1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS adalah salah satu masalah kesehatan dunia yang sangat mengkhawatirkan, hal ini karena AIDS merupakan ancaman kehidupan dan sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini (Ebeniro, 2010). Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS adalah masalah global yang mulai melanda dunia sejak awal dekade tahun 1989. Penyakit ini merupakan suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit akibat hilangnya kekebalan tubuh seseorang (Syafrudin. 2011). Sejak awal epidemi HIV-AIDS, hampir 78 juta orang di dunia telah terinfeksi HIV dan sekitar 39 juta orang meninggal akibat HIV. Secara umum, 35 juta orang hidup dengan HIV hingga akhir tahun 2013 dan 1,5 juta orang meninggal akibat HIV pada tahun 2013. World Health Organization (WHO) memperkirakan 0,8% masyarakat di seluruh dunia usia 15 - 49 tahun hidup dengan HIV (World Health Organization, 2014). Hingga kini di Indonesia terdapat 142.950 orang yang terinfeksi HIV dan 55.623 orang dalam tahap AIDS. Persentase kumulatif AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun yaitu 32,9% (Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2014).
2
Kasus HIV/AIDS di Sulawesi Tengah pertama kali dilaporkan pada tahun 2002 dengan 3 kasus HIV dan 1 kasus AIDS. Sejak itu, penemuan kasus baru terus meningkat dan semakin meluas ke seluruh Kabupaten/Kota (Tantu, 2014). Dari tahun 2010 hingga agustus 2014, tercatat 155 penderita HIV/AIDS di Sulawesi Tengah dengan rincian 101 kasus HIV dan 54 penderita AIDS, dan 122 orang meninggal. Prevalensi tertinggi yaitu kota Palu dengan 149 kasus AIDS, 318 infeksi HIV, dan 63 orang meninggal jumlah kasus terhitung dari tahun 2002 hingga Agustus 2014 (KPAP Sulawesi Tengah, 2014). Jumlah kasus yang tercatat adalah kasus yang diperoleh dari penderita yang ditolong atau datang mencari pertolongan di pelayanan kesehatan ketika penderita telah merasakan berbagai gejala akibat penurunan sistem kekebalan tubuh, ini berarti penderita memeriksakan diri dan terdiagnosis HIV-AIDS ketika penderita telah berada dalam stadium AIDS. Kelompok umur dengan kasus AIDS tertinggi adalah kelompok umur 20-29 tahun, ini berarti jika sejak terinfeksi sampai masuk ke kondisi AIDS lamanya 5 tahun, maka usia saat terinfeksi sekitar 15-24 tahun (Pusat Promosi Kesehatan RI, 2013). Tingginya kasus HIV/AIDS sejalan dengan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS. Secara nasional persentase penduduk 15 tahun ke atas yang pernah mendengar HIV/AIDS adalah sebesar 57,5%. Persentase pernah mendengar HIV/AIDS di Sulawesi Tengah berada di bawah rerata Nasional yaitu sebesar 47,5%. Tingkat pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS menurut
3
provinsi secara nasional yaitu 11,4%. Sulawesi Tengah berada pada urutan keenam terendah dengan persentase 7,2 persen (RISKESDAS, 2010). Dalam upaya pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS di Indonesia maka diperlukan penyebaran pengetahuan tentang HIV-AIDS khususnya pada kelompok usia 15-24 tahun (Pusat Promosi Kesehatan RI, 2013). Pemberian informasi atau peningkatan pengetahuan dapat dilakukan melalui pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu. Pendidikan kesehatan dilakukan dengan pemberian penyuluhan kesehatan atau informasi melalui berbagai media dan teknologi guna meningkatkan pengetahuan dan sikap positif terhadap kesehatan (Notoatmodjo, 2011). Penyuluhan
kesehatan
merupakan
suatu
proses
belajar
untuk
mengembangkan pengertian yang benar dan sikap yang positif dari individu atau kelompok terhadap kesehatan (Maulana, 2009). Pemberian penyuluhan kesehatan tentang HIV-AIDS merupakan kegiatan yang dilakukan sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS. Pemberian informasi diberikan dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut, masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik termasuk pengetahuan tetang HIV/AIDS (Notoatmodjo, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa remaja di negara-negara berkembang sangat membutuhkan pendidikan kesehatan. Remaja yang berada di tingkat awal sekolah menengah mempunyai risiko melakukan
4
hubungan seksual di luar nikah baik disengaja maupun tidak. Oleh karena itu, masa yang paling tepat untuk memberikan pendidikan kesehatan adalah pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal ini juga akan menolong remaja yang tidak dapat melanjutkan studinya ke Sekolah Menengah Atas (World Health Organization, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Buzarudina (2013) di SMAN 6 Kecamatan Pontianak Timur pada 87 orang responden menunjukkan bahwa sebelum dilakukan penyuluhan kesehatan tentang kesehatan reproduksi remaja, tidak ada responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik, 9 orang (10,3%) berpengetahuan cukup, 17 orang (19,5%) berpengetahuan kurang baik, dan 61 orang (70,2%) berpengetahuan tidak baik. Setelah dilakukan penyuluhan diperoleh 34 orang (39,1%) responden berpengetahuan baik, 28 orang (32,2%) cukup, 15 orang (17,2%) kurang baik, dan 10 orang (11,5%) tidak baik. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi remaja efektif dalam meningkatkan pengetahuan responden mengenai kesehatan reproduksi remaja. Hasil wawancara yang dilakukan pada beberapa guru di MTsN Taipa, diperoleh informasi bahwa belum ada sosialisasi atau penyuluhan HIV/AIDS yang diberikan pada siswa MTsN Taipa serta belum ada pembelajaran yang komprehensif dan kontinyu tentang HIV/AIDS. Berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh peneliti pada 15 orang siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Taipa diperoleh informasi bahwa 12 orang siswa belum pernah
5
mendengar tentang HIV/AIDS dan 3 orang lainnya sudah pernah mendengar tentang HIV/AIDS tetapi masih memiliki pengetahuan yang kurang tentang HIV/AIDS. Berdasarkan masalah tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut sebagai topik penelitian. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah penyuluhan kesehatan memiliki pengaruh tehadap pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS di MTsN Taipa?”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh penyuluhan kesehatan terhadap pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS di MTsN Taipa. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui pengetahuan siswa sebelum diberikan penyuluhan kesehatan. b. Untuk mengetahui pengetahuan siswa sesudah diberikan penyuluhan kesehatan. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Penelitian ini diharapkan dapat merubah pola pikir dan meningkatkan pengetahuan penulis tentang HIV/AIDS serta meningkatkan kemampuan
6
penulis dalam menganalisis pengetahuan serta insidensi HIV/AIDS di masyarakat. 2. Bagi Institusi Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai kepustakaan dan menambah informasi tentang HIV-AIDS. 3. Bagi Tempat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dan sumbangan pikiran serta memberikan gambaran pengetahuan siswa di MTsN Taipa tentang HIV-AIDS.
7
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Penyuluhan Kesehatan 1. Pengertian Penyuluhan merupakan terjemahan dari counseling, yang merupakan bagian terpadu dari bimbingan. Penyuluhan kesehatan merupakan suatu proses belajar untuk mengembangkan pengertian yang benar dan sikap yang positif dari individu atau kelompok terhadap kesehatan agar yang bersangkutan mempunyai cara hidup sehat sebagai bagian dari cara hidupnya sehari-hari atas kesadaran dan kemauannya sendiri (Maulana, 2009). 2. Tujuan Penyuluhan Kesehatan Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan dengan melaksanakan cara hidup sehat dan dapat berperan serta aktif dalam upaya kesehatan (Maulana, 2009). Penyuluhan kesehatan bertujuan mengubah perilaku kurang sehat menjadi sehat. Perilaku baru yang terbentuk, biasanya hanya terbatas pada pemahaman sasaran (aspek kognitif), sedangkan perubahan sikap dan tingkah laku merupakan tujuan tidak langsung (Maulana, 2009). 3. Sasaran Penyuluhan merupakan upaya bantuan yang diberikan pada konseli (peserta didik) agar memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri sendiri, untuk
8
dimanfaatkan olehnya dalam memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan datang (Maulana, 2009). Dari batasan ini, terlihat bahwa sasaran pelayanan penyuluhan atau konseling adalah klien atau peserta didik bermasalah. Tujuan penyuluhan yang dilakukan terarah pada penyembuhan terhadap peserta didik bermasalah. Dalam perkembangannya, pelayanan penyuluhan atau konseling tidak hanya ditujukan pada peserta didik bermasalah, tetapi ditujukan pada seluruh peserta didik (Syafrudin, 2009). Sasaran dari kegiatan pokok program penyuluhan kesehatan diserasikan dengan sasaran program kesehatan yang ditunjang. a. Kelompok umum Masyarakat umum baik di pedesaan maupun di perkotaan. b. Kelompok khusus 1) Masyarakat di daerah terpencil dan masyarakat terasing. 2) Masyarakat di daerah pemukiman baru termasuk transmigrasi dan perbatasan. 3) Masyarakat yang terkena masalah kesehatan. 4) Masyarakat yang rentan terhadap masalah kesehatan tertentu. 5) Masyarakat yang berada di berbagai institusi atau forum, baik pemerintahan maupun swasta. 6) Masyarakat yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan dan proses pelayanan kesehatan.
