BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang
Stres merupakan reaksi nonspesifik tubuh terhadap berbagai situasi yang mengancam (McEwen, 2000b). Otak merupakan organ tubuh utama yang terlibat dalam interpretasi dan respon stres. Secara fisiologis, stres mengaktifkan aksis hipothalamic-pituitary-adrenocortical (HPA) dan sistem simpatoadrenomedullaris. Pengaktifan aksis HPA menyebabkan pelepasan serangkaian hormon stres yang pada akhirnya
akan
memicu
pelepasan
glukokortikoid.
Pengaktifan
sistem
simpatoadrenomedullaris menyebabkan pelepasan katekolamin meliputi noradrenalin pada sinaps dan adrenalin dari medula adrenal (deKloet et al., 2005; Joëls et al., 2007; Chrousos, 2009). Kedua hal tersebut akan menyiapkan tubuh menghadapi situasi yang mengancam. Berbagai macam stres, baik akut maupun kronis, dapat mengakibatkan gangguan memori (McEwen, 2000a; Sapolsky, 1999; deKloet, 2005). Beberapa penelitian tentang macam stres pada model hewan coba telah dilakukan, yaitu antara lain berupa stres immobilisasi (restraint stress) kronik (Beck & Luine, 1999; Madrigal et al., 2006; Sousa et al., 2000), stres temperatur dingin (Stillman et al., 1998), stres psikologis yaitu dipapar predator berupa kucing atau musang (Mesches et al., 1999; Plata-Salaman et al., 2000) dan stres listrik (Persoons et al., 1995). Akibat yang timbul karena stres tersebut dapat berupa gangguan fungsi memori, gangguan struktur maupun molekular yang berkaitan dengan memori.
1
2
Gangguan fungsi memori akibat stres antara lain dapat berupa penurunan kemampuan pengenalan objek (Beck & Luine, 1999), gangguan menyimpan informasi, dan gangguan pengingatan kembali informasi yang disimpan (McEwen, 1999). Hippocampus, yang merupakan salah satu regio otak yang berperan penting dalam belajar dan memori, terutama fungsi konsolidasi memori, merupakan struktur yang rentan terhadap stres (McEwen, 1999). Gangguan struktur yang terlibat dalam memori akibat stres dapat berupa perubahan plastisitas struktural yaitu remodelling dendrit sel pyramidal Cornu Ammonis (CA)3 hippocampus, penekanan neurogenesis neuron granula gyrus dentatus (McEwen, 1999), atrofi sel granula dan sel pyramidal CA1 hippocampus, kehilangan sinaps, perubahan morfologi mossy fiber bagian terminal, kerusakan neuron CA1 hippocampus (Sousa et al., 2000), kematian sel pyramidal CA1 dan CA3 (Sapolsky et al., 1999; Andersen et al., 2007), degenerasi neuron CA1 hippocampus (Simonian & Coyle, 1996), kerusakan neuron kholinergik (Keller, 1998), dan atrofi dendrit di CA3 hippocampus (Sousa et al., 2000; McEwen, 1999). Pada tingkat molekuler, respon stres kronik diperantarai oleh aktivitas hormon
glukokortikoid.
Glukokortikoid
dapat
mempengaruhi
eksitabilitas,
neurokimiawi dan plastisitas sel saraf melalui perantara dua reseptor kortikosteroid, yaitu tipe I (mineralokortikoid) dan tipe II (glukokortikoid). Karakteristik reseptor kortikosteroid tersebut adalah reseptor glukokortikoid (GR) mempunyai afinitas sepuluh kali lebih kuat dibanding reseptor mineralokortikoid (MR) dan memiliki distribusi luas di otak (deKloet et al., 2005). Peningkatan kadar glukokortikoid terbukti menghambat kaskade mitogen-activated protein kinase/extracellular signalregulated protein kinase (MAPK/ERK) yang berperan dalam transkripsi berbagai
3
jenis gen (Kumamaru et al., 2011). Glukokortikoid telah terbukti dapat menurunkan fosforilasi
adenosine
3’,5’-monophosphate
(cAMP)-response
element-binding
protein (CREB) sebagai faktor transkripsi BDNF, sehingga dapat terjadi penurunan ekspresi Brain-derived Neurotrophic Factor (BDNF) (Gronli et al., 2006; Shi et al., 2010).
Protein BDNF diyakini berperan penting dalam pembentukan memori
(Cunha et al., 2010). Gangguan molekular yang terjadi akibat stres antara lain dapat berupa peningkatan kadar nitric oxide (NO) (Madrigal et al., 2006), peningkatan kadar kortikosteron darah (Mesches et al., 1999; Plata–Salaman et al., 2000), peningkatan interaksi hormon steroid dengan reseptor glukokortikoid di hippocampus (McEwen, 1999), peningkatan kadar dopamin pada cortex prefrontal (Beck & Luine, 1999; Arncten, 1998), penurunan kadar asetilkolin di hippocampus (Stillman et al., 1998), dan peningkatan kadar norepinefrin di amygdala dan hippocampus (Beck & Luine, 1999). Besarnya pemakaian oksigen dan glukosa di otak akan meningkatkan kerentanan otak terhadap stres oksidatif (Huisman et al., 2012). Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan struktur deoxyribonucleic acid (DNA), meliputi terlepasnya ikatan DNA, delesi, dan modifikasi nukleosida (Prabhulkar & Li, 2010). Salah satu produk dari oksidasi nucleosida 2’-deoxyguanosine pada struktur DNA yang sering dijadikan sebagai penanda pada stres oksidatif adalah 8-hydroxy-2'-deoxyguanosine (8-OHdG), yang mampu menggambarkan derajat terendah kerusakan oksidatif pada sel (Subash et al., 2010). Pada saat sekarang ini, banyak dikembangkan bahan alam untuk meningkatkan kecerdasan, antara lain Panax ginseng dan Ginko biloba, tetapi
4
harganya mahal dan sulit didapat. Di Indonesia, terdapat bahan alam yang murah dan mudah didapat, yaitu C. asiatica (Dalimartha, 2004), yang dikembangkan untuk mencegah gangguan memori. Centella asiatica mengandung beberapa zat kimia, antara lain terpenoid, fenol, dan alkaloid (Chong & Aziz, 2011). Kandungan terpenoid terbanyak adalah triterpenoid pentasiklik (Zheng & Qin, 2007). Derivat utamanya adalah asiatic acid, asiaticoside dan madecassoside (Orhan, 2012), yang berperan sebagai bahan aktif yang dapat menembus sawar darah otak (Sudarsono et al., 2002) dengan cara menurunkan permeabilitas membran (Krishnamurthy et al., 2009). Kandungan fenol terbanyak adalah flavonoid (Chong & Aziz, 2011), yang merupakan antioksidan utama dan paling banyak dijumpai pada daun daripada bagian tumbuhan yang lain (Zainol et al., 2003). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa C. asiatica dapat meningkatkan daya ingat dan kecerdasan (Zheng & Qin, 2007). Hal tersebut diduga karena C. asiatica mengandung faktor neurotrofik dan neuroprotektif. Faktor neurotrofik adalah faktor yang dapat menginduksi ketahanan sel (Hempstead, 2006), menstimulasi pertumbuhan sel saraf dan meningkatkan kompleksitas antar saraf (Jones et al., 2005), meningkatkan fungsi neuron (Reichardt, 2006), serta meningkatkan perbaikan akson (Soumyanath, 2005). Faktor neuroprotektif adalah faktor yang memberikan perlindungan kepada neuron terhadap degenerasi dan apoptosis, mencegah kematian sel-sel saraf (Mook-Jung et al., 1999) dan proteksi terhadap stres oksidatif (Hussin et al., 2007). Centella asiatica memiliki efek neuroprotektif terhadap stres oksidatif dengan cara menurunkan kadar kortikosteron
5
plasma dan radikal bebas intraseluler (Subathra et al., 2005) serta meningkatkan ekspresi protein BNDF dan neurotransmiter monoamin di otak (Xu et al., 2013). Centella asiatica dapat dipergunakan untuk meningkatkan daya ingat dan konsentrasi pada anak yang mengalami retardasi mental, meningkatkan short term memory, dan meningkatkan kemampuan belajar melalui aksi nootropik yang melibatkan modulasi kolinergik dan gamma-aminobutyric acidergic (GABA-ergik). Diperkirakan peningkatan memori disebabkan oleh penurunan pengubahan monoamin sentral, melibatkan norepinephrine dan sistem 5-hydroxytryptamine (5-HT) pada proses belajar dan memori (Ramasamy, 2005). Kandungan asiatic acid mampu mencegah apoptosis sekaligus menghambat produksi Reactive Oxygen Species (ROS) dan Nitric Oxide (NO) (Zhang et al., 2012), mempercepat regenerasi akson serta meningkatkan pertumbuhan neurit (Soumyanath
et
al.,
2005).
Sedangkan
kandungan
madecassoside
dapat
meningkatkan ekspresi protein BDNF (Xu et al., 2013). Flavonoid terbukti dapat menghambat peroksidasi lipid pada stres oksidatif (Haleagrahara & Ponnusamy, 2010). Kandungan terpenoid dan fenol diyakini memiliki efek antioksidan (Subathra et al., 2005) dan antiapoptosis (Omar et al., 2011).
Ekstrak C. asiatica dapat
meningkatkan kadar enzim antioksidan (Kumar et al., 2009) serta menghambat NO (Hussin et al., 2007). Ekstrak air C. asiatica menghambat oksidasi lipid dan protein, sekaligus meningkatkan aktivitas antioksidan enzimatis, seperti glutathione S-transferase (GST), superoksid dismutase (SOD) dan katalase (CAT) (Subathra et al., 2005; Hussin et al., 2007). Aktivitas enzim antioksidan ekstrak etanol C. asiatica lebih tinggi daripada ekstrak air (Hamid et al., 2002).
6
Asiatic acid dan asiaticoside
mampu mengurangi jumlah apoptosis dan
mengurangi kadar radikal bebas intraselular (Mook-Jung et al., 1999). Asiaticoside melakukan peran neuroprotektif dengan cara menstabilkan kalsium intraseluler, menurunkan ROS dan mencegah penurunan mitochondrial membrane potential (MMP) sehingga dapat menurunkan jumlah apoptosis neuron. Penelitian yang dilakukan oleh Berman (2003) menunjukkan bahwa pemberian fraksi triterpenoid total secara kronik dapat meningkatkan konsentrasi puncak dalam plasma dan memperpanjang waktu paruh senyawa tersebut pada manusia. Pada uji toksisitas, ekstrak alkohol C. asiatica tidak menunjukkan adanya toksisitas hingga dosis 350 mg/kgBB saat diberikan secara intraperitoneal pada tikus (Bhavan, 1992). Ekstrak etanol C. asiatica mampu meningkatkan sintesis neurotransmiter yang terlibat dalam proses belajar dan memori seperti asetilkolin, noradrenalin, serotonin dan dopamin. Pemberian jus C. asiatica dengan dosis 4 ml/kgBB/hari dan 6 ml/kgBB/hari selama 4 dan 6 minggu menunjukkan peningkatan arborisasi dendritik neuron CA3 hippocampus pada tikus neonatus (Rao et al., 2006). Pembentukan memori melibatkan perubahan jangka pendek pada struktur elektrik otak serta perubahan jangka panjang yang melibatkan struktur pada sinaps. Perubahan jangka pendek meliputi terbentuknya long term potentiation (LTP) sedangkan perubahan jangka panjang yang melibatkan morfologi otak meliputi pertumbuhan neuropil dan sinaptogenesis (Yamada et al., 2002). Salah satu faktor yang berperan dalam proses LTP adalah BDNF, yang merupakan anggota dari famili neurotrophin, yang juga meliputi neural growth factor (NGF), neurotrophin-3 (NT3), serta neurotrophin-4/5 (NT-4/5) (Yamada et al., 2003). Pada penelitian yang dilakukan Patterson et al. (1996) yang menggunakan tikus mutan yang tidak
7
