I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Stres adalah respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan yang terjadi secara terus menerus yang dapat mempengaruhi kondisi fisik dan emosi (Lubis, 2005). Stres fisik dan stres psikis dapat dialami oleh seseorang dalam waktu yang bersamaan (Kumar dkk., 2014). Stres dapat mempengaruhi keadaan psikis diantaranya adalah emosi, faktor kognitif, dan perilaku yang dapat menyebabkan sakit (Genco dkk., sit Hernawati, 2013). Kejadian-kejadian tertentu dalam kehidupan dapat menjadi faktor terjadinya stres. Faktor psikososial lingkungan akan memberikan dampak bagi kesehatan. Stres merupakan ketegangan atau tekanan yang berdampak pada kejiwaan seseorang. Stres setiap individu berbeda dipengaruhi oleh seberapa besar dukungan sosial yang diterimanya (Hernawati, 2013). Gangguan psikosomatik dapat mempengaruhi kondisi tubuh maupun pikiran. Diagnostic and Statically Manual Mental Disorder II mendefinisikan gangguan psikosomatik sebagai gejala yang disebabkan oleh faktor emosi dan melibatkan sistem dalam organ tubuh yang biasanya di bawah inervasi saraf otonom. Penyakit ini memiliki gejala fisik yang disebabkan karena mental atau emosi, diantaranya adalah stres, kecemasan, dan depresi. Gangguan psikosomatik dapat mempengaruhi kondisi mulut dan struktur rongga mulut. Faktor emosi dan psikis dapat menganggu fungsi hormon, peredaran darah, dan fungsi otot. Gangguan fungsi yang terjadi menghasilkan berbagai macam perubahan
lingkungan organ mulut diantaranya adalah nyeri, gangguan pergerakan rahang, xerostomia, dan ulkus (Kandagal dkk., 2012). Tubuh dan pikiran adalah satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Mukosa rongga mulut sangat bereaksi terhadap pengaruh faktor psikis. Pada beberapa kasus penyakit mulut mungkin secara langsung dipengaruhi oleh faktor emosi, contoh lesi pada rongga mulut secara tidak langsung dipengaruhi oleh faktor emosi (Kandagal dkk., 2012). Penyakit mulut dengan etiologi psikosomatik dan faktor mental atau emosi berperan sebagai faktor resiko yang mempengaruhi kemunculan dan keparahan penyakit mukosa rongga mulut (Ivicia dkk., 2003; Nagabhushan dkk., 2004; Sanadi dkk., 2005). Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) adalah penyakit rongga mulut yang paling sering dijumpai di masyarakat dengan prevalensi rata-rata mencapai 20%25% (Kumar dkk., 2014; Langlais dkk., 2013; Scully dkk., 2003). Prevalensi RAS pada populasi di dunia bervariasi antara 5%-66%. Penelitian lain menunjukkan angka kejadian mencapai 90% pada anak yang kedua orang tuanya mempunyai riwayat RAS (Buno, 1998 sit. Sumintarti dan Marlina, 2012). Prevalensi RAS pada beberapa negara diantaranya adalah Amerika Serikat sebesar 60%, Swedia 2%, Spanyol 1,9% dan di Malaysia 0,5%. Saat ini Indonesia belum mempunyai data mengenai prevalensi kejadian RAS (Jurge dkk., 2006; Tangkilisan dkk., 2013). Recurrent Aphthous Stomatitis juga dikenal dengan istilah aphtae, atau canker sores merupakan suatu penyakit mukosa mulut yang paling sering terjadi (Scully, 2006). Stomatitis adalah inflamasi mukosa mulut yang dapat terjadi pada
