BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan tahap akhir dari infeksi yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus diubah menjadi HIV. Retrovirus yang menyerang sel CD4 yang menyebabkan kerusakan parah pada sistem kekebalan tubuh atau pertahanan tubuh sehingga individu mudah terserang infeksi yang mengancam kehidupan. Berdasarkan World Health Organization (WHO) terdapat sekitar 33.4 juta orang di dunia hidup dengan HIV. 50% dari jumlah keselurahannya merupakan wanita dan 3,4 juta adalah anak. Lebih dari 25 juta orang telah meninggal karena AIDS di seluruh dunia sejak kasus pertama dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2010, 1,8 juta orang meninggal karena HIV / AIDS, dan 2,7 juta orang baru terinfeksi HIV. Dari keseluruhan kasus didunia, 97% penderita berada di negara berkembang dan berpendapatan rendah. Menurut UNAIDS, 23,5 juta penderita tinggal di sub-sahara afrika, dimana didalamnya terdapat 91% dari anak-anak yang positif HIV didunia. Diperkirakan 1,8 juta orang di wilayah ini baru terinfeksi dan1,2 juta orang dewasa dan anak-anak meninggal karena AIDS. Di Afrika utara dan timur tengah, sekitar 300.000 orang hidup dengan HIV
Universitas Sumatera Utara
dan 37.000 orang baru terinfeksi serta diperkirakan 23.000 orang dewasa dan anak-anak meninggal karena AIDS. Di Eropa Barat dan Tengah terdapat 30.000 kasus baru HIV, sehingga jumlah orang yang hidup dengan HIV bertambah menjadi 900.000 dan 7.000 orang di wilayah ini meninggal karena AIDS. Selain itu, di Amerika Tengah dan Selatan terdapat 83.000 orang yang baru terinfeks HIV / AIDS dan diperkirakan 54.000 kematian terkait AIDS. Daerah ini saat ini memiliki 1,4 juta orang yang hidup dengan HIV / AIDS. Di Asia Pasifik, hampir 372.000 orang yang baru terinfeksi, sehingga jumlah orang yang hidup dengan HIV / AIDS di sana hampir mencapai 5 juta dan di Asia terdapat 31.000 orang yang menderita AIDS (UNAIDS World AIDS Day Report 2012). Menurut UNICEF, Indonesia tanpa program percepatan pencegahan infeksi HIV diperkirakan pada tahun 2014 akan terdapat lebih dari setengah juta orang terinfeksi HIV. Epidemi ini dipicu terutama oleh penularan seksual dan penggunaan narkoba suntikan. Tanah Papua, Jakarta dan Bali memimpin di tingkat kasus HIV baru per 100.000 orang. Jumlah penderita yang 1,5% dari penderita Indonesia, Tanah Papua menyumbang lebih dari 15 persen dari semua kasus HIV baru di Indonesia pada 2011. Papua sendiri memiliki tingkat kasus hampir 15 kali lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, Tanah Papua mempunyai tingkat rendah generalisasi epidemi HIV dengan prevalensi 3 persen pada remaja usia 15-24 tahun (Beadle dan Temongmere G. A 2012). Hepatitis B disebabkan oleh virus yang menginfeksi hati. Orang dewasa yang terkena hepatitis B biasanya dapat pulih kembali. Namun sebagian besar bayi yang terinfeksi pada saat lahir menjadi pembawa kronis yaitu mereka membawa virus selama bertahun-tahun dan dapat menyebarkan infeksi kepada orang lain. Virus ini melular
Universitas Sumatera Utara
