II. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Pendekatan Teoritis Kerangka pemikiran dibangun dengan mendekatkan permasalahan dan
tujuan penelitian dengan teori-teori yang relevan dan penelitian empiris yang telah dilakukan oleh peneliti sebelurnnya.
Dasar-dasar teori ekonomi yang sesuai
dengan tujuan penelitian ini adalah ( 1 ) teori dayasaing, dan (2) teori kebijakan harga dan perdagangan. 2.1.1. Konsep Dayasaing Teori dayasaing berasal dari teori keunggulan suatu produk yang pertama
kali dikcmukakan oleh Adam Smith yang berjudul "Absolute Advantage". Teori ini menjelaskan bahwa setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional (gain from trade) karena melakukan spesialisasi dalam produksi dan mengekspor barang tersebut jika negara itu merniliki keunggulan mutlak (absolute advantage), serta mengimpor barang jika negara tersebut tidak memiliki
keunggulan mutlak (absolute advatage) (Heller, 1973). Namun dalam perkembangan selanjutnya teori ini mendapat kritik dari David Ricardo dengan teori "Comparative Advantage". Teori Ricardo didasarkan pada nilai tenaga kerja (theory of labor value) yang menyatakan bahwa nilai atau harga suatu produk ditentukan oleh jurnlah waktu atau jam keja yang diperlukan untuk memproduksinya.
Maka suatu negara cenderung akan mengekspor
komoditi yang memiliki keunggulan relatifl yaitu secara relatif biaya produksi lebih rendah dari pada negara lain (Heller, 1973). Teori inilah yang kemudian
menjadi dasar penilaian bagi daya saing suatu produk.
Sehingga dengan
sendiiya suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika negara tersebut melakukan spesialisasi produksi. Teori Ricardo selanjutnya dikembangkan oleh
Heckscher-Ohlin yang melibatkan lebih dari satu faktor
produksi dalam menentukan keunggulan komperatif Konsep keunggulan kompetitif (competitiveness advantage) pertama kali dikembangkan oleh Porter (1980) yang menyatakan bahwa sebenarnya keunggulan perdagangan antara negara dengan negara lain dalam perdagangan internasional untuk produk-produk tertentu adalah tidak ada. Oleh karenanya keunggulan kompetitif dapat dicapai dan dipertahankan dalam subsektor tertentu di dalam suatu negara dengan meningkatkan produktivitas penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang ada. Hal ini disebabkan karena konsep keunggulan komparatif hanya dapat diterapkan dalarn pasar persaingan sempurna baik untuk pasar input maupun pasar output. Hal ini sulit ditemukan dalam kondisi realitas saat ini, dimana distorsi pasar tidak ada sama sekaSi. Sehingga pada perkembangan selanjutnya Asian Development Bank ( 1 990) menyatakan bahwa suatu negara dapat bersaing di pasar internasional jika negara tersebut mempunyai keunggulan kompetitif cialam menghasilkan produksinya. Dengan demikian keunggulan kompetitif mulai digunakan sebagai alat ukur kelayakan suatu aktivitas berdasarkan keuntungan privat (private profitability) yang dihitung atas harga pasar dan nilai uang resmi yang berlaku. Maka dalam menilai dayasaing suatu komoditi dapat digunakan kedua pendekatan diatas.
Dengan masing-masing penerapan yang berbeda, yaitu
keunggulan komparatif digunakan untuk analisis ekonomi berdasarkan harga
bayangan (shadow price) yang menunjukkan nilai faktor-faktor intput dan output pada kondisi pasar persaingan sempurna, h g l c a n keunggulan kompetitif digunakan untuk analisis fmansial berdasarkan harga-harga pasar dari faktor input dan output pada kondisi pasar terdistorsi. Terdapat tiga kriteria dalarn menganalisis keunggulan komparatif, yaitu : 1.
Net SocialProfitability (NSP) : keuntungan bersih sosial
2.
Domestic Resource Cost @RC) : biaya sumberdaya domestik
3.
Social Maginal Pruductivity of Capital (SMP) : produktivitas mar@ .
sosial kapital. Ketiga kriteria tersebut hanya dapat dilakukan untuk barang yang bersifat
tradable g d , yaitu komoditi yang merupakan komoditi ekspor atau substitusi irnpor. Dari ketiga kriteria tersebut akan memberikan hasii atau indikasi yang
sama.
Artinya jika dari kriteria NSP menunjukkan komoditi yang diteliti
memiliki keunggulan komparatif, maka demikian juga hasii perhitungan dengan DRC atau SMP (Pearson, 1976).
Menurut Gittinger (1986), analisis keunggulan kornparatif dan kompetitif dengan menggunakan metode DRC sangat d i p e n g d oleh besarnya penerimaan dan biaya.
Sementara penerimaan dan biaya dapat berubah akibat adanya
kebijakan pemerintah, sehingga kondisi yang ada menjadi h a n g h a t . Untuk menelaah kembaii hasil dari suatu analisis jika terjadi perubahan harga rnaka perlu dilakukan analisis kepekaan (sensitivity analysis). Dalam beberapa penelitian tentang dayasaing, analisis kepekaan digunakan sebagai sirnulasi kebijakan pemerintah terhadap perubahan harga input-output. Sehingga dapat diketahui apakah perubahan yang ada semakin memberikan keungguh atau sebaliknya.
1.
Net Social Profitability (NSP) Keuntungan bersih sosial didefinisii sebagai keuntungan bersih pada
suatu aktivitas ketika seluruh output dan input dievaluasi kedalam biaya sosial (social opportunity cost) dengan mernperhitungkan efek eksternal yang terjadi (Pearson, 1976). Secara matematis NSP dinyatakan sebagai berikut :
dimana : yang d i h a s i i oleh aktivitas ke-j
aij Pi
= output ke-i
fsj
= faktor produksi total ke-s pada aktivitas ke-j
Ej Vs
= efek external pada aktivitas ke-j
= nilai output ke-i
(dalam shadowprice (Rp))
= harga bayangan faktor input ke-s
Faktor produksi total (fs) terdii dari faktor input domestik dan faktor input impor. Sedangkan faktor input domestik terdiri dari tanah, air, tenaga kerja, bahan bakar dan pupuk. Untuk negara berkembang biasanya bahan bakar dan pupuk tidak seratus persen merupakan faktor input domestik (Pearson, 1976). Sehingga perumusan NSP yang memasukan faktor input impor adalah sebagai berikut :
dimana :
Uj
= total penerimaan dari output (US$)
Mj
= total input impor (US$)
rj
= repatriate cost atau upah tenaga kerja asing (US$)
Vser
= shadow exchange rate &/US$)
2.
Domestic Resources Cost (DRC) Menrpakan salah satu kriteria investasi yang digunakan untuk menentukan
berapa banyak sumber daya domestik yang harus dihabiskan dalam produksi suatu barang/jasa bia barang tersebut diekspor sehingga menghasilkan satu unit devisa atau bila dijual di dalam negeri sebagai subsitusi impor sehingga dapat menghemat satu unit devisa. Biaya sumberdaya domestik digunakan melihat : 1.
Apakah suatu aktivitas ekonomi yang menggunakan sumberdaya domestik mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif atau keduanya.
2.
Apakah aktivitas ekonomi tersebut efisien secara ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya domestik untuk menghemat satu satuan devisa.
Dasar penentuan kriteria inveatasi DRC bertitik tolak pada prinsip efisien tidaknya produksi suatu komoditi yang tergantung pada daya saingnya di pasar internasional. Artinya, apakah biaya produksi, yang terdiri dari pemakaian sumber domestik cukup rendah, sehingga harga jualnya dalam rupiah tidak melebihi tingkat border price (Pearson and Meyer, 1974).
Secara matematis DRC
dirumush sebagai berikut :
DRCj =
Cfj.Vs + Ej (u-mj-rj)
dimana : DRCj = Biaya sumberdaya domestik untuk aktivitas ke-j Fsj
= Faktor-faktor
produksi ke-s yang langsung digunakan dalam
aktivitas ke-j Vs
= Harga bayangan tiap
Ej
= Efek ekstemalitas dari aktivitas ke-j
satuan faktor-faktor produksi (dalam Rp) (bertanda (-) 1 (+))
Vj
= Nilai total output dari aktivitas ke-j
pada nilai harga pasar dunia
(dalarn US$) mj
= Niai total input antara yang diirnpor baik langsung maupun tidak
langsung yang digunakan dalam aktivitas ke-j ( dalam US$) 11
= Nilai total penerimaan pemilii input luar negeri yang digunakan
dalam aktivitas ke-j, baik langsung maupun tidak langsung (dalam US$) Karena sulit menilai besarnya eksternalitas, umumnya dalam penelitianpenelitian diasumsikan bahwa eksternalitas (+) dan (-) saling meniadakan atau sama dengan nol. Sehingga perhitungan DRC menjadi : Biaya Domestik (dalam Rp) ----
(Nisi Output (dalam US$))- ( Nilai Input Impor (dalam US$))
Untuk melihat keunggulan komparatif, nilai DRC dibandiigkan dengan harga bayangan nilai tukar uang (VSER),maka : KDRC
= DRC
......... ......... .. . ......... . .. ... . .. . . .......... . ........(4)
Vser dimana : KDRC
= Koefisien DRC untuk indiitor keunggulan komparatif
VSER
= Harga bayangan
nilai tukar uang (shadow exchange rate)
Sehingga : 1.
Jika nilai KDRC < 1, maka aktivitas ekonomi mempunyai keunggulan komperatif. Artiiya, investasi tersebut efisien dalam pemanfaatan sumberdaya domestik sehingga lebih untung memproduksi komoditi tersebut dibanding impor.
2.
Jika KDRC > 1, maka aktivitas ekonomi tidak mempunyai keunggulan komparatif
Artinya, aktivitas ekonomi tidak efisien sehingga lebih
untung impor komoditi tersebut dibandingkan memproduksi sendiri. 3.
Jika KDRC = 1, maka aktivitas ekonomi tersebut netral. Artinya, aktivitas ekonomi dalam keuntungan normal.
4.
Semakin kecil KDRC
semakin efisien aktivitas tersebut dalam
p d a a t a n sumberdaya domestik. Asumsi-asumsi yang diperlukan dalam DRC adalah sebagai berikut : 1.
Output yang dianalisis hams bersifat tradable (dapat diperdagangkan).
2.
Harga bayangan output dan input dapat dihitung dan mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya.
3.
Biaya produksi dan tambahan satu satuan output ditentukan oleh hubungan intput-output yang konstan dan harga faktor produksi relatif tetap. Rumus DRC diatas dapat digunakan untuk menghitung keunggulan
kompetitif suatu komoditi. Keunggulan kompetitif sendiri adalah mengukur daya saing suatu aktivitas atau komoditi berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku ( o m 1exchange rate = OER), sehingga disebut analisis hansial.
KDRC*
=
DRC* Vom
................... .... . .. . . .... .... ......... ... .. ..........( 5 )
dimana : KDRC*
= Koefisien DRC untuk indikator keunggulan kompetitif
DRC*
= DRC b e r w k a n
VOER
= Nilai tukar uang resmi(
harga pasar yang berlaku
dalarn US$)
Sehingga : 1.
Jika KDRC* < 1 = Mempunyai keunggulan kompetitif
2.
Jika KDRC* > 1 = Tidak mernpunyai keunggulan kompetitif
Maka hubungan antara kriteria DRC dengan kriteria NSP adalah :
DRC (UjMj-rj) = Z ff Vs + Ej
......................................... .(6)
Sehingga, jika DRC disubstitusi ke dalam NSP :
Vser - DRC W M j - r j )
NSPj
= (Uj -Mj - rj)
NSPj
= (Yser - DRC)(uj
-Mj -rj)
........................ (7)
.......................................... (8)
Sehingga : 1.
Jika Vser = DRC, maka NSPj = 0
2.
Jika Vser >DRC, maka NSPj > 0
3.
Jika Vser < DRC, maka NSPj< 0
3.
Social Marginal Productivity of Capital (SMP)
+ keunggulan komparatif
Nilai SMP diperoleh pada saat nilai NSP sarna dengan no1 yang menunjukkan besarnya nilai harga bayangan dari modal (shadowprice of capital). Secara matematis rumus SMP addah sebagai berikut : SMPj = mi-Mi-ri) Vser - ( C fsi Vs + Ei] Kj. W
.................................(9)
dimana : Kj = kapital (input barang modal (physical input capital)). W
=
real production cost (biaya produksi).
V m = shadow price of capital Hubungan antara kriteria SMP dengan NSP adalah sebagai berikut :
............(10) NSPj = (SMPj - Vm) kj. W ................................... .
Sehingga : 1.
Jika SMPj = Vm, maka NSPj = 0
2.
Jiia SMPj > Vm, maka NSPj > 0
3.
Jika SMPj < Vm, maka NSPj < 0
+ keunggulan komparatif
Maka berdasarkan ketiga kriteria diatas, kondisi yang diharapkan dari hasil perhitungan adalah : NSPj > 0, atau DRC < Vser, atau SMP > Vm 2.1.2.
Teori Kebijakan Harga dan Perdagangan Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan produksi suatu komoditi
domestik antaralain adalah berupa kebijakan harga dan perdagangan input-output. Kebijakan pemerintah ini pada prinsipnya bertujuan untuk memperkuat atau meningkatkan dayasaing suatu komoditi di pasar domestik dan internasional. Di Indonesia, harga-harga input bagi produksi komoditi pertanian seperti pupuk masih dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah.
Sehingga perubahan
kebijakan harga input akan mempengaruhi produksi komoditi pertanian. Menurut Monke dan Pearson (1989), kebijakan input ini dapat dikategorikan menurut komponen inputnya, yaitu kebijakan input tradable dan kebijakan input non tradable. Adapun darnpak dari diberlakukannya pajak dan subsidi pada input tradable dan non tradable terhadap output adalah seperti pada Gambar 1. Gambar 1 (a) menunjukkan dampak pajak pada input tradable terhadap jumlah output yang dihasilkan. Pada kondisi awal, kurva penawaran adalah S dan tingkat harga di pasar dunia sebesar Pw, maka jumlah konsumsi domestik sebesar
Q3. Sementara jumlah penawaran domestik adalah sebesar Q1. Sehingga terjadi excess d e d sebesar Q1-Q3 yang hams diimpor. Dengan diberlakukannya pajak
input mengakibatkan harga input meningkat dan biaya produksi naik, sehingga harga domestik menjadi sama dengan harga dunia, Pw. Akibatnya kurva penawaran bergeser ke kiri yang menunjukkan adanya pengurangan jumlah penawaran produksi dalam negeri, maka jumlah penawaran menjadi Qz. Jiia permintaan tetap, maka pen-
produksi dalam negeri mengakibatkan
meningkatnya jumlah impor, menjadi sebesar Q2-Q3. Efisiensi ekonomi yang hilang akibat adanya pajak pada input tradable adalah sebesar luas daerah segitia abc, yang merupakan selisih antara oppurtuniiy cost produsen atau nilai output yang hilang (Q2-c-a-QI) dengan biaya produksi dari output (Qz-b-a-QI).
Sumber : Monke clan Pearson, 1989.
Gambar 1. Dampak Pajak dan Subsidi Input Tradable Terhadap Output Sementara, Gambar Z (b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable terhadap jumlah output yang diiilkan.
Pada kondisi awal, kurva
penawaran S pada tingkat harga dunia Pw. Jurnlah penawaran awal adalah Q1 dan
jumlah permhtaan domestik sebesar Q3. Dengan demikian jumlah yang hasus diimpor untuk mernenuhi permintaan tersebut adalah sebesar
41-43. Jika
kemudian pemerintah memberikan subsidi pada input tradable yang digunakan dalam proses produksi, maka biaya produksi akan b e h r a n g dan kurva penawaran
akan bergeser ke S'.
Akibatnya jika permintaan tetap sementara jumlah
penawaran meningkat, maka jumlah impor akan berkurang sebesar Q1-Q2. Artinya jumlah yang d i i p o r sekarang menjadi sebesar Qz-Q3. Efisiensi ekonorni yang hilang karena kebijakan subsidi tersebut adalah sebesar segitiga abc, yaitu selisih antara opportunity cost produsen
(Q1-a-c-Qz) dengan nil& dari
peningkatan output (Ql-a-b-Q2).
Surnber : Monke dan Pearson, 1989. Gambar 2. Dampak Pajak clan Subsidi Input N m Tradable Terhadap Output
Gambar 2 (a) menunjukkan dampak pajak input non tradable terhadap penawaran produksi.
Pada kondisi awal, kurva penawaran S dan kurva
permintaan D berada di tingkat harga Pd dan jumlah permintaan Q1. Dengan adanya pajak input sebesar PC-Pp mengakibatkan produksi berkurang ke titik Q2. Sementara tingkat harga terdistorsi menjadi dua, yaitu tingkat harga di konsumen meningkat menjadi ke titik PC dm tingkat harga di produsen menurun ke titik Pp. Artinya sebagian pajak yang diienakan oleh pemerintah ditanggung oleh konsumen sebesar c-b, dan sebagian lagi ditanggung oleh produsen sebesar b-d. Efisiensi yang hilang dari produsen adalah sebesar segitiga dba dan efisiensi yang hilang dari konsumen sebesar segitiga bca.
Efisiensi yang hilang diukur
berdasarkan selisih antara kernampuan konsumen untuk membayar (wzllzngness to
pay) (Qa-c-a-Q1) dengan biaya sumberdaya produksi unhrk nilai ouput yang hilang (Qz-d-a-Ql).
Garnbar 2 (b) menunjukkan dampak kebijakan subsidi terhadap penawaran produksi. Pada kondisi awal, kurva penawaran S dan kurva permintaan D berada di tingkat harga Pd dan jumlah permintaan Q1.
Adanya subsidi input
mengakibatkan biaya produksi berkurang dan jumlah penawaran meningkat ke titik Q2. Benefit yang dirasakan karena adanya subsidi tidak saja dirasakan oleh produsen tetapi juga oleh konsumen.
Karena tingkat harga pada produsen
meningkat ke titik Pp dan tingkat harga pada konsumen menurun ke titik PC. Akibatnya, total efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar segitiga acd, yang terdiri dari segitiga abc (kehilangan efisiensi pada produsen) dan segitiga abd (kehilangan efisensi pada konsumen). Kehilangan efisiensi ini dapat diukur dari selisih antara nilai peningkatan output pada harga awal (Q1-a-b-Q2) dengan tambahan biaya produksi (Ql-a-c-Qz) menghasilkan kehilangan efisiensi pada produsen (abc), dan selisih antara nilai peningkatan output pada harga awal dengan tarribahan kernampuan konsumen untuk
membayar (Q1-ad-Q2)
menghasilkan kehilangan efisiensi pada konsumen (abd). Sementara, kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengatur perdagangan biji kopi tertuang dalam SK Menteri Perindustri dan Perdagangan No. 29/MPP/ KepN1999 tentang ketentuan ekspor kopi, dan SK D i e n Perdagangan Luar Negeri No.l40/Daglu/KpN1990 tentang pencabutan pengukuhan kelompok eksportir t e r d a h dan badan pemasaran ekspor bersama (marketing group)
(Deprndag, 2@)0)-
Secara teoritis dampak diienakannya pajak ekspor bagi suatu komoditi akan meningkatkan biaya ekspor, sehingga dapat mengurangi jumlah produk yang diekspor. Disamping itu, pemberlakuan pajak ekspor a k a menyebabkan harga yang diterima produsen domestik menjadi lebih rendah dari harga dunia sebesar pajak yang diberlakukan.
Q
0
q d qda'
qh' q%
Negara A (Eksportir)
Q
0
Q
0
Q'e Qe Pasar Dunia
qSb qsb7 qdb' q& Negara B (Importir)
Sumber :Tweeten, 1992. Gambar 3. Dampak Pajak Ekspor Terhadap Keseimbangan Pasar Pada Gambar 3 diatas pemberlakuan pajak ekspor sebesar t akan menggeser kurva suplai ekspor (sE) dip-
dunia ke atas sebesar t (sE'). Jika
negara eksportir merupakan negara besar dalam perdagangan dunia, maka pemberian pajak ekspor akan menaikkan harga dunia (dari titik Pw ke Pw'). Sementara harga yang diterima produsen domestik negara A menjadi turun (dari titik Pw ke Pw'-t). Akibatnya produksi dalam negeri menurun. Namun turunnya harga memberikan keuntungan bagi konsumen dalam negeri, sehingga konsumsi domestik negara A meningkat (dari titik qd, ke qd,').
Sebaliknya yang terjadi di
negara importir (B), produksi domestik meningkat karena harga naik ke Pw', akibatnya jumlah konsumsi menurun (dari titik qdb ke qdb').
Pada kondisi diatas, keseimbangan pasar d u ~ bergerak a dati K' ke K ' . Sehingga dampak kebijakan pajak ekspor tidak saja berpengaruh terhadap kondisi penawaran d m permintaan, tetapi juga terhadap kesejahteraan masyarakat di negara eksportir dan negara importir. Tabel 2. Analisis Dampak Pajak Ekspor Terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir Darnpak Pembahan Konsumen surplus Produsen surplus Penerimaan pemerintah Kesejahteraan nasional Kesejahteraan dunia
Negara Eksportir Negara Irnportir -(1 + 2 + 3 + 4) a+b -(a+b+c+d+e) 1 d+f -c-e+f -(2+3+4) -c-e-2-4
Selain pajak ekspor, dalam perdagangan ekspor kopi juga berlaku pembatasan ekspor yang merupakan kesepakatan bersama negara-negara produsen kopi dunia.
Pembatasan berupa kuota ekspor ini bertujuan untuk
mempertahadcan harga kopi di pasar internasional. Berikut ini adalah gambaran dampak pemberlakukan kuota ekspor terhadap keseimbangan pasar.
Negara A Gksportir)
Pasar Dunia
Negara B (Importir)
Surnber :Tweeten, 1992.
Gambar 4. Dampak Kuota Ekspor Terhadap Keseirnbangan Pasar
Pada garnbar 4, negara eksportir (A) diasumsikan sebagai negara besar, rnaka kuota ekspor yang berlaku di negara A akan menggeser keseirnbangan pasar K' ke K', karena adanya pembatasan ekspor sebesar 0 - K ~ . Sehingga kurva penawran ekspor A akan membentuk garis vertikal (sE ). Perpotongan kurva D~ dan
sEakan rnembentuk tingkat
harga baru, Pw'.
Sementara harga di pasar
domestik A akan turun dibawah tingkat harga yang sebelwnnya (P'). Akibatnya permintaan menjadi meningkat, namun produksi dalam negeri menurun.
Sebaliknya, di negara importir, terjadi kenaikan harga, sehingga permintaan menurun, sementara produksi dalam negeri meningkat. Berikut ini adalah dampak kuota ekspor terhadap kesejahteraan masyarakat di negara eksportir dan importir : Tabel 3. Analisis Dampak Kuota Ekspor Terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir clan Importir Dampak Perubahan Konswnen surplus Produsen surplus Penerimaan kuota Kesejahteraan nasional Kesejahteraan dunia
Negara Eksportir a+b -(a+b+c+d+e) c+e -d+e -d-2-4
Negara Irnportir -(1 + 2 + 3 + 4) 1
-
-(2 + 3 I- 4 )
Salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui smnpai sejauh mana kebijaican input-output yang dilakukan oleh pemerintah telah berjalan secara
efektif adalah analisis Tingkat Proteksi Efektif (TPE) (Richard, et al, 1993). Besarnya dampak kebijakan pemerintah dapat & i t dari tingkat proteksi yang diberikan. Adapun tingkat proteksi menurut Suprapto (1999) pada dasarnya terdiri dari tiga macam, yaitu : 1.
Nominal Protection Rate (NPR) : tingkat proteksi nominal
2.
Implicit Tariff(1T) : tarif implisit
3.
