PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KOMUNIKASI FATIS DALAM WACANA KONSULTATIF PEMBIMBINGAN SKRIPSI PADA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2015/2016 UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh: Markus Jalu Vianugrah NIM. 121224052
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016 i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria, Santo Yosef, dan Santo Markus yang senantiasa mengatur dan memberi berkat dalam setiap langkah saya sehingga segala yang menjadi harapan saya dapat terwujud sesuai dengan kehendak-Nya. Kedua orang tua saya, yaitu Petrus Nugroho Nurindwiarto Atmodjo dan Theresia Suprihatiningsih yang telah tiada henti mendukung, mendoakan, mencurahkan kasih sayang, dan memahami segala usaha dan keputusan terbaik saya. Kedua kakak saya, Elisabeth Dyah Primaningsih dan Benediktus Budi Setiawan yang telah mendukung saya dan turut membahagiakan kedua orang tua kami. Teman sepayung dalam kasih sayang, Alfonsus Novendi Laksana, Dewi Yulianti, Agnes Wiga Rimawati, dan Citra Astutiningsih yang selalu memberikan semangat, kritikan, dan solusi dalam setiap diskusi yang luar biasa. Terakhir, para dosen dan teman-teman PBSI 2012 yang juga selalu membimbing, mendukung, dan menghibur saya dalam perjuangan saya di Universitas Sanata Dharma.
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MOTTO
Perjuangkan dan raihlah kesuksesan dengan Kesadaran Murni (Markus Jalu Vianugrah). Jangan tetap tinggal di masa lalu atau bermimpi tentang masa depan, namun pusatkan perhatian Anda di masa sekarang (Buddha). Di dalam yang terlihat hanya ada yang terlihat, di dalam yang terdengar hanya ada yang terdengar, di dalam yang tercerap dengan indra-indra yang lain hanya ada yang tercerap, di dalam yang muncul dalam batin (ingatan) hanya ada ingatan. Kalau kamu bisa berada “di situ”, maka kamu tidak ada. Itulah, dan hanya itulah, akhir dukkha (Bahiya Sutta). Saat Sekarang adalah arus di luar waktu, Saat Sekarang aku telah lengkap dan sempurna, aku hidup dalam Kepenuhan, dalam Kristus Tuhan (J. Sudrijanta, SJ).
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 26 Juli 2016 Penulis
Markus Jalu Vianugrah
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama
: Markus Jalu Vianugrah
Nomor Mahasiswa
: 121224052
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: KOMUNIKASI FATIS DALAM WACANA KONSULTATIF PEMBIMBINGAN SKRIPSI PADA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2015/2016 UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA Dengan demikian saya memberikan hak kepada Perpustakaan Univeritas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam
bentuk
pangkalan
data,
mendistribusikan
secara
terbatas,
dan
memublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta, pada tanggal: 26 Juli 2016 Yang menyatakan,
Markus Jalu Vianugrah
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2016. Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. Penelitian ini membahas komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi, dan (2) mendeskripsikan makna pragmatik kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah dosen dan mahasiswa pada program studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia semester genap tahun akademik 2015/2016 Univeritas Sanata Dharma Yogyakarta, dengan data berupa tuturan yang di dalamnya terdapat kefatisan. Metode pengumpulan data menggunakan metode simak dengan teknik sadap dan diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik catat, dan metode cakap dengan teknik pancing. Analisis data menggunakan metode padan ekstralingual untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, yaitu menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa. Simpulan dari penelitian ini adalah (1) wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang didasarkan pada subkategori acknowledgements terbagi atas tuturan fatis murni, basa-basi murni, dan basa-basi polar. (2) Makna pragmatik tuturan fatis murni yang dihasilkan dari penelitian ini terbagi dalam 7 subkategori acknowledgements, yaitu menerima, menolak, mengundang, salam, terima kasih, memuji, dan berempati, untuk menjaga agar percakapan tetap berlangsung, memulai dan mengakhiri percakapan, memecah kesenyapan, menciptakan keharmonisan dan perasaaan nyaman, mengungkapkan kesopanan atau kesantunan, dan menyampaikan pesan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan pengetahuan mengenai komunikasi fatis antara dosen dan mahasiswa. Komunikasi fatis yang digunakan oleh dosen dan mahasiswa pada pembimbingan skripsi untuk memulai pembicaraan, mempertahankan komunikasi, dan menyampaikan informasi dengan melibatkan fungsi sosialnya. Kata kunci: komunikasi fatis, acknowledgements, basa-basi, penanda linguistik.
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT Vianugrah, Markus Jalu. 2016. The Phatic Communication in Thesis Mentoring Consultative Discourse on 2015/2016 Even Semester Academic Year of Sanata Dharma University Yogyakarta Indonesian on Language and Literature Education Study Program. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. This research discusses the phatic communication in thesis mentoring consultative discourse on 2015/2016 even semester academic year of Sanata Dharma University Yogyakarta Indonesian Language and Literature Education Study Program. The purposes of this research are (1) describe the form of the phaticness in thesis mentoring consultative discourse, and (2) describe the meaning of the phaticness in thesis mentoring consultative discourse. The type of this research is descriptive-qualitative. The sources of this research are lecturers and students on 2015/2016 even semester academic year of Sanata Dharma University Yogyakarta Indonesian Language and Literature Education study program, with the data in form of speech that consist the phaticness. The data gathering methods uses listening method and tapping techinque and followed by continous technique which is taking-notes technique, and conversation method with stimulus technique. The data analysis uses extralingual unified method to analyze the extralingual elements, which connects the language matter with things that are beyond language. The conclusion of this research are (1) the phaticness form on 2015/2016 even semester academic year of Sanata Dharma University Yogyakarta Indonesian Language and Liteature Education study program which based on acknowledgements subcategory are divided into pure phatic speech, pure preamble, and polar preamble. (2) The pure phatic speech pragmatic meaning which generated from this reseach are divided into 7 acknowledgements subcategory, such as accepting, rejecting, inviting, greeting, thanking, appreciating, and expressing empathy, to keep the conversation going, starting and ending the conversation, breaking the silence, creating harmony and comfort feeling, express courtesy or politeness, and deliver messages. This research is expected to contributes and gives knowledge of phatic communication between lecturers and students. The phatic communication that used by lecturers and students in thesis mentoring to starting the conversation, keeping the communication, and deliver informations by involving the social functions. Keywords: phatic communication, acknowledgements, preamble, linguistic marker.
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus yang senantiasa memberikan berkat dan kasih sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi dalam kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd. selaku Ketua Program Studi PBSI beserta semua dosen PBSI yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. 3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. sebagai dosen pembimbing yang dengan penuh perhatian, kesabaran, dan ketelitian membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 4. Dosen-dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia lain yang telah membekali ilmu sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma. 5. Orang tua saya, Petrus Nugroho Nurindwiarto Atmodjo dan Theresia Suprihatiningsih. 6. Kakak saya Elisabeth Dyah Primaningsih dan Benediktus Budi Setiawan. 7. Keponakan saya Caecilia Nathania Divyanada. 8. Teman-teman sepayung dan teman-teman lain serta sosok-sosok yang telah mendukung dan selalu memberi semangat dan doa kepada saya yaitu: x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Alfonsus Novendi Laksana, Dewi Yuianti, Agnes Wiga Rimawati, Citra Astutiningsih, Leonardus Yudi Kristianto, Romo Emanuel Adrianus Moat, Insep Pitomo, Yohana Vita Desiani, Martha Novitasari Lagur, temanteman Cana Community, Pak Jalur, Ibu Emi, Pak Widharyanto, Romo Prapta, Pak Karmin, dan Pak Pranowo. 9. Seluruh teman-teman PBSI 2012 kelas A, B, dan C. 10. Semua pihak yang belum disebutkan yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.
Yogyakarta, 26 Juli 2016 Penulis
Markus Jalu Vianugrah
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... iv HALAMAN MOTTO .......................................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................... vi PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................................ vii ABSTRAK............................................................................................................ viii ABSTRACT........................................................................................................... ix KATA PENGANTAR .......................................................................................... x DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 5 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 6 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 6 1.5 Batasan Istilah.................................................................................................. 8 1.6 Sistematika Penyajian ...................................................................................... 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................... 10 2.1 Penelitian yang Relevan ................................................................................... 10 2.2 Landasan Teori ................................................................................................ 13 2.2.1 Pragmatik ................................................................................................ 13 2.2.2 Fenomena Pragmatik ............................................................................... 14 2.2.2.1 Deiksis............................................................................................ 14
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2.2.2.2 Praanggapan ................................................................................... 17 2.2.2.3 Implikatur ....................................................................................... 18 2.2.2.4 Kesantunan Berbahasa .................................................................... 19 2.2.2.5 Ketidaksantunan Berbahasa ............................................................ 20 2.2.2.6 Kefatisan dalam Berbahasa ............................................................. 23 2.2.3 Konteks sebagai Penentu Makna Pragmatik ............................................. 37 2.3 Kerangka Berpikir............................................................................................ 41 BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................... 45 3.1 Jenis Penelitian ................................................................................................ 45 3.2 Data dan Sumber Data ..................................................................................... 46 3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 47 3.4 Metode dan Teknik Analisis Data .................................................................... 48 3.5 Triangulasi Data ............................................................................................... 50 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...................................... 52 4.1 Deskripsi Data ................................................................................................. 52 4.2 Analisis Data.................................................................................................... 61 4.2.1 Wujud Tuturan Fatis ................................................................................ 62 4.2.1.1 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Menerima ................................... 64 4.2.1.2 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Menolak ..................................... 83 4.2.1.3 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Mengundang .............................. 111 4.2.1.4 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Salam ......................................... 137 4.2.1.5 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Terima Kasih.............................. 141 4.2.1.6 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Selamat ...................................... 143 4.2.1.7 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Berduka Cita .............................. 145 4.2.2 Makna Pragmatik Tuturan Fatis ............................................................... 148 4.2.2.1 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Menerima ................................. 150 4.2.2.2 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Menolak ................................... 162 4.2.2.3 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Mengundang ............................ 178 4.2.2.4 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Salam ....................................... 192 4.2.2.5 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Terima Kasih............................ 194
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4.2.2.6 Maksud Tuturan Fatis Subaktegori Memuji .................................... 196 4.2.2.7 Maksud Tuturan Fatis Subaktegori Berempati................................. 197 4.3 Pembahasan ..................................................................................................... 199 BAB V PENUTUP ............................................................................................... 211 5.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 211 5.2 Saran................................................................................................................ 214 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 215 LAMPIRAN ......................................................................................................... 217 DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................. 239
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
Bab pendahuluan ini akan memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Paparan selengkapnya disampaikan berikut ini. 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia yang lain. Interaksi yang dilakukan oleh manusia dengan sesamanya dapat disebut dengan
komunikasi.
Komunikasi
yang
terjadi
antarmanusia
ini
selalu
menggunakan suatu sarana untuk menyampaikan pesan. Sarana untuk menyampaikan pesan adalah bahasa. Bahasa dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu bahasa verbal dan bahasa nonverbal. Bahasa verbal adalah bahasa yang diwujudkan dalam bentuk struktur-struktur kebahasaan yang ditandai dengan kehadiran kata, frasa, klausa, dan kalimat. Bahasa nonverbal adalah bahasa yang tidak diwujudkan dalam bentuk struktur-struktur kebahasaan seperti yang terdapat dalam bahasa verbal, namun biasanya berbentuk ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan lain-lain yang dapat dijadikan sarana penyampaian pesan selain bahasa verbal. Bahasa verbal sangat banyak mendapat perhatian dari para ahli linguistik, karena di dalamnya terdapat berbagai keunikan.
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2
Ilmu untuk mengkaji bahasa adalah linguistik. Ilmu linguistik memiliki cabang-cabang yang masing-masing memiliki fungsinya sendiri dalam mengkaji bahasa. Cabang dari ilmu linguistik adalah fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kita melihat ada lima cabang dalam ilmu linguistik. Tiga cabang yang terdiri dari fonologi, morfologi, dan sintaksis lebih mengkaji tentang struktur dari bahasa itu sendiri. Dua cabang lainnya, yaitu semantik dan pragmatik tidak hanya mengkaji struktur kebahasaan, namun cabang tersebut, terutama pragmatik juga memperhatikan konteks komunikasi sebagai suatu hal yang dapat menentukan makna dan maksud tuturan. Peranan konteks sangat penting karena selain dapat mempengaruhi maksud tuturan, konteks juga dapat mempengaruhi wujud tuturan kita. Manusia berkomunikasi tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan informasi, tetapi manusia juga menggunakan bahasa sebagai sarana mempererat hubungan sosial antara penutur itu sendiri dengan mitra tuturnya. Dalam hal ini, penutur menentukan wujud kebahasaannya dengan memperhatikan diksi. Melalui diksi atau pilihan kata, kita bisa melihat berbagai variasi wujud kebahasaan yang khas. Kekhasan wujud kebahasaan dapat menunjukkan kedekatan hubungan sosial antara penutur dengan mitra tutur. Seseorang yang sudah memiliki kedekatan satu sama lain memiliki bentuk tuturan yang unik, berbeda dengan yang lain, dan tentunya cenderung santai, atau dengan kata lain selalu menggunakan ragam lisan. Hal itu mengingatkan kita pada fungsi sosial bahasa, yang mana fungsi tersebut hanya untuk menjaga hubungan yang baik antara penutur dengan mitra tutur. Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari kita sering
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3
mendengar atau menemui wujud kebahasaan yang memiliki kekhasan ini. Wujud kebahasaan itu mengandung bentuk bahasa yang unik atau berbeda dari ragam resmi dan biasanya ditandai dengan kata yang tidak baku. Kita dapat menemui berbagai bentuk kata nonstandar atau kata yang digunakan dalam ragam nonbaku pada komunkasi tersebut, seperti unsur-unsur daerah atau dialek regional, bahasa gaul, dan bahasa nonbaku lainnya. Komunikasi fatis yang memiliki kekhasan diksi dalam kalimat yang dituturkan lebih memiliki fungsi sebagai penjalin dan penjaga hubungan sosial di antara penutur. Fungsi tersebut secara otomatis mendorong para penutur untuk mempertimbangkan sikap ketika berhadapan dengan mitra tutur, karena sikap juga dapat mempengaruhi tercapainya tujuan penutur untuk menjaga relasi yang baik. Sikap penutur yang sesuai dengan tuturan dan situasinya akan menjadi daya tarik bagi mitra tutur untuk memberikan timbal balik yang positif pula. Dengan demikian, tujuan penutur untuk menjalin relasi yang baik akan tercapai. Hal itu menunjukkan bahwa antara tuturan, sikap, dan konteks saling berhubungan sehingga ketiga unsur tersebut harus seimbang dan saling menyesuaikan agar fungsi sosial dalam komunikasi fatis dapat tercapai. Setiap saat, tanpa kita sadari wujud komunikasi itu sebenarnya sering dialami oleh setiap orang. Maka, baik diri kita sendiri maupun orang lain, pasti sama-sama pernah mengalaminya. Dalam lingkup kehidupan peneliti sehari-hari, peneliti sering berinteraksi dengan banyak orang di kampus. Peneliti sangat dekat dengan wujud komunkasi itu. Kehidupan dalam kampus sangat kental dengan relasi antara dosen dengan mahasiswa, terutama bagi para mahasiswa yang sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4
mencapai puncak studinya, yang mana harus mengerjakan tugas akhirnya. Pengerjaan tugas akhir yang dilakukan oleh para mahasiswa tentu membutuhkan bimbingan dari dosen yang dipercaya sebagai pembimbing. Bimbingan itu menandakan adanya interaksi yang intensif antara dosen dengan mahasiswa. Komunikasi itu dapat dipastikan merupakan wujud interaksi yang akrab, bahkan terbilang santai, mengingat bahwa interaksi yang intensif secara otomatis akan menandakan hubungan yang dekat antara dosen dan mahasiswa. Artinya, komunikasi itu tidak akan terlepas dari wujud komunikasi fatis yang memiliki fungsi sosial seperti yang telah disinggung di atas. Dari hal itu, peneliti memiliki kesempatan yang besar untuk mengamati atau meneliti komunikasi yang dilakukan antara dosen dan mahasiswa. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti akan berfokus pada komunikasi fatis antara dosen dan mahasiswa. Peneliti beranggapan bahwa komunikasi antara dosen dan mahasiswa pada umumnya lebih dikenal sebagai komunikasi yang penting, resmi, formal, atau penuh dengan sopan santun dan tata krama, terutama dalam hal ini merupakan komunikasi konsultasi tugas akhir. Selama peneliti mengamati dan mencari penelitian yang relevan, penelitian lebih sering mengamati konteks pembicaraan sehari-hari yang benar-benar santai atau tidak memuat informasi atau pembicaraan yang penting, seperti komunikasi antarmanusia yang sedang berada dalam situasi santai. Maka, data bentuk komunikasi fatis tentu banyak ditemukan dan wujudnya sering kita dengar. Namun, dalam hal komunikasi antara dosen dengan mahasiswa, barangkali untuk bidang ini merupakan sesuatu yang unik dan masih jarang diamati untuk menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5
sebuah bahan penelitian. Semua anggapan umum terhadap konsultasi tugas akhir antara dosen dengan mahasiswa dan minimnya kajian tentang konteks komunikasi itu memunculkan suatu pertanyaan untuk mengetahui wujud-wujud beserta maksudnya, dari bentuk komunikasi fatis antara dosen dengan mahasiswa. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan ini, dan mengadakan suatu penelitian sebagai studi kasus yang berjudul “Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti menyusun rumusan masalah sebagai berikut. a. Apa sajakah wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta? b. Apa sajakah makna pragmatik kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut. a. Mendeskripsikan
wujud
kefatisan
dalam
wacana
konsultatif
pembimbingan skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. b. Mendeskripsikan makna pragmatik kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian komunikasi fatis dalam wacana konsultatif dosen dan mahasiswa pada proses pembimbingan skripsi bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan. Peneliti membagi manfaat dalam penelitian ini menjadi dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengembangan kajian terhadap bahasa, terutama dalam ilmu pragmatik. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi penambah kekayaan kajian pragmatik sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7
banyak orang yang akan semakin mengetahui temuan-temuan baru dalam penelitian kebahasaan. Berbagai teori yang dikemukakan oleh para ahli dan digunakan di dalam penelitian ini sebagai pisau analisis dapat semakin menggali pemahaman terhadap komunikasi fatis, yang mana jika dibedah, maka kita akan mengetahui fungsi-fungsi dari bentuk komunikasi ini. b. Manfaat Praktis Penelitian komunikasi fatis ini juga diharapkan dapat menjadi pendorong bagi para penutur untuk tidak segan melakukan bentuk komunikasi ini, mengingat fungsinya sebagai penjalin dan penjaga hubungan sosial untuk terus membangun relasi yang baik. Selain itu, penelitian ini juga dapat menyadarkan akan pentingnya bentuk komunikasi fatis yang diharapkan tidak hanya diterapkan pada konteks penutur yang santai, namun juga dapat menjadi sarana komunikasi yang hangat dan akrab dalam konteks yang mengandung pembicaraan penting, seperti antara dosen dan mahasiswa pada proses konsultasi penulisan karya ilmiah atau tugas akhir.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8
1.5 Batasan Istilah Batasan istilah perlu dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan pemahaman dalam penafsiran. Adapun istilah-istilah yang perlu dibatasi adalah sebagai berikut. 1. Pragmatik Yule (2006) mendefinisikan pragmatik adalah studi tentang maksud. Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh pendengar. 2. Konteks Rahardi (2005: 51) mendefinisikan konteks sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu dalam proses bertutur. 3. Fatis Fatis merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menamai suatu kategori kata. Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara penutur dan mitra tutur (Kridalaksana, 1986). 4. Basa-basi Basa-basi merupakan bagian dari komunikasi fatis. Anwar (1984: 46) menjelaskan bahwa basa-basi merupakan sejemput kata-kata yang dipakai untuk sekedar memecah kesunyian, untuk mempertahankan suasana baik dan sebagainya sehingga bahasa tidak hanya digunakan untuk menyampaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9
perasaan atau pikiran, untuk membahas sesuatu masalah, untuk membujuk, merayu, dan sebagainya. 5. Komunikasi Komunikasi manusia adalah proses melalui mana individu dalam hubungan, kelompok, organisasi, dan masyarakat membuat dan menggunakan informasi untuk berhubungan satu sama lain dan dengan lingkungan (Ruben dan Stewart, 2013).