9
7) Kelompok-kelompok
yang
mempunyai
potensi
dalam
kegiatan
penyuluhan seperti PKK, Karang taruna, kader kesehatan, dan lain-lain. 4. Perencanaan penyuluhan kesehatan Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka dapat disusun langkah-langkah perencanaan sebagai berikut : 1) Mengenal masalah, masyarakat, dan wilayah 2) Menentukan prioritas Prioritas dan penyuluhan harus sejalan dengan prioritas masalah yang ditentukan program yang ditunjang. Penyuluhan tidak dapat menentukan prioritas sendiri, karena dapat menyebabkan program berjalan individual. 3) Menentukan tujuan penyuluhan; Secara sederhana, skema tahap-tahap perencanaan digambarkan sebagai berikut: PKM (Penyuluhan kesehatan Masyarakat)
Kelompok sasaran
Hasil antara: - Pengertian - Sikap - Norma, dll.
Perilaku sehat
Status kesehatan
Berdasarkan skema di atas, tujuan jangka panjang penyuluhan kesehatan adalah status kesehatan yang optimal, tujuan jangka menengah adalah perilaku sehat, dan tujuan jangka pendek adalah terciptanya pengertian, sikap, norma dan sebagainya. Terciptanya pengertian, sikap
10
dan norma tersebut tidak selalu akan menuju pada terciptanya perilaku sehat. 4) Menentukan sasaran penyuluhan; Sasaran program dan sasaran penyuluhan tidak selalu sama. Dalam penyuluhan, sasaran ialah kelompok sasaran yaitu individu ataupun kelompok yang akan diberi penyuluhan. 5) Menentukan isi penyuluhan; Isi harus dituangkan ke dalam bahasa yang mudah dipahami oleh sasaran, dapat dilaksanakan oleh sasaran dengan sarana yang mereka miliki, atau terjangkau oleh sasaran. 6) Menentukan metode penyuluhan yang akan digunakan; Metode atau cara penyuluhan tergantung pada tujuan penyuluhan yang ingin dicapai. Tujuan bisa dikelompokkan menjadi 3 aspek: pengertian, sikap, dan keterampilan atau tindakan. Metode yang digunakan antara lain : a) Metode pendidikan individual Dalam pendidikan kesehatan, metode pendidikan yang bersifat individual digunakan untuk membina perilaku baru atau seseorang yang telah mulai tertarik pada suatu perubahan perilaku atau inovasi (Muliani dan Rafika, 2014). Bentuk dari metode pendidikan individu antara lain:
11
(1) Bimbingan dan konseling (guidance and counseling) Bimbingan berisi penyampaian informasi. Informasi dalam
bimbingan
dimaksudkan
untuk
memperbaiki
dan
mengembangkan pemahaman diri dan orang lain, sedangkan perubahan sikap merupakan tujuan tidak langsung. Konseling adalah proses belajar yang bertujuan memungkinkan konseli mengenal dan menerima diri sendiri serta realistis dalam proses penyelesaian dengan lingkungannya (Maulana, 2009). Konseling membantu konseli memecahkan masalah-masalah pribadi (sosial atau emosional), mengerti diri, mengeksploitasi diri, dan dapat memimpin diri sendiri dalam suatu masyarakat serta membantu mengembangkan kesehatan mental, perubahan sikap, dan tingkah laku. (2) Wawancara (interview) Wawancara petugas dengan klien dilakukan untuk menggali informasi mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan, apakah tertarik atau tidak terhadap perubahan dan untuk mengetahui apakah perilaku yang sudah atau belum diadopsi memiliki dasar pengertian dan kesadaran yang kuat. b) Metode pendidikan kelompok Dalam
memilih
metode
penyuluhan
kelompok
harus
mengingat besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal
12
pada sasaran. Kelompok besar dan kelompok kecil membutuhkan metode yang berbeda. Metode ini mencakup : (1) Kelompok besar, yaitu apabila peserta penyuluhan berjumlah lebih dari 20 orang (Notoatmodjo, 2011). Metode yang digunakan adalah metode ceramah dan seminar. (2) Kelompok kecil, yaitu apabila peserta penyuluhan kurang dari 20 orang (Notoatmodjo, 2011). Metode yang cocok untuk kelompok ini adalah diskusi kelompok, curah pendapat (brain storming), bola salju (snowball), kelompok studi kecil (buzz group), bermain peran (role play), dan permainan simulasi. c) Metode pendidikan massa Metode pendidikan massa dilakukan untuk memberikan pesan-pesan kesehatan yang ditujukan untuk masyarakat. Umumnya, bentuk pendekatan massa diberikan secara tidak langsung, biasanya dengan menggunakan atau melalui media massa, contohnya ceramah umum (public speaking) dan Billboard yang dipasang di pinggir jalan. 7) Memilih alat-alat peraga atau media penyuluhan; Media adalah alat yang digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan bahan pendidikan atau pengajaran. Media penyuluhan sering disebut alat peraga karena berfungsi untuk membantu dan memeragakan sesuatu dalam proses penyuluhan. Pada garis besarnya ada 3 macam alat bantu penyuluhan, yaitu:
13
(1) Alat bantu lihat (visual aids) Alat bantu ini digunakan untuk membantu menstimulasi indera penglihatan pada saat proses penyuluhan. Terdapat dua bentuk alat bantu lihat yaitu alat yang diproyeksikan, misalnya salindia; dan alat yang tidak diproyeksikan misalnya dua dimensi seperti gambar, peta dan bagan, termasuk alat bantu cetak atau tulis, misalnya leaflet, poster, lembar balik, dan buklet. (2) Alat bantu dengar (audio aids) Alat ini digunakan untuk menstimulasi indera pendengaran pada saat proses penyuluhan, misalnya piringan hitam, radio, pita suara, CD, dan lain-lain. (3) Alat bantu dengar-lihat (audio-visual aids) Alat ini berguna dalam menstimulasi indera penglihatan dan pendengaran pada saat proses penyuluhan, misalnya televisi, video cassette dan lain-lain. 8) Menyusun rencana penilaian (evaluasi); dan 9) Menyusun rencana kerja/rencana pelaksanaan. Setelah menetapkan pokok-pokok kegiatan penyuluhan termasuk waktu, tempat dan pelaksanaan, jadwal pelaksanaan yang dicantumkan dalam suatu daftar (Maulana, 2009).
14
B. Konsep Dasar Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan (knowledge) adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya. Penginderaan terjadi secara langsung sehingga pengetahuan yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan merupakan pedoman dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). 2. Tingkatan Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2010) ada 6 tingkat pengetahuan yang mencapai dalam domain kognitif, yaitu: a. Tahu (know) Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengetahui sesuatu. Tahu berarti mengingat suatu materi yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima sebelumnya. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. b. Memahami (comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Memahami berarti kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang
15
objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang paham harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan meramalkan. c. Aplikasi/penerapan (application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. Aplikasi berarti kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). d. Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. e. Sintesis (synthesis) Sintesis
menunjukkan
suatu
kemampuan
seseorang
untuk
merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan unuk menyusun formulasi baru dari formulasiformulasi yang telah ada. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan
16
sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. 3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan Ada beberapa faktor yang memengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu (Ramadhan, 2009; Wawan & Dewi, 2010) : a.
Pendidikan: adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan memengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.
b.
Informasi: informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun nonformal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.
c.
Sosial budaya dan ekonomi: kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orangorang tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian pengetahuan seseorang akan bertambah walaupun tidak mendapatkan informasi. Status ekonomi juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tersebut, sehingga status sosial ekonomi ini akan memengaruhi pengetahuan seseorang.
d.
Lingkungan: segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut.
17
e.
Pengalaman: sebagai sumber pengetahuan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi di masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.
f.
Usia: semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja.
C. Konsep Dasar HIV/AIDS 1. Definisi dan Penyebab HIV/AIDS HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus merupakan virus atau jasad renik yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Human Immunodeficiency Virus adalah retrovirus RNA yang lebih suka menyerang limfosit T-helper (sel CD4) juga tipe sel lainnya (Varney, 2006). Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan (Syafrudin, 2011). Human Immunodeficiency Virus (HIV) menyerang sistem imun dan memperlemah pengawasan tubuh dan sistem pertahanan yang melawan infeksi dan beberapa tipe kanker. Sebagai virus yang menghancurkan dan merusak
18
fungsi
sel
imun,
individu
yang
terinfeksi
perlahan-lahan
menjadi
imunodefisiensi. Imunodefisiensi menghasilkan kerentanan terhadap sejumlah besar infeksi dan penyakit yang dapat dilawan pada orang yang memiliki sistem imun yang baik (WHO, 2014). Stadium terakhir HIV adalah Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), yang membutuhkan waktu 2 hingga 15 tahun untuk berkembang tergantung pada individu yang terinfeksi. AIDS didefinisikan sebagai perkembangan beberapa jenis kanker, infeksi, dan beberapa manifestasi klinis lainnya (WHO, 2014). Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala atau sindrom dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV (Syafrudin, 2011). 2. Tanda dan Gejala Bentuk gejala HIV tergantung pada stadium infeksi. Pengidap HIV sangat infeksius pada beberapa bulan pertama infeksi, banyak dari mereka tidak mengetahui statusnya hingga stadium selanjutnya. Beberapa minggu pertama setelah infeksi awal, penderita mungkin tidak merasakan gejala apapun atau mengalami influenza seperti demam, sakit kepala, ruam atau sakit tenggorokan. Sebagai infeksi yang secara progresif melemahkan sistem imun seseorang, penderita dapat mengalami tanda dan gejala lain seperti pembengkakan kelenjar limfe, kehilangan berat badan, kedinginan, merasa lemah, demam, berkeringat (terutama di malam hari), diare, dan batuk. Tanpa pengobatan, penyakit-penyakit tersebut juga dapat berkembang menjadi
19
beberapa jenis penyakit seperti tuberculosis, meningitis kriptokokus, dan kanker seperti limfoma dan sarcoma Kaposi, dan lain-lain. Infeksi HIV juga dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada saraf (neuropsychiatric sequel), yang disebabkan oleh infeksi organisme atas sistem saraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri. Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala yang tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus Sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus besar (colitis) dan gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus) yang dapat menyebabkan kebutaan. Untuk Negara-negara yang tidak mempunyai fasilitas diagnostik yang memadai, telah disusun suatu ketentuan klinik untuk mengetahui gejala AIDS yaitu berdasarkan hasil workshop di Bangui, Afrika Tengah, Oktober 1985 sebagai berikut (Notoatmodjo, 2011): a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila terdapat paling sedikit 2 gejala mayor dan 1 gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi berat, atau pemakaian kortikosteroid yang lain. Gejala mayor tersebut adalah: 1) Penurunan berat badan lebih dari 10%. 2) Diare kronis lebih dari 1 bulan.
