikologi terutama Psikologi Industri & Organisasi dan Psikologi Olahraga. Manfaat praktis Bagi PERKEMI Jawa Tengah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menerapkan gaya kepemimpinan transformasional di PERKEMI Jawa Tengah guna meningkatkan motivasi berprestasi atlet. Bagi pelatih, hasil penelitian ini
diharapkan
dapat
memberikan
gambaran
mengenai
gaya
kepemimpinan transformasional dan motivasi berprestasi atlet, sehingga dapat memaksimalkan kepemimpinan pelatih serta motivasi berprestasi atlet yang dibina. Bagi atlet, hasil penelitian diharapkan 7
dapat
memberikan
gambaran
mengenai
gaya
kepemimpinan
transformasional pelatih dengan motivasi berprestasi atlet, sehingga atlet dapat memaksimalkan motivasi berprestasinya
TEORI Teori Motivasi Berprestasi Menurut Winkel (dalam Uno, 2010) motif adalah daya penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas tertentu, demi mencapai tujuan tertentu. Motivasi merupakan dorongan yang terdapat dalam diri seseorang untuk berusaha mengadakan perubahan tingkah laku yang lebih baik dalam memenuhi kebutuhannya. Menurut Alderman (dalam Satiadarma, 2000), motivasi sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku secara selektif ke suatu arah tertentu yang dikendalikan oleh adanya konsekuensi tertentu, dan perilaku tersebut akan bertahan sampai sasaran perilaku dapat dicapai. Menurut Gill (dalam Gould & Weinberg, 2007), motivasi berprestasi adalah orientasi individu untuk berusaha mencapai kesuksesan, bertahan saat gagal, dan mendapatkan penghargaan saat mencapai prestasi. Gunarsa (2008) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai suatu dorongan yang harus ada dan penting sekali untuk mencapai keberhasilan. Sementara itu, McClelland (1987) mengatakan bahwa motivasi berprestasi adalah motif yang mendorong individu untuk meraih sukses dan bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan beberapa ukuran keunggulan yang dapat berupa prestasinya sendiri pada masa lampau ataupun dengan orang lain.
8
Aspek-aspek Motivasi Berprestasi McClelland
(1987)
mengemukakan
aspek-aspek
motivasi
berprestasi sebagai berikut: a. Melakukan cara-cara baru dan kreatif Individu menyukai pekerjaan yang menuntut usaha dan kemampuannya,
terutama
pekerjaan
yang
menuntut
pengembangan cara-cara baru dan kreatif. b. Bertanggung jawab Individu memiliki rasa percaya diri dan bertanggung jawab atas kegiatan yang dibebankan kepadanya, serta hasil yang nantinya akan diperoleh dari perilakunya. c. Mencari atau menggunakan umpan balik Individu mempunyai keinginan mengetahui hasil konkret dari usahanya sehingga dapat memperbaiki perilaku dan tidak mengulangi di masa yang akan datang. d. Memilih taraf resiko moderat (sedang). Individu mampu memperhitungkan resiko yang akan diterima dari pekerjaannya. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi Menurut
Suryabrata
(2002)
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi motivasi berprestasi adalah sebagai berikut: a.
Faktor-faktor yang berasal dari luar individu (eksternal) 1.
Faktor-faktor non sosial Faktor-faktor non sosial adalah faktor yang berada diluar lingkungan sosial yaitu suhu, udara, cuaca, waktu (pagi, sore ataupun malam), tempat dan sebagainya.
9
2.
Faktor-faktor sosial Faktor-faktor sosial yang dimaksud adalah faktor manusia (sesama manusia), baik ketika manusia itu hadir secara langsung maupun tidak langsung.
b.
Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal) 1.
Faktor fisiologis Faktor-faktor fisiologis yang dimaksud adalah keadaan jasmani fisik individu apakah dalam keadaan sehat atau sakit (keadaan jasmani)
2.
Faktor psikologis Faktor psikologis yang dimaksud disini adalah cita-cita, motivasi, keinginan, ingatan, perhatian, pengalaman dan motif-motif yang mendorong belajar individu. Kebutuhan psikologis ini pada umumnya bersifat individual.
Teori Persepsi terhadap Gaya Kepemimpinan Transformasional Pelatih Persepsi menurut Robbins (2006) adalah proses yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan kesan inderanya dalam rangka memberikan makna kepada lingkungannya. Atkinson & Atkinson (1997) mengatakan bahwa persepsi merupakan proses di mana seseorang mengorganisir dan mentrafser pola stimulus dalam lingkungan. Brooks dan Fahey (dalam Situmorang, 2008) menyatakan bahwa pelatih mempunyai tugas sebagai perencana, pemimpin, teman, pembimbing, dan pengontrol program latihan. Sedangkan atlet mempunyai tugas melakukan latihan sesuai program yang telah ditentukan pelatih. Seorang atlet tidak akan bisa sukses tanpa pelatih 10
yang berpengalaman, sehingga penting untuk menciptakan suatu hubungan yang baik antara pelatih dengan masing-masing atletnya (Cogan, 2004). Menurut Adisasmito (2007), pelatih sering berinteraksi dengan atlet, karena itulah pelatih mempunyai peluang dan tanggung jawab yang besar untuk mengoptimalkan prestasi atlet untuk berprestasi. Cogan (2004) menambahkan bahwa idealnya hubungan antara pelatih dengan atletnya disertai dengan saling menghormati, saling pengertian, saling mempercayai dan adanya percakapan yang bersifat terbuka dan bersifat dua arah antara pelatih dan atletnya serta pengungkapan perasaan dan permasalahan pribadi. Gaya kepemimpinan hendaknya disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan yang ada di lapangan (Situmorang, 2008). Gaya kepemimpinan menurut Ranupanjo dan Hustan (2002) adalah pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Popper
&
Zakkai
(1994)
mendefinisikan
kepemimpinan
transformasional adalah kepemimpinan yang pro aktif. Pemimpin semacam ini melihat kondisi saat ini sebagai batu loncatan untuk pencapaian tujuan di masa depan. Pemimpin transformasional memiliki visi yang sangat baik, retoris, dan keterampilan manajemen emosi yang digunakan untuk membangun ikatan emosional yang erat dengan bawahan, dan mereka cenderung lebih berhasil dalam menangani perubahan organisasi karena tingkat emosional bawahan meningkat dan upaya mereka untuk mencapai visi pemimpin (Bass, 1985).
11
Dimensi Gaya Kepemimpinan Transformasional Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan tranformasional mempunyai empat dimensi, yaitu: a. Idealized influence Pemimpin bertindak sebagai role model. Mereka dihormati, dikagumi dan dapat dipercaya. Bawahan mengidentifikasikan mereka dan menggambarkan mereka sebagai sosok
yang
menyiratkan kemampuan yang luar biasa, tekun dan penuh tekad. Pemimpin bersedia mengambil risiko. Mereka secara konsisten dapat diandalkan untuk melakukan hal yang benar, menampilkan standar moral dan etika yang tinggi. b. Inspirational motivation Pemimpin harus dapat bertindak dengan cara memotivasi dan memberikan inspirasi dengan menyediakan pengertian dan tantangan kepada bawahan. Semangat dalam tim muncul, terdapat optimisme
dan
antusiame
dalam
kelompok.
Pemimpin
mendapatkan komitmen bawahan untuk terlibat dalam berbagai pandangan ke depan, dapat menciptakan harapan dengan komunikasi dan berbagai komitmen terhadap tujuan bersama. c. Intellectual stimulation Pimpinan memberikan stimulasi kepada bawahan untuk bersikap kreatif, inovatif, dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan bersifat asumsi menyelesaikan masalah dengan cara baru (membuat
pendekatan
baru
dalam
menghadapi
masalah).
Kreativitas didorong, hal ini akan meminimalisir kesalahan menjadi isu yang dapat dikendalikan.
12
d. Individualized consideration Pemimpin memiliki perhatian khusus pada tiap-tiap individu, kebutuhan dan dorongan untuk prestasinya. Bawahan dan rekan didorong
untuk
memanfaatkan
potensi
secara
optimal.