1.6 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab I pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Bab II kajian pustaka berisi penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Bab III metodologi penelitian berisi jenis penelitian, data dan sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan triangulasi data. Bab IV berisi ha s i l
penelitian
dan
pembahasan
kefatisan
dalam
wacana
konsultatif
pembimbingan skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Bab V berisi kesimpulan dan saran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Bab ini memaparkan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain. Landasan teori berisi teori-teori yang dijadikan pisau analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, fenomena-fenomena pragmatik, dan konteks sebagai penentu makna pragmatik. Kerangka berpikir berisi deskripsi alur proses berpikir yang menjadi dasar penyusunan skripsi. 2.1 Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan berisi tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain. Peneliti menggunakan dua penelitian yang relevan. Penelitian yang pertama adalah penelitian milik Sebastianus Seno Kurniawan dengan judul “Basa-basi dalam Berbahasa antara Guru dan Karyawan di SMP Negeri 12 Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014”. Penelitian itu mengamati fenomena basa-basi yang terjadi di lingkungan sekolah, seperti yang dipaparkan dalam judulnya. Penelitian tersebut bersifat deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian itu adalah semua guru dan karyawan di SMP Negeri 12 Yogyakarta tahun ajaran 2013/2014, dengan data berupa tuturan basa-basi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan kuesioner dan
10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11
wawancara dengan bekal teori basa-basi berbahasa. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah pertama, metode simak dengan teknik sadap diikuti teknik lanjutan yang berupa teknik catat. Kedua, metode cakap dengan teknik pancing yang diikuti teknik cakap semuka dan cakap tansemuka. Dalam analisis data, penelitian ini menggunakan metode kontekstual, yaitu dengan memerantikan dimensi-dimensi konteks dalam menginterpretasi data yang telah berhasil diidentifikasi. Simpulan dari penelitian tersebut adalah wujud basa-basi berbahasa yang terbagi dalam kategori acknowledgements, yang meliputi subkategori menerima, mengundang, menolak, terima kasih, salam, selamat, meminta maaf, dan berduka cita. Simpulan maksud basa-basi berbahasa dalam kategori tersebut adalah memulai pembicaraan, menarik perhatian kawan bicaranya, mencairkan suasana, mempertahankan pembicaraan, menyela aktivitas kawan bicara, mengakhiri pembicaraan, menjaga hubungan baik dengan kawan bicara, dan menunjukkan keramahtamahan, kesopansantunan, serta ketegursapaan. Maksud basa-basi subkategori acknowledgements memiliki maksud yang sama dengan karakteristik kedelapan subkategorinya. Penelitian yang kedua adalah penelitian milik Hendrika Yuli Surantini yang berjudul “Basa-basi dalam Berbahasa Antaranggota Keluarga di Desa Kalirejo, Kulon Progo”. Penelitian tersebut memiliki kemiripan yang dapat dikatakan sama persis dengan penelitian yang pertama, jika dilihat dari topik dan metodologi penelitiannya. Penelitian milik Surantini hanya berbeda pada data dan sumber data yang diteliti. Kurniawan melakukan penelitian dalam lingkup dunia pendidikan, sedangkan Surantini melakukan penelitian dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12
lingkup nonpendidikan, yaitu dengan data dan sumber data keluarga di Desa Kalirejo, Kulon Progo. Surantini meneliti tuturan basa-basi yang dilakukan oleh keluarga di desa tersebut. Relevansi kedua penelitian itu dengan penelitian yang berjudul “Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta” ini adalah penelitian ini memiliki lingkup topik yang sama, yaitu penelitian berkaitan dengan ilmu pragmatik dengan kajian komunikasi fatis dalam hubungannya pada bentuk tuturan basa-basi. Basa-basi merupakan bagian dari komunikasi fatis sehingga objek penelitian dalam karya tulis ini juga dibahas dengan mengamati maksud yang berdasar pada subkategori acknowledgements seperti pada penelitanpenelitian yang relevan di atas. Peneliti ingin mengembangkan penelitian dengan mencari bentuk-bentuk lain yang termasuk dalam komunikasi fatis. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metodologi yang hampir sama, karena data yang diteliti memiliki kesamaan sifat pula. Dengan adanya dua penelitian yang relevan itu, peneliti dapat memposisikan penelitiannya agar tidak terjadi duplikasi, dan diharapkan dapat memunculkan temuan baru sebagai pengembangan atas penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13
2.2 Landasan Teori Landasan teori berisi teori-teori yang dijadikan pisau analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, fenomena-fenomena pragmatik, dan konteks sebagai penentu makna pragmatik. 2.2.1 Pragmatik Pragmatik mengkaji kemampuan pemakai bahasa dalam mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu (Nababan, 1987: 2). Pragmatik merupakan telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi cara seseorang menafsirkan kalimat (Tarigan, 1985: 34). Pendapat lainnya disampaikan (Leech, 1993: 1) bahwa seseorang tidak dapat mengerti benar-benar sifat bahasa bila tidak mengerti pragmatik, yaitu bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pragmatik tidak lepas dari penggunaan bahasa. Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa atau kajian bahasa dan perspektif fungsional. Artinya, kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur bahasa dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonbahasa. Pragmatik adalah studi tentang penggunaan bahasa berdasarkan konteks. Studi pragmatik selalu terikat konteks. Segala tafsiran maksud selalu ditentukan oleh konteks. Pragmatik merupakan cabang linguistik yang mempelajari hubungan antara konteks dan makna serta maksud. Konteks tidak hanya terbatas pada situasi komunikasi, namun juga termasuk pengetahuan para pihak yang terlibat dalam pembicaraan dan maksud tersirat dari penutur. Pragmatik adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14
studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai-pemakai bentuk itu sehingga melalui pragmatik, seseorang dapat bertukar kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka, maksud dan tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan, misalnya permohonan yang mereka perlihatkan ketika mereka sedang berbicara (Yule, 2006: 5). 2.2.2 Fenomena Pragmatik Sebagai salah satu cabang ilmu bahasa, pragmatik memiliki kajian atau bidang telaah tertentu. Ada empat kajian pragmatik yang akan peneliti jadikan landasan teori, yaitu deiksis, praanggapan, tindak tutur, dan implikatur. Empat kajian tersebut sekaligus dapat disebut sebagai fenomena pragmatik, karena di dalamnya terdapat berbagai fenomena kebahasaan. 2.2.2.1 Deiksis Dalam linguistik, kita mengetahui istilah rujukan atau istilah yang sering disebut referensi, yaitu kata atau frasa yang menunjuk kepada kata, frasa, atau ungkapan lain yang telah dipakai atau yang akan diberikan. Dalam kajian pragmatik, rujukan seperti itu disebut dengan deiksis. Dalam kajian pragmatik dikenal lima macam deiksis, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial (Nababan, 1987: 41). 1) Deiksis Orang Dalam kategori deiksis orang, hal yang menjadi kriteria adalah peran peserta tutur dalam peristiwa bahasa itu. Ketiga macam peran dalam kegiatan berbahasa itu, yaitu kategori orang pertama, orang kedua, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15
orang ketiga. Orang pertama adalah kategorisasi rujukan pembicara kepada dirinya sendiri. Orang kedua adalah kategorisasi rujukan pembicara kepada pendengar. Orang ketiga adalah kategorisasi rujukan kepada orang atau benda yang bukan pembicara dan bukan pendengar. Misalnya, kata ganti orang pertama saya, orang kedua kamu, dan orang ketiga dia laki-laki, dia perempuan, dia barang, atau sesuatu. 2) Deiksis Tempat Deiksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang yang dipandang dari lokasi orang atau pemeran dalam peristiwa berbahasa itu. Semua bahasa membedakan antara sesuatu yang dekat kepada pembicara dan/atau pendengar (di situ/di sini). Dalam banyak bahasa, seperti juga dalam bahasa Indonesia, dibedakan juga antara yang bukan dekat kepada pembicara dan pendengar (di sana). Dalam tata bahasa, kata atau frasa seperti ini disebut kata atau frasa keterangan tempat. 3) Deiksis Waktu Deiksis waktu adalah pengungkapan kepada titik atau jarak waktu yang dipandang dari waktu suatu ungkapan yang dibuat kemarin, bulan ini, dan sebagainya. Sebagai contoh, kata sekarang yang dikatakan kemarin memiliki arti yang berbeda dengan kata sekarang yang dikatakan saat ini atau besok. 4) Deiksis Wacana Deiksis wacana adalah rujukan bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan dan/atau yang sedang dikembangkan. Dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16
tata bahasa, gejala ini disebut anafora atau merujuk kepada sesuatu yang sudah disebut (misal: itu, tersebut) dan katafora atau merujuk kepada sesuatu yang akan disebut (misal: ini, yang berikut). Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana adalah kata atau frase ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, tersebut, dan sebagainya. 5) Deiksis Sosial Deiksis
sosial
adalah
deiksis
yang
menunjukkan
atau
mengungkapkan perbedaan-perbedaan kemasyarakatan, terutama aspek peran sosial antara pembicara dan pendengar dan antara pembicara dengan rujukan atau topik yang lain. Dalam beberapa bahasa, ada perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata atau sistem morfologi kata-kata tertentu. Sebagai contoh, dalam bahasa Jawa, penutur memakai kata nedha dan kata dhahar (keduanya berarti makan), menunjukkan perbedaan sikap atau kedudukan sosial
antara
pembicara,
pendengar,
dan/atau
orang
yang
dibicarakan/bersangkutan. Secara tradisional, perbedaan bahasa (variasi bahasa) seperti itu disebut “tingkat bahasa”, dalam bahasa Jawa, ngoko dan krama (krama andhap, krama madya, dan krama inggil). Aspek bahasa seperti ini juga disebut “kesopanan berbahasa”. Sistem penggunaan bahasa yang mendasari kebahasaan seperti ini dapat disebut “sopan santun berbahasa” atau honoristics. Bentuk kebahasaan lain dalam kompleksitas sistem sopan santun dengan kata ganti, sistem sapaan, dan penggunaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17
gelar, misalnya: engkau, kamu, Tuan, Saudara, Bapak, Ibu, Ibu Tuti, Nyonya Hendra, Drs. Max Renyaan, Prof. Dr. Sartono, dan sebagainya.
2.2.2.2 Praanggapan Praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk bahasa mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud (Nababan, 1987: 46). Praanggapan adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan (Yule, 2006: 43). Dari beberapa definisi praanggapan di atas, dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan, bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan contoh berikut: A: “Saudaraku baru pulang dari Singapura.” B: “O, berapa lama tinggal di sana?” Contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa A menganggap bahwa B telah mengetahui bahwa A mempunyai saudara. Berarti praanggapan A kepada B benar. Seandainya terjadi kesalahan, hal itu akan mempengaruhi kualitas komunikasi. Dengan kata lain, praanggapan yang tepat dapat mempertinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan. Makin tepat praanggapan yang dihpotesiskan, makin tinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18
2.2.2.3 Implikatur Konsep implikatur dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara apa yang diucapkan dengan apa yang diimplikasikan. Levinson (melalui Nababan, 1987: 28) melihat kegunaan konsep implikatur terdiri atas empat butir. Pertama adalah bahwa konsep implikatur memungkinkan penjelasan fungsional yang bermakna atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik. Kedua adalah bahwa konsep implikatur memberikan suatu penjelasan yang tegas atau eksplisit tentang bagaimana kemungkinnannya bahwa apa yang diucapkannya secara lahiriah berbeda dari apa yang dimaksud dan bahwa pemakai bahasa itu mengerti pesan yang dimaksud. Contoh: A: “Jam berapa sekarang?” B: “Kereta api belum lewat.” Kelihatannya, kedua kalimat itu tidak berkaitan. Tetapi, bagi orang yang mengerti penggunaan bahasa dalam situasi berbicara itu, terdapat maksud sebagai berikut: A: “Sanggupkah Anda memberitahukan kepada saya jam berapa sekarang?”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19
B: “Saya tidak tahu secara tepat jam berapa sekarang, tetapi dapat saya beritahukan
kepada Anda dari Anda menduga kira-kira jam berapa
sekarang, yaitu kereta api (yang biasanya) belum lewat.” Hal yang harus diperhatikan dalam percakapan tersebut adalah bahwa informasi jawaban yang diperlukan tidak secara langsung atau secara lengkap diberikan seperti pada contoh pertama, namun keterangan yang disampaikan dalam contoh kedua dapat diketahui oleh orang yang bertanya itu. Perbedaan antara contoh pertama dan contoh kedua cukup besar. 2.2.2.4 Kesantunan Berbahasa Kesantunan dalam hal berkomunikasi dapat dikatakan sebagai suatu bentuk sikap yang berkenan dan sesuai dengan nilai sosial dan nilai moral yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan memiliki kaitan yang erat dengan bahasa. Bahasa merupakan cerminan kepribadian seseorang sehingga bahasa juga dapat menunjukkan tingkat kesantunan seseorang yang mengalir keluar melalui tutur kata (bahasa verbal) dan perilaku (bahasa nonverbal). Menurut Pranowo (2009), struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca. Kesantunan erat berkaitan dengan bahasa. Maka, kesantunan juga memiliki kaitan dengan tuturan fatis yang secara khusus menjadi objek pengamatan dalam penelitian ini. Dengan demikian, kesantunan selalu terkandung pula di dalam setiap tuturan fatis, karena kesantunan merupakan bagian dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20
bahasa dengan berbagai manifestasinya, seperti tuturan fatis tersebut. Jika kesantunan terdapat dalam tuturan fatis, maka tidak menutup kemunginan jika ketidaksantunan juga terdapat dalam tuturan fatis. Segala sesuatu yang hadir sebagai dualitas selalu memiliki lawan, seperti halnya kesantunan dan ketidaksantunan. Ketidaksantunan akan diulas dalam bagian setelah kesantunan i ni . Kesantunan dalam berbahasa sangatlah penting, karena dengan berbahasa secara santun, proses komunikasi akan berhasil. Bahasa dapat menjalankan fungsinya sebagai penyampai pesan dan pengikat relasi antarpeserta tutur dengan lebih baik. Menurut Pranowo (2009), santun tidaknya pemakaian bahasa dapat dilihat setidaknya dari dua hal, yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Kesanggupan seseorang dalam memilih kata dapat menjadi salah satu penentu santun tidaknya bahasa yang digunakan. 2.2.2.5 Ketidaksantunan Berbahasa Ketidaksantunan ternyata juga merupakan bagian dari komunikasi fatis sebagai fenomena pragmatik. Peneliti menyatakan hal itu karena peneliti menemukan sebuah referensi yang mengatakan bahwa salah satu penanda pragmatik untuk menunjukkan ketidaksantunan adalah dengan kata-kata fatis. Hal tersebut disampaikan oleh R. Kunjana Rahardi, Yuliana S., dan Rishe P. Dewi dalam sebuah jurnal bahasa dan sastra dengan judul “Kata Fatis Penanda Ketidaksantunan Pragmatik dalam Ranah Keluarga” yang menjadi salah satu referensi sebagai pisau analisis pada bagian ini. Peneliti akan memaparkan isi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21
bahan referensi tersebut secara garis besar yang memang diperlukan untuk kepentingan analisis dan pembahasan. Jurnal tersebut menggunakan empat teori dari para ahli sebagai dasar untuk membahas bentuk kata fatis penanda ketidaksantunan yang akan dihubungkan oleh peneliti demi kepentingan pembahasan dalam penelitian ini karena penelitian ini dengan penelitian dalam jurnal itu memiliki relevansi. Selain itu, jurnal itu dapat memberikan wujud beserta makna atau maksud kata fatis sebagai penanda ketidaksantunan untuk bahan pembanding dan pengaya wujud bentuk fatis berdasarkan kategori yang membedakannya. Teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan teori para ahli tentang ketidaksantunan yang dikemukakan oleh Locher dan Watts, Terkourafi, Culpeper, dan Bousfield. Teori pertama berasal dari Locher dan Watts (2008) yang berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior), karena hal itu melanggar norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Teori kedua berasal dari Terkourafi (2008: 3-4) yang menyatakan bahwa “impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer”. Dengan kata lain, perilaku berbahasa tidak santun terjadi jika mitra tutur (addressee) merasakan adanya ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya. Berbeda dengan pandangan itu, pandangan Miriam A. Locher (2008: 3) mengemukakan bahwa “Impoliteness behaviour that is face-aggravating
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22
in a particular context.” Artinya, ketidaksantunan berbahasa merupakan perilaku berbahasa yang memperburuk “muka” mitra tutur pada konteks kebahasan tertentu. Kata “face-aggravating” menunjukkan adanya perilaku “melecehkan” muka dan “memain-mainkan” muka. Teori ketiga berasal dari Culpeper (2008: 3) yang menyatakan bahwa “Impoliteness, as I would define it, involves communicate behavior intending to cause the face loss of a target or perceived by the target to be so.” Artinya, sebuah tuturan dianggap tidak santun jika tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang. Kesimpulan penulis (istilah penulis dalam penelitian ini khusus digunakan untuk mengacu pada penulis sumber referensi seperti yang diacu pada bagian/subbab ini) terhadap teori tersebut yaitu, ketidaksantunan berbahasa merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut “merasa” kehilangan muka. Teori keempat berasal dari Bousfield (2008: 3) yang mengemukakan bahwa “...the isuing of intentionaly gratuitous and conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully performed”. Dalam teori tersebut, penulis menemukan dimensi “kesembronoan” dan dimensi “konfliktif”. Dalam teori milik Bousfield, penulis menyimpulkan bahwa apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka dan dilakukan secara sembrono yang mengakibatkan konflik atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful), tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23
praktik berbahasa. Itulah keempat teori yang berbicara tentang ketidaksantunan dan memiliki relevansi dengan bentuk-bentuk komunikasi fatis dalam penelitian i ni . 2.2.2.6 Kefatisan dalam Berbahasa Basa-basi adalah sebuah fenomena yang berkaitan erat dengan aspek sosial budaya. Menurut KBBI (2004: 78), basa-basi diartikan sebagai ungkapan atau tuturan yang dipergunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi. Menurut Kridalaksana (1986), basa-basi merupakan tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Basa-basi berkaitan dengan hal tegur sapa, sopan santun, dan ramah tamah. Ketiga hal tersebut menyangkut etika, tata susila, dan tata krama dalam pergaulan masyarakat. Istilah basa-basi itu sendiri sebenarnya memiliki padanan kata pemoles atau pemerah bibir, yang menurut Sudaryanto (1991: 26), bermakna tata krama pergaulan atau tindak tutur dengan tata krama yang disertai kesantunan dan tenggang rasa. Basa-basi memiliki kaitan dengan istilah phatic communion, karena basabasi merupakan bagian dari komunikasi fatis. Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13) mendefinisikan istilah tersebut sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word”. Basa-basi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan oleh peserta komunikasi dengan saling bertukar kata-kata dalam pembicaraan ringan dan perasaan gembira
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24
untuk membentuk hidup yang menyenangkan. Basa-basi berfungsi memantapkan ikatan personal antarpeserta komunikasi dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan akan kebersamaan, bukan mengomunikasikan ide. Malinowski dalam tesis Arimi (1998) mempertegas fungsi basa-basi untuk mengikat antara pembicara dan pendengar sebagai modus tindakan. Jackobson (1980) mendefinisikan bahwa basa-basi adalah tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi untuk memastikan berfungsinya saluran komunikasi dan menarik perhatian lawan bicara atau menjaga agar lawan bicara tetap memperhatikan. Menurut Jackobson (1980: 81), terdapat enam faktor yang berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi verbal. Keenam faktor tersebut adalah pengirim pesan, pesan, penerima pesan, konteks, kontak, dan kode. Sementara itu, Anwar (1984: 46) menjelaskan bahwa basa-basi merupakan sejemput kata-kata yang dipakai untuk sekedar memecah kesunyian, untuk mempertahankan suasana baik dan sebagainya, sehingga bahasa tidak hanya digunakan untuk menyampaikan perasaan atau pikiran, untuk membahas sesuatu masalah, untuk membujuk, merayu, dan sebagainya. Terlepas dari berbagai pengertian tersebut sebenarnya basa-basi memiliki fungsi untuk menyampaikan berbagai maksud. Menurut Arimi (1998: 95) secara praktis basa-basi didefinisikan sebagai fenomena bahasa yang secara sadar dipakai oleh penutur, akan tetapi secara sadar pula tidak diakuinya ketika ditanyakan kebasa-basian itu. Dengan kata lain, basabasi adalah fenomena lingual yang alamiah, tetapi penggunaannya menolak jika ditanyakan apakah penutur berbasa-basi. Arimi (1998: 96) juga menjelaskan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25
