BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome 2.1.1.
Pengertian HIV/ AIDS HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency virus adalah virus
yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yaitu sel darah putih dan kemudian menimbulkan AIDS (Depkes 2005). Virus ini merupakan kelompok retrovirus yaitu kelompok virus yang mempunyai kemampuan untuk mengkopi cetak komponen genetika diri di dalam komponen genetika sel-sel yang ditumpanginya (Dep.Kes. RI, 2005). Virus HIV termasuk golongan virus RNA yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik, yang tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia termasuk manusia dan menimbulkan kelainan patologi . HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh manusia. HIV dapat menyerang salah satu jenis dari seL-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Kerja virus setelah masuk ke dalam tubuh manusia yaitu merusak salah satu jenis sel imun tertentu yang dikenal dengan sel T Helper dan sel tubuh lainya, antara lain sel otak, sel usus, sel paru. Sel T Helper adalah titik pusat pertahanan tubuh, sehingga infeksi HIV menyebabkan daya tahan tubuh menjadi lemah. Virus HIV ditemukan dan diisolasikan dari sel limposit T4, limposit B, sel makrofag (di otak dan paru) dan berbagai cairan tubuh teutama pada darah, cairan
Universitas Sumatera Utara
sperma, cairan vagina, air susu ibu. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan kumpulan gejala penyakit spesifik yang disebabkan oleh rusaknya sistem kekebalan tubuh oleh virus HIV. Kasus HIV AIDS di dunia dimulai pada tahun 1979 di Amerika Serikat ditemukan pada seorang gay muda dengan Pneumocystis carinii. Peningkatan jumlah kasus HIV dan AIDS sejak akhir tahun 2002 menunjukkan peningkatan yang sangat tajam dari jumlah dimana terinfeksi secara pandemi. Pada awalnya penyakit ini tidak menunjukkan gejala sama sekali, karena masa inkubasinya yang lama (6 bulan sampai lebih dari 10 tahun). Rata-rata masa inkubasi adalah 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa. Seorang dewasa (lebih dari 12 bulan) dianggap AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dengan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 1 gejala minor serta gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV/AIDS (PPNI, 2004). 2.1.2.
Etiologi dan Patogenesis Infectious agent dari AIDS adalah sejenis virus yang tergolong dalam
Retrovirus yang mempunyai materi genetic RNA yang disebut dengan HIV. HIV termasuk virus yang sangat sensitif terhadap pengaruh lingkungan, karena bagian luar virus tidak tahan terhadap panas dan bahan kimia. Virus HIV ditemukan
Universitas Sumatera Utara
dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, air susu ibu yang terinfeksi. Kondisi terinfeksi HIV adalah dimana kurangnya jenis limfosit T helper yang mengandung sel limfosit T4 dengan marker CD4. Limfosit T4 merupakan pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam mengatur dan mempertahankan system kekebalan tubuh. HIV mempunyai tropisme selektif terhadap sel T4, karena molekul CD4 yang terdapat pada dindingnya adalah reseptor dengan affinitas yang tinggi untuk virus ini. Setelah HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan kulitnya lepas kemudian dengan enzyme reverse transcrytase dan merubah bentuk RNAnya menjadi DNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetic virus infeksi HIV, dengan demikian menjadi irreversible dan berlangsung seumur hidup. 2.1.3. Epidemiologi HIV/AIDS Orang yang terinfeksi virus HIV belum disebut dengan AIDS namun akhirnya akan menjadi AIDS dan status HIV positif tidak pernah berubah menjadi HIV negatif. Perlu waktu 3-10 tahun untuk menjadi AIDS. Di Indonesia, penderita AIDS yang pertama kali ditemukan adalah seorang wisatawan asing laki-laki yang meninggal di pulau Bali, April 1987. Penderita AIDS ke dua, sudah 2 tahun menetap di Indonesia dan meninggal di Denpasar Bali, Juni 1988. Peningkatan kasus HIV/AIDS sangat tajam, dimana sampai pada tahun 1991 sejumlah 21 kasus, dan sampai Juni 1996 tercatat 407 kasus. Pada tahun 2000,
Universitas Sumatera Utara
urutan jumlah kasus terbanyak sebagai berikut : Jakarta (362), Irian Jaya (312) Riau (115) dan Jawa Timur (103) kasus HIV/AIDS. Sampai Juni 2001, jumlah kumulatif penderita HIV/AIDS yang dilaporkan rumah sakit mencapai 2150 kasus, dengan kasus HIV sebesar 1572 kasus dan AIDS sebesar 578 kasus dan yang meninggal sebesar 251 jiwa. Jumlah penderita HIV/AIDS yang sebenarnya diperkirakan 100 kali lipat dari jumlah yang dilaporkan. Peningkatan penyebaran epidemik secara nyata melalui Pekerja Seks Komersial (PSK). Di Propinsi Riau terdapat 8,38% pekerja seks yang HIV positif, Irian Jaya 26,5%, Jawa Barat 5,5% dan DKI Jakarta 3,36% (Depkes, 2003). Menurut hasil sero survey yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal PPMPL Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial tahun 2005/2006, menunjukkan bahwa dari 8 provinsi yang dilaporkan, ditemukan 123 spesimen HIV (+) dari 21.076 spesimen yang diperiksa (prevalensi sebesar 3,58%). Spesimen tersebut diambil dari kelompok penduduk yang mempunyai factor resiko tertular HIV/AIDS, seperti WPS (Wanita Penjaja Seks) dan para pengguna narkotika suntikan, serta diperoleh prevalensi tertinggi terdapat di Propinsi DKI Jakarta sebesar 6,83% (survey dilakukan pada pengguna narkotika suntikan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Fatmawati Jakarta). Menurut laporan Departemen Kesehatan RI tahun 2010, jumlah kumulatif HIV/AIDS di Indonesia sampai dengan 31 Maret 2010 adalah 10.156 kasus HIV/AIDS yaitu sekitar 4.333 kasus HIV+ dan sekitar 5.823 kasus AIDS, dan jumlah tersebut meningkat dan meluas ke seluruh penjuru dunia dalam waktu