Effective Protection Rate (EPR) :tingkat proteksi egktif
1.
Nominal Protection Rate (NPR) Tingkat proteksi nominal merupakan ukuran untuk melihat apakah suatu
komoditi mendapat proteksi dari pemerintah atau tidak. Jika NPR bernilai lebih dari no1 atau positif, berarti komoditi yang bersangkutan mendapat proteksi. Hal
ini menunjukkan bahwa konsumen domestik harus membeli komoditi tersebut dengan harga yang lebii mdlal dibandingkan dengan tanpa adanya proteksi. Atau terdapat transfer pendapatan dari konsumen kepada produsen. Secara matematis tingkat proteksi nominal merupakan rasio antara harga produsen domestik dengan harga internasional (border price) yang diyatakan dalarn persentase.
NPR =(PA- I ) x
100 %
.................................................(11)
Pbo dimana :
2.
Pdo
= harga domestik dari output
Pbo
= harga perbatasan dari output
Implicit Tariff Tarif implisit merupakan proteksi terhadap input asing dari suatu
komoditi.
Tujuannya untuk mengukur besarnya subsidi yang diberikan
pemerintah kepada produsen suatu komoditi yang menggunakan input tersebut. Jiia nila IT kurang dari no1 atau negatif berarti produsen tersebut menerima subsidi input. Hal ini menunjukkan bahwa produsen dapat membayar input yang digunakan dalarn proses produksinya lebih rendah dibandiigkan dengan harga yang berlaku di pasar bebas p e e trade).
Secara matematis IT merupakan rasio antara nilai finansial input wing dengan nilai ekonominya, atau rasio antara harga finansial input asing dengan harga bayangannya yang dinyatakan dalam persentase.
IT = (P& -1) x 100 %
................................................. (12)
Pbi
dimana :
3.
.
Pdi
= harga finansial input asing
Pbi
= harga ekonomi input asing
Effective Protection Rate (EPR) Tingkat proteksi efektif merupakan analisis gabungan antara tingkat
proteksi nominal dengan tarif implisit yang memberikan gambaran sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau justru menghambat produksi domestik dari suatu komoditi. Jika nilai EPR lebih dari no1 atau positif berarti produsen domestik memperoleh insentif dalam memproduksi suatu komoditi. Secara matematis EPR merupakan rasio antara nilai tambah finansial dengan nilai tambah ekonominya yang diiyatakan dalam persentase.
EPR
=
(U-1)x 100 %
................................................. (13)
Vb dimana : Vd
= nilai tambah pada harga finansial
Vb
= nilai tambah pada
harga ekonomi
Dalam Suprapto (1999), mengemukakan bahwa tingkat proteksi efektif juga merupakan tingkat proteksi nilai tambah dari suatu komoditi.
Sehingga
secara matematis EPR dapat dinyatakan sebagai rasio antara nilai tambah
domestik (NTD) dengan nilai tambah internasional (NTI), pada kondisi dimana komoditi clan input diienakan tarif tertentu.
EPR
=aI .......................................................... NTI,
(1 4)
Adapun nilai tambah domestik menurut Gittinger (1986), adalah nilai tambah suatu komoditi yang d i i i k a n dari kegiatan lokal atau domestik. Pada komoditi perdagangan tidak langsung, nilai tambah domestik adalah jumlah nilai produk dikurangi dengan harga perbatasan input impor.
dimana : pj
= harga penjualan output
%j Pi
= nilai input ke-i untuk menghasilkan output domestik ke-j
Sedangkan NTI secara matematis diiyatakan dalam :
dimana : Pj*
= harga dunia dari output ke-j
aij
= koefisien input-output dari input
ke-i dan output ke-j
2.1.3. Teori Matriks Kebijakan
Salah satu pendekatan ekonomi yang dapat digunakan untuk melihat dampak dari kebijakan yang berlaku adalah dengan menggunakan metode Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix).
Analisis matriks kebijakan ini
merupakan metode analisis kuantitatif dikembangkan Monke dan Pearson (1989).
Terdapat tiga isu prinsip yang dapat diselidiki dengan model PAM, yaitu ( 1 ) dampak kebijakan pada dayasaing (competitiveness) dan profit ditingkat petani, (2) pengaruh kebijakan investasi pada efisiensi ekonomi dan keunggulan komparatif, dan (3) pengaruh kebijakan penelitian pertanian pada perbaikan teknologi.
Selanjutnya model PAM merupakan produk dari dua identitas
perhitungan, yaitu ( 1 ) profitabilitas, yang merupakan perbedaan antara penerimaan clan biaya, dan (2) pengaruh divergensi dari distorsi kebijakan dan kegagalan pasar yang merupakan perbedm1 antara parameter-parameter yang diobservasi dan parameter yang seharusnya ada jika divergensi dihilangkan. Metode PAM digunakan dalarn penelitian yang bertujuan untuk mengetahui efisiensi ekonomi dari suatu aktivitas pada wilayah tertentu. Efisiensi ekonomi yang dimaksud disini terjadi jika berlaku kondisi sosial pareto optimum, yang ditunjukkan oleh persyaratan dimana keuntungan privat sarna dengan keuntungan sosial.
Artinya tidak terjadi distorsi baik oleh kebijaksanaan
pemerintah maupun akibat kegagalan pasar (Monke dan Pearson, 1989). Dengan menggunakan PAM sebagai alat analisis, suatu kegiatan ekonomi dapat dipandang dari dua sudut, yaitu : (1) sudut privat dan (2) sudut sosial. Sudut privat merupakan analisis finansial, sedangkan sudut sosial merupakan analisis ekonomi. Dalam analisa h i d , keuntungan ditinjau dari pihak yang turut serta melaksanakan aktivitas tersebut. Sedangkan analisa ekonomi ditinjau dari masyarakat secara keseluruhan tanpa melihat siapa yang menyumbangkan
dan yang menerima manfaat dari aktifitas tersebut. Perbedaan sudut pandang diatas akan membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan terhadap input dan output dari kegiatan suatu usaha, serta harga-harganya.
Asurnsi - asumsi dasar dalam metode PAM adalah sebagai berikut : 1.