bahwa secara metodologis, penolakan tersebut akan lebih jelas jika dibandingkan dengan aktivitas verbal non basa-basi, seperti marah atau serius. Penutur dapat mengakui kepada mitra tuturnya bahwa dia marah atau serius. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa basa-basi berkaitan dengan hal tegur sapa, sopan santun, dan ramah tamah. Ketiga hal tersebut menyangkut etika, tata susila, dan tata krama dalam pergaulan masyarakat. Basa-basi juga bermakna penolakan dari yang sebenarnya. Basa-basi dipahami sebagai ungkapan yang tidak sungguh-sungguh, pura-pura, dan kebohongan. Dengan demikian, basa-basi dapat dikatakan sebagai tuturan untuk menjalin solidaritas dan harmonisasi. Basa-basi memiliki peranan penting dalam komunikasi. Hal yang ingin ditunjukkan penutur kepada mitra tutur sebenarnya adalah sikap, bukan isi pembicaraan. Penutur menunjukkan suara, perkataan, dan bahasa tubuh tertentu yang dilazimkan dalam masyarakat bahasa. Penutur dapat saja bertanya “Mau ke mana Pak?”, namun biasanya penutur tidak bermaksud untuk mengetahui tujuan mitra tutur saat pergi. Penutur hanya ingin mempertahankan hubungan baik mereka. Setiap masyarakat bahasa mempunyai cara sendiri-sendiri dalam menggunakan bahasa untuk keperluan basa-basi. Arimi (1998: 171) dalam tesisnya membagi tuturan basa-basi menjadi dua, yaitu basa-basi murni dan polar. Basa-basi murni yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Dengan kata lain, apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang dipakai dalam basa-basi murni seperti: selamat siang, selamat datang, terima kasih, pamit, dan sebagainya. Sedangkan basa-basi polar yaitu tuturan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26
berlawanan dengan realitasnya, di mana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan. Arimi (1998: 87-96) dalam tesisnya mengatakan bahwa penggunaan basabasi merupakan bagian dari tindakan ilokusi, di antara yang ditemukan adalah tindakan ilokusi ekspresif. Basa-basi berkaitan dengan perilaku psikologis penutur terhadap keadaan bertutur dengan mitranya, misalnya memberi salam, menanyakan keadaan seseorang, mengatakan terima kasih, memberi selamat, dan sebagainya. Halliday melalui Sudaryanto (1990: 17) menjelaskan bahwa fungsi khas bahasa yang tercermin pada struktur bahasa ada tiga, yaitu fungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Dalam hal ini, fungsi basa-basi berkaitan erat dengan fungsi interpersonal karena berkaitan dengan peranan bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial dan untuk pengungkapan peranan-peranan sosial termasuk peranan-peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri. Basa-basi juga berkaitan erat dengan tindak tutur karena tindak tutur menjelaskan bahwa dalam mengatakan sesuatu seharusnya orang tersebut juga melakukan sesuatu. Misalnya, pada waktu seseorang mengatakan “maaf saya terlambat” maka orang tersebut tidak hanya mengatakan saja tetapi juga melakukan perbuatan terlambat. Basa-basi dapat dikatakan termasuk tindak tutur ilokusi komunikatif. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa fungsi basa-basi yang termasuk klasifikasi tindak tutur ilokusi komunikatif, berdasarkan klasifikasi tindak tutur ilokusi menurut Ibrahim (1993: 16). Klasifikasi tindak tutur ilokusi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27
komunikatif mencangkup tindak tutur konstantif, direktif, komisif, dan acknowledgements. Basa-basi termasuk dalam acknowledgements. Hal itu dikatakan demikian karena acknowledgements merupakan tuturan yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur atau dalam kasuskasus di mana ujaran berfungsi secara formal, kehendak penutur bahwa ujarannya memenuhi kriteria harapan sosial untuk mengekspresikan perasaan dan kepercayaan tertentu. Tuturan yang termasuk acknowledgements adalah sebagai berikut: 1. Apologize (meminta maaf) Apologize (meminta maaf) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan penyesalan atas peristiwa yang terjadi pada diri sendiri. 2. Condole (belasungkawa) Condole (belasungkawa) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan penyesalan atas peristiwa yang terjadi pada orang lain. 3. Congratulate (mengucapkan selamat) Congratulate (mengucapkan selamat) yaitu fungsi tuturan mengekspresikan kegembiraan karena adanya kabar baik tentang orang lain. 4. Greet (memberi salam) Greet (memberi salam) yaitu fungsi tuturan untuk menyatakan rasa senang karena bertemu seseorang. 5. Thanks (berterimakasih) Thanks (berterimakasih) yaitu fungsi tuturan untuk menyatakan terima kasih karena mendapat bantuan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28
6. Bid (mengundang) Bid (mengundang) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seseorang akan terjadi. 7. Accept (menerima) Accept (menerima) yaitu fungsi tuturan untuk menerima atau menghargai basa-basi dari lawan tutur. 8. Reject (menolak) Reject (menolak) yaitu fungsi tuturan untuk menolak atau melanggar basabasi dari mitra tutur. Selanjutnya, tindak tutur ilokusi dalam aktivitas bertutur dibagi ke dalam lima macam bentuk tuturan menurut Searle (1983) yang masing-masing memiliki fungsi komunikatifnya. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukan fungsifungsi komunikatif tersendiri tersebut dapat dirangkum dan disebutkan satu per satu sebagai berikut: 1) Asertif, yakni bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya saja menyatakan, menyarankan, membual, mengeluh, dan mengklaim. 2) Direktif, yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan tertentu, misalnya saja memesan, memerintah, memohon, menasihati, dan merekomendasi. 3) Ekspresif, adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29
saja berterima kasih, memberi selamat, meminta maaf, menyalahkan, memuji, dan berbelasungkawa. 4) Komisif, yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya saya berjanji, bersumpah, dan menawarkan sesuatu. 5) Deklarasi, yakni bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya berpasrah, memecat, membaptis, memberi nama, mengangkat, mengucilkan, dan menghukum. Komponen dan klasifikasi tindak tutur ilokusi komunikatif dan macamnya tersebut dapat digunakan sebagai faktor pendukung dalam melakukan analisis basa-basi bahasa. Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, a ta u
mengukuhkan
pembicaraan
antara
pembicara
dan
kawan
bicara
(Kridalaksana, 1986: 111). Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Bentuk kategori fatis menurut Kridalaksana: 1) Partikel dan Kata Fatis a) Ah menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh, misalnya: “Ayo ah kita pergi!” “ Ah masa sih!”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30
“Yang benar ah!” b) Ayo menekankan ajakan, misalnya: “Ayo kita pergi!” “Kita pergi yo!” Ayo mempunyai variasi yo bila diletakkan di akhir kalimat. Ayo juga bervariasi dengan ayuk dan ayuh. c) Deh digunakan untuk menekankan: 1) Pemaksaan dengan membujuk, misalnya: “Makan deh, jangan malu-malu.” Dalam hal ini deh berdekatan tugasnya dengan partikel –lah. 2) Pemberian persetujuan, misalnya: “Boleh deh.” 3) Pemberian garansi, misalnya: “Makanan dia enak deh!” “Cakep deh cewek sastra.” 4) Sekadar penekanan, misalnya: “Saya benci deh sama dia.” d) Dong digunakan untuk: 1) Menghaluskan perintah, misalnya: “Bagi dong kuenya.” “Jalannya cepetan dong.” 2) Menekankan kesalahan kawan bicara, misalnya: “Ya jelas dong.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31
“Yah, segitu sih mahal dong Bang!” e) Ding menekankan pengakuan kesalahan pembicara, misalnya: “Bohong ding.” “Eh, iya ding salah!” f) Halo digunakan untuk: 1) Memulai dan mengukuhkan pembicaraan di telepon, misalnya: “Halo, 345627!” 2) Menyalami kawan bicara yang dianggap akrab, misalnya: “Halo, Martha, ke mana aja nih?” g) Kan apabila terletak pada kahir kalimat atau awal kalimat, maka kan merupakan kependekan dari kata bukan atau bukankah, dan tugasnya ialah menekankan pembuktian, misalnya: “Tadi kan sudah dikasih tau!” “Makanya kan, sudah dibilang jangan!” h) Kek mempunyai tugas: 1) Menekankan pemerincian, misalnya: “Elu kek, gua kek, sama aja.” 2) Menekankan perintah, misalnya: “Cepetan kek, kenapa sih?” 3) Menggantikan kata saja, misalnya: “Elu kek yang pergi!” i) Kok menekankan alasan dan pengingkaran, misalnya: “Saya cuma ngelihat saja kok!”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32
“Dia kok yang ambil bukan saya.” “Kok begitu sih!” Kok dapat juga bertugas sebagai pengganti kata tanya mengapa atau kenapa bila diletakkan di awal kalimat, misalnya: “Kok sakit-sakit pergi?” j) –lah menekankan kalimat imperatif, dan penguat sebutan dalam kalimat, misalnya: “Tutuplah pintu itu!” “Biar sayalah yang pergi.” k) Lho bila terletak di awal kalimat, bersifat seperti interjeksi yang menyatakan kekagetan, misalnya: “Lho, kok jadi gini sih?” Bila terletak di tengah atau di akhir kalimat, makna lho berugas menekakan kepastian, misalnya: “Saya juga mau lho.” “Ini lho yang saya dengan kabar jelek nih.” l) Mari menekankan ajakan, misalnya: “Mari makan.” “Saya mau permisi pulang, mari.” m) Nah selalu terletak pada awal kalimat dan bertugas untuk meminta supaya kawan bicara mengalihkan pembicaraan ke hal lain, misalnya: “Nah, bawalah uang ini dan bawakan aku nasi sebungkus.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33
n) Pun selalu terletak pada ujung konstituen kalimat pertama dan bertugas menonjolkan bagian tersebut, misalnya: “Membaca pun ia tak bisa.” “Orang tua murid pun prihatin melihat kenakalan anak-anak itu.” o) Selamat diucapkan kepada kawan biacara yang mendapatkan atau mengalami sesuatu yang baik, misalnya: “Selamat ya.” “Saya dengar kamu sudah lulus, selamat deh.” p) Si memiliki tugas: 1) Menggantikan tugas –tah, dan –kah, misalnya: “Apa sih maunya tuh orang?” “Siapa sih namanya, Dik?” 2) Sebagaimana memang atau sebenarnya, misalnya: “Bagus sih bagus, cuma mahal amat.” 3) Menekankan alasan, misalnya: “Abis Gatot dipukul sih!” q) Toh bertugas menguatkan maksud dan ada kalanya memiliki arti yang sama dengan tetapi, misalnya: “Saya toh tidak merasa bersalah.” “Biarpun sudah kalah, toh dia lawan terus.” r) Ya bertugas: 1) Mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara, bila dipakai pada awal ujaran, misalnya:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34
(Apakah rencana ini jadi dilaksanakan) “Ya tentu saja.” 2) Minta persetujuan atau pendapat kawan bicara bila dipakai pada akhir ujaran, misalnya: “Jangan pergi ya!” “Ke mana ya?” s) Yah digunakan pada awal atau di tengah-tengah ujaran, tetapi tidak pernah pada akhir ujaran, untuk mengungkapkan keragu-raguan atau ketidakpastian terhadap apa yang diungkapkan oleh kawan bicara atau yang tersebut dalam kalimat sebelumnya, bila dipakai pada awal ujaran, atau keragu-raguan atau ketidakpastian atas isi konstituensi ujaran yang mendahuluinya, bila dipakai di tengah ujaran, misalnya: “Yah, apa aku bisa melakukannya?” “Orang ini, yah, tidak mempunyai keterampilan apa-apa.” 2) Frasa Fatis a) Frasa dengan selamat dipergunakan untuk memulai dan mengakhiri interaksi antara pembicara dan kawan bicara sesuai dengan keperluan dan situasinya, misalnya selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat sore, selamat belajar, selamat makan, dan sebagainya. Kata selamat juga dapat berdiri sendiri. b) Terima kasih digunakan setelah penutur mendapatkan sesuatu dari mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35
c) Turut berduka cita digunakan sewaktu penutur menyampaikan bela sungkawa. Selain frasa fatis yang digunakan dalam ragam lisan, ada pula frasa fatis yang digunakan dalam ragam tulis, misalnya Dengan hormat yang digunakan oleh penulis pada awal surat dan Hormat saya digunakan oleh penulis pada akhir surat. Selain bentuk kategori fatis temuan Kridalaksana, peneliti mendapatkan referensi lain yang memberikan informasi tentang bentuk kategori fatis yang lain. Temuan yang lain itu adalah temuan dari R. Kunjana Rahardi, Yuliana S., dan Rishe P. Dewi dalam sebuah jurnal bahasa dan sastra dengan judul “Kata Fatis Penanda Ketidaksantunan Pragmatik dalam Ranah Keluarga” tahun 2014. Ketidaksantunan ternyata juga merupakan bagian dari komunikasi fatis sebagai fenomena pragmatik. Kesebelas bentuk fatis yang ditemukan adalah (1) “kok”, (2) “ah”, (3) “hayo”, (4) “mbok”, (5) “lha”, (6) “tak”, (7) “huu”, (8) “iih”, (9) “woo”, (10) “hei”, dan (11) “halah”. Berikut ini merupakan pemaparan kategori fatis sebagai penanda ketidaksantunan. 1) Kategori fatis “kok” lazimnya digunakan untuk menekankan alasan dan pengingkaran. “Kok” dapat juga bertugas sebagai pengganti kata tanya “mengapa” atau “kenapa” bila diletakkan di awal kalimat. 2) Kategori fatis “ah” pada umumnya dapat dimaknai sebagai peranti untuk memberikan maksud penekanan atas rasa penolakan atau dapat juga maksud acuh tak acuh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36
3) Kategori fatis “hayo” pada umumnya bertugas untuk menakut-nakuti atau mengancam sang mitra tutur atas tindakan yang telah, sedang, atau bahkan akan dilakukannya. Pada umumnya, tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur itu bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki oleh penutur. Oleh karena itu, penutur menggunakan “hayo” sebagai semacam peringatan atau ancaman untuk tidak melakukan tindakan tersebut. 4) Kategori fatis “mbok” pada umumnya mempunyai makna menyeluruh atau makna menguatkan atau menyangatkan suatu tindakan yang diinginkan oleh penutur. Kategori kebahasaan ini digunakan untuk mengungkapkan rasa jengkel, kesal, dan marah. 5) Kategori fatis “lha” adalah penanda ketidaksantunan berbahasa yang dimaknai sebagai pengungkapan untuk menunjukkan kekesalan atau kekecewaan. 6) Kategori fatis “tak” bertugas untuk menunjukkan makna “akan” atau makna “segera”. Secara pragmatis, makna “tak” adalah “memberikan ancaman”. 7) Kategori fatis “huu” memiliki makna mengejek atau memperolok-olok. 8) Kategori fatis “iih” memiliki makna mengejek atau menyampaikan maksud sinis tertentu. 9) Kategori fatis “woo” dapat bermakna mengumpat. 10) Kategori fatis “hei” bermaksud memperingatkan untuk melakukan sesuatu atau sebaliknya untuk tidak melakukan sesuatu. 11) Kategori fatis “halah” bermakna menyepelekan atau dapat juga digunakan untuk menyampaikan maksud kesembronoan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37
2.2.3 Konteks sebagai Penentu Makna Pragmatik Konteks memiliki peran yang sangat penting dalam penentuan maksud/makna dari suatu tuturan. Konteks merupakan bagian dari studi pragmatik yang tidak pernah bisa dipisahkan. Tanpa konteks, kajian pragmatik tidak akan berjalan sebagai mana mestinya, karena kajian pragmatik akan selalu mengamati konteks sebagai sarana pencapaian hasil penelitian pragmatik. Dari pernyataan itu, tampak bahwa konteks sangat menentukan hasil dari kajian pragmatik yang dalam penelitian ini ingin menggali maksud/makna tuturan dalam komunikasi fatis. Menurut Yan Huang (2007: 13), context is one of those notions which is used very widely in the linguistic literature, but to which it is difficult to give a precise definition. Landasan teori yang digunakan pada bagian ini meletakkan dasar pada makalah seminar nasional dalam prosiding yang ditulis oleh Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. yang berjudul “Menemukan Hakikat Konteks Pragmatik” tahun 2015 dalam rangka Seminar Nasional PRASASTI II. Dalam makalah tersebut, penulis (istilah penulis dalam penelitian ini khusus digunakan untuk mengacu pada penulis sumber referensi seperti yang diacu pada bagian/subbab ini) menyatakan bahwa hakikat konteks pragmatik adalah memerantikan seperangkat asumsi sebagai penentu maksud/makna pragmatik. Dengan perkataan lain, konteks berperan menentukan maksud/makna pragmatik dalam suatu tuturan dengan menjadikan seperangkat asumsi yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur sebagai alatnya. Seperangkat asumsi itu dapat bersifat personal dan komunal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38
Untuk lebih jelas, peneliti perlu memaparkan lebih lanjut mengenai landasan teori ini guna mempertajam pisau analisis yang digunakan. Dalam makalah yang dijadikan dasar referensi landasan teori ini, penulis menggunakan empat pokok teori yang digunakan untuk memperkuat tulisannya yang menyatakan bahwa seperangkat asumsi merupakan peranti pokok dalam memahami dan memaknai maksud penutur. Namun, peneliti hanya ingin menggunakan tiga teori saja, karena peneliti merasa bahwa teori yang terakhir tidak perlu digunakan sebagai landasan teori. Teori pertama berasal dari Yan Huang (2007) yang menunjukkan bahwa konteks dalam pragmatik itu dapat dimaknai dengan mengacu kepada hal-hal yang terkait dengan lingkungan dinamis tempat entitas kebahasaan digunakan. Dari teori tersebut, penulis mengambil poin dengan istilah “konteks yang berupa pengetahuan umum” atau “pengetahuan bersama”, yang oleh Yan Huang sendiri dijelaskan sebagai a set of background assumptions shared by the speaker and the addresse (2007: 14). Hal itu berkaitan dengan gagasan penulis yang memaknai konteks pragmatik sebagai “seperangkat latar belakang asumsi yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur”. Penulis mengaitkan lagi gagasannya dengan pandangan Stalnaker (1974) yang mana menyebut seperangkat asumsi dengan istilah common ground atau latar belakang pengetahuan yang sama. Lalu, dari situ dikaitkan lagi dengan pandangan Clark (1996) yang membaginya menjadi dua macam, yaitu communal common ground dan personal common ground. Communal common ground adalah seperangkat asumsi pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh komunitas tertentu, sedangkan personal common ground adalah seperangkat asumsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 39
pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh individu-individu yang menjadi warga komunitas tertentu. Pada intinya, seperangkat asusmsi itu harus sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur, karena bila tidak, maka akan terjadi kesenjangan yang menghasilkan kesalahpahaman. Teori kedua berasal dari Edward T. Hall (1974) yang menunjukkan bahwa dalam sebuah tuturan itu selalu terkandung tiga buah entitas yang harus ada secara bersama-sama, yaitu informasi, konteks, dan makna yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam kaitan dengan hal itu, Parera (2004: 227) menegaskan bahwa konteks hakikatnya adalah situasi yang dibentuk oleh seting, kegiatan, dan relasi. Ketiga hal itu harus saling berinteraksi secara dinamis satu sama lain agar konteks dapat terbentuk. Seting mencangkup dimensi waktu, tempat, dan unsurunsur material di sekelilingnya. Kegiatan dapat berupa tindakan, baik yang sifatnya verbal maupun nonverbal. Relasi antara penutur dan mitra tutur dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, status, peran, prestasi, prestise, hubungan kekeluargaan, kedinasan, pendidikan, dan lain-lain. Interaksi yang dinamis antara ketiga hal itu mengasumsikan hadirnya berbagai hal di dalamnya, yaitu seperangkat asumsi yang merupakan substansi dari konteks. Dengan perkataan lain, konteks hadir beserta dengan substansinya karena adanya interaksi yang dinamis antara ketiga hal tersebut. Kehadiran konteks itulah yang menurut penulis merupakan pencipta interaksi - yang dalam hal ini merupakan komunikasi - antara penutur dan mitra tutur. Adanya asumsi-asumsi tertentu yang hadir dalam entitas konteks menjadi pembangun interaksi. Jadi, syarat terjadinya interaksi adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40
konteks yang mana di dalamnya terdapat substansi hakiki yang berupa seperangkat asumsi, baik asumsi-asumsi personal maupun komunal. Teori ketiga berasal dari Keith Allan (1986) yang membedakan konteks menjadi tiga kategori, yaitu kategori fisik atau seting tuturan, kategori sesuatu yang sedang dibicarakan, dan kategori lingkungan tekstual. Dari ketiga kategori tersebut, penulis hanya mengaitkan salah satu kategori dengan gagasannya, yaitu kategori sesuatu yang sedang dibicarakan yang menurut penulis dapat dimaknai dengan ihwal yang sedang diperbincangkan. Dalam kaitannya dengan gagasan penulis, sesuatu yang sedang dibicarakan itu muncul karena adanya seperangkat asumsi, baik yang bersifat personal maupun komunal. Sebenarnya, istilah asli dari kategori yang kedua itu adalah the world spoken of in an utterance atau dapat disebut the world spoken of. Dari istilah tersebut, penulis memiliki gagasan sendiri yang menegaskan bahwa hakikat konteks sesungguhnya bukan sekadar the world spoken of, melainkan the real world spoken of. Artinya, asumsi bukan bersifat abstrak, namun harus berupa asumsi konkret. Asumsi itu harus hadir dalam realita atau segala sesuatu yang memang terdapat dalam kenyataan, bukan sekadar konsep sehingga penutur dan mitra tutur harus sama-sama memiliki asumsi konkret itu. Penulis hendak menegaskan bahwa dari runutan pandangan Keith Allan ini, asumsi-asumsi sebagai hakikat konteks pragmatik itu hendaknya bukan berupa asumsi dalam tataran yang abstrak dan samar-samar, melainkan asumsi yang harus hadir nyata sebagai realitas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41
Dari penjelasan yang telah dilakukan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa konteks adalah segala situasi yang berada di luar tuturan lisan maupun tulis tetapi menentukan maksud penutur atau penulis. 2.3 Kerangka Berpikir Komunikasi fatis merupakan suatu fenomena baru dalam studi pragmatik. Komunikasi fatis muncul dari perkembangan penggunaan bahasa oleh masyarakat sebagai bentuk bahasa yang digunakan untuk memulai atau mempertahankan hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi fatis dapat terjadi dalam berbagai macam ranah, yang mana salah satunya adalah ranah pendidikan. Komunikasi fatis yang berkembang dalam ranah tersebut dilatar belakangi oleh berbagai faktor, karena ranah pendidikan juga merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari manusia sehingga tentu selalu melibatkan proses komunikasi, termasuk komunikasi fatis itu sendiri. Hal tersebut menjadi kajian penelitian ini, yang khususnya mengkaji komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembibingan skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan teori-teori komunikasi fatis dan beberapa teori lain yang digunakan untuk mendukung tuturan fatis dalam wacana konsultatif antara dosen dan mahasiswa. Pertama, Malinowski (1923: 315) dalam tesis Arimi mendefinisikan phatic communion sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word”. Phatic communion memiliki fungsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42