dalam saluran darah dan cairan tubuh lainnya. Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan dua milyar orang telah terinfeksi virus hepatitis B dan lebih dari 240 juta memiliki infeksi (jangka panjang) hati kronis. Sekitar 600 000 orang meninggal setiap tahun karena konsekuensi akut atau kronis hepatitis B.Hepatitis B endemik di China dan bagian lain di Asia (Valla 2006). Kebanyakan orang di wilayah ini terinfeksi dengan virus hepatitis B selama masa kanak-kanak dan 8-10% dari populasi orang dewasa terinfeksi secara kronis. Kanker hati yang disebabkan oleh hepatitis B adalah salah satu dari tiga penyebab kematian akibat kanker pada pria, dan penyebab utama kanker pada wanita di wilayah ini.Tingkat infeksi kronis yang tinggi
juga ditemukan di Amazon dan bagian selatan Eropa timur dan
tengah. Di Timur Tengah dan subkontinen India, diperkirakan 2-5% dari populasi umum terinfeksi secara kronis dan <1% dari populasi di Eropa Barat dan Amerika Utara terinfeksi secara kronis (Andre 2004). . Berdasarkan WHO di Indonesia tahun 2010, jumlah kasus terinfeksi HBV mencapai 15 juta orang dan prevalensi hepatitis B dengan tingkat endemisitas tinggi yaitu sebanyak 1,5 juta orang berpotensi mengidap kanker hati.Berdasarkan pemeriksaan HBsAg pada kelompok donor darah di Indonesia prevalensi Hepatitis B berkisar antara 2,50-36,17 % (Sulaiman, 1994). Selain itu di Indonesia infeksi virus hepatitis B juga terjadi pada bayi dan anak, diperkirakan 25 -45% pengidap adalah karena infeksi perinatal.Pada penelitian prevalensi infeksi virus B yang dilakukan oleh Zain dkk. pada 114 mahasiswa USU yang baru masuk tahun 1983 didapat prevalensi Hepatitis B 16,6%.Dari data pasien hemodialisis regular di 12 kota besar di Indonesia dari 2458 pasien didapati prevalensi infeksi HBV sebanyak 4,5%, sedangkan di Kota Medan sendiri didapat 6,05% dari 314
Universitas Sumatera Utara
pasien (survey nasional pernefri untuk prevalensi hepatitis B/C pada pasien hemodialisis). (Achmadi 2006). Orang tertular hepatitis B pada masa dewasa membutuhkan pertahanan imun yang kuat untuk memulihkan infeksi akut dan mencegah perkembangan infeksi kronis. Hal ini dapat dicapai pada kebanyakan orang dewasa (>90 persen) yang tidak terinfeksi HIV. Namun, orang dewasa dengan HIV yang tertular HBV mempunyai kemungkinan pemulihan yang lebih rendah, dan kemungkinan ini terkait langsung dengan tingkat tekanan kekebalan pada saat tertular HBV(Bodsworth NJ, 1991). Karena jalur penularan HBV dan HIV serupa, ada prevalensi koinfeksi HIVHBV yang tinggi, terutama di antara laki-laki seksual laki-laki (LSL), dan tanda HBV sebelumnya atau baru dapat ditemukan dalam lebih dari 50 persen LSL dengan HIV. Reaktivasi HBV pada orang yang sebelumnya hilang HBsAg terdeteksi dapat dikaitkan dengan peningkatan pada tekanan kekebalan dalam konteks infeksi HIV(Vento S, 1989). Orang dengan koinfeksi HIV dan HBV yang belum diobati mengalami angka HBsAg/HbeAg-positif yang lebih tinggi dan tingkat DNA HBV yang lebih tinggi, namun mereka mempunyai tingkat transaminase yang lebih rendah dan proses peradangan-nekro yang lebih rendah pada histologi dibandingkan orang yang hanya terinfeksi HBV (Gilson RJ, 1997). Walau tampaknya ada status toleransi kekebalan ini, perkembangan pada penyakit hati lanjut termasuk sirosis dan karsinoma hepatoselular kemungkinan dipercepat (Thio CL, 2002). Pada era sebelum ART, mortalitas dari penyebab lain terkait HIV dan populasi penelitian kecil menyebabkan kesulitan dalam mendefinisikan luasnya penyakit hati terkait HBV secara benar(Puoti M, 2000). Namun sebuah analisis baru mengenai kohort Multicentre AIDS Cohort Study (MACS) menunjukkan risiko mortalitas terkait hati yang