menghasilkan BDNF, maka proses LTP-nya akan mengalami gangguan, namun kerusakan ini dapat ditolong dengan pemberian BDNF rekombinan. BDNF merupakan famili neurotrophin yang berperan penting dalam proliferasi, diferensiasi dan kelangsungan hidup sel saraf (Bekinschtein et al., 2008). BDNF terlibat dalam pertumbuhan neurit, transmisi sinaps serta sintesis neurotransmiter dengan berikatan pada tropomyosin-receptor kinase B (TrkB) (Binder & Scharfman, 2004). Ekspresi BDNF pada otak paling banyak ditemukan di hippocampus (Bekinschtein et al., 2008). Beberapa bukti mendukung peran BDNF dalam proses belajar dan pembentukan memori. Terdapat korelasi yang baik antara ekspresi messenger ribonuclei acid (mRNA) BDNF dengan performa perilaku menggunakan berbagai macam uji memori dan belajar. Sehingga, proses belajar yang terutama melibatkan hippocampus, seperti uji Morris water maze, berhubungan dengan perubahan pada ekspresi mRNA BDNF pada hippocampus (Yamada et al., 2002). Suatu penelitian yang menggunakan infus oligonukleotida antisens BDNF intraserebrovaskular secara kontinu untuk menghambat sintesis BDNF pada tikus ternyata menimbulkan penurunan fungsi pada uji maze radial. Hal ini menunjukkan pentingnya sintesis BDNF dalam proses pembentukan memori spasial, begitu juga dengan retensi memori serta recall (Mizuno et al., 2000). Beberapa penelitian yang menghubungkan antara pengaruh stres terhadap kadar dan ekspresi BDNF pada tikus memunculkan hasil yang berbeda-beda. Stres, baik akut maupun kronik, mempengaruhi sintesis BDNF di otak. Stres akut dapat meningkatkan ekspresi protein BDNF (Bland et al., 2007; Molteni et al., 2001), sedangkan pada stres kronik menurunkan ekspresi protein BDNF (Gronli et al.,
8
2006; Shi et al., 2010). Pada penelitian lain didapatkan peningkatan signifikan protein dan mRNA BDNF pada hippocampus tikus usia muda dan tua dengan induksi stres akut, sedangkan stres ringan berulang yang kronik dapat menimbulkan penurunan ekspresi protein dan mRNA BDNF pada hippocampus kedua kelompok umur tikus (Shi et al., 2010). Sedangkan penelitian lain menyebutkan jika tikus dipaparkan pada stres ringan kronis maka ekspresi BDNF pada gyrus dentatus mengalami penurunan sedangkan pada bagian hippocampus lain tidak mengalami penurunan (Gronli et al., 2006). BDNF berperan penting dalam proses belajar dan pembentukan memori, namun kemampuan BDNF untuk melewati sawar darah-otak adalah rendah. Hal ini menyebabkan sulitnya pemanfaatan protein BDNF sebagai neuroprotektor (Allen & Dawbarn, 2006).
Akhir-akhir ini tengah dikembangkan antioksidan alami pada
pengobatan tradisional dan modern, yang mempunyai kandungan antioksidan yang tinggi (Zainol et al., 2003), mengandung faktor neurotrofik dan neuroprotektif, dan mempunyai kemampuan melewati sawar darah-otak (Krishnamurthy et al., 2009) yaitu C. asiatica (Mitra et al., 2007). Penelitian mengenai pengaruh C. asiatica dalam mengatasi gangguan memori telah banyak dilakukan, namun apakah C. asiática bekerja melalui jalur peningkatan kadar BDNF, belum diketahui. Selain itu, sampai saat ini belum ditemukan penelitian yang mengkaji beberapa aspek (fungsional, struktural, imunohistokimiawi dan immunoassay) secara komprehensif mengenai bagaimanakah sebenarnya mata rantai proses pengaruh C. asiatica terhadap memori pascastres. Selain itu, oleh karena BDNF tidak hanya diekspresikan di otak tetapi juga di organ lain, maka perlu dilakukan pengukuran kadar BDNF serum dan kadar BDNF hippocampus.
9
I.2. Perumusan Masalah
Sejauh ini sudah dilakukan penelitian-penelitian mengenai Centella asiatica dan memori. Namun demikian masih ada yang belum diungkapkan, yaitu kajian komprehensif perubahan struktural, fungsional dan molekular pemberian Centella asiatica terhadap memori pascastres kronis. Stres, baik akut maupun kronik, dapat mengakibatkan gangguan memori. Gangguan memori yang terjadi
dapat berupa gangguan fungsional (misalnya
penurunan fungsi memori spasial), gangguan struktural (misalnya kerusakan neuron), maupun molekular (perubahan ekspresi BDNF dan NO). Centella asiatica merupakan salah satu bahan alam yang dikembangkan untuk mencegah gangguan memori pascastres. Berdasarkan tinjauan pustaka, latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka dapat diajukan masalah sebagai berikut: 1. Apakah
ekstrak etanol daun C. asiatica meningkatkan memori spasial
pascastres? 2. Apakah ekstrak etanol daun C. asiatica meningkatkan BDNF serum pascastres? 3. Apakah ekstrak etanol daun C. asiatica meningkatkan BDNF hippocampus pascastres? 4. Apakah ada hubungan antara kadar BDNF dengan memori spasial pascastres? 5. Apakah ada hubungan antara kadar NO serum dengan memori spasial pascastres?
10
I.3. Tujuan Penelitian
I.3.1. Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji efek neurotrofik dan neuroprotektif ekstrak etanol daun C. asiatica terhadap memori spasial, kadar BDNF dan Nitric Oxide pada tikus pascastres listrik kronik.
I.3.2. Tujuan khusus Tujuan Khusus penelitian ini adalah untuk: 1. Mengungkapkan efek neuroprotektif ekstrak etanol daun C. asiatica terhadap memori spasial pascastres 2. Mengungkapkan efek neuroprotektif ekstrak etanol daun C. asiatica terhadap kadar BDNF serum pascastres 3. Mengungkapkan efek neuroprotektif ekstrak etanol daun C. asiatica terhadap kadar BDNF hippocampus pascastres 4. Mengungkapkan hubungan antara kadar BDNF dengan memori spasial pascastres 5. Mengungkapkan hubungan antara kadar NO serum dengan memori spasial pascastres
11
I.4. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai efek terapetik C. asiatica telah banyak dilakukan, antara lain kajian: pengaruh pemberian C. asiatica terhadap kognisi dan neurogenesis pada tikus neonatus (Rao et al., 2005; Soumyanath et al., 2005), efek protektif C. asiatica terhadap neurotoksisitas (Mook-Jung et al., 1999) dan stres oksidatif (Kumar & Gupta, 2003), efek C. asiatica terhadap neurogenesis yaitu peningkatan yang signifikan pada panjang dendritik dan titik percabangan dendritik dari dendrit apikal dan basal pada CA3 hippocampus tikus dewasa (Gadahad et al., 2008). Penelitian pengaruh stres berulang selama 21 hari terhadap hippocampus menunjukkan stres menyebabkan perubahan morfologis CA3 hippocampus berupa atrofi dendritik neuron pyramidal (Magarinos et al., 1996) dan paparan stres yang bersifat kronik dalam jangka panjang akan menyebabkan kematian neuron CA1 dan CA3 di tikus dan hewan menyusui sehingga akan berakibat penurunan kemampuan memori (Andersen et al., 2007).