Universitas Sumatera Utara
yang relatif singkat.. Berdasarkan umur diperoleh proporsi penderita AIDS yang tertinggi pada kelompok usia produktif (20-29 tahun sekitar 64,27%) dan menurut cara penularan AIDS diperoleh proporsi melalui hubungan seksual sebesar 50,23%. 2.1.4. Cara Penularan HIV/AIDS Menurut Depkes RI (2005), ada 3 cara penularan HIV/AIDS yaitu :
A. Penularan Seksual Secara umum dapat dikatakan, hubungan seksual adalah cara penularan HIV yang paling sering terjadi. Virus dapat ditularkan dari seseorang yang terinfeksi kepada mitra atau pasangan seksualnya, baik dari laki-laki atau perempuan atau sebaliknya (heteroseksual) maupun dari sesama jenis kelamin (homoseksual) atau yang mendonorkan semennya kepada orang lain. Resiko terinfeksi HIV melalui hubungan seksual tergantung kepada beberapa hal : a. Kemungkinan bahwa mitra seksual terinfeksi HIV Angka kejadian infeksi HIV pada penduduk seksual aktif sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah yang lainnya, juga berbeda antara satu kelompok penduduk dengan kelompok penduduk lainnya dalam satu daerah. Kemungkinan proporsi seseorang terinfeksi HIV melalui hubungan seksual, umumnya dapat dikatakan tergantung jumlah proporsi mitra seksual dalam tahun-tahun terakhir. Di daerah yang cara penularan HIV terbanyak melalui hubungan heteroseksual maka kelompok masyarakat yang beresiko
Universitas Sumatera Utara
untuk terinfeksi HIV adalah PSK dan laki-laki yang sering kali berhubungan dengan PSK. Sedangkan untuk negara maju, angka kejadian infeksi lebih tinggi dijumpai pada homoseksual, biseksual dan penggunaan obat narkotika suntik. b. Cara salah melakukan hubungan seksual Semua hubungan seksual mempunyai resiko penularan infeksi HIV, namun resiko tertinggi terjadinya infeksi HIV pada pria dan wanita ialah mereka yang berlaku sebagai penerima dari hubungan seksual anal dengan mitra seksual yang terinfeksi HIV. Hubungan cara vaginal kemungkinan membawa resiko tinggi bagi pria dan wanita heteroseksual dari pada oralgenital. Secara teori masturbasi bersama akan memungkinkan adanya pancaran semen atau cairan vagina atau cairan vagina atau cairan mulut (serviks) secara teori dapat menimbulkan resiko penularan HIV. c. Banyaknya virus yang terdapat dalam darah atau cairan sekresi mitra seksual yang terinfeksi Seseorang yang terinfeksi HIV jelas akan lebih infeksius sejalan dengan perkembangannya menjadi penderita AIDS. d. Keberadaan penyakit menular seksual lain yang dapat meningkatkan resiko penularan HIV. B. Penularan Parenteral
Universitas Sumatera Utara
Penularan ini terjadi melalui transfusi dengan darah yang terinfeksi HIV atau produk darah atau penggunaan jarum yang terkontaminasi dengan HIV atau peralatan lain yang melukai mukosa kulit. C. Penularan Perinatal Penularan dari seorang wanita kepada janin yang dikandungnya atau bayinya. Penularan ini dapat terjadi sebelum, selama atau beberapa saat setelah bayi dilahirkan. Resiko penularan HIV dalam rahim si ibu atau selama proses kelahiran.
2.1.5. Perjalanan Infeksi HIV/AIDS Pada saat seseorang terinfeksi HIV maka diperlukan waktu 5-10 tahun untuk sampai ke tahap AIDS. Setelah virus masuk ke dalam tubuh manusia, maka selama 2-4 bulan keberadaan virus tersebut belum bisa terdeteksi dengan pemeriksaan darah meskipun virusnya sendiri sudah ada dalam tubuh manusia. Tahap ini disebut sebagai periode jendela. Sebelum masuk tahap AIDS, orang tersebut dinamai HIV positif karena dalam darahnya terdapat HIV. Pada keadaan ini maka kondisi fisik yang bersangkutan sudah aktif menularkan virusnya ke orang lain jika dia mengadakan hubungan seks atau menjadi donor darah. Sejak masuknya virus dalam tubuh manusia maka virus ini akan merusak sel darah putih (yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh) dan setelah 5-10 tahun maka kekebalan tubuh akan hancur dan penderita masuk dalam tahap AIDS
Universitas Sumatera Utara
dimana terjadi berbagai infeksi misalnya infeksi jamur, virus-virus lain, kanker dan sebagainya. Penderita akan meninggal dalam waktu 1-2 tahun kemudian karena infeksi tersebut. 2.1.6.
Pencegahan HIV/AIDS Menurut Depkes (KPA Nasional, 2005), pada prinsipnya pencegahan
dapat dilakukan dengan cara mencegah penularan virus HIV melalui perubahan perilaku seksual yang dikenal dengan prinsip”ABC” ini telah dipakai dan dilakukan secara internasional, sebagai cara yang paling efektif mencegah infeksi HIV lewat hubungan seksual dengan tingkat prevalensi sebesar 70-80% , prinsip tersebut adalah : 1) Abstinensia yaitu dengan menjauhi seks sampai anda kawin atau menjalin hubungan jangka panjang dengan pasangan. 2) Be faithful yaitu dengan bersikap saling setia dengan pasangan dalam hubungan perkawinan atau hubungan tetap jangka panjang. 3) Condom yaitu pencegahan dengan memakai kondom secara benar dan konsisten untuk pekerja seks atau orang yang tidak mampu melaksanakan abstinensia dan be faithful. Selain hal tersebut diatas, perlu juga untuk melakukan pencegahan penularan HIV/AIDS melalui berbagai alat yang tercemar darah HIV, antara lain :(a) semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik dan alat-alat medis, jarum tato, pisau cukur) harus disterilisasi, (b) jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan orang lain, (c) melakukan skrining terhadap semua darah yang akan ditransfusikan (resiko penularan sebesar 90%), (d) pencegahan penularan dari ibu yang terinfeksi HIV/AIDS kepada janinnya.