20
3) Demam lebih dari 1 bulan (kontinu/intermitten). Sedangkan gejala minor adalah : 1) Batuk lebih dari 1 bulan. 2) Dermatitis puritik umum. 3) Herpes zoster recurrens. 4) Kandidiasis oro-faring. 5) Limfadenopati generalisata. 6) Herpes simpleks diseminata yang kronis progresif. b. Dicurigai AIDS pada anak, bila terdapat paling sedikit 2 gejala mayor dan 2 gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi berat, atau pemakaian kortikosteroid yang lama. Adapun gejala mayor tersebut adalah : 1) Penurunan berat badan atau pertumbuhan yang lambat dan abnormal. 2) Diare kronis lebih dari 1 bulan. 3) Demam lebih dari 1 bulan (kontinu/intermitten). Sedangkan gejala minor adalah : 1) Batuk persisten 2) Dermatitis generalisata 3) Infeksi umum yang berulang 4) Kandidiasis oro-faring 5) Limfadenopati generalisata 6) Infeksi HIV pada ibunya
21
3. Penularan HIV dapat ditularkan melalui pertukaran berbagai cairan tubuh dari individu yang terinfeksi, seperti darah, ASI, cairan sperma dan cairan vagina. Seseorang tidak dapat terinfeksi melalui kontak sehari-hari seperti berciuman, berpelukan, berjabat tangan, atau menggunakan peralatan bersama serta makanan dan minuman. Berikut ini tabel media dan cara penularan virus HIV. Tabel 2.1 Cara Penularan HIV (Pusat Promosi Kesehatan RI, 2013) Media Cara Penularan Cairan
Hubungan seksual
kelamin Darah
1. Penggunaan jarum suntik bersama yang tidak steril di antara pengguna narkoba 2. Benda tajam seperti alat cukur, jarum akupuntur, alat tindik yang tercemar darah yang mengandung HIV 3. Darah dari ibu ke bayi yang dikandungnya dalam rahim 4. Tranfusi darah yang mengandung HIV
Dari ibu HIV
1. Selama kehamilan
ke bayi
2. Saat persalinan dan 3. ASI
a. Penularan seksual Hubungan seksual yang tidak aman dengan orang yang terinfeksi HIV. Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya.
22
b. Kontaminasi patogen melalui darah Jalur penularan ini berhubungan dengan penggunaan obat-obatan suntik, penderita hemofilia, dan resipien tranfusi darah dan produk darah. Berbagi
dan
menggunakan
kembali
jarum
suntik
(syringe)
yang
mengandung darah dan terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima tato dan tindik tubuh dan dapat pula ditransmisikan melalui suntikan yang tidak steril di fasilitas kesehatan. Risiko penularan HIV pada penerima tranfusi darah sangat kecil di Negara maju. Namun demikian, menurut WHO mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan 5% - 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui tranfusi darah yang terinfeksi. c. Penularan masa perinatal Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in vitro) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu menggunakan terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%. HIV juga dapat ditemukan dalam jumlah sangat kecil dalam air mata, air liur, cairan otak dan keringat. Namun, belum ada bukti bahwa HIV dapat
23
ditularkan melalui cairan-cairan tersebut. HIV juga tidak terdapat dalam air kencing, tinja, dan muntahan. HIV juga tidak menembus kulit yang utuh, yaitu kulit yang tidak lecet dan terluka (Martono & Joewana, 2006). HIV mudah mati di luar tubuh manusia, maka HIV tidak dapat ditularkan melalui kontak sehari-hari seperti : 1) Bersenggolan atau menyentuh 2) Berjabat tangan dan berpelukan 3) Melalui bersin atau batuk 4) Berenang bersama 5) Menggunakan toilet bersama 6) Tinggal serumah 7) Menggunakan alat makan bersama 8) Gigitan nyamuk atau serangga yang sama 4. Perjalanan Penyakit Masa inkubasi sejak awal penularan dan kemudian muncul gejala penyakit AIDS berlangsung cukup lama yaitu rata-rata 5 sampai 10 tahun. Selama 5-10 tahun tersebut disebut pengidap HIV, yang tampak dari luar seperti orang sehat lainnya (Badan Pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan, 2014). Secara singkat seseorang yang terinfeksi HIV akan mengalami 4 stadium, yaitu : a. Stadium satu
24
1) Stadium ini dimulai sejak pertama terinfeksi HIV, tidak ada gejala atau tanda khusus 2) Dalam beberapa hari sampai sekitar 12 minggu orang tersebut mungkin akan menjadi sakit dengan gejala mirip flu, yaitu demam, rasa lemas dan lesu, sendi-sendi terasa nyeri, batuk, dan nyeri tenggorokan, yang akan hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan. 3) Pada saat ini, jika dilakukan tes darah untuk HIV hasilnya negatif karena belum terbentuk antibodi HIV dalam darah. Periode ini disebut Periode Jendela (Window period) yaitu sejak masuknya HIV ke dalam tubuh saat munculnya antibody anti-HIV. Lamanya window period adalah satu sampai enam bulan. Meski hasil tes darah untuk HIV masih negatif, namun orang tersebut sangat mudah menularkan HIV kepada orang lain. 4) Setelah window period terlewati, pemeriksaan antibodi anti HIV menjadi positif. 5) Pada stadium ini penderita masih nampak sehat dan merasa sehat, dapat bekerja seperti biasa tanpa keluhan atau gangguan kesehatan. b. Stadium dua (stadium HIV dengan gejala ringan) 1) HIV telah berkembang biak, hasil tes darah untuk HIV hasilnya positif, namun orang tersebut masih nampak sehat, masih dapat bekerja seperti biasa, terkadang disertai keluhan atau gangguan kesehatan ringan seperti
25
ketombe, jamur kuku, gangguan infeksi kulit, luka di sudut bibir, dan penurunan berat badan < 10% berat badan normalnya. 2) Stadium ini dapat berlangsung 2-5 tahun. c. Stadium tiga (stasium HIV dengan gejala sedang) 1) Sistem kekebalan tubuh makin menurun 2) Penderita makin mudah sakit, tidak dapat bekerja dengan baik, sering izin atau dirawat karena sakit, mulai muncul gejala diare kronis atau demam kronis yang tidak diketahui sebabnya dan berlangsung lebih dari satu bulan, jamur di mulut serta gejala mulut lain, batuk karena tuberculosis, penurunan berat badan > 10% berat badan normalnya, dan infeksi bakterial berat lainnya. 3) Apabila dilakukan pemeriksaan sel limfosit T CD4, jumlahnya ≤ 350 sel/mm3. 4) Stadium ini dapat berlangsung 2 - 3 tahun. d. Stadium Empat (HIV dengan gejala berat) 1) Sistem kekebalan tubuh rusak parah, tubuh menjadi sangat lemah terhadap serangan penyakit apapun. 2) Penderita sangat kurus, sudah tidak berdaya, dan memerlukan bantuan orang lain. Muncul berbagai macam penyakit yang dapat muncul sendiri atau bersamaan seperti tuberkulosis, infeksi baru, serta infeksi berat lainnya, toksoplasmosis pada otak, jamur saluran pencernaan, saluran
26
pernapasan, sakit mata dan berbagai kanker seperti Sarkoma Kaposi, kanker serviks, dan lain-lain. 3) Pemeriksaan sel limfosit T CD4, jumlahnya sangat sedikit bisa sampai nol. 4) Stadium empat ini dapat berlangsung selama 1-2 tahun, stadium tiga dan empat disebut AIDS. 5. Diagnosis Tes HIV mengungkapkan status infeksi dengan mendeteksi kehadiran atau ketidakhadiran antibodi HIV dalam darah. Tes HIV harus dilakukan secara sukarela dan hak penolakan tes harus dihormati, hal ini dikenal dengan sebutan VCT (Voluntary Counseling Test). Mewajibkan atau memaksa tes pada fasilitas kesehatan yang tersedia, otoritas atau dengan izin pasangan atau keluarga tidak dapat diterima sebagai praktik kesehatan masyarakat yang baik dan melanggar hak asasi manusia. Seluruh pelayanan tes dan konseling harus menyertakan 5 C yang direkomendasikan oleh WHO, yaitu informed Consent, Confidentiality, Counselling, Correct test results and linkage to Care, treatment and other services (Informed Consent, kerahasiaan, Konseling, hasil test yang benar dan akses pada perawatan, pengobatan dan pelayanan lainnya). Tes HIV adalah suatu tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan mendeteksi adanya antibodi HIV di dalam sampel darah. Masing-masing alat
27
memiliki sensitivitas (kemampuan untuk menentukan seseorang terinfeksi HIV) dan spesifitas (kemampuan untuk menentukan seseorang tidak terinfeksi HIV). a) ELISA (Enzyme-linkes immunosorbent assay) Tes ELISA merupakan uji serologis yang digunakan untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim. b) Western Blot Tes western Blot merupakan sebuah metode untuk mendeteksi protein pada sampel jaringan. Sampel yang positif pada tes ELISA dapat dikonfirmasi dengan tes Western Blot. c) Jumlah Virus/Viral Load RNA HIV dalam plasma Pemeriksaan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran untuk dilakukan sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna (bila pasien punya data) utamanya untuk memantau perkembangan dan menentukan suatu keadaan gagal terapi (BKKBN, 2013). 6. Pencegahan Individu dapat mengurangi faktor risiko dengan membatasi akses pada perilau berisiko. Menurut WHO (2014) kunci utama pencegahan HIV yang sering dikombinasikan adalah:
