BAB IV. HUKUM PERBANKAN DALAM KEGIATAN BISNIS. A. Tujuan Instruksional Umum ( TIU ) Memberikan penjelasan tentang : Peranan perbankan dalam dunia bisnis yang kajiannnya meliputi pengertian bank, fungsi bank, asas-asas hukum perbankan, kegiatan usaha bank, pengertian kredit dan pembiayaan, prinsip pemberian kredit dan pembiayaan baik secara konvensional berdasarkan Undang-undang No.7/1992 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan undang-undang No.10/1998 tentang Perbankan, maupun secara syariah bedasarkan undang-undang No.21/ 2008 tentang Perbankan syariah; bentuk dan klausul-klausul dalam perjanjian kredit, perlindungan yang setara subyek perjanjian kredit, jaminan, kegunaan dan penggolongan jaminan pemberian kredit, pembinaan dan pengawasan bank dan peranan bank sentral bagi suatu negara serta tentang penggolongan tindak pidana perbankan beserta bunyi pasal-pasal yang menyangkut tindak pidana perbankan yang diatur oleh UU No.10/1998 tentang Perbankan dan UU No.21/2008 tentang Perbankan syariah. Kemudian untuk mengetahui dalam praktek dicantumkan contoh perjanjian kredit ( sebagai lampiran I ) dan tambahan wawasan dicantumkan kodifikasi produk perbankan syariah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia ( sebagai lampiran II ) dan artikel ” Bantuan Likuiditas bank Indonesia yang merupakan skandal besar Ekonomi Indonesia ( lampiran III ). B. Tujuan Instruksional Khusus ( TIK ). 1. Mahasiswa / i mampu menjelaskan pengertian dan fungsi bank dalam kegiatan bisnis. 2. Mahasiswa / i mampu menjelaskan asas-asas hukum perbankan : a. asas demokrasi ekonomi; b. asas kepercayaan; c. asas kerahasiaan ; d. asas kehati-hatian. Sedangkan asas hukum perbankan syariah, selain asas-asas yang disebut diatas, maka asas hukum perbankan syariah harus sesuai dengan prinsip syariah yang tidak mengandung unsur-unsur : riba, maisir, gharar, haram dan zalim. 3. mahasiswa / i mampu menjelaskan kegiatan usaha yang boleh dan dilarang bank umum dan BPR konvensional berdasarkan pasal 6 sampai dengan pasal 14 UU Nomor 10/1998 tentang Perbankan. 4. Mahasiswa / i mampu menjelaskan kegiatan usaha yang boleh dan dilarang Bank Umum Syariah, Unit Usaha syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah berdasarkan pasal 19 sampai dengan pasal 26 Undang-undang Nomor 21/2008 tentang Perbankan syariah dan untuk penambahan wawasan dicantumkan” kodifikasi produk perbankan syariah dari Bank Indonesia ” dengan mempelajari lampiran II dalam bab ini.
5. Mahasiswa / i mampu menjelaskan pengertian kredit dan pembiayaan , prinsip-prinsip pemberian kredit dan pembiayaan berdasarkan undang-undang yang berlaku dan klausul-klausul perjanjian kredit dan pembiayaan berdasarkan pandangan para ahli / pakar perbankan, pengertian jaminan, kegunaan jaminan dalam perjanjian kredit dan penggolongan jaminan kredit bank. Kemudian untuk penambahan wawasan dicantumkan contoh perjanjian kredit sebagaimana terdapat dalam lampiran I bab ini. 6. Mahasiswa /i mampu menjelaskan pembinaan dan pengawasan bank yang menyangkut kelembagaan perbankan, tingkat kesehatan bank dan pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh Bank Indonesia serta peranan Bank sentral dalam suatu negara. Kemudian untk penambahan wawaan dicantumkan artikel mengenai Bantuan Likuiditas bank Indonesia ( BLBI ) sebagai skandal besar ekonomi Indonesia sebagaimana terdapat dalam lampiran III bab ini. 7. Mahasiswa / i mampu menjelaskan kategori tindak pidana perbankan dan pasal-pasal yang mengatur tindak pidana perbankan, baik yang diatur oleh oleh undang-undang Nomor 10/1998 tentang Perbankan dan undang-undang Nomor 21/ 2008 tentang Perbankan syariah. C. Target Pembelajaran / sasaran belajar. Mahasiswa / i mampu memahami dan menjelaskan tentang : 1. Pengertian bank dan fungsi bank dalam kegiatan bisnis 2. asas-asas hukum perbankan 3. Kegiatan usaha Bank umum dan BPR berdasarkan UU No.10/1998 tentang Perbankan 4. kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank Umum syariah, Unit Usaha syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah berdasarkan UU No.21/2008 tentang Perbankan Syariah. 5. Mahasiswa mampu membuat Perjanjian kredit. 6. Mahasiswa mampu memahami dan menerangkan Pengawasan dan Pembinaan lembaga perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan peranan Bank sentral dalam suatu negara; 7. Mahasiswa / i mampu memahami dan menjelaskan tentang tindak pidana perbankan.
59
BAB IV. HUKUM PERBANKAN DALAM KEGIATAN BISNIS. 1. Pengertian bank Dalam Undang-undang No.7/1992 sebagaimana dirubah dengan UU No.10 / 1998 tentang perbankan. Secara sederhana hukum perbankan adalah hukum positif yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank. Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Perbankan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya ( pasal 1 angka 1 UU No.10/1998 ).
Sedangkan dalam Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang
perbankan syari’ah menyatakan bahwa : adalah segala sesuatu yang menyangkut Bank syariah dan Unit Usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta an proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya ” ( pasal 1 angka UU No.21/2008 tentang perbankan syariah ).
Beberapa pengertian bank, yakni :
A. Menurut Undang-undang : ” Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnyadalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak ” ( pasal 1 angka 2 UU Perbankan ).; sedangan Bank syariah adalah : ” Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri dari atas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha syariah ”( pasal 1 angka 7 UU No.21 tahun 2008 ) B. Dalam kamus hukum : ” Bank adalah lembaga yang menerima deposito, custody ( penitipan ), menerbitkan uang untuk memberikan pinjaman dan diskonto, memudahkan penukaran dana-dana tertentu dengan cek, notes dan lain-lain juga memperoleh keuntungan dengan meminjamkan uangnya dengan memungut bunga ”. C. Black Henry Cambell :” Bank sebagai sesuatu institusi yang mempunyai peran besar dalam dunia komersil yang mempunyai wewenang untuk menerima deposito, memberikan pinjaman dan menerbitkan Promisorry Notes yang sering disebut ” bank bills ” atau ” bank notes ” , namun fungsi bank yang orisil menerima deposito berupa uang, emas dan lain-lain.”
60
2. FUNGSI BANK. Dari pengertian tersebut, jelaslah bahwa bank berfungsi sebagai ” financial intermediary ” dengan usaha utama menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran. Dua fungsi itu tidak dipisahkan . Sebagai badan usaha, bank akan selalu berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha yang dijalankannya. Sebaliknya sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai kewajiban pokok untuk menjaga kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja. Dengan sendirinya, Bank Indonesia tidak termasuk dalam pengertian ” Bank ”, sebab bukan sebuah badan usaha yang berusaha mendapat keuntungan sebesar-besarnya kendati merupakan kegiatan usaha yang bersifat komersial pula. (1) 1)Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Indonesia, Gramedia Pustaka utama, Jakarta, 2001, hal 59-60 ).
Kemudian untuk memudahkan bagi penulis dalam membahas bab ini, maka penulis memisahkan dalam sub bab yang berbeda tentang
ketentuan hukum yang
mengatur dari adanya dua undang-undang tentang perbankan yakni Undan-undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana dirubah dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan konvensional dengan undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah yang merupakan undang-undang baru. Selanjutnya pasal 3 dan 4 undang-undang perbankan konvensional ( maksudnya UU No.10/1998 ) menyebutkan fungsi dan tujuan perbankan, yaitu : a. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat; b. Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraaan rakyat banyak. Pengertian kedua pasal tersebut, jika dihubungkan dengan Penjelasan umum undang-undang perbankan, adalah bahwa perbankan nasional kita mempunyai ciri khas tersendiri, jika diperbandingkan dengan perbankan umumnya, yakni mempunyai tujuan dan fungsi dalam kehidupan ekonomi nasional bangsa Indonesia :
61
A. Bank berfungsi sebagai ” financial intermediary ” dengan kegiatan usaha pokok menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat atau pemindahan dana masyarakat dari nit surplus kepada unit defisit atau pemindahan uang dari penabung kepada peminjam. B. Penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat tersebut bertujuan menunjang sebagian tugas penyelenggaaan negara, yakni : a. menunjang pembangunan nasional, termasuk pembangunan daerah sehingga dengan demikian diarahkan untuk menjadi agen pembangunan nasional; bukan melaksanakan misi pembangunan suatu golongan . b. dalam rangka mewujudkan trilogi pembangunan nasional, yakni : meningkatkan pemerataan kesejahteraan masyarakat / rakyat banyak; c.- meningkatan pertumbuhan ekonomi nasional; C. Dalam menjalankan fungsi tersebut, perbankan Indonesia harus melindungi secara baik apa yang dititipkan masyarakat kepadanya ( penjelasan umum angka 3 ) dengan menerapkan prinsip kehati-hatian ( prudential banking ) dengan cara : a. efisien, sehat, wajar dalam persaingan yang sehat karena semakin berkembangnya usaha dan sistim perbankan dalam perkembangan dunia yang mengglobal; b. menyalurkan dana-dana masyarakat tersebut ke bidang-bidang yang produktif, tidak semata komsumtif ( uraian tentang hal ini pembaca diharapkan membaca laporan kegiatan perbankan, apakah usaha dan penyaluran dana lembaga perbankan secara prosentasenya lebih produktif atau komsumtif, kalau lebih banyak kepada komsumtif tentunya perlu kebijakan dari Bank Indonesia agar perbankan nasional mempunyai kegitan yang produktif . ( penulis ). D. Peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank , selain melalui penerapan prinsip kehati-hatian , juga pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan bank, serta sekaligus berfungsi untuk mencegah terjadinya praktek-praktik yang merugikan kepentingan masyarakat luas ( penjelasan angka 7 ). Maka berdasarkan fungsi-fungsi dan tujuan tersebut diatas, maka seyogyanya perbankan Indonesia dalam menjalankan usahanya dapat meningkakan taraf hidup masyarakat Indonesia.
62
3.Pengertian bank Syariah menurut UU No.21 Tahun 2008. Kemudian Dalam undang-undang Nomor 21 / 2008 tentang Perbankan syariah, menyebutkan fungsi Bank syariah, yang dalam penjelasannya sebagai berikut : Masyarakat Indonesia, mayoritas beragama Islam, maka sudah sewajarnya aspirasi mereka dalam berbagai bidang kehidupan diakomodir ( ditampung ). Tuntutan agar Pemerintah Indonesia membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan hukum Islam sudah lama dikumandangkan, Dimana salah satu tuntutan itu dibuatnya peraturan perundang-undangan di salah sektor ekonomi yakni adanya undang-undang perbankan syariah yang beroperasi atau menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah, walaupun sebelum berlakunya uandang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan mengatur juga rumusan usaha perbankan
yang berbasis syariah ( Pasal 6 harup m ), namun
pengaturan dalam undang nomor 10 tahun 1998 dianggap tidak memadai sesuai aspirasi ummat Islam. Dalam undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah disebutkan bahwa Perbankan syariah adalah : ” segala sesuatu yang menyangkut Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya (pasal 1 angka 1 UU Perbankan Syariah ), sedangkan pengertian Bank Syariah sudah dijelaskan diatas, selanjutnya dalam pasal 2, pasal 3 dan pasal 4 undang-undang perbankan syariah tersebut menyatakan : A.Perbankan syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan kehati-hatian ( pasal 2 ) B. Perbankan syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan dan pemerataan
kesejahteraan rakyat (
pasal 3 ) Pengertian kedua pasal tersebut, jika dihubungan dengan penjelasan umum undang-undang perbankan syariah, adalah sebagai berikut : 1. Tujuan pembangunan nasional adalah terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, berdasarkan demokrasi ekonomi, dengan mengembangkan sitim ekonomi, dengan mengembangkan sistim ekonomi yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan. Guna mewujudkan tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan ekonomi
63
nasional diarahkan kepada perekomian yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri, handal, berkeadilan dan mampu bersaing di kancah perekonomian internasional; 2. untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan partisipasi dan kontribusi seluruh elemen masyarakat untuk menggali berbagai potensi yang ada di masyarakat guna mendukung proses akselerasi ekonomi dalam upaya merealisasikan tujuan pembangunan nasional. Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud konstribusi masyarakat dalam perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai Islam (syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya kedalam sistim Hukum Nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ’ alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada prinsip syariah. 3. Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sitem antara lain prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, Bank Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil, karena semua pihak dapat saling berbagi, baik keuntungan maupun potensi resiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang seimbang antara bank dengan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong pemertaan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal. 4. Guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberi keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa bank syariah, dalam undang Perbankan syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi bank syariah maupun Unit Usaha Syariah (UUS) yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional perbankan syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip usaha yang meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram dan zalim.(2) (2)Undang-undang Nomor 21 / 2008 tentang Perbankan syariah, bahan diperoleh dari www. BI.co.Id
64
4. Asas-asas hukum Perbankan Untuk mempelajari norma hukum, kita harus mengetahui asas-asas hukumnya; Dengan perkata lain, norma hukum itu lahir didasari oleh dasar-dasar filosofis tertentu. Asas hukum itu merupakan dasar atau ratio legis bagi dibentuknya suatu norma hukum; demikian pula sebaliknya, norma hukum harus dapat dikembalikan kepada asas hukumnya. Jangan sampai terjadi lahir norma hukum yang bertentangan dengan asas hukumnya. karena norma hukum tidak lain perwujudan dari asas hukumnya. Semakin tinggi tingkatannya, asas hukum semakin abstrak dan umum sifatnya serta mempunyai jangkauan kerja yang lebih luas untuk menaungi norma hukumnya. Dengan demkian asas hukum merupakan ” jantungnya ” peraturan hukum. Satjipto Rahardjo menyatakan, asas hukum
tidak akan habis kekuatannya dengan
melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja adadan akan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya. Asas hukum ini sebagai sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang dan ia juga menunjukkan bahwa hukum itu bukan merupakan sekedar kumpulan peraturan belaka. Hal ini disebabkan asas hukum itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis, yang merupakan jembatan antara peraturan-peraturan
hukum
dengan
cita-cita
sosial
dan
pandangan
hidup
masyarakatnya.(3) 3) Op.Cit,Rahmadi Usman, Aspek-aspek hukum Perbankan di Indonesia, hal 12-13.
Dalam melaksanakan kemitraan antara bank dan nasabahnya, untuk terciptanya sistim perbankan yang sehat, kegiatan perbankan perlu dilandasi dengan beberapa asas hukum (khusus), yaitu : A. Asas Demokrasi ekonomi, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 Undang-undang perbankan yang diubah. Pasal tersebut menyatakan bahwa : ” perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskian demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian ”. Ini berarti, fungsi dan usaha perbankan diarahkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam demokrasi ekonomi yang berlandaskan kepada Pancasila dan UUD 1945. Dulu dalam GBHN ditafsirkan ciri-ciri demokrasi ekonomi merupakan dasar pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional yang selaras, serasi dan seimbang. ( Perekonomian disusun atas asas kekeluagaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
65
hidup orang banyak dikuasai oleh negara, hak milik perseorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat, melarang sistim free fight liberalism, melarang persaingan tidak sehat dan seterusnya. untuk lebih jelasnya baca GBHN yang merupakan Produk politik lembaga tertinggi negara yaitu MPR. ). Demokrasi ekonomi sebagai asas perbankan yan berlandaskan kepada Pancasila dan UUD 1945, itu harus seseuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang berdasarkan ekonomi kerakyatan yang tidak berdasarkan ideologi liberalisme kapitalisme, karena itu kejadian krisis moneter pada tahun 1998 dan krisis keuangan global yang terjadi baru-baru ini, semestinya menjadi pembelajaran bagi perbankan Indonesia. B. Asas Kepercayaan, adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dengan nasabahnya. Kemauan masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank, semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya yang akan dapat diperolehnya pada waktu yang diinginkan atau sesuai yang diperjanjikan dengan disertai imbalan, karena apabila kepercayaan nasabah penyimpan dana terhadap suatu bank telah berkurang, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi rush (penarikan dana besar-besaran yang disimpan, sebagaimana terjadi pada Bank BCA pada tahun 1998 yang mengakibatkan bank tersebut mengalami kesulitas likuiditas dan pemerintah pada waktu itu menyuntikkan dana melalui skim yang dinamai Kredit Likuiditas bank Indonesia / KLBI. ) Sutan Remy Sjahdeni menyatakan bahwa hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan dana adalah hubungan pinjam meminjam uang antara debitur (bank) dengan kreditur (nasabah penyimpan dana) yang dilandasi oleh asas kepercayaan (penjelasan pasal 29 UU Perbankan 1992). Dengan demikian maka hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan dana bukan sekedar hubungan kontraktual biasa antara debitur dengan kreditur yang diliputi oleh asas-asas umum dari hukum perjanjian tetapi juga hubungan kepercayaan (Fiduciary relation), sehingga dengan demikian konsekwensi dari pengakuan hubungan itu ialah bank tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan sendiri, tetapi juga harus memperhatikan kepentingan nasabah penyimpan dana. Lebih lanjut dikatakan oleh beliau bahwa hubungan antara bank dengan nasabah peminjam dana (kreditur) juga bersifat hubungan yang berlandaskan kepada kepercayaan
66
(fiduciary obligation). Oleh karena masyarakat bisnis dan perbankan Indonesia berpendapat bahwa hubungan bank sebagai kreditur dengan nasabah peminjam dana (debitur) berdasarkan kepercayaan. Dari pengertian kredit, hubungan antara bank dengan debitur bukan berdasarkan hubungan kontraktual belaka, tetapi juga berdasarkan kepercayaan, karena bank hanya bersedia memberikan kredit kepada nasabah debitur atas dasar percaya bahwa debitur akan mau dan mampu membayar kembali kreditnya tersebut. Juga dalam usaha-usaha bisnis yang dilakukan oleh perbankan penukaran uang, penitipan dana, penukaran uang dan jasa yang diberikan juga didasarkan oleh kepercayaan. Di dalam Prakteknya Krisis kepercayaan ini, pernah terjadi pada saat krisis moneter di Indonesia tahun 1998 beberapa L/c yang dikeluarkan oleh beberapa Perbankan Indonesia pernah diragukan/ kurang dipercaya untuk kegiatan ekspor dan impor oleh perbankan di luar negeri dan sekarang tahun 2008 terjadi, bahwa lembaga perbankan di beberapa negara yang meragukan likuiditas Bank-bank Amerika dalam kegiatan bisnisnya.(4) (4) Sutan remy sjahdeni, Kebebasan berkontrak dan perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam perjanjian kredit di Indonesia, Penerbit Institut bankir Indonesia, 1993, hal 167 .
C. Asas kerahasiaan, adalah asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Kerahasiaan ini adalah untuk kepentingan bank sendirikarena bank memerlukan kepercayan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Masyarakat hanya akan mempercayakan pada bank atau memanfaatkan jasa bank, apabila bank menjamin bahwa tidak ada penyalahgunaan informasi/pengetahuan bank tentang simpanannya. Dengan demikian, bank harus memegang teguh rahasia bank Undang-undang perbankan 1992 merahasiakan keadaan keuangan nasabah penyimpan dan nasabah debitur. Kedua nasabah bank ini dilindungi rahasia bank. Sedangkan undang-undang perbankan yan dirubah membatasi rahasia bank hanya tentang keadaan keuangan nasabah penyimpan dana saja sebagaimana tercantum dalam pasal 40 UU No.10/1998 yang berbunyi :
67
(1) ” Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, pasal 41 A, pasal 42, pasal 43, pasal 44, dan pasal 44 A ” (2) ” ketentuan sebagaimana yang dimaksud oleh ayat 1 berlaku juga bagi pihak yang terafiliasi ”. Sebagai lembaga keuangan yang dipercaya oleh masyarakat, bank dihadapkan pada dua kewajiban yang seringkali bertentangan dan tidak dapat dirundingkan. Disatu pihak, bank mempunyai kewajiban untuk tetap merahasiakan keadaan dan catatan keuangan nasabahnya, karena kewajiban itu timbul atas dasar adanya kepercayaan. Dilain pihak, bank juga berkewajiban mengungkapkan keadaan dan catatan keadaan keuangan nasabahnya dalam keadaan-keadaan tertentu. Di sinilah seringkali muncul konflik kepentingan yang dihadapi bank. Muhammad Djumhana yang dikutip oleh Rachmadi Usman menyatakan terdapat dua teori tentang kerahasiaan bank, yakni : pertama, teori kerahasiaan bank yang bersifat mutlak. Bank berkewajiban menyimpan rahasia nasabah yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan apa pun, baik dalam keadaan biasa maupun dalam keadaan luar biasa. Teori ini yang bersifat mutlak, terlalu mementingkan hak individu, sehingga kepentingan negara dan masyarakat banyak sering terabaikan. Kedua, teori kerahasiaan bank yang bersifat relativ / nisbi, bank diperbolehkan membuka rahasia nasabahnya untuk kepentingan yang mendesak. Teori ini berpijak pada asas yang proporsional berdasarkan pertimbangan
memilih kepentingan mana yang lebih besar /
berat. Bagi kita kerahasiaan bank bukanlah sesuatu yang mutlak atau merupakan ” harga mati ” melainkan, dalam hal tertentu, bank masih dimungkinkan menginformasikan keterangan dan keadaan keuangan nasabahnya kepada pihak lain asalkan hal itu demi kepentingan umum atau masyarakat banyak. Undang-undang perbankan tahun 1998 secara limitatif menyebutkan pengecualian (eksepsional) dari ketentuan rahasia perbankan sebagaimana tertera pada pasal-pasal 41, 41A, 42, 43, 44, 44 A. Kewajiban bank untuk memegang teguh rahsia bank tidak berlaku atau dikecualikan dalam hal-hal seperti dibawah ini, yaitu untuk : a. kepentingan perpajakan ( pasal 41 ) ;
68
b. penyelesaian piutang bank ( pasal 41 A); c. kepentingan peradilan pidana ( pasal 42) ; d. kepentingan pemeriksaan perkara perdata ( pasal 43); e. kepentingan tukar-menukar informasi antar bank (Pasal 44 dan ditegaskan dalam pasal 32 UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia); f. kepentingan pihak lain yang ditunjuk nasabah (pasal 44 A ayat 1) g. kepentingan penyelesaian kewarisan (pasal 44 A ayat 2 ). Untuk melakukan pembukaan rahasia bank harus dlakukan berdasarkan prosedurprosedur tertentu yang sudah ditetapkan sebagaimana telah disebutkan diatas, karena jika tidak berdasarkan ketentuan diatas, maka perbuatan pembukaan rahasia bank dapat dikategorikan sebagai pelanggaran rahasia bank yang merupakan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 47 dan pasal 47 A Undang-undang perbankan tahun 1998. D. Asas kehati-hatian, adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Hal ini disebutkan dalam pasal 2 Undang-undang perbankan 1998, bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsipprinsip kehati-hatian. Kemudian hal itu disebutkan kembali dalam pasal 29 ayat 2 UU No.10/1998 tentang Perbankan : ” bank wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”. Tujuan diberlakukannya prinsip kehati-hatian agar bank selalu dalam keadaan sehat, dengan kata lain agar selalu likuid dan solvent. Dengan diberlakukannya prinsip kehati-hatian diharapkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi, sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank Prinsip kehati-hatian ini harus dijalankan oleh bank, bukan hanya karena dihubungkan dengan kewajiban bank agar tidak merugikan kepercayaan nasabah yang mempercayakan dananya, tetapi juga terkait dengan sistem moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat. Dengan demikian, prinsip kehati-hatian ini bertujuan agar bank dalam menjalankan usahanya secara baik dan benar dengan mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku dalam dunia
69
perbankan, agar bank yang bersangktan sehat sehingga masyarakat akan semakin mempercayainya, yang pada gilirannya akan mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan efisien yang akan bermanfaat bagi perkembangan ekonomi nasional. 5)Loc.Cit, Rachmadi Usman, Aspek-aspek hukum perbankan, hal 155-165)
E. Asas-asas perbankan syariah. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa asas-asas hukum perbankan konvensional merupakan hal yang terkait dan menjadi landasan pembentukan perundang-undangan, maka undang-undang perbankan syariah juga mempunyai asas-asas dan prinsip-prinsip yang berlaku, baik dalam pendirian maupun dalam menjalankan usahanya. Asas-asas dan prinsip bank konvensional juga berlaku untuk bank syariah selama tidak bertentangan dengan norma-norma yang terdapat dalam undang-undang No.21/ 2008 tentang perbankan syariah . Dengan kata lain asas-asas hukum perbankan syariah merupakan merupakan hal-hal yang khusus diberlakukan dalam sistem perbankan nasional seiring dengan kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah yang semakin meningkat yang berlandaskan kepada nilai keadilan, kebersamaan, dan kemanfaatan sesuai dengan prinsip syariah. (6) Butir pertimbangan UU No.21/2008). Dalam pasal 2 Undang-undang perbankan syariah disebutkan : ” Perbankan syariah dalam menjalankan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian ”; sehingga kalau kita melihat dari pasal 2 undang-undang perbankan syariah, kemudian diperbandingkan dengan asas-asas hukum perbankan konvensional, maka perbedaannya terletak pada ” Prinsip syariah ” Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memilki kewenangan dalam penerapan fatwa di bidang syariah secara menyeluruh (Kaffah) dan konsisten (istiqomah) ( pasal 1 angka 12 ketentuan umum dan penjelasan pasal 3 ). Selanjutnya penjelasan pasal 2 undang-undang perbankan menyebutkan bahwa, kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah, antara lain adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur : a. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan (fadhl), atau transaksi dalam pinjam meminjamyang mensyaratkan nasabah penerima fasilitas
70
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah). b. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan; c. gharar, yaitu transaksi yang obyeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah; d. haram, yaitu transaksi yang obyeknya dilarang oleh syariah; atau e. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. Yang dimaksud dengan ” demokrasi ekonomi ” adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Sedangkan prinsip kehati-hatian pasal penjelasan pasal 2 undang-undang perbankan syariah hampir relatif tidak berbeda dengan penjelasan prinsip yang telah disebutkan diatas, yakni agar oprasional bank syariah sesuai dengan pedoman yang wajib dianut dalam pengelolaan bank, sehingga bank berjalan sehat, kuat dan efisien sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Pelaksanaan prinsip kehatian-hatian dalam UU perbankan syariah didahului oleh pasal 34 tentang tatakelola perbankan syariah yang berbunyi :
” Bank syariah dan UUS wajib menerapkan tata kelola yang baik mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan wajib menyusun prosedur internal untuk melaksanakan prinsip-prinsip tersebut ( pasal 34 ayat 1 dan 2 UU Perbankan syariah ). F. Prinsip-prinsip Perbankan Syariah Sedangkan pelaksanaan prinsip kehatian-hatian perbankan syariah tertera dalam pasal 35 UU Perbankan syariah yang berbunyi : (1) Bank syariah dan unit usaha syariah dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. (2) Bank syariah dan Unit Usaha Syariah wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan sera penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akutansi syariah yang berlaku umum,
71
serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Bank Indonesia (3) Neraca dan perhitungan laba rugi sebagaimana yang dimaksud oleh ayat 2 wajib diaudit oleh Akuntan Publik; Kemudian asas kerahasiaan bank dan prosedur pembukaan rahasia perbankan juga berlaku bagi perbankan syariah secara subtansi maksudnya tidak berbeda dengan penjelasan asas kerahasian bank konvensional sebagaimana telah dijelaskan diatas, hanya pengaturan atau penempatan pasal-pasal antara kedua undang-undang itu yang berbeda. Undang-undang Perbankan syariah yang mengatur cakupan rahasia perbankan dalam pasal 41, sedangkan tentang pengecualian atau prosedur pembukaan rahasia bank syariah diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut : a. untuk pidana perpajakan dalam pasal 42, b. untuk peradilan pidana dalam pasal 43, c. untuk perkara perdata antara bank dengan nasabahnya diatur dalam pasal 45,; d. dalam rangka tukar menukar informasi antar bank dalam pasal 46, e. dalam hal keterangan nasabah yang meninggal dunia sebagai informasi untuk ahli waris dalam pasal 48 UU perbankan syariah. 5. Kegiatan usaha Bank A. Kegiatan usaha Bank Konvensional. Kalau kita mencermati isi-isi pasal 6 sampai dengan pasal 15 undang-undang No.10/1998, kegiatan usaha bank telah dirinci dan dibatasi, yakni : Pertama, kegiatan usaha yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank; Kedua, perbedaan kegiatan usaha antara bank umum dengan BPR; Ketiga, Bank umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu dan memilih jenis usaha sesuai dengan keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkan Keempat, usaha yang dilakukan oleh Bank umum lebih luas dibandingkan usaha yang dijalankan oleh Bank Perkreditan Rakyat. Kelima, ketentuan dalam pasal 8 dan 11 tentang bank yang menjalankan prinsip syariah, namun dengan berlakunya undang-undang nomor 21/2008 tentang perbankan syariah, maka ketentuan pasal 8 dan pasal 11 dengan sendirinya sudah dipindahkan
72
dalam Undang-undang perbankan syariah,
namun masih dapat berlaku sepanjang
ketentuan tersebut yakni pasal 8 dan pasal 11 UU No.8/1998 diatas tidak bertentangan dengan UU No.21/2008. (6) 6) Pasal 69 ketentuan penutup UU No.21/2008 )
Dalam pasal 6 undang-undang perbankan no.10/1998 dicantumkan, bahwa usahausaha yang dapat dijalankan Bank umum meliputi : a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpnan berupa giro, deposito, serifikat deposito, tabungan, dan/ atau bentuk lainnya dipersamakan dengan itu. b. memberikan kredit c. menerbitkan surat pengakuan utang, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Surat pengakuan yang berjangka pendek adalah sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 100 sampai dengan pasal 229 KUHD, yang dalam Pasar uang dikenal Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), yaitu promes dan wesel maupun jenis lain yang mungkin dikembangkan di masa yang akan datang. Surat utang berjangka panjang dapat berupa obligasi atau sekuritas kredit. d. membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atau atas perintah nasabahnya : 1. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud; 2. surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud; 3. kertas perbendaharaan ngara dan surat jaminan pemerintah; 4. Sertifikat Bank Indonesia ( SBI); 5.Obligasi; 6. surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun; 7. instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan satu (1) tahun; e. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah; f. menempatkan atau meminjamkan dana kepada bank lain baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan weselunjuk, cek atau sarana lainnya.