mukosa bagian bukal (pipi), labial (bibir), lidah, gusi, langit-langit, dan dasar mulut. Lesi RAS menimbulkan rasa nyeri, bentuknya bulat atau oval dengan pusat nekrotik yang dangkal disertai dengan pseudomembran warna putih kekuningan (Scully dan Poter, 2008). Stomatitis menimbulkan rasa nyeri yang dapat mempengaruhi kualitas hidup karena rasa tidak nyaman yang ditimbulkan saat menggosok gigi, makan, minum, menelan, menjalankan aktivitas sehari-hari, dan berbicara (Kumar dkk., 2014; Zwiri, 2015; Scully, 2003). Gambaran klinis RAS oleh Stanley (1972) dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu minor aphtae, major aphtae, dan herpetiform ulcers (Langlais dkk., 2013; Preeti dkk., 2011; Wong dkk., 2007). Sampai saat ini etiologi RAS masih belum diketahui dengan pasti. Recurrent
Aphthous
Stomatitis
dipengaruhi
oleh
banyak
faktor
yang
memungkinkan untuk berkembang menjadi ulkus. Faktor-faktor predisposisi munculnya RAS terdiri dari Sodium Lauryl Sulphate (SLS) yang terkandung dalam pasta gigi dan obat kumur, trauma, genetik, gangguan imunologi, alergi, sensitivitas, stres, defisiensi nutrisi, defisiensi hematinik, hormonal, merokok, infeksi virus dan bakteri (Scully, 2003). Lesi serupa juga dapat muncul kemungkinan karena gangguan sistemik termasuk penyakit Behcet, sindrom Sweet's, neutropenia, sindrom mouth and genital ulcers with inflamed cartilage (MAGIC), a periodic syndrome with fever and pharyngitis (PFAPA), berbagai jenis kekurangan gizi dengan atau tanpa gangguan pencernaan, imunodefisiensi, dan infeksi virus HIV. Obat seperti nonsteroidal anti-inflamatory drugs (NSAID) atau nicorandil dapat mengakibatkan terjadinya ulkus seperti RAS (Porter, 2000).
Stres merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak langsung terhadap terjadinya ulkus RAS (Boras dan Savage, 2007; Natah dkk., 2004; Scully dkk., 2003; Keenan dan Spivakovksy, 2013). Menurut Huling dkk., (2012) stres berperan dalam perkembangan RAS. Stres akan menginduksi aktivitas immunoregulatory dengan menaikkan jumlah leukosit pada lokasi inflamasi yang akan mempengaruhi RAS (Gallo dkk., 2009). Prevalensi RAS dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis kelamin. Recurrent Aphthous Stomatitis lebih sering dijumpai pada perempuan dibanding pada laki-laki. Perempuan memiliki stres yang lebih tinggi dari pada laki-laki, karena perempuan lebih peka terhadap perubahan lingkungan dan mudah merasa cemas (Tangkilisan, 2013). Gavic dkk. (2014) melaporkan bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara kecemasan, depresi, dan stres psikis terhadap terjadinya RAS. Menurut Smith dan Wray (sit. Jurge dkk., 2006), RAS dapat terjadi pada semua umur tetapi lebih sering ditemukan pada masa dewasa muda. Secara umum RAS mempengaruhi 20% dari jumlah total populasi. Beberapa populasi memiliki kemungkinan yang lebih tinggi terhadap kemunculan RAS, dalam beberapa kasus hal ini berhubungan dengan meningkatnya jenjang pendidikan dan stres yang dipicu karena pekerjaan. Kemunculan RAS pada usia dewasa atau memburuknya kondisi dapat mengindikasikan adanya penyakit sistemik yang mendasarinya termasuk diantaranya adalah kondisi darah, sistem imun, dan kondisi jaringan ikat (Boras, 2007). Stres psikis sebagai faktor pemicu timbulnya RAS telah disebutkan dalam literatur dan biasanya ditemukan selama kondisi stres seperti periode ujian
sekolah, perawatan gigi, dan periode perubahan yang signifikan dalam kehidupan. Enam puluh delapan persen pasien melaporkan terjadinya RAS berhubungan dengan beberapa situasi tersebut, terutama perubahan dalam kehidupan seperti masalah keluarga, pekerjaan baru, posisi baru di pekerjaan, dan lokasi tempat tinggal yang baru (Soto dkk., 2004; Kaufman, 1976; Sircus dkk., 1972, sit Gallo, 2009). Pada pasien dengan riwayat RAS, stres psikis menjadi perantara yang erat kaitannya dengan kemunculan RAS baru (Hulling dkk., 2012). Ketegangan hidup secara tidak langsung dapat mempengaruhi kondisi fisik seseorang, ketegangan hidup dapat menganggu keseimbangan sistem kekebalan tubuh sehingga menyebabkan penekanan fungsi limfosit T. Faktor psikogenik melalui saraf otonom atau saraf somatik yang
