I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan” (Kementrian Keuangan, 2011). Visi pembangunan tersebut kemudian dijadikan landasan bagi pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut antara lain adalah percepatan pembangunan daerah tertinggal dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Upaya melaksanakan kebijakan tersebut adalah dengan membentuk Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (Kementrian PDT) yang dalam Perpres No. 9 tahun 2005 memiliki tugas pokok dan fungsi membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah tertinggal. Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal dilakukan mengingat masih banyaknya kabupaten yang masuk kategori sebagai daerah tertinggal, yakni sebesar 40,39 % (183
kabupaten) dan masih banyaknya penduduk kabupaten
tertinggal yang masuk kategori miskin. Data empiris menunjukkan bahwa pada tahun 2008, masih terdapat lebih dari 34 juta (15,1 %) penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS, 2008). Dari sejumlah penduduk miskin 66,26 % berlokasi di wilayah kabupaten yang tergolong maju dan 33,74 % penduduk miskin berlokasi di wilayah kabupaten tertinggal (Gambar 1.1). Gambar 1.1 juga memperlihatkan kondisi bahwa pulau dengan persentase jumlah penduduk miskin yang tinggal di wilayah kabupaten tertinggal terbanyak adalah Pulau Sumatera dan Jawa yang tercatat memiliki persentase jumlah penduduk miskin di kabupaten tertinggal masing-masing sebesar 9,39 % dan 8,68 %. Kenyataan bahwa masih cukup banyaknya penduduk miskin yang berlokasi di wilayah kabupaten tertinggal ini sangatlah ironis, hal ini menimbulkan dugaan awal bahwa kemiskinan yang terjadi di kabupaten tertinggal ini dapat dikategorikan sebagai kemiskinan yang kronis (chronic poverty). Dugaan ini cukup beralasan mengingat berbagai keterbatasan dan keterbelakangan daerah tertinggal jika
2 dibandingkan dengan daerah lain yang tergolong maju, diantaranya rendahnya kualitas sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, rendahnya kualitas maupun kuantitas infrastruktur, dan letak geografis yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan sehingga menyebabkan akses penduduk menjadi terbatas.
Sumatera (9,39%) Jawa (8,68%)
Kab. Tertinggal 33,74%
Bali&NT (5,59%) Kalimantan Sulawesi (5,00%) Maluku (1,34%)
Kab. Maju 66,26%
Papua (2,28%)
Sumber : BPS (2008), diolah
Gambar 1.1. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Maju dan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2008 Kemiskinan di kabupaten tertinggal ini semakin kronis apabila diikuti oleh rendahnya output maupun pertumbuhan ekonomi wilayah kabupaten tertinggal. Data empiris menunjukkan bahwa meskipun tiap tahunnya rata-rata produk domestik regional bruto (PDRB) kabupaten tertinggal baik di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) tiap tahunnya mengalami kenaikan, namun besaran nominalnya masih di bawah capaian rata-rata nasional (Gambar 1.2.). Gambar 1.2 juga menunjukkan bahwa pada tahun 2009, rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KBI hanya sebesar Rp 1.997,05 juta atau hanya sekitar 42,23 persen dari rata-rata nasional, sedangkan rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KTI hanya sebesar Rp 1.189,09 juta atau sekitar 25,14 persen dari rata-rata nasional. Perbedaan yang cukup signifikan dari rata-rata
3 TI dan rata--rata nasionnal mengindikasikan bahwa b di output anttara wilayaah KBI, KT Indonesia masih terrjadi ketimppangan pem mbangunann ekonomi yang cuku up besar antarwilayyah.
500 00 450 00 400 00 350 00 300 00 250 00 200 00 150 00 100 00 50 00 0 20 006
2007 KBI
KTI
200 08
2009
Nasionaal
Sumber: BPS (2010),, diolah
Gambarr 1.2. Perbandingan Rata-Rata R P PDRB Kab bupaten Teertinggal dii ngan Rata--Rata PDR RB Nasionall Wilayyah KBI daan KTI den Ketimpangan pembanguna p an ekonomii tersebut juuga diikuti dengan d ketim mpangan pendapataan rumahtanngga. Hal inni terlihat daari masih tin ngginya kettimpangan distribusi d pendapataan masyarak kat di Indoonesia, yangg tercerminn dari angkka indeks gini g yang masih cukkup besar dan d menunjjukkan tren kenaikan untuk u periodde 2004-20 007. Pada tahun 20009, angka in ndeks gini Inndonesia addalah sebesaar 0,36 dimaana menuruut Todaro dan Smithh (2006) anngka ini suudah tidak lagi menceerminkan diistribusi penndapatan masyarakaat yang relaatif merata. Kondisi keetimpangan yang mem miliki kecend derungan untuk menningkat tiapp tahunnyaa perlu diw waspadai terrkait dengann potensiny ya dalam meningkattkan angka kemiskinan n.
4
0,39 0,38 0,37 0,36 0,35 0,34 0,33 0,32 0,31 0,3 0,29
0,38 0,37 0,36
0,36 0,34
0,33
0,32 0,32
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Sumber: BPS (2009a), diolah Gambar 1.3. Perkembangan Indeks Gini di Indonesia, Tahun 2002-2009 Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan ketimpangan dioperasionalisasikan pada berbagai program bantuan. Hal tersebut merupakan stimulus bagi daerah tertinggal untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan adanya pemerataan pendapatan. Salah satu
bantuan
stimulus
tersebut
adalah Program Percepatan Pembangunan
Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilakukan oleh Kementrian PDT sejak Tahun 2006. Program dan instrumen ini dimaksudkan untuk membantu kabupaten tertinggal agar dapat menjadi kabupaten yang terbuka dan mampu berinteraksi dengan “dunia luar” sehingga akses ke berbagai faktor produksi menjadi semakin mudah untuk dijangkau, yang pada gilirannya dapat membuka peluang semakin bergeraknya perekonomian kabupaten tertinggal. Upaya mendorong perekonomian kabupaten tertinggal dan mengentaskannya dari ketertinggalan yang telah dilakukan Kementrian PDT melalui instrumen P2IPDT ini sudah cukup tepat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Aziz (1994) bahwa untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya, terdapat beberapa alternatif pengembangan suatu daerah. Alternatif tersebut dapat berupa investasi yang langsung diarahkan pada sektor produktif atau investasi pada bidang social overhead, seperti
5 pembangunan jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan prasarana infrastruktur lainnya. Studi terdahulu menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur baik berupa sarana dan prasarana transportasi, jaringan listrik dan telekomunikasi serta pengadaan air bersih sangatlah penting dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat di suatu
wilayah
(Aschauer,1989;
Munnel,1992;
Canning
dan
Pedroni,1999;
Sibarani,2002 dan Prasetyo,2010). Sarana dan prasarana infrastruktur dibutuhkan tidak hanya oleh rumah tangga namun juga oleh dunia usaha. Sehingga peningkatan infrastruktur
diharapkan
dapat
membawa
kesejahteraan
dan
mempercepat
pertumbuhan ekonomi. Daerah dengan infrastruktur yang memadai mempunyai keuntungan yang lebih besar dalam menarik investasi masuk ke daerahnya sehingga menyebabkan daerah akan menjadi lebih cepat berkembang dibandingkan dengan daerah yang memiliki infrastruktur yang kurang memadai. Hal ini dikarenakan terbukanya keterisolasian daerah sehingga akses ke berbagai faktor produksi dimungkinkan untuk membuka peluang bergeraknya perekonomian daerah. Pemerintah melalui Kementrian PDT, telah berupaya memberikan bantuan stimulus
untuk
pembangunan
infrastruktur
daerah
tertinggal.
Tabel
1.1
memperlihatkan bahwa dana yang digulirkan Kementrian PDT untuk percepatan pembangunan infrastruktur pedesaan daerah tertinggal mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Tercatat pada tahun 2007 Kementrian PDT mengucurkan dana untuk program P2IPDT sebesar Rp 105,37 milyar dan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2008, menjadi sebesar Rp 274,82 milyar. Pola sebaran bantuan yang diberikan cukup sesuai mengingat share bantuan simulus infrastruktur paling besar diberikan pada daerah yang sejatinya merupakan daerah dengan indeks infrastruktur yang rendah (Prasetyo, 2010).
6 Tabel 1.1. Jumlah Bantuan Stimulus P2IPDT Kabupaten Tertinggal di Indonesia Tahun 2007 dan 2008 (Juta Rupiah) Tahun 2007 2008 29.030,53 82.253,27 Sumatera (27,55) (29,93) 11.949,41 31.219,42 Jawa (11,34) (11,36) 10.864,06 34.489,76 Bali dan Nusa Tenggara (10,31) (12,55) 4.646,99 25.613,11 Kalimantan (4,41) (9,32) 27.239,17 55.733,26 Sulawesi (25,85) (20,28) 8.566,90 16.269,27 Maluku (8,13) (5,92) 13.076,91 29.240,72 Papua (12,41) (10,64) 105.373,98 274.818,82 Jumlah (100,00) (100,00) Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah Cat: Angka dalam kurung menunjukkan nilai proporsi Pulau
Kondisi ini mencerminkan bahwa pemerintah memiliki perhatian yang cukup serius untuk melakukan pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal sehingga dapat mengurangi kemiskinan melalui percepatan pembangunan infrastruktur. Studi empirik yang mengkaji mengenai dampak kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan kabupaten tertinggal kiranya perlu dilakukan untuk mendeskripsikan implementasi bantuan infrastruktur yang telah dilaksanakan. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini menganalisis pengaruh program percepatan pembangunan infrastruktur dalam meningkatkan perekonomian serta kaitannya dengan ketimpangan pendapatan dan penurunan kemiskinan di kabupaten tertinggal. Kajian mengenai pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal juga menjadi relevan untuk diteliti, mengingat pola pembangunan infrastruktur yang diterapkan haruslah sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan dasar daerah tertinggal.
7 1.2. Perumusan Masalah Upaya campur tangan yang dilakukan pemerintah dalam mengurangi ketertinggalan dan mengurangi jumlah rakyat miskin di kabupaten tertinggal dilakukan dengan membentuk Kementrian PDT yang tugas, pokok dan fungsinya adalah membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah tertinggal (Perpres No. 9, Tahun 2005). Upaya yang dilakukan oleh Kementrian PDT adalah melaksanakan berbagai program bantuan yang diberikan kepada 183 (seratus delapan puluh tiga) kabupaten yang termasuk kategori kabupaten tertinggal di Indonesia. Salah satu program yang dilaksanakan Kementrian PDT adalah Program Pengembangan Sarana dan Prasarana melalui instrumen Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT). Program dan instrumen ini bermaksud membantu kabupaten tertinggal agar dapat menjadi suatu kabupaten yang terbuka dan mampu berinteraksi dengan “dunia luar” sehingga akses ke berbagai faktor produksi menjadi semakin mudah untuk dijangkau, yang pada gilirannya dapat membuka peluang semakin bergeraknya perekonomian kabupaten tertinggal. Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa program bantuan yang dilaksanakan Kementrian PDT mampu secara signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di Kawasan Timur Indonesia (Sari, 2009). Namun kajian mengenai dampaknya terhadap penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan belum banyak dilakukan. Kajian tersebut perlu dilakukan mengingat keterbatasan anggaran pemerintah (keterbatasan ruang fiskal), sehingga pemerintah tidak mungkin selamanya mampu memberikan dana bantuan, untuk itu kabupaten tertinggal harus mampu secara aktif dan
mandiri meningkatkan pertumbuhan
ekonominya dengan mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, yang diukur dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang disertai penurunan angka kemiskinan dan pemerataan distribusi pendapatan. Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan studi mengenai dinamika pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masing-masing kabupaten tertinggal. Terkait dengan besaran belanja modal pemerintah pusat yang
8 dilaksanakan oleh Kementrian PDT melalui instrumen P2IPDT, perlu dilakukan kajian apakah instrumen P2IPDT memiliki pengaruh yang signifikan pada peningkatan perekonomian kabupaten tertinggal. Lebih jauh perlu diteliti pengaruh peningkatan perekonomian yang dicapai kabupaten tertinggal terhadap kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Hal ini perlu dilakukan mengingat masih banyaknya penduduk miskin yang tinggal di kabupaten tertinggal (33,74% dari total jumlah penduduk miskin di Indonesia). Berdasarkan fakta tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT? 2. Bagaimana pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal? 3. Bagaimana pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian kabupaten tertinggal dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perekonomian kabupaten tertinggal? 4. Bagaimana hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di kabupaten tertinggal?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai antara lain: 1. Menganalisis dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT. 2. Menganalisis pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal yang saat ini telah dilakukan oleh Kementrian PDT. 3. Menganalisis pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian kabupaten tertinggal dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perekonomian kabupaten tertinggal. 4. Menganalisis hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di kabupaten tertinggal.
9 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian antara lain: 1. Deskripsi mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT diharapkan dapat digunakan untuk menilai dampak dari adanya program P2IPDT di kabupaten tertinggal, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alat evaluasi bagi Kementrian PDT. 2. Analisis pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal diharapkan dapat memberikan
gambaran
mengenai
pelaksanaan
program
pembangunan
infrastruktur di daerah tertinggal dan diharapkan dapat memberikan masukan pada pengambil kebijakan, sehingga dapat lebih meningkatkan dampak positif dari pelaksanaan kebijakan. 3. Analisis mengenai pengaruh program P2IPDT
melalui studi ekonometrik
diharapkan dapat memberikan masukan bagi Kementrian PDT tentang pentingnya program P2IPDT bagi kesejahteraan masyarakat kabupaten tertinggal. 4. Analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi perekonomian diharapkan dapat memberikan masukan bagi Kementrian PDT maupun pemangku kebjakan yang lain untuk lebih memfokuskan kebijakan maupun programnya pada peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan untuk mendorong meningkatnya aktifitas ekonomi suatu daerah. 5. Analisis hubungan perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan diharapkan dapat digunakan oleh Kementrian PDT dan pemangku kebijakan yang lain sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan yang tidak hanya pro pada pertumbuhan namun juga pro terhadap rakyat miskin.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi tiga hal. Pertama, memberikan deskripsi dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT. Kedua, melakukan studi ekonometrik mengenai
10 pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian dan faktor-faktor yang memengaruhi perekonomian. Ketiga, melakukan studi ekonometrik untuk melihat hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah pada kabupaten tertinggal, dimana analisis deskriptif
yang dilakukan mencakup 199 kabupaten yang
dikategorikan tertinggal oleh Kementrian PDT pada tahun 2005, sedangkan analisis ekonometrik difokuskan pada 82 kabupaten tertinggal di Indonesia (KBI dan KTI) yang termasuk dalam 199 kabupaten tertinggal yang telah ditetapkan oleh Kementrian PDT. Pemilihan 82 kabupaten tertinggal tersebut didasarkan pada kontinuitas dana yang digulirkan oleh Kementrian PDT, dimana 82 kabupaten yang dipilih merupakan kabupaten yang mendapatkan dana bantuan stimulus infrastruktur (P2IPDT) secara terus menerus (2007-2009), selain juga mempertimbangkan faktor ketersediaan data pendukung lainnya.