Universitas Sumatera Utara
lebih tinggi pada orang koinfeksi HIV-HBV, terutama mereka dengan tingkat tekanan kekebalan yang paling besar(Darby SC, 1997). Pada penelitian ini terhadap 5.293 LSL, dengan 6 persen di antaranya HBsAg-positif dan 41 persen HIV-positif, mortalitas terkait hati adalah lebih dari delapan kali lipat lebih mungkin pada mereka koinfeksi HIV-HBV dibandingkan mereka dengan HIV saja dan hampir 19 kali lebih mungkin bila dibandingkan dengan mereka dengan HBV saja. Orang dengan jumlah CD4 <100 berisiko tertinggi terhadap mortalitas terkait hati dan ada kecenderungan peningkatan pada mortalitas dalam tahun-tahun setelah ART tersedia. Interaksi antara HIV dan HBV dan dampak yang dihasilkannya pada perkembangan penyakit HIV sudah diperdebatkan. Sebelum tersedianya ART, beberapa penelitian memberi kesan bahwa keberadaan HBsAg dapat mempercepat perjalanan ke AIDS(Scharschmidt BF, 1992). Hal ini ditolak oleh penelitian lain yang menunjukkan tidak ada perbedaan pada waktu ke AIDS(Gilson RJ, 1997) atau bertahanhidup lama setelah diagnosis AIDS(Thio CL, 2002) pada mereka yang HBsAg-positif. Dua penelitian pengamatan besar baru menyelidiki masalah ini lebih lanjut. Pada kohort MACS di AS, keberadaan HBsAg pada orang terinfeksi HIV tidak berdampak pada perkembangan ke AIDS, kematian terkait AIDS, mortalitas keseluruhan atau tanggapan yangberhasil pada ART(Prins M, Hernandez, 1997). Dalam AHOD, orang yang mulai ART dengan konfeksi HBV tidak lebih mungkin mengembangkan AIDS atau meninggal dibandingkan yang tidak koinfeksi HBV(Annual Surveillance Report, 2005). Serupanya, tanggapan virologis pada ART dan peningkatan pada jumlah CD4 tidak terpengaruh oleh HBsAg. Oleh karena itu, hampir pasti koinfeksi HBV mempunyai sedikit dampak negatif pada perkembangan penyakit HIV.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Perumusan Masalah Bagaimanakah insidensi Hepatitis B pada pasien HIV-AIDS di Klinik Pusyansus Rumah Sakit Haji Adam Malik, Medan 2010-2012.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1.
Tujuan Umum : Mengetahui insidensi Hepatits B pada pasien HIV-AIDS di Klinik Pusyansus Rumah Sakit Haji Adam Malik, Medan 2010-2012.
1.3.2.
Tujuan Khusus : 1.3.1.1. Untuk mengetahui distribusi proporsi hepatitis B pada pasien HIV-AIDS berdasarkan demografi umur. 1.3.1.2. Untuk mengetahui distribusi proporsi hepatitis B pada pasien HIV-AIDS berdasarkan demografi kelamin. 1.3.1.3. Untuk mengetahui distribusi proporsi hepatitis B pada pasien HIV-AIDS berdasarkan demografi tingkat pendidikan. 1.3.1.4. Untuk mengetahui distribusi proporsi hepatitis B pada pasien HIV-AIDS berdasarkan demografi faktor resiko.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1.Untuk masukan kepada Rumah Sakit Umum Pusat(RSUP) Haji Adam Malik Medan untuk pengetahuan hepatits B pada pasien HIV-AIDS.
Universitas Sumatera Utara
1.4.2. Sebagai bahan informasi untuk penelitian lebih lanjutnya. 1.4.3. Bagi peneliti, hasil KTI ini adalah untuk menambah pengalaman dan pengetahuan dalam bidang kesehatan.
Universitas Sumatera Utara