BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan
pandemi terhebat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. AIDS adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia sehingga daya tahan tubuh makin melemah dan mudah terjangkit penyakit infeksi. Sampai saat ini HIV/AIDS menjadi persoalan serius bagi negara berkembang karena secara langsung sudah menyentuh persoalan politik dan bahkan ekonomi yang berujung kepada persoalan kemiskinan (KPAN, 2007). Di Indonesia HIV telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Pada 10 tahun pertama periode ini peningkatan jumlah kasus HIV dan AIDS masih rendah. Pada akhir tahun 1997 jumlah kasus AIDS kumulatif 153 kasus dan HIV positif baru 486 kasus yang diperoleh dari serosurvei di daerah sentinel serta penularan 70% melalui hubungan seksual berisiko.Pada akhir abad ke 20 terjadi kenaikan yang sangat berarti dari jumlah kasus AIDS dan di beberapa daerah pada sub-populasi tertentu, angka prevalensi sudah mencapai 5% yaitu pada pengguna Napza suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Situasi demikian menunjukkan bahwa pada umumnya Indonesia berada pada tahap concentrated epidemic. (KPAN, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Sejak awal abad ke 21 peningkatan jumlah kasus semakin mencemaskan. Pada akhir tahun 2003 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan meningkat menjadi 1371 kasus, semantara jumlah kasus HIV positif mejadi 2720 kasus. Jumlah kasus AIDS terus mengalami peningkatan, dimana pada akhir Desember 2004 berjumlah 2682 kasus, pada akhir Desember 2005 naik hampir dua kali lipat menjadi 5321 kasus dan pada akhir September 2006 sudah
menjadi
6871
kasus
yang
dilaporkan oleh 33 provinsi di Indonesia. Sementara estimasi tahun 2006, jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan 169.000–216.000 orang. Data hasil surveilans sentinel Departemen Kesehatan menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi HIV positif pada sub-populasi berperilaku berisiko, dikalangan penjaja seks (PS) 22,8% dan di kalangan penasun 48% dan pada penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebesar 68%. Peningkatan prevalensi HIV positif terjadi di kota-kota besar, sementara peningkatan prevalensi di kalangan PS terjadi baik di kota b e s a r maupun di kota kecil (KPAN, 2007). Ditinjau
dari
distribusi
umur
penderita
AIDS
pada
tahun
2006
memperlihatkan tingginya persentase jumlah usia muda dan jumlah usia anak. Penderita dari golongan umur 20-29 tahun mencapai 54,77%, dan bila digabung dengan golongan sampai 49 tahun, maka angka menjadi 89,37%. Sementara persentase anak 5 tahun kebawah mencapai 1,22% dan diperkirakan pada tahun 2006 sebanyak 4360 anak tertular HIV dan separuhnya telah meninggal dunia (KPAN, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Data HIV/AIDS sampai Juni Tahun 2008 menyebutkan kelompok masyarakat yang paling tinggi faktor resiko penularan adalah pada usia produktif, yaitu pada penggunaan IDU (6.237 kasus), heteroseksual (5.438 kasus), homoseksual dan biseksual (482 kasus), transmisi perinatal (228 kasus), transfusi darah (10 Kasus) dan tanpa diketahui 291 kasus. Secara Kumulatif pengidap HIV dan kasus AIDS di Indonesia sejak bulan Januari sampai dengan Juni 2008 berjumlah 18.963 yang terdiri dari 6.277 kasus HIV dan 12.686 kasus AIDS, dengan jumlah angka kematian 2.479 (Depkes, RI 2008). Dilihat dari penyebaran kasus HIV/AIDS di Indonesia, tercatat hampir semua provinsi telah melaporkan adanya kasus HIV/AIDS. Kasus terbesar terdapat di 10 Provinsi, masing-masing DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat (KPAN, 2007). Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga tidak luput dari persoalan kasus HIV/AIDS, dimana sampai Mei 2009 tercatat 31 kasus AIDS dan 6 kasus HIV (Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Kabupaten Aceh Barat sebagai salah satu daerah kabupaten di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga turut menyumbang kasus HIV/AIDS dimana sampai tahun 2009 tercatat 1 kasus HIV dan 1 kasus AIDS. Jumlah kasus penderita HIV/AIDS seperti lazim disebutkan merupakan fenomena “puncak gunung es” yang artinya adalah kondisi yang sebenarnya termasuk yang terselubung bisa jadi berpuluh kali lipat dari jumlah yang dilaporkan. Ini terjadi karena kurangnya kesadaran bagi orang yang perilakunya beresiko untuk melakukan pencegahan dan pemeriksaan kesehatan. Di samping itu
Universitas Sumatera Utara