sosial. Phatic communion digunakan dalam susasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan, dengan perasaan tertentu untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan. Kedua, Jackobson (1980) mendefinisikan basa-basi tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi untuk memastikan berfungsinya saluran komunikasi dan menarik perhatian lawan bicara atau menjaga agar lawan bicara tetap memperhatikan. Ketiga, Kridalaksana (1986: 111) mendefinisikan kategori fatis sebagai kategori
yang
bertugas
memulai,
mempertahankan,
atau
mengukuhkan
pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Keempat, Anwar (1984: 46) menjelaskan bahwa basa-basi merupakan sejemput kata-kata yang dipakai untuk sekedar memecah kesunyian, untuk mempertahankan suasana baik dan sebagainya, sehingga bahasa tidak hanya digunakan untuk menyampaikan perasaan atau pikiran, untuk membahas sesuatu masalah, untuk membujuk, merayu, dan sebagainya. Kelima, Arimi (1998: 171) dalam tesisnya membagi tuturan basa-basi menjadi dua, yaitu basa-basi murni dan polar. Basa-basi murni yaitu ungkapan-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 43
ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Dengan kata lain, apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang dipakai dalam basa-basi murni seperti: selamat siang, selamat datang, terima kasih, pamit, dan sebagainya. Sedangkan basa-basi polar yaitu tuturan yang berlawanan dengan realitasnya, di mana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan. Keenam, basa-basi dapat dikatakan termasuk tindak tutur ilokusi komunikatif. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa fungsi basa-basi yang termasuk klasifikasi tindak tutur ilokusi komunikatif, berdasarkan klasifikasi tindak tutur ilokusi menurut Ibrahim (1993: 16). Klasifikasi tindak tutur komunikatif mencangkup tindak tutur konstantif, direktif, komisif, dan acknowledgements. Basa-basi termasuk dalam acknowledgements. Hal itu dikatakan demikian karena acknowledgements merupakan tuturan yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur atau dalam kasuskasus di mana ujaran berfungsi secara formal, kehendak penutur bahwa ujarannya memenuhi kriteria harapan sosial untuk mengekspresikan perasaan dan kepercayaan tertentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44
Berikut ini adalah bagan kerangka berpikir berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan:
Komunikasi Fatis dalam Kajian Pragmatik
Teori Malinowski
Jackobson
Kridalaksana
Anwar
Arimi
Ibrahim
Metode Penelitian Kualitatif
Metode dan Teknik Pengumpulan Data:
Metode Simak dan Metode Cakap dengan Teknik Catat
Metode dan Teknik Analisis Data:
Metode Padan Ekstralingual dengan Teknik Dasar dan Teknik Lanjutan Hasil Penelitian
Wujud Kefatisan dalam Ranah Pendidikan
Maksud Kefatisan dalam Ranah Pendidikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini, peneliti akan memaparkan metode penelitian. Hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian yaitu jenis penelitian, data dan sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan triangulasi data. 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Hal itu dinyatakan bersifat deskriptif karena data yang diteliti merupakan data yang sifatnya perlu dideskripsikan untuk menguraikan atau menjelaskan setiap pembahasannya. Peneliti mengumpulkan data tuturan antara dosen dengan mahasiswa yang menunjukkan adanya fenomena komunikasi fatis dalam berinteraksi melalui bahasa verbal. Menurut Arikunto (2009: 234), penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Penelitian deskriptif berusaha menjelaskan suatu pembahasan dengan menjelaskan atau lebih tepatnya menggambarkan secara persis data yang menjadi bahan penelitian beserta analisisnya. Penelitian ini berisi gambaran komunikasi fatis antara dosen dengan mahasiswa yang diperoleh langsung di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 46
Penelitian komunikasi fatis antara dosen dengan mahasiswa dinyatakan sebagai penelitian yang bersifat kualitatif pula. Hal itu dikatakan demikian karena pendeskripsian data dan analisis dalam penelitian ini lebih dilihat dari aspek kualitasnya, bukan sekadar kuantitas tuturan. Peneliti mendeskripsikan wujudwujud komunikasi fatis dan menganalisis maksud dari setiap tuturan itu dalam bentuk deskripsi yang memuat aspek kualitas atau bobot tuturan yang di dalamnya terdapat maksud-maksud tertentu yang sesuai dengan konteks. Data yang disajikan dalam penelitian ini berbentuk deskripsi yang rinci sesuai dengan apa yang diperoleh dalam proses pengumpulan data. Penelitian ini memberikan suatu interpretasi terhadap data yang dianalisis, sebagaimana hal itu merupakan karakteristik dari penelitian kualitatif. 3.2 Data dan Sumber Data Data yang akan diteliti adalah tuturan yang di dalamnya terdapat kefatisan, antara dosen dengan mahasiswa yang bersumber dari Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yaitu ketika para mahasiswa melakukan konsultasi untuk penulisan karya ilmiah. Hal itu dilakukan karena peneliti beranggapan bahwa interaksi antara dosen dengan mahasiswa dari prodi tersebut memiliki pengetahuan bahasa yang lengkap dan kaya akan bentuk-bentuk kebahasaan ragam lisan. Selain itu, peneliti berada dekat dengan data yang akan diteliti karena peneliti juga melakukan studi di prodi yang sama dan di universitas yang sama pula sehingga peneliti memiliki kesempatan yang besar untuk mengumpulkan data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 47
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian
i ni
merupakan
penelitian
deskriptif
yang
berusaha
menggambarkan keadaan variabel yang diteliti apa adanya. Peneliti berusaha mendeskripsikan peristiwa komunikasi tanpa memberikan upaya rekayasa terhadap peristiwa tersebut. Penelitian deskriptif ini menjadi dasar untuk menjelaskan bentuk komunikasi fatis, karena penelitian akan menguraikan tuturan antara dosen dengan mahasiswa dengan sumber dari Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode simak dan metode cakap dengan teknik catat. Menurut Sudaryanto (dalam Mahsun, 2007: 92), metode simak adalah cara yang digunakan untuk memperoleh data dengan menyimak penggunaan bahasa, sedangkan metode cakap adalah cara penyediaan data yang berupa percakapan antara peneliti dengan informan (Mahsun, 2007). Dalam penelitian ini, peneliti menyimak tuturan dosen dan mahasiswa Universitas Sanata Dharma dengan dibantu dengan rekaman atau dengan kata lain juga menggunakan teknik sadap, agar data percakapan dapat disimak kembali. Selain dengan alasan tersebut, pada dasarnya penelitian ini memang memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap. Teknik sadap menjadi teknik dasar dalam metode simak karena proses penyimakan diwujudkan dalam penyadapan. Teknik sadap dilaksanakan dengan menggunakan ponsel sebagai alat rekamnya. Teknik catat adalah suatu teknik pengumpulan data dengan cara mencatat hasil simakan atau rekaman. Catatan hasil simakan dapat disebut dengan transkripsi data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 48
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode padan. Metode padan pada dasarnya merupakan metode yang membandingkan antara standar pembanding/pembaku dengan sesuatu yang dibandingkan. Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini berjenis metode padan ekstralingual. Istilah ekstralingual memiliki arti bahwa metode ini digunakan untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, seperti menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa (Mahsun, 2007: 120). Menurut Mahsun (2007: 121), metode padan ekstralingual dapat berarti menghubungkan unsur bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa, seperti kata baju adalah kata benda karena menunjukkan benda. Selain itu, metode ini juga membandingkan antara hal yang sama-sama berada di luar bahasa itu, seperti antara makna dengan makna. Metode padan ekstralingual memiliki teknik sebagai konkretisasi dari metode. Teknik merupakan alat yang menjadi bagian dari metode sebagai sarana konkrit pelaksana yang dalam hal ini merupakan alat analisis data. Metode padan ekstralingual memiliki dua macam teknik, yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan. Dua teknik tersebut merupakan teknik yang sudah menjadi satu kesatuan dalam penerapan metode ini. Teknik dasar digunakan terlebih dahulu sebelum teknik lanjutan sehingga dua teknik itu akan selalu digunakan secara berturut-turut sesuai dengan namanya (dasar-lanjutan) secara bertahap. Masing-masing teknik itu memiliki istilah yang berbeda dalam penyebutannya. Teknik dasar disebut juga dengan teknik pilah unsur tertentu (PUP= Pilah Unsur Penentu). Teknik tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 49
berperan dalam menentukan daya pilah apa yang akan digunakan dalam analisis data. Sebenarnya, teknik PUP ini sudah merupakan bagian dari unsur ekstralingual itu sendiri dan tidak harus dipaparkan lagi, namun demi kejelasan, hal itu sebaiknya tetap dipaparkan karena teknik yang digunakan dalam metode padan ekstralingual dengan intralingual adalah sama. Kembali lagi dalam paparan teknik PUP, daya pilah merupakan alat mental yang dimiliki oleh peneliti untuk menentukan unsur penentu atau standar pembanding dengan menyesuaikan unsur yang akan dibandingkan. Sesuai dengan unsur penentu yang akan dipilah-pilah, maka daya pilah dapat berjenis daya pilah referensial, daya pilah artikulatoris, daya pilah translasional, daya pilah ortografis, dan daya pilah pragmatis. Dasar pemilahan itu disesuaikan dengan karakter unsur penentu, seperti dalam hal acuan, ucapan/pelafalan/wicara, perbedaan bahasa, struktur tulisan, penutur-mitra tutur, konteks, dan lain-lain. Penelitian ini memusatkan perhatian pada kajian pragmatik yang bisa dikatakan memperhatikan tuturan, konteks, dan penutur-mitra tutur. Oleh karena itu, daya pilah yang digunakan adalah daya pilah pragmatis. Daya pilah pragmatis yang digunakan menunjukkan bahwa satuan lingual yang menjadi standar pembanding adalah sesuatu yang dapat dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat pragmatik. Setelah teknik dasar dilakukan, maka teknik lanjutan digunakan. Hubungan padan dalam metode dan teknik ini berupa hubungan banding antara semua unsur penentu yang relevan (standar pembanding) dengan semua unsur data yang ditentukan. Pada dasarnya, metode dan teknik ini bersifat membandingkan. Artinya, analisis dilakukan dengan mencari semua kesamaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 50
dan perbedaan yang ada di antara kedua hal yang dibandingkan. Maka, hal itu dapat dijabarkan menjadi hubungan penyamaan dan hubungan perbedaan. Pembandingan antara persamaan dan perbedaan itu secara otomatis juga akan menggiring analisis pada pencarian kesamaan pokok di antara keduanya yang dinamakan dengan hubungan penyamaan pokok. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa teknik lanjutan memiliki tiga jenis, yaitu teknik hubung banding menyamakan (teknik HBS), teknik hubung banding membedakan (teknik HBB), dan teknik hubung banding menyamakan hal pokok (HBSP), yang mana masingmasing menggunakan daya banding menyamakan, daya banding membedakan, dan daya banding menyamakan hal pokok yang semuanya bersifat mental. Standar pembanding yang ditentukan dalam tulisan ini berupa teori dan kaidah yang menjadi acuan baku seperti yang terdapat dalam landasan teori, yang pada penerapannya, standar pembanding itu bandingkan dengan data yang telah terkumpul sebagai bentuk analisis. 3.5 Triangulasi Data Triangulasi
adalah
teknik
pemeriksaan
keabsahan
data
dengan
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau pembandingan terhadap data (Moleong, 1989: 195). Peneliti membuat triangulasi dengan tujuan untuk melakukan pengecekan terhadap validitas dan kepercayaan hasil penemuan. Triangulasi yang dilakukan peneliti dibagi menjadi dua hal, yaitu triangulasi teori dan triangulasi logis. Triangulasi teori digunakan untuk membandingkan beberapa teori dari beberapa ahli dengan tujuan melihat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 51
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Triangulasi logis dilakukan dengan cara melakukan bimbingan bersama dosen lain yang juga berkompeten dalam bidang penelitian pragmatik, yaitu Prof. Dr. Pranowo, M. Pd. selaku dosen di prodi yang sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian hasil penelitian dan pembahasan yang disusun secara sistematis. Bagian ini secara berturut-turut memaparkan deskripsi data dan pembahasan. Deskripsi data dipaparkan terlebih dahulu sebelum pembahasan untuk memberi gambaran konkrit mengenai hal-hal yang akan dibahas. Pembahasan dilakukan dengan membaginya menjadi dua subbab yang selaras dengan rumusan masalah. Pembahasan pertama mengkaji wujud tuturan fatis yang ditemukan. Pembahasan kedua mengkaji maksud/makna tuturan fatis berdasarkan wujudnya masing-masing. Hasil penelitian dan pembahasan akan dipaparkan sebagai berikut. 4.1 Deskripsi Data Data penelitian ini berisi tuturan fatis yang berdasar pada wujud basa-basi yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa dalam proses pembimbingan skripsi tahun pelajaran 2015/2016 di Universitas Sanata Dharma. Data penelitian diperoleh dari aktivitas konsultasi yang dilakukan oleh 2 mahasiswa angkatan 2012 dan 1 mahasiswa angkatan 2010 bersama dengan dosen pembimbing mereka masing-masing di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI). Pengumpulan data dilakukan dalam kurun waktu kurang dari 1 bulan yang dimulai dari tanggal 4 Februari 2016 sampai 26 Februari 2016 dengan teknik 52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 53
sadap. Setelah memperoleh data yang cukup, data segera ditabulasikan untuk mengidentifikasi
tuturan,
acknowledgements
dalam
wujud
fatis,
maksud
tuturan
basa-basi),
(berdasarkan
dan
konteksnya.
kategori Peneliti
memperoleh data yang siap diolah dalam pembahasan sebanyak 47 tuturan. Namun, peneliti ternyata hanya memperoleh 7 kategori acknowledgements dari jumlah standarnya, yaitu 8 kategori. Peneliti menemukan subkategori menerima, menolak, mengundang, salam, terima kasih, selamat, berduka cita, dan tidak menemukan tuturan yang termasuk dalam kategori minta maaf. Perincian jumlah data tuturan fatis tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 1 Jumlah Data Tuturan Fatis Wujud Basa-basi Kategori Acknowledgements No.
Subkategori
Jumlah
1.
Menerima
10
2.
Menolak
15
3.
Mengundang
15
4.
Salam
2
5.
Terima kasih
3
6.
Selamat
1
7.
Berduka cita
1
Jumlah
47
Berdasarkan tabel yang ditunjukkan di atas, kita dapat melihat bahwa jumlah tuturan fatis basa-basi yang paling banyak terdapat dalam subkategori menolak dan mengundang, yaitu sama-sama sebanyak 15 tuturan. Tuturan subkategori menolak dan mengundang menempati peringkat pertama karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 54
memiliki jumlah yang paling banyak. Peringkat kedua ditempati oleh tuturan subkategori menerima, dengan jumlah 10 tuturan. Tuturan subkategori terima kasih menempati peringkat ketiga dengan jumlah 3 tuturan. Selanjutnya, peringkat keempat dengan tuturan subkategori salam yaitu 2 tuturan, kelima subkategori selamat yaitu 1 tuturan, dan keenam subkategori berduka cita yaitu 1 tuturan. Dari tampilan tabel beserta deskripsinya di atas, tampak bahwa ada “kesenjangan” antara jumlah subkategori tuturan yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain, ada perbedaan yang sangat kontras, terutama pada subkategori tuturan menolak, mengundang, dan menerima dengan subkategori tuturan terima kasih, salam, selamat, dan berduka cita. Berdasarkan pengamatan peneliti saat melakukan pengumpulan data, hal itu terjadi karena proses konsultasi skripsi lebih banyak melibatkan subkategori tuturan menolak, mengundang, dan menerima. Tiga subkategori tuturan tersebut lebih banyak mengisi interaksi antara dosen dan mahasiswa karena memang pada dasarnya proses konsultasi skripsi adalah proses komunikasi yang intens, bukan sekadar menunjukkan kesopanan, kesantunan, dan sebagainya. Subkategori menolak, mengundang, dan menerima dapat menandakan suatu proses komunikasi yang intens karena memerlukan pemikiran yang kompleks. Subkategori terima kasih, salam, selamat, dan berduka cita hanya dituturkan jika memang diperlukan pada saat-saat tertentu, dan tidak memerlukan pemikiran yang kompleks karena hanya sebagai “bumbu” komunikasi, bukan inti komunikasi itu sendiri. Data-data tersebut dapat dilihat dengan lebih jelas dan lengkap pada halaman lampiran. Selanjutnya, peneliti akan memaparkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 55
perwakilan dari setiap contoh data yang diperoleh berdasarkan maksud subkategori acknowledgements sebagai berikut. a. Tuturan Fatis Menerima Tuturan fatis menerima berfungsi untuk menerima, menyetujui, atau menghargai tuturan dari mitra tutur. Seseorang dapat menggunakan ungkapanungkapan tertentu untuk menunjukkan suatu penerimaan terhadap tuturan orang lain atau hal-hal yang berkaitan dengan orang yang menjadi lawan bicaranya. Tabel 2 Contoh Tuturan Fatis Menerima No. 1. (A1)
Tuturan M : Menurut beberapa pengumuman yang saya baca, beberapa hal itu hanya menuliskan tentang makna pragmatik hanya sebagian kecil saja. D : Ya maka gini, maka saya sarankan nanti yang berikutnya teks pengumuman yang didapat dibawa hasil analisisnya seperti apa dibuat, kita diskusikan. Gitu.
Wujud Fatis D : Ya maka gini, maka saya sarankan nanti yang berikutnya teks pengumuman yang didapat dibawa hasil analisisnya seperti apa dibuat, kita diskusikan. Gitu.
Konteks Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang pastor yang berusia sekitar 30 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Mahasiswa merasa kurang menemukan fenomena yang dicari sehingga dia merasa bingung dan kurang yakin. Dosen menyarankan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 56
sebaiknya data diamati untuk didiskusikan bersama supaya menemukan titik terang. b. Tuturan Fatis Menolak Tuturan fatis menolak berfungsi untuk menolak atau melanggar basa-basi dari mitra tutur. Seseorang dapat menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu untuk menyatakan ketidaksetujuan dengan tetap mengutamakan nilai-nilai kesopanan. Tabel 3 Contoh Tuturan Fatis Menolak No. 1. (B1)
Tuturan D : Hmm, bagaimana kok dapat diulang-ulang terus itu. Haduh...dapetdapet...pripun ta Mas Yudi? M : Harus sesingkat mungkin ya Romo? D : Satu kalimat kok dapetnya dua kali?
Wujud Fatis D : Hmm, bagaimana kok dapat diulang-ulang terus itu. Haduh...dapetdapet...pripun ta Mas Yudi? M : Harus sesingkat mungkin ya Romo?
Konteks Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen tidak setuju dengan kalimat yang ditulis oleh mahasiswa dalam skripsinya karena menemukan kesalahan dan seharusnya kalimat ditulis secara efektif. Mahasiswa berasumsi bahwa kalimat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 57
harus dibuat sesingkat mungkin. c. Tuturan Fatis Mengundang Tuturan fatis mengundang berfungsi untuk mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seseorang akan terjadi. Seseorang dapat menggunakan ungkapan-ungkapan untuk menawarkan sesuatu, memberikan harapan baik kepada orang lain, atau mengajak mitra tutur untuk memberikan perhatian pada suatu hal. Tabel 4 Contoh Tuturan Fatis Mengundang No. 1. (C1)
Tuturan M : Apakah memang di dalam bahasa pengumuman itu ee...terdapat ee...makna pragmatiknya? D : Nah, sekarang spesifik. Makna pragmatik itu apa saja? Makna tindak tutur itu apa saja?
Wujud Fatis D : Nah, sekarang spesifik. Makna pragmatik itu apa saja? Makna tindak tutur itu apa saja?
Konteks Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 30 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Mahasiswa memiliki keraguan terhadap kehadiran makna pragmatik dalam bahasa pengumuman. Dosen ingin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 58
mengingatkan mahasiswa terlebih dahulu pada jenis makna pragmatik. d. Tuturan Fatis Salam Tuturan fatis salam berfungsi untuk menyatakan rasa senang karena bertemu seseorang. Seseorang dapat mengungkapkan rasa senangnya karena bertemu dengan orang lain atau sekadar menunjukkan kesopanannya untuk menjaga hubungan sosial. Tabel 5 Contoh Tuturan Fatis Salam No. 1.
Tuturan D : Kamu gimana kabarnya, (D1) ha? M : Baik Romo, dah lama menghilang...hehe. D : Menghilang ke mana? M : Ee...kerja mbantu ibu bapak.
Wujud Fatis D : Kamu gimana kabarnya, ha? M : B a ik Romo, dah lama menghilang...hehe.
Konteks Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen menanyakan kabar mahasiswa yang berkonsultasi karena sudah lama tidak bertemu dan mahasiswa menjawabnya dengan senang hati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 59
e. Tuturan Fatis Terima Kasih Tuturan fatis terima kasih berfungsi untuk menyatakan terima kasih karena mendapat bantuan. Seseorang dapat mengungkapkan penghargaannya maupun rasa senangnya atas bantuan orang lain. Tabel 6 Contoh Tuturan Fatis Terima Kasih No. 1.
Tuturan D : Nah, kadang ketika (E1) di...dibacakan karena keterbatasan waktu, maka yang membaca kadangkadang langsung pada pokok. Jadi, tidak lagi baca kepala surat, terus identitas, nomer. M : Begitu saja, terima kasih Pak Wid. D : Oke.
Wujud Fatis M : Begitu saja, terima kasih Pak Wid. D : Oke.
Konteks Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang pastor yang berusia sekitar 30 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Mahasiswa mengakhiri konsultasi karena merasa sudah cukup untuk saat itu dan dosen menerima ucapan terima kasih dari mahasiswa.
f. Tuturan Fatis Selamat Tuturan fatis selamat berfungsi untuk mengekspresikan kegembiraan karena adanya kabar baik tentang orang lain. Seseorang dapat menggunakan ungkapan-ungkapan untuk mengekspresikan kegembiraannya atas peristiwa baik yang dialami oleh orang lain atau menunjukkan kedekatan dan menjaga hubungan sosial antara mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 60
Tabel 7 Contoh Tuturan Fatis Selamat No. 1.
Tuturan D : Formatnya itu jangan begini! : Ya. (F1) M D : Ini masuk lalu ini juga alinea baru. Itu masalah format. Kalau isinya sudah...hmm. Harusnya kamu datang sekarang itu membawa bab 2 lengkap! M : O...iya Pak.
Wujud Fatis D : Ini masuk lalu ini juga alinea baru. Itu masalah format. Kalau isinya sudah...hmm. ...
Konteks Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen memberikan apresiasi atas hasil kerja mahasiswa pada bagian tertentu dalam skripsinya.
g. Tuturan Fatis Berduka Cita Tuturan fatis berduka cita berfungsi untuk mengekspresikan penyesalan atas peristiwa yang terjadi pada orang lain. Seseorang dapat mengungkapkan rasa simpati dan/atau empatinya atas peristiwa yang terjadi pada orang lain sehingga penutur dapat menunjukkan kepeduliannya kepada mitra tutur. Tabel 8 Contoh Tuturan Fatis Berduka Cita No. 1.
Tuturan D : ...Kenapa? Ayamnya pada mati (G1) pa? M : Ee...panennya nggak tepat, Romo.
Wujud Fatis D : Woo...lha terus? M : Ya nggak dapet modal malah obatnya mungkin nambah...hehe.
Konteks Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 61
D : Nggak tepat terus gimana? M : Jadi kan sebenarnya...seharus nya tiga puluh hari, tapi karena ibu sama bapak ada acara nikahan di Jakarta dipanen cepet. D : Woo...lha terus? M : Ya nggak dapet modal malah obatnya mungkin nambah...hehe. D : Woo...lha terus lakunya gimana? Sedikit, gitu? M : Ya, lakunya sedikit. Nggak dapet hasil. Biasanya kan hasilnya besar.
D : Woo...lha terus lakunya gimana? Sedikit, gitu? M : Ya, lakunya sedikit. Nggak dapet hasil. Biasanya kan hasilnya besar.
skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen berbasa-basi dengan menanyakan hasil panen ternak ayam milik orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi dan dosen mengungkapkan rasa penyesalannya kepada mahasiswa itu atas kegagalan panennya.
4.2 Analisis Data Data penelitian yang telah dideskripsikan pada bagian sebelumnya akan dibahas secara mendalam pada bagian ini. Data penelitian akan dibahas dengan urutan atau sistematika yang selaras dengan rumusan masalah dalam penelitian ini. Pertama, pembahasan akan mengulas wujud tuturan fatis. Kedua, pembahasan akan mengulas maksud tuturan fatis. Data dibahas berdasarkan kategori acknowledgements dengan 7 subkategori yang sesuai dengan data yang diperoleh, yaitu subkategori menerima, menolak, mengundang, salam, terima kasih, selamat, berduka cita, dan tidak melibatkan subkategori minta maaf. Berikut ini adalah pembahasan dari penelitian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 62
4.2.1 Wujud Tuturan Fatis Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, a ta u
mengukuhkan
pembicaraan
antara
pembicara
dan
kawan
bicara
(Kridalaksana, 1986: 111). Phatic communion (komunikasi fatis) dapat juga disebut dengan basa-basi, karena basa-basi merupakan bagian dari komunikasi fatis. Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13) mendefinisikan istilah tersebut sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word”. Basa-basi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan oleh peserta komunikasi dengan saling bertukar kata-kata dalam pembicaraan ringan dan perasaan gembira untuk membentuk hidup yang menyenangkan. Jackobson (1980) mendefinisikan bahwa basa-basi adalah tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi untuk memastikan berfungsinya saluran komunikasi dan menarik perhatian lawan bicara atau menjaga agar lawan bicara tetap memperhatikan. Tiga pengertian di atas memiliki kecenderungan yang berbeda. Pemaparan tiga pengertian di atas dalam bagian ini digunakan sebagai pembandingan atas perbedaan yang dikemukakan oleh dua teori tersebut. Jackobson memandang basa-basi sebagai bentuk tuturan yang berfungsi untuk mengomunikasikan ide, tanpa terlalu mempermasalahkan fungsi sosial. Malinowski dan Kridalaksana lebih memandang basa-basi sebagai bentuk tuturan yang memiliki fungsi sosial, tidak sekadar mengomunikasikan ide. Teori Malinowski dan Kridalaksana ingin menyampaikan bahwa basa-basi berfungsi memantapkan ikatan personal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 63
antarpeserta komunikasi dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan akan kebersamaan, bukan sekadar mengomunikasikan ide. Terlebih lagi, Malinowski dalam tesis Arimi (1998) mempertegas fungsi basa-basi untuk mengikat antara pembicara dan pendengar sebagai modus tindakan. Modus tindakan yang terkandung dalam fungsi basa-basi memiliki kaitan dengan teori Ibrahim (1993: 16) yang berbicara tentang klasifikasi tindak tutur ilokusi komunikatif. Basa-basi dapat dikatakan termasuk tindak tutur ilokusi komunikatif. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa fungsi basa-basi yang termasuk klasifikasi tindak tutur ilokusi komunikatif, berdasarkan klasifikasi tindak tutur ilokusi tersebut. Klasifikasi tindak tutur komunikatif mencangkup tindak tutur konstantif, direktif, komisif, dan acknowledgements. Basa-basi termasuk dalam acknowledgements. Hal itu dikatakan demikian karena acknowledgements merupakan tuturan yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur atau dalam kasus-kasus di mana ujaran berfungsi secara formal, kehendak penutur bahwa ujarannya memenuhi kriteria harapan sosial untuk mengekspresikan perasaan dan kepercayaan tertentu. Wujud basa-basi berkaitan dengan jenisnya pula. Arimi (1998: 171) dalam tesisnya membagi tuturan basa-basi menjadi dua, yaitu basa-basi murni dan polar. Basa-basi murni yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Dengan kata lain, apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang dipakai dalam basa-basi murni seperti: selamat siang, selamat datang, terima kasih, pamit, dan sebagainya. Sedangkan basa-basi polar yaitu tuturan yang berlawanan dengan realitasnya, di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 64
mana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan. Kategori acknowledgements dan dua jenis tuturan basa-basi yang telah dipaparkan di atas akan digunakan untuk mengkasifikasi dan membahas wujud tuturan basa-basi antara dosen dan mahasiswa dalam proses konsultasi atau pembimbingan skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma semester genap tahun akademik 2015/2016. 4.2.1.1 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Menerima Tuturan fatis menerima berfungsi untuk menerima, menyetujui, atau menghargai tuturan dari mitra tutur. Seseorang dapat menggunakan ungkapanungkapan tertentu untuk menunjukkan suatu penerimaan terhadap tuturan orang lain atau hal-hal yang berkaitan dengan orang yang menjadi lawan bicaranya. Tuturan A1 M: Menurut beberapa pengumuman yang saya baca, beberapa hal itu hanya menuliskan tentang makna pragmatik hanya sebagian kecil saja. D: Ya maka gini, maka saya sarankan nanti yang berikutnya teks pengumuman yang didapat dibawa hasil analisisnya seperti apa dibuat, kita diskusikan. Gitu. (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Mahasiswa merasa kurang menemukan fenomena yang dicari sehingga dia merasa bingung dan kurang yakin. Dosen menyarankan bahwa sebaiknya data diamati untuk didiskusikan bersama supaya menemukan titik terang.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 65
Tuturan A1 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh seorang dosen dengan bentuk tuturan “Ya maka gini, maka saya sarankan nanti yang berikutnya teks pengumuman yang didapat dibawa hasil analisisnya seperti apa dibuat, kita diskusikan. Gitu.”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang pastor yang berusia sekitar 30 tahun. Tuturan A1 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi, walaupun sebenarnya bukan merupakan basa-basi.
Kategori
fatis
adalah
kategori
yang
bertugas
memulai,
mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara (Kridalaksana, 1986: 111). Phatic communion (komunikasi fatis) dapat juga disebut dengan basa-basi, karena basa-basi merupakan bagian dari komunikasi fatis. Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13) mendefinisikan istilah tersebut sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word”. Basa-basi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan oleh peserta komunikasi dengan saling bertukar kata-kata dalam pembicaraan ringan dan perasaan gembira untuk membentuk hidup yang menyenangkan. Berdasarkan teori Malinowski, basa-basi itu sendiri cenderung memiliki fungsi sosial dari pada mengomunikasikan ide. Artinya, basa-basi adalah tuturan yang lebih mengutamakan pengaruh atau manfaatnya dari pada pesan yang sebenarnya ingin disampaikan. Jadi, basa-basi pada umumnya adalah tuturan yang tidak membicarakan hal-hal penting, namun cenderung mengutamakan fungsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 66
sosialnya, seperti yang kita lihat pada teori Malinowski di atas. Tuturan A1 tersebut adalah tuturan fatis, namun masih membicarakan hal yang penting dan memang diperlukan sesuai dengan tujuan mahasiswa pada saat itu yang ingin berkonsultasi skripsi dengan dosen. Jadi, tuturan A1 tersebut bukanlah tuturan basa-basi. Tuturan A1 disebut sebagai tuturan fatis karena tuturan itu memiliki persamaan sifat dengan tuturan basa-basi yang terletak pada penandanya. Kridalaksana (1986) menemukan penanda fatis yang salah satunya adalah ya, seperti penanda yang terdapat pada tuturan A1. Penanda fatis itu terdapat pada tuturan basa-basi maupun bukan tuturan basa-basi. Jadi, kehadiran penanda itu tetap membuat tuturan apapun menjadi sama-sama berunsur fatis karena penanda tersebut adalah salah satu penanda fatis menurut Kridalaksana. Ibrahim (1993: 16) membagi kategori acknowledgements menjadi 8 subkategori yang salah satunya adalah subkategori menerima. Accept (menerima) yaitu fungsi tuturan untuk menerima atau menghargai basa-basi dari lawan tutur. Tuturan A1 tersebut termasuk dalam subkategori menerima karena dosen menerima
jawaban
mahasiswa
yang
kemudian
menanggapinya
dengan
memberikan saran. Hal itu juga sesuai dengan fungsi penanda ya yang terdapat pada tuturan itu yang menurut Kridalaksana (1986) berfungsi mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara, bila dipakai pada awal ujaran. Fungsi
tersebut
berarti
juga
bermaksud menerima
tuturan
mahasiswa.
Berdasarkan pembahasan di atas, peneliti menegaskan bahwa tuturan A1 bukanlah tuturan basa-basi, namun tetap merupakan tuturan fatis, karena tuturan tersebut memiliki penanda fatis. Jadi, kesimpulan peneliti untuk bagian ini adalah tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 67
A1 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan fatis murni tidak mengenal perbedaan jenis murni dan polar seperti halnya basa-basi. Perbedaan jenis tersebut hanya terdapat pada tuturan basa-basi, seperti yang telah dikemukakan oleh Arimi (1998: 171). Sejauh peneliti mengamati, tuturan fatis murni tidak memiliki jenis murni atau polar, karena tuturan fatis murni pada dasarnya memang murni, yang artinya tuturan tersebut selalu selaras dengan kenyataan. Tuturan A2 D : Nah, kadang ketika di...dibacakan karena keterbatasan waktu, maka yang membaca kadang-kadang langsung pada pokok. Jadi, tidak lagi baca kepala surat, terus identitas, nomer. M
: Begitu saja, terima kasih Pak Wid.
D
: Oke.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Dosen memberikan pendapat terakhir tentang cara pembaca membacakan pengumuman. Mahasiswa mengakhiri konsultasi karena merasa sudah cukup untuk saat itu dan dosen menerima ucapan terima kasih dari mahasiswa.) Tuturan A2 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh mahasiswa dan dosen dengan bentuk tuturan “Begitu saja, terima kasih Pak Wid.” dan “Oke.”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang pastor yang berusia sekitar 30 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan A2 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Perhatian pada tuturan A2 ini ditujukan kepada suatu aktivitas yang menunjukkan rasa terima kasih yang diberikan mahasiswa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 68
kepada dosen saat proses konsultasi skripsi selesai. Ucapan terima kasih adalah salah satu bentuk dari basa-basi. Hal itu sesuai dengan teori Arimi (1998: 171) yang dalam tesisnya membagi tuturan basa-basi menjadi dua, yaitu basa-basi murni dan polar. Basa-basi pada tuturan A2 merupakan basa-basi murni. Menurut Arimi (1998: 171), basa-basi murni yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Dengan kata lain, apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang dipakai dalam basa-basi murni seperti: selamat siang, selamat datang, terima kasih, pamit, dan sebagainya. Dari teori tersebut, tampak bahwa ucapan terima kasih termasuk dalam basa-basi, khususnya berjenis basa-basi murni. Tuturan A2 termasuk dalam subkategori menerima, karena dosen menerima ucapan terima kasih dari mahasiswa saat konsultasi skripsi berakhir. Hal itu tampak dalam pendanda fatis yang terdapat pada tuturan A2, yaitu oke. Penanda tersebut dalam hal ini dapat dikatakan setara dengan fungsi penanda ya temuan Kridalaksana (1986). Penanda oke adalah temuan baru dari peneliti sendiri yang berarti menerima, mengonfirmasi, menyetujui, mengukuhkan, atau membenarkan tuturan dari lawan bicara seperti halnya penanda ya. Tuturan A3 D
: Membesarkan pitik?
M
: Iya...hahaha.
D
: Sudah berhasil menjual ayam berapa?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 69
M
: Untuk yang tahun ini...eeh apa yang panenan yang terakhir ini rugi kok.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen berbasa-basi menanyakan usaha ternak ayam milik orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Mahasiswa dengan senang hati menjawab pertanyaan dosen.) Tuturan A3 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan “Membesarkan pitik?” dan “Iya...hahaha.”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan A3 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13) mendefinisikan basa-basi sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word”. Basa-basi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan oleh peserta komunikasi dengan saling bertukar kata-kata dalam pembicaraan ringan dan perasaan gembira untuk membentuk hidup yang menyenangkan. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa dosen ingin menciptakan suasana gembira dan terbuka kepada mahasiswa yang datang kepadanya untuk berkonsultasi skripsi. Tujuan utama pertemuan dosen dan mahasiswa tersebut adalah konsultasi skripsi, namun ternyata mereka sempat membicarakan hal-hal di luar tujuan utama. Maka, tampak bahwa tuturan tersebut membuktikan salah satu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 70
fungsi sosial basa-basi sebagai “penyegar” suasana dan relasi antara penutur dan mitra tutur. Tuturan A3 berjenis basa-basi polar yang menurut Arimi (1998: 171) adalah tuturan yang berlawanan dengan realitasnya, di mana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan, yang dalam tuturan itu lebih tepatnya untuk menunjukkan hal yang lebih ramah. Jika kita menengok teori Ibrahim (1993: 16) tentang kategori acknowledgements, tuturan itu termasuk dalam subkategori menerima, karena mahasiswa menerima pertanyaan basa-basi dosen dengan tanggapan konfirmasi positif. Hal itu dapat dilihat pada penanda iya yang dituturkan oleh mahasiswa dan diikuti dengan tawa. Penanda iya jelas setara dengan penanda ya temuan Kridalaksana (1986) yang berfungsi mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara. Penanda iya merupakan variasi dari bentuk fatis konfimasi positif, seperti ya, oke, dan sebagainya. Tuturan A4 D
: Sudah berhasil menjual ayam berapa?
M kok.
: Untuk yang tahun ini...eeh apa yang panenan yang terakhir ini rugi
D
: O...rugi. Ambil hikmah dari pengalaman hidup itu. Kenapa rugi?
M
: Harganya turun, jadi ya dipermainkan gitu lah Mo.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen berbasa-basi menanyakan usaha ternak ayam milik orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Mahasiswa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 71
menjawab pertanyaan dosen dan dosen mendapat informasi bahwa usaha mereka sedang gagal panen.) Tuturan A4 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh mahasiswa dan dosen dengan bentuk tuturan “Untuk yang tahun ini...eeh apa yang panenan yang terakhir ini rugi kok.” dan “O...rugi. Ambil hikmah dari pengalaman hidup itu. Kenapa rugi?”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan A4 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Karakteristik tuturan A4 mirip dengan tuturan A3 yang telah dibahas sebelumnya. Jenis basa-basi dan subkategori dalam tuturan A4 sama dengan tuturan A3, yaitu berjenis basa-basi polar dan termasuk dalam subkategori menerima. Hal yang menjadi perbedaan adalah isi basa-basi, konteks, dan penanda fatisnya. Isi basa-basi selaras dengan konteksnya, yaitu dosen berbasabasi menanyakan usaha ternak ayam milik orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Mahasiswa menjawab pertanyaan dosen dan dosen mendapat informasi bahwa usaha mereka sedang gagal panen. Penanda fatis pada tuturan A4 adalah kata o. Penanda fatis o merupakan temuan baru dari peneliti sendiri. Berdasarkan pengalaman hidup peneliti, kata o dapat bertugas untuk menunjukkan bahwa mitra tutur memahami pesan yang disampaikan oleh penutur. Pemahaman dapat diartikan sebagai bentuk penerimaan mitra tutur terhadap sesuatu yang disampaikan oleh penutur. Jadi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 72
tuturan A4 jelas termasuk dalam kategori acknowledgements dengan subkategori menerima, berdasarkan teori Ibrahim (1993: 16). Tuturan A5 D
: Ini pada zaman apa kejadiannya? jangan hanya waktu siang malam!
M
: Sepuluh tahun yang lalu.
D : Nah... Sepuluh tahun yang lalu dikatakan itu tata waktunya. Itu keterangan...penting. ... (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen menanyakan latar waktu yang lebih lengkap dari deskripsi yang ditulis oleh mahasiswa. Mahasiswa menjawab pertanyaan dosen dengan benar dan dosen menyetujui keterangan yang diberikan.) Tuturan A5 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh mahasiswa dan dosen dengan bentuk tuturan “Sepuluh tahun yang lalu.” dan “Nah... Sepuluh tahun yang lalu dikatakan itu tata waktunya. Itu keterangan...penting. ...”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan A5 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, tuturan A5 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan A5 merupakan tuturan fatis murni sehingga tuturan A5 mirip dengan tuturan A1. Penjelasan tentang permasalahan ini dapat dirunut kembali pada pembahasan tuturan A1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 73
Tuturan A5 memiliki penanda fatis nah. Penanda tersebut terdapat dalam temuan Kridalaksana (1986) yang mengatakan bahwa penanda nah bertugas untuk meminta supaya kawan bicara mengalihkan pembicaraan ke hal lain, atau lebih tepatnya berdasarkan tuturan tersebut, cenderung untuk menunjukkan suatu persetujuan atau pembenaran atas jawaban mahasiswa. Dari hal itu, peneliti menemukan fungsi lain dari penanda nah, yaitu sebagai ekspresi persetujuan atau pembenaran atas sesuatu yang disampaikan oleh penutur. Fungsi penanda nah ternyata memiliki persamaan dengan fungsi penanda ya, seperti gagasan Kridalaksana (1986) yang menyatakan bahwa penanda ya bertugas mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara. Hal itu juga membuktikan bahwa tuturan A5 termasuk dalam subkategori menerima, yang mana dosen menerima jawaban yang benar dari mahasiswa dengan menunjukkan sebuah konfirmasi positif. Tuturan A6 D
: Lha mestinya kamu tuh nggak cepet-cepet pulang ke sini.
M
: Ini Mo, kasihan...hehe (sambil menunjuk skripsi yang dikonsultasikan).
D
: Halah...hanya selisih satu minggu aja ee...kamu juga...
M
: Iya sih.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen menyayangkan kegagalan panen ternak ayam orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi dan mengetahui alasan yang menjadi penyebab hal itu terjadi.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 74
Tuturan A6 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan “Halah...hanya selisih satu minggu aja ee...kamu juga...” dan “Iya sih.”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan A6 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Teori Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13) memperkuat alasan tersebut dengan mendefinisikan basa-basi sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word”. Basa-basi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan oleh peserta komunikasi dengan saling bertukar kata-kata dalam pembicaraan ringan dan perasaan gembira untuk membentuk hidup yang menyenangkan. Tuturan tersebut juga menunjukkan bahwa dosen ingin menciptakan suasana gembira dan terbuka kepada mahasiswa yang datang kepadanya untuk berkonsultasi skripsi, seperti yang tampak pada tuturan A3 dan A4. Tuturan A6 termasuk dalam subkategori menerima karena mahasiswa menerima tanggapan dari dosen, yang mana mahasiswa itu juga secara tersirat mengakui kelalaiannya. Hal itu ditunjukkan melalui konteksnya bahwa dosen menyayangkan kegagalan panen ternak ayam orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi dan mengetahui alasan yang menjadi penyebab hal itu terjadi. Mahasiswa tampak sedikit menyesal dengan jawabannya yang juga bernada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 75
“sesal” seperti yang dapat dilihat pada tuturan di atas dan transkripsi suara dari rekaman yang diperoleh peneliti. Tuturan tersebut terdiri dari penanda fatis iya dan sih yang menjadi satu. Penanda iya merupakan temuan peneliti sebagai variasi dari temuan Kridalaksana (1986) yang berwujud ya. Peneliti menyejajarkan fungsi dari penanda iya dan ya, karena memiliki fungsi yang sama, namun memiliki bentuk atau wujud yang berbeda. Penanda sih merupakan temuan dari ahli yang sama seperti yang telah disebutkan di atas. Menurut ahli tersebut, penanda ya bertugas untuk mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara, sedangkan penanda sih bertugas untuk menyatakan makna “memang” atau “sebenarnya”. Dari penjelasan di atas, tampak bahwa tuturan fatis mahasiswa tersebut sebenarnya ingin mengatakan “Ya, seharusnya saya memang tidak terlalu cepat pulang ke Jogja. Karena dengan kepulangan saya yang terlalu cepat ini, saya tidak bisa mengawasi ayam orang tua saya sehingga usaha kami gagal karena ayam terlalu cepat dipanen”. Dua kata yang bercetak tebal dalam tuturan ilustrasi tersebut menunjukkan penekanan fungsi penanda iya sih. Kata “ya” menunjukkan bahwa mahasiswa membenarkan tuturan dosen, sedangkan kata “memang” menunjukkan bahwa mahasiswa “mengakui” kelalaiannya. Jadi, dari pembahasan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa penanda iya sih bertugas untuk menyatakan suatu pengakuan yang dapat disertai dengan rasa sesal. Hal itu selaras dengan penerimaan dari mahasiswa atas tanggapan dosen. Artinya, tuturan A6 jelas termasuk ke dalam subkategori menerima. Tuturan A6 merupakan basa-basi polar, karena tuturan bersifat berlawanan dengan realitasnya, di mana orang harus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 76
memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan, sebagaimana selaras teori yang dikemukakan oleh Arimi (1998: 171). Dalam tuturan A6, lebih tepatnya untuk menunjukkan hal yang lebih ramah, seperti hal yang telah disinggung dalam pembahasan tuturan A3 dan A4. Tuturan A7 D : ... Kalau koma itu ya yang teliti. Ini kalimat atau apa ini? Karya Sumarsana Basuki K. S. M
: Pengarangnya, Romo.