berhubungan dengan rongga mulut dapat
menyebabkan timbulnya ulkus (Earl, 2002). Penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan stres psikis dengan keparahan RAS pada pasien di klinik Oral Medicine RSGM Prof. Soedomo FKG UGM. Penelitian dilakukan di klinik Oral Medicine karena di klinik Oral Medicine banyak menangani masalah penyakit mukosa mulut termasuk RAS. Sepengetahuan penulis penelitian mengenai hubungan stres psikis dengan keparahan RAS belum pernah dilakukan sebelumnya di RSGM Prof. Soedomo FKG UGM. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah : Apakah terdapat hubungan antara stres psikis dengan keparahan RAS pada pasien di RSGM Prof. Soedomo FKG UGM?
C. Keaslian Penelitian Penelitian sebelumnya mengenai “Prevalensi Terjadinya RAS Pada Mahasiswa Sumatera Utara Yang Berpengalaman RAS” telah diteliti oleh Habakuk (2009) dengan menggunakan kuesioner RAS. Didapati hasil penelitian berupa persentase stres sebesar 30,43% terutama saat ujian sebagai salah satu faktor predisposisi RAS pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang mengalami RAS. Penelitian tentang “RAS Yang Dipicu Oleh Stres Pada Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara” telah dilakukan oleh Nisa (2011). Pada penelitian tersebut peneliti menggunakan alat ukur dengan kuesioner RAS untuk mengetahui penyebab ulkus, kuesioner Perceived Stress Scale (PSS), dan kuesioner Dental Environment Stress (DES) untuk mengetahui stres psikis. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini berupa proporsi faktor stres sebagai salah satu predisposisi RAS pada mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yaitu sebanyak 56,8%. Penelitian lain mengenai “Gambaran Stres Pada Mahasiswa Pendidikan Profesi Program Studi Kedokteran Gigi FKG Sam Ratulangi Yang Memiliki Pengalaman RAS” telah diteliti oleh Tangkilisan (2013). Pada penelitian ini peneliti menggunakan alat ukur RAS dan Perceived Stress Scale (PSS) dengan cara wawancara. Hasil yang didapatkan berupa gambaran stres pada mahasiswa pendidikan profesi Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi yang memiliki pengalaman RAS sebesar 59,7% dengan tingkat stres yang tinggi.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah di dalam penelitian ini menggunakan instrumen kuesioner Ulcer Severity Score (USS) untuk mengetahui keparahan RAS serta kuesioner Perceived Stress Scale (PSS) untuk mengetahui stres psikis yang sedang dialami subyek. Untuk memperoleh hasil apakah terdapat hubungan antara stres psikis dan keparahan RAS data dianalisis dengan menggunakan uji Korelasi Pearson apabila data terdistribusi normal dan Korelasi Spearman apabila data tidak terdistribusi normal. D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara stres psikis dengan keparahan RAS pada pasien di RSGM Prof. Soedomo FKG UGM . E. Manfaat Penelitian Penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan
tambahan
ilmu
pengetahuan, yaitu : 1. Memberikan informasi mengenai hubungan antara stres psikis dengan keparahan RAS. 2. Sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya.