1
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Tuna wicara adalah suatu kelainan baik dalam pengucapan (artikulasi) bahasa maupun suara dari bicara normal, sehingga menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi lisan dalam lingkungan. Gangguan wicara atau tuna wicara adalah suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dari bunyi suara, dan/atau kelancaran bicara. Tuna wicara dapat disebabkan karena gangguan pada saraf, seperti pada cerebral palsy, dan terutama karena gangguan pendengaran, baik sejak lahir (congenital) atau didapat kemudian (acquired) (Harvey et al, 1995; Muljono dan Sudjadi, 1994). Penelitian Avasthi et al (2011) di India tentang pola pertumbuhan pada anak tuna wicara menunjukkan bahwa pertumbuhan anak tuna wicara dibawah anak normal serta cenderung memiliki aktivitas otot yang lebih lemah (hipotonus) dan tulang yang lebih rapuh dibanding anak normal. Perkembangan fungsi pengucapan dan bicara merupakan bagian dari proses tumbuh kembang yang dimulai pada masa kanak-kanak. Apabila seseorang mengalami kesulitan atau hambatan selama proses belajar berbicara maka kekurangan dan kecacatan ini akan terbawa terus selama hidupnya, sehingga akan menganggu proses komunikasi bahkan dapat menjadikan orang tersebut rendah diri (Reid dan Starr, 2008). Fungsi otot merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan. Muka bagian bawah yang meliputi dasar hidung, bibir atas, bibir bawah, pipi, dan dagu sangat penting untuk diperhatikan sebab otot-otot muka
2
bagian bawah (lower face) banyak berkontraksi. Kontraksi otot-otot terjadi sebagai manifestasi fungsi ekspresi wajah, bicara, mengunyah, menghisap, dan menelan (Hamilah, 2004). Melalui kemampuan otot yang tinggi untuk berkontraksi, sel-sel otot mampu memendek dan membentuk tegangan, yang menghasilkan gerakan dan melakukan kerja. Kontraksi otot yang abnormal dan tidak harmonis akan mengganggu atau merintangi perkembangan yang normal dari tulang (Sherwood, 2001). Menurut Burstone (1977 cit. Haryumani, 1994) ketebalan dan tonus jaringan lunak yang menutupi jaringan tulang berbeda pada setiap bagian dari wajah pada masing-masing individu, sehingga mempengaruhi profil wajah seseorang. Jaringan lunak dapat berubah disebabkan karena pertumbuhan maupun terapi mekanis (Zylinski et al., 1992). Dalam keadaan tuna wicara, otot bibir tidak digunakan selayaknya orang normal. Hal ini menyebabkan otot-otot bibir cenderung mengalami atrofi. Atrofi otot yaitu keadaaan otot mengecil sehingga kehilangan kemampuan untuk kontraksi, yang umumnya disebabkan tidak digunakan secara cukup atau penyakit (Hall and Guyton, 2011; Sherwood, 2001). Aktivitas bicara terjadi dengan mengubah posisi rahang, lidah, langitlangit dan bibir, yang berfungsi memproduksi kata-kata yang berkelanjutan (Mardel, 1976). Bicara merupakan sarana berkomunikasi yang mengharuskan bibir bergerak. Gerakan tersebut merupakan salah satu aktivitas bibir. Aktivitas bibir untuk penderita tuna wicara sangat kurang dan cenderung berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat (Edward, 1971).
3
Otot-otot bibir memiliki serabut otot yang bersifat elastis, mempunyai dua macam tonus yaitu aktif dan pasif. Pada waktu kontraksi terdapat tonus yang aktif dan apabila dalam keadaan dilatasi terdapat tonus pasif. Otot bibir dengan aktivitas normal, pada waktu istirahat terdapat keseimbangan yang harmonis, bila aktivitas otot sangat kuat (hiperaktivitas) atau sangat lemah (hipoaktivitas) dapat menimbulkan anomali pada lengkung gigi akibat adanya ketidakseimbangan antara tekanan otot di luar dan di dalam mulut (Hambleton, 1964; Kasai, 1998). Latihan otot secara intensif dan teratur dalam waktu 4 minggu dapat mengubah aktivitas otot (Voigt, 1998). Pertumbuhan tulang kraniofasial paling aktif terjadi pada usia 5-15 tahun sementara pada usia 15-25 tahun masih ada pertumbuhan pada tulang kraniofasial terutama pada mandibula (Bishara, 2000). Kemampuan bicara anak terus berkembang sesuai dengan bertambahnya usia. Pada usia lima sampai enam tahun, seorang anak telah dapat menyusun kalimat lengkap, menceritakan suatu topik, dan memiliki perbendaharaan kata sebanyak dua ribu sampai dua ribu lima ratus kata (AAPD, 2011; Weinberg, 1974; Mason dan Glass, 1982). Oleh karena itu subyek dari penelitian ini diambil pada rentang usia 7-15 tahun. Menurut Rogers (cit. Moyers, 1988), meskipun pada umumnya latihan terhadap otot-otot yang terdapat didalam tubuh ditujukan untuk meningkatkan ukuran dan kekuatannya, namun untuk daerah sekitar mulut lebih menekankan pada perbaikan fungsi dan aktivitas ototnya. Menurut Jung, dkk (2003), ketidakmampuan untuk menggunakan otot dapat mengakibatkan hilangnya sifat elastisitas jaringan, kelemahan otot, dan atrofi. Jika otot bekerja berat maka
4
aktivitas otot-otot menjadi semakin kuat tetapi jika otot-otot kurang berfungsi maka otot-otot menjadi lunak, lemas, dan tidak berkembang (Mokhtar et al., 1997). Pada anak tuna wicara terjadi penurunan aktivitas otot (hipoaktivitas) (Avasthi, et al. 2011) dan karena aktivitas bibirnya lebih sedikit dibandingkan dengan anak normal dalam kaitannya dengan gerakan bibir untuk berbicara dapat terjadi penurunan tegangan otot bibir (hipoaktivitas) dan atrofi otot bibir (Edward, 1971; Hall and Guyton, 2011; Sherwood, 2001). Anak tuna wicara mendapatkan terapi wicara untuk mengaktivasi kinerja otot-otot bibir sehingga dapat memperbaiki aktivitas otot dan dapat membantu memperbaiki kualitas pengucapan. Terapi wicara dilakukan minimal seminggu 2 kali dengan durasi tiap terapi selama kurang lebih 1-2 jam. Terapi wicara dilakukan tergantung dari penyebab dan keluhan wicara seperti artikulasi, irama bicara, kekuatan, ketepatan, dan kecepatan bicara. Dalam melatih otot bibir pada terapi wicara dapat dilakukan secara mandiri atau tanpa bantuan alat dan dengan bantuan alat. Terapi kekuatan otot bibir tanpa menggunakan alat dilakukan dengan latihan membuka dan menutup mulut, menutup mulut dan menggerakkan bibir ke kanan dan ke kiri, mengisi udara pada mulut dan posisi bibir mengatup kemudian kedua pipi kanan dan kiri ditekan sampai udara keluar. Gerakan ini menggunakan irama senam untuk memudahkan anak mengingat dan mengulangi gerakan latihan. Selain itu juga dilakukan teknik pemijatan dengan gerakan kedua jari telunjuk memijat bibir atas kearah samping, bibir bawah, dan kemudian bersama-sama bibir atas dan bawah (Setyono, 2000).
5
Bibir terdiri dari dua bagian, yaitu bibir bawah dan bibir atas. Dalam pembentukan suara bibir atas sebagai artikulator pasif bekerjasama dengan bibir bawah sebagai artikulator aktif (Marsono, 2013). Pada bidang kedokteran gigi anak, keadaan ini dapat dibantu dengan menggunakan piranti myofunctional untuk memperbaiki aktivitas otot bibir dan salah satunya dapat menggunakan lip bumper (Ingervall dan Jason 1981). Lip bumper merupakan alat pasif sederhana dan bisa ditoleransi dengan baik oleh pasien, digunakan untuk mengendalikan aktifitas otototot labialis dan mentalis (Nevant, 1991). Lip bumper digunakan untuk meningkatkan aktivitas otot bibir serta untuk menghilangkan kebiasaan jelek menggigit bibir bawah (Germec, 2005). Stimulus yang mungkin terjadi dengan pemakaian lip bumper adalah peningkatan kekuatan bibir secara maksimal, dapat mengkoreksi kebiasaan menghisap bibir, memperbaiki kelemahan otot atau hipoaktivitas otot bibir, dan perubahan pada aktivitas-aktivitas otot sekeliling mulut (Graber, 1972; Singh dan Singh 2007; Owen, 1983). Lip bumper bertujuan untuk memperbaiki kinerja otot bibir dan menormalkan tonus otot dengan memacu aktifitas otot-otot labialis, mengurangi tekanan jaringan lunak pada gigi-geligi dan menghasilkan keseimbangan antar gaya yang mengelilingi gigi (Bishara, 2001; Magness, 1998). Stimulus yang mungkin terjadi dengan pemakaian lip bumper adalah peningkatan potensi erupsi gigi dan perubahan pada aktivitas-aktivitas otot sekeliling mulut (Owen, 1983). Saat alat digunakan sebulan atau lebih maka terjadi pengenduran otot di sekitar mulut yang hiperaktif (Barrett, 1974).
6
Pemakaian alat myofungsional harus tetap berkontak dengan bibir sehingga efek dapat tercapai dan kekuatan otot bibir yang dihasilkan menjadi seimbang. Otot bibir akan kontraksi dan relaksasi secara simultan, semakin sering digunakan maka akan meningkatkan efektivitasnya (Widhiasti, 2011). Lip bumper dapat menghasilkan keseimbangan antar gaya yang mengelilingi gigi. Pergerakan besar terjadi pada awal perawatan (Murphy, 2003). Banyak faktor yang mempengaruhi proses tumbuh kembang anak. Namun salah satu faktor yang penting adalah gizi. Konsumsi gizi sangat mempengaruhi status gizi anak. Asupan gizi yang salah, maka keadaan status gizinya bisa lebih atau kurang. (Sulistyoningsih, 2011). Pengukuran otot bibir secara sederhana dikenalkan oleh Posen (1972, cit. Thuer dan Ingervall, 1986) dengan menggunakan alat yang disebut pommeter. Garliner (1976) mengukur kekuatan otot bibir menggunakan alat pegas yang prinsipnya sama dengan pommeter. Timbangan dacin dapat digunakan untuk mengukur tekanan otot pada bidang ortodonsi seperti tekanan otot pada penggunaan chin cup (Cohen, 1977). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka timbul permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pengaruh pemakaian lip bumper terhadap aktivitas otot bibir pada anak tuna wicara?
7
C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai anak tuna wicara masih sangat terbatas. Sebelumnya telah dilakukan penelitan pada anak tuna wicara untuk melihat tumbuh kembang fisik secara umum (Singh dan Singh, 2007). Penelitian tentang pengaruh pemakaian lip bumper terhadap aktivitas otot bibir pernah dilakukan pada anak pasca operasi celah bibir (Purnomo, 2009). Sejauh pengetahuan peneliti hingga saat ini belum pernah ada penelitian tentang pengaruh pemakaian lip bumper terhadap aktivitas otot bibir pada anak tuna wicara. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: Untuk mengetahui pengaruh pemakaian lip bumper terhadap aktivitas otot bibir pada anak tuna wicara. E. Manfaat Penelitian 1. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan a. Dapat memberikan informasi pengaruh pemakaian lip bumper terhadap aktivitas otot bibir pada anak tuna wicara. b. Dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut. 2. Untuk masyarakat Bekerja sama dengan terapi wicara dapat membantu pelatihan otot pengucapan pada anak tuna wicara sehingga dapat mengurangi lama dan intensitas kunjungan untuk terapi wicara serta dapat memperbaiki kualitas pengucapan anak tuna wicara.