28
a. Penggunaan kondom pria dan wanita Penggunaan kondom wanita dan pria yang benar dan konsisten selama penetrasi anal atau vaginal dapat melindungi penularan penyait menular seksual, termasuk HIV. b. Konseling dan tes HIV dan IMS Tes HIV dan IMS lainnya sangat dianjurkan untuk semua orang yang berperilaku berisiko sehingga mereka dapat mengetahui status infeksinya sendiri dan mengakses pencegahan dan pelayanan pengobatan yang diperlukan tanpa hambatan. WHO juga merekomendasikan tes untuk pasangan. c. Sirkumsisi pada laki-laki Sirkumsisi pada laki-laki ketika dilakukan secara aman oleh tenaga kesehatan profesional dapat mengurangi risiko infeksi HIV hingga sekitar 60%. d. Tidak menggunakan jarum suntik bersama pada pengguna narkoba suntik Orang yang menggunakan narkoba suntik dapat mengambil tindakan pencegahan melawan infeksi HIV dengan menggunakan alat suntik steril, termasuk jarum dan tabungnya pada setiap suntikan. e. Eliminasi penularan HIV dari ibu ke bayi Transmisi HIV dari ibu positif HIV kepada anaknya selama kehamilan, persalinan dan menyusui disebut dengan transmisi vertikal ibu ke bayi atau Mother to Child Transmission (MTCT). Pada semua intervensi
29
selama stadium ini, tingkat transmisi HIV dari ibu ke bayi sekitar 15-45%. MTCT hampir seluruhnya dapat dicegah jika ibu dan bayi diberikan ART selama stadium infeksi. Di Indonesia tindakan pencegahan penularan HIV/AIDS disebut ABCDE yang merupakan kepanjangan dari: a.
Pencegahan penularan melalui hubungan seksual (ABC) A = Abstinence = puasa seksual, yaitu tidak melakukan hubungan seks di luar nikah (abstinansia). B = Be faithful = saling setia terhadap pasangan (tidak berganti-ganti pasangan) dan sama-sama tidak melakukan aktivitas berisiko lainnya. C = Condom use = selalu menggunakan kondom dengan baik dan benar saat melakukan hubungan seksual (melindungi diri).
b.
Pencegahan penularan melalui darah (termasuk DE) D = Don’t use drugs = tidak melakukan penyalahgunaan Napza sama sekali, terutama narkoba suntik karena saat sakaw pengguna menjadi tidak sadar sehingga dapat menggunakan jarum suntik yang sama dan tidak steril secara bergantian. E = Education, Equipment, Environment = a. Senantiasa belajar lebih banyak mengenai HIV/AIDS, serta menerapkan pencegahan yang benar dan menyebarkan informasi yang benar kepada orang lain. Informasi yang benar dan
30
komprehensif sangat berperan dalam penurunan angka penularan HIV dan menghapus stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. b. Menggunakan peralatan tajam yang steril atau sekali pakai dan selalu berhati-hati terhadap peralatan yang berisiko membuat luka dan digunakan secara bergantian (bersamaan), misalnya jarum suntik, pisau cukur, dan lain-lain. c. Turut
serta
menciptakan
lingkungan
kondusif,
serta
menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap penderita dan orang-orang yang terinfeksi HIV (BKKBN, 2013; Pusat Promosi Kesehatan, 2013). 7. Pengobatan HIV dapat ditekan dengan kombinasi ART yang terdiri atas tiga atau lebih obat antiretrovirus (ARV). ART tidak menyembuhkan infeksi HIV tetapi mengontrol replikasi virus pada tubuh seseorang dan memperkuat sistem imun seseorang dan memperoleh kembali kapasitas tubuh untuk melawan infeksi. Dengan ART, orang yang hidup dengan HIV dapat hidup sehat dan produktif (WHO, 2014). Pemakaian ARV harus teratur seumur hidup, setiap hari pada jam yang sama dan tidak boleh dihentikan. Jika dihentikan dalam waktu dua bulan akan kembali ke kondisi sebelum diberi ARV (HIV mudah berubah dan menjadi kebal terhadap obat tersebut). Ketidaktaatan dan ketidakteraturan pengobatan antiretrovirus penyebab utama kegagalan pengobatan ARV. Manfaat ARV
31
antara lain menekan jumlah virus dalam darah sehingga mengembalikan jumlah sel limfosit T CD4 dan mengembalikan kekebalan tubuh (Pusat Promosi Kesehatan, 2013). Tanpa mengobatan ARV perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS sekitar Sembilan sampai sepuluh tahun dan umur harapan hidup bila pertama kali ditemukan dalam AIDS hanya sekitar 9,2 bulan. Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi yaitu dari dua minggu sampai 10 tahun (Pusat Promosi Kesehatan, 2013). D. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian adalah hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini, akan dilakukan pretest pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS kemudian dilakukan penyuluhan kesehatan sebagai intervensi yang diberikan, kemudian dilakukan posttest pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS setelah dilakukan penyuluhan kesehatan. Kerangka konsep dalam penelitian, sebagai berikut : Pretest pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS
Penyuluhan Kesehatan
Posttest pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS
Gambar 2.1 : Bagan kerangka konsep penelitian
32
E. Hipotesis Penelitian Ada pengaruh penyuluhan kesehatan terhadap pengetahuan siswa tentang HIV-AIDS.
33
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian eksperimental adalah suatu rancangan penelitian yang digunakan untuk mencari hubungan sebab-akibat dengan adanya keterlibatan penelitian dalam melakukan manipulasi terhadap variabel bebas (Nursalam, 2011). Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Desain Pre Eksperimen atau eksperimen yang tidak sesungguhnya dengan rancangan The one group pretest-posttest design (Soewadji, 2012). Ciri tipe penelitian The one group pretest–posttest design adalah mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah intervensi (Nursalam, 2011). Rancangan ini tidak menggunakan kelompok pembanding (kontrol), tetapi dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen (program) (Notoatmodjo, 2010). Bentuk rancangan ini, sebagai berikut : Subjek
Pra-tes
Perlakuan
Post-tes
K
O1
X
O2
34
Keterangan : K : Subjek (Siswa) O1 : Observasi pengetahuan siswa sebelum penyuluhan X : Intervensi O2 : Observasi pengetahuan siswa setelah penyuluhan B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 07 Maret 2015 di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Taipa. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi menurut Notoatmodjo (2010) adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti. Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya manusia; klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2011). Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di MTsN Taipa dengan jumlah siswa 280 orang. 2. Sampel Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi penelitian (Notoadmodjo, 2010). Sampel terdiri atas bagian populasi terjangkau yang dapat digunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2011). Dalam penelitian ini besar sampel ditentukan berdasarkan rumus berikut ini:
35
=
( α (
β) )
2
=
( ,
)
2
=
=
( ,
,
,
)
2
2
= (7,005)2 = 49,07 = 49 orang
Keterangan : n = besarnya sampel Zα = nilai Z pada derajat kepercayaan 5% (1,96) Zβ = power of test 80% (0,842) S = simpangan baku (25) X1 – X2 = perbedaan rerata minimal yang dianggap bermakna (10) Teknik
pengambilan
sampel
dalam
penelitian
ini
adalah
Proportionate stratified random sampling dan simple random sampling. Proportionate stratified random sampling digunakan bila populasi berstrata secara proporsional. Simple random sampling (teknik acak sederhana) dilakukan untuk memilih sampel sesuai proporsi pada setiap kelas. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut: ∑ Populasi kelas n=
x sampel ∑ Seluruh populasi
36
Tabel 3.1 Jumlah Sampel Pada Setiap Kelas Kelas VII A 26 n= x 49 280 n = 5 orang
Kelas VIII C 30 n= x 49 280 n = 6 orang
Kelas VII B 25 n= x 49 280 n = 4 orang
Kelas IX A 22 n= x 49 280 n = 4 orang
Kelas VII C 25 n= x 49 280 n = 4 orang
Kelas IX B 23 n= x 49 280 n = 4 orang
Kelas VII D 27 n= x 49 280 n = 4 orang
Kelas IX C 21 n= x 49 280 n = 4 orang
Kelas VIII A 28 n= x 49 280 n = 5 orang
Kelas IX D 24 n= x 49 280 n = 4 orang
Kelas VIII B 29 n= x 49 280 n = 5 orang
37
D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1.
