I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah penyakit menular ganas pada babi yang disebabkan oleh virus dengan gejala utama gangguan reproduksi dan pernafasan dan mengakibatkan kerugian ekonomi cukup besar. Keberadaan virus tersebut baru dilaporkan pertama kali pada tahun 1980-an. Agen penyebab virus PRRS diisolasi pertama kali di Belanda dan dinamakan European type yang diwakili oleh virus Lelystad (Wensvoort et al., 1991) dan North American type yang diwakili oleh virus VR-2332 yang di isolasi di Amerika pada tahun 1992 (Benfield et al., 1992). Materi genetik kedua tipe virus tersebut adalah sama, yaitu virus ribo nucleic acid (RNA), beramplop, tergolong famili Arteriviridae, beruntai pendek dan tidak bersegmen (Benfield et al., 1992). Manifestasi klinis penyakit PRRS pada babi secara umum tergantung pada tipe virus dan tingkat patogenitas virus. Gejala klinis yang ditimbulkan sangat bervariasi dari asimptomatik sampai dengan gejala yang multisistemik. Secara umum gejala klinis terbagi dalam bentuk gangguan reproduksi dan pernafasan (Hirose et al.,1995). Infeksi virus PRRS yang dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1996 merupakan virus yang lebih virulen dan telah menginfeksi populasi babi yang telah divaksinasi dan mengakibatkan tingkat abortus dan kematian yang tinggi (Mengeling et al., 1998), sehingga kasus infeksi virus PRRS tersebut dikenal
1
sebagai infeksi PRRS akut. Kriteria untuk diagnosis PRRS akut, meliputi onset penyakit, tanda klinis (selama 2-4 minggu), kematian lebih dari 5% pada induk babi dan babi hutan, serta tingkat aborsi lebih dari 10% (Zimmerman et al., 1997). Pada tahun 2006-2007, kasus kematian babi yang sangat tinggi dilaporkan di Cina. Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa wabah tersebut disebabkan oleh virus PRRS. Gejala klinis dan patogenesitas dari wabah tersebut berbeda dengan PRRS tradisional. Mortalitas pada kasus di Cina ini dapat lebih dari 60% dan morbiditas dapat mencapai sampai 100% (Tian et al., 2007). Gambaran molekuler dari virus PRRS yang diisolasi dari wabah tersebut menunjukkan adanya delesi 30 asam amino dari non struktural protein 2 (NSP2). Berdasarkan gejala klinis, patogenisitas, dan perbedaan gambaran molekuler dengan virus klasik maupun kejadian akut, maka penyakit ini kemudian disebut highly pathogenic porcine reproductive and respiratory syndrome (HP-PRRS) (Tian et al., 2007). Semenjak wabah tahun 2006-2007, berdasarkan analisis filogenetik, virus PRRS Cina diklasifikasikan menjadi empat sub kelompok yang sekuen genomnya memiliki kemiripan sebesar 99%. Berdasarkan penemuan baru ini, genotip ini kemudian disebut sebagai virus PRRS tipe North America (NA) strain Cina yang dikenal dengan HP-PRRS (Li et al., 2010). Pada wabah virus PRRS tahun 2007 di Vietnam dilaporkan bahwa varian virus PRRS yang ditemukan di negara ini mempunyai homologi nukleotida sebesar 99% dengan virus PRRS Cina. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa virus PRRS Cina tahun 2006 telah menyebar ke
2
Vietnam dan kemudian bersirkulasi secara cepat di negara tersebut dan akhirnya menyebar ke negara-negara Asia Tenggara, meliputi Filipina dan Thailand tahun 2008, Laos dan Kamboja tahun 2010 serta Myanmar tahun 2011 (FAO, 2011). Salah satu penjelasan sehubungan dengan wabah ini adalah turunan virus PRRS tipe NA yang berevolusi menjadi suatu strain yang sangat virulen. Hal ini mungkin terjadi karena adanya tekanan yang dipicu oleh perubahan praktekpraktek peternakan babi di Cina, keterkaitan epidemiologis antara tingginya populasi babi dengan tatanan sistem manajemen dan produksi yang berbeda-beda serta faktor lingkungan (temperatur dan kelembaban) yang menyebabkan virus tersebut harus mempertahankan siklus hidupnya dengan melakukan mutasi, delesi ataupun insersi dan akhirnya virus menjadi lebih virulen. Koinfeksi virus PRRS dengan virus lain, misalnya swine influenza virus, porcine circo virus dan classical swine fever atau bakteri dapat berkontribusi terhadap manifestasi klinis dari virus PRRS yang sangat virulen tersebut (FAO, 2011). Penyakit PRRS mempunyai dampak ekonomi yang luas pada peternakan babi di Eropa, Amerika Utara, dan Cina. Kerugian akibat penyakit ini terutama akibat kematian, abortus, dan mumifikasi fetus, serta biaya pengobatan yang tinggi karena morbiditas dapat mencapai 100% serta biaya untuk sanitasi. Kerugian lain adalah anak babi yang lahir dari induk yang terinfeksi biasanya lemah dan kerdil sehingga feed conversion rate (FCR) menjadi tinggi (Neumann et al., 2005). Kerugian akibat wabah virus PRRS dapat mencapai $ 236/babi betina dewasa atau sekitar 600 juta dolar per tahun untuk produksi babi di seluruh dunia (Molenpkam et al., 2013).