Pengaruh paparan stres listrik kronik selama 40 hari
terhadap kadar BDNF dan ekspresi protein TrkB, serta ekspresi protein extracellular signal-regulated protein kinase (ERK)1/2 dan Akt sebagai downstream signaling BDNF di hippocampus pada tikus putih, hasilnya menunjukkan adanya penurunan kadar BDNF dan ekspresi protein TrkB, serta ERK1,2 dan Akt di hippocampus (Banerjee et al., 2012). Penelitian yang mirip dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh 1). Rao et al.(2007) yang mengkaji tentang pemberian C. asiatica terhadap memori. Perbedaannya, pada penelitian tersebut dosisnya 2,4, dan 6 ml/kg dari daun segar, durasi pemberiannya 2, 4 dan 6 minggu dan uji memorinya menggunakan uji
12
T- Maze, 2). Penelitian Luo et al. (2014) tentang neuroprotektif C. asiatica terhadap stres dan level NO. Perbedaannya, pada penelitian tersebut dosisnya 6, 12 dan 24 mg/kg, pemberiannya intra vena, dan stres berupa focal cerebral ischemia reperfusion injury, pemeriksaan nitric oxidenya memakai metode (Reverse transcription-polymerase chain reaction) RT-PCR, 3). Penelitian Aleisa et al. (2006) tentang stres, BDNF hippocampus dan memori spasial. Perbedaannya, pada penelitian tersebut stres yang digunakan adalah stres psikososial, metode pengukuran BDNF dengan Western Blot dan memori diukur menggunakan uji elektrofisiologis, dan 4). Penelitian Xu et al.( 2013) tentang C. asiatica dan BDNF. Perbedaannya, pada penelitian tersebut yang diberikan adalah madecassoside, salah satu komponen C. asiatica, dosisnya 1 ml/kg, dan BDNF yang dianalisis adalah BDNF dari striatum saja. Pada penelitian ini dilakukan pengkajian secara komprehensif tentang efek neurotrofik dan neuroprotektif ekstrak etanol daun C. asiatica terhadap tampilan memori spasial, kadar BDNF serum, kadar BDNF hippocampus dan kadar NO serum pada tikus pascastres listrik kronik. Tampilan memori yang diukur pada penelitian ini adalah akuisisi memori dan retensi memori. Tampilan akuisisi memori spasial dinilai dengan metode hidden platform test dengan menggunakan alat uji Morris Water Maze dengan parameter escape latency test berdasarkan waktu, jarak dan kecepatan tikus dalam mencapai platform, sedangkan tampilan retensi memori dinilai dengan menggunakan metode probe test, berdasarkan parameter persentase waktu dan persentase panjang lintasan berada pada kuadran target. Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran kadar BDNF serum secara serial, kadar BDNF retroorbital, kadar BDNF hippocampus, dan kadar NO serum tikus dengan metode
13
semikuantitatif enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Pengukuran kadar BDNF serum serial pada tikus dilakukan sebelum dan setelah uji water maze serta sebelum dan setelah pemberian Centella asiatica pascastres listrik, sedangkan pengukuran kadar BDNF retroorbital, kadar BDNF hippocampus dan kadar NO serum tikus dilakukan pada akhir penelitian setelah tikus diterminasi. Selain itu pada penelitian ini juga dilakukan pemeriksaan immunohistokimiawi 8-OHdG di hippocampus tikus, untuk mengetahui lokasi sel yang immunoreaktivitas positif terhadap substansi tersebut di hippocampus.
I.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi dunia ilmu pengetahuan kedokteran, neuropsikobiologi,
dan
khususnya dalam bidang neuroanatomi,
neurofarmakologi
mengenai
efek
neurotrofik
dan
neuroprotektif C. asiatica terhadap memori.
I.5.2. Manfaat praktis Penerapan penggunaan C. asiatica sebagai neuroprotektor dalam pencegahan maupun pengobatan kemunduran memori karena stres kronis. Centella asiatica, yang memiliki efek antioksidan tinggi, diharapkan dapat dikembangkan sebagai obat herbal terstandar dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.