14
BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis merupakan harapan bagi semua orangtua yang sudah menantikan kehadiran anak dalam kehidupan perkawinan mereka. Anak yang lahir sebagai anggota baru dalam keluarga membawa harapan baru bagi kedua orangtua. Namun terkadang kenyataan tidak sesuai dengan harapan orang tua. Anak bisa mengalami berbagai macam kekurangan atau keterbatasan fisik dan psikis pada saat baru lahir yang tidak bisa ditentukan oleh manusia. Orang awam lebih sering menyebutnya sebagai anak cacat. Istilah lain darinya adalah anak berkebutuhan khusus. Anakanak berkebutuhan khusus ini bisa mengalami salah satu gangguan atau ketunaan dan
bisa
juga
mengalami
beberapa
gangguan
(tunaganda).
Menurut
Manggungsong (2009) bahwa gangguan atau ketunaan yang biasanya dialami anak sebagai berikut gangguan fisik (tunadaksa), emosional dan perilaku, kesulitan belajar (tunalaras), mental retardasi (tunagrahita), gangguan penglihatan (tunanetra) dan gangguan pendengaran (tunarungu). Lowell dan Pollack (dalam Herward, 1995) menyatakan bahwa ketika baru lahir, anak-anak mempelajari suatu hal melalui pendengaran mereka. Anak yang baru lahir dapat merespon suara dengan terkejut dan mengedipkan mata. Beberapa minggu selanjutnya bayi dengan pendengaran normal dapat mendengar suara yang pelan, mengenali suara orang tuanya, dan memperhatikan degukan dan ocehannya sendiri. Pada tahun pertama kehidupan, bayi mendapatkan banyak
Universitas Sumatera Utara
15
informasi melalui pendengaran, mereka membedakan suara yang mempunyai makna dari suatu keributan, mengetahui arah datangnya suara dan meniru suara. Napierkowski (dalam Herward, 1998) menyatakan dengan seiring perkembangan pendengaran anak, mereka mengembangkan bahasa saat mendengarkan orang berbicara, dan menghubungkan suara ini dengan aktivitas dan peristiwa yang tak terkira banyaknya. Mereka memberikan makna melalui suara, dengan cepat mempelajari apa informasi yang disampaikan oleh orang lain dan menukar pikiran dan perasaan mereka dengan berbicara dan mendengar. Pada saat anak mulai masuk sekolah, dia biasanya memiliki kosakata lebih dari 5000 kata. Dan anak diharapkan sudah mempunyai 100 juta kontak yang bermakna dengan bahasa. Gangguan pendengaran (hearing impairment) atau di Indonesia dikenal dengan istilah tunarungu atau tuli merupakan salah satu gangguan pada alat indera yaitu telinga. Menurut data Kementerian Sosial pada tahun 2006 (data pusdatin) mencatat bahwa terdapat 295.763 anak dengan kecacatan. Jenis kecacatan yang banyak terjadi adalah tunadaksa (35,8%); tunanetra (17%); tunarungu (14,27%); tunagrahita (12,15%) dan lain lain (kurang dari 7%) (dalam Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Menurut Mores (dalam Mangunsong, 2009) ketunarunguaan adalah suatu kondisi dimana individu tidak mampu mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian lain baik dalam derajat frekuensi ataupun intensitas. Definisi yang kuantitatif secara khusus menunjuk pada gangguan pendengaran sesuai dengan hilangnya pendengaran yang dapat diukur dengan alat audiometri. Audiometri merupakan alat yang dapat mengukur seberapa jauh seseorang dapat
Universitas Sumatera Utara
16
mendengar atau seberapa besar hilang pendengaran dan ditunjukkan dalam satuan desibel (Db). Heward (1998) menyatakan bahwa fungsi pendengaran merupakan sesuatu hal yang sangat penting bagi anak di tahun pertama kehidupan mereka untuk menerima dan mempelajari informasi. Pendengaran merupakan hal yang penting untuk setiap aspek dari kehidupan sehari-hari kita. Jika tidak mendengar, akan menjadi sulit untuk berpartisipasi secara penuh dalam aktivitas di sekolah, pekerjaan, tetangga, teman, bahkan dengan keluarga sendiri. Selain itu juga, gangguan pendengaran bisa juga mempengaruhi perilaku dan perkembangan sosial emosional anak. Penelitian yang tersedia tidak begitu jelas mengambarkan pengaruh dari kehilangan pendengaran terhadap perilaku. Namun hal ini muncul bahwa anak yang tunarungu akan sukses berinteraksi dengan anggota keluarga, teman, dan orang-orang dalam komunitas bergantung pada perilaku orang lain dan kemampuan anak dalam berkomunikasi secara timbal balik dengan cara yang bisa diterima. Mangunsong
(2009)
menyatakan
bahwa
anak
dengan
gangguan
pendengaran (tunarungu) seringkali menimbulkan masalah tersendiri. Masalah utama pada anak dengan gangguan pendengaran adalah masalah komunikasi. Ketidakmampuannya untuk berkomunikasi berdampak luas, baik pada segi keterampilan bahasa, membaca, menulis, maupun penyesuaian sosial, serta prestasi sekolahnya. Namun demikian apabila dicermati, sebenarnya bukan hanya aspek-aspek
itu
saja
yang
terpengaruh,
melainkan
seluruh
aspek
perkembangannya dan aspek kehidupannya juga terpengaruh. Penderitaan anak tunarungu berpangkal dari kesulitannya mendengar, sehingga pembentukan
Universitas Sumatera Utara
17
bahasa sebagai salah satu cara komunikasi menjadi terhambat. Dengan ketidakmampuan berbahasa, khususnya secara verbal, anak akan mengalami kesulitan dalam menyampaikan pikiran, perasaan, gagasan, kebutuhan dan kehendaknya pada orang lain, sehingga kebutuhan mereka tidak terpuaskan secara sempurna. Disamping tidak dimengerti oleh orang lain, anak tunarungu pun sukar memahami orang lain, sehingga tidak jarang mereka merasa terkucil atau terisolasi dari lingkungan sosialnya. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh TH, seorang pengajar di TKLB Santi Rahma, Jakarta: “Anak tunarungu memiliki kesulitan dalam bersosialisasi karena ketidakmampuan berbahasa mereka yang menyebabkan mereka menjadi sulit untuk berkomunikasi ain itu, mereka lebih terkesan emosian.” (Komunikasi personal, 6 April 2013). Goldstein (2005) menyatakan bahwa emosi merupakan pengalaman subjektif. Namun, tentu saja anak-anak yang memiliki gangguan pendengaran digambarkan bahwa mereka lebih sering memakai emosi negatif dibandingkan anak-anak lainnya. Emosi negatif yang ada pada anak tunarungu baik yang kategori severe, profound, atau mild adalah rasa marah yang menunjukan tandatanda seperti frustasi, temper, keras kepala dan bisa juga menjadi menarik diri. Hal ini seperti yang juga dinyatakan oleh S yang menyatakan bahwa: “Kebanyakan anak tunarungu pada saat awal datang mereka terkesan sangat aktif, karena memang susah untuk diberitahu. Karena mereka tidak mendengar dan tidak mengerti tadi sehingga mereka melakukan sesuka hari. Dengan anak yang normal bisa berhenti jika disuruh berhenti. Mereka juga suka emosional kebanyakan mereka pemarah karena merasa tidak dimengerti lingkungannya. Bukan pemalu bukan apa, ada memang tapi kebanyakan yang saya lihat lebih kebanyakan pemarah (Komunikasi personal, 30 Maret 2013).
Universitas Sumatera Utara
18
Menurut Roternberg & Eisenberg (dalam Papalia, 2008) kontrol terhadap emosi negatif merupakan salah satu aspek pertumbuhan emosional. Anak-anak belajar tentang apa-apa yang membuat mereka marah, takut, sedih, dan bagaimana orang lain bereaksi dalam menunjukan emosi ini, dan mereka belajar mengadaptasikan perilaku mereka dengan emosi-emosi tersebut. Mereka juga belajar perbedaan antar emosi dan mengekspresikannya. Bryant (1987) menyatakan pada pertengahan masa kanak-kanak, anakanak menyadari dengan baik aturan penampilan emosional kultur mereka. Emosional kultur semacam ini dikomunikasikan melalui reaksi orangtua terhadap penunjukan ekspresi oleh anak. Orangtua yang mengakui dan melegitimasi perasaan tertekan anak mendorong perkembangan empati dan prososial. Sementara itu menurut pendapat Fabes, Leornard, Kupenoff, & Martin (2001) ketika orangtua menunjukan ketidaksetujuan, atau menghukum, emosi negatif, emosi tersebut bisa jadi semakin intens ditunjukkan dan dapat merusak penyesuaian
sosial
anak.
Atau
anak
tersebut
mungkin
belajar
untuk
menyembunyikan emosi negatif tetapi bisa menjadi cemas dalam situasi yang membangkitkan emosi tersebut (dalam Papilia, 2008). Gross (2007) juga menyatakan bahwa pemahaman anak dalam mengembangkan regulasi emosi dipengaruhi oleh input dari pengasuh atau orangtua. Orangtua yang menunjukkan dukungan ketika anak mengalami emosi negatif, mengajarkannya untuk mengatasi perasaan tersebut, yang akan membuat anak mengembangkan pemahamannya akan pengalaman emosi dan berdampak pada regulasi diri yang efektif. Regulasi emosi bisa didukung dan diganggu oleh bagaimana orang lain mengevaluasi perasaan seseorang. Respon simpati, respon
Universitas Sumatera Utara
19
yang membangun menegaskan bahwa perasaan seseorang itu sesuai dan memberikan sumber dukungan sosial yang membantu dalam coping melalui pemahaman dan nasehat yang diberikan oleh orang lain. Tetapi penolakan, kritikan, atau respon meremehkan bisa menambah stress sebagai hambatan dari regulasi emosi. Khususnya terjadi pada emosi-emosi negatif, ketika kritikan dan reaksi untuk mengukum mengandung pesan implisit untuk mengabaikan kesesuaian antara perasaan atau ekspresi mereka. Gotman dan kawan-kawan (dalam Cortell, 2009) menyatakan bahwa pikiran dan perasaan orangtua mengenai emosi yang mereka alami sendiri sama halnya juga dengan dunia emosi dari anak-anak mereka. Dari hal ini lah, Gottman mengidentifikasi filosofi-filosofi yang berbeda bahwa orangtua bisa memiliki pengaruh terhadap emosi-emosi anak. Mendengar pandangan para orangtua mengenai strategi-strategi yang mereka gunakan untuk membantu anak mereka mengatur emosi membuat Dr. Gottman mengindentifikasi “emotion coaching”. Emotion coaching adalah suatu strategi bagi para orangtua atau pengasuh yang bisa digunakan untuk anak-anak dan para remaja. Dalam emotion coaching, orangtua tidak hanya berespon merenungi terhadap emosi-emosi anak mereka dan mencontohkan sebagai suatu pendekatan terhadap emosi melalui kesadaran, ekspresi, dan juga modulasi dari emosi-emosi mereka sendiri; mereka juga secara aktif dan berperan secara nyata dalam mengarahkan pendekatan terhadap emosiemosi anak dengan membicarakan mengenai dengan anak-anak mereka dan bekerjasama untuk memecahkan masalah-masalah yang menyangkut emosi. Parental emotional coaching
merupakan suatu teknik yang ditujukan
kepada orangtua agar mereka bisa menjadi pelatih emosi bagi anak saat
Universitas Sumatera Utara
20
menunjukkan emosi negatif. Bagaimana orangtua bisa menyikapi emosi negatif anak tanpa adanya pengabaian terhadap emosi negatif tersebut. Namun, bisa memberikan suatu pelajaran saat anak sedang mengalami emosi negatif sebagai suatu cara untuk mengikutsertakan anak dan mengajari mereka mengenai emosiemosi. Penerimaan orangtua akan ekspresi emosi berhubungan dengan kesadaran akan emosi dan kemampuan untuk berbicara mengenai emosi dan intensitas emosi. Gottman et al (dalam Cook, 2004) menemukan bahwa orangtua memiliki kesadaran emosi yang tinggi cenderung memandang emosi positif dan emosi negatif sebagai bagian dari hidup dan percaya bahwa ketika emosi negatif dengan intensitas rendah dihadapi akan mencegah meningkatnya emosi ke intensitas yang lebih tinggi. Sebaliknya, orangtua dengan kesadaran emosi yang rendah cenderung meminimalisir atau menghindari emosi negatif. Mereka cenderung memandang
kesedihan
dan
kemarahan
anak
sebagai
kejadian
yang
menyusahakan. Program parental emotional coaching dianggap bisa membantu orangtua atau pengasuh mempelajari untuk menilai rentang emosi, seperti kebahagian atau kesedihan. Tujuan dari program ini bagaimana orangtua bisa membantu anak dalam
memecahkan
masalah
yang
menjadi
penyebab
kesedihan/kemarahan/kekecewaan pada anak. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui efektifitas parental emotional coaching untuk meningkatkan kemampuan orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak tunarungu sehingga penelitian ini diberi judul “Parental Emotional Coaching
Universitas Sumatera Utara
21
Untuk Meningkatkan Kemampuan Dalam Menghadapi Emosi Negatif Anak Tunarungu”
I. B.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan
dalam penelitian ini adalah apakah program parental emotional coaching dapat meningkatkan kemampuan orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak tunarungu.
I. C. Tujuan Penelitian I. C. 1. Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil dari program parental emotional coaching yang dilakukan kepada orangtua bisa meningkatkan kemampuan mereka dalam menghadapi emosi negatif anak tunarungu. I. C.2. Tujuan khusus Penelitian ini memiliki tujuan khusus yaitu agar orangtua yang sudah mengikuti parental emotional coaching dapat memiliki kemampuan problem focused reaction saat harus menghadapi emosi negatif anak tunarungu.
I. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : I. D. 1. Manfaat teoritis penelitian a. Penelitian ini diharapkan menjadi masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu psikologi terutama di bidang psikologi perkembangan, klinis
Universitas Sumatera Utara
22
anak, pendidikan khususnya mengenai emosi pada anak tunarungu dan peran serta orangtua untuk membantu menghadapi emosi negatif pada anak tunarungu. b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan dasar pengetahuan dan masukan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan mengenai anak tunarungu, emosi, regulasi emosi pada anak tunarungu dan program parental emotional coaching.
I . D. 2. Manfaat praktis penelitian a. Penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat luas khususnya ibu yang memiliki anak tunarungu untuk bisa memahami dan mengatasi emosi-emosi negatif yang muncul pada anak. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi orang tua yang memiliki anak tunarungu agar berperan aktif untuk meningkatkan kemampuan orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak. c. Penelitian ini hendaknya dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai efektifitas parental emotional coaching.
Universitas Sumatera Utara
23
I. E. Sistematika Penulisan BAB I
: Pendahuluan: dalam bab ini terdiri dari uraian tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penelitian.
BAB II
: Tinjauan Pustaka: di dalam bab ini dijelaskan beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tunarungu, emosi, parental emotional coaching.
BAB III
: Metode Penelitian: di bab ini akan dijelaskan metode yang akan digunakan dalam penelitian, metode pengumpulan data, subjek penelitian serta lokasi penelitian, prosedur penelitian dan tahap pelaksanaan penelitian dan metode analisa data
BAB IV
: Pelaksanaan dan Hasil Intervensi: peneliti akan menguraikan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan penelitian serta pembahasannya.
BAB V
: Kesimpulan dan Saran: Menjelaskan kesimpulan yang telah diperoleh saat melakukan penelitian serta saran-saran metodologis dan praktis.
Universitas Sumatera Utara