Universitas Sumatera Utara
Penanggulangan HIV/AIDS perlu difokuskan pada upaya pencegahan melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Pendidikan kesehatan reproduksi, program pendidik sebaya (peer educator) merupakan hal yang penting dalam KIE disamping upaya lainnya seperti penanggulangan Napza, konseling, pendamping dan perawatan Orang Dengan HIV/AIDS. Kemajuan ilmu dan teknbologi sampai saat ini belum menemukan obat yang mampu membunuh HIV maupun vaksin untuk mencegah penularannya. Namun ketika virus sudah menginfeksi dan menyerang kekebalan tubuh dapat juga melakukan berbagai upaya pengobatan pada masa inkubasi. Pengobatan yang dimaksud antara lain : (a) Pengobatan suportif, (b) penanggulangan penyakit oportunistik, (c) pemberian obat antivirus, (d) penanggulangan dampak psikososial. Obat-obatan yang digunakan untuk ODHA saat ini hanya lebih pada upaya melemahkan daya progresivitas virus, memperlambat perkembangan virus, memperkuat daya tahan tubuh dengan meningkatkan antibody yang akan meningkatkan kualitas hidup ODHA. Terapi yang dikenal sebagai terapi Antiretroviral (ART) seperti Nevirapine, Efapirens, Tenovir dan lain-lain dapat diperoleh di rumah sakit tertentu yang sangat menolong penderita ODHA (Widoyono, 2005). 2.2. Pekerja Seks Komersil km Pekerja Seks Komersil (PSK) atau sebutan lain dengan wanita tuna susila (WTS), pelacur, kupu-kupu malam dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri untuk melakukan hubungan seksual untuk mendapatkan
Universitas Sumatera Utara
upah. Pada masyarakat umum yang disebut sebagai PSK adalah perempuan yang pekerjaannya menjual diri kepada siapa saja yang membutuhkan kepuasan hubungan seksual dengan pemberian bayaran (Pratomo, 2002). Berdasarkan cara menjalankan pekerjaannya PSK dibedakan menjadi 4 kategori, antara lain : 2.2.1. Brothel Prostitution (PSK Bordil) Brothel prostitotion yaitu praktek PSK yang sebagian penghasilannya diserahkan kepada seseorang yang mengkoordinirnya/Germo. Biasanya PSK kategori ini telah memiliki tempat tertentu atau biasa disebut lokalisasi. Namun dalam kenyataannya PSK kategori ini beroperasi tidak hanya pada lakolisasi yang resmi melainkan juga pada lokalisasi yang tidak resmi seperti Rumah makan, kafe, panti pijat, salon dan sebagainya. 2.2.2. Call Girl Prostitution (PSK panggilan) Call girl prostitution yaitu PSK yang melayani seseorang dengan cara dipanggil kesuatu tempat biasanya hotel dan pada umumnya dipanggil lewat telepon. 2.2.3. Street Prostitution (PSK Jalanan) Street prostitution yaitu PSK yang mencari pelanggannya di jalanan atau tempat umum kemudian pergi ketempat tertentu untuk melakukan hubungan seksual. 2.2.4. Unorganized Professional Prostitution (PSK Profesional)
Universitas Sumatera Utara
Unorganized professional prostitution yaitu PSK yang menjalankan pekerjaannya ditempat-tempat yang disewanya, memiliki pelindung dan perantara khusus atau melalui sopir-sopir taksi sebagai perantara. 2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Faktor-faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan menurut Notoatmodjo (2007) adalah sebagai berikut : a. Faktor pendukung (Predisposing Factor) adalah pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi, kepercayaan
individu, umur, tingkat pendidikan, lama bekerja,
pendapatan. b. Faktor pemungkin adalah mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatanmeliputi biaya, lokasi, kemudahan jangkauan dan keterampilan dan petugas kesehatan. c. Faktor penguat/pendorong adalah meliputi faktor sikap orang yang ada didekat, seperti: teman seprofesi, mucikari dan petugas kesehatan kesehatan memberikan dukungan kepada orang yang beresiko khususnya pekerja seks komersil untuk memanfaatkan sarana dan prasarana dalam pelayanan kesehatan. 2.3.1. Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung maupun yang tidak. Perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari
Universitas Sumatera Utara
luar). Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Teori H. Blum). Dari segi biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Skinner (1938) ahli psikologi yang dikutip oleh Notoatmodjo merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespon maka teori Skinner ini disebut teori S-O-R atau stimulus organisme respons. Dilihat dalam bentuk respons terhadap stimulus, perilaku dibedakan menjadi dua: a. Perilaku tertutup (covert behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup.misalnya:
seorang
yang
beresiko
terkena
HIV/AIDS
untuk
memeriksakan kesehatannya. b. Perilaku terbuka (overt behavior) Respons sesorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Apabila konsep Blum yang menjelaskan bahwa derajat kesehatan itu di pengaruhi oleh 4 faktor utama, yakni lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan (hereditas) maka promosi kesehatan adalah sebuah intervensi terhadap faktor perilaku (konsep Green).