73
g. menerima pembayaran; dari tagihan atas surat berhargadan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga, kegiatan ini mencakup antara lain inkaso dan kliring. h. menyediakan tempat penyimpanan barang dan surat berharga yang semata memberikan tempat sewa untuk penyimpanan barang dan surat berharga tersebut (safety box) tanpa perlu diketahui mutasi dan isinya oleh bank; i. melakukan kegiatan penitipan, untuk kepentingan lain berdasarkan suatu kontrak. Dimana jika bank mengalami likuidasi / pailit, maka harta titipan itu tidak termasuk harta yang dapat disita. j.penempatan dari dalam bentuk surat berharga; k. kegiatan anjak piutang, kartu kredit dan wali amanat. Kegiatan anjak piutang merupakan kegiatan pengurusan piutang, atau tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam dan luar negeri, yang dilakukan dengan pengambilalihan atau pembelian piutang tersebut. l. menyediakan pembiayaan; m. menyediakan kegiatan lain yang lazim dilakukan dalam dunia perbankan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, memberikan bank garansi, bertindak selaku bank persepsi, swap bunga, membantu administasi usaha nasabah dan lain-lain. Bank umum dapat melakukan sebagian atau seluruh usaha sebagaimna dimaksud diatas dan masing-masing dapat memilih jenis usaha sesuai dengan keahlian dan bidang usaha ang ingin dikembangkannya, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip kesehatan dan efisiensinya. Selanjutnya menurut pasal 7 Undang-undang perbankan, Bank umum dapat melakukan usaha tambahannamun dengan izin khusus dari menteri keuangan, yang meliputi : a. melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank anatara perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketetapan Bank Indonesia;
74
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit dengan memenuhi ketetapan Bank Indonesia; d. bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai dengan peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku. Selain itu, berdasarkan pasal 12 UU No.10/1998, pemerintah bersama Bank Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan Bank Umum untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan menengah. Demikian pula, bank umum dapat membeli seluruh atau sebagian agunan untuk kepentingan banknya. Hal ini disebutkan dalam pasal 12A UU No.10/1998 yang merupakan pasal tambahan dari UU No.7/1992. Pembelian tersebut, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa menjual di luar lelang Ketentuan pembelian agunan itu dimaksudkan agar dapat penyelesaian kewajiban nasabah debiturnya. Dalam pasal 13 UU No.10/1998, BPR dapat melakukan usaha yang meliputi : a. menghimpun dana dari masyarakat, dalam bentuk simpanan berupa deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya dipersamakan dengan itu, tetapi bukan dalam bentuk giro yang penarikannya dengan cek. b. memberikan kredit; c. menyediakan pembiayaan dan penempatan dana dalam bentuk syariah; dengan ketentuan BPR konvensional tidak boleh memberikan pembiayaan dalam bentuk syariah dan BPR syariah tidak boleh memberikan pembiayaan secara konvensional. d. menempatkan dananya dalam SBI, deposito, sertifikat deposito dan/ atau tabungan pada bank lain. Selanjutnya dalam pasal 10 UU No.10/1998 menyatakan Bank umum dilarang melakukan usaha : a. melakukan penyertaan modal, kecuali yang diizinkan oleh undang-undang sebagai usaha tambahannya. b. melakukan usaha perasuransian c. melakukan kegiatan lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud oleh pasal 6 dan pasal 7, antara lain melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi (underwriter).
75
Sama halnya dengan bank umum, BPR usahanya juga dibatasi, sehingga dalam pasal 14 UU No.10/1998, BPR dilarang : a. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; b. melakukan kegiatan usaha dalam bentuk valuta asing. Larangan ini tidak termasuk kegiatan tukar menukar valuta asing (Money Changer). Untuk melakukan tukar menukar valuta asing BPR harus memenuhi peraturan Bank Indonesia. c. melakukan penyertaan modal; d. melakukan usaha perasuransian; e. melakukan kegiatan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 13 UU No.10/1998 Pembuat undang-undang menyadari bahwa apabila suatu bank dibenarkan melakukan kegiatan usaha yang bermacam ragam tanpa pembatasan, eksistensi bank akan berbahaya, yang pada gilirannya akan merugikan para penyimpan dana di bank tersebut, walaupun untk mengantisipasi terjadinya likuidasi suatu bank. Pemerintah telah mengeluarkan undang-undang No.24/ 2004 tentang lembaga penjaminan simpanan dana nasabah. (7) (7) Loc.Cit. Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan di Indonesia,hal208-215)
B. Kegiatan usaha Bank Syariah. Dalam pasal 19 ayat 1 UU No.21/2008 tentang Perbankan syariah, usaha bank syariah meliputi : a. menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; b.menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa deposito, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad Mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; c. menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudhrabah, atau akad musyarakah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; d. menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
76
e. menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad qardh atau akad lain yang tidak bertentang dengan prinsip syariah; f. menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan / atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; h. melakukan usaha kartu debit dan /; atau kartu pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; j. membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan / atau Bank Indonesia; k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah; l. melakukan penitipan untuk pihak lain berdasarkan suatu akad yang berdasarkan prinsip syariah; m. menyediakan tempat untuk penyimpanan barang dan surat berharga berdasarkan prinsip syariah; n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri atau kepentingan nasabah berdasarkan prinsip syariah; o. melakukan fungsi sebagai wali amanat berdasarkan akad wakalah; p. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan prinsip syariah; q. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan dalam di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam pasal 20 ayat 1 UU No.21/2008 Perbankan syariah mengatur juga kegiatan usaha tambahan yang bisa dilakukan Bank Umum Syariah, yakni : a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah; b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
77
d. bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip Syariah; e. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; f. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik; g. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang; h. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar modal; dan i. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam UU No.21/2008 tertera juga apa yang dusebut Unit usaha syariah yang pengertiannya adalah Unit Usaha syariah atau selanjutnya disebut UUS yang merupakan Unit kerja dari kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai dari kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah ( pasal 1 angka 10 UU Perbankan syariah) . Kemudian ketentuan diatas berkaitan dengan pasal 68 UU perbankan syariah mengatur UUS, yakni : ” Dalam hal bank umum konvensional memilik UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50 % (limapuluh persen) dari total nilai aset bank induknya atau 15 tahun sejak berlakunya undang-undang ini, maka bank umum konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan usaha UUS m,enjadi Bank Umum Syariah ”. Dalam pasal 19 ayat 2 dan pasal 20 ayat 2 diatur mengenai kegiatan UUS yang jika dicermati kegiatan usahanya relatif sama dengan yang diatur oleh pasal 19 ayat 1 dan pasal 20 ayat 2 dengan beberapa perbedaan, adapun Kegiatan usaha UUS meliputi:
78
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; c.
menyalurkan
Pembiayaan
bagi
hasil
berdasarkan
Akad
mudharabah,Akad
musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yangditerbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah; j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia; k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah; l. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah; m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah; n. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
79
o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. C. Pengertian Unit Usaha Syariah (UUS) Kemudian pasal 20 ayat 2 juga mengatur kegiatan usaha yang bisa dilakukan oleh UUS, selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), UUS dapat pula: a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah; b. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya; d. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik; e. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang; dan f. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah. D. Kegiatan Usaha Bank Pembiayaan rakyat Syariah Selanjutnya pasal 21 UU Perbankan syariah mencantumkan kegiatan Usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang meliputi : Kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi: a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk: 1. Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan 2. Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:
80
1. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau musyarakah; 2. Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau istishna’; 3. Pembiayaan berdasarkan Akad qardh; 4. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; dan 5. pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah; c. menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi berdasarkan Akad mudharabah dan/atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; d. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS; dan e. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia. E. Kegiatan usaha yang dilarang BUS, UUS dan BPRS Undang-undang Perbankan syariah juga mengatur tentang Larangan Bagi Bank Syariah dan UUS yang tercantum dalam pasal 24 ayat 1 untuk Bank Umum Syariah dan pasal 24 ayat 2 dan UUS , sedangkan pasal 25 larangan untuk BPRS. Adapun bunyi pasal dibawah ini. (1) Bank Umum Syariah dilarang : a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal; c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah. (2) UUS dilarang: a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal; c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c; dan
81
d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang: a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. menerima Simpanan berupa Giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; c. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin Bank Indonesia; d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah; e. melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; dan f. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Kemudian pasal 26 mengatur tentang prinsip syariah yang dimaksud sebagaimana difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia yang dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia yang untuk keperluan tersebut maka dibentuk komite perbankan syariah.(8) (8) Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah, sumber www.BI.go.id.)