memerlukan biaya yang besar untuk melakukan pemeriksaan diri ke laboratorium. Sehingga seseorang diketahui sudah tahap AIDS baru datang berobat ke rumah sakit (www.tempointeraktif.co.id). Fenomena gunung es inilah yang masih berlangsung di Kabupaten Aceh Barat. Permasalahan HIV dan AIDS belum terbuka secara nyata. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya faktor pendidikan, sosial budaya, agama, adat istiadat sehingga mempengaruhi perilaku mereka untuk mengambil keputusan dalam upaya penanggulangan dan pencegahan HIV dan AIDS (Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat, 2008). Di luar jumlah kasus HIV/AIDS yang sudah tercatat di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat seperti yang diuraikan sebelumnya, dapat dipertimbangkan juga data penyakit yang berkaitan dengan infeksi menular seksual, jumlah pekerja seksual komersil , dan sarana pelayanan umum terkait yang diperkirakan beresiko untuk menggambarkan tingginya bahaya penularan HIV/AIDS di Kabupaten Aceh Barat. Seperti diketahui HIV/AIDS dapat ditularkan melalui hubungan seksual (heteroseksual, homoseksual, dan biseksual), transfusi darah, Intra Drugs User/IDU (penularan dari pemakaian jarum suntik), penularan dari ibu yang terkena HIV/AIDS kepada anaknya yang terjadi sebelum atau selama masa persalinan, dan pemberian air susu ibu penderita HIV/AIDS kepada bayinya (WHO, 1994). Dari data Rencana Strategis HIV/AIDS Kabupaten Aceh Barat 2008-2013 disebutkan terdapat 62 kasus infeksi menular seksual terkait Siphilis dan Hepatitis pada tahun 2007 serta 28 kasus sampai April tahun 2008. Selanjutnya disebutkan terdapat 33 orang pekerja seks komersil (BPS Kabupaten Aceh Barat, 2007) dan 20
Universitas Sumatera Utara
sarana pelayanan umum beresiko penularan infeksi menular seksual di Kabupaten Aceh Barat selama Tahun 2008 (Rencana Strategis HIV/AIDS Kabupaten Aceh Barat 2008-2013). Perlu juga dipertimbangkan hasil Behaviour Survey Surveilance Aceh Youth yang dilaksanakan pada Tahun 2008 menyebutkan beberapa hasil penelitian yang terkait dengan perilaku beresiko terhadap penularan HIV/AIDS di Kabupaten Aceh Barat. Penelitian ini menyampaikan bahwa hanya 40 persen remaja pria dan 65 persen remaja perempuan yang mengetahui cara pencegahan HIV/AIDS dengan teknik ABCD (Abstinence, Be Faithful, Condom, no Drugs). Kemudian survey juga menjelaskan 40 persen remaja pria dan 50 persen remaja perempuan meyakini diri tidak bisa tertular HIV/AIDS. Selanjutnya disebutkan 68 persen remaja pria dan 50 persen remaja perempuan mengaku pernah berpacaran dan dari yang berpacaran tersebut 53 persen remaja pria dan 40 persen remaja perempuan menyebutkan pernah berciuman dengan pacar mereka bahkan disebutkan 22 persen remaja pria dan 8 persen remaja perempuan pernah melakukan tindakan saling merangsang seksual dengan pacar masing-masing.
Dari survey tersebut juga disampaikan 10 persen
remaja pria dan 3 persen remaja perempuan pernah melakukan hubungan seksual dengan pasangannya (Behaviour Survey Surveilance Aceh Youth, 2008). Kegiatan pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Aceh Barat sudah mulai dilakukan sejak tahun 2007 sampai tahun 2009 dengan bantuan NGO/LSM terkait. Kegiatan yang dilakukan berupa upaya promotif dan preventif untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk membuka
Universitas Sumatera Utara
pemahaman masyarakat tentang bagaimana pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Namun dengan berakhirnya tugas NGO/LSM yang peduli AIDS di Kabupaten Aceh Barat maka kegiatan yang sudah mulai berjalan menjadi tersendat sehingga perlu dilakukan upaya terobosan untuk merevitalisasi upaya promotif dan preventif dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Aceh Barat. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Barat dalam rangka revitalisasi upaya promotif dan preventif untuk penanggulangan HIV dan AIDS adalah penyusunan Rencana Strategis HIV/AIDS Kabupaten Aceh Barat 2008-2013. Rencana Strategis HIV/AIDS Kabupaten Aceh Barat 2008-2013 disusun untuk pencapaian visi Mewujudkan Masyarakat yang Bermartabat, Berbudaya dan Berperadaban Tinggi serta Peningkatan Sumber Daya Manusia dalam rangka menekan laju penularan HIV serta Menuju Aceh Barat yang sehat pada tahun 2015 (Rencana Strategis HIV/AIDS Kabupaten Aceh Barat 2008-2013). Dalam Rencana Strategis HIV/AIDS Kabupaten Aceh Barat 2008-2013 tertera secara lengkap Visi. Misi, Gambaran Situasi Kabupaten, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tempat Beresiko, Kelompok Resiko, serta kegiatan yang dilakukan. Salah satu bentuk kegiatan yang sudah dilakukan adalah Pelatihan HIV/AIDS yang dikemas dalam bentuk kegiatan Pelatihan dan Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) dengan target peserta adalah kelompok usia remaja (Siswa SMU/MAN). Tujuan kegiatan ini adalah terbentuknya remaja yang peduli akan