Untuk analisa finansial, perhitungan berdasarkan harga privat, yaitu harga yang benar-benar dihadapi oleh pengusaha atau harga yang diterima setelah adanya kebijaksanaan pemerintah. Harga ini merupakan harga riil atau harga pasar yang diterima pengusaha dalam penjualan hasil produksinya dan tingkat harga yang dibayar pada saat pembelian faktor produksi atau tingkat harga yang dibayar oleh konsumen.
2.
Untuk analisa ekonomi, perhitungan b e r k k a n harga sosial atau harga bayangan, yaitu harga pada pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya irnbangan sosial yang sesungguhnya.
3.
Output harus bersifat tradirble, yaitu komoditi yang dapat diperdagangkan dan input &pat dipisahlcan kedalam komponen sing dan domesik. Menutut Gittinger (1986), kondisi harga bayangan yang sama dengan
harga pasar sulit ditemukan, sehingga untuk memperoleh nilai yang mendekati harga baymgan atau harga sosid perlu dilahkm penyesuaian terhadap harga
pasar yang berlaku.
Harga bayangan secara umum ditentukan dengan
mengeluarkan distorsi akibat adanya kebijakan pemerintah seperti subsidi, pzjak, penentuan upah minimum, kebijakan harga dan lain-lain.
Berikut mi adalah
konsep pendekatan harga pasar ke harga bayangan : 1.
Harga Banyangan Output
Dalam Saptana (1999), harga komoditi yang diperdagangkan didekati dengan harga batas (bourder price). Untuk komoditi yang selama ini diekspor digunakan harga free on board (FOB) dan untuk komoditi yang &mpor
digunakan harga cost insurance jieight (CIF).
Sedangkan untuk input yang
berasal dari dalam negeri digunakan harga domestik setelah diieluarkan beberapa faktor distorsi. Pendekatan harga bayangan output di tingkat petani untuk orientasi pasar promosi ekspor dapat menggunakan konsep &por Purity Price (Pearce and Nash, 1981), yaitu dengan mengurangkan harga FOB dalam rupiah dengan biaya-biaya transportasi, bongkar muat, pemasaran, pengepakan, dan sortasi, sehingga diperoleh harga ditingkat petani.
Sedangkan untuk komoditi dengan orientasi
pasar substitusi impor maka digunakan konsep Impor Purity Price, yaitu dengan menambahkan harga CXF dalam rupiah dengan biaya transportasi dan pemasaran sehingga diperoleh di tingkat harga di t i t whole saler. Untuk memperoleh harga di tingkat petani maka dilakukan pengurangan terhadap biaya transportasi, pengepakan dan pemasaran dari whole sakr ke petani (Gittinger, 1986). 2.
Harga Bayangan Upah
Dalam pasar persaingan sempurna tingkat upah mencerrninkan nilai produktivitas marginal tenaga kerja sehingga besarnya tingkat upah yang tejadi dapat dipakai sebagai harga upah bayangan tenaga kerja. Namun kondisi ini sulit diternukan bahkan pada negara-negara rnaju. Dalam beberapa studi, tingkat upah dipasar dapat digunakan untuk mmcari harga bayangannya, yaitu dengan cara melakukan persentase terhadap harga pasar. Besarnya nilai persentase tergantung pada kualitas pekerja dan kondisi seternpat. Misalnya pada negara berkembang, dimana jumlah penduduk padat, tingkat pengangguran tinggi dan ketrampilan pekerja rendah, maka besarnya
harga upah bayangan berkisar 40-50 persen dari harga pasar. Sebaliknya pada negara maju dengan jumlah penduduk yang relatif rendah, tingkat pengangguran rendah dan ketrampilan pekerja tinggi, maka harga upah bayangan berkisar 80-90 persen dari harga pasar. Besarnya persentase ini juga akan berbeda-beda untuk tujuan proyek yang berbeda. Secara singkat dapat dikatakan harga bayangan upah adalah suatu persentase dari upah yang sebenarnya hams dibayarkan pada pasar tenaga kerja (Kadariah, et al, 1999). Sementara menurut Nash dan Pearce (1981), pada pasar persaingan sempurna dengan adanya pajak mengakibatkan harga upah pasar menjadi terdistorsi, sehingga harga upah bayangan menjadi lebih besar dari harga upah pasar. Secara maternatis tingkat upah pada pasar persaingan sempurna adalah :
dimana : W
= tingkat upah pasar di pasar persaingan
W*
= tingkat upah bayangan di pasar
MPL
= produktivitas margmd tenaga kerja
PY
= harga output
t
= pajak
sempurna
persaingan sempurna
Sehingga besarnya upah bayangan pada pasar persaingan sempurna adalah
Namun pada negara-negara berkembangan atau miskin umumnya pasar yang dihadapi adalah bukan pasar persaingan sernpurna, maka harga upah bayangan selalu lebih kecil dari upah pasarnya. Hal ini disebabkan karena di dalam tingkat upah pasar yang ditentukan oleh pemerintah terdapat unsur-unsur sosial atau bantuan dari pemerintah.
3.
Harga Bayangan Bunga Modal
Harga bayangan bunga modal ditentukan berdasarkan tingkat bunga tertentu atau tingkat pengernbalian riil atas proyek-proyek pemerintah. Menurut Gittinger (1986), harga bayangan bunga modal tergantung pada sumber modal tersebut berasal.
Bunga modal tidak perlu diperhitungkan sebagai biaya jika
modal berasal dari pinjaman dalam negeri.
Karena bunga modal pinjaman
tersebut akan dimanfaatkan kembali untuk membiayai kegiatan-kegiatan didalam masyarakat. Tetapi jika modal berasal dari pinjaman luar negeri maka bunga modal dimasukkan sebagai komponen biaya. Nanun jika modal luar negeri tersebut berasal dari bantuan negeri yang sifatnya loan atau grmrt maka tidak perlu diperhitungkan, karena merupakan bagian dari penerimaan negara (Kadariah, et al, 1999). 4.