D
: Lha ini titik kok. Ini kalimat baru ta?
M
: O iya...hehe.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen menyadarkan mahasiswa untuk mengetahui kesalahan kalimat yang ditulis. Mahasiswa baru menyadari kesalahan kalimatnya setelah ditegur oleh dosen.) Tuturan A7 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan “Lha ini titik kok. Ini kalimat baru ta?” dan “O iya...hehe.”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan A7 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1 dan A5, tuturan A7 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan A7 merupakan tuturan fatis murni sehingga tuturan A7 mirip dengan tuturan A1 dan A5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 77
Tuturan A7 termasuk dalam subkategori menerima karena mahasiswa menerima teguran dosen dengan tanggapan konfirmasi positif. Tuturan tersebut terdiri dari penanda fatis o dan iya yang menjadi satu. Penanda o merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Penanda itu juga terdapat pada tuturan A4 yang bertugas untuk menunjukkan bahwa mitra tutur memahami pesan yang disampaikan oleh penutur. Pemahaman dapat diartikan sebagai bentuk penerimaan mitra tutur terhadap sesuatu yang disampaikan oleh penutur. Jadi, penjelasan itu sekaligus juga menyatakan bahwa tuturan A7 jelas termasuk dalam kategori acknowledgements dengan subkategori menerima, berdasarkan teori Ibrahim (1993: 16). Penanda iya juga merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Penanda itu juga terdapat pada tuturan A3 dan A6 yang bertugas mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara, seperti fungsi penanda ya yang dikemukakan oleh Kridalaksana (1986) tersebut. Dari penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa penanda o iya dapat bertugas untuk menunjukkan suatu kesadaran dari benak mitra tutur terhadap kebenaran tentang sesuatu yang disampaikan oleh penutur. Misalnya, mitra tutur kurang cermat dalam mengamati sesuatu atau lupa tentang sesuatu, lalu penutur mengingatkan, menunjukkan, atau memperingatkan kebenaran yang seharusnya diketahui mitra tutur. Kemudian, pada waktu itu juga mitra tutur menyadari kebenaran tentang sesuatu yang disampaikan penutur. Itulah gambaran atau ilustrasi saat penanda o iya digunakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 78
Tuturan A8 M
: Maksudnya itu lho, Mo, ditemukan permasalahan-permasalahan...
D
: Ha’a...dengan itu terus apa?
M
: Dengan menemukan permasalahan yang ada...seperti itu?
D
: Itu baru keterangan!
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa berusaha menyampaikan maksud dengan susunan kalimat yang benar. Dosen memancing mahasiswa untuk terus berusaha membuat kalimat yang benar.) Tuturan A8 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh mahasiswa dan dosen dengan bentuk tuturan “Maksudnya itu lho, Mo, ditemukan permasalahan-permasalahan...” dan “Ha’a...dengan itu terus apa?”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan A8 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, dan A7, tuturan A8 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan A8 merupakan tuturan fatis murni sehingga tuturan A8 mirip dengan tuturan A1, A5, dan A7. Tuturan A8 termasuk dalam subkategori menerima karena dosen menerima pernyataan mahasiswa dengan tanggapan konfirmasi positif. Tuturan tersebut memiliki penanda fatis yang mengangkat unsur dialek. Hal itu selaras dengan teori Kridalaksana (1986: 111) yang mengemukakan bahwa sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 79
umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Penanda fatis pada tuturan A8 adalah ha’a. Kata ha’a itu sendiri merupakan kata yang berasal dari bahasa Jawa. Kata ha’a dalam bahasa Indonesia adalah ya yang berarti meneguhkan atau membenarkan, seperti penanda fatis ya temuan
Kridalaksana
(1986)
yang
bertugas
untuk
mengukuhkan
atau
membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara. Selain itu, eksistensi kata ha’a yang ditemukan peneliti sebagai penanda fatis diperkuat oleh teori Nababan (1987: 41) yang berbicara tentang deiksis, yang dalam hal ini adalah deiksis sosial, yaitu deiksis yang menunjukkan atau mengungkapkan perbedaanperbedaan kemasyarakatan, terutama aspek peran sosial antara pembicara dan pendengar dan antara pembicara dengan rujukan atau topik yang lain. Dalam beberapa bahasa, ada perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata atau sistem morfologi kata-kata tertentu. Nababan (1987) memberi contoh, misalnya, dalam bahasa Jawa, penutur memakai kata nedha dan kata dhahar (keduanya berarti makan), menunjukkan perbedaan sikap atau kedudukan sosial antara pembicara, pendengar, dan/atau orang yang dibicarakan/bersangkutan. Secara tradisional, perbedaan bahasa (variasi bahasa) seperti itu disebut “tingkat bahasa”, dalam bahasa Jawa, ngoko dan krama (krama andhap, krama madya, dan krama inggil). Teori tersebut menunjukkan bahwa tuturan fatis selalu memiliki kemungkinan untuk mengangkat unsur kedaerahan, karena tuturan fatis tidak akan lepas dari masyarakat plural sebagai pengguna bentuk bahasa fatis. Penjelasan tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 80
semakin memberikan titik terang bahwa kata ha’a dapat dijadikan sebagai salah satu penanda fatis yang berunsur khas kedaerahan. Penanda ha’a dapat disejajarkan dengan penanda ya dengan fungsi yang sama. Tuturan A9 D : Kamu tuh berkali-kali SMS lalu tidak datang-datang itu lho. Apakah saya harus nunggu yang tidak tentu? Berapa kali kamu SMS? M
: Dua kali, Pak.
D
: Kalau jam setengah satu itu ya jam 12.30 lebih sedikit gitu lho!
M
: Ya Pak.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen merasa kesal karena mahasiswa tidak tepat waktu ketika berkonsultasi dan memperingatkan mahasiswa untuk tepat waktu. Mahasiswa menerima peringatan dosen dengan tertunduk.) Tuturan A9 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan “Kalau jam setengah satu itu ya jam 12.30 lebih sedikit gitu lho!” dan “Ya Pak.”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan A9 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Tuturan A9 lebih relevan dengan teori Jackobson (1980) yang mendefinisikan bahwa basa-basi adalah tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi untuk memastikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 81
berfungsinya saluran komunikasi dan menarik perhatian lawan bicara atau menjaga agar lawan bicara tetap memperhatikan. Tuturan A9 dianggap lebih relevan dengan teori Jackobson, karena teori tersebut memandang basa-basi sebagai bentuk tuturan yang berfungsi untuk mengomunikasikan ide, tanpa terlalu mempermasalahkan fungsi sosial. Tuturan A9, sesuai dengan konteksnya, berisi kekesalan dosen karena mahasiswa tidak tepat waktu ketika berkonsultasi dan memperingatkan mahasiswa untuk tepat waktu. Mahasiswa menerima peringatan dosen dengan tertunduk. Hal itu menunjukkan bahwa basa-basi yang dilakukan oleh dosen berfungsi untuk menyampaikan suatu pesan yang berupa peringatan agar mahasiswa tidak mengulangi kesalahannya. Basa-basi dalam tuturan A9 bukan sebagai “penyegar” seperti yang disebutkan oleh peneliti yang berkaitan dengan teori Malinowski (1923), namun cenderung mengarah pada teori Jackobson yang lebih memperhatikan basa-basi sebagai sarana penyampaian ide. Tuturan A9 termasuk dalam jenis basa-basi murni, karena ungkapanungkapan yang dipakai sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul, atau apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan, seperti isi tuturan yang telah kita lihat di atas. Hal itu sesuai dengan teori Arimi (1998: 171) tentang jenis basabasi. Jika dilihat dari segi subkategori acknowledgements menurut Ibrahim (1993: 16), tuturan A9 termasuk dalam subkategori menerima, karena mahasiswa menerima peringatan dosen dengan tanggapan konfirmasi positif. Hal itu tampak pada penanda fatis ya yang diucapkan oleh mahasiswa. Tuturan A9 dianggap basa-basi juga karena tuturan tersebut berisi pembicaraan di luar pembicaraan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 82
utama, yaitu skripsi. Tuturan itu hanya berisi peringatan agar mahasiswa dapat lebih tepat waktu saat datang untuk berkonsultasi. Tuturan A10 M
: Permisi Pak.
D
: Ya. Ini bab berapa?
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Mahasiswa datang dan memberi salam kepada dosen sebelum duduk di hadapan dosen. Dosen menerima salam yang diberikan oleh mahasiswa dan langsung fokus pada konsultasi.) Tuturan A10 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh mahasiswa dan dosen dengan bentuk tuturan “Permisi Pak.” dan “Ya. Ini bab berapa?”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan A10 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Perhatian pada tuturan A10 ini ditujukan pada ucapan salam yang diberikan mahasiswa kepada dosen saat mahasiswa datang ke ruangan dosen dan memulai proses konsultasi skripsi. Ucapan salam adalah salah satu bentuk dari basa-basi. Hal itu sesuai dengan teori Arimi (1998: 171) yang dalam tesisnya membagi tuturan basa-basi menjadi dua, yaitu basa-basi murni dan polar. Basa-basi pada tuturan A10 merupakan basa-basi murni. Menurut Arimi (1998: 171), basa-basi murni yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Dengan kata lain, apa yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 83
diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang dipakai dalam basa-basi murni seperti: selamat siang, selamat datang, terima kasih, pamit, dan sebagainya. Dari teori tersebut, tampak bahwa ucapan salam termasuk dalam basa-basi, khususnya berjenis basa-basi murni. Tuturan A10 termasuk dalam subkategori menerima, karena dosen menerima ucapan salam dari mahasiswa saat konsultasi skripsi akan dimulai. Hal itu tampak dalam pendanda fatis yang terdapat pada tuturan A10, yaitu ya. Penanda tersebut adalah hasil temuan Kridalaksana (1986) yang berfungsi mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara. 4.2.1.2 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Menolak Tuturan fatis menolak berfungsi untuk menolak atau melanggar basa-basi dari mitra tutur. Seseorang dapat menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu untuk menyatakan ketidaksetujuan dengan tetap mengutamakan nilai-nilai kesopanan. Tuturan B1 D : Hmm, bagaimana kok dapat diulang-ulang terus itu. Haduh...dapetdapet...pripun ta Mas Yudi? M
: Harus sesingkat mungkin ya Romo?
D
: Satu kalimat kok dapetnya dua kali?
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen tidak setuju dengan kalimat yang ditulis oleh mahasiswa dalam skripsinya karena menemukan kesalahan dan seharusnya kalimat ditulis secara efektif. Mahasiswa berasumsi bahwa kalimat harus dibuat sesingkat mungkin.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 84
Tuturan B1 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan “Hmm, bagaimana kok dapat diulang-ulang terus itu. Haduh...dapet-dapet...pripun ta Mas Yudi?” dan “Harus sesingkat mungkin ya Romo?”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan B1 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, dan A8, tuturan B1 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan B1 merupakan tuturan fatis murni. Penjelasan tentang permasalahan ini dapat dirunut kembali pada pembahasan tuturan A1. Tuturan B1 termasuk dalam subkategori menolak karena dosen menolak hasil
pekerjaan
mahasiswa
yang
dikonsultasikan
dengan
menyatakan
ketidaksetujuan. Tuturan tersebut memiliki penanda hmm. Penanda tersebut merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata hmm dapat disejajarkan dengan kata ah temuan Kridalaksana (1986) yang berfungsi untuk menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh. Kata hmm pada tuturan B1 lebih tepatnya berfungsi untuk mengekspresikan ketidaksetujuan atau penolakan terhadap sesuatu. Seperti pengalaman peneliti, kata hmm biasanya digunakan untuk menunjukkan bahwa orang tidak setuju. Orang menemukan sesuatu yang kurang berkenan bagi dirinya. Kata hmm dengan kata ah dikatakan sejajar karena dua kata tersebut samasama merupakan kata yang mengekspresikan suatu bentuk penolakan atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 85
ketidaksetujuan. Selain itu, kata ah sebagai temuan ahli yaitu Kridalaksana sudah terbukti kebenarannya sebagai penanda fatis. Temuan itu dapat memperkuat temuan peneliti yaitu kata hmm sebagai penanda fatis sebagai wujud ekspresi penolakan atau ketidaksetujuan. Selain itu, berdasarkan pengalaman peneliti, kata hmm sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menunjukkan penolakan. Kata tersebut dapat berfungsi untuk menyetujui, membenarkan, mengundang, memuji, menunjukkan apresiasi, dan lain-lain. Fungsi kata tersebut tergantung pada tuturan dan konteks yang menyertainya. Tuturan B2 D
: Dapat dua kali...dapat dua kali pripun?
M
: Hehe.
D : Ha? ...Ini kalimat apa ini? Menemukan permasalahan yang lainnya yang diangkat menjadi sebuah...Ini kalimat apa ini? Ne kene kene kene kene...! Pripun? Disambung-sambung ki piye? Piye? Sintaksisnya gimana? Subjeke endi? Subjeke endi? Subjeke endi? Nah...iki subjeke endi? Nek kalimat tuh yang jelas, ada titiknya. SPO...pripun ta Mas Yudi? ... (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen merasa kecewa dan kesal melihat tulisan mahasiswa yang kacau dan memiliki banyak kesalahan. Mahasiswa merasa malu melihat kesalahannya sendiri dan kekesalan yang diekspresikan oleh dosen.) Tuturan B2 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh seorang dosen dengan bentuk tuturan “Disambung-sambung ki piye? Piye? Sintaksisnya gimana?”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 86
fatis. Tuturan B2 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, dan B1, tuturan B2 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan B2 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan B2 termasuk dalam subkategori menolak karena dosen menolak hasil hasil tulisan mahasiswa pada bagian kalimat-kalimat tertentu dengan menunjukkan ekspresi kekecewaan menggunakan bahasa Jawa. Tuturan tersebut memiliki penanda ki piye. Penanda tersebut merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Penanda tersebut berasal dari bahasa Jawa. Sekali lagi, tuturan fatis memunculkan unsur kedaerahan, seperti halnya tuturan A8. Hal itu selaras dengan pendapat Kridalaksana (1986: 111) yang mengatakan bahwa sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Penanda ki piye terdiri dari dua kata, yaitu ki dan piye. Kata ki berasal dari kata iki yang berarti ini, dan kata piye berasal dari kata bagaimana. Jadi, kata iki piye dalam bahasa Indonesia berarti ini bagaimana. Kata ki piye juga dapat disejajarkan dengan kata ah temuan Kridalaksana (1986) yang berfungsi untuk menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh. Kata ki piye pada tuturan B2 lebih tepatnya berfungsi untuk menunjukkan protes, atau dengan kata lain menunjukkan ketidaksetujuan dengan lebih keras. Berdasarkan pengalaman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 87
peneliti, kata ki piye biasanya digunakan saat seseorang merasa kecewa dengan hal yang tidak sesuai dengan keinginan, pendapat, atau kebenaran. Tuturan B3 D : Subjeknya mana kalau kayaknya ada? Ha? Tidak ta? Novel karya Basuki...yang mempunyai apa...siapa yang mempunyai? M
: Mempunyai...tokoh.
D
: Bentar... Ini gimana kamu? Maksudmu?
M
: Ini jadi di dalam novel ini tokoh utamanya itu...
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen tiba-tiba menemukan kesalahan lain yang lebih menarik perhatiannya sehingga sempat menunda perhatian pada hal yang berkaitan dengan pertanyaan sebelumnya, yang diberikan untuk mahasiswa.) Tuturan B3 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh mahasiswa dan dosen dengan bentuk tuturan “Mempunyai...tokoh.” dan “Bentar... Ini gimana kamu? Maksudmu?”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan B3 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, dan B2, tuturan B3 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan B3 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan B3 termasuk dalam subkategori menolak karena dosen menolak jawaban mahasiswa dengan mengalihkan pembicaraan pada masalah yang lain, karena dosen tiba-tiba menemukan ada kalimat lainnya yang juga salah. Tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 88
tersebut memiliki penanda bentar. Penanda tersebut merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata bentar dapat berfungsi untuk menunda topik pembicaraan dan beralih ke topik pembicaraan yang lain karena topik yang baru lebih menarik perhatian penutur. Fungsi menunda dapat disetarakan dengan fungsi menolak, karena menunda dapat juga berarti menolak pembicaraan yang ingin dituturkan untuk beralih ke topik lain. Kridalaksana (1986: 111) yang mengatakan bahwa sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Dalam kaitannya dengan teori tersebut, kata bentar dapat disebut sebagai penanda fatis karena kata tersebut merupakan kata nonbaku seperti yang disinggung dalam teori yang menyebutkan salah satu ciri kategori fatis di atas. Selain itu, kata tersebut juga sering digunakan sesuai dengan fungsinya yang telah dibahas di atas pada percakapan sehari-hari dalam komunikasi fatis. Tuturan B4 D
: Ini juga ini. Yang menggunakan psikologi sastra itu siapa?
M
: Maslow.
D
: Ha?
M
: Maslow.
D
: Maslow? Siapa bilang? Masa, Maslow menggunakan pendekatan itu.
M
: Oh...Nyoman Kutha.
D
: Siapa bilang? Ya kamu ta?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 89
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa salah memaparkan subjek pengguna teori psikologi sastra dalam kalimatnya. Dosen menentang kesalahan subjek yang dipaparkan dalam kalimat dan menegaskan bahwa pengguna teori itu adalah peneliti sendiri.) Tuturan B4 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh mahasiswa dan dosen dengan bentuk tuturan seperti yang bercetak tebal dengan pusat perhatian pada kata “siapa bilang?” sebagai penanda fatis dari tuturan tersebut. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan B4 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, dan B3, tuturan B4 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan B4 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan B4 termasuk dalam subkategori menolak karena dosen menolak jawaban mahasiswa dengan menunjukkan tanda ketidaksetujuan. Tuturan tersebut memiliki penanda siapa bilang. Dengan penanda tersebut, dosen tampak meragukan atau mempertanyakan kebenaran jawaban yang disampaikan oleh mahasiswa, karena dosen merasa tidak setuju atau tidak sependapat. Mahasiswa salah menyebutkan subjek pengguna pendekatan psikologi. Dosen sebenarnya sudah mengetahui bahwa mahasiswa salah, namun dosen sengaja kembali mempertanyakan supaya mahasiswa sadar akan kesalahannya. Penanda fatis tersebut sangat tampak bersifat tersirat karena tidak menggunakan diksi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 90
langsung menyampaikan tujuan. Hal itu selaras dengan teori Levinson melalui Nababan (1987: 28) yang melihat kegunaan konsep implikatur. Konsep implikatur memberikan suatu penjelasan yang tegas atau eksplisit tentang bagaimana kemungkinannya bahwa apa yang diucapkannya secara lahiriah berbeda dari apa yang dimaksud dan bahwa pemakai bahasa itu mengerti pesan yang dimaksud. Penolakan yang dilakukan oleh dosen tersebut juga berkaitan dengan perintah, yang dalam tuturan tersebut sebenarnya adalah suatu pancingan agar mahasiswa bersedia untuk terus menjawab pertanyaan sampai benar. Namun, akhirnya dosen sendirilah yang menjawab kebenarannya, yaitu mahasiswa sendiri yang menggunakan pendekatan psikologi dalam skripsinya. Hal itu berkaitan dengan tindak tutur dalam penggunaan bahasa. Searle (1983) membagi lima jenis tindak tutur ilokusi, dan jenis yang sesuai dengan unsur perintah tuturan B4 adalah direktif, yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan tertentu, misalnya saja memesan, memerintah, memohon, menasihati, dan merekomendasi. Tuturan B5 D
: Lha mestinya kamu tuh nggak cepet-cepet pulang ke sini.
M : Ini Mo, dikonsultasikan). D
kasihan...hehe
(sambil
menunjuk
skripsi
yang
: Halah...hanya selisih satu minggu aja ee...kamu juga...
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa merasa cemas jika terlalu lama tidak mengurusi skripsinya. Dosen menyayangkan keputusan mahasiswa yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 91
tanggung untuk terlalu cepat kembali ke Yogyakarta karena hanya selisih satu minggu.) Tuturan B5 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh mahasiswa dan dosen dengan bentuk tuturan “Ini Mo, kasihan...hehe (sambil menunjuk skripsi yang dikonsultasikan).” dan “Halah...hanya selisih satu minggu aja ee...kamu juga...”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan B5 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Teori Malinowski (1923: 315) dalam
tesis
Waridin
(2008:
13)
memperkuat
alasan
tersebut
dengan
mendefinisikan basa-basi sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word”. Basa-basi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan oleh peserta komunikasi dengan saling bertukar kata-kata dalam pembicaraan ringan dan perasaan gembira untuk membentuk hidup yang menyenangkan. Tuturan tersebut juga menunjukkan bahwa dosen ingin menciptakan suasana gembira dan terbuka kepada mahasiswa yang datang kepadanya untuk berkonsultasi skripsi, seperti yang tampak pada tuturan A3, A4, dan A6. Tuturan B5 termasuk dalam subkategori menolak karena dosen menolak alasan mahasiswa yang membuat mahasiswa itu terlalu cepat kembali ke Yogyakarta. Hal itu ditunjukkan melalui konteksnya bahwa dosen menyayangkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 92
keputusan mahasiswa yang tanggung untuk terlalu cepat kembali ke Yogyakarta karena hanya selisih satu minggu. Orang tua mahasiswa tersebut mengalami gagal panen akibat kepulangan mahasiswa tersebut yang terlalu cepat ke Yogyakarta. Tuturan B5 memiliki penanda fatis halah. Penanda fatis tersebut sama dengan temuan Kunjana, Yuli, dan Rishe (2014). Penanda fatis halah bermakna menyepelekan atau dapat juga digunakan untuk menyampaikan maksud kesembronoan. Menyepelekan dapat juga diartikan sebagai wujud penolakan, jika kita melihat tuturan B5 beserta konteksnya. Dosen terkesan menyepelekan alasan mahasiswa yang terlalu cepat pulang ke Yogyakarta bahwa mahasiswa tersebut kembali ke Yogyakarta untuk segera mengurus kembali skripsinya. Padahal, kenyataannya, cepat pulang atau tidak cepat pulang, upaya mahasiswa untuk mengurus skripsinya tidak membawa pengaruh yang besar, karena mahasiswa tersebut tetap menunda-nunda urusan skripsinya. Tuturan B5 merupakan basa-basi polar, karena tuturan bersifat berlawanan dengan realitasnya, di mana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan, sebagaimana selaras teori yang dikemukakan oleh Arimi (1998: 171). Dalam tuturan B5, lebih tepatnya basa-basi untuk menunjukkan kedekatan relasi antara dosen dan mahasiswa yang bersangkutan. Tuturan B6 D
: Di Cirebon tidak diterima?
M
: Mungkin masih masa percobaan.
D
: O...Cirebon di mana? Sekolah apa?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 93
M
: Duh...lupa e namanya.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen ingin mendapat informasi tentang rekan dari mahasiswa yang berkonsultasi. Mahasiswa tidak dapat memberikan informasi tersebut karena lupa.) Tuturan B6 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan “O...Cirebon di mana? Sekolah apa?” dan “Duh...lupa e namanya.”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan B6 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Teori Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13) memperkuat alasan tersebut dengan mendefinisikan basa-basi sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word”. Basa-basi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan oleh peserta komunikasi dengan saling bertukar kata-kata dalam pembicaraan ringan dan perasaan gembira untuk membentuk hidup yang menyenangkan. Tuturan tersebut juga menunjukkan bahwa dosen ingin menciptakan suasana gembira dan terbuka kepada mahasiswa yang datang kepadanya untuk berkonsultasi skripsi, seperti yang tampak pada tuturan A3, A4, A6 dan B5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 94
Tuturan B6 termasuk dalam subkategori menolak karena mahasiswa menolak untuk menjawab pertanyaan dosen karena lupa terhadap informasi yang akan diberikan. Hal itu ditunjukkan melalui kata duh sebagai penanda fatisnya. Kata duh merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata duh berasal dari kata aduh yang biasanya berfungsi untuk mengekspresikan keluhan. Dalam tuturan B6, keluhan tampak pada mahasiswa bahwa dia lupa tempat temannya melamar kerja sehingga dia tidak bisa memberikan informasi yang ditanyakan oleh dosen. Keluhan dalam tuturan B6 dapat diartikan sebagai penolakan bahwa mahasiswa tidak dapat memberikan informasi yang diminta karena lupa. Tuturan B6 merupakan basa-basi polar, karena tuturan bersifat berlawanan dengan realitasnya, di mana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan, sebagaimana selaras teori yang dikemukakan oleh Arimi (1998: 171). Dalam tuturan B6, lebih tepatnya basa-basi untuk menunjukkan kedekatan relasi antara dosen dan mahasiswa yang bersangkutan. Tuturan B7 D
: Kamu jangan berpegang ini! Maksudmu apa? Maksudmu dulu!
M : Jadi, aku pinginnya, dengan menemukan masalah ini, dapat menjadi sebuah penelitian. D
: Yang terakhir ini! Katakan lagi!
M
: Hah...
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 95
ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen terus menuntut mahasiswa untuk menyampaikan maksud yang lebih konkrit. Mahasiswa sudah berusaha menyampaikan maksud dan lambat laun mulai malas karena sudah jenuh dengan permintaan dosen atas kesalahan yang banyak terdapat dalam skripsinya.) Tuturan B7 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan “Yang terakhir ini! Katakan lagi!” dan “Hah...”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan B7 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, dan B4, tuturan B7 juga bukan tuturan basabasi. Tuturan B7 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan B7 termasuk dalam subkategori menolak karena mahasiswa menolak untuk tidak mau mengatakan maksud yang akan disampaikan, secara berulang-ulang, karena sudah jenuh dengan kebingungannya. Tuturan tersebut memiliki penanda hah. Penanda tersebut merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata hah dapat berfungsi untuk mengekspresikan rasa jenuh atau bosan terhadap sesuatu atau terhadap perintah/permintaan seseorang, berdasarkan tuturan di atas beserta konteksnya. Penanda fatis tersebut dapat disetarakan dengan penanda fatis ah temuan Kridalaksana (1986) yang berfungsi untuk menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh. Kata hah memang memiliki kemiripan bentuk dan fungsi dengan kata ah. Kata hah dipasangkan dengan huruf h, dan kata itu lebih tepatnya berfungsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 96
untuk mengekspresikan rasa jenuh atau bosan. Ekspresi jenuh atau bosan dapat diartikan juga dengan penolakan, karena dengan perasaan tersebut, seseorang sudah tidak bersedia melakukan atau menuturkan sesuatu. Tuturan B8 D : Dan selanjutnya ini saya belum anu lho...belum anu kalimat yang lainnya lagi lho. M
: Ya. Yang itu udah masuk lampiran.
D
: Lha ini masuk lampiran kalimatnya pating plethot.
M
: Sudah, gitu aja Romo.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen masih mengejar mahasiswa untuk terus memperbaiki kalimat dalam skripsinya. Mahasiswa sudah bosan dan merasa cukup dengan hasil pekerjaannya.) Tuturan B8 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan “Lha ini masuk lampiran kalimatnya pating plethot.” dan “Sudah, gitu aja Romo.”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan B8 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, dan B7, tuturan B8 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan B8 merupakan tuturan fatis murni.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 97
Tuturan B8 termasuk dalam subkategori menolak karena mahasiswa menolak komentar dosen yang kemungkinan akan menjadi perintah bagi mahasiswa tersebut untuk memperbaiki bagian yang lain lagi. Tuturan tersebut memiliki penanda gitu aja. Penanda tersebut merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata begitu dan saja, atau jika digabungkan menjadi kata begitu saja, lalu kata tersebut berubah menjadi bentuk nonbaku sebagai salah satu ciri kategori/penanda fatis. Hal itu sesuai dengan teori Kridalaksana (1986: 111) yang mengatakan bahwa sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Kata gitu aja dapat berfungsi untuk menahan permintaan seseorang. Fungsi “menahan permintaan seseorang” dapat juga diartikan sebagai bentuk penolakan, karena penutur menolak perintah yang diberikan seseorang, baik halus maupun kasar. Dalam tuturan B8, mahasiswa merasa sudah cukup dengan hasil pekerjaannya, walaupun dosen sebenarnya masih memintanya untuk memperbaiki kalimat yang berantakan. Tuturan B9 D : Tidak, ini dulu kamu garap! Buatlah kalimat yang pendek-pendek yang terdiri atas S! P!... S! P! O! Ini S-nya mana? Subjeknya mana? Predikatnya? Harus selalu kamu perhatikan, ya! Seperti itu. M
: Dah, gini aja Romo.
D
: Ha?
M
: Gini aja...hehe.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 98
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen masih mengejar mahasiswa untuk terus memperbaiki kalimat dalam skripsinya. Mahasiswa sudah bosan dan merasa cukup dengan hasil pekerjaannya.) Tuturan B9 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan “Tidak, ini dulu kamu garap! Buatlah kalimat yang pendek-pendek yang terdiri atas S! P!... S! P! O! Ini Snya mana? Subjeknya mana? Predikatnya? Harus selalu kamu perhatikan, ya! Seperti itu.” dan “Dah, gini aja Romo.”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan B9 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, dan B8, tuturan B9 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan B9 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan B9 termasuk dalam subkategori menolak karena mahasiswa menolak saran dosen untuk memperbaiki kalimat dengan memperhatikan fungsifungsinya (SPOK) karena sudah jenuh dan merasa kesulitan. Tuturan tersebut memiliki penanda dah. Penanda tersebut merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata sudah, lalu kata tersebut berubah menjadi bentuk nonbaku, seperti dah atau udah, sebagai salah satu ciri kategori/penanda fatis. Hal itu sesuai dengan teori Kridalaksana (1986: 111) yang mengatakan bahwa sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 99
lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Kata dah dapat berfungsi untuk menahan permintaan seseorang, sama seperti kata gitu aja pada pembahasan sebelumnya. Fungsi “menahan permintaan seseorang” dapat juga diartikan sebagai bentuk penolakan, karena penutur menolak perintah yang diberikan seseorang, baik halus maupun kasar. Dalam tuturan B9, mahasiswa merasa sudah jenuh atau bosan dengan permintaan dosen. Dia ingin bahwa dosen bersedia menerima pekerjaannya apa adanya, karena ingin pekerjaanya segera disetujui. Tuturan B10 D : Tidak, ini dulu kamu garap! Buatlah kalimat yang pendek-pendek yang terdiri atas S! P!... S! P! O! Ini S-nya mana? Subjeknya mana? Predikatnya? Harus selalu kamu perhatikan, ya! Seperti itu. M
: Dah, gini aja Romo.
D
: Ha?
M
: Gini aja...hehe.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen masih mengejar mahasiswa untuk terus memperbaiki kalimat dalam skripsinya. Mahasiswa sudah bosan dan merasa cukup dengan hasil pekerjaannya.) Tuturan B10 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan seperti yang bercetak tebal dengan pusat perhatian pada kata “gini aja” sebagai penanda fatis dari tuturan tersebut. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 100
seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan B10 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, dan B9, tuturan B10 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan B10 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan B10 termasuk dalam subkategori menolak karena mahasiswa menolak saran dosen untuk memperbaiki kalimat dengan memperhatikan fungsifungsinya (SPOK) karena sudah jenuh dan merasa kesulitan. Tuturan tersebut memiliki penanda gini aja. Penanda tersebut merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata begini dan saja, atau jika digabungkan menjadi kata begini saja, lalu kata tersebut berubah menjadi bentuk nonbaku sebagai salah satu ciri kategori/penanda fatis. Hal itu sesuai dengan teori Kridalaksana (1986: 111) yang mengatakan bahwa sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Kata gini aja dapat berfungsi untuk menahan permintaan seseorang, sama seperti kata gitu aja dan dah pada pembahasan sebelumnya. Namun, kata gitu aja lebih mirip dengan kata gini aja. Perbedaan yang paling mendasar adalah pada kata petunjuk gini dan gitu. Perbedaan kata gini dan gitu mengingatkan kita pada deiksis wacana. Menurut Nababan (1987: 41), deiksis wacana adalah rujukan bagian-bagian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 101
tertentu dalam wacana yang telah diberikan dan/atau yang sedang dikembangkan. Dalam tata bahasa, gejala ini disebut anafora atau merujuk kepada sesuatu yang sudah disebut (misal: itu, tersebut) dan katafora atau merujuk kepada sesuatu yang akan disebut (misal: ini, yang berikut). Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana adalah kata atau frase ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, tersebut, dan sebagainya. Kata gitu dan gini merupakan kata yang dapat menunjukkan suatu hal seperti yang diacu oleh penutur, baik anafora maupun katafora. Tuturan B11 D
: Ini skripsi ya? Bukan proposal ya?
M
: Ini sebenarnya masih proposal, Pak.
D
: Lha proposal kok setebal ini?
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen berasumsi bahwa mahasiswa membawa skripsi. Mahasiswa ternyata baru membawa proposal dan dosen terkejut karena proposal yang dibawa cukup tebal seperti skripsi.) Tuturan B11 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh mahasiswa dan dosen dengan bentuk tuturan “Ini sebenarnya masih proposal, Pak.” dan “Lha proposal kok setebal ini?”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan B11 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 102
B10, tuturan B11 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan B11 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan B11 termasuk dalam subkategori menolak karena dosen menolak hasil
pekerjaan
mahasiswa
yang
dikonsultasikan
dengan
menunjukkan
ketidaksetujuan karena terlalu tebal. Tuturan tersebut memiliki penanda lha. Kata tersebut adalah penanda fatis temuan Kunjana, Yuli, dan Rishe (2014) yang dimaknai sebagai pengungkapan untuk menunjukkan kekesalan atau kekecewaan. Dalam tuturan B11, kenyataannya dosen tampak merasa kecewa karena proposal mahasiswa yang dikonsultasikan terlalu tebal. Proposal seharusnya tidak setebal skripsi. Kekesalan atau kekecewaan dalam tuturan B11 dapat diartikan sebagai wujud penolakan atau lebih tepatnya rasa ketidaksetujuan. Walaupun dosen sebenarnya menolak atau tidak setuju, namun bagaimanapun proses konsultasi harus tetap berjalan. Jika dikaji lebih lanjut, kata lha itu sendiri sebenarnya berasal dari dialek atau unsur kedaerahan. Unsur kedaerahan sangat sering terlibat dalam tuturan fatis, seperti yang telah disinggung dalam teori Kridalaksana (1986: 111), yang mengatakan bahwa sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Kata tidak baku dan kata berunsur kedaerahan sangat jelas dinyatakan dalam teori tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 103
Tuturan B12 M
: Kalok Bapak besok masih di kampus, saya bawa yang bab...
D
: Masih, kalau masih hidup.
M
: Nggak, maksudnya Jumatnya kan...
D
: Lha iya...ya terserah...itu kan janji kamu sendiri.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen ingin memberikan candaan ringan untuk mencairkan suasana, namun mahasiswa ingin tetap fokus pada perjanjian yang dibuatnya.) Tuturan B12 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan seperti yang bercetak tebal dengan pusat perhatian pada kata “nggak” sebagai penanda fatis dari tuturan tersebut. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan B12 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Teori Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13) memperkuat alasan tersebut dengan mendefinisikan basa-basi sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word”. Basa-basi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan oleh peserta komunikasi dengan saling bertukar kata-kata dalam pembicaraan ringan dan perasaan gembira untuk membentuk hidup yang menyenangkan. Tuturan tersebut juga menunjukkan bahwa dosen ingin memecah suasana saat proses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 104
konsultasi skripsi berlangsung. Tuturan B12 mirip seperti tuturan A3, A4, A6, B5, dan B6. Tuturan B12 termasuk dalam subkategori menolak karena mahasiswa menolak candaan ringan dari dosen dan tetap ingin fokus pada perjanjian yang akan dibuatnya untuk konsultasi berikutnya. Hal itu ditunjukkan melalui kata nggak sebagai penanda fatisnya. Kata nggak merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata nggak, enggak, atau gak berasal dari kata tidak yang berfungsi untuk menolak atau melawan. Sebagaimana dalam teori Kridalaksana (1986: 111), yang mana kata tidak baku sangat jelas dinyatakan dalam teorinya, terutama pada bagian “... sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar ...”. Berulang kali kita menemukan kasus tersebut sebagai ciri tuturan fatis. Bentuk penolakan dalam tuturan B12 sangat jelas terlihat. Ibrahim (1993: 16) mengatakan bahwa subkategori reject (menolak) yaitu fungsi tuturan untuk menolak atau melanggar basa-basi dari mitra tutur. Dalam kaitan dengan teori tersebut, mahasiswa dalam tuturan B12 menolak basa-basi dari dosen karena mahasiswa sedang merasa ingin serius pada saat itu. Tuturan B12 merupakan basa-basi polar, karena tuturan bersifat berlawanan dengan realitasnya, di mana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan, sebagaimana selaras teori yang dikemukakan oleh Arimi (1998: 171). Dalam tuturan B12, lebih tepatnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 105
basa-basi untuk sekadar memecah suasana tanpa keluar dari topik atau tujuan utama. Tuturan B13 M
: Ya pengertian dari kualitatif itu sendiri.
D
: Pengertian...terus? Terus mau apa?
M
: Ya untuk mengantar bahwa jenis penelitian itu sendiri...
D : Ya tapi kamu mengumpulkan pengertian. Tidak mengambil kesimpulan untuk apa. Apa lagi ada dua pendapat...itu kan seharusnya disimpulkan. ... (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen memperingatkan mahasiswa untuk jangan hanya mengutip teori dari para ahli, namun mahasiswa disarankan untuk membuat kesimpulan.) Tuturan B13 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh mahasiswa dan dosen dengan bentuk tuturan “Ya untuk mengantar bahwa jenis penelitian itu sendiri...” dan “Ya tapi kamu mengumpulkan pengertian. Tidak mengambil kesimpulan untuk apa. Apa lagi ada dua pendapat...itu kan seharusnya disimpulkan. ...”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan B13 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, dan B11, tuturan B13 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan B13 merupakan tuturan fatis murni.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 106
Tuturan B13 termasuk dalam subkategori menolak karena dosen menolak tulisan mahasiswa yang masih kurang tepat, karena seharusnya berisi kesimpulan, bukan sekadar mengumpulkan kutipan pengertian dari para ahli. Hal itu ditunjukkan melalui kata ya tapi sebagai penanda fatisnya yang diikuti dengan tuturan yang mengikutinya dan konteks yang mendukungnya. Kata ya tapi merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata ya dan tetapi, lalu kata tersebut berubah menjadi bentuk nonbaku sebagai salah satu ciri kategori/penanda fatis. Sebagaimana dalam teori Kridalaksana (1986: 111), yang mana kata tidak baku sangat jelas dinyatakan dalam teorinya, terutama pada bagian “... sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar ...”. Kata ya tapi dapat berfungsi untuk menunjukkan suatu pertentangan. Pertentangan juga dapat diartikan sebagai wujud penolakan, karena dengan pertentangan, hal itu menandakan bahwa seseorang merasa tidak berkenan dengan sesuatu yang dihadapinya. Penanda fatis tersebut terbukti banyak digunakan dalam percakapan sehari-hari yang dapat menyatakan suatu bentuk penolakan. Misalnya, “ya tapi soalnya jangan sulit-sulit lho!”, “ya tapi nanti dulu ya, tunggu sampai uangnya cair.”, “ya tapi kalau ngasih kabar yang jelas dong.”, dan lainlain. Beberapa contoh penggunaan penanda tersebut diperoleh berdasarkan pengalaman peneliti ketika mendengarkan percakapan orang lain sebagai bukti bahwa penanda tersebut memang menjadi kata yang biasa digunakan oleh masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 107
Tuturan B14 M
: Kalok pengkodean tuh bisa...
D : Kalau kode tuh tidak usah disebutkan. Katakan saja memberikan kode. Nanti pada daftar, lalu kodenya diterangkan...gitu lho. Lha ini untuk apa kamu tuliskan? Hayo? M
: Ya untuk menerangkan itu Pak.
D
: Menerangkan mana?
M
: Contoh Pak.
D : O contoh. Tapi kamu ganti alinea. Ha ini kan ganti alinea. Masa menerangkan ini kok dicampur. Dituntut adanya itu apa kok ada bahasa tulis dituntut adanya? M
: Ya harus apa namanya...
D : Bukan, kalimatmu itu lho...dituntut kok dituntut adanya. Dituntut yang dituntut oleh. ... (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Mahasiswa berusaha menyampaikan alasan atas pekerjaannya. Dosen menentang kesalahan-kesalahan yang ditemukan dalam skripsi mahasiswa itu.) Tuturan B14 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan seperti yang bercetak tebal dengan pusat perhatian pada kata “kok” sebagai penanda fatis dari tuturan tersebut. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan B14 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 108
A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, dan B13, tuturan B14 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan B14 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan B14 termasuk dalam subkategori menolak karena dosen menolak penulisan kalimat yang ditulis oleh mahasiswa karena masih terdapat tata bahasa yang salah. Tuturan tersebut memiliki penanda kok. Kata tersebut adalah penanda fatis temuan Kridalaksana (1986) dan Kunjana, Yuli, dan Rishe (2014). Kridalaksana berpendapat bahwa kata itu digunakan untuk menekankan alasan dan pengingkaran, sedangkan Kunjana, Yuli, dan Rishe berpendapat bahwa kata itu bertugas sebagai pengganti kata tanya “mengapa” atau “kenapa” bila diletakkan di awal kalimat. Kata kok dalam tuturan B14 lebih sesuai dengan pendapat Kunjana, Yuli, dan Rishe, sebagai pengganti kata tanya “mengapa” atau “kenapa”. Dosen mempertanyakan kesalahan yang diperbuat oleh mahasiswa. Pertanyaan seperti itu menunjukkan bahwa dosen tidak setuju dengan tulisan mahasiswa. Jadi, secara otomatis dosen juga menolak hasil tulisan mahasiswa pada bagian tertentu yang terdapat kesalahan. Kata kok juga dapat dimaknai sebagai bentuk protes, yang dalam tuturan itu adalah ungkapan protes dosen atas kesalahan yang terdapat dalam tulisan mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Ungkapan protes sangat dekat dengan kata tanya “mengapa” atau “kenapa”. Ketidaksetujuan, protes, atau kata tanya “mengapa”/”kenapa” menandakan bahwa seseorang menolak sesuatu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 109
Tuturan B15 D : ... Terus nanti minta softcopy dari bab 1 sampai bab 5. (Dosen meminta softcopy skripsi.) M
: O ya...kalok gitu mungkin masih agak lama ya Pak ya.
D
: Bab 4 kemarin sudah kamu serahkan kepada saya atau belum?
M
: Belum Pak, karena saya belum selesai analisisnya.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen menginginkan softcopy skripsi dari mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Mahasiswa belum dapat menuruti keinginan dosen dan merasa membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mewujudkannya.) Tuturan B15 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan “... Terus nanti minta softcopy dari bab 1 sampai bab 5. (Dosen meminta softcopy skripsi.)” dan “O ya...kalok gitu mungkin masih agak lama ya Pak ya.”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan B15 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, B13, dan B14, tuturan B15 juga bukan tuturan basabasi. Tuturan B15 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan B15 termasuk dalam subkategori menolak karena mahasiswa menolak permintaan dosen yang ingin mendapatkan softcopy skripsinya karena belum
selesai
dan
m a si h
membutuhkan
waktu
yang
lama
untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 110
menyelesaikannnya. Hal itu ditunjukkan melalui kata kalok gitu sebagai penanda fatisnya yang diikuti dengan tuturan yang mengikutinya dan konteks yang mendukungnya. Kata kalok gitu merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata kalau dan begitu, lalu kata tersebut berubah menjadi bentuk nonbaku sebagai salah satu ciri kategori/penanda fatis. Sebagaimana dalam teori Kridalaksana (1986: 111), yang mana kata tidak baku sangat jelas dinyatakan dalam teorinya, terutama pada bagian “... sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar ...”. Kata gitu mengingatkan kita pada deiksis wacana. Menurut Nababan (1987: 41), deiksis wacana adalah rujukan bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan dan/atau yang sedang dikembangkan. Dalam tata bahasa, gejala ini disebut anafora atau merujuk kepada sesuatu yang sudah disebut (misal: itu, tersebut) dan katafora atau merujuk kepada sesuatu yang akan disebut (misal: ini, yang berikut). Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana adalah kata atau frase ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, tersebut, dan sebagainya. Kata gitu merupakan kata yang dapat menunjukkan suatu hal seperti yang diacu oleh penutur, khususnya secara anafora. Kata kalok gitu dapat berfungsi untuk menahan permintaan seseorang karena alasan tertentu. Dalam hal ini, mahasiswa tidak dapat menuruti permintaan dosen karena mahasiswa belum menyelesaikan skripsinya, bahkan terbilang masih lama. Artinya, mahasiswa menolak permintaan dosen tersebut secara halus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 111
4.2.1.3 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Mengundang Tuturan fatis mengundang berfungsi untuk mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seseorang akan terjadi. Seseorang dapat menggunakan ungkapan-ungkapan untuk menawarkan sesuatu, memberikan harapan baik kepada orang lain, atau mengajak mitra tutur untuk memberikan perhatian pada suatu hal. Tuturan C1 M : Apakah memang di dalam bahasa pengumuman itu ee...terdapat ee...makna pragmatiknya? D : Nah, sekarang spesifik. Makna pragmatik itu apa saja? Makna tindak tutur itu apa saja? (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Mahasiswa memiliki keraguan terhadap kehadiran makna pragmatik dalam bahasa pengumuman. Dosen ingin mengingatkan mahasiswa terlebih dahulu pada jenis makna pragmatik.) Tuturan C1 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh seorang dosen dengan bentuk tuturan “Nah, sekarang spesifik. Makna pragmatik itu apa saja? Makna tindak tutur itu apa saja?”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang pastor yang berusia sekitar 30 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan C1 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, B13, B14, dan B15, tuturan C1 juga bukan tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 112
basa-basi. Tuturan C1 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan fatis murni tidak mengenal perbedaan jenis murni dan polar seperti halnya basa-basi. Perbedaan jenis tersebut hanya terdapat pada tuturan basa-basi, seperti yang telah dikemukakan oleh Arimi (1998: 171). Sejauh peneliti mengamati, tuturan fatis murni tidak memiliki jenis murni atau polar, karena tuturan fatis murni pada dasarnya memang murni, yang artinya tuturan tersebut selalu selaras dengan kenyataan. Tuturan C1 termasuk dalam subkategori mengundang karena dosen mengundang mahasiswa untuk memfokuskan pembicaraan pada jenis makna terlebih dahulu sebelum membicarakan hal yang secara langsung diinginkan mahasiswa. Tuturan C1 memiliki penanda fatis nah, seperti pada tuturan A5. Penanda tersebut terdapat dalam temuan Kridalaksana (1986) yang mengatakan bahwa penanda nah bertugas untuk meminta supaya kawan bicara mengalihkan pembicaraan ke hal lain, atau lebih tepatnya berdasarkan tuturan tersebut adalah untuk meminta perhatian mahasiswa pada pembicaraan yang diinginkan dosen terlebih dahulu, karena dosen ingin mengingatkan mahasiswa pada jenis makna pragmatik sebelum memberikan jawaban yang diinginkan mahasiswa. Dalam hal ini, meminta perhatian sama artinya dengan mengundang, karena mahasiswa terpengaruh untuk mengikuti arahan dosen. Menurut Ibrahim (1993), bid (mengundang) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seseorang akan terjadi. Hal itu juga sesuai dengan tuturan C1 yang mana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 113
dosen mengundang mahasiswa untuk terlebih dahulu mengingat jenis makna pragmatik agar mahasiswa dapat lebih memahami penjelasan yang akan diberikan oleh dosen. Dosen mengarahkan mahasiswa pada alur berpikir yang lebih baik dengan membangun konteks berpikir yang lebih sesuai sebelum membicarakan hal inti. Tuturan C2 M : ... Maka, ada ee...tersirat beberapa makna pragmatik. Misalnya, ada permohonan, ada juga ajakan, ada juga laporan. D : Oke, nah, sekarang gini, anggap saja itu sebagai data awal. Jadi, sampel dari beberapa pengumuman yang ada, itu dianalisis saja. (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Mahasiswa menjelaskan temuan di dalam penelitiannya. Dosen memiliki saran untuk mahasiswa dalam menangani penelitian yang sedang dijalaninya.) Tuturan C2 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh seorang dosen dengan bentuk tuturan “Oke, nah, sekarang gini, anggap saja itu sebagai data awal. Jadi, sampel dari beberapa pengumuman yang ada, itu dianalisis saja.”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang pastor yang berusia sekitar 30 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan C2 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, B13, B14, B15, dan C1, tuturan C2 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan C2 merupakan tuturan fatis murni.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 114
Tuturan C2 termasuk dalam subkategori mengundang karena dosen mengundang mahasiswa untuk mengikuti sarannya. Penanda gini adalah kata yang menjadi penanda bahwa tuturan itu termasuk dalam subkategori mengundang. Penanda tersebut merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata begini, mirip dengan tuturan B10 dengan penanda gini aja. Kata-kata semacam itu kemudian menjadi bentuk nonbaku yang digunakan dalam komunikasi, yang dapat menjadi salah satu ciri kategori/penanda fatis. Hal itu sesuai dengan teori Kridalaksana (1986: 111) yang mengatakan bahwa sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Dalam tuturan C2, kata gini dapat berfungsi untuk meminta seseorang untuk mengikuti saran penutur. Kata gini juga mengingatkan kita pada deiksis wacana. Menurut Nababan (1987: 41), deiksis wacana adalah rujukan bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan dan/atau yang sedang dikembangkan. Dalam tata bahasa, gejala ini disebut anafora atau merujuk kepada sesuatu yang sudah disebut (misal: itu, tersebut) dan katafora atau merujuk kepada sesuatu yang akan disebut (misal: ini, yang berikut). Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana adalah kata atau frase ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, tersebut, dan sebagainya. Kata gini merupakan kata yang dapat menunjukkan suatu hal seperti yang diacu oleh penutur yang mana dalam hal ini adalah saran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 115
Tuturan C3 D
: Dapat dua kali...dapat dua kali pripun?
M
: Hehe.
D : Ha? ...Ini kalimat apa ini? Menemukan permasalahan yang lainnya yang diangkat menjadi sebuah...Ini kalimat apa ini? Kene kene kene kene kene...! (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Dosen ingin menyadarkan mahasiswa pada kesalahan kalimatnya.) Tuturan C3 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh seorang dosen dengan bentuk tuturan “Ha? ...Ini kalimat apa ini? Menemukan permasalahan yang lainnya yang diangkat menjadi sebuah...Ini kalimat apa ini? Kene kene kene kene kene...!”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan C3 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, B13, B14, B15, C1, dan C2, tuturan C3 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan C3 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan C3 termasuk dalam subkategori mengundang karena dosen mengundang mahasiswa untuk memperhatikan kesalahan kalimat yang ditulis dan memberikan alasan atas kesalahannya. Penanda ha adalah kata yang menjadi penanda bahwa tuturan itu termasuk dalam subkategori mengundang. Penanda
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 116
tersebut merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata tersebut sebenarnya bukan berasal dari kata leksikal seperti yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata itu terbentuk dari suatu ekspersi yang mewujud dalam suara dan menjadi kata yang dimengerti dan digunakan secara universal. Berdasarkan asal dan pembentukannya, kata ha memiliki karakter yang mirip dengan kata hmm, ah, iih, huu, woo, dan lain-lain. Kata-kata semacam itu juga kemudian menjadi bentuk nonbaku yang digunakan dalam komunikasi, yang dapat menjadi salah satu ciri kategori/penanda fatis. Hal itu sesuai dengan teori Kridalaksana (1986: 111) yang mengatakan bahwa sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Dalam tuturan C3, kata ha dapat berfungsi untuk meminta seseorang untuk memberikan jawaban atas pertanyaan penutur atau dapat juga meminta seseorang untuk menuturkan ulang tuturannya jika dirasa belum dimengerti. Maka dari itu, penutur dapat dikatakan mengundang mitra tutur untuk menuturkan sesuatu. Tuturan C4 D
: Dapat dua kali...dapat dua kali pripun?
M
: Hehe.
D : Ha? ...Ini kalimat apa ini? Menemukan permasalahan yang lainnya yang diangkat menjadi sebuah...Ini kalimat apa ini? Kene kene kene kene kene...! (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 117
di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Dosen ingin mengajak mahasiswa untuk benar-benar mengamati kalimatnya.) Tuturan C4 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh seorang dosen dengan bentuk tuturan “Ha? ...Ini kalimat apa ini? Menemukan permasalahan yang lainnya yang diangkat menjadi sebuah...Ini kalimat apa ini? Kene kene kene kene kene...!”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan C4 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, B13, B14, B15, C1, C2, dan C3, tuturan C4 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan C4 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan C4 termasuk dalam subkategori mengundang karena dosen mengundang mahasiswa untuk memperhatikan kembali dengan lebih cermat kesalahan kalimat yang ditulis. Tuturan tersebut memiliki penanda fatis yang mengangkat unsur kedaerahan. Hal itu selaras dengan teori Kridalaksana (1986: 111) yang mengemukakan bahwa sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Penanda fatis pada tuturan C4 adalah kene, seperti halnya tuturan A8 yang berunsur kedaerahan. Kata kene itu sendiri merupakan kata yang berasal dari bahasa Jawa. Kata kene dalam bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 118
Indonesia adalah sini yang berarti mengajak seseorang datang atau mendekati penutur. Fungsi tersebut mirip dengan penanda fatis ayo temuan Kridalaksana (1986) yang bertugas untuk menekankan ajakan. Selain itu, eksistensi kata kene yang ditemukan peneliti sebagai penanda fatis diperkuat oleh teori Nababan (1987: 41) yang berbicara tentang deiksis, yang dalam hal ini adalah deiksis sosial, yaitu deiksis yang menunjukkan atau mengungkapkan perbedaanperbedaan kemasyarakatan, terutama aspek peran sosial antara pembicara dan pendengar dan antara pembicara dengan rujukan atau topik yang lain. Dalam beberapa bahasa, ada perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata atau sistem morfologi kata-kata tertentu. Nababan (1987) memberi contoh, misalnya, dalam bahasa Jawa, penutur memakai kata nedha dan kata dhahar (keduanya berarti makan), menunjukkan perbedaan sikap atau kedudukan sosial antara pembicara, pendengar, dan/atau orang yang dibicarakan/bersangkutan. Secara tradisional, perbedaan bahasa (variasi bahasa) seperti itu disebut “tingkat bahasa”, dalam bahasa Jawa, ngoko dan krama (krama andhap, krama madya, dan krama inggil). Teori tersebut menunjukkan bahwa tuturan fatis selalu memiliki kemungkinan untuk mengangkat unsur kedaerahan, karena tuturan fatis tidak akan lepas dari masyarakat plural sebagai pengguna bentuk bahasa fatis. Penjelasan tersebut semakin memberikan titik terang bahwa kata kene dapat dijadikan sebagai salah satu penanda fatis yang berunsur khas kedaerahan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 119
Tuturan C5 D : ... Kalimat yang pendek-pendek aja! Nggak usah kalimat yang bersambung-sambung. Hayo...coba kamu baca dulu! Biar tahu kesalahanmu. Coba...nanti kalau anu...tanya saja...tahu kesalahannya. M
: Yang subjek ini...
D
: Hmm?
M
: Yang subjek ini maksudnya apa?
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Dosen ingin mengajak mahasiswa untuk membaca kembali kalimatnya.) Tuturan C5 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh seorang dosen dengan bentuk tuturan “Hayo...coba kamu baca dulu! Biar tahu kesalahanmu.”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan C5 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, B13, B14, B15, C1, C2, C3, dan C4, tuturan C5 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan C5 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan C5 termasuk dalam subkategori mengundang karena dosen mengundang mahasiswa untuk membaca kalimat yang ditulis dalam skripsi agar mahasiswa mengetahui kesalahannya. Tuturan C5 memiliki penanda fatis hayo. Penanda fatis tersebut sama dengan temuan Kunjana, Yuli, dan Rishe (2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 120
Penanda fatis hayo pada umumnya bertugas untuk menakut-nakuti atau mengancam sang mitra tutur atas tindakan yang telah, sedang, atau bahkan akan dilakukannya. Pada umumnya, tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur itu bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki oleh penutur. Oleh karena itu, penutur menggunakan “hayo” sebagai semacam peringatan atau ancaman untuk tidak melakukan tindakan tersebut. Tuturan C5 berisi percakapan antara dosen dan mahasiswa saat proses konsultasi skripsi berlangsung, yang mana mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya dan dosen ingin mengajak mahasiswa untuk membaca kembali kalimatnya. Hal itu sesuai dengan penjelasan tentang fungsi kata hayo di atas, yang mana menyebutkan fungsi mengancam karena tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur itu bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki oleh penutur. Dalam tuturan C5, mahasiswa juga melakukan tindakan yang bertentangan dengan arahan dosen, yaitu salah menyusun kalimat dan tidak mengetahui kesalahannya. Fungsi ancaman dalam kata hayo pada tuturan C5, dapat diartikan sebagai ajakan atau undangan yang seakan menantang mahasiswa untuk mencari kesalahan yang terdapat dalam kalimatnya. Jadi, kata hayo dapat digunakan untuk mengajak atau mendorong secara tegas. Tuturan C6 D : ... Kalimat yang pendek-pendek aja! Nggak usah kalimat yang bersambung-sambung. Hayo...coba kamu baca dulu! Biar tahu kesalahanmu. Coba...nanti kalau anu...tanya saja...tahu kesalahannya. M
: Yang subjek ini...
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 121
D
: Hmm?
M
: Yang subjek ini maksudnya apa?
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Dosen meminta penjelasan yang lebih lengkap.) Tuturan C6 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan seperti yang bercetak tebal dengan pusat perhatian pada kata “hmm?” sebagai penanda fatis dari tuturan tersebut. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan C6 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, B13, B14, B15, C1, C2, C3, C4, dan C5, tuturan C6 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan C6 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan C6 termasuk dalam subkategori mengundang karena dosen mengundang mahasiswa untuk memperjelas jawabannya. Tuturan tersebut memiliki penanda hmm, seperti penanda yang terdapat dalam tuturan B1. Seperti hal yang dibahas dalam tuturan B1, berdasarkan pengalaman peneliti, kata hmm sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menunjukkan penolakan. Kata tersebut dapat berfungsi untuk menyetujui, membenarkan, mengundang, memuji, menunjukkan apresiasi, dan lain-lain. Fungsi kata tersebut tergantung pada tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 122
dan konteks yang menyertainya. Kata hmm pada tuturan B1 disejajarkan dengan kata ah temuan Kridalaksana (1986) yang berfungsi untuk menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh. Kata hmm pada tuturan B1 lebih tepatnya berfungsi untuk mengekspresikan ketidaksetujuan atau penolakan terhadap sesuatu. Pemaparan singkat mengenai tuturan B1 tersebut hanya sebagai pembanding tuturan C6. Kata hmm pada tuturan C6 memiliki fungsi yang sama dengan kata ha pada tuturan C3 yang berfungsi untuk meminta seseorang untuk menuturkan ulang tuturannya jika dirasa belum dimengerti oleh penutur. Meminta juga dapat berarti mengundang, seperti hal yang telah dibahas pada tuturan-tuturan sebelumnya. Tuturan C7 M
: Nggak teliti dalam tanda bacanya, Romo.
D
: Demikian juga ini...dalam cerita...ini dalam cerita apa dalam cerita itu?
M
: Dalam cerita, koma...hehe.
D
: Yang jelas! Di dalam...ini juga...nih ini juga. Gimana? Ha?
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa kurang memperhatikan ejaan dalam kalimatnya. Dosen mengajak mahasiswa untuk mengamati bagian kalimat yang ditunjuk.) Tuturan C7 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh mahasiswa dan dosen dengan bentuk tuturan “Dalam cerita, koma...hehe.” dan “Yang jelas! Di dalam...ini juga...nih ini juga. Gimana? Ha?”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 123
laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan C7 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, B13, B14, B15, C1, C2, C3, C4, C5, dan C6, tuturan C7 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan C7 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan C7 termasuk dalam subkategori mengundang karena dosen mengundang mahasiswa untuk memperhatikan bagian yang ditunjuk oleh dosen. Penanda nih adalah kata yang menjadi penanda bahwa tuturan itu termasuk dalam subkategori mengundang. Penanda tersebut merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata ini, yang digunakan untuk menunjuk, lebih tepatnya seperti pendapat Nababan (1987: 41), yaitu katafora atau merujuk kepada sesuatu yang akan disebut (misal: ini, yang berikut). Kata ini kemudian menjadi nih sebagai bentuk nonbaku yang digunakan dalam komunikasi, yang dapat menjadi salah satu ciri kategori/penanda fatis. Hal itu sesuai dengan teori Kridalaksana (1986: 111) yang mengatakan bahwa sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Dalam tuturan C7, kata nih dapat berfungsi untuk meminta seseorang untuk memperhatikan hal yang ditunjukkan oleh penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 124
Tuturan C8 M
: Tanda bacanya ternyata belum begitu tepat.
D
: Ini gimana ini...coba?
M
: (Mahasiswa membuat perbaikan tulisannya.)
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa kurang memperhatikan ejaan dalam kalimatnya. Dosen meminta mahasiswa untuk membuat perbaikan kalimatnya.) Tuturan C8 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh seorang dosen dengan bentuk tuturan “Ini gimana ini...coba?”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan C8 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, B13, B14, B15, C1, C2, C3, C4, C5, C6, dan C7, tuturan C8 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan C8 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan C8 termasuk dalam subkategori mengundang karena dosen mengundang mahasiswa untuk memperbaiki bagian yang salah. Tuturan tersebut memiliki penanda coba. Penanda fatis tersebut merupakan temuan baru dari peneliti. Kata coba dapat disejajarkan dengan kata hayo temuan Kunjana, Yuli, dan Rishe (2014) karena memiliki kemiripan fungsi. Penanda fatis hayo pada umumnya bertugas untuk menakut-nakuti atau mengancam sang mitra tutur atas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 125
tindakan yang telah, sedang, atau bahkan akan dilakukannya. Pada umumnya, tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur itu bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki oleh penutur. Kata coba dalam tuturan C8 lebih dekat fungsinya dengan kata hayo pada tuturan C5, yaitu sebagai ajakan atau undangan dengan sedikit menantang. Jadi, kata coba juga dapat digunakan untuk mengajak atau mendorong secara tegas. Seringkali, kita menemui satu kata yang sama dengan fungsi yang berbeda sesuai dengan tuturan dan konteks yang menyertainya. Tuturan C9 D
: Hmm? Dia sekarang di Cirebon?
M
: Tadinya tuh di Surabaya. Ee...nggak kena di tesnya.
D
: O...terus?
M : Terus yang di Semarang ini dia nggak cocok sama tempatnya karena di desa. (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen berbasa-basi dengan menanyakan rekan dari mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Mahasiswa dengan senang hati menjawab pertanyaan dosen dan dosen menginginkan informasi yang lebih lanjut tentang rekan dari mahasiswa itu.) Tuturan C9 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh mahasiswa dan dosen dengan bentuk tuturan “Tadinya tuh di Surabaya. Ee...nggak kena di tesnya.” dan “O...terus?”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 126
itu merupakan wujud fatis. Tuturan C9 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Teori Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13) memperkuat alasan tersebut dengan mendefinisikan basa-basi sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word”. Basa-basi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan oleh peserta komunikasi dengan saling bertukar kata-kata dalam pembicaraan ringan dan perasaan gembira untuk membentuk hidup yang menyenangkan. Tuturan tersebut juga menunjukkan bahwa dosen ingin memecah suasana saat proses konsultasi skripsi berlangsung. Tuturan C9 mirip seperti tuturan A3, A4, A6, B5, B6, dan B12. Tuturan C9 termasuk dalam subkategori mengundang karena dosen mengundang mