BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Acquired Imuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan syndrome atau kumpulan gejala yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu retrovirus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. AIDS sebagai tahap akhir dari infeksi HIV (Stolley and Glass, 2009). Pertama kali didiagnosis di Amerika Serikat tahun 1981 dan sampai saat ini telah menjadi pandemik karena menyerang sebagian besar negara di dunia. Data World Health Organization (WHO) secara global menunjukkan bahwa orang yang hidup dengan HIV sampai akhir tahun 2011 mencapai 34 juta orang dan 1,7 juta orang meninggal karena AIDS (UNAIDS, 2012). Data United Nation of AIDS (UNAIDS) 2012 menunjukkan di Indonesia terjadi peningkatan angka infeksi baru HIV lebih dari 25% dalam kurun waktu 2001 sampai 2011. Jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia sejak pertama kali ditemukan, 1 April 1987 sampai Juni 2013 sebesar 108.600 kasus HIV dan 43.667 kasus AIDS, dengan kasus kematian akibat AIDS sebesar 8.340 kasus. Saat ini kasus HIV/AIDS telah tersebar di 341 dari 497 kabupaten/kota di seluruh propinsi di Indonesia. Berdasarkan prevalensi kasus HIV per 100 penduduk, propinsi Yogyakarta menduduki posisi ke 8 dari 10 besar propinsi urutan teratas dengan prevalensi 22,6 (KEMENKES RI, 2013).
1
2
Situasi epidemi AIDS di Propinsi Yogyakarta berdasarkan data surveilans HIV dan AIDS seksi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Propinsi DIY tahun 2013 diperoleh data 1.110 kasus HIV dan 831 kasus AIDS. Data surveilans dikelompokkan berdasarkan kabupaten/kota di DIY pada tahun 2004 hingga November 2013 diperoleh kasus tertinggi terjadi di Kota Yogyakarta sebanyak 566 kasus kemudian Kabupaten Sleman 406 kasus, Kabupaten Bantul 312 kasus, Kabupaten Kulonprogo 94 kasus dan terendah Kabupaten Gunungkidul 61 kasus. Wilayah kota Yogyakarta dari 566 kasus terdapat 379 kasus HIV dan 187 kasus AIDS. Dari jumlah kasus tersebut yang diketahui masih hidup yaitu 488 orang, meninggal 47 orang dan tidak diketahui keadaannya sebanyak 31 orang. Infeksi HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual baik secara oral, anal maupun vaginal dengan orang yang terinfeksi, penggunaan jarum suntik secara bersama, transmisi maternal pada bayi saat persalinan dan mungkin saat menyusui, serta transplantasi organ, transfusi atau terinfeksi cairan tubuh seperti darah atau produk darah yang terinfeksi HIV (Hoyle, 2006). Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Yogyakarta tahun 2013, resiko terhadap penularan HIV/AIDS melalui heteroseks ditemukan 245 kasus, 53 kasus homoseks, 8 kasus biseksual, 65 kasus pengguna narkoba suntik, 12 kasus perinatal, dan 183 kasus tidak teridentifikasi. Pelayanan kesehatan merupakan sarana yang penting bagi pasien yang terinfeksi HIV untuk mendapatkan pelayanan dan dukungan kesehatan. Tenaga kesehatan yaitu dokter, perawat, dan bidan memiliki peran penting untuk deteksi
3
dini penemuan kasus infeksi HIV pada pasien, dengan melakukan pemeriksaan langsung kepada pasien. Apabila ada yang menunjukkan gejala infeksi HIV dan memiliki perilaku beresiko terkena HIV maka tenaga kesehatan diwajibkan untuk menawarkan tes HIV dengan pendekatan PITC (WHO, 2007). Namun peluang untuk melakukan pemeriksaan dan konseling HIV bagi orang-orang yang mengunjungi sarana pelayanan kesehatan seringkali diabaikan. Di Australia, lebih dari setengah persen pasien yang terdiagnosis HIV pernah melakukan pemeriksaan ke layanan kesehatan dan hampir semuanya memiliki minimal satu faktor yang menjadi alasan petugas kesehatan harus merekomendasikan tes HIV (WHO, 2007). Salah satu tujuan dari Milenium Development Goals (MDGs) adalah memerangi HIV/AIDS dengan target mengendalikan penularan dan penyebaran HIV/AIDS sehingga tercapai penurunan jumlah kasus baru pada 2015. Untuk mencapai tujuan itu, WHO bersama dengan UNAIDS merekomendasikan penerapan Provider Initiated HIV Testing and Counseling (PITC) sebagai cara untuk meningkatkan penemuan kasus HIV (WHO, 2007). Dirjen P2PL Kementrian Kesehatan RI menyatakan bahwa PITC merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan akses penemuan kasus, layanan, pencegahan, dan pengobatan HIV/AIDS. PITC ini diterapkan pada pasien yang datang ke layanan kesehatan dengan gejala, tanda klinis dan faktor resiko yang terkait dengan infeksi HIV (P2PL, 2010).
4
Program PITC memiliki daya jangkau yang lebih luas dibandingkan dengan voluntary conseling and testing (VCT), karena inisiatif tes berasal dari petugas kesehatan, sementara VCT atas dasar inisiatif pasien sendiri, sehingga dengan PITC mampu menghindari keterlambatan diagnosis. Peran petugas kesehatan dalam PITC juga lebih efektif, dibuktikan pada sebuah penelitian di Botswana oleh Steen T, et al (2007). Data orang yang melakukan tes HIV menunjukkan adanya peningkatan setelah diterapkan PITC yaitu dari 60.846 menjadi 157.894. Laporan terbaru oleh WHO, tentang Program HIV/AIDS Highlight 2008-2009 menunjukkan, bahwa telah terjadi peningkatan tajam dalam tes HIV selama beberapa tahun terakhir berkat WHO dan UNAIDS melalui pendekatan PITC (UNAIDS, 2010). Sebuah penelitian yang dilakukan di Tanzania oleh Kapologwe (2011) terhadap petugas kesehatan yaitu klinisi dan perawat di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah yang menerapkan PITC, 35% dari petugas kesehatan menyatakan sikap negatif terhadap PITC. Petugas kesehatan merasa PITC menghabiskan banyak waktu dan merasa kesulitan apabila menerapkan PITC kepada pasien yang tidak menunjukkan gejala HIV/AIDS. Studi yang dilakukan di Kenya (2011) juga ditemukan perawat yang menerapkan PITC merasa waktu kerja yang kurang dan fasilitas yang disediakan juga masih kurang. Sesuai dengan rekomendasi WHO, tiga prinsip PITC menjadi hal penting untuk menjamin terlaksananya program PITC namun penerapan tiga prinsip PITC menemui masalah dilematis. Dokter dan petugas kesehatan melakukan tes HIV kepada pasien tanpa memberikan informed consent terlebih dahulu. Klien merasa
5
dipaksa untuk menyetujui informed consent (Evans, 2011). Hal ini tidak sesuai dengan aturan penerapan PITC bahwa tes akan dilakukan setelah pasien mendapatkan informasi pre-tes dan menandatangani informed consent (WHO, 2007). Confidentiality atau kerahasiaan hasil tes HIV pasien juga tidak terjaga dengan baik. Pasien yang tidak menyetujui hasil tes HIV nya disampaikan kepada pasangannya, ternyata ada perawat yang menyampaikan kepada pasangan pasien, dengan tujuan melindungi agar pasangan tidak tertular (Evans, 2011). Dalam studi komparatif di India, Indonesia, Philipina dan Thailand terhadap orang yang postif HIV, sebanyak 34% melaporkan bahwa petugas kesehatan menyatakan kondisi HIV positif pasien kepada orang lain tanpa persetujuan pasien (Paxton, et al, 2005). Keadaan tersebut akan mempengaruhi kemauan pasien untuk dilakukan tes HIV (Flykesnes and Siziya, 2004). PITC mulai diterapkan di Indonesia pada tahun 2011. Sebuah studi kasus yang dilakukan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang, tentang analisis pelaksanaan strategi PITC ditemukan praktik dalam penerapan PITC oleh tim VCT yaitu dokter, perawat konselor, belum sesuai dengan pedoman PITC yang diterapkan oleh WHO dan UNAIDS. Pengetahuan tim VCT tentang 3 prinsip PITC yaitu counseling, consent dan confidentiality serta fasilitas yang direkomendasikan untuk penerapan PITC belum tepat (Sary, 2009). Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan pada bulan September 2013 di Dinas Kesehatan Propinsi Yogyakarta, Dari 18 Puskesmas di daerah Kota Yogyakarta terdapat 5 Puskesmas yang telah mendapatkan surat keputusan (SK) Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan yaitu
6
Puskesmas Gedongtengen, Puskesmas Umbulharjo I, Puskesmas Tegalrejo, Puskesmas Mantrijeron dan Puskesmas Mergangsan. SK merupakan penugasan kepada Puskesmas untuk memberikan pelayanan tes HIV dengan pendekatan PITC. Setiap bulan sekali, 5 Puskesmas tersebut melaporkan pencapaian target pasien yang telah dilakukan PITC. Puskesmas yang belum memperoleh SK dapat melakukan penawaran tes dengan PITC kemudian merujuk pasien untuk dilakukan tes HIV ke Puskesmas yang sudah mendapat SK. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas memberi dasar bagi peneliti untuk merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: ”Bagaimanakah pengetahuan dan sikap tenaga kesehatan Puskesmas kota Yogyakarta dalam meningkatkan cakupan tes HIV dengan pendekatan Provider Initiated HIV Testing and Counseling (PITC)”. C. Tujuan 1. Tujuan umum Untuk mengetahui perbedaan pengetahuan dan sikap antara tenaga kesehatan Puskesmas yang sudah mendapat Surat Keputusan (SK) Layanan Komprehensif HIV-IMS berkelanjutan dengan yang belum. 2. Tujuan khusus Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap tenaga kesehatan Puskesmas Kota Yogyakarta tentang Provider Initiated HIV Testing and Counseling (PITC) sebagai upaya untuk meningkatkan cakupan tes HIV
7
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat melengkapi khasanah ilmu pengetahuan mengenai PITC dan tiga prinsip dalam menerapkan layanan PITC di Puskesmas sebagai upaya penemuan kasus HIV dan menanggulangi HIV/AIDS. 2. Manfaat praktis a)
Bagi instansi Puskesmas Memberikan informasi tentang kondisi pengetahuan dan sikap tenaga
kesehatan yaitu dokter, perawat, dan bidan terhadap PITC, sehingga dapat menjadi sarana untuk mengevaluasi kemampuan tenaga kesehatan tentang pelayanan PITC. b) Bagi institusi pendidikan Menjadi data dasar untuk pengembangan penelitian selanjutnya c)
Bagi peneliti Menambah wawasan tentang pengetahuan dan sikap tenaga kesehatan yaitu
dokter, perawat dan bidan Puskesmas tentang PITC.