Harga Bayangan Lahan
Penentuan harga bayangan lahan dapat didekati melalui (1) pendapatan bersih usahatani tanaman alternatif terbaik yang dapat ditanarn pada lahan tersebut, (2) nilai sewa yang berlalcu di daerah setempat, dan (3) nilai tanah yang hilang karena proyek. Menurut Nopirin (1997), pasar lahan sangat ditentukan
oleh tingkat permintaan lahan bukan oleh penawaran. Hal ini disebabkan karena luas areal lahan yang ditawarkan relatif tetap sehingga jumlah yang ditawarkan konstan atau inelastis sempurna.
0
Luas lahan (Ha)
Gambar 5. Harga Pasar Faktor Produksi Lahan Harga pasar yang terjadi pada titik keseimbangan E, sebesar PI dengan jumlah luas lahan yang ditawarkan sarna dengan jumlah yang diminta (Q,). Jika terjadi peningkatan jumlah penduduk atau peningktan perkernbangan industri sementara jumlah luas lahan tetap maka kurva permintaan akan bergeser ke atas @Z).
Sehingga harga pasar lahan akan naik ke Pz. Dengan demikian harga pasar
lahan sangat ditentukan oleh besarnya perrnintaan. 5.
Harga Bayangan Nilai Tukar
Untuk harga bayangan nilai tukar dapat didekati dengan menghitung harga bayangan pada tingkat keseimbangan nilai tukar uang.
Keseimbangan terjadi
apabila dalam pasar uang semua pembatas dan subsidi terhadap ekspor dan impor dihilangkan.
Keseirnbangan nilai tukar dapat didekati dengan menggunakan
faktor konversi standar (Strmdart Convertion Factor) sebagai fkktor koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku.
Salah sat. pendekatan untuk men&
harga nilai tukar bayangan dengan
memanfaatkan faktor koreksi tersebut dikembangkan oleh Square dan Van Der
Tak pada tahun 1975 (Gittinger, 1986) sebagai berikut : SER = OER (I + FXpremium)
........................................(21)
SCF
SCF
I sel-hgga :
atau
1
=
+ FXpremium
SER = OER SCF
=
M+X
.......... (22)
(U+Tm) +(X- Tx)
.......................................................... (23)
dimana : SER
= shadow exchange rate (harga bayangan nilai tukar)
OER
= oflcial exchange rate
SCF
= Standmt
FX premium
= premium valuta asing,
(harga nilai tukar resrni)
Convertion Factor (faktor konversi standar)
yaitu suatu faktor koreksi yang menunjukkan elastisitas permintaan terhadap mata uang suatu negara (diieluarkan oleh bank dunia) M
= nilai impor
X
= nilai ekspor
Tm
= pajak impor
Tx
= pajak ekspor
2.2. Tinjauan Empiris
Penelitian mengenai dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditi kopi Indonesia telah dilakukan oleh Sihotang (1996), Santoso dan Syafa'at (1999), dan Lifianthi (1996).
Pendekatan yang dilakukan oleh ketiga penelitian tersebut
adalah dengan menggunakan model ekonometrik. Sehingga hasil penelitian yang diperoleh tidak memberikan informasi mengenai besarnya darnpak kebijakan
terhadap penerimaan petani. Sedangkan dalam penelitian ini akan dilakukan analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap profitabilitas petani, sehingga diharapkan dapat diketahui besarnya kerugian atau keutungan yang diperoleh petani akibat adanya suatu kebijakan. Model ekonometrika dari penelitian Lifianthi (1996) bertujuan untuk melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi respon produksi perkebunan kopi di daerah propinsi Sumatera Selatan, faktor-faktor apa yang mempengaruhi ekspor kopi di propinsi Sumatera Selatan, dan damp& kebijakan ekonomi terhadap produksi, volume dan harga ekspor kopi di Sumatera Selatan. Sedangkan model ekonometrik yang dilakukan oleh Sihotang (1999) dan SantosoSyafa'at (1999) dil-
dalam ruang lingkup nasional.
Hasil penelitian di Sumatera Selatan menunjukkan bahwa areal, produktivitas dan produksi di Sumatera Selatan tidak responsii terhadap harga kopi, harga pupuk dan upah tenaga keja. Litianthi menyimpulkan bahwa petani kopi mampu lebii cepat menyesuaikan perubahan produktivitas kopi ketimbang areal produksinya apabila tejadi pembahan harga kopi. Dan volume ekspor kopi
Sumatera Selatan lebii responsif terhadap perubahan produksi kopi dibzdingkan terhadap perubahan harga ekspor kopi. Hal ini mencaminkan cukup tingginya tingkat ketergantungan ekspor terhadap arus produksi kopi domestik dan sulitnya melakukan respon perubahan harga terhadap jumlah ekspor karena karakteristik tanaman kopi yang merupakan tanaman tahunan. Sementara hasil penelitian Santoso dan Syafa'at (1999) menemukan bukti kuat bahwa perbaikan teknologi budidaya kopi dan harga di tingkat petani sangat diperlukan untuk meningkatkan areal produktif kopi. Sehingga dapat disi~~lpuhfl
bahwa petani kopi sangat respon terhadap perubahan peubah ekonomi, sehingga menepis anggapan pakar ekonomi selama ini bahwa usahatani kopi dikelola secara subsisten. Sedangkan faktor lain yang &p
berpengaruh adalah tingkat
nilai tukar yang dapat mendorong peningkatan harga kopi dan volume ekspor kopi Indonesia. Dari penelitan ini juga menyimpulkan bahwa variabel harga memiliki peranan yang sangat dominan di dalam sistem perkopian Indonesia. Sehmgga arah kebijakan kopi oleh pemerintah diharapkan dapat mengautisipasi gejolak harga kopi dunia. Selanjutnya analisis keunggulan komparatif kopi telah dilakukan oleh Wahyudi, A (1989), dengan metode Net Sosial Profitability clan Domestic Resources Cost di daerah Lampung.
Pada Penelitian ini Wahyudi berusaha
membandingkan beberapa jenis komoditi unggulan di Lampung dengan menghitung nil& NSP dan DRC untuk masing-masing komodii tersebut, yaitu lada hitam, lada putih, karet, kopi dan kakao. B e r W k a n penelitian Wahyudi (1989), faktor-faktor produksi yang dihtuhkan dalam perkebunan kopi adalah tenaga kerja, bibit, pupuk (urea, TSP dan KCI), pestisida dan herbisida, serta alatalat pertanian, seperti sprayer dan alat penmenan. Masii-masing kebutuhan tersebut berbeda untuk setiap umur tanaman. Dimana umur ekonomis tanaman kopi diperkirakan 20 tahun, dengan waktu rnulai berproduksi pada tahun ke-3. 2.3.
Kerangka Pernikiran Konseptual Salah satu pendekatan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan terhadap
sistem produksi kopi adalah dengan menganalisa perbedaan antara harga-harga input dan output secara finansial dan ekonomi.
Berbagai indikator dampak
kebijakan dapat dianalisa melalui divergensi yang terjadi antara harga privat dan harga sosial,
seperti besarnya nilai transfer output dan input, besarnya nilai
koefisien proteksi pada output dan input, transfer faktor, koefisien proteksi efektif,
nilai transfer bersii koefisien profitabilitas, clan m i 0 subsidi produsen. Dengan menganalisis perbedaan harga-harga finansial dan ekonomi dapat diketahui tentang dayasaing kopi Indonesia dan bagairnana dampak kebijakan p e m e ~ t a hterhadap penerimaan petani kopi secara ekonomi dan b i d . S i a kebijakan yang ada telah mampu memberikan keunggulan kompetitif bagi suatu sistem produksi berarti kebijakan tersebut harus tetap dipertahankan. Sebalilcnya jika suatu kebijakan menghambat atau mengurangi nilai kompetitifhya maka perlu ada penghapusan atau deregulasi kebijakan. Sehingga di dalam kerangka pemkkn hi, pendekatan terhadap fenomena yang terjadi d i i k a n terhadap tiga blok yang saling berkaitan, yaitu : blok produksi, blok kebijakan, dan blok perdagmgan kopi dunia (Gambar 6). Pada blok produksi ditunjukkm bahwa produksi kopi ditentukan oleh penggunaan faktor-faktor produksi, seperti pupuk, tenaga kerja, pestisida dan alat-alat peltanian.
Sementara penggunaan faktor-faktor produksi tersebut sangat
ditentukan oleh besamya harga-harga input tersebut. Sehingga perubahan harga input produksi akan memberikan penganrh nyata terhadap besarnya biaya produksi kopi. Selanjutnya didalam blok kebijakan terdapat dua kelompok kebijakan, yaitu kebijakan input dan kebijakan output (biji kopi). Kebijakan input, seperti kebijakan subsidi pupuk, kebijakan distribusi pupuk, dan ketentuan upah
minimum tenaga kerja sektor perkebunan akan menentukan nilai harga bayangan dari masingmasing faktor produksi. Blok Produksi
..-"".--.----."." Harga input :
i
t
..-
....--.-.-.-
a g a kerja
Prcduksi kopi nasiooal
............. LuasarPal lahan kopi
pquk
Blok Kebijakan
I
-Keunggulan komparatif: -Keuntungan sosial Biaya s.domestik -Keuoggulan kompetitif: Analisis + -Kemhmganprivat PAM -Rasio biaya privat A -Dampak K e b i j h : -transfer output/ioput/ U;msfer fadoribersih -KO& proteksidproM -Rasio subsidi produsen .......
i
-
.....
Indonesia
kopi Ind.
-
-nilai tukar Rp
Blok Perdagangan Kopi Dunia
Gambar 6. Kerangka Pemikkam Analisis Profitabilii dan Dayasaing Kopi
Sementara penentukan harga bayangan faktor produksi yang bersifat tradable juga dipengaruhi oleh tingkat harga input tersebut di pasar dunia (harga
CIF). Seluruh variabel dalarn blok produksi tersebut akan menentukan dayasaing
biji kopi Indonesia di pasar internasional dari sudut keunggulan komparatif. Selanjutnya kebijakan output d i M a n atas kebijakan ekspor biji kopi dan kebijakan perdagangan domesik biji kopi. Kebijakan yang diberlakukan bagi perdagangan domestik biji kopi adalah d~kenakaanyaundang-undang perpajakan pasal 22 tentang pajak sebesax 1,s persen bagi pedagang pengumpul kopi yang diberlakukan sejak 1 Januari
2000.
Sedangkan kebijakan ekspor biji kopi,
merupakan kebijakan pemerintah yang tidak terlepas dari peraturan 1CO dan ACPC sebagai organisasi perdagangm kopi dunia. Ketentuan ekspor yang diatur adalah jumlah kuota ekspor, persentase retensi ekspor kopi dan program peningkatan ekspor. Kebijakan pemerintah yang mengatur ekspor biji kopi tersebut adalah : Surat Keputusan Menteri Perindusman dan Perdagangan No. 29/MPP/KepN1999 tentang ketentuan ekspor kopi dan Surat Keputusan Dyen Perdagangan Luar Negeri No. 265/Kp/II/89 jo 695/DaglulKp/IV/89 tentang penyempumaan ketentuan ekspor kopi. Selanjutnya segala kebijakan diatas akan mempengaruhi dayasaing biji kopi Indonesia dari sudut keunggulan kompetitif. Dalam blok perdagangan kopi dunia ditunjukkan keterkaitan antara volume ekspor kopi Indonesia dengan besamya permintaan dan penawaran kopi dunia. Dimana tingkat penawaran dan permintaan dunia akan menentukan tingkat harga kopi dunia, yang selanjutnya berpengaruh pada harga jual ekspor kopi Indonesia dan volume ekspornya. Karena jika harga ekspor kopi tinggi, maka volume ekspor akan meningkat. Sebaliknyq jika volume ekspor tidak terkendali
akan kembali menurunkan harga kopi dunia. Dari kondisi ketiga blok diatas kemudian akan dianalisis ketehitan antar ketiga blok tersebut dan dampaknya terhadap penerimaan petani kopi dan dayasaing kopi Indonesia dalarn berproduksi dengan menggunakan metode Policy Anabsis Matrix.