6. Kredit dan Pembiayaan. A. Pengertian kredit dan pembiayaan Undang-undang No.10/1998 tentang perbankan menggunakan dua istilah yang berbeda. Pengunaan istilah tersebut tergantung pada kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank. Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional menggunakan istilah kredit, sedangkan bank yang menjalankan usahanya berdasarkan syariah menggunakan istilah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. ”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga” ( pasal 1 angka 11 UU No.10/1998), sedangkan ” pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentudengan imbalan atau bagi hasil ”(pasal 1 angka 12)
82
Dari
rumusan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kredit atau
pembiayaan mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 1. Kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank bahwa dana yang diberikan sebagai pinjaman itu akan dapat dilunasi oleh nasabah sesuai yang ditentukan dalam perjanjian / aqadnya. 2. Waktu, yang saat pemberian kredit / pembiayaan, technik penarikan dana dari kredit / pembiayaan yang diberikan dan jangka waktu berakhirnya kredit / pembiayaan tersebut. 3. Prestasi, yaitu adanya obyek tertentu berupa prestasi dan kontraprestasi pada saat tercapainya persetujuan / kesepakatan yang berupa bunga atau imbalan. 4.risiko yang mungkin terjadi selama jangka waktu pemberian dan pelunasan kredit/pembiayan dan untuk menutup kemungkinan terjadinya ingkar janji / wanprestasi dari nasabah dengan cara pengikatan jaminan dan agunan.(9) (9) Loc.Cit, Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan, hal 238
B. Prinsip-prinsip pemberian kredit dan pembiayaan Dalam pasal 8 dan penjelasannya UU No.10/1998 berbunyi sebagai berikut : (1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, BankUmum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau iktikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. (2) Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia Sedangkan penjelasan pasal 8 tersebut berbunyi : Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asasasas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut,
83
sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur. Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan Nasabah Debitur mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapa digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan. Di samping itu, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisi Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau berisiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan. Ayat (2) Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain: a. pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis; b. bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur; c. kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; d. kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; e. larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada Nasabah Debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi; f. penyelesaian sengketa. Pada dasarnya menurut Dahlan Siamat yang dikutip oleh Rahmadi Usman sasaran konsep 5 C’s ( Character, capacity, capital, coleteral dan condition of economy ) ini akan
84
memberikan informasi mengenai i’tikad baik dan kemampuan membayar nasabah untuk melaunasi kembali pinjamannya (10) 10)Loc.Cit, Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, hal 246-250
Selanjutnya jika dilihat pasal 23 UU perbankan syariah yang mengatur tentang kelayakan penyaluran dana yang berbunyi : (1) Bank Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas. (2) Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, Agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah Penerima Fasilitas. Kemudian penjelasan undang-undang Perbankan syariah tentang pasal 23 berbunyi sebagai berikut : 1. Kemauan berkaitan dengan iktikad baik dari Nasabah Penerima Fasilitas untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh Bank Syariah dan/atau UUS. 2. Kemampuan berkaitan dengan keadaan dan/atau aset Nasabah Penerima Fasilitas sehingga mampu untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh Bank Syariah dan/atau UUS. 3. Penilaian watak calon Nasabah Penerima Fasilitas terutama didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antara Bank Syariah dan/atau UUS dan Nasabah atau calon Nasabah yang bersangkutan atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang dapat dipercaya sehingga Bank Syariah dan/atau UUS dapat menyimpulkan bahwa calon Nasabah Penerima Fasilitas yang bersangkutan jujur, beriktikad baik, dan tidak menyulitkan Bank Syariah dan/atau UUS di kemudian hari. 4. Penilaian kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas terutama Bank harus meneliti tentang keahlian Nasabah Penerima Fasilitas dalam bidang usahanya dan/atau kemampuan manajemen calon Nasabah sehingga Bank Syariah dan/atau UUS merasa yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dikelola oleh orang yang tepat.
85
5. Penilaian terhadap modal yang dimiliki calon Nasabah Penerima Fasilitas, terutama Bank Syariah dan/atau UUS harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara keseluruhan, baik untuk masa yang telah lalu maupun perkiraan untuk masa yang akan datang sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon Nasabah Penerima Fasilitas dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon Nasabah yang bersangkutan. 6. Dalam melakukan penilaian terhadap Agunan, Bank Syariah dan/atau UUS harus menilai barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas Pembiayaan yang bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi risiko yang ditambahkan sebagai Agunan tambahan, apakah sudah cukup memadai sehingga apabila Nasabah Penerima Fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya, Agunan tersebut dapat digunakan untuk menanggung pembayaran kembali Pembiayaan dari Bank Syariah dan/atau UUS yang bersangkutan. 7. Penilaian terhadap proyek usaha calon Nasabah Penerima Fasilitas, Bank Syariah terutama harus melakukan analisis mengenai keadaan pasar, baik di dalam maupun di luar negeri, baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan datang sehingga dapat diketahui prospek pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon Nasabah yang akan dibiayai dengan fasilitas Pembiayaan. Dari prinsip-prinsip yang terdapat dalam kedua undang-undang tersebut jika dicermati dan diperbandingkan secara subtansi tidak jauh berbeda, namun ketentuan pasal 23 berikut penjelasannya yang terdapat undang-undang perbankan syariah terutama yang menyangkut aspek penilaian 5 C’s itu relatif lebih lengkap, hal ini wajar saja karena UU Perbankan syariah diundangkan dan diberlakukan sesudah sepuluh tahun undangundang No.10/1998 telah berjalan atau diberlakukan.(11) (11) Penjelasan Umum Undang-undang No.21/2008 tentang Perbankan Syariah. Sumber www.BI.go.id)
Selain prinsip-prinsip kredit atau pembiayaan tersebut yang diatur secara tegas oleh hukum positif sebagaimana telah disebutkan diatas, terdapat juga beberapa prinsip yang dikemukakan oleh Munir Fuady yang dikutip Rachmadi Usman dalam pemberian kredit atau pembiayaan, yakni : 5
P,
yakni
:
(Party/
para
pihak,
Purpose/
tujuan,
Payment/
pembayaran,
Prifitability/perolehan laba perusahaan, Protection/ perlindungan) dan 3 R (Return/ hasil 86
yang diperoleh, Repayment /pembayaran kembali dan Risk Bearing Ability / kemampuan menanggung resiko yang harus mampu diantisipasi untuk menghindari kredit macet atau kerugian bagi bank )
Disamping prinsip-prinsip tersebut diatas, ada beberapa prinsip lain yang harus diperhatikan oleh bank dalam pemberian kredit/ fasilitas pembiayaan, yakni sebagai berikut : a. Prinsip Matching/ singkronisasi , yakni harus match antara pinjaman dengan aset perseroan. Jangan sekali-kali memberikan suatu pinjaman berjangka waktu pendek untuk kepentingan pembiayaan / investasi yang berjangka panjang. Karena hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya mismatch. b. Prinsip kesamaan valuta. Maksudnya adalah sedapat-dapatnya adanya kesamaan antara jenis valuta untuk kredit/pembiayaan untuk menghindari resiko fluktuasi gejolak nilai mata uang dalam pemberian kredit/pembiayaan yang bersangkutan. Meskipipun untuk itu tersedia apa yang disebut dengan currency hedging. c. Prinsip perbandingan antara pinjaman dengan modal. Maksudnya mestilah
ada
hubungan yang sifatnya hati-hati antara jumlah pinjaman dengan modal. Jika pinjamannya terlalu besar disebut high gearing. Sebaliknya jika pinjamannya terlalu kecil dibandingkan dengan modalnya disebut low gearing. Karena itu pinjaman dengan modal perusahaan harus didasarkan atas pertimbangan yang reasonable / seimbang. d. Prinsip perbandingan antara pinjaman dengan asset. Alternatif lain untuk menekan suatu resiko datri suatu pinjaman adalah dengan memperbandingkan antara besarnya pinjaman dengan asset, yang dikenal dengan gearing ratio. Biasanya klasifikasi gearing ratio dilakukan sebagai berikut : Ratio
Persantase
Rendah ...........................................> 6 - 20 Sedang ............................................> 20 - 40 Tinggi .............................................> diatas 40.(12) 12) loc.Cit, Rachmadi Usman, Aspek Hkum Perbankan di Indonesia,hal 249-251.
87
C. Bentuk dan klausul Perjanjian Kredit/ Aqad Fasilitas pembiayaan Undang-undang No.10/1998 tidak menentukan bentuk perjanjian kredit, namun dalam praktik umumnya perjanjian kredit dilakukan secara tertulis dalam perjanjian baku (standard contract). Perjanjian kredit bank bisa dibuat dibawah tangan dan bisa secara notarial. Menurut Ch. Gatot wardoyo yang dikutip oleh Rachmadi Usman, bahwa perjanjian kredit mempunai fungsi, yakni : 1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. 2.
perjanjian kredit sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara debitur dan kreditur.
3. perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.(13) 13) Loc.Cit, Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, hal 264-265.
Perjanjian kredit merupakan perjanjian baku (standard contract), dimana isi atau klausula-klausula perjanjian kredit tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blanko), tetapi tidak terikat dalam suatu bentuk tertentu. Calon nasabah debitur tinggal membubuhkan tanda tangannya saja apabila bersedia menerima isi perjanjian tersebut, tidak memberikan kesempatan kepada calon debitur untuk membicarakan lebih lanjut isi atau klausula-klausula yang diajukan pihak bank. Perjanjian baku ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya praktis dan kolektif. Pada tahap ini, kedudukan debitur sangat lemah, sehingga menerima saja syarat-syarat yang disodorkan oleh pihak bank, karena jika tidak demikian calon debitur tidak akan mendapatkan kredit yang diajukan. Terlepas dari polemik tentang pro dan kontra diantara para ahli mengenai perjanjian baku ini; karena keabsahan perjanjian baku ini terletak pada penerimaan masyarakat dalam lalu lintas bisnis guna memperlancar arus lalu lintas perdagangan dan bisnis. Dunia perdagangan dan bisnis membutuhkan kehadiran perjanjian baku guna menunjang dan menjamin kelangsungan hidup usaha perdagangan dan bisnis. Sutan Remy Sjahdeni menyatakan bahwa perjanjian baku dalam perjanjian kredit bahwa bank tidak hanya mewakili dirinya sebagai perusahaan bank tetapi juga
88
mengemban kepentingan masyarakat, yaitu masyarakat penyimpan dana dan selaku bagian dari sistem moneter. Oleh karen itu, dalam menentukan klausula baku dalam perjanjian kredit, pertimbangannya sangat berbeda bila dibandingkan dengan perjanjian baku yang dibuat oleh perorangan atau perusahaan biasa; maka atas dasar pertimbangan ini perjanjian baku dalam perjanjian kredit tidak dapat dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dan keadilan. Apabila klausula baku dalam perjanjian kredit itu digunakan justru
untuk mempertahankan atau melindungi eksistensi bank dan
melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang sistem moneter.(14) 14)Loc.Cit, Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, hal 265-267)
Menurut Sutan Remy Sjahdeni Perjanjian kredit yang baik seyogianya sekurangkurangnya memuat klausula-klausula sebagai berikut : a. klausula-klausula tentang maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit dan batas izin tarik; b. klausula-klausula tentang bunga, commitment fee, dan denda kelebihan tarik; c. klausula tentang kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening giro dan rekening pinjman nasabah debitur. d. klausula tentang representation and warranties, yakni klausula-klausula yang berisi pernyataan nasabah debitur mengenai fakta-fakta yang menyangkut status hukum, keadaan keuangan dan harta kekayaan nasabah debitur pada waktu kredit diberikan, yaitu yang menjadi asumsi-asumsi bank dalam mengambil keputusan untuk memberikan kredit tersebut; e. klausula tentang condition precedent, yakni klausula-klausula tentang syrat-syrat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh debitur sebelum bank berkewajiban untuk menyediakan dana bagi kredit tersebutdan nasabah debitur berhak untuk pertama kalinya menggunakan kredit tersebut; f. klausula tentang agunan kredit dan asuransi-asuransi barang agunan; 1. g.klausula-klausula tentang berlakunya syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan hubungan rekening koran bagi perjanjian kredit yang bersangkutan; g. klausula tentang affirmative covenant, yakni klausula yang berisi janji-janji nasabah debitur untuk melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit masih berlaku;
89
h. klausula tentang negative covenant, yakni klausula yang berisi janji nasabah debitur untuk tidak melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit berlaku; i. klausula tentang financial covenant, yang klausula yang berisi kewajiban nasabah debitur untuk menyampaikan laporannya keuangannya kepada bank dan memelihara posisi keuangannya pada minimal taraf tertentu; j. klausula tentang tindakan yang dapat diambil oleh bank dalam rangka pengawasan, pengamanan, penyelamatan dan penyelesaian kredit; k. klausula tentang event of default, yaitu klausula yang menentukan peristiwaperistiwa yang apabila terjadi memberikan hak kepada bank untuk secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika serta sekaligus menagih outstanding kredit; l. klausula tentang arbitrase, klausula yang mengatur mengenai penyelesaian perbedaan atau perselisihan di antara para pihak melalui suatu badan arbitrase ad hoc atau arbitrase institusional; m. klausula miscellaneous provisions atau boilerplate provisions, yaitu klausula yang berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang belum tertampung secara khusus di dalam klausula-klausula lain, termasuk di dalam klausula-klausula ini yang disebut pasal tambahan yang belum diatur dan atau sebagai syarat-syarat dan ketentuan lain yang menyimpang dari ketentuan dan syarat yang sudah tercetak dalam perjanjian kredit yang merupakan perjanjian baku.(15) 15) Op.Cit, Sutan Remy Sjahdeni, kebebasan berkontrak dan perlindungan yang seimbang bagi Para Pihak dalam perjanjian kreditBank Di Indonesia, hal 178-179.
Menurut Ch Gatot Wardoyo, ada beberapa klausula yang selalu dan perlu dicantumkan dalam setiap perjanjian kredit, yakni : 1. syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (predisbursement clause). Klausula ini menyangkut : a. pembayaran provisi, premi asuransi kredit dan asuransi barang jaminan serta biaya pengikatan jaminan secara tunai; b. penyerahan barang jaminan dan dokumennyaserta pelaksanaan pengiktan barang jaminan;
90
c. pelaksanaan penutupan asuransi barang jaminan dan asuransi kredit dengan tujuan untuk memperkecil resiko yang terjadi di luar kesalahan debitur maupun kreditur; 2. klausula mengenai maksimum kredit (amount clause). Klausula ini mempunyai arti penting dalam beberapa hal, yaitu : a. merupakan obyek dari perjanjian kredit sehingga perubahan kesepakatan mengenai materi ini akan menimbulkan konsekwensi diperlukannya pembuatan perjanjian kredit baru; b. merupakan batas kewajiban pihak kreditur berupa penyediaan dana selama tenggang waktu perjanjian kredit, yang berarti pula batas hak debitur untuk melakukan penarikan pinjaman; c. merupakan penetapan berapa besarnya nilai agunan yang harus diserahkan,
dasar
perhitungan
penetapan
besarnya
provisi
atau
commitmen fee; merupakan batas dikenakannya denda kelebihan tarik (overdraft) 3. Klausula mengenai jangka waktu kredit, yang kepentingannya untuk : a. merupakan batas waktu bagi bank, kapan harus menyediakan dana sebesar maksimum kkredit berakhir dan sesudah dilewatinya jangka waktu ini sehingga menimbulkan hak tagih/ pengembalian kredit dari nasabah; b. merupakan batas waktu kapan bank boleh melakukan teguran kepada debitur bila tidak memenuhi kewajiban tepat pada waktunya; c. merupakan suatu masa yang tepat bagi bank untuk melakukan tinjauan atau analisis kembali apakah fasilitas kredit tersebut perlu diperpanjang atau segera ditagih kembali; 4. Klausula mengenai bunga pinjaman (interst clause) . Klausula ini harus dicantumkan secara tegas dalam perjanjian kredit dengan maksud untuk : a. memberikan kepastian mengenai hak bank untuk memungut bunga yang merupakan penghasilan bank baik secara langsung maupun tidak langsung akan diperhitungkan dengan biaya dana untuk penyediaan fasilitas kredit tersebut; b. pengesahan pemungutan bunga di atas 6 % pertahun asalkan diperjanjikan secara tertulis.
91
5. Klausula mengenai barang agunan kredit yang bertujuan agar pihak debitur tidak melakukan penarikan atau pergantian barang jaminan secara sepihak tanpa persetujuan dan kesepakatan dari pihak bank. 6. Klusula asuransi yang bertujuan untuk pengalihan resiko yang mungkin terjadi, baik atas barang agunan maupun atas kreditnya sendiri. Adapun materinya perlu memuat mengenai maskapai asuransi yan ditunjuk, premi asuransinya, keharusan polis asuransi untuk disimpan di bank, dan sebagainya. 7. klausula mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (negative clause). Kalusula ini terdiri atas berbagai macam hal yang mempunyai akibat yuridis dan ekonomi bagi pengamanan kepentingan bank; 8. Tigger clause atau opisbaar clause adalah klausula hak bank umum untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir; 9. klausula mengenai denda (penalty clause), yang dimaksudkan untuk mepertegas hakhak bank untuk melakukan pungutan denda, baik mengenai besarnya maupun kondisinya. 10.Expence Clause. Kalusula ini mengatur mengenai beban biaya dan ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit, yang biasanya dibebankan kepada nasabah dan meliputi antara lain biaya pengikatan jaminan, pembuatan akta-akta perjanjian kredit, pengakuan utang dan penagihan kredit; 11. Debet Autho Rization Clause yakni pendebetan rekening pinjaman debitur haruslah dengan izin debitur. 12. Represention and warranties/ Material adverse change clause, adalah klausula yang dimaksudkan bahwa pihak debitur menjanjikan dan menjamin semua data dan informasi yang diberikan kepada bank adalah benar dan tidak diputarbalikkan. 13.Klausula ketaatan pada ketentuan bank, adalah klausula yang tujuannya untuk menjag kemungkinan bila terdapat hal-hal yang tidak diperjanjikan secara khusus tetapi dianggap telah menjadi sesuatu yang lazim dan umum. 14. Klausula-klausula tambahan / Miscellaneuos / boiler plate provision. 15. Klausula mengenai metode penyelesaian perselisihan antara debitur dengan kreditur secara arbitrase (Dispute Settlement / Alaternatif Dispute Resolution).
92
16. Pasal-pasal penutup, yang merupakan eksemplar perjanjian kredit yang maksudnya pengaturan mengenai jumlah alat bukti dan mulai berlakunya perjanjian kredit serta penandatangan perjanjian kredit oleh pihak yang berwenang untuk membubuhkan anda tangan dalam perjanjian kredit tersebut.(16) 16)Loc.Cit, Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, hal 270-272)
Sementara itu klausul perjanjian pembiayaan atau fasilitas pinjaman dalam perbankan syariah, hal-hal yang menyangkut klausul yang diterangkan diatas dapat berlaku untuk kegiatan pembiayaan dalam perbankan syariah sesuai dengan akad-akad yang telah dijelaskan diatas yang terkait dengan kodifikasi produk perbankan syariah sepanjang klausul-klausul itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan produk perbankan syariah yang diatur dalam UU No.21/2008 tentang perbankan syariah, misalnya klausul bunga tidak mungkin dimasukkan dalam akad perjanjian pembiayaan yang berdasarkan syariah. D. Perlindungan yang setara subyek perjanjian kredit. Dalam masyarakat ada kesan bahwa hubungan antara bank dan nasabah debitur, bank selalu berada di posisi yang lebih kuat. Pada waktu kredit akan diberikan, pada umumnya memang bank selalu berada dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan dengan calon nasabah debitur. Hal tersebut terjadi karena pada saat pembuatan perjanjian kredit, calon nasabah debitur sangat membutuhkan bantuan kredit itu dari bank. Umumnya calon nasabah debitur tidak akan banyak menuntut karena mereka khawatir pemberian kredit tersebut dibatalkan oleh bank. Hal ini menyebabkan posisi tawar menawar bank menjadi sangat kuat. Tetapi setelah kredit diberikan berdasarkan kredit, ternyata kedudukan bank lemah. Kedudukan bank setelah kredit diberikan banyak tergantung kepada integritas nasabah debitur. Bila nasabah debitur mempunyai integritas yang baik dan sportif bersedia membayar kembali kredit yang telah macet, maka bank harus melakukan penyelesaian melalui bantuan hukum. Tetapi yang banyak terjadi bahwa dalam keadaan kredit macet, baik karena kredit disalahgunakan maupun karena usaha debitur mengalami kemacetan, ternyata bank tidak dapat mengandalkan sarana-sarana contract enforcement yang disediakan oleh hukum itu sangat tidak memadaiuntuk memberikan perlindungan kepada bank, sehingga seringkali membuat bank tidak berdaya sama sekali.
93
Dengan demikian dalam perjanjian kredit antara bank dan nasabah debitur bukan hubungan kemitraan yang saling memerlukan, namun terlihat subyek hukum perjanjian kredit bank yang saling memaksakan kehendaknya. Bagi golongan pengusaha ekonomi lemah dan menengah dalam melakukan perjanjian yang demikian itu tidak terlalu banyak menuntut, sebaliknya pada saat berhadapan dengan pengusaha ekonomi kuat, pihak bank sering kali mengalah demi keuntungan yang amat besar yang akan didapatnya. Padahal dalam hukum perjanjian suatu perjanjian harus dibuat dan dilaksanakan harus dengan i’tikad baik dalam rangka hubungan kemitraan dan demikian halnya dalam membuat dan melaksanakan perjanjian kredit bank, bank dan nasabah debitur saling memerlukan dan membutuhkan dalam upaya untuk mengembangkan usahanya masing-masing walaupun dalam kedudukan yang berbeda. Karena dalam hukum perdata kita, perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik tidak saja pada saat membuat perjanjian tetapi pada saat dimulainya,
sesudah berjalannya perjanjian sampai dengan berakhirnya perjanjian
tersebut, maka oleh karena itu perjanjian harus dilandasi oleh asas kemitraan. Asas kemitraan ini mengharuskan adanya sikap bahwa pihak yang berhadapan dalam membuat, mentaati perjanjian itu adalah dua mitra janji dan bukan dua lawan janji. Lebih-lebih dalam perjanjian kredit ini antara bank dan debitur adalah dua pihak yang saling memerlukan dan membutuhkan sehingga semestinya sikap yang dikembangkan adalah sebagai mitra usaha, nasabah tidak dapat berkembang usahanya tanpa bank dan begitu juga sebaliknya bank tidak akan berkembang usahanya tanpa nasabah. Kedudukan para pihak yang tidak seimbang itulah yang dimanfaatkan oleh pihak bank untuk membuat klausula-klausula yang memberatkan nasabah debitur yang tidak wajar dan tidak adil, sebaliknya pihak bank terlindungi kepentingannya dengan membebani sejumlah kewajiban dan yang merupakan hak-hak bank dalam pencantuman klausula-klausula dalam perjanjian kredit yang harus dipenuhi oleh nasabah debitur. Klausula-klausula yang tidak wajar yang sangat memberatkan adalah klausula eksemsi yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak semestinya melaksanakan kewajiban tersebut.
94
Adapun klausula-klausula yang tidak wajar dan sangat memberatkan nasabah debitur, yaitu sebagai berikut :
kewenangan bank untuk sewaktu-waktu tanpa alasan apapun dan tanpa pemberitahuan sebelumnya secara sepihak menghentikan izin tarik kredit.
Kewenangan bank secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal dilakukan penjualan barang agunan karena kredit nasabah macet;
Kewenangan bank untuk secara sepihak sewaktu-waktu dapat mengubah tingkat suku bunga kredit;
Kewajiban nasabah debitur untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan masih akan ditetapkan kemudian oleh bank;
Keharusan nasabah debitur untuk tunduk kepada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum hubungan rekening koran dari bank yang bersangkutan,
namun
tanpa
sebelumnya
nasabah
debitur
diberi
kesempatan untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum hubungan rekening koran tersebut;
Kuasa nasabah debitur yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank untuk dapat melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank;
Kuasa nasabah debitur kepada bank untuk mewakili an melaksanakan hakhak nasabah debitur dalam setiap RUPS;
Pembuktian kelalaian nasabah debitur secara sepihak oleh bank;
Pencantuman klausula eksemsi yang membebaskan bank dari tuntutan ganti rugi oleh nasabah debitur atas kerugian yang diderita oleh nasabah debitur sebagai akibat tindakan bank.
Adanya klausula-klausula yang demikian adalah upaya bank untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit. Bank tidak ingin mengalami kerugian yang disebabkan nasabah debitur tidak sanggup dan mampu lagi melunasi utangnya. Oleh karena itu perlu diadakan peraturan tentang perkreditan perbankan yang memuat pedoman pelaksanaan perjanjian kredit yang berlandaskan kepada kewajaran , keseimbangan dan keadilan.(17)
95
17) Loc.Cit, Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, hal 274-277)
E. Jaminan kredit bank. 1. Pengertian jaminan kredit. Bank dalam memberikan kredit harus berdasarkan analisis pemberian kredit yang memadai, agar kredit-kredit yang diberikan tidak mudah menjadi kredit yang macet, karena bila kredit-kredit yang diberikan banyak mengalami kemacetan, sudah barang tentu akan melumpuhkan bank dalam melaksanakan kewajibannya melakukan pembayaran kembali kepada nasabah yang menyimpan dananya di bank yang bersangkutan. Undang-undang No.10/1998 menyebutkan dalam pasal 8 menyatakan: ” Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan ”. Sedangkan ayat pasal 8 ayat 2 berbunyi : ” Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayan berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ”. Selanjutnya dalam pasal 29 ayat 3 disebutkan : ” Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dean melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang menyimpan dananya kepada bank ”. Undang-undang No.10/1998 tentang perbankan melalui pasal 8 dan penjelasannya membedakan antara pengertian jaminan dan agunan dan jaminan. Agunan pokok adalah barang, surat berhargaatau garansi yang berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai kredit yang bersangkutan seperti barang-barang yang dengan kredit yang dijaminkan, proyek-proyek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan maupun tagihan-tagihan debitur. Sedangkan agunan tambahan adalah barang, surat berharga atau garansi yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Sesuai dengan penjelasan pasal 8, maka agunan tambahan bukan sesuatu yang pokok dalam pemberian kredit atau pembiayaan syariah yang bersangkutan, karena memang orientasi dari undang-undang tidak lagi colleteral orinted tetapi bisa berdasarkan unsur-
96
unsur yang telah diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah dalam mengembalikan utangnya. Djuhendah Hasan mengemukakan bahwa pertimbangan dan penilaian terhadap unsur-unsur Charecter, capital, capacity, condition of economy debitur tanpa memberi tekanan kepada colleteral memang dapat membantu para pengusaha yang menjalankan usaha dengan prospek usaha yang baik dalam kondisi perusahaannya yang sehat dan berjalan dengan baik, tetapi akan menjadi masalah bagi bank, apabila dalam perusahaan debitur tidak berjalan mulus sebagaimana yang telah dinilai semula oleh pihak bank. Ini merupakan suatu dilema, di satu sisi bank harus membantu golongan ekonomi lemah, namun di sisi lain bank juga harus melindungi keuangannya sebagai kreditur, karena itu perlu pernyataan kembali tentang jaminan dalam perjanjian kredit yang lebih menjamin kepastian kembali kredit yang disalurkan, yakni dengan jalan penilaian dengan seksama yang proyek yang dijalankan oleh penerima kredit dan melakukan pengawasan terhadap debitur yang menerima kredit. 2.Kegunaan jaminan kredit adalah untuk : a.) memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat pelunasan dari agunan apabila debitur cidera janji, yaitu tidak melakukan pembayaran atas utangnya yang telah ditetapkan dalam perjanjian; b.) menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya untuk berbuat demikian dapat diperkecil; c.) memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai syarat-syarat yang telah disetujui agar debitur dan / atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank. Dapatlah disimpulkan bahwa jaminan kredit bank berfungsi untuk menjamin pelunasan utang debitur, bila debitur cidera janji atau pailit. Jaminan kredit akan memberikan kepastian hukum kepada pihak perbankan bahwa kreditnya akan tetap kembali dengan cara mengeksekusi jaminan kredit perbankannya.
97
3. Penggolongan jaminan kredit bank. Jaminan kredit dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan sudut pandang tertentu, yakni sebagai berikut : a.) Jaminan karena undang-undang dan karena perjanjian. Jaminan karena undang sebagaimana bunyi pasal 1132 KUH Perdata yang berbunyi : Hak kebendaan itu telah menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutangkan kepadanya, pendapatan penjualan benda tersebut dibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing”. Dan pasal 1134 ayat 1 adalah hak retensi, yakni suatu hak menahan barang yang dipertanggungkan sampai utang tersebut dilunasi oleh debitur. Sedangkan jaminan karena perjanjian adakah jaminan yang diadakan oleh para pihak sebelumnya, seperti gadai, hipotik, fidusia dll. b.) Jaminan umum dan jaminan khusus Pada prinsipnya, menurut hukum segala harta kekayaan debitur adalah jaminan bagi perikatan yang dibuatnya. Hal itu ditegaskan dalam pasal 1131 KUH Perdata yang berbunyi : ” Bahwa segala harta kekayaan yang dimiliki debitur adalah merupakan jaminan/tanggungan bagi pemenuhan kewajiban-kewajiban/ hutang dari perkatan yang dibuatnya, baik yang sudah ada maupun yang akan ada d emudian hari ”. Dengan demikian, tanpa kecuali seluruh harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan umum atas segala utangnya, baik yang telah diperjanjikan maupun tidak diperjanjikan sebelumnya. Dalam jaminan yang bersifat umum ini, semua kreditur mempunyai kedudukan yang sama terhadap kreditur-kreditur lain, tidak ada kreditur yang diutamakan dan diistimewakan. Pelunasa utangnya dibagi secara seimbang sebagaimana bunyi pasal 1132 tersebut diatas, walaupun pasal 1132 KUH Perdata diatas juga menyatakan kemungkinan adanya pengecualian yakni adabnya kreditur yang diutamakan terhadap kreditur lain, yaitu pemegang hak privilege, gadai dan hipotik yang berarti kedudukan para kreditur ditentukan oleh jenis jaminan yang dipegangnya. Jaminan umum ini dalam praktek perkreditan tidak memuaskan kreditur, kurang menimbulkan rasa aman dan terjamin bagi kredit yang diberikan. Dengan jaminan umum tersebut, kreditur tidak mngetahui secara persis berapa jumlah kekayaan debitur yang ada sekarang maupun yang akan ada di kemudian hari, serta kepada siapa saja debitur berutang, sehingga khawatir hasil penjualan harta kekayaan tidak cukup untuk melunasi
98
utang-utangnya. Untuk itu kreditur memerlukan adanya benda-benda tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan piutangnya dan itu hanya berlaku untuk kreditur tersebut (kreditur konkuren). Dengan perkatan lain kreditur meminta jaminan yang dikhususkan baginya baik yang bersifat kebendaan maupun perorangan, yang memberikan hak yang didahulukan (kreditur preferen) yang diperjanjikan secara khusus. c.) Jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, ciri-cirinya mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan. ( contoh hipotik, gadai dll). Sedangkan jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perseorangan tertentu, terhadap harta kekayaan debitur pada umumnya (contoh borgtocht/personal guarantee), pada hak kebendaan berlaku asas prioritas, sedangkan pada jaminan perseorangan berlaku asas kesamaan hak pada perorangan. Jaminan kebendaan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud / bertubuh dengan benda tak berwujud/ tak bertubuh. Pengikatan benda berwujud/ bertubuh dengan gadai dan fidusia ( UU No.42/1999 tentang Fiducia), sedangkan pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie (pengoperan hak tagih atas nama) dan account receivable. Benda dikatakan sebagai benda tidak bergerak atau tetap adalah kebendaan yang karena sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan , baik karena peruntukaanya (contoh tanah dan bangunan atau hak-hak yang diatur oleh Undang-undang pokok agraria), atau karena undang-undang menggolongkan benda itu sebagai benda tidak bergerak ( Kapal terbang dan kapal laut yang beratnya melebihi 2 ton). Pengikatan benda tak bergerak yang berupa tanah atau bangunan dengan Hak tanggungan ( Undang-undang Nomor 4/1996), sedangkan benda tak bergerak karena ketentuan undang-undang pengikatannya masih dengan hipotik yang terdapat dalam pasal 507 dan 508 KUH Perdata. Sedangkan jaminan perseorangan dapat berupa personal guarantee, jaminan perusahaan (corporate guarantee) dan bank garansi. Dalam personal guarantee, pemberi jaminannya adalah pihak ketiga secara perorangan, sedangkan pada corporate guarantee adalah badan usaha
99
yang berbadan hukum. Garansi bank diberikan oleh bank guna menjamin pembayaran suatu jumlah tertentu apabila pihak yang dijamin cidera janji. d.) Jaminan pokok dan jaminan tambahan Jaminan pokok adalah jaminan yang tercantum secara tegas dalam klausul perjanjian kredit, sedangkan jaminan tambahan, adalah jaminan yang diikat tersendiri dari perjanjian kredit sebagai perjanjian accesoir yang semata-mata merupakan jaminan tambahan atas jaminan utamanya atas barang/proyek yang dibiayai oleh kredit tersebut. e.) Jaminan regulatif dan jaminan non regulatif Jaminan regulatif/konvensional
adalah jaminan yang kelembagaanya sendiri
sudah diatur secata tegas dan sudah mendapat pengakuan dari peraturan perundangundangan yang berlaku seperti hipotik, gadai, fiducia, hak tanggungan, akta pengakuan utang dll.
Sedangkan jaminan non regulatif/non konvensional adalah bentuk-bentuk
jaminan yang tidak diatur secara khusus dalam berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi dikenal, diakui dan dilaksanakan dalam praktek seperti pengalihan tagihan dagang debitur (assignment of receivable), pengalihan tagihan klaim asuransi (assignment of insurance proceeds), atau yang bersifat kontrak seperti kuasa menjual.dan jaminan menutup kekurangan biaya ( cash deficiency) (18) 18)Loc.Cit, Rachmadi Usman, hal 281-292
8. Pembinaan dan Pengawasan Bank. a) dalam undang-undang Nomor 10/1998 tentang Perbankan Apa yang dimaksud dengan fungsi ” pembinaan ” dan ” pengawasan ” bank oleh bank Indonesia dapat dibaca pada pasal 29 UU No.10/1998, yang di dalam penjelasannya memberikan pengertian sebagai berikut : 1. Pembinaan adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menerapkan peraturanperaturan yang menyangkut aspek-aspek : kelembagaan bank, kepemilikan bank, kepengurusan bank , kegiatan usaha bank, pelaporan bank dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kegiatan operasional bank; jadi fungsi pembinaan menitik beratkan pada fungsi regulasi yakni pembuatan peraturan-peraturan yang berfungsi sebagai acuan bagi bank dalam melaksanakan berbagai hal sebagai tersebut diatas;
100
2. Pengawasan meliputi pengawasan langsung dan tidak langsung. Pengawasan langsung merupakan pemeriksaan dan tindakan-tindakan perbaikan, sedangkan pengawasan tidak langsung adalah melalui penelitian dan analisis dan evaluasi laporan. Pengawasan menitik beratkan pada tindakan supervisi atau penyeliaan terhadap laporan yang disebutkan tadi. Selanjutnya penjelasan pasal 29 juga menyebutkan tujuan dari pembinaan dan pengawasan, yakni : a). Kedua fungsi diatas, dilakukan oleh Bank Indonesia selaku Bank sentral, mengingat bank bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan bank atas dasar kepercayaan, karenanya keadaan bank perlu dipantau oleh Bank Indonesia; b). Agar kesehatan bank tetap terjaga dan kepercayaan masyarakat terhadap bank tetap terpelihara, sebab kepercayaan masyarakat terhadap lembga perbankan hanya dapat ditumbuhkan apabila lembaga perbankan dalam kegiatan usahanya selalu berada dalam keadaan sehat; c).Sejalan dengan itu, Bank Indonesia diberi kewenangan, tanggung jawab dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya yang bersifat prepentif dalam bentuk ketentuan-letentuan, petunjuk-petunjuk, nasihat-nasihat, bimbingan dan pengarahan maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan; d).Disisi lain, bank harus mempunyai dan menerapkan sistem pengawasan internal dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambil keputusan dalam pengelolaaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Itulah yang menjadi tujuan umum pembinaan dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia, yang pada intinya tujuan pembinaan dan pengawasan bank adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat dan efisien, sehingga kesehatannya tetap terjaga dan kepercayaan masyarakat terhadapnya juga terpelihara. Kalau tidak demikian, sistem perbankan dan perekonomian nasional bisa terancam. Pembinaan dan pengawasan terhadap bank oleh Bank Indonesia tidak dimaksudkan untuk : 1.) mengganti manajemen bank dalam melakukan dan mengambil keputusan bisnisnya atas nama bank yang dikelolanya.Sebagai sebuah unit ekonomi yang independen dalam
101
sistem ekonomi yang luas, bank memiliki pertimbangan-pertimbangan sendiri yang bebas dalam rangkan memelihara kesinambungan eksistensinya di dalam tatanan tersebut. Keputusan-keputusan- keputusan yang diambil sepenuhnya dilakukan oleh manajemen bank. Batasan-batasan dan nilai-nilai yang mungkin diberikan oleh pemilik,masyarakat maupun pemerintah dimaksudkan untuk membantu manajemen dalam menjalankan kegiatan operasi bank, dalam arti mempengaruhi pemikiran dan perilaku manajemen, sehingga kegiatan tersebut diarahkan pada tujuan-tujuan yang dikehendaki bersama. Justifikasi tentang arah pengembangan yang ingin dicapai bank sepenuhnya merupakan perwujudan keputusan-leputusan independen dari manjemen bank; 2.) Tidak menjamin bank tidak akan jatuh bankrut. Pengawasan pada hakekatnya merupakan tugas dan kewajiban dari semua pihak yang terkait dengan bank, yaitu manajemen bank, pemilik bank, masyarakat termasuk para nasabah dan pemerintah yang dalam hal ini berfungsi sebagai otoritas pengawasan bank yang diwakili oleh Bank Indonesia. Semua pihak dimaksud mempunyai pengaruh terhadap arah dan operasi bank. Walaupun pihak-pihak yang dimaksud dapat mempengaruhi kegiatan bank, namun tingkat pengaruh berbada antara yang satu dengan yang lainnya. 3.) Bukan untuk mencegah atau melarang bank mengambil resiko bisnis dalam kegiatan operasionalnya. Sebagai unit usaha yang berorientasi memperoleh laba, bank akan selalu dihadapkan pada berbagai alternatif bisnis yang dapat menjanjikan keuntungan ataupun kemungkinan resiko kerugian. Dengan demikian, kerugian bukanlah sesuatu yang tidak lazim dan merupakan suatu sifat yang melekat pada fungsi pelaksanaan manajemen oleh pengelola. Dalam hal ini, yang tidak lazim adalah apabila dalam mengelolanya, manajemen secara sengaja atau pun sadar telah mengabaikan prinsip-prinsip pengelolaan yang sehat, atau apabila kerugian tersebut berlansung secara berkelanjutan tanpa upayaupaya untuk mengurangi atau pun menghilangkannya; 4.) Untuk menciptakan iklim persaingan yang sehat. Persaingan antar bank, justru iklim yang ingin diciptakan oleh kebijakan deregulasi karena dengan iklim tersebut, dapat diharapkan menciptakan efisiensi dalam perbankan. Demikian pula, kebijakan pengendalian moneter, khususnya pengendalian tidak langsung oleh bank Indonesia, dimaksudkan untuk memberikan kepercayaan kepada perbankan dan sektor-sektor swasta untuk mengatur dirinya sendiri dalam memaksimalkan dan mengefisenkan sumber-
102
sumber pendanaan masyarakatpada sektor-sektor bisnis yang memang memerlukan bantuan kredit perbankan. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa bank mampu memaksimalkan pelayanannya kepada masyarakat. Peran pemerintah memang ada, namun itu tahap terakhir, manajemen bank sebagai pelaku ekonomilah yang menentukan arah pengalokasian dana yang dihimpunnya dari masyarakat.
b) Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 199 tentang Bank Indonesia Selanjutnya Undang-undang No.23/1999 tentang Bank Indonesia, dalam pasal 24 sampai dengan pasal 27 mengatur lebih lanjut tentang kewenangan Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan dan pembinaan bank, yakni sebagai berikut : i. menetapkan peraturan (power to regulate) ii. melaksanakan tugas mengatur bank. Bank Indonesia meiliki kewenangan menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian, yang ditetapkan Peraturan Bank Indonesia. Ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehatihatian bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan yang didukung oleh sanksi-sanksi yang adil serta harus disesuaikan dengan standar yang berlaku secara Internasional. iii. memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan usaha tertentu dari bank (Power of licence) Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, maka BI dapat : a. memberikan dan mencabut izin usaha bank; b. memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank; c. memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank; d. memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu. iv. melaksanakan pengawasan bank (power to control), baik pengawasan langsung maupun tidak langsung. Berkaitan dengan kewenangan ini undang-undang tentang Bank Indonesia telah mengamanatkan untuk membentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam perundang-undangan tersendiri, yang tujuannya agar terciptanya indepedensi pengawasan dan mengurangi tugas Bank Indonesia yang sangat complecited; namun tetap berkoordinasi dengan bank Indonesia. v. mengenakan sanksi terhadap bank, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
103
c) Ruang lingkup pembinaan dan pengawasan BI. Aspek ruang lingkup pembinaan dan pengawasan Bank Indonesia terhadap bank adalah : 1.) Tingkat kesehatan Bank, yang hampir dilakukan oleh semua negara di dunia ini. Penilaian kesehatan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia ini didasarkan oleh pasal 29 ayat 2 dan ayat 5 UU No.10/1998 tentang perbankan yang didasarkan pada kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas dan aspekaspek lain yang berhungan dengan kegiatan perbankan. Kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua pihak berdasarkan tolak ukur tertentu yang ditetapkan dengan mengkuantifikasi berbagai komponen diatas, yang hasil kuantifikasi itu dihubungan faktor-faktor lain seperti pemberian kredit kepada Usaha kecil dan menengah, ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) kepada pihak perusahaan yang terafiliasi dan ketentuan Posisi Devisa Netto (PDN) Predikat tingkat kesehatan bank dikategorikan kepada sehat, cukup sehat atau kurang sehat. Suatu bank bisa dikategorikan tidak sehat, apabila : a. perselisihan internal yang diperkirakan akan menimbulkan kesulitan dalam bank yang bersangkutan; b. campur tangan dari pihak-pihak di luar bank dalam kepengurusan (manajemen) bank, termasuk di dalamnya kerjasama yang tidak wajar yang mengakibatkan salah satu kantor atau beberapa kantornya berdiri sendiri. c. ” Window dressing ” dalam pembukuan dan / atau laporan bank yang secara materiil dapat berpengaruh terhadap keuangan bank, sehingga dapat penilaian yang keliru terhadap bank (untuk hal ini pernah terjadi pada kasus Bank Lippo) d. Praktek
” bank dalam bank” atau melakukan usaha bank di luar
pembukuan bank e. kesulitan keuangan yang dapat mengakibatkan penghentian sementara atau pengunduran diri dari keikutsertaan dalam kliring; f. praktek perbankan lain yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank dan/atau menurunkan tingkat kesehatan bank. 2.) Pelaksanaan kewajiban-kewajiban lainnya oleh bank untuk mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Misalnya penyampaian informasi yang diperlukan
104
baik oleh nasabah dan Bank Indonesia dan dalam rangka memperoleh kebenaran informasi itu bank harus memberikan kesempatan kepada otorita pembina untuk memeriksa buku-buku, berkas-berkas, catatan-catan, dokumen yang ada pada bank , menyampaikan neraca dan laporan rugi/ laba kepada Bank Indonesia dan mengumumkan secara terbuka di surat kabar.(19) 19) Racmadi Usman, Aspek-aspek hukum Perbankan di Indonesia, hal 122-134
d) Peranan dan Fungsi bank Sentral Menurut Munir Fuady. Selanjutnya Menurut Munir Fuady dalam bukunya : ” Hukum Perbankan Modern ” menyatakan peran bank sentral secara makro dalam dunia perbankan adalah merupakan urat nadinya perekonomian di suatu negara, sehingga peranan sektor perbankan dapat mempengaruhi maju mundurnya perekonomian di negara yang bersangkutan. Selain secara makro, maka secara mikro peranan bank sentral sangat menentukan untuk dapat meminimalkan resiko-resiko dari dunia perbankan seperti resiko likuiditas, resiko kredit, resiko manajemen, resiko kepemilikan, resiko kepercayaan masyarakat dan lain sebagainya. Dimana resiko-resiko itu
harus diantisipasi guna melindungi masyarakat
berhubung adanya dana dari masyarakat dalam bank-bank tersebut. Sesungguhnya bagaimana peran dan fungsi bank sentral pada umumnya terdapat variasi dari berbagai negara, namun dalam hal-hal yang mendasar pada prinsipnya fungsi mereka sama. Berikut ini peran dan fungsi bank sentral di berbagai negara dengan berbagai variasinya : 1.) sebagai Note/Currensie Issue, yakni fungsi bank sentral yang cukup vital adalah kewenangannya dalam menerbitkan uang dari suatu negara. Inilah adalah kewenangan yang monopoli dari bank sentral. Jadi dalam hal ini bank sentral mempunyai tugas untuk menghitung berapa uang yang mesti dikeluarkan / dicetak oleh suatu negara. 2.) sebagai reserve requirement, yakni fungsi bank sentral yang berkaitan dengan teoriteori dan sistem-sistem yang dianut dalam hal penerbitan uang. Dalam hal ini Bank sentral harus memiliki reserve tertentu, seperti emas, colleteral, goverment bond dan lainlain sesuai dengan teori dan sistem mana yang lebih ditekankan yang berhubungan dengan currency regulation
105
3.) sebagai credit control / pengendali kredit, yakni tugas ini berkaitan dengan pengaturan sebagai currency, karena dengan pemberian kredit akan berpengaruh secara langsung kepada jumlah uang dalam sirkulasi. Tentang tujuan pengontrolan kredit ini, ada beberapa pendangan/pendapat para ahli, yakni sebagai berikut : (a). tujuan pengontrolan kredit adalah untuk menjaga stabilitas alat tukar uang; (b.) pengontrolan kredit bertujuan untuk menjaga stabilitas harga secara internal; (c.) pengontrolan kredit bertujuan untuk menghilangkan lingkran peredaran bisnis (business cycle); (d) tujuan pengontrolan kredit adalah untuk mengkombinasi antara faktor stabilitas alat tukar internasional dengan faktor peningkatan dan mempertahankan tingginya penyerapan tenaga kerja dan real income dari masyarakat; Selanjutnya metode yang digunakan dalam pengontrolan kredit, menggunakan beberapa metode, yakni sebagai berikut : (1) Bank Rate Policy, melakukan pengontrolan kredit dengan jalan pergantian discount rate yang akan dapat mempengaruhi rate of interest di pasar, yang akan memainkan peranan penting dalam hal pemberian kredit. (2) Open Marker Operation, yaitu tindakan yang melibatkan jual beli securities/efek yang beredar di pasar / masyarakat sehingga dapat membawa pengaruh terhadap sirkulasi jumlah uang yang beredar di pasar; (3) Variable Reserve System, yaitu dibuatnya reserve / batasan yang diperlukan oleh suatu komersial bank sehingga dapat mempengaruhi kekuatan bank dalam hal menyalurkan kredit Contoh : kebijakan Tigh Money Policy/kebijakan uang ketat. (4) Selective credit controls, yaitu merupakan pengontrolan yang selektif dari Bank sentral terhadap arus pemberian kredit terhadap suatu channel atau saluran atau jenis permohonan kredit tertentu. (5) Credit Rationing, yaitu tindakan bank sentral untuk membatasi ketersediaan currency yang dapat dipakai untuk melakukan rediscounting dan membatasi jumlahnya yang tersedia untu masing-masing bank;
106
(6) Moral Suasion, yaitu persuasi moral secara friendly yang dilakukan oleh bank sentral terhadap kebijakan lending credit dari suatu bank komersial/ janga terlalu jor-joran dalam memberikan kredit. (7) Direct Action, yaitu merupakan tindakan dari bank sentral secara paksa dengan kriteria-kriteria tertentu untuk mencegah hal-hal yang bertentangan dari policy / kebijakan bank sentral mengenai perkreditan. 4.) Peranan Bank sentral dalam hubungan Bank Rate Policy. Peranan ini berasal dari fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort. Dalam hal ini bank sentral berkewajiban untuk menyediakan fasilitas terhadap bank yang berada dalam keadaan darurat/ emergency, dengan jalan merediskonto fasilitas terhadap bank-bank tersebut asalkan bank-bank tersebut dapat menyediakan aset yang tergolong short term/ jangka pendek yang dianggap layak oleh bank sentral. Biasanya apabila bank rate dari bank sentral rendah, maka hal ini akan meningkatkan jumlah peredaran uang di pasar, sebaliknya jika bank rate tinggi, maka jumlah peredaran uang akan menjadi rendah. Jika bank rate tinggi, maka marker rate akan menjadi tinggi. Tingginya market rate akan mengakibatkan berkurangnya pengambilan pinjaman sehingga akan mengurangi pengambilan kredit. 5.) Peranan Bank sentral dalam hubungan Open Market Operation. Pada prinsipnya, Operasi Pasar Terbuka/Open Market Operation, tidak lain adalah pembelian dan penjualan sekuritas pemerintah. Akan tetapi kadang-kadang istilah dipakai juga untuk jual beli sekuritas yang dijamin pemerintah atau sekuritas-sekuritas lainnya. Berbeda dengan pengontrolan kredit dengan bank rate policy yang harus menunggu reaksi pasar terlebih dahulu, sedangan open market Operation dapat mempengaruhi trend pasar secara langsung, sehingga dianggap lebih ampuh untuk mengendalikan pasar. 6.) Peranan Bank sentral dalam hubungan dengan Variable Reserve Ratio. Hal ini merupakan salah satu metode non konvensional bagi bank sentral dalam usahanya untuk melakukan pengontrolan kredit. Menurut metode ini, Bank sentral mempunyai kewenangan untuk menetapkan minimum cash reserves dari bank-bank komersial yang disimpa di Bank sentral. Besarnya minimum cash reserve ini bervariasi. Reserve requirement ini disamping bertujuan untuk menjaga likuiditas dari bank-bank komersial tersebut, juga bertujuan sebagai sarana oleh bank sentral untuk menekan dan
107
mendorong pemberian kredit.contoh pengaturan mengenai Giro Wajib Minimum oleh Bank Indonesia kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia. 7.) Peranan Bank sentral sebagai The Banker of the state. Bank sentral di suatu negara merupakan bank dari dan untuk pemerintah negara tersebut. Karena itu bank sentral bertugas pula untuk bertindak untuk dan atas nama pemerintah, antara lain dalam hal-hal yang berhubungan dengan bisnis dan keuangan yang ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Untuk kepentingan ini bank sentral berwenang melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : - Tempat dari banking account dari departemen, lembaga dan perusahaan pemerintah; - Memberikan extraordinary advance selama depresi ekonomi atau keadaan darurat -
Memberikan temporary advance kepada pemerintah dengan antisipasi adanya bayaran
dari pajak, penarikan dana dari masyarakat dengan cara masyarakat memberikan pinjaman publik (loan from public). - Melakukan transaski-transaksi pemerintah yang berkenaan dengan jual beli valuta asing; -
Menyediakan valuta asing yang diperlukan oleh pemerintah untuk membayar utang-
utang pemerintah di luar negeri, atau pembayaran pembelian pemerintah dari luar negeri; - melakukan majemen terhadap public debt antara lain dengan jalan mengambil loan atau mengisukan / menerbitan teasure bills atas nama pemerintah. 8.) Peranan Bank sentral sebagai advisor of the state. Peranan bank sentral dalam hal ini khusus masalah moneter dan keuangan untuk memberikan masukan atau saran-saran dan nasehat-nasehat, sehingga untuk kepentingan memerlukan bagian khusus untuk mempelajari trend pasar yang tjuannya memformulasi atau merumuskan kebijakan-kebijakan tertentu sesuai dengan perkembangan pasar. 9.) Peranan bank sentral sebagai The lender of The Last Resort Ini merupakan salah satu dari kewenangan bank sentral dalam keadaan darurat. Dalam hal ini ank sentral berkedudukan sebagai pemberi pinjaman kepada bank-bank komersial dalam keadaan-keadaan memaksa yang membutuhkan sejumlah dana. 10.) Peranan Bank sentral sebagai custodian of the nations reserves. Peran ini diberikan sebagai konsekwensi dari peran bank sentral sebagai satu-satunya otoritas untuk menrbitkan uang/ mengisukan notes. Maka dalam fungsinya sebagai
108
custody / lembaga yang diberikan kewenangan sebagai tempat penitipan, pihak bank sentral memegang dan menyimpan reserve-reserve/ dana cadangan dari negara untuk kepentingan negara. Reserve itu antara lain berupa emas, perak dan valuta asing. 11.) Peranan bank sentral sebagai economic development Peran ini merupakan trend baru dari fungsi bank sentral yang berupa pengaturan moneter dan penstabilan nilai tukar . Beberapa contoh peranan bank sentral dalam hubungannya dengan pembangunan ekonomi suatu negara adalah : (a) untuk membiayai pembangunan ekonomi; (b) untuk mempromosikan peningkatan produksi , kesempatan kerja dan income masyarakat; (c) untuk memberikan kredit langsung atau tidak langsung kepada sektor-sektor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan masyarakat, misalnya sektor pertanian, usaha kecil dan menengah dan industri manufaktur sebagai pendukung kebijakan pemerintah. Peranan-peranan diatas terkait dengan penyaluran uang / money supply untuk mencapai manajemen moneter yang baik, dengan tujuan : GDP yang tinggi, angka inflasi yang rendah dan Keseimbangan neraca pembayaran / Balance of payment yang sehat.(20) 20) Munir Fuady,Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal118-126).
8. Tindak Pidana Perbankan a)Berdasarkan undang-undang Nomor 10/1998 tentang Perbankan Undang-undang No.10/1998 tentang Perbankan, khususnya dalam pasal 51ayat 1 secara tersurat mengkategorikan perbuatan-perbuatan tindaka pidana yang melanggar pasal 46, pasal 47, pasal 47A, pasal 48 ayat (1), pasal 49, pasal 50 dan pasal 50A adalah” kejahatan ” . Dengan kata lain secara tersirat yang bukan pasal-pasal diatas yakni pasal 48 ayat (2) hanyalah merupakan pelanggaran. Pernyataan ini jika berpedoman kepada KUHP yang membagi tindak pidana dalam dua kategori, yakni : buku ke II tentang Kejahatan dan buku ke III tentang Pelanggaran. Kemudian hal itu diperjelas lagi didalam penjelasan pasal 51 ayat (1) disebutkan bahwa : ” perbuatan-perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut dalam ayat ini digolongkan sebagai tindak pidana kejahatan, berarti terhadap perbuatan-perbuatan dimaksud akan dikenakan ancaman hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan apabila hanya sekedar pelanggaran. Hal
109
ini mengingat bahwa bank adalah lembaga yang menyimpan dana yang dipercayakan masyarakat kepadanya, sehingga perbuatan yang dapat mengakibatkan rusaknya kepercayaan masyarakat kepada bank, yang pada dasarnya juga akan merugikan bank maupun masyarakat, perlu selalu dihindarkan. Dengan digolongkan sebagai tindak kejahatan, diharapkan akan dapat lebih terbentuk ketaatan yang tinggi terhadap ketentuan dalam undang-undang ini.”. b) menurut Zulkarnain Sitompul Zulkarnain Sitompul menyatakan bahwa : Tidak terdapat definisi yang seragam tentang kejahatan Perbankan. Undang-undang Perbankan Indonesia tidak memberikan definisi tertentu tentang kejahatan perbankan ini. Di Amerika Serikat Bank fraud diartikan sebagai : ” The criminal offence of knowingly executing, or attempting to exucate, a scheme or artifice to defraud a financial institution, or to obtain property owned by or under the control of financial institution, by means of false or fraudelent pretenses, representations or promises ”. Meski tidak memberikan definisi tentang kejahatan perbankan. UU perbankan menetapkan tiga belas (13) macam tindak pidana yang diatur dalam pasal 46 sampai dengan 50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam empat macam : a. tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan, b. tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank; c. tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan; d. tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.(21) 21) Zulkarnain Sitompul, Memberantas kejahatan perbankan : Tantangan pengawasan, Bank ,Dalam jurnal Hukum Bisnis,Volume 24 No.1 tahun 2005 )
c) Menurut Brigjen.Pol. (purn) Moh. Anwar Moh. Anwar, membagi tindak pidana perbankan dalam dua kelompok tindak pidana, pembagian mana didasarkan kepada perbedaan perlakuan peraturan terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum yang sehubungan dengan kegiatan-kegiatan yang menjalankan usaha bank : (a) Tindak pidana Perbankan yang terdiri atas perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang Perbankan. Pelanggaran pertama disebut tindak pidana perbankan, berhubung perbuatan itu secara langsung melanggar ketentuan-
110
ketentuan yang terdapat undang-undang perbankan Baik UU No.10/1998 tentang Perbakan dan UU No.21/2008 tentang Perbankan syariah. (b) Tindak pidana di bidang Perbankan yang terdiri dari perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan dalam usaha-usaha yang terkait usaha bank dan yang terkait dengan jasa-jasa yang menggunakan lembaga perbankan. Terhadap perbuatan itu dapat diberlakukan undang-undang di luar UU perbankan, seperti KUHP,undang-undang tindak pidana korupsi, Undang-undang larangan praktik pencucian uang, undang-undang tentang keuangan negara, undang-undang lalu lintas devisa dan lain-lainnya.(22) 22) Moh. Anwar, Tindak pidana di Bidang Perbankan, Penerbit Alumni Bandung,1986, hal 44-45).
Ad.a. Tindak pidana Perbankan yang diatur oleh undang-undang perbankan, bunyi pasalpasal dalam kedua undang-undang itu adalah sebagai berikut : d) Dalam undang-undang No.10/1998 tentang Perbankan Konvensional KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 46 (1) Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16,diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). (2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badanhukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Pasal 47 (1) Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). (2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4
111
(empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Pasal 47 A Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 48 (1) Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasa 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikanketerangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1 ) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 49 (1) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja : a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). (2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja: a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk
112
keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank; b
tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 50
Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undangundang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 50A Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Pasal 51 (1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50A adalah kejahatan. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) adalah pelanggaran. Pasal 52 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50A, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini, atau Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank yang bersangkutan.
113
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain adalah: a. b. c. d. e.
denda uang; teguran tertulis; penurunan tingkat kesehatan bank; larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring; pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan; b. f. pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; f. pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang Perbankan. (3) Pelaksanaan lebih lanjut mengenai sanksi administratif ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 53 Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada Pihak Terafiliasi yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini atau menyampaikan pertimbangan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut izin yang bersangkutan. e) Dalam Undang-undang No.21/ 2008 tentang Perbankan Syariah BAB X SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 56 Bank Indonesia menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini. Pasal 57 (1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang melanggar Pasal 41 dan Pasal 44. (2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat(1) tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari pelanggaran kerahasiaan bank.
114
Pasal 58 (1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah: a. b. c. d. e.
denda uang; teguran tertulis; penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS; pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring; pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantorcabang tertentu maupun untuk Bank Syariah dan UUS secara keseluruhan; f. pemberhentian pengurus Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; g. pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dalam daftar orang tercela di bidang perbankan; dan/atau h. pencabutan izin usaha. (2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 59 (1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah, UUS, atau kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin usaha dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). (2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum, penuntutan terhadap badan hukum dimaksud dilakukan terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan perbuatan itu dan / atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu. Pasal 60 (1) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 memaksa Bank Syariah, UUS,atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana
115
denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) danpaling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). (2) Anggota direksi, komisaris, pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Pasal 61 Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 62 (1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja: a. a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau b. tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau
pegawai Bank Syariah atau Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS yang lalai: a. tidak menyampaikan laporan keuangan ayat (2); dan/atau
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
b. tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 63 (1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang
memiliki UUS yang dengan sengaja:
116
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS; b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS; dan/atau c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan /atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan tersebut. dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliarupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). (2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja: a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, atau barang berharga untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka: 1. mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas penyaluran dana dari Bank Syariah atau UUS; 2. melakukan pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat wesel, surat promes, cek dan kertas dagang, atau bukti kewajiban lainnya; 3. memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas penyaluran dananya pada Bank Syariah atau UUS dan/atau b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 64 Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini
117
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8(delapan) tahun dan pidana denda paling sedikitRp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 65 Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank Syariah atau UUS tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliarrupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Pasal 66 (1) Anggota direksi atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja: a. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan perbuatan tersebut telah mengakibatkan kerugian bagi Bank Syariah atau UUS atau menyebabkan keadaan keuangan Bank Syariah atau UUS tidak sehat; b. menghalangi pemeriksaan atau tidak membantu pemeriksaan yang dilakukan oleh dewan komisaris atau kantor akuntan publik yang ditugasi oleh dewan komisaris; c. memberikan penyaluran dana atau fasilitas penjaminan dengan melanggar ketentuan yang berlaku yang diwajibkan pada Bank Syariah atau UUS, yang mengakibatkan kerugian sehingga membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah atau UUS; dan/atau d. tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan Batas Maksimum Pemberian Penyaluran Dana sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau ketentuan yang berlaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Anggota direksi dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja melakukan penyalahgunaan dana Nasabah, Bank Syariah atau UUS dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
118
Untuk memahami suatu perbuatan pidana adalah tindak pidana perbankan yang diatur oleh kedua undang-undang perbankan diatas, maka setiap pasal-pasal itu harus dipelajari dan dipahami isi pasal dan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut.Kemudian kalau kita cermati dari kedua undang-undang itu yakni Undangundang Nomor 10/1998 tentang Perbankan dan Undang-undang No.21/2008 tentang Perbankan syariah, maka ada beberapa pasal yang berbeda yang tentunya sesuai dengan bidangnya yang berbeda.
f) Tindak pidana di bidang Perbankan yang diatur di luar undang-undang perbankan diatas, yakni terdapat dalam beberapa perundang-undangan sebagai berikut : 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP) 2. Undang-undang tentang 31/1999 Juncto UU No.20/2001 tentang tindak pidana korupsi 3.Undang-Undang No.15/2002 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU No.25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian uang.
119
Daftar Pustaka 1) Rachmadi Usman, Aspek-aspek hukum Perbankan Indonesia, Gramedia Pustaka utama, Jakarta, 2001, hal 59-60 ). 2) Undang-undang Nomor 21 / 2008 tentang Perbankan syariah. 3) Op.Cit, Aspek-aspek hukum Perbankan di Indonesia, hal 12-13. 4) Sutan remy sjahdeni, Kebebasan berkontrak dan perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam perjanjian kredit di Indonesia, hal 167 ) 5) Op.Cit, Rachmadi Usman, hal 155-165 6) Butir pertimbangan UU No.21/2008. 7) Loc.Cit. Rachmadi Usman, hal 208-215 8)Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah, sumber www.BI.go.id.) 9) Loc.Cit, Rachmadi Usman, hal 238 10)Loc.Cit, Rachmadi Usman, hal 246-250 11) Penjelasan Umum Undang-undang No.21/2008 tentang Perbankan Syariah. Sumber www.BI.go.id) 12) loc.Cit, Rachmadi Usman,hal 249-251. 13) ---------------------,, hal 264-265) 14)-----------------------, hal 265-267) 15)------------------------, hal 270-272 16)Op.Cit, Sutan Remy Sjahdeni, kebebasan berkontrak dan perlindungan yang seimbangbagi Para Pihak dalam perjanjian kreditBank Di Indonesia, hal 178-179) 17) Loc.Cit, Rachmadi Usman, hal 274-277 18)---------------------------, hal 281-292 19)----------------------------, hal 122-134 20) Munir Fuady,Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal118-126). 21) Zulkarnain Sitompul, Memberantas kejahatan perbankan : Tantangan pengawasan, Bank ,Dalam jurnal Hukum Bisnis,Volume 24 No.1 tahun 2005 ) 22) Moh. Anwar, Tindak pidana di Bidang Perbankan, Penerbit Alumni Bandung,1986, hal 44-45).
120
LATIHAN SOAL BAB IV. 1. Sebutkan dan jelaskan pengertian dan fungsi bank dalam kegiatan bisnis ? 2. Jelaskan asas demokrasi ekonomi, kepercayaan, kerahasiaan dan kehati-hatian sebagai asas hukum perbankan Indonesia ? 3. Dalam asas kerahasiaan yang menyangkut informasi nasabah sebagaimana diatur oleh pasal 40 UU No.10/1998 tidak berlaku secara mutlak, karena pasal tersebut juga mengatur pengecualian sebagaimana yang diatur dalam pasal 41, pasal 41 A, pasal 42, pasal 43, pasal 44 dan pasal 44 A. Dari pernyataan diatas, sebutkan untuk kepentingan apa saja informasi nasabah yang bersifat rahasia dapat dibuka berdasarkan pertimbangan kepentingan umum dan masyarakat yang merupakan pengecualian tersebut ? 4. Pasal 2 Undang-undang Nomor 21/ 2008 tentang Perbankan syariah juga mengatur asas-asas perbankan syariah yang berbunyi : ” Perbankan syariah dalam menjalankan usahanya beradasarkan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian ”. Sebutkan dan jelaskan prinsip-prinsip syariah dalam operasional perbankan syariah yang terdapat dalam penjelasan pasal 2 UU No.21/2008 tentang Perbankan syariah tersebut ? 5. Pada dasarnya kegiatan usaha Bank Umum berdasarkan pasal 6 sampai dengan pasal 12 A UU No.10/1998 tersebut secara garis besar meliputi : a. menghimpun dana dalam bentuk simpanan yang berupa giro, tabungan dan deposito, b. menyalurkan dana dalam bentuk kredit, c. Menerbitkan surat pengakuan utang baik jangka pendek maupun jangka panjang, d. memberikan jasa-jasa perbankan, e. penyertaan modal yang memenuhi ketentuan Bank Indonesia, f. membantu program pemerintah untuk menunjang peningkatan taraf hidup rakyat melalui pemberdayaan usaha kecil dan menengah. Sedangkan pasal 10 UU No.10/1998 mengatur larangan usaha bagi bank umum yang meliputi : melakukan usaha perasuransian, melakukan kegiatan lain diluar kegiatan usaha sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 dan pasal 7, antara lain melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi dalam pasar modal. Dari pernyataan diatas, jelaslah bahwa kegiatan usaha bank ada batasanbatasannya yang tujuannya agar kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tetap terpelihara dan tidak membahayakan eksistensi bank itu sendiri ! Jelaskan hubungan kegiatan usaha perbankan baik yang konvensional maupun yang syariah sesuai dengan asas-asas hukum perbankan?
121
6. Buatlah contoh perjanjian kredit, dimana anda bertindak selaku legal officer dari suatu bank yang berhadapan dengan nasabah calon penerima kredit berdasarkan ketentuanketentuan baku perjanjian kredit ! 7. Pasal 8 dan pasal 29 ayat 3 UU No.10/1998 tentang perbankan, mengatur tentang prinsip pemberian kredit yang merupakan aturan bagi bank dalam memberikan kredit harus memperhatikan : a. i’tikad baik dan kemampuan nasabah dalam melunasi utang atau mengembalikan pembiayaan sesuai dengan apa yang diperjanjikan b. menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan yang ditetapkan oleh bank Indonesia c. menempuh cara-cara yang tidak merugikan kepentingan bank dan kepentingan nasabah yang menyimpan dananya kepada bank ” Dari pernyataan diatas jawablah hal-hal berikut : a. Sebutkan pendapat Djuhendah hasan tentang Prinsip 5 C dalam pemberian kredit ? b. Sebutkan prinsip 5 P dan 3 R dalam pemberian kredit ? c. sebutkan kegunaan dan pengolongan jaminan kredit ? 8. Sebutkan ruang lingkup pembinaan dan pengawasan bank Indonesia terhadap lembaga perbankan dan peranan bank sentral dalam suatu negara ? 9. Sebutkan pendapat Zulakarnaen Sitompul dan Moh. Anwar tentang penggolongan dan pengelompokkan tindak pidana perbankan ? 10. Sebutkan dan bandingkan beberapa bunyi pasal-pasal dalam UU No.10/1998 tentang Perbankan dan UU No.21/2008 tentang Perbankan Syariah yang menyangkut tindak pidana perbankan ?
122
123