pencegahan HIV/AIDS sekaligus diharapkan menjadi agen perubah (agent of change) pada kelompok usia remaja lainnya. Manfaat Pelatihan HIV/AIDS adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Meningkatkan kemampuan dalam teknik pelajaran 2. Memberi wawasan berpikir yang lebih luas 3. Memberi kecakapan dalam menghadapi situasi kehidupan sehari-hari dan percaya diri 4. Memotivasi peserta didik untuk meningkatkan kemampuannya 5. Memberi kemampuan mengatasi permasalahan hidup sehari-hari 6. Meningkatkan rasa toleransi, kebersamaan dan menghargai sesama 7. Meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain (Modul Pelatihan dan Pendidikan Kecakapan Hidup, 2007). Pelatihan HIV/AIDS dianggap perlu karena pelatihan merupakan satu model pendidikan kesehatan yang menurut Simonds yang dikutip oleh Gianz (1997) adalah upaya merubah perilaku individu, kelompok dan masyarakat dari perilaku-perilaku yang dapat mengancam/membahayakan kesehatan ke perilaku yang kondusif bagi kesehatan saat ini dan masa yang akan datang. Sedangkan Green (1980) mengartikan sebagai pengalaman belajar yang dimaksud untuk memudahkan atau membantu penyesuaian perilaku yang bersifat sukarela, yang kondusif bagi kesehatan. Pengertian lainnya dikemukakan oleh Soekidjo (1993) yang mendefenisikan pendidikan kesehatan sebagai usaha atau kegiatan untuk membantu individu, kelompok atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan (perilaku)nya, untuk mencapai kesehatan secara optimal. Firman (2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa pendidikan peer education dengan menggunakan alat peraga dan simulasi mampu meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan siswa sebesar 68,2% dan secara statistik dengan nilai p=0,037 dengan uji independet test menunjukkan terdapat pengaruh signifikan peer education dan simulasi dengan pengetahuan siswa tentang pendidikan kesehatan reproduksi. Pelatihan HIV/AIDS sengaja mengambil segmen Kelompok Usia Remaja dengan dasar kenyataan bahwa 57,8% kasus AIDS
di Indonesia berasal dari
kelompok umur 15 – 29 tahun yang mengindikasikan bahwa mereka tertular HIV pada umur yang masih sangat muda. Hal ini sejalan pula dengan fakta bahwa penyalahguna napza sebagian besar adalah remaja dan dewasa muda. Hampir 30% populasi Indonesia berumur antara 10 sampai 24 tahun, dan mereka ini seharusnya menjadi sasaran edukasi dan penyuluhan yang benar agar tidak masuk kedalam subpopulasi berperilaku risiko tinggi (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2008). Di Kabupaten Aceh Barat sampai Tahun 2009 terdapat 7209 siswa dari SMU, MAN dan SMK yang merupakan bagian dari kelompok usia remaja. Khusus di SMU Negeri 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I terdapat 947 siswa (Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Barat dan Kantor Departemen Agama Kabupaten Aceh Barat, 2009). Berpijak dari uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian mengenai Pengaruh Pelatihan
HIV/AIDS
terhadap pengetahuan dan sikap Siswa tentang
HIV/AIDS di SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I Kota Meulaboh Tahun 2010.
Universitas Sumatera Utara
1.2.
Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan
dalam penelitian ini adalah ingin diketahuinya Pengaruh Pelatihan
HIV/AIDS
terhadap pengetahuan dan sikap siswa tentang HIV/AIDS di SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I Kota Meulaboh Tahun 2010.
1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Pengaruh Pelatihan
HIV/AIDS terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa tentang HIV/AIDS di SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I Kota Meulaboh Tahun 2010.
1.4. Hipotesis 1.
Ada pengaruh Pelatihan
HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa
tentang HIV/AIDS di SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I Kota Meulaboh. 2.
Ada perbedaan pengetahuan siswa sebelum dan setelah mengikuti Pelatihan HIV/AIDS pada siswa SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I Kota Meulaboh.
3.
Ada perbedaan sikap siswa sebelum dan setelah mengikuti Pelatihan HIV/AIDS pada siswa SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I Kota Meulaboh.
Universitas Sumatera Utara
1.5. Manfaat Penelitian 1.
Sebagai bahan masukan dan informasi kepada pemerintah kabupaten Aceh Barat dalam program penanggulangan HIV dan AIDS di Aceh Barat Tahun 2010.
2.
Hasil Penelitian dapat dijadikan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti permasalahan yang sama.
3.
Dapat menempatkan Program HIV dan AIDS yang bersifat multi-sektor dan multi-pihak sebagai bagian penting dari agenda pembangunan di Kabupaten Aceh Barat.
Universitas Sumatera Utara