Variabel Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain) (Nursalam, 2011). Terdapat dua jenis variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : a. Variabel Independen (bebas) Variabel bebas atau variabel pengaruh (independent variable) adalah variabel yang menentukan atau memengaruhi adanya variabel yang lain. Tanpa adanya variabel bebas, variabel yang lain tidak akan muncul atau perubahan variabel yang lain tidak akan terjadi. Adanya variabel ini tidak tergantung pada variabel yang lain (Soewadji, 2012). Variabel pengaruh (independent variable) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penyuluhan kesehatan. b. Variabel Dependen (terpengaruh) Variabel terpengaruh atau variabel tidak bebas atau variabel terikat (dependent variable) adalah variabel yang diduga sebagai akibat atau yang dipengaruhi oleh variabel yang mendahuluinya, yaitu variabel bebas (Soewadji, 2012). Variabel dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain. Variabel terpengaruh (dependent variable) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS.
38
2.
Definisi Operasional a. Penyuluhan kesehatan Kegiatan yang dilakukan peneliti untuk memberikan informasi kesehatan kepada siswa MTsN Taipa tentang HIV-AIDS dengan metode ceramah, tanya jawab dengan menggunakan media powerpoint. b. Pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui siswa MTs Negeri Taipa kelas VII, VIII, dan IX tentang HIV-AIDS meliputi definisi dan penyebab, tanda dan gejala, penularan, perjalanan penyakit, diagnosis, pencegahan dan pengobatan pada tingkat tahu pada saat pretest maupun posttest. 1) Alat ukur
: Kuesioner
2) Cara ukur
: Pengisian kuesioner
3) Skala
: Numerik (skala rasio)
E. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penilitian ini adalah : 1. Data Primer Data primer disebut juga data tangan pertama. Data primer diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambil data langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari (Saryono, 2011).
39
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden dan diperoleh dari jawaban atas pernyataan yang disediakan melalui pengisian kuesioner tentang HIV-AIDS sebelum pemberian penyuluhan kesehatan dan setelah pemberian penyuluhan kesehatan. Untuk kuesioner pengetahuan menggunakan skala Gutman dengan alternatif jawaban benar atau salah. Soal berjumlah 30 item, soal positif berjumlah 18 soal, yaitu soal nomor 1, 3, 4, 5, 7, 8, 10, 11, 12, 19, 20, 22, 25, 26, 27, 28, 29, 30 dan soal negatif berjumlah 12 soal, yaitu soal nomor 2, 6, 9, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 21, 23 dan 24. Kuesioner yang digunakan berlaku untuk pengambilan data pengetahuan, baik selama pretest maupun posttest. 2. Data Sekunder Data sekunder disebut juga data tangan kedua. Data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh dari peneliti dari subjek penelitiannya. Biasanya berupa data dokumentasi atau data laporan yang telah tersedia (Saryono, 2011). Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak kedua serta sumber referensi lain. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil data dari Tata Usaha Madrasah Tsanawiyah Negeri Taipa.
40
F. Teknik Pengolahan Data Dalam penelitian ini peneliti mengolah data dengan : 1. Editing (mengedit data) Memeriksa kembali kelengkapan pengisian kuesioner seperti identitas, pemilihan jenis kuesioner pre ataupun post, dan kelengkapan pengisian pernyataan dalam kuesioner. Setelah kuesioner dikumpulkan, peneliti memeriksa kembali kuesioner untuk memastikan kelengkapan pengisian kuesioner. 2. Coding (mengode data) Pemberian kode atau simbol tertentu untuk setiap jawaban responden pada kuesioner untuk mempermudah tabulasi dan analisis data. Dalam hal ini, peneliti memberikan tanda centang (√) pada jawaban yang benar dan tanda silang (X) untuk jawaban yang salah. 3. Tabulating (tabulasi data) Menghitung jumlah nilai skor pengetahuan responden yang diperoleh responden dari jawaban yang diisikan pada kuesioner baik pada saat pretest maupun posttest. 4. Cleaning (pembersihan data) Melakukan
pengecekan
kembali
apakah
terdapat
kesalahan
penghitungan dan pengolahan data kuesioner. Peneliti mengecek kembali semua tabulasi data dan coding kuesioner untuk mengetahui apakah terdapat
41
kesalahan pada perhitungan dan pemberian kode pada jawaban responden dalam kuesioner, baik pretest maupun posttest. 5.
Entry Proses memasukkan data ke komputer untuk selanjutnya dianalisa menggunakan program komputerisasi yaitu SPSS.
G. Analisis Data Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat. Adapun penjelasan mengenai kedua teknik analisis data tersebut, sebagai berikut : 1. Analisis Univariat Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat tergantung dari jenis datanya. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel. Variabel penelitian data kategorik digambarkan dalam bentuk nilai distribusi frekuensi. Variabel penelitian data numerik digambarkan dalam bentuk nilai mean atau rata-rata, median dan standar deviasi. Analisis univariat dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisa nilai pengetahuan siswa tentang HIV-AIDS. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menghitung nilai proporsi untuk mengetahui skor pre test dan skor post test responden mengenai HIV/AIDS, dan untuk menganalisis
42
karakteristik responden digunakan rumus distribusi frekuensi relatif sebagai berikut:
P=
f x 100% N
Keterangan : P : Persentase f : Frekuensi jawaban responden N : Jumlah Responden (Machfoedz, 2012) 2. Analisis bivariat Analisis bivariat merupakan analisis untuk mengetahui interaksi dua variabel, baik berupa komparatif, asosiatif, maupun korelatif. Pada analisis data penelitian digunakan uji parametrik. Untuk uji parametrik, terdapat beberapa syarat yaitu: a. Skala pengukuran variabel harus berupa variabel numerik b. Distribusi/sebaran data harus normal c. Varians data: 1) Kesamaan varians tidak menjadi syarat uji pada kelompok berpasangan 2) Varians boleh sama, boleh tidak, pada uji 2 kelompok tidak berpasangan 3) Varians harus sama pada uji lebih dari 2 kelompok berpasangan Analisis bivariat dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh antara variabel independen yaitu penyuluhan kesehatan dengan variabel dependen yaitu pengetahuan siswa tentang HIV-AIDS.
43
Sebelum dilakukan uji hipotesis dilakukan uji distribusi data. Pengujian dilakukan dengan cara komputerisasi menggunakan rumus ShapiroWilk karena jumlah sampel < 50. Pengujian dilakukan menggunakan program komputerisasi dengan menggunakan uji t berpasangan, H0 ditolak jika ρ hitung < ρ value, Ha diterima jika ρ hitung < ρ value, begitupun sebaliknya. H. Penyajian Data Dalam penelitian ini, nilai pretest dan posttest siswa, hasil uji normalitas, dan hasil uji hipotesis disajikan dalam bentuk tabel yang kemudian dijelaskan dalam bentuk narasi.
44
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil penelitian 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Madrasah Tsanawiyah Negeri Taipa terletak di Jl. Moh. Amin No. 04, Kelurahan Taipa, Kecamatan Palu Utara. Sekolah ini berdiri pada tanggal 31 Desember 2003, dengan luas tanah keseluruhan seluas 3.186 M2, dan luas gedung 1.040 M2. Sekolah ini merupakan sekolah islam yang setara dengan Sekolah Menengah Pertama dengan status milik Pemerintah. Di sekolah ini terdapat 30 orang guru dan 14 orang staf tata usaha. Sekolah ini terdiri atas 11 kelas, dengan jumlah kelas VII sebanyak 4 kelas, kelas VIII sebanyak 4 kelas, dan kelas IX sebanyak 3 kelas. 2. Analisis Univariat Untuk melihat gambaran responden berdasarkan jenis kelamin, umur, dan kelas dapat dilihat berturut-turut pada tabel berikut ini: Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Karakteristik
Frekuensi (F)
Persentase (%)
Laki-laki
17
36,96
Perempuan
29
63,04
Total
46
100,00
Jenis Kelamin
Sumber: Data Primer 2015
45
Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa dari 46 responden, responden terbanyak adalah responden perempuan (63,04%). Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Karakteristik
Frekuensi (F)
Persentase (%)
12 tahun
7
15,2
13 tahun
17
36,9
14 tahun
9
19,6
15 tahun
12
26,1
16 tahun
1
2,2
Total
46
100,0
Umur
Sumber: Data Primer 2015 Berdasarkan Tabel 4.2 usia responden yang terbanyak adalah 13 tahun (36,9%) dan yang terkecil adalah responden usia 16 tahun (2,2%). Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelas Kelas
Frekuensi (F)
Persentase (%)
VII
17
36,96
VIII
15
32,61
IX
14
30,43
Total
46
100,00
Sumber: Data Primer 2015 Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa responden terbanyak adalah responden kelas VII (36,96%). Nilai skor pengetahuan siswa sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan kesehatan dapat dilihat pada tabel berikut ini:
46
Tabel 4.4 Nilai Skor Pengetahuan Siswa Sebelum dan Sesudah Penyuluhan Kesehatan Variabel
N
Rerata
± St. Deviasi
Nilai pre
46
59,72
± 12,01
Nilai post
46
77,83
± 10,55
Sumber: Data Primer 2015 Berdasarkan hasil analisis, dari 46 responden diperoleh bahwa skor rerata pengetahuan setelah dilakukan penyuluhan kesehatan lebih tinggi (77,83) dari pada skor rerata sebelum penyuluhan kesehatan (59,72). 3. Analisis Bivariat Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara penyuluhan kesehatan dengan pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS. Perbandingan nilai skor rerata siswa sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan kesehatan dapat dilihat pada Tabel berikut ini: Tabel 4.5 Perbandingan Nilai Skor Pengetahuan Siswa Sebelum dan Sesudah Penyuluhan Kesehatan Variabel
N
Rerata
± St. Deviasi
Nilai pre
46
59,72
± 12,01
Nilai post
46
77,82
± 10,55
Sumber: Data Primer 2015
Persentase peningkatan (%) 30,31
47
Tabel 4.6 Perbandingan Nilai Skor Pengetahuan Siswa Sebelum dan Sesudah Penyuluhan Kesehatan dengan Uji t Berpasangan Variabel
N
Rerata ± s.b.
Nilai pre
46
59,72 ± 12,01
Nilai post
46
77,82 ± 10,55
Perbedaan rerata ± s.b.
IK 95%
Ρ
18,1 ± 12,35
14,44 - 21,78
0,000
Sumber: Data Primer 2015 Nilai skor pengetahuan pada saat pretest adalah 59,72 dan saat posttest meningkat menjadi 77,82. Diketahui bahwa ada perbedaan dan perubahan rata-rata skor pengetahuan sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan. Dari Tabel 4.5 dapat diketahui terjadi peningkatan pengetahuan sebesar 30,31% setelah diberikan penyuluhan kesehatan. Berdasarkan hasil uji t berpasangan diketahui bahwa terdapat perbedaan pengetahuan antara sebelum dan sesudah pemberian penyuluhan kesehatan karena nilai ρ = 0,000 atau ρ < 0,05 (Tabel 4.6). Tabel 4.7 Perubahan Skor Pengetahuan Responden Setelah Dilakukan Penyuluhan Kesehatan Perubahan
Frekuensi
Persentase
Meningkat
41
89,13
Menurun
4
8,70
Tetap
1
2,17
Total
46
100,00
Sumber: Data Primer 2015 Sesudah pemberian penyuluhan kesehatan terdapat perubahan pengetahuan yaitu terdapat 4 orang responden dengan hasil pengetahuan
48
setelah penyuluhan lebih rendah daripada sebelum penyuluhan, 41 orang dengan hasil pengetahuan setelah penyuluhan lebih tinggi daripada sebelum penyuluhan, dan 1 orang responden dengan pengetahuan yang tetap sebelum dan setelah pemberian penyuluhan kesehatan. Tabel 4.8 Perubahan Skor Pengetahuan Responden Berdasarkan Kelas Kelas
Frekuensi
Meningkat
Menurun
Tetap
F
%
F
%
F
%
Total
VII
17
14
82,35
2
11,77
1
5,88
100,00
VIII
15
13
86,67
2
13,33
0
0,00
100,00
IX
14
14
100,00
0
0,00
0
0,00
100,00
Total
46
41
4
1
Sumber: Data Primer 2015 Dalam perubahan pengetahuan kelas IX menunjukkan perubahan yang paling bermakna dengan seluruh responden mengalami peningkatan pengetahuan (100%), sedangkan kelas yang mengalami perubahan paling rendah adalah kelas VII dengan peningkatan sebesar 82,35% (Tabel 4.8). B. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian penyuluhan kesehatan terhadap pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS khususnya di MTs Negeri Taipa. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 49 orang, akan tetapi pada saat dilakukan penelitian terdapat 3 responden yang tidak hadir dan dinyatakan Drop Out, sehingga jumlah responden yang menjadi sampel penelitian adalah 46 orang. Sampel dalam penelitian ini ditentukan oleh peneliti
49
sebelum dilakukan penelitian. Sebelum hari penelitian peneliti menyerahkan nama-nama siswa yang menjadi sampel penelitian kepada pihak sekolah, yang selanjutnya dikumpulkan oleh pihak sekolah pada hari penelitian. Pengumpulan data penelitian dilakukan selama ± 2 jam. Peneliti memberikan waktu selama 30 menit untuk mengerjakan soal pre test, kemudian dilakukan penyuluhan kesehatan selama 1 jam disertai dengan sesi tanya jawab, setelah itu dilakukan post test selama 30 menit. 1. Analisis Univariat Responden penelitian adalah siswa yang duduk di kelas VII, VII, IX, dengan 17 orang (37%) responden laki-laki dan 29 orang (63%) responden perempuan dalam rentang usia 12-16 tahun. Responden terbanyak adalah responden berusia 13 tahun sebanyak 17 orang (36,9%), kemudian responden yang berusia 15 tahun sebanyak 12 (26,1%), 9 responden berusia 14 tahun (19,6%), 7 responden 12 tahun (15,2%) dan 1 responden yang berusia 16 tahun (2,2%). Dari total 46 responden, 17 responden (36,96%) adalah siswa yang duduk di kelas VII,
15 responden (32,61%) kelas VIII, dan 14
responden (30,43%) kelas IX. Berdasarkan hasil analisis deskriptif, rerata skor pretest responden sebelum diberikan penyuluhan kesehatan adalah 59,72, dengan skor terendah adalah 33 dan skor tertinggi adalah 80. Hasil analisis terhadap skor posttest responden menunjukkan bahwa nilai rerata (mean) adalah sebesar 77,83, dengan nilai terendah 57 dan nilai tertinggi adalah 97. Melalui hasil tersebut
50
dapat dilihat terdapat peningkatan skor pengetahuan responden yang pada awalnya skor terendah adalah 33 meningkat menjadi 57, dan skor tertinggi pada saat pretest adalah 80 meningkat menjadi 97. 2. Analisis Bivariat Untuk menganalisis data, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas untuk menentukan uji yang akan digunakan. Karena jumlah responden pada saat pretest maupun posttest adalah 46 orang, maka digunakan rumus Shapiro-wilk. Setelah dilakukan uji normalitas, diketahui bahwa data berdistribusi normal sehingga dilakukan analisis data menggunakan uji t berpasangan. Analisis data (uji t berpasangan) dilakukan dengan program komputerisasi, yaitu SPSS. Analisis data dengan uji t berpasangan
pada
tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai significancy 0,000 (ρ < 0,05), hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pemberian penyuluhan kesehatan dalam pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS di MTs Negeri Taipa. Dalam hal ini, terdapat peningkatan pengetahuan siswa setelah diberikan penyuluhan kesehatan. Rata-rata
nilai
skor
pengetahuan
siswa
sebelum
diberikan
penyuluhan adalah sebesar 59,72 dan setelah diberikan penyuluhan rata-rata nilai skor pengetahuan siswa meningkat menjadi 77,83. Penyuluhan kesehatan yang dilakukan dapat meningkatkan rerata pengetahuan siswa sebesar 18,1 atau 30,31%. Penyuluhan atau pemberian informasi dalam penelitian ini
51
terbukti efektif dan mampu meningkatkan pengetahuan responden sebesar 30,31%, Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Ramdhani (2013)
tentang pengaruh penyuluhan kesehatan terhadap
pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS di SMA Cokroaminoto yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara pengetahuan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ratarata pengetahuan remaja sebelum penyuluhan adalah 10,58, sedangkan ratarata pengetahuan setelah penyuluhan adalah 16,88. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Ramadhan (2009) yang menyatakan bahwa informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun nonformal dapat memberikan pengaruh sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan teori Maulana (2009) yang menyatakan bahwa makna asli penyuluhan adalah pemberian penerangan dan informasi. Penyuluhan kesehatan bertujuan untuk mengubah perilaku kurang sehat menjadi sehat yang artinya dapat mengubah pengetahuan responden yang kurang baik menjadi baik. Effendy (2012) juga mengungkapkan bahwa tujuan dari pemberian pendidikan kesehatan adalah agar tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat dalam membina dan memelihara perilaku sehat dan
52
lingkungan sehat, serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Sebagian
besar
responden (89,13%)
pengetahuan, namun terdapat
mengalami peningkatan
1 responden (2,17%) yang memiliki
pengetahuan yang sama meskipun telah diberikan penyuluhan kesehatan dan terdapat 4 responden (8,70%) yang mengalami penurunan pengetahuan. Peneliti berasumsi bahwa hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor peneliti, faktor responden, dan faktor sarana dan prasarana. Ditinjau dari faktor peneliti yaitu peneliti belum mampu mengontrol suasana dan keadaan proses penelitian secara maksimal, sehingga terdapat beberapa responden yang kurang memerhatikan informasi yang disampaikan oleh peneliti. Pada faktor responden terdapat beberapa alasan yang mungkin menyebabkan
penurunan
pengetahuan
tersebut,
seperti
kemampuan
penyerapan informasi yang berbeda-beda pada setiap orang. Penerimaan informasi baru yang belum pernah didengar sebelumnya dapat menyebabkan responden mengalami kesulitan dalam memahami informasi yang diberikan. Kesalahan persepsi responden juga dapat menjadi salah satu penyebab tidak meningkatnya pengetahuan responden atau penurunan pengetahuan responden. Jika seseorang salah mengartikan informasi yang mereka terima, hal itu dapat menimbulkan persepsi yang salah tentang
53
informasi tersebut, sehingga dalam pengisian kuesioner, reponden menjawab pernyataan berdasarkan pemahaman yang mereka pahami. Intensitas perhatian responden atau kemauan responden untuk mendengarkan informasi yang disampaikan oleh peneliti juga menjadi salah satu faktor yang berperan penting dalam perubahan pengetahuan responden. Kurangnya intensitas perhatian responden menyebabkan tidak adanya perubahan pengetahuan responden ataupun berkurangnya pengetahuan responden walaupun telah dilakukan penyuluhan kesehatan. Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa beberapa faktor dapat menjelaskan penurunan skor pengetahuan dan salah satunya adalah faktor internal yang terdiri atas faktor biologis (jasmaniah) dan faktor psikologis (rohaniah) (FIP-UPI, 2007). Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam individu itu sendiri, sedangkan faktor biologis meliputi semua yang berkaitan dengan kondisi fisik dan jasmani individu yang bersangkutan (Hakim, 2005). Faktor psikologis merupakan hal yang berpengaruh terhadap keberhasilan pemahaman seseorang meliputi segala yang berkaitan dengan mental dan meliputi 3 hal, yaitu intelegensi, kemauan, dan daya ingat. Tingkat kecerdasan (intelegensi) seseorang berpengaruh terhadap pemahaman suatu pengetahuan, akan tetapi intelegensi bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilannya. Kemauan dapat dikatakan sebagai faktor utama penentu keberhasilan pemahaman terhadap pengetahuan. Kemauan
54
juga merupakan motor penggerak utama yang menentukan keberhasilan seseorang dalam setiap segi kehidupannya (Ali, 2009). Ingatan atau memori adalah fungsi dari kognisi yang melibatkan otak dalam pengambilan informasi. Para ahli memandang ingatan adalah hubungan antara pengalaman dengan masa lampau. Jadi daya ingat dapat diartikan sebagai daya jiwa untuk melibatkan otak dalam pengambilan informasi dengan kemampuan menerima dan memasukan (learning), menyimpan (retention),
kemudian
mengeluarkan
kembali
apa
yang
dialami
(remembering). Proses mengingat suatu informasi terdapat tiga tahapan, yaitu: memasukan informasi (encoding), menyimpan (storage), dan mengingat (retrieval stage) (Ali, 2009). Pada faktor sarana dan prasarana, yaitu terbatasnya penggunaan media bantu penyuluhan. Pada saat penelitian dilakukan terdapat gangguan yang menyebabkan tidak dapat digunakannya media slide yang awalnya direncanakan akan digunakan dalam proses penyuluhan. Penggunaan alat bantu sangat penting dalam proses penyuluhan karena dapat mempermudah seseorang dalam memahami informasi yang diberikan. Setiap individu memiliki kemampuan penyerapan informasi yang berbeda-beda, ada yang dapat memahami informasi yang diberikan walaupun hanya dengan menggunakan indera pendengaran, ada yang baru dapat memahami informasi yang diberikan dengan alat bantu lihat (visual aids), dan ada pula yang hanya dapat memahami informasi yang diberikan dengan
55
penggunaan role play, ataupun harus menggunakan kombinasi semuanya. Perbedaan inilah yang dapat
menyebabkan bervariasinya perubahan
pengetahuan responden, baik meningkat, menurun maupun menetap. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Syafrudin & Fratidhina (2009) yang menyatakan bahwa penggunaan metode penyuluhan dan media penyuluhan yang tepat dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam pelaksanaan penyuluhan kesehatan di masyarakat. Dalam penyuluhan kesehatan dikenal beberapa alat bantu peraga yang sering digunakan atau disebut AVA (Audio Visual Aids). Alat peraga ini kegunaannya tak lain adalah untuk lebih memudahkan kedua belah pihak dalam kegiatan penyuluhan, yakni pihak penyuluh dan pihak yang disuluh. Namun demikian penyuluhan kesehatan di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dalam penelitian ini terbukti lebih efektif daripada penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti lain di Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh & Sulistyorini (2010) dengan judul efektivitas metode ceramah dan leaflet dalam peningkatan pengetahuan remaja tentang seks bebas di SMA Negeri Ngrayun menunjukkan hasil rata-rata skor pengetahuan sebelum ceramah adalah 16,68 dan rata-rata skor pengetahuan sesudah ceramah adalah 18,75, persentase peningkatan pengetahuan dalam penelitian tersebut hanya 12,41%. Dalam penelitian lainnya oleh Ayuningsih (2014) tentang pengaruh penyuluhan tentang HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap di SMA
56
Negeri 1 Manado dengan hasil mean rank pengetahuan sebelum penyuluhan adalah 23,88 dan mean rank sesudah penyuluhan adalah 27,79 sehingga perbedaan rerata pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan hanya sebesar 3,91 atau hanya mengalami peningkatan sebesar 16,37%. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian Setiawati (2014) tentang pengaruh penyuluhan kesehatan reproduksi melalui metode ceramah terhadap tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi pada siswa SMP Negeri 9 Surakarta, pada hasil penelitian dengan Uji Friedman didapatkan nilai ratarata yaitu 1,35 pada hasil pretest, kemudian dilakukan penyuluhan atau diberikan perlakuan dan dilakukan posttest untuk mengetahui pengetahuan siswa setelah intervensi dan diperoleh rata-rata pengetahuan siswa yaitu 2,55 sehingga perbedaan rerata sebelum dan sesudah penyuluhan sebesar 1,2 atau mengalami peningkatan sebesar 88,89%. Menurut WHO penyuluhan kesehatan reproduksi sering diutamakan pada remaja usia 15-19 tahun, sedangkan banyak permasalahan remaja yang sudah memulai hubungan seksual pada usia 14 tahun baik dipaksa maupun sukarela. Oleh karena itu, masa yang tepat memberikan penyuluhan kesehatan pada tingkat sekolah menengah pertama dimana usia 10-14 tahun merupakan masa emas untuk terbentuknya landasan mengenai kesehatan reproduksi (WHO, 2011). Remaja berpendidikan lebih mampu menjaga kesehatan reproduksi dan mempertahankan kesehatan mereka sendiri sehingga pada akhirnya
57
mereka dapat menerapkan dalam keluarganya. Hal ini melandasi pentingnya pendidikan bagi remaja terlebih lagi pendidikan kesehatan reproduksi dengan penyuluhan salah satunya juga menjadi aspek penting kunci dari kesehatan secara keseluruhan baik pada remaja laki-laki dan terutama remaja perempuan (WHO, 2012). Berdasarkan analisis yang dilakukan diketahui bahwa kelas IX merupakan kelas yang menunjukkan hasil yang paling baik dengan seluruh responden yang berasal dari kelas IX (14 orang) mengalami peningkatan pengetahuan sebesar 100%, sedangkan kelas yang paling rendah adalah kelas VII dengan 14 responden (82,35%) mengalami peningkatan pengetahuan, 2 responden (11,77%) mengalami penurunan pengetahuan dan 1 responden (5,88%) yang berpengetahuan tetap. Sedangkan pada kelas VIII terjadi peningkatan pengetahuan sebesar 86,7% dimana 13 responden mengalami peningkatan dan 2 responden (13,33%) mengalami penurunan pengetahuan setelah diberikan penyuluhan kesehatan. Peningkatan ini dapat terjadi karena kelas IX adalah kelas yang lebih tinggi dari kelas yang lain sehingga responden yang berasal dari kelas IX memiliki probabilitas pernah mendengar informasi tentang HIV/AIDS sebelumnya baik melalui media massa ataupun orang lain. Kelas VII merupakan kelas pertama di jenjang pendidikan SMP/MTs sehingga responden dari kelas VII memiliki kemungkinan yang paling besar belum pernah mendapat informasi tentang HIV/AIDS, dengan kata lain pemberian
58
penyuluhan kesehatan cenderung lebih efektif pada kelas IX. Disamping itu, siswa kelas IX dapat memahami informasi yang diberikan lebih baik daripada kelas yang lain, karena memiliki pengalaman belajar yang lebih banyak dibandingkan dengan kelas di bawahnya. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Ramadhan (2009), yaitu pendidikan memengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Menurut Notoatmodjo (2007), dengan pendidikan tinggi, maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang diperoleh tentang kesehatan. Sebagian besar siswa-siswi kelas IX juga berumur lebih tua dibandingkan kelas VIII dan VII sehingga responden dari kelas IX lebih mudah memahami dan mengingat informasi yang diberikan dibandingkan kelas yang lain. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Wawan & Dewi (2009) yang menyatakan bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Penyuluhan kesehatan sebagai bagian dalam promosi kesehatan memang diperlukan sebagai upaya meningkatkan kesadaran dan pengetahuan, disamping pengetahuan sikap dan perbuatan. Oleh karena itu, tentu diperlukan upaya penyediaan dan penyampaian informasi yang merupakan bidang
59
garapan penyuluhan kesehatan. Makna asli penyuluhan adalah pemberian penerangan dan informasi, maka setelah dilakukan penyuluhan kesehatan seharusnya akan terjadi peningkatan pengetahuan oleh masyarakat. Seiring bertambahnya usia anak hingga mengalami masa transisi menuju dewasa yang biasa disebut pubertas, bertambah pula pengaruh terhadap kesehatan mereka sendiri. Mereka harus menghadapi perubahan permasalahan kesehatan seperti meluasnya HIV/AIDS. Pendidikan kesehatan berupa penyuluhan dapat menjadi faktor penentu penting dari kesehatan dasar baik itu selama masa remaja maupun di masa dewasa (WHO, 2010). HIV/AIDS merupakan penyakit yang belum dapat disembuhkan sehingga upaya preventif merupakan salah satu strategi utama untuk menekan laju perkembangan HIV/AIDS. Strategi utama pencegahan HIV antara lain dilakukan melalui promosi tentang cara penularan dan pencegahan. Strategi ini sangat tergantung pada tingkat pengetahuan penduduk tentang cara penularan
dan
pencegahan
(RISKESDAS, 2010).