Pertimbangan individu ditunjukkan ketika adanya kesempatan terhadap pembelajaran baru dengan menciptakan iklim yang mendukung.
Perilaku
pemimpin
menunjukkan
penerimaan
terhadap perbedaan individu. Komunikasi dua arah dibentuk dengan interaksi dengan bawahan yang bersifat pribadi. Pemimpin mendelegasikan tugas sebagai maksud pengembangan terhadap bawahan. Tugas-tugas yang diberikan diperhatikan dan dilihat apakah bawahan membutuhkan pengarahan tambahan atau dukungan untuk menilai kemajuan tugas.
METODE Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh atlet kempo di PERKEMI Jawa Tengah. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling yaitu pemilihan sampel yang bertitik tolak pada penilaian peneliti bahwa sampel yang dipilih benar-benar representatif sesuai dengan tujuan penelitian (Sugiarto dkk, 2003). Subjek dalam penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah 60 orang atlet kempo yang pernah mengikuti kejuaraan minimal tingkat provinsi dengan rentang usia 18-30 tahun. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur berupa skala. Skala motivasi berprestasi disusun berdasarkan aspek-aspek motivasi berprestasi menurut McClelland (1987) yaitu melakukan cara-cara baru dan kreatif, bertanggung jawab, mencari atau 13
menggunakan umpan balik, memilih taraf resiko moderat (sedang). Skala gaya kepemimpinan transformasional disusun berdasarkan aspek-aspek gaya kepemimpinan transformasional menurut Bass dan Avolio (1994) yaitu idealized influence, inspirational motivation, intellectual
stimulation,
individual
consideration.
Skala
yang
digunakan untuk memberikan skor pada tiap item yaitu menggunakan skala Likert dengan empat alternatif jawaban. Bentuk item dari skala terdiri dari pernyataan pendukung (favorable) dan pernyataan tidak mendukung (unfavorable). Untuk butir-butir jawaban favorable skor untuk SS (Sangat Setuju) adalah 4, skor untuk S (Setuju) adalah 3, skor untuk TS (Tidak Setuju) adalah 2, dan skor untuk STS (Sangat Tidak Setuju) adalah 1. Untuk butir-butir jawaban unfavorable skor untuk SS (Sangat Setuju) adalah 1, skor untuk S (Setuju) adalah 2, skor untuk TS (Tidak Setuju) adalah 3, dan skor untuk STS (Sangat Tidak Setuju) adalah 4.
HASIL Uji validitas dan reliabilitas tes dari dua skala menggunakan SPSS for windows 17. Hasil analisis pada skala motivasi berprestasi (menggunakan koefisien korelasi item total > 0,25) dari 32 item yang diuji terdapat 26 item yang valid dengan reliabilitas α = 0,801. Sedangkan
untuk
skala
gaya
kepemimpinan
transformasional
(menggunakan koefisien korelasi item total > 0,25) dari 36 item yang diuji terdapat 34 item yang valid dengan reliabilitas α = 0,928. Dalam penelitian ini juga dilakukan uji normalitas untuk mengetahui normal tidaknya distribusi data penelitian pada masingmasing
variabel.
Uji
normalitas
dihitung
menggunakan
tes
Kolmogorov-Smirnov. Hasil untuk variabel motivasi berprestasi 14
sebesar 0,092 dengan p > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa data berdistribusi normal. Sedangkan hasil uji normalitas variabel gaya kepemimpinan transformasional diperoleh sebesar 0,265 dengan p > 0,05. Hal ini juga menunjukkan data berdistribusi normal. Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan uji linearitas untuk menunjukkan bahwa motivasi berprestasi mempunyai korelasi yang linear dengan gaya kepemimpinan transformasional. Hal ini terlihat pada tabel Anova dengan nilai F sebesar 0,759 (p > 0,05). Dari 60 atlet kempo yang menjadi sampel penelitian, 55% atlet memiliki motivasi berprestasi yang berada pada kategori sangat tinggi, 45% atlet berada pada kategori tinggi, 0% atlet berada pada kategori rendah dan sangat rendah atau tidak ada atlet yang termasuk dalam kategori tersebut. Sedangkan persepsi terhadap gaya kepemimpinan transformasional pelatih 56,7% atlet memiliki skor persepsi terhadap gaya kepemimpinan transformasional yang berada pada kategori sangat tinggi, 43,3% atlet berada pada kategori tinggi, 0% atlet berada pada kategori rendah dan sangat rendah atau tidak ada atlet yang termasuk dalam kategori tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi menggunakan Product Moment dari Pearson, antara motivasi berprestasi dengan persepsi terhadap gaya kepemimpinan transformasional pelatih diperoleh koefisien korelasi sebesar r = 0,575 dengan taraf signifikansi p < 0,05. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara motivasi berprestasi dengan persepsi terhadap gaya kepemimpinan transformasional pelatih.
15
PEMBAHASAN Uji korelasi menggunakan teknik korelasi Pearson dengan bantuan SPSS 17.0 menghasilkan r = 0,575 dengan p < 0,05. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional pelatih dengan motivasi berprestasi atlet sehingga semakin tinggi gaya kepemimpinan transformasional maka semakin tinggi motivasi berprestasi atlet, begitu pula sebaliknya semakin rendah gaya kepemimpinan transformasional maka semakin rendah pula motivasi berprestasi atlet. Hal ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan transformasional yang digunakan pada PB PERKEMI Jawa Tengah dinilai tinggi sehingga motivasi berprestasi yang ditunjukkan atlet juga tinggi. Podsakoff
dkk
(1996)
mengemukakan
bahwa
gaya
kepemimpinan transformasional merupakan faktor penentu yang memengaruhi sikap, persepsi, dan perilaku bawahan dengan terjadi peningkatan kepercayaan kepada pemimpin, motivasi, kepuasan kerja, dan mampu mengurangi sejumlah konflik yang sering terjadi dalam suatu organisasi. Penelitian serupa dikemukakan Masi dan Cooke (2000)
yang
meneliti
gaya
kepemimpinan
transformasional
berpengaruh pada motivasi, komitmen dan peningkatan produktivitas bawahan. Hal ini membuktikan bahwa penelitian ini sesuai dengan penelitian Podsakoff dkk serta Masi dan Cooke tersebut. Pada penelitian ini dapat diketahui rata-rata yang ditunjukkan pada variabel motivasi berprestasi atlet sebesar 86,73 ada pada kategori sangat tinggi, sedangkan variabel gaya kepemimpinan transformasional rata-rata sebesar 113,68 berada pada kategori sangat tinggi. Hal ini menunjukkan rata-rata nilai yang diperoleh dari sampel sangat tinggi, namun berdasarkan kondisi yang peneliti temukan, 16
prestasi atlet kempo Jawa Tengah belum menempati peringkat tinggi dalam pertandingan tingkat nasional. Weinberg dan Gould (dalam Satiadarma, 2000) mengungkapkan bahwa menurut teori orientasi interaksional, motivasi tidak hanya dikaji
berlandaskan
pada
individu
yang
terkait
(atlet
yang
bersangkutan), juga tidak hanya dilandasi oleh faktor situasional, melainkan bagaimana interaksi kedua aspek ini berlangsung. Berdasarkan
hal
tersebut,
ada
sejumlah
faktor
yang
perlu
dipertimbangkan dalam meningkatkan motivasi atlet. Dalam diri atlet misalnya terdapat aspek kebutuhan, minat, sasaran, dan kepribadian atlet itu sendiri yang kesemuanya perlu mendapat perhatian. Dalam faktor situasional, gaya kepemimpinan, fasilitas, dan hasil yang pernah diperoleh memiliki peran signifikan sebagai pembangkit motivasi atlet. Berbagai faktor yang ada ini harus saling mendukung untuk bisa membangkitkan motivasi atlet untuk berprestasi. Total sumbangan efektif dari aspek-aspek yang ada dalam variabel gaya kepemimpinan transformasional pelatih dengan motivasi berprestasi atlet adalah sebesar 33,1% yang berarti masih terdapat 66,9% faktor-faktor lain yang mempengaruhi motivasi berprestasi atlet diluar variabel gaya kepemimpinan transformasional, seperti faktor dalam diri atlet itu sendiri (kebutuhan, minat, sasaran, dan kepribadian) serta faktor situasional (fasilitas dan hasil yang pernah diperoleh) sehingga kemungkinan masih dapat diteliti lebih lanjut.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan 17
transformasional pelatih dengan motivasi berprestasi atlet. Gaya kepemimpinan transformasional yang tinggi akan mengakibatkan motivasi berprestasi yang tinggi pula pada atlet. Gaya kepemimpinan transformasional pelatih dan motivasi berprestasi atlet kempo Jawa Tengah berada dalam kategori sangat tinggi. Sumbangan efektif gaya kepemimpinan transformasional pelatih terhadap motivasi berprestasi atlet sebesar 33,1% dan sisanya 66,9% dipengaruhi oleh faktor lain.
SARAN Adapun saran yang dapat diberikan peneliti sesuai dengan hasil penelitian, antara lain: 1.
Bagi PB PERKEMI Jawa Tengah PB PERKEMI Jawa Tengah sebaiknya dapat memotivasi atlet untuk mempertahankan motivasi berprestasinya, dengan cara memberikan perhatian, arahan dan bimbingan serta pembinaan psikologis pada setiap atlet sehingga atlet bisa memaksimalkan prestasinya. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran
motivasi
berprestasi
dan
gaya
kepemimpinan
transformasional di PERKEMI Jawa Tengah. 2.
Bagi pelatih Pelatih
sebaiknya
dapat
mempertahankan
gaya
kepemimpinan transformasional yang ada. Pelatih diharapkan dapat
lebih
memperhatikan
kebutuhan
setiap
atlet
serta
memperhatikan faktor-faktor lain (seperti kondisi psikologis, kebutuhan, sasaran, dll) yang ada dalam diri atlet untuk memaksimalkan motivasi berprestasinya.
18
3.
Bagi atlet kempo Jawa Tengah Atlet sebaiknya dapat mempertahankan motivasi berprestasi yang sudah ada. Atlet juga diharapkan dapat lebih membuka diri tentang kesulitan-kesulitannya dalam berlatih sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya.
4.
Bagi peneliti selanjutnya Bagi pihak yang tertarik untuk mengadakan penelitian lanjut tentang topik yang serupa diharapkan memperhatikan dan memperbaiki
kekurangan
yang
ada
guna
mendapatkan
penyempurnaan dari penelitian ini. Mengingat ada 66,9% dari hasil yang didapat menunjukkan adanya faktor lain yang mempengaruhi motivasi berprestasi selain gaya kepemimpinan transformasional, maka diharapkan peneliti selanjutnya dapat mengembangkan variabel-variabel lain yang belum disertakan dalam penelitian ini seperti faktor dalam diri atlet itu sendiri (kebutuhan, minat, sasaran, dan kepribadian) serta faktor situasional (fasilitas dan hasil yang pernah diperoleh).
DAFTAR PUSTAKA Adisasmito, L. S. (2007). Mental Juara Modal Atlet Berprestasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Atkinson, R. L., Atkinson, R. C. (1997). Pengantar Psikologi 1 (judul asli Introduction to Psychology 8th edition). Jakarta: Erlangga
Bass,
B. M. (1985). Leadership and Expectations. New York: Free Press
19
Performance
Beyond
Bass, B. & Avolio, B. (1994). Improving organizational effectiveness through transformational leadership. Thousand Oaks, CA: Sage Publications
Burns, J. (1978). Leadership. New York: Harper & Row
Cogan, K. D. & Vidmar, P. (2004). Sport Psychology Library: Gymnastic. New York: Data Reproductions Corporation
Gould, D. & Weinberg, R. S. (2007). Foundations of Sport and Exercive Psychology (4th edition). Champaign, IL: Human Kinetics
Gunarsa, S. D. (1989). Psikologi Olah Raga. Jakarta: Gunung Mulia
____________ (2008). Psikologi Olahraga Prestasi. Jakarta: Gunung Mulia
Handayani, C. S. & Novianto, A. (2006). 40 tahun PERKEMI: Membangun Masyarakat Tempaan. Jakarta: PB PERKEMI
Hardy, L., Jones, G., Gould, D. (1999). Understanding Psychological Preparation for Sport :Theory and Practice of Elite Performers. New York: John Wiley & Sons, Inc Gould, D., & Weinberg, R. S. (2007). Foundations of Sport and Exercive Psychology (4th edition). Champaign, IL: Human Kinetics
Harsono. (1988). Coaching dan Aspek-aspek Psikologi dalam Coaching. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
20
http://edukasi.kompas.com/read/2009/07/31/18172046/Indonesia.Juara .Umum.Kejuaraan.Dunia.Kempo
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/10/24/OR/mbm.2005 1024.OR117009.id.html
http://www.suarapembaruan.com/home/indonesia-juara-umumkempo/13828
Hutapea, B. (2010). Studi Komparatif tentang Motivasi Berprestasi pada Atlet Kempo Propinsi DKI Jakarta Ditinjau dari Kepribadian. Jurnal Psikobuana. 1,3. 199-209
Lee, M. (1993). Coaching Children in Sport: Principle and Practice. London: E & FN Spon
Leonardo. (2007). Hubungan antara Gaya Kepemimpinan Transformasional dengan Motivasi Berprestasi Atlet Bulutangkis di PB Panorama Solo. Skripsi. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana
Masi, R. J., Cooke, R. A. (2000). Effect of Transformational Leadership on Subordinate Motivation, Empowering Norms, and Organizational Productivity. The International Journal of Organizational Analysis, 8, 1. 16-47.
McClelland, C. D. (1987). Human Motivation. New York: Cambridge University Press
21
Nawawi, H. (2003). Perencanaan SDM untuk Organisasi Profit yang Kompetitif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
PB PERKEMI. (1990). Buku Pelajaran Kyu IV. Jakarta: PB PERKEMI
Podsakoff, P. M., MacKenzie, S. B. & Bommer, W. H. (1996). Transformational leader behaviors and substitutes for leadership as determinants of employee satisfaction, commitment, trust, and organizational citizenship behaviors. Journal of Management. 22. 259-298
Popper, M., & Zakkai, E. (1994). Transactional, Charismatic, and Transformational Leadership: Conditions Conductive to Their Predominance. Leadership And Organizational Development Journal. 15,6. 3-7
Ranupandojo, H & Husnan, S. (2002). Manajemen Personalia. Yogyakarta: BPFE
Robbins, S. P. (2006). Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Indeks, Kelompok Gramedia
Renstrom, P. & Roax, C. (1988). Clinical implications of sports injuries. dalam A. Dirix, H. G. Knuttgen, & K. Tittel (Eds) The olympic book of sports medicine. London: Blackwell Scientific.
Satiadarma, M. P. (2000) Dasar-dasar Psikologi Olahraga, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
22
Situmorang, A. S. (2008). Gaya Kepemimpinan Pelatih Olahraga dalam Upaya Mencapai Prestasi Maksimal. Jurnal PKR 2. Bandung: FPOK Universitas Pendidikan Indonesia
Sugiarto, S. D., Sunaryanto, L. T., Oetomo, D. S. (2003). Teknik Sampling. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Suryabrata, S. (2002). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali
Uno, H. B. (2010). Teori Motivasi dan Pengukurannya, Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Yammarino, F. J. and Bass, B. M., (1990). Longterm forecasting of transformational leadership and its effects among Naval Officers: some preliminary findings. In K.E. Clark and M.B. Clark (Eds.). Measures of Leadeship (26-47). West Orange, NJ: Leadership Library of America.
Zainun. (1990). Psikologi Perusahaan. Bandung: PT Bintang Jaya
23