8
E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis, belum pernah dilakukan penelitian mengenai pengetahuan dan sikap tenaga kesehatan Puskesmas terhadap PITC tetapi ada penelitian yang berhubungan yaitu: 1. Perceived barriers and attitudes of health care providers towards Provider Initiated HIV testing and counseling in Mbeya region, southern highland zone of Tanzania (Kapologwe et al, 2011). Hasil yang didapatkan yaitu semua partisipan sebanyak 402 orang tenaga kesehatan yaitu perawat dan klinisi menyadari tentang pentingnya pelayanan PITC, namun 35% menyatakan sikap negatif karena ketika pasien yang ditawari tes HIV tidak memiliki keluhan terkait HIV membuat tenaga kesehatan merasa kesulitan dalam memberikan layanan PITC. Hambatan yang dikeluhkan sebanyak 57,7 % partisipan mengungkapkan banyaknya pasien dan 46% partisipan menyatakan tidak adekuat ruangan. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada variabel yg diteliti yaitu meneliti sikap terhadap PITC dan metode penelitiannya yaitu cross-sectional dengan menggunakan kuesioner. Perbedaannya adalah pada tempat, dan subyek penelitian. Tempat penelitian ini dilakukan di Tanzania dan subyeknya tenaga kesehatan yaitu perawat dan klinisi dari rumah sakit rujukan, rumah sakit daerah dan pelayanan kesehatan umum. 2. Analisis Pelaksanaan Strategi Pelayanan Provider Initiated HIV Testing and Counselling/ PITC (Sary, 2009). Penelitian ini merupakan sebuah studi kasus yang dilakukan di Balai Kesehatan Paru Semarang. Hasil penelitian ini diantaranya hampir semua subyek penelitian mendukung dalam mewujudkan
9
PITC di BKPM Semarang, pengetahuan responden cukup baik, namun terdapat hambatan dalam menerapkan PITC yaitu kurangnya tenaga kesehatan serta fasilitas yang kurang memadai. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu pada variabel yang akan diteliti yaitu tentang pengetahuan, dan sikap tehadap PITC. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah pada metode, tempat, dan subyek yang diteliti. Metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan metode kualitatif dengan rancangan case study. Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan wawancara mendalam terhadap 13 responden. 3. Assessment of Provider-Initiated Testing and Counseling Implementation: Cambodia (Spratt et al, 2011). Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi isu terkait consent, confidentiality, proses konseling, tes HIV dan proses rujukan dalam menerapkan PITC di Kamboja. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu pada variabel yang akan diteliti yaitu consent, confidentiality, dan counseling. Perbedaannya terletak pada metode penelitian, subyek, instrumen, serta lokasi. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif, instrumennya dengan pertanyaan kualitatif dan kuantitatif, subyeknya tenaga kesehatan, pasien dan petugas pemerintahan. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kamboja. 4. Implementating Routine Provider Initiated HIV Testing to Public Health Care Facilities in Kenya : a qualitative descriptive study of nursing experiences (Evans and Ndirangu, 2011). Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat beberapa tantangan dalam menegakkan 3 prinsip PITC yaitu pasien merasa dipaksa untuk
10
menandatangi inform consent, kerahasiaan pasien juga tidak terjaga. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu pada subyek dan variabel yang akan diteliti yaitu perawat dan 3 prinsip PITC. Perbedaannya terletak pada metode, tempat, dan instrumen yang digunakan. Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan metode kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan fokus grup diskusi dan wawancara mendalam terhadap perawat. Lokasi penelitian ini dilakukan di Nairobi Kenya. 5. The Nursing Implications of Routine Provider-Initiated HIV Testing and Counseling in Sub-Saharan Africa : a Critical Review of New Policy guidance from WHO/UNAIDS (Evans and Ndirangu, 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan keprihatinan terhadap penerapan informed consent, kerahasiaan dan privasi serta proses konseling dan perawatan yang disediakan dalam program ini pada layanan kesehatan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada topik yang akan diteliti yaitu 3 prinsip PITC. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada metode dan tempat penelitian. Metode penelitian ini yaitu review beberapa penelitian yang bertujuan untuk mengetahui implikasi tentang kebijakan PITC terhadap profesi perawat di sub-saharan Afrika, hasil-hasil penelitian tentang PITC yang diperoleh dari website, database elektronik dan proceedings.