serta
persepsi
penduduk
tentang
HIV
60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang bermakna penyuluhan kesehatan terhadap pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS. B. Saran 1. Bagi MTs Negeri Taipa Diharapkan bagi pihak sekolah agar dapat memberikan informasi yang komprehensif dan kontinyu kepada siswa mengenai HIV/AIDS, serta dapat menyediakan buku-buku referensi yang berkaitan dengan HIV/AIDS dan membentuk suatu wadah yang dapat memfasilitasi siswa dalam pembelajaran tentang kesehatan reproduksi khususnya HIV/AIDS seperti PIK Remaja. Pihak sekolah juga diharapkan dapat bekerja sama dengan Puskesmas atau Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Palu guna pemberian penyuluhan yang rutin kepada siswa-siswi di MTs Negeri Taipa. 2. Bagi Institusi Pendidikan Bagi institusi pendidikan diharapkan agar penelitian ini dapat menjadi sarana bacaan di perpustakaan guna mengembangkan pengetahuan
61
tentang HIV/AIDS dan agar menyediakan lebih banyak buku-buku khususnya menyangkut penelitian ini. 3. Bagi Peneliti Lain Diharapkan bagi peneliti lain untuk dapat melanjutkan penelitian ini, tidak hanya pada variabel pengetahuan tetapi dikembangkan sampai variabel sikap dan perilaku dengan menggunakan media yang bervariasi serta kelompok kontrol sebagai pembanding penelitian.
62
DAFTAR RUJUKAN
Ali, Muhammad. 2009. Pendidikan untuk Pembangunan Nasional. Grasindo: Jakarta. Ayuningsih, Niasari. 2014. Pengaruh Penyuluhan Tentang HIV/AIDS Terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa di SMA Negeri 1 Manado. Penelitian tidak dipublikasikan. Manado: Program tudi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2013. Kurikulum Diklat Teknis Pengelolaan PIK Remaja/Mahasiswa Bagi Pengelola, Pendidik Sebaya dan Konselor Sebaya PIK Remaja/Mahasiswa. BKKBN: Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2011. Riset Kesehatan Dasar: RISKESDAS 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan. Buzarudina, Frisa. 2013. Efektivitas Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Remaja Terhadap Tingkat Pengetahuan siswa SMAN 6 Kecamatan Pontianak Timur. Naskah Publikasi. Pontianak: Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura. Chioma Daisy Ebeniro. 2010. Knowledge and Beliefs About HIV/AIDS Among Male and Female Students of Nigerian Universities. Journal of Comparative Research in Anthropology and Sociology. (Online), Vol. 1, No 1 (http://doctorat.sas.unibuc.ro/wpcontent/uploads/2010/10/ChiomaEbeniro_C ompaso2010.pdf, diakses tanggal 12 Desember 2014). Danim, Sudarwan dan Darwis. 2012. Metode Penelitian Kebidanan: Prosedur, Kebijakan, dan Etik. EGC: Jakarta. Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2014. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Kemenkes RI: Jakarta. Efendi, Nasrul. 2009. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Edisi 2. EGC: Jakarta. FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian III: Pendidikan Disiplin Ilmu. Grasindo: Jakarta. Hakim. 2005. Belajar secara Efektif. Niaga Swadaya: Jakarta. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Sulawesi Tengah. 2014. Machfoedz, Ircham. 2012. Bio Statistika. Yogyakarta: Fitramaya.
63
Martono, Lydia Harlina dan Joewana, Satya. 2006. Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Berbasis Sekolah. Balai Pustaka (Persero): Jakarta. Massolo, Ardin, Prima. 2011. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Terhadap Pengetahuan dan Sikap Remaja Tentang Seksual Pranikah di SMAN 1 Masohi. Penelitian tidak dipublikasikan. Makassar: Jurusan Biostatistik, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Maulana, Heri. 2009. Promosi Kesehatan. EGC: Jakarta. MTs Negeri Taipa. 2015. Data MTs Negeri Taipa. MTs Negeri Taipa: Palu. Muliani, dan Rafika. 2014. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Terhadap Peningkatan Pengetahuan Remaja Putri Tentang SADARI di SMA Swasta dan SMA Negeri di Kota Palu. Penelitian tidak dipublikasikan. Palu: Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Palu. Munawaroh, Siti., & Sulistyorini, Anik. 2010. Efektivitas Metode Ceramah dan Leaflet Dalam Peningkatan Pengetahuan Remaja Tentang Seks Bebas di SMA Negeri Ngrayun. Penelitian tidak dipublikasikan. Ponorogo: Fakultas Ilmu Kesehatan UNMUH Ponorogo. Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta: Jakarta. . 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. . 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta: . 2011. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni Edisi Revisi 2011. Rineka Cipta: Jakarta. Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Salemba Medika: Jakarta. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan, Badan Pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan. 2014. Modul Pelatihan HIV Bagi Tenaga Pendidik. Kemenkes RI: Jakarta.
64
Pusat Promosi Kesehatan. 2013. Pedoman Pembinaan dan Penyuluhan Kampanye Pencegahan HIV-AIDS “Aku Bangga Aku Tahu”. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta. Ramadhan, 2009. Pengetahuan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi (Online). (http://forbetterhealth.wordpress.com. diakses tanggal 18 Oktober 2014). Ramdhani, Rezky. 2013. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Terhadap Pengetahuan Remaja Tentang HIV/AIDS di SMA Cokroaminoto Makassar. (Online), Vol. 2, No 1 (http://library.stikesnh.ac.id/files/disk1/4/elibrary%20stikes%20nani%20hasanuddin--rezkyramdh-188-1-artikel-1.pdf, diakses tanggal 9 Mei 2015). Riyanto, Agus. 2013. Statistik Inferensial Untuk Analisa Data Kesehatan. Nuha Medika: Yogyakarta. Saryono. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan Penuntun Praktis Bagi Pemula. Mitra Cendekia Press: Yogyakarta. Setiawati, Karina Aisyah. 2014. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Melalui Metode Ceramah Terhadap Tingkat Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Pada Siswa SMP Negeri 9 Surakarta. Naskah Publikasi. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Soewadji, Jusuf. 2012. Pengantar Metodologi Penelitian. Penerbit Mitra Wacana Medika: Jakarta. Syafrudin. dan Fratidhina, Yudhia. 2009. Promosi Kesehatan Untuk Mahasiswa Kebidanan. Trans Info Media: Jakarta. Syafrudin., Damayani, Ayu Diah., Delmaifanis. 2011. Himpunan Penyuluhan Kesehatan Pada Remaja, Keluarga, Lansia dan Masyarakat. Trans Info Media: Jakarta. Tantu, Usman Yasmin. 2014. HIV Sulteng Sejajar Dengan Provinsi Maju di Indonesia Timur (Online). (http://www.satusulteng.com, diakses 18 Oktober 2014). Varney, Helen. Kriebs, Jan M. dan Gegor, Carolyn L. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 1. EGC: Jakarta. Wawan. dan Dewi. 2010. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia. Nuha Medika: Yogyakarta.
65
World Health Organization. 2004. Adolescent pregnancy: issues in adolescent health and development (Online). (http://www.who.int/child_adolescent_health/documents/9241593784/en/, diakses tanggal 15 Januari 2015). World Health Organization. 2010. Social Determinants of Sexual and Reproductive Health: Informing Future Research and Programme Implementation (Online).(www.who.int/entity/social_determinants/tools/WHO_SocialDeter minantsSexualHealth_2010.pdf#page=121, diakses tanggal 9 Mei 2015). World Health Organization. 2011. Guidelines on Reproductive Helath (Online). (http://www.un.org/popin/unfpa/taskforce/guide/iatfreph.gdl.html, diakses tanggal 9 Mei2015). World Health Organization. 2012. Social Determinants of Health and Well-being among Young People: Health Behaviour in School-Aged Childern (HBSC) study (Online). (www.hbsc.unito.it/it/images/pdf/hbsc/prelimspart1.pdf, diakses tanggal 9 Mei 2015). World
Health Organization. 2014. WHO Case Report (http://www.who.int/gho/hiv/epidemic_status/cases_all_text/en/, tangggal 12 Desember 2014).
(Online). diakses
World
Health Organization. 2014. WHO Fact Sheets (Online). (http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs360/en/, diakses tanggal 12 Desember 2014).