3
Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) sepantasnya mendapat perhatian di Indonesia. Genotipe virus PRRS yang ada di Indonesia belum diketahui. Kemungkinan adanya HP-PRRS perlu diungkapkan karena dampak ekonominya yang besar bagi industri babi. Informasi tentang hal tersebut
sangat
bermanfaat
dalam
kaitan
surveilans,
pencegahan
dan
penanggulangan penyakit babi. Indonesia adalah negara produsen babi terbesar kelima di Asia Tenggara maka harus senantiasa meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya HP-PRRS. Letupan virus PRRS diindikasikan ada di Sumatera Utara pada tahun 2008 (Hutagaol et al., 2010). Pada tanggal 01 April 2013 diterbitkan surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/Kpts./OT.140/3/2013 tentang penetapan jenis penyakit hewan menular strategis yang memasukkan penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) sebagai salah satu penyakit strategis nasional, memberikan suatu perhatian yang baik terhadap penyakit ini. Kurangnya pengaturan dan pelayanan teknis dari pemerintah terhadap sektor peternakan babi, menyebabkan pelaksanaan surveilan tergolong minim dan kesiapsiagaan terhadap munculnya penyakit babi yang baru, termasuk HP-PRRS sangat rendah. Memasuki pasar global pada dekade ini, maka setiap virus yang muncul dalam bentuk sangat ganas dan berpotensi melintas batas (transboundary) harus dianggap sebagai suatu ancaman, sebagai tindakan dalam kewaspadaan dini (early warning system, EWS). Virus PRRS sudah dideteksi secara serologis pada babi di Indonesia sejak tahun 1998, namun belum ada data yang akurat tentang distribusi
4
keberadaan penyakit ini di Indonesia. Sampai saat ini informasi tentang kejadian infeksi virus PRRS masih sangat terbatas sehingga perlu dilakukan suatu penelitian untuk mendapatkan data atau informasi yang akurat tentang penyakit tersebut. Teknik yang umum digunakan untuk mengetahui genotipe virus PRRS adalah reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) (Wasilk et al., 2004). Analisis genom virus PRRS paling sering dilakukan pada gen penyandi open reading frame 5 (ORF5) yang mengekspresikan glikoprotein 5 (GP5), dan ORF7 yang mengekspresikan glikoprotein 7 (GP7). Glikoprotein ini digunakan untuk mengetahui variasi genetik dan analisis filogenetik virus PRRS (Badaoui et al., 2013, Meulenberg et al., 1995). Glikoprotein 5 merupakan protein yang mempunyai variabilitas yang tinggi dan merupakan protein permukaan virus serta berinteraksi dengan sel yang diinfeksi oleh virus tersebut. Analisis filogenetik terhadap ORF5 sudah banyak dilaporkan; gen ini dianggap sebagai marker genetik untuk membedakan tipe dan subtipe virus PRRS (Meulenberg et al., 1995). Informasi sekuen protein GP5 dapat digunakan untuk membandingkan isolat virus PRRS; protein ini merupakan marker yang berharga untuk memantau strain virus PRRS dalam kawasan peternakan dari waktu ke waktu. Keberadaan protein ini dapat membedakan antara virus klasik dan virus baru serta dapat membedakan antara virus vaksin dan virus alami yang bersirkulasi di lapangan (Yang et al., 1998). Protein GP5 merupakan protein struktural utama yang membentuk amplop virus (major envelope proteins) dan protein tersebut telah banyak dipelajari sehubungan
5
dengan perannya dalam proses budding virus, sebagai target respon imun, dan sebagai kandidat vaksin (Dokland, 2010). Open Reading Frame 7 (ORF7) menyandi protein nukleokapsid (N) dengan urutan N-terminal yang bermuatan positif, dan memfasilitasi interaksi dengan RNA dalam perakitan partikel virus yang infeksius. Protein N diekspresikan secara berlimpah dan mempunyai imunogenisitas yang tinggi sehingga protein tersebut secara umum dipakai sebagai
bahan dalam uji
diagnostik (Yoo et al., 2003). Non struktural protein 2 (NSP2) adalah protein non-struktural yang mempunyai perbedaan cukup besar di antara kedua tipe virus PRRS (EU dan NA). Pada tingkat asam amino, homologi antara kedua tipe virus tersebut berkisar antara 40%. Selain itu protein NSP2 adalah sebagai kunci perbedaan genomik antara tipe EU dan NA. Mutasi (delesi atau insersi) sering terdapat di daerah tengah atau di wilayah N-terminal dari sekuen virus lapang. Protein NSP2 merupakan daerah yang mempunyai variabel
tinggi dari virus PRRS dan
memiliki epitop B pada daerah ini (Fang et al., 2007). Pada wabah HP-PRRS di Cina tahun 2006, telah ditemukan hal yang unik pada gen penyandi NSP2, yaitu adanya delesi sebanyak 30 asam amino pada gen penyandi protein tersebut. Delesi satu asam amino pada posisi 482 dan 29 asam amino pada posisi 533-561 dari isolat Cina yang termasuk tipe NA merupakan suatu penanda genetik (genetic marker) tersendiri terhadap isolat Cina semenjak tahun 2006. Menurut Tian et al. (2007) delesi ini menandakan adanya potensi virus PRRS menjadi lebih virulen (virulence marker) sehingga virus ini dikenal sebagai highly pathogenic PRRS
6
(HP-PRRS). Mekanisme virulensi ini tampaknya terkait dengan delesi 30 asam amino pada gen penyandi protein NSP2.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Apakah sudah terjadi infeksi virus HP-PRRS pada babi di Indonesia dan tipe virus PRRS apa saja yang bersirkulasi di Indonesia? 2. Bagaimanakah urutan nukleotida dan asam amino gen penyandi ORF5, ORF7, dan NSP2 serta variasi genetik pada virus PRRS yang diteliti? 3. Dari manakah kemungkinan asal virus PRRS yang ada di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui keberadaan virus HP-PRRS di Indonesia dan keberadaan tipe virus PRRS yang bersirkulasi di Indonesia 2. Mengetahui sekuen nukleotida dan asam amino serta variasi genetik dari gen penyandi ORF5, ORF7, dan NSP2 pada virus yang diteliti 3. Mengetahui kemungkinan asal penularan virus PRRS di Indonesia
7
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang: 1. Keberadaan virus HP-PRRS di Indonesia dan keberadaan tipe virus PRRS yang bersirkulasi di Indonesia 2. Mendapatkan data base genetic berupa sekuen nukleotida dan asam amino serta variasi genetik dari gen penyandi ORF5, ORF7, dan NSP2 pada virus yang diteliti 3. Mengetahui kemungkinan asal penularan virus PRRS di Indonesia
E. Keaslian Penelitian
Analisis gen penyandi ORF5 virus PRRS tipe EU dan NA pada isolat Thailand tahun 2010-2011 telah dilakukan oleh Nilubol et al. (2013). Li et al. (2012) melakukan analisis pada gen penyandi NSP2, ORF5, dan ORF7 pada sebelas isolat virus PRRS asal Cina dan melaporkan telah terjadi evolusi yang cepat pada gen penyandi NSP2, ORF5, dan ORF7 pada isolat tersebut. Penelitian Shi et al. (2013) pada gen penyandi ORF5, ORF7, dan NSP2 memberikan kontribusi dan pengertian adanya variasi molekular dan epidemiologi penyakit PRRS pada isolat Cina tahun 2006-2012. Virus HP-PRRS Cina berkembang dengan pesat, hasil penelitian Liu et al, (2013) pada gen penyandi NSP2 dan ORF5 menunjukkan bahwa cepatnya evolusi yang terjadi pada virus HP-PRRS
8
Cina semenjak wabah tahun 2006 dan untuk penanggulangan tersebut perlu dibuatkan vaksin dari virus HP-PRRS atau turunannya. Di Indonesia deteksi titer antibodi terhadap virus PRRS sudah dilaporkan sejak tahun 1996 (Sendow et al., 1997). Deteksi virus PRRS asal Sumatera Utara dengan uji PCR pada virus tahun 2008 menunjukkan hasil positif (Hutagaol et al. 2010). Penelitian tentang penentuan subtipe dan studi keragaman genetik virus PRRS pada babi di Indonesia berdasarkan analisis gen penyandi ORF5, ORF7, dan NSP2 belum pernah dilakukan.
9