1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Salah satu unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat
adalah bahasa. Dengan bahasa, masyarakat dapat saling berinteraksi satu dengan yang lain, serta menjalin komunikasi untuk bertukar informasi. Bahasa tetap hidup karena adanya interaksi sosial dalam suatu masyarakat. Hubungan sosial dalam suatu masyarakat akan memengaruhi bentuk bahasa yang digunakan.
Sapir
(dalam Chaer, 2003:7) mengatakan bahwa bahasa merupakan petunjuk yang bersifat simbolis terhadap budaya yang berlaku. Dengan kata lain, apabila kita ingin mengetahui kebudayaan dari suatu masyarakat dapat dilihat pada penggunaan bahasanya, begitu juga sebaliknya. Sementara itu, Fernandes (2008:36) menyatakan bahwa bahasa mampu menguak kearifan lokal sebagai cermin budaya masyarakat secara komunal. Kearifan lokal merupakan ekspresi yang nyata dari alam pikiran masyarakat yang akan mengabdikan sesuatu yang dianggap penting serta memberikan banyak sumbangan terhadap kehidupan masyarakat. Kearifan lokal tersebar di berbagai wilayah Nusantara. Di Sulawesi Selatan, suku Kajang sebagai salah satu suku yang masih mempertahankan budaya sebagai bentuk kearifan lokal. Terletak di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba, sekitar 250 kilometer dari kota Makassar Sulawesi Selatan. Salah satu kearifan lokal yang menarik untuk ditelisik pada komunitas adat ini adalah pasang. Pasang merupakan pedoman hidup masyarakat Ammatoa
1
2
(pemimpin adat suku Kajang) yang terdiri dari kumpulan amanat leluhur. Pasang merupakan sebuah bentuk bahasa yang berbeda dengan bahasa keseharian dan mengandung simbol-simbol tertentu. Usop (1978: 42) melalui pendekatan antropologi menyatakan, bahwa Pasang secara harfiah berarti pesan lisan yang wajib dituruti, dipatuhi dan dilaksanakan. Apabila dilanggar akan menimbulkan hal-hal atau akibat-akibat yang tidak diinginkan. Ia mengandung arti: pesan, amanah, fatwa, nasehat, tuntunan, peringatan atau pengingatan. Pasang diwariskan secara lisan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi, sehingga cenderung bersifat statis. Salle (1999: 84) yang menggunakan perspektif hukum lingkungan memandang Pasang sebagai sesuatu yang terkait dengan peranan dan kebijakan Ammatoa dalam peningkatan kesejahteraan hidup warga masyarakatnya. Menurut Salle, bahwa pengambilan keputusan dalam hukum adat Kajang selalu harus mengacu pada Pasang. Salle melihat Pasang sebagai suatu sistem hukum adat yang umumnya mencakup pengelolaan lingkungan di wilayah adat Kajang. Ahmad (1989: 47) dalam perspektif Antropologi mendefinisikan Pasang sebagai unsur mutlak dalam sistem kepercayaan orang Kajang. Pasang diartikan sebagai pesan, fatwa, nasihat, tuntunan yang dilestarikan secara turun-temurun sejak manusia pertama sampai sekarang melalui tradisi lisan. Pasang dalam penyampaiannya pantang ditulis. Lureng (1980: 68) mendefinisikan Pasang sebagai tradisi lisan sekaligus merupakan sistem pengetahuan yang mengandung nilai-nilai budaya yang selalu memperoleh bimbingan dari Ammatowa. Menurut Lureng, bahwa Pasang ri
3
Kajang merupakan pedoman dalam tingkah laku individu dalam masyarakat. Lureng menitikberatkan perhatiannya pada sistem nilai yang terkandung di dalam Pasang yang dipedomani oleh warganya dalam bertingkah laku. Ia juga mengungkap fungsi-fungsi Pasang berkenaan dengan sistem politik, sistem sosial-budaya mencakup sistem kegotongroyongan dan sistem religi orang Kajang. Rasyid (2002:4) mendefinisikan Pasang sebagai sistem pengetahuan yang bersumber dari Tu Rie’ A’ra’na (wujud tertinggi), yang diwariskan secara turun temurun. Masyarakat Ammatoa menganggap sakral pasang karena apabila tidak dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari akan berdampak buruk berupa rusaknya keseimbangan ekologis dan kacaunya sistem sosial. Pasang merupakan panduan bagi manusia dalam segala aspek, baik itu aspek sosial, religi, mata pencaharian, budaya, lingkungan serta sistem kepemimpinan. Merujuk dari apa yang dikandungnya, maka dapat dikatakan bahwa pasang dalam masyarakat adat Ammatoa Kajang merupakan hal yang disakralkan. Sistem nilai yang dianut masyarakat adat Ammatoa Kajang cenderung konservatif dan “membatasi diri” dari semua kegiatan yang mengutamakan tujuan keduniaan. Masyarakat adat Ammatoa Kajang memegang teguh tradisi yang dilahirkan oleh sistem nilai dan kebudayaan warisan nenek moyang. Mereka memiliki sikap hidup yang sengaja mengisolasi diri dari masyarakat modern dengan maksud mengupayakan komunitas adat terhindar dari tingkah laku yang tidak di-pasang-kan (dipesankan) dengan mengutamakan pola hidup kamasemasea (Akib, 2003). Prinsip kamase-mase ini merupakan prinsip hidup
4
masyarakat adat Kajang. Prinsip ini dipegang teguh oleh setiap warganya, meskipun secara sadar mereka sangat memahami bahwa hidup mereka akan lebih sejahtera dengan memanfaatkan sumber daya alam yang mereka miliki karena potensi sumber daya alam yang berlimpah ruah dan sangat mendukung (Anonim, 2007). Nilai yang terkandung dalam prinsip kamase-masea menjadi pegangan hidup masyarakat suku Kajang. Mereka patuh melaksanakan semua aturan-aturan berupa pasang yang mengandung nilai-nilai luhur dan berdasar pada prinsip kamase-masea. Hal ini mengakibatkan mereka mendapat citra “keterbelakangan” dan “kolot”. Pola hidup masyarakat adat Kajang sangat berbasis pada kelestarian lingkungan alam. Pola hidup ini berhubungan erat dengan keyakinan patuntung yang tertuang dalam pasang dan dijalankan secara taat oleh Ammatoa dibantu oleh para Galla. Prinsip hidup sederhana yang dianut oleh masyarakat Kajang yang bersumber dari pasang ini diperkuat oleh prinsip kamase-masea, yaitu sikap merendahkan diri dan menerima apa adanya. Dengan demikian, segala aktivitas yang mereka lakukan hanya tunduk pada satu komando yang diberikan oleh Ammatoa yang merupakan sentra perintah dan larangan (Katu, 2005: 137). Adanya ketertarikan terhadap masalah sosial tersebut menjadikan peneliti mencoba untuk mengetahui seluk beluk pasang itu sendiri, baik dari segi struktur maupun fungsi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hal-hal yang terkandung dalam pasang sebagai pola berpikir dan sikap yang dimiliki oleh komunitas ini yang berorientasi pada kepasrahan dan menerima nasib yang akan mengaturnya. Usaha untuk mendeskripsikan pasang dalam tradisi masyarakat
5
adat Ammatoa Kajang dimulai dengan melihat keterkaitan antara bahasa dan budaya. Bahasa merupakan sarana untuk memahami budaya. Untuk mempelajari suatu budaya, manusia terlebih dahulu mempelajari bahasanya. Struktur pasang dibangun oleh beberapa aspek linguistik. Aspek linguistik tersebut meliputi aspek fonologis, aspek morfologis, aspek sintaksis, dan aspek leksikon. Berikut adalah contoh pasang. 1.
Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase,
a’dakkako nu kamase-mase, a’meako nu kamase-mase. Artinya; berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana. 2.
Anre kalumannyang kalupepeang, rie kamase-mase, angnganre na
rie, care-care na rie, pammalli juku na rie, koko na rie, bola situju-tuju. Artinya; Kekayaan itu tidak kekal, yang ada hanya kesederhanaan, makan secukupnya, pakaian secukupnya, pembeli ikan secukupnya, kebun secukupnya, rumah seadanya. 3.
Patuntung manuntungi, Manuntungi kalambusanna na kamase-
maseanna, Lambusu’, Gattang, Sa’bara nappiso’na, Artinya: Manusia yang telah menghayati dan melaksanakan apa yang dituntutnya di kawasan adat (Ammatoa), yakni yang menuntut kejujuran, kesabaran, ketegasan, kebersahajaan dan kepasrahan dalam hidupnya. 4.
Punna lanumpanraki anjo boronga nupanraki kalennu sanggena
tuhusennu. Artinya : Menghancurkan hutan berarti menghancurkan diri sendiri, termasuk generasi yang akan datang.
6
Dari hasil analisis terhadap aspek fonologis menunjukkan adanya permainan bunyi yang dapat menimbulkan keindahan. Keindahan tersebut dihasilkan oleh adanya repetisi bunyi. Seperti pada kata kamase-mase yang mengalami repetisi di akhir klausa. Dalam hal leksikon, hampir keseluruhan pasang dibentuk oleh leksikon yang berasal dari bahasa Makassar dialek Konjo. Beberapa contoh di atas juga menunjukkan perulangan atau reduplikasi. Reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan bentuk dasar (Ramlan. 2005: 63). Misalnya kata ulang kamase-mase dari bentuk dasar kamase dan situjutuju dari bentuk dasar situju. Metafora dalam wacana pasang dari beberapa contoh data di atas dapat ditemukan reduplikasi baik dengan pengulangan atas seluruh bentuk dasar maupun dengan pengulangan bentuk dasar dengan imbuhan. Pemakaian bahasa dalam pasang juga menunjukkan bahwa pasang merupakan salah satu dari ragam kesusatraan. Bentuk bahasa yang digunakan memiliki gaya bahasa asosiatif. Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem / kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan suatu yang berada di luar bahasa . Contoh pada pasang tersebut seperti pada kata lambusu’ ‘lurus’ berasosiasi dengan suatu yang jujur atau kejujuran, kata kamasemase ‘kasihan’ berasosiasi sederhana atau kesederhanaan. 5.
Ako kaitte-ittei ri saha cinde tappanging, ri caula ta’timba’-timba. Artinya : Janganlah engkau terpengaruh terhadap kebahagiaan duniawi.
7
Dalam pasang “ako kaitte-ittei ri saha cinde tappanging, ri caula ta’timba’-timba”.Seluruh kalimat tersebut adalah kias. Tidak ada satu komponen pun dalam kalimat itu yang dipakai sebagai pengungkapan makna langsung. Metafora pasang tersebut dipublikasikan agar masyarakat adat mengutamakan hidup dalam ”kemiskinan” di dunia agar mendapatkan “kekayaan” dari Sang Pencipta di akhirat nanti. 6.
Manna pokok kaju aknapasatongi. Artinya : Pohon pun juga bernapas. Metafora pasang pada contoh enam di atas, digunakan untuk menjelaskan
nasihat-nasihat dari Ammatoa untuk masyarakat adat agar tidak menebang pohon sembarangan. Ammatoa menasihati masyarakat adat dengan memetaforkan pohon dengan manusia yang bernapas. Relasi persamaan antara pebanding dan pembanding adalah pohon dan manusia yang bernapas. Struktur kalimat merupakan pembentuk pasang. Berdasarkan fungsinya, kalimat dibagi menjadi kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah (Ramlan, 2005:26). Jenis kalimat yang digunakan dalam pasang di atas adalah kalimat
berita.
Kalimat
berita
adalah
kalimat
yang
berfungsi
untuk
memberitahukan sesuatu kepada orang lain. Dalam pasang, jenis kalimat ini dimanfaatkan untuk memberitahukan bahwa pasang inilah yang dijadikan pegangan hidup oleh mereka, sehingga segala sesuatu yang mencakup kehidupan sekitarnya, baik seperti makanan, pakaian, kebun, sawah, maupun berkaitan dengan rumah mereka serba sederhana. Tidak ada sesuatu pun yang berlebihan termasuk dalam pemanfaatan sumber daya hutan.
8
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimanakah satuan-satuan kebahasaan yang digunakan sebagai pengungkap metafora dalam wacana pasang? 2) Bagaimanakah fungsi metafora dalam pasang? 3)
Mengapa wacana pasang masyarakat adat Ammatoa Kajang digunakan metafora?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mendeskripsikan satuan-satuan kebahasaan yang digunakan sebagai pengungkap metafora dalam wacana pasang. 2) Mendeskripsikan fungsi metafora dalam pasang. 3) Menjelaskan mengapa dalam wacana pasang pada masyarakat adat Ammatoa Kajang digunakan metafora. 1.4
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membahas metafora ang terdapat dalam
wacana pasang masyarakat adat Ammatoa Kajang Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Alasannya karena ujaran metafora memiliki bentuk tidak seperti kalimat biasa, sehingga perlu diketahui satuan-satuan kebahasaan yang digunakan sebagai pengungkap metafora tersebut. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengetahui fungsi metafora pasang. Selain itu, alasannya
9
karena terdapat tindakan-tindakan ujaran dalam metafora yang mencerminkan pandangan hidup dan budaya lokal masyarakat adat Ammatoa Kajang. Penggunaan metafora tentu sangat erat kaitannya dengan latar belakang sosial budaya penuturnya. Dengan memahami makna secara mendalam terkait metafora dalam wacana pasang, diharapkan mampu mengungkapkan budaya lokal yang tercermin dalam metafora wacana pasang yang digunakan. 1.5
Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu manfaat teoretis dan manfaat
praktis. a.
Manfaat Teoretis Dengan adanya penelitian tentang wacana pasang ini, diharapkan dapat
memberikan sumbangan pikiran terhadap perkembangan ilmu bahasa. Dalam hal ini tentang penerapan teori-teori linguistik sekaligus untuk memperkaya teori tersebut. b. Manfaat Praktis Dengan adanya penelitian ini, diharapkan agar penutur bahasa Makassar dialek Konjo atau penutur bahasa lain dapat mengetahui gejala bahasa yang terdapat dalam pasang masyarakat adat Ammatoa Kajang. Selain itu penelitian ini dapat membantu upaya pendokumentasian tradisi lisan suatu masyarakat. Tradisitradisi lisan tersebut diharapkan dapat dipahami dengan baik dengan adanya penelitian ini.
10
1.6
Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai pasang pada masyarakat adat Ammatoa Kajang,
sepanjang pengetahuan peneliti ada beberapa tulisan yang mengangkat tema mengenai pasang ini diantaranya oleh Basrah Gising (2012) mengenai “Simbolisme dalam Tradisi Lisan Pasang Ri Kajang: Tinjauan Semiotik”, dan Abd. Gaffar Lureng (1980) dengan judul skripsi “Pasang Ri Kajang: Suatu Pendekatan Antropologi”. Penelitian yang hampir sama juga pernah dilakukan oleh Wakit Abdullah (2013) berupa disertasi mengenai “Kearifan Lokal dalam Bahasa dan Budaya Jawa Masyarakat Nelayan di Pesisir Selatan Kebumen (Sebuah Kajian Etnolinguistik). Penelitian yang dilakukan oleh Basrah Ginting pada tahun 2011, berupa artikel yang berkenaan dengan analisis semiotik. Yang menjadi fokus bahasan dalam artikel ini adalah simbol-simbol yang terkandung dalam pasang yang berkaitan dengan proses sirkulasi hidrologi. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis isi pasal-pasal Pasang ri Kajang. Dengan demikian, penelitian ini diarahkan untuk mengungkap beberapa permasalahan, seperti; 1) menginterpretasi isi Pasang ri Kajang yang menggunakan gaya bahasa asosiatif, 2) mengartikan Pasang ri Kajang yang penuh dengan bahasa simbolisme, dan 3) menganalisis keterkaitan antara struktur permukaan dan struktur dalam. Disertasi oleh Wakit Abdullah (2013) menyimpulkan bahwa kearifan lokal dalam bahasa dan budaya Jawa msyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen sebagai bagian integral bahasa dan budaya Jawa Banyumas. Selanjutnya
11
dijelaskan bahwa kearifan lokal dalam bahasa dan budaya Jawa yang tercermin dalam ekspresi verbal (kata-kata, frasa, klausa, wacana) dan ekspresi nonverbal masyarakat nelayan serta persepsinya terhadap folklor di pesisir selatan Kebumen. 1.7 Landasan Teori 1.7.1 Teori Etnolinguistik Penelitian ini dilakukan dengan berlandaskan teori etnolinguistik dan teori semantik. Istilah etnolinguistik tidak begitu populer di Amerika Serikat pada akhir tahun 1940 an dan awal 1950an, tetapi cukup populer di Eropa (Duranti, 1997:2). Etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dengan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tradisi tulisan (Kridalaksana, 1983:42). Bidang ini disebut juga dengan linguistik antropologi. Linguistik antropologi adalah bagian dari linguistik yang memperlihatkan kedudukan bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas (Foley, 1997:1). Kridalaksana (1983:100)menyatakan bahwa linguistik antropologi adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi dan pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan pola kebudayaan dan ciri-ciri bahasa yang berhubungan dengan kelompok sosial, agama, pekerjaan, atau kekerabatan. Secara linguistik, istilah etnolinguistik (Foley, 1997: 3) dipahami sebagai kajian bahasa dan budaya sebagai subbidang utama antropologi. Selanjutnya Boas menjelaskan bahasa merupakan manifestasi terpenting dari kehidupan mental penuturnya dan sebagai dasar pengklasifikasian pengalaman, sehingga berbagai bahasa mengklasifikasikan secara berbeda dan tidak terlalu disadari oleh penuturnya (Boas dalam Suhandano, 2004: 23)
12
Whorf (dalam Pateda, 1990:33) menyatakan bahwa hubungan bahasa dan pikiran tercakup dua hal, yaitu (1) masyarakat linguistik yang berbeda merasakan dan memahami kenyataan dengan cara yang berbeda-beda, dan (2) bahasa yang dipakai dalam suatu masyarakat membantu untuk membentuk struktur kognitif para individu pemakai bahasa. Menurut Langacker (dalam Pateda, 1990:20) berpendapat bahwa pikiran dikondisikan oleh kategori linguistik dan pengalaman yang akan dikodekan dalam wujud konsep kata yang telah tersedia. 1.7.2 Perihal Wacana Komunikasi dapat menggunakan bahasa lisan dan bahasa tulis. Pada umumnya wacana mengasumsikan
adanya penyapa (addressor) dan pesapa
(addresse). Dalam wacana lisan, penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah pendengar. Sementara itu He (2001:429) merumuskan wacana sebagai istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan fenomena linguistik dalam konteks pemahaman,
situasi,
dan
budaya
berdasarkan
penggunaannya
dan
mengidentifikasi sumber-sumber linguistik yang membentuk tuturan (seperti identitas, peranan, aktivitas, kelompok penutur, emosi, dan pengetahuan). 1.7.3 Teori Semantik Coseriu dan Geckeler (dalam Pateda 2001: 3) mengatakan bahwa istilah semantik mulai populer tahun 50-an, mula-mula diperkenalkan oleh sarjana Perancis yang bernama M. Breal pada tahun 1883.
Aminuddin (1985: 15)
mengutip definisi Palmer bahwa semantik adalah studi tentang makna, dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan
13
bagian dari linguistik. Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Kambartel (dalam Pateda, 1985: 14) semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek lain di dunia. Sedangkan Verhaar (1993: 124) semantik berarti teori makna atau teori arti. Pengertian semantik menurut Sills (dalam Tarigan, 1993: 7) adalah: “Semantik dikaitkan penyampaian makna oleh sarana-sarana gramatikal dan leksikal suatu bahasa. Berdasarkan pandangan penelitian linguistik yang bersifat teoritis, deskriptif, dan historis, maka masalah-masalah semantik yang masing-masing harus digarap adalah sifat-sifat umum sinkronis, atau diakronis”. Selanjutnya semantik menurut Dale (dalam Tarigan, 1993: 7) adalah : “Semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya dan perubahannya”. Menurut Santoso (2006:11), bahasa adalah komposisi antara bentuk dan makna. Tidak ada bahasa yang dalam penggunaannya tanpa bentuk dan tidak ada pula bahasa yang dalam penggunaannya tanpa makna. Sebagai sistem lambang, setiap bentuk kebahasaan itu berbeda dengan dunia nyata yang dirujuknya. Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia kita menemukan adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya, dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Relasi makna atau hubungan kemaknaan itu, antara lain: (1) antonim, (2) sinonim, (3) ambiguitas, (4) hiponimi, (5) homonimi, (6) redundansi (Chaer, 1993: 82). Adanya relasi makna, bahasa terus berkembang seiring perkembangan manusia
pemakai bahasa, sehingga
terjadi perubahan makna. Perubahan makna yang mencakup perluasan,
14
pergeseran, pengaburan dan pelemahan makna. Ullman (dalam Pateda, 1985: 71), perubahan makna dapat terjadi adanya, (1) bahasa yang berkembang, (2) makna leksem yang samar-samar, (3) kehilangan motivasi, (4) karena ambiguitas, (5) struktur kosakata. Secara praktis, semantik pada hakikatnya mengkaji makna suatu bahasa yang berupa kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Ogden & Richards (1946: 24) menawarkan konsep segitiga semantik (semantic triangle) dalam menganalisis makna sebuah kata, seperti pada bagan 1 di bawah ini: Konsep (signifie)
Sintagmatik
Simbol (sign)
Semantis
Paradigmatis
Referensi (significant)
Bagan 1. Segitiga Semantik “Ogden”
Diagram di atas memperlihatkan hubungan antara simbol (sign) dengan konsep (signifie) dari sebuah kata yang menjadi acuannya (significant). Garis putus-putus antara simbol (sign) dan referensi (significant) menunjukkan hubungan paradigmatik yaitu hubungan substitusi antara satu unit dengan yang lainnya. Hubungan antara bentuk (sign) dan konsep (signifie) bersifat sintagmatik yaitu hubungan linear antara unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu. Artinya, hubungan tersebut harus diwujudkan dalam sebuah sintagmen (keterwakilan sebuah tagmen). Hubungan antara konsep (signifie) dan referensi (significant)
15
bersifat semantis (pemaknaan). Artinya ada hubungan langsung antara konsep dengan yang diacunya. 1.7.4 Metafora dan Budaya Kata metafora berasal dari bahasa Yunani ‘meta’ yang berarti ‘over, beyond’ dan ‘pherein’ yang berarti ‘to transfer’. Hakekat dari metafora adalah untuk menjadikan sebuah kata memiliki makna di luar dari makna aslinya (harfiahnya) dengan cara menggunakan kata tersebut untuk merujuk sesuatu yang lain (transfer makna), (Grithe 2008:9). Stdi tentang metafora telah ada sejak zaman Aristoteles. Arisrtoteleslah yang dianggap sebagai orang pertama yang berpikir mengenai metafora. Aristoteles melihat metafora sebagai bentuk analogi dan ornament atau penghias bahasa dalam retorika (Hiraga, 2005: 23). Menurut Aristoteles, metafora adalah kata yang digunakan dalam arti yang berbeda. Bentuk bahasa (ungkapan, pernyataan) yang menunjukkan suatu hal diterapkan pada hal lain untuk keserupaan hal-hal itu, kesan-kesan keserupaan tersebut dapat muncul melalui perpindahan makna dari benda hidup ke benda mati ataupu sebaliknya. Menurut Lakoff dan Johnson (1980: 4) metafora tidak hanya digunakan dalam berbahasa, melaikan juga digunakan dalam pikiran dan tindakan manusia karena sistem konseptual manusia dalam berpikir dan bertindak secara fudamentar terkait dengan metafora. Sistem konseptual memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan aktivitas keseharian manusia termasuk berbahasa. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi manusia yang memiliki sistem konseptual yang sama terhadap suatu bahasa. Oleh karena dalam bahasa terdapat metafora,
16
maka apa yang dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-hari sangat terkait dengan metafora. Metafora pada setiap budaya berbeda-beda karena konsep pemikiran masyarakat pada setiap budaya pun berbeda-beda. Budaya dalam hal ini juga termasuk berbagai pengalaman hidup yang senantiasa mempengaruhi penciptaan metafora. Oleh karena itu, untuk mengetahui makna sebenarnya dari sebuah metafora, seseorang harus mengetahui konteks dan budaya di mana metafora tersebut muncul. Apabila tidak diketahui konteks dan budaya, maka interpretasi terhadap makna sebenarnya dalam sebuah metafora dapat menjadi keliru. Seperti yang dikemukakan oleh Searle (1978:85) “....the hearerrequires something more than his knowledge of language, his awereness of the conditions of the utterance and background assumption that share with the speaker”. Lyons (1996: 280-281) juga memiliki pendapat sepupa yaitu untuk mengetahui apakah suatu ungkapan hanya bermakna harfiah saja atau bermakna metaforis dibutuhkan konteks dan situasi pembicaraan. Ungkapan seperti John is a tiger dapat bermakna harfiah saja yaitu bahwa John adalah nama seekor harimau ataupun dapat bermakna metaforis berdasarkan konteks pembicaraan. Selain itu Marley (2008:565-568) juga memiliki pandangan yang serupa yaitu cara masyarakat membandingkan suatu dengan sesuatu yang lain terikat pada pengalaman masyarakat. Oleh karena itu daerah dan kebudayaan yang berbeda akan memiliki metafora yang berbeda pula yang disebabkan oleh konsep-konsep skema yang dihasilkan terbentuk dari budaya masyarakat yang berbeda. Metafora kultur ini pada setiap budaya yang berbeda akan memiliki medan semantik yang berbeda pula.
17
1.7.5 Kearifan Lokal (Local Genius, Local Wisdom) Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Quaritch Wales. Haryati Soebadio (dalam Ayatrohaedi, 1986:18-19) mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri . Sementara Ahimsa (2007: 17) mendefinisikan kearifan lokal sebagai “perangkat” pengetahuan dan praktik-praktik yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi dengan cara yang baik dan benar. Sepaham dengan itu, kearifan lokal dapat diartikan sebagai perangkat pengetahuan pada suatu komunitas, baik yang berasal dari generasi sebelumnya maupun pengalamannya berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya untuk mengatasi tantangan hidup (Sedyawati, 1994: 18 dalam Abdullah 2013: 51)
18
1.8 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Penelitian dalam kategori ini dimaksudkn untuk mendeskripsikan teks bahasa secara alamiah yakni berdasarkan korpus lalu dianalisis dan menghasilkan sebuah kesimpulan atau pola. Tujuan linguistik deskriptif adalah mendeskripsikan fakta-fakta penggunaan bahasa apa adanya secara sinkronik karena penelitian ini dilakukan pada waktu tertentu dan bukan secara historis dari waktu ke waktu (Alwasilah, 2005: 51-52). Istilah deskriptif juga menyarankan bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga dihasilkan perian bahasa yang seperti potret atau berupa paparan apa adanya (Sudaryanto, 1986: 62). Adapun cara tahapan dan langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: pendekatan penelitian, teknik pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data. 1.9 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan linguistik antropologis, sebagai alasannya adalah disiplin ilmu ini mempunyai penekanan bahwa bahasa-bahasa memegang peranan utama dalam perkembangan kebudayaan manusia, bahasa pada hakekatnya merupakan wahana utama untuk meneruskan adat-istiadat dari generasi yang satu ke generasi berikutnya, maka antropologi makin bersandar pada ilmu-ilmu bahasa. Pengungkapan tentang makna-makna antropologis melalui perilaku linguistik perlu dilakukan untuk memperlihatkan kekayaan nilai yang terkandung di dalamnya.
19
1.9.1 Sumber Data Data penelitian berupa tuturan lisan wacana Pasang pada masyarakat adat Ammatoa Kajang Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Data atau sumber informasi diperoleh dari Ammatoa sebagai kepala adat dan beberapa orang masyarakat kawasan adat tersebut. Secara kontekstual, untuk menghendaki adanya perwujudan data-data bahasa apa adanya melalui pengamatan secara langsung tindak tutur masyarakat setempat (Kushartanti,dkk, 2005:232). Kata-kata dan tindakan masyarakat adat yang menjadi informan merupakan sumber data utama yang dkumpulkan melalui proses berperan serta dalam komunikasi dan beberapa aspek kehidupan yang dilakukan oleh masyarakat adat. 1.9.2 Teknik Pengumpulan Data Kegiatan dalam pengumpulan data untuk memperoleh data atau informasi di lapangan untuk menjawab permasalahan pada latar belakang, akan digunakan metode dan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1.9.2.1 Observasi Partisipasi dan Non Partisipasi Suatu observasi disebut observasi partisipan jika orang yang rnengadakan observasi (observer) turut ambil bagian dalam perikehidupan observer. Jenis teknik observasi partisipan digunakan untuk penelitian yang bersifat eksploratif. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menyelidiki satuan-satuan sosial yang berkitan dengan metafora wacana pasang pada masyarakat Kajang dengan mengamati, mencatat
dan merekam secara langsung data penelitian. Dalam observasi
partisipasi ini, memungkinkan peneliti dapat berkomunikasi secara akrab dan
20
leluasa dengan observer, sehingga memungkinkan untuk bertanya secara lebih rinci dan detail terhadap hal-hal yang akan diteliti, sekaligus juga terlibat langsung dalam proses komunikasi. Observasi non partisipasi adalah observasi yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan peneliti sebagai partisipasi atau kelompok yang diteliti. Dalam observasi non partisipasi ini, peneliti hanya menyimak langsung pemakaian bahasa dalam komunikasi tanpa terlibat dalam komunikasi. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan metode wawancara. Pengumpulan data dengan menggunakan metode simak dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasanya (Sudaryanto, 1993:133). Teknik yang digunakan adalah observasi partisipasi. Teknik observasi partisipasi yaitu peneliti memasuki situasi mereka dalam hal ini adalah masyarakat adat Ammatoa Kajang dan secara aktif bertindak serta berperan sebagai pengamat, bersamaan dengan itu berperan sebagai partisipan untuk mencermati data penelitian yang diperlukan. Teknik observasi partisipasi yang didahului penetapan dan wawancara dengan informan terpilih sambil membuat catatan etnografis, pertanyaan deskriptif, pertanyaan struktural, dan pertanyaan kontras (Spradley, 1997: 87 dalam Abdullah 2013: 79). 1.9.2.2 Wawancara Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab antara peneliti dan responden. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang perilaku komunikasi dalam metafora wacana pasang masyarakat adat Ammatoa Kajang. Kegiatan wawancara dilakukan dengan cara mencatat
21
ungkapan-ungkapan dalam metafra wacana pasang. Wawancara dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu: (1) wawancara terstriktur, yakni wawancara yang dilakukan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang telah telah dipersiapkan, (2) wawancara tidak terstruktur, yakni wawancara yang sifatnya bebas. Hal ini dimaksudkan agar memperoleh keterangan seluas-luasnya yang tidak dapat terungkap dengan wawancara terstruktur. 1.9.2.3 Pencatatan Kegiatan ini dilakukan untuk mencatat data-data metafora wacana pasang pada masyarakat adat Ammatoa Kajang yang diperoleh dari lapangan secara langsung. Semua data dan informasi yang didapat di lapangan dicatat pada hari yang sama. Dengan maksud untuk menghindari kemungkinan terlupakan atau tumpang tindih data dan informasi yang diperoleh. 1.9.2.4 Transkripsi Data Data yang telah berhasil dikumpulkan melalui observasi partisipasi dengan pencatatan yang ditanskripsikan secara ortografis. Secara ortografis artinya katakata dalam data tersebut ditranskripsi apa adanya sesuai ucapan yang dikemukakan oleh informan peneliti sesuai dengan aturan ejaan bahasa Makassar dialek Konjo, agar ciri-ciri ortografis bahasa yang ada dalam data lisan dapat ditampakkan dalam data tertulis yang sudah ditranskripsi. 1.9.3 Metode Analisis Data Setelah data terkumpul, dilanjutkan dengan menganalisis data. Metode yang digunakan dalam menganalisis wacana pasang ini adalah metode kualitatif deskriptif. Sutopo mengatakan bahwa metode ini menungkapkan informasi yang
22
disertai dengan deskripsi yang teliti, akurat serta penuh rasa dan nuansa (dalam Syarifuddin, 2008 : 67). Pada tahap analisis data tersebut dilakukan beberapa tahap yaitu (1) terjemahan secara harfiah dan bebas, (2) analisis konteks berdasarkan faktor yang diteliti, (3) analisis satuan-satuan kebahasaan metafora dalam wacana pasang, (4) analisis fungsi metafora wacana pasang, dan (5) analisis budaya lokal yang terungkap dalam metafora pasang pada masyarakat adat Ammatoa Kajang. Adapun proses terjemahan data-data tersebutberupa terjemahan harfiah dan bebas. Proses ini dilakukan dengan menuliskan kata perkata bahasa asli kemudian di bawahnya bahasa terjemahan (bahasa Indonesia). Metafora-metafora ini kemudian diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori ataupun aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan pemakaiannya. Dengan pemahaman kategori metafora tersebut sekaligus di dalamnya juga terungkap, jenis-jenis tumbuhan, binatang serta sikap yang tercermin dalam ungkapan metaforis wacana pasang tersebut. 1.9.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Dalam penyajian hasil analisis data, peneliti mempresentasikan dan mendeskripsikan satuan-satuan kebahasaan yang digunakan dalam wacana pasang masyarakat adat Ammatoa Kajang, fungsi metafora dalam Pasang, dan mengapa dalam wacana pasang masyarakat adat Ammatoa Kajang digunakan metafora. 1.9.5 Penetapan Lokasi Penelitian Penelitian ini dikonsentrasikan pada satu daerah penelitian, yaitu di Dusun Benteng. Dusun ini dipilih karena merupakan pusat kegiatan komunitas adat yang
23
ditandai dengan kehadiran rumah Ammatoa atau pemimpin adat suku Kajang. Kajang merupakan sebuah kecamatan yang terletak di kabupaten Bulukumba yang merupakan salah satu kabupaten yang termasuk ke dalam Provinsi Sulawesi Selatan. 1.9.6 Informan Informan adalah orang yang dapat memberi informasi yang berkaitan dengan objek penelitian. Pemilihan informan didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka adalah orang atau masyarakat adat yang memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ditentukan beberapa kriteria yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi, diantaranya; 1. Penutur asli dan berdomisili di lokasi penelitian 2. Tokoh-tokoh adat 3. Komunikatif sehingga mudah memahami apa yang diajukan peneliti 4. Berusia sekitar 40-112 tahun, karena usia ini masih produktif dan aktif dalam kegiatan masyarakat. 5. Sehat jasmani dan rohani, artinya tidak cacat dalam organ bicara serta waras atau tidak gila (Konisi, 2002:12-13) 1.10 Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini disajikan dalam enam bab; Bab pertama membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian; tersaji dalam manfaat praktis dan teoritis, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian hasil
24
penelitian; Bab kedua akan membahas tentang gambaran umum daerah penelitian; Bab ketiga membahas satuan-satuan kebahasaan dalam metafora pasang masyarakat adat Ammatoa Kajang Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Bab keempat berisi uraian tentang fungsi wacana pasang pada masyarakat adat Ammatoa Kajang Kabupaten Bulukumba
Provinsi Sulawesi
Selatan. Bab kelima berisi uraian tentang mengapa dalam wacana pasang masyarakat adat Ammatoa Kajang digunakan metafora. Selanjutnya, diakhiri dengan penutup berupa kesimpulan dan saran pada bab keenam.