Universitas Sumatera Utara
Pengetahuan adalah hasil tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman dan dapat juga diperoleh dari informasi yang disampaikan orang lain, di dapat dari buku, surat kabar, atau media massa, media elektronik. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Pada dasarnya pengetahuan terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang dapat memahami sesuatu gejala dan memecahkan masalah yang dihadapi (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung ataupun melalui pengalaman orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui penyuluhan baik secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan yang bertujuan untuk tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan optimal (Notoatmodjo, 2003). Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan mempunyai enam tingkatan yaitu: 1.
Tahu (Know) Diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bagian yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, mendefenisikan, mengatakan.
Universitas Sumatera Utara
2. Pemahaman (Comprehension) Diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang telah memahami atau harus dapat menjelaskan objek (materi), menyebutkan contoh, menyampaikan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari. 3. Aplikasi (Aplication) Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan buku, rumus, metode, prinsip dalam konteks, atau situasi lain. Misalnya adalah dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian dan dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah kesehatan dari kasus-kasus yang diberikan. 4. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. 5. Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian ke dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dan formulasi-
Universitas Sumatera Utara
formulasi yang ada. Misalnya : dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. 6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan-kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2003). Berbagai macam cara telah digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : 1. Cara tradisional untuk memperoleh pengetahuan Cara tradisional ini dipakai orang untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan secara sistematik dan logis. Cara-cara ini adalah : a) Cara coba-coba (Trial and Error) Dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain.
Universitas Sumatera Utara
b) Cara kekuasaan atau otoritas Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, pemimpin agama, maupun ahli ilmu pengetahuan. c) Berdasarkan pengalaman pribadi Dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu. d) Melalui jalan pikiran Kemampuan manusia menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya dengan menggunakan jalan pikirannya. 2. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan Cara ini disebut ”metode penelitian ilmiah” atau dikenal dengan metode penelitian (research methodology). Dalam memperoleh kesimpulan pengamatan dilakukan dengan mengadakan observasi langsung dan membuat pencatatanpencatatan terhadap semua fakta sehubungan dengan objek yang diamati. Pencatatan ini mencakup tiga hal pokok, yaitu : a) Segala sesuat yang positif, yaitu gejala yang timbul pada saat dilakukan pengamatan. b) Segala sesuatu yang negatif, gejala tertentu yang tidak timbul pada saat dilakukan pengamatan. c) Gejala-gejala yang muncul saat bervariasi, yaitu gejala-gejala yang berubahubah pada kondisi tertentu.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Sikap (Attitude) Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulasi atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan pencetus (predisposisi) tindakan atau perilaku. Sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003). Ciri-ciri Sikap Sikap merupakan faktor yang ada dalam diri manusia yang dapat mendorong atau menimbulkan perilaku yang tertentu. Walaupun demikian sikap mempunyai segi-segi perbedaan dengan pendorong-pendorong lain yang ada dalam diri manusia. Ciri-ciri sikap adalah : a)
Sikap bukan dibawa orang sejak ia dilahirkan
b) Sikap itu dapat berubah-ubah c) Sikap itu tidak berdiri sendiri d) Objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu e) Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan Aplikasitingkatan sikap menurut Notoatmodjo (2003) a) Menerima (Receiving)
Universitas Sumatera Utara
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang tentang HIV/AIDS dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian terhadap penyuluhan. b) Merespon (Responding) Memberikan pertayaan apabila ditanya, mengerjakan, menyelesaikan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. c) Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. d) Bertanggung jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Menurut Saiffudin yang dikutip oleh Azrul Azwar (2003) sikap terbentuk dari 3 komponen yaitu: a) Komponen Kognitif (cognitive) Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorrang mengenai apa yng berlaku bagi objek sikap. b) Komponen afektif (affective) Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap.
Universitas Sumatera Utara
c) Komponen perilaku (behavior/conative) Dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan denga objek sikap yang dihadapinya. Dalam interaksi sosial,terjadi hubungan saling menghargai di antara individu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbale balik yang turut mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebgai anggota masyarakat Lebih lanjut interaksi social ini meliputi hubungan antara individu dengan lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis di sekelilingnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap individu adalah: a) Faktor interinsik, meliputi: kepribadian, intelejensi, bakat, minat, perasaan, serta kebutuhan dan motivasi seseorang. b) Faktor ekstrinsik, meliputi : faktor lingkungan, pendidikan, idiologi, ekonomi, politik dan pertahanan dan keamanan. Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek, secara langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo 2007). 2.3.3. Tindakan atau Praktek (Practice) Suatu sikap belum langsung terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan ( Notoatmodjo, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Notoatmodjo, tingkat-tingkat praktek sebagai berikut : a. Persepsi (Perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. b. Respon Terpimpin (Guided Respons) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar.
c. Mekanisme (Mechanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan. d. Adaptasi (Adaptation) Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Tindakan tersebut sudah dimodifikasi sendiri tanpa mengurangi kebenarannya. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yaitu dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. 2.4. Pelayanan Kesehatan Kebutuhan kesehatan (health need) pada dasarnya bersifat objektif,dan untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat, untuk memenuhi upaya kesehatan tersebut bersifat mutlak.
Universitas Sumatera Utara
Tuntutan kesehatan yang bersifat subjektif banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan social ekonomi (Azwar, 1996). Tuntutan kesehatan ini ada kaitannya dengan tersedia tidaknya pelayanan kesehatan. Voluntary Conseling Testing merupakan salah satu bagian dari sarana pelayanan kesehatan secara umum.Perkembangan teknologi harus selalu diperhatikan untuk kemajuan pelayanan kesehatan, karena perkembangan teknologi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tuntutan kesehatan (Azwar, 1996). Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan peenyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, kelompok dan masyarakat. Agar pelayanan kesehatan dapat mencapai tujuan yang diinginkan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu : tersedia (available), wajar (appropriate), berkesinambungan (continue), dapat dicapai (accesible), dapat dijangkau (affordable), efisien (efficient) dan bermutu (quality). Karakteristik pemanfaatan pelayanan kesehatan dapat dikategorikan berdasarkan jenis, tujuan maupun unit kesehatan. Pelayanan kesehatan berdasarkan jenis/tipe pelayanan di rumah sakit, psikolog, dokter gigi, perawat dan lain-lain. Pelayanan kesehatan juga dikategorikan berdasarkan tujuan, seperti pelayanan primer, sekunder dan tersier. Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang juga berdasarkan unit kesehatan seperti jumlah pertemuan dengan tenaga kesehatan selama periode waktu tertentu (Andersen, 1974).
Universitas Sumatera Utara
Pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1. Faktor sosiokultural, yang terdiri dari faktor teknologi pengobatan dan norma atau nilai yang berlaku di masyarakat. 2. Faktor organisasi, yang terdiri dari ketersediaan sumber daya, akses geografis, akses sosial, karakteristik proses dan struktur organisasi pelayanan kesehatan. 3. Faktor yang berhubungan dengan konsumen, yang terdiri dari : (a) faktor sosiodemografis yaitu umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa, status perkawinan dan status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, penghasilan) dan (b) faktor sosial psikologis yaitu persepsi terhadap penyakit serta sikap dan keyakinan tentang pelayanan kesehatan. Menurut Smet (2005) keyakinan masyarakat umum tentang kesehatan dan kesakitan lebih spesifiknya mengenai etiologi juga akan mempengaruhi perilaku mencari bantuan, yaitu apakah orang akan mencari bantuan atau tidak serta petugas kesehatan yang akan dimintai konsultasi oleh si sakit. Selain itu ciriciri karakteristik seperti jenis kelamin, ras, umur yang sering ditetapkan dalam berbagai literatur menjadi variabel yang penting dalam hubungannya dengan perilaku mencari bantuan. Menurut Sarwono (2007) yang mengutip pendapat Mechanic proses yang terjadi dalam diri individu sebelum menentukan untuk mencari upaya pengobatan, antara lain :(a) dikenalinya atau dirasakannya gejala-gejala/tanda-tanda yang menyimpang dari keadaan biasa, (b) banyaknya gejala yang dianggap serius dan diperkirakan menimbulkan bahaya, (c) dampak gejala itu terhadap hubungan
Universitas Sumatera Utara
dengan keluarga, hubungan kerja dalam kegiatan sosial lainnya, (d) frekuensi dari gejala dan tanda-tanda yang tampak, (e) nilai ambang dari mereka yang terkena gejala (susceptibility) atau kemungkinan individu untuk diserang penyakit, (f) informasi pengetahuan dan asumsi budaya tentang penyakit itu, (g) perbedaan interpretasi terhadap gejala yang dikenal, (h) adanya kebutuhan untuk bertindak/berperilaku mengatasi gejala, (i) tersedianya sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana tersebut, tersedianya biaya dan kemampuan. Berdasarkan gejala yang dirasakan, faktor-faktor yang membuat seseorang mencari pelayanan kesehatan adalah : (a) gejala penyakit terasa mengerikan sedangkan perawatannya tersedia, (b) orang biasanya akan berobat terhadap gejala penyakit yang diperkirakan akan menyebabkan akibat yang serius, (c) merasa cemas, hal ini terkait dengan krisis interpersonal, (d) gejala penyakit yang timbul dapat mengancam hubungan dengan orang lain, (e) dukungan dari orang lain seperti teman untuk mencari pelayanan kesehatan. Menurut
Notoatmojo
(2003)
yang
mengutip
pendapat
Becker
mengatakan bahwa perilaku yang berkaitan dengan tindakan seseorang yang sedang sakit untuk mencari penyembuhan disebut perilaku sakit. Dalam hal ini ada beberapa tindakan yang timbul adalah: (a) Didiamkan saja, artinya sakit tersebut diabaikan dan tetap menjalankan kegiatan sehari-hari, (b) mengambil tindakan dengan melakukan pengobatan sendiri, baik obat tradisionil maupun dengan beli obat di warung, (c) mencari penyembuhan atau pengobatan keluar yakni ke tempat pelayanan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Seseorang baru akan mulai menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalaman atau dari informasi yang diperoleh dari orang lain tentang tersedianya jenis-jenis pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan itu dengan sendirinya didasari atas kepercayaan atau keyakinan akan kemajuan sarana tersebut. Menurut teori Health Belief Model, suatu tindakan kesehatan yang dilakukan dipengaruhi oleh variable sosial psikologis dan demografi. Perilaku pada saat mengalami gejala penyakit dipengaruhi secara langsung oleh persepsi individu mengenai ancaman penyakit dan keyakinannya terhadap manfaat dari suatu tindakan kesehatan. Seseorang tidak akan mencari tempat pertolongan medis bila mereka kurang mempunyai pengetahuan dan motivasi relevan dengan kesehatan, bila mereka memandang keadaan masih belum berbahaya dan bila tidak yakin terhadap keberhasilan suatu intervensi medis dan melihat adanya beberapa kesulitan dalam melaksanakan perilaku kesehatan yang dibutuhkan (Sarwono, 2007). Ciri-ciri demografi seperti jenis kelamin, ras, umur yang sering ditetapkan dalam berbagai literature menjadi variable yang penting dalam hubungannya dengan perilaku mencari bantuan. Perbedaan demografis seperti ; orang yang lebih tua (umur), wanita (jenis kelamin), tidak menikah atau diceraikan (status perkawinan),status pekerjaan, tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi, melaporkan lebih banyak gejala penyakit (Smet, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Program pencegahan HIV/AIDS difokuskan pada pembentukan perilaku masyarakat untuk tidak terpapar pada rantai penularan HIV/AIDS, antara lain melalui kontak seksual dan kontak jarum suntik. Bentuk kegiatan pencegahan HIV/AIDS untuk meningkatkan kesadaran akan resiko HIV/AIDS dan adopsi perilaku aman untuk mencegah kontak dengan rantai penularan HIV/AIDS. 2.5. Voluntary Counseling and Testing (VCT) 2.5.1. Definisi Konseling dalam VCT Definisi Voluntary Counseling Test (VCT) adalah proses konseling pra testing, konseling post testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status HIV. Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang HIV & manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan atas issue HIV yang akan dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang untuk mengerti & menerima status (HIV+) dan merujuk pada layanan dukungan. Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS. 2.5.2.
Peran Konseling dan Testing Sukarela (VCT) Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat klien
mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positf maupun negatif. Layanan ini
Universitas Sumatera Utara
termasuk konseling, dukungan, akses untuk suportif, terapi infeksi oportunistik dan ART. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan resiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV dan AIDS, mempelajari status dirinya dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku beresiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan, segera setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi dan resiko. Konseling dan testing HIV sukarela yang dikenal sebagai VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat sebagai pintu masuk ke seluruh layanan masyarakat. 2.5.3.
VCT untuk Pekerja Seks Komersil Konseling dan Tes HIV sukarela di klinik VCT (Voluntary Counseling and
Testing) adalah titik awal pelayanan dan perawatan yang berkelanjutan dan merupakan tempat mereka datang untuk bertanya, belajar dan menerima status HIV seseorang dengan privasi yang terjaga, yang mampu menjangkau dan menerapkan perawatan dan upaya pencegahan yang efektif. Defenisi Voluntary Counseling Test (VCT) adalah proses konseling pra testing, konseling post testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status HIV. Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang HIV & manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan atas issue
Universitas Sumatera Utara
HIV yang akan dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang untuk mengerti & menerima status (HIV+) dan merujuk pada layanan dukungan. Konseling dalam VCT merupakan kegiatan yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV dan AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV dan AIDS. Konseling VCT juga dapat membantu orang mengetahui statusnya lebih dini, menekankan kepada aspek perubahan perilaku, peningkatan kemampuan menghadapi stress, ketrampilan pemecahan masalah. Konseling HIV juga menekankan pada issue HIV terkait seperti bagaimana hidup dengan HIV, Pencegahan HIV ke pasangan, dan issue-issue HIV yang berkelanjutan. Elemen Penting dalam VCT adalah : tersedia waktu, penerimaan klien dan berorientasi kepada klien, mudah dijangkau dan merasa nyaman. Testing (T) yang berarti layanan yang berkualitas dan selesai satu hari lebih hemat dan meningkatkan orang untuk melakukan tes dan permintaan untuk VCT. Dalam hal ini membuktikan bila seseorang dipaksa tes maka mereka akan menolak dan menjauh dibandingkan dengan memberikan pengertian dan informasi yang benar. Pada tahun 1993, VCT sudah mulai diadakan di Kalimantan Barat kemudian di Jakarta, pelayanan VCT di RS. Cipto Mangunkusumo mulai diadakan pada tahun 1995. Dalam lima tahun berikutnya pelayanan VCT telah dikembangkan ke berbagai daerah dengan dukungan dari USAIDS, GFATM dan AusAID. Saat ini telah tersedia 326 pelayanan VCT di hampir 200 kabupaten. Pedoman pelayanan VCT secara
Universitas Sumatera Utara
nasional diformulasikan pada tahun 2005 dan pelayanan VCT juga mulai dimasukkan ke dalam rencana strategis nasional yang mendukung MDGs (Searo WHO, 2010). Full time counselor yang berlatar belakang psikologi&ilmuwan psikologi (psychiatrists, family therapist, psikologi terapan) yang sudah mengikuti pelatihan VCT dengan standart WHO. Sebagai seorang konselor HIV memiliki beberapa tipe, yaitu : dekat dengan komunitas, lebih mempromosikan VCT dan konseling dukungan, mampu memberikan dukungan untuk konselor dan petugas managemen kasus dan mendampingi serta memberikan bantuan teknis kepada konselor. Sebagai seorang konseling dalam melakukan prosedurnya harus melalui beberapa tahapan, baik itu pre test maupun pasca test. Adapun tahapan konseling pre testantara lain adalah : (a) mengemukakan alasan test, (b) pengetahuan tentang HIV & manfaat testing, (c) perbaikan kesalahpahaman ttg HIV / AIDS, (d) penilaian pribadi resiko penularan HIV, (e) Informasi tentang test HIV, (f) diskusi tentang kemungkinan hasil yang keluar, (g) kapasitas menghadapi hasil / dampak hasil, (h) kebutuhan dan dukungan potensial - rencana pengurangan resiko pribadi, (i) pemahaman
tentang
pentingnya
test
ulang,
(j)
memberi
waktu
untuk
mempertimbangkan, (k) pengambilan keputusan setelah diberi informasi, (l) membuat rencana tindak lanjut, (m) memfasilitasi dan penandatanganan Informed Consent. Tahapan konseling pasca test meliputi : (a) dokter & konselor mengetahui hasil untuk membantu diagnosa dan dukungan lebih lanjut, (b) hasil diberikan dalam amplop tertutup, (c) hasil disampaikan dengan jelas dan sederhana, (d) beri waktu untuk bereaksi, (e) cek pemahaman hasil test, (f) diskusi makna hasil test.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Departemen Kesehatan (2004), VCT dibentuk dengan tujuan dan alasan-alasan yang cukup kuat, antara lain yaitu : 1) Pencegahan HIV ; Mereka yang menggunakan jasa pelayanan VCT di dalam dirinya ada perasaan yang kuat tentang tata nilai, aktivitas seksual dan diagnosis (apakah positif atau negatif) dan seringkali mereka betul-betul menurunkan perilaku beresikonya.VCT menawarkan kepada para pasangan untuk mencari tahu status HIV dalam hubungannya. 2) Pintu masuk menuju terapi dan perawatan ; VCT merupakan sebagai pelayanan medik dan dukungan sesuai dengan yang dibuthkan, untuk itu akses VCT penting untuk memastikan keamanan dan efektivitas dari semua intervensi (Depkes, 2009).
2.6. Program Pemberantasan HIV/AIDS Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) tahun 2006 menentukan kebijakan penanggulangan penyakit HIV/AIDS secara nasional. 2.6.1. Kebijakan dan Strategi Upaya untuk mencegah dan menanggulangi HIV/AIDS telah dimulai semenjak pertengahan 1980-an, tetapi penanganan yang lebih serius baru dimulai pada 1994/1995 dengan dibentuknya Komisi Penanggulangan AIDS di pusat, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1994. Keputusan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat/ Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nomor : 05/Kep/Menko/Kesra/II/1995
tentang
Program
Nasional
Penanggulangan
Universitas Sumatera Utara
HIV/AIDS Pelita VI. Program Nasional tersebut telah dijadikan rujukan dalam penanggulangan HIV/AIDS di seluruh Indonesia. Kemudian telah dilaksanakan Sidang kabinet tentang penanggulangan HIV/AIDS
pada
tahun
2002
dengan
menghasilkan
kesepakatan
program
penanggulangan HIV/AIDS yang ditindak lanjuti dengan Rapat Konsultasi Nasional. Telah disusun pula Rencana Strategi penanggulangan HIV/AIDS oleh Depkes tahun 2003-2007 dan Renstra penanggulangan HIV/AIDS secara Multi sektor. A.Dasar- dasar Kebijakan : 1.
Penanggulangan HIV/AIDS merupakan upaya terpadu dari peningkatan perilaku hidup sehat (promotif), pencegahan penyakit HIV/AIDS (preventif), serta pengobatan dan perawatan (kuratif) dan dukungan hidup (support) terhadap pengidap HIV/AIDS. Upaya preventif dan promotif merupakan upaya prioritas yang diselenggarakan secara berimbang dengan upaya kuratif dan dukungan terhadap pengidap HIV/AIDS.
2.
Penanggulangan HIV/AIDS didasari kepada nilai luhur kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat hidup manusia. Para pengidap HIV/AIDS memiliki hak asasi sebagai manusia dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial yang diperlukan serta hidup layak sebagai anggota masyarakat lainnya.
3.
Penanggulangan HIV/AIDS merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan pemberantasan kemiskinan serta pembangunan kesehatan yang
Universitas Sumatera Utara
dalam penyelenggaraannya senantiasa menghormati atau mendasarkan kepada nilai-nilai budaya dan agama yang hidup dalam masyarakat Indonesia. 4.
Penanggulangan HIV/AIDS dilakukan secara bersama- sama oleh pemerintah, masyarakat, sektor swasta dan para pengidap HIV/AIDS dengan dukungan organisasi internasional. Masyarakat termasuk LSM merupakan pelaku utama dalam pelaksanaan penanggulangan sedangkan pemerintah berkewajiban memberdayakan masyarakat serta memberikan bantuan arahan, bimbingan dan menciptakan suasana yang menunjang.
5.
Pemerintah berkewajiban untuk memimpin dan memberi arah penanggulangan HIV/AIDS (leadership) dengan menetapkan komitmen kebijakan (political commitment), memberikan prioritas kepada penanggulangan HIV/AIDS, dan memobilisasi sumber daya penanggulangan. Pemerintah berkewajiban menciptakan suasana kondusif guna mencegah timbulnya stigmatisasi, penyangkalan (denial), dan praktek diskriminasi karena HIV/AIDS .
6.
Kerjasama internasional melalui badan- badan PBB, organisasi regional, lembaga donor dan LSM internasional perlu ditingkatkan
B.Strategi Penanggulangan HIV/AIDS Untuk mencapai kebijakan diatas perlu ditempuh strategi sebagai berikut: 1.
Diperlukan komitmen politik yang tinggi.
2.
Mengembangkan dan menerapkan strategi nasional multi-pihak dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Universitas Sumatera Utara
3.
Mengintegrasikan kegiatan pencegahan dengan kegiatan pelayanan, dukungan dan pengobatan.
4.
Mengintegrasikan program VCT bagi ibu hamil yang berisiko.
5.
Meningkatkan akses terhadap pelayanan, dukungan dan pengobatan
6.
Mengembangkan program perawatan, pengobatan dan dukungan bagi ODHA pada program community/family based care penanggulangan HIV/AIDS
7.
Meningkatkan keadilan dan kesetaraan gender
8.
Sosialisasi human right dalam penyediaan pelayanan dan pengobatan ODHA. Sesuai dengan program MDGs pada target ke enam yaitu untuk
mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV/AIDS hingga tahun 2015 dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan sebagai berikut : 1.
Meningkatkan akses pelayanan kesehatan untuk mengantisipasi dan menghadapi epidemik yang ada.
2.
Meningkatkan mobilisasi masyarakat dalam upaya pencegahan, perawatan dan pengobatan HIV/AIDS pada populasi rentan.
3.
Mobilisasi sumber dana untuk penanggulangan HIV/AIDS.
4.
Meningkatkan koordinasi lintas sektor dan good governance.
5.
Memperkuat system informasi dan system monitoring evaluasi.
Melalui kebijakan tersebut dapat didukung melalui strategi sebagai berikut : a.
Peningkatan Upaya Pencegahan, antara lain dengan : Pengurangan dampak buruk (harm reduction) pengguna NAPZA suntik, Peningkatan program pemakaian kondom 100% pada setiap hubungan seksual yang beresiko,
Universitas Sumatera Utara
Pencegahan penularan ibu ke bayi melalui PMTCT (prevention of mother-to child transmission), Transfusi darah yang aman, Kewaspadaan universal (UP) b.
Peningkatan Jumlah dan Mutu, melalui : Pelayanan pengobatan IMS (infeksi menular seksual), Peningkatan jumlah dan fungsi klinik VCT, Perawatan, dukungan, dan pengobatan(CST=Care Support and Treatment) pada ODHA
c.
Penguatan Komisi Penanggulangan AIDS) di semua tingkat.
d.
Peningkatan peraturan perundang-undangan dan anggaran
e.
Peningkatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi
6.
Memperkuat monitoring dan evaluasi. Penanggulangan IMS berperan cegah HIV/AIDS, keterkaitan antara IMS
dengan kasus HIV di seluruh dunia telah lama diketahui. Oleh karena itu, dibutuhkan intervensi yang optimal terhadap pengendalian IMS dan HIV/AIDS. Pertemuan konsultasi WHO pertengahan bulan Juli 2006 menyimpulkan bahwa pengobatan yang tepat dan sesuai untuk IMS, dapat menurunkan resiko seseorang terhadap HIV dan bahwa program IMS yang berkualitas tinggi sangat penting dalam mengendalikan epidemik HIV pada populasi kunci pada resiko yang lebih tinggi terhadap paparan HIV (Depkes, 2006).Dalam 5 tahun perencanaan HIV/AIDS untuk meningkatkan akses menyeluruh, WHO mengikutsertakan pencegahan dan pengendalian IMS sebagai prioritas intervensi, termasuk memadukan HIV dengan pelayanan, tes dan konseling IMS dan pengendalian IMS dalam pencegahan terhadap ODHA melalui pemanfaatan klinik VCT(Depkes, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Kebijaksanaan yang ditempuh dalam pelaksanaan program antara lain dengan : (a) Meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektoral melalui Komisi Penanggulangan AIDS Nasional/Daerah untuk berperan dalam setiap upaya pencegahan dan pemberantasan IMS termasuk infeksi HIV/AIDS, (b) meningkatkan desentralisasi dalam pelaksanaan program yang di padukan dengan pendekatan Pelayanan Kesehatan Dasar (Primary Health Care), (c) memperkuat program pencegahan dan pemberantasan dengan prioritas utama pada kegiatan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi), (d) memperkuat berbagai upaya melawan diskriminasi terhadap mereka yang terjangkit HIV agar yang bersangkutan tidak bersembunyi dan menyebarkan penyakit dan tidak menghindar dari berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan (termasuk pemberian nasehat dan pelayanan kesehatan) yang mereka perlukan, (e) mengintegrasikan kegiatan penanggulangan AIDS dan IMS lainnya dengan kegiatan lapangan terpadu.
2.7
Landasan Teori Berawal dari analisis penyebab masalah kesehatan, Lawrence Green
membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors (faktor perilaku), dan non behavioral factors (faktor non perilaku), dikenal dengan model PRECEDE (Predisposing, Reinforcing and Enabling Cauce in Educational Diagnostic and Evaluating ). Teori model Lawrence Green ini tercantum pada gambar berikut :
Universitas Sumatera Utara
Faktor Predisposisi Pengetahuan Sikap Nilai-nilai kehidupan Kepercayaan
Faktor Enabling Sarana dan Prasarana Prioritas Kesehatan Keterampilan Petugas
Perilaku Individu
Faktor Reinforcing Upaya Petugas Dukungan keluarga Teman seprofesi Tokoh Masyarakat Dukungan Mucikari
Gambar 2.1. Teori perilaku model Green
Kesehatan sangat besar dipengaruhi oleh perilaku, yang dipengaruhi oleh tiga faktor utama seperti yang tertulis pada gambar. Untuk karakteristik faktor individu meliputi : demografis (umur, jenis kelamin, status perkawinan), struktur sosial (pendidikan, suku/ras, pekerjaan dan lama kerja, jumlah keluarga, agama, perpindahan tempat tinggal). Pengetahuan atau kognitif yang menyangkut kesadaran atau pengetahuan dari hasil tahu, setelah dilakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu
Universitas Sumatera Utara
yakni dengan indera penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, perasaan yang diukur melalui adanya wawancara. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan tentang pemafaatan layanan VCT dalam mencegah HIV/AIDS. Menurut Depkes RI (1997), salah satu cara penularan HIV/AIDS adalah melalui hubungan seksual dan yang sering berganti-ganti dalam melakukan aktivitas seksual yang beresiko salah satunya adalah PSK. Upaya pencegahan dan mendeteksi dini HIV/AIDS dapat dilakukan dengan memberikan informasi ataupun pengetahuan yang bisa didapatkan di tempat pelayanan kesehatan yaitu VCT, yang dapat diakses melalui teman seprofesi, mucikari dan petugas kesehatan. Jika mengacu pada teori Lawrence Green diatas dalam proses pencegahan penyakit HIV/AIDS oleh petugas kesehatan tidak terlepas dari pembentukan perilaku petugas kesehatan itu sendiri. Dan untuk pencegahannya ditengah masyarakat dipengaruhi oleh faktor pendukung dan penguat, yang meliputi pengetahua, sikap, dan dukungan teman seprofesi, mucikari dan petugas kesehatan.
2.8
Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan tujuan penelitian dan studi kepustakaan dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
Faktor Pendukung 1. 2. 3. 4. 5.
Umur Tingkat Pendidikan Lama kerja Pendapatan Pengetahuan tentang penyakit, pencegahan dan penularan, 6. Pengetahuan tentang kelompok resiko tinggi. 7. Pengetahuan tentang pelayanan klinik VCT. 8. Sikap
Memanfaatkan PelayananVCT untuk mencegah penyakit HIV/AIDS
Faktor Penguat 1.Dukungan teman seprofesi 2.Dukungan mucikari 3.Dukungan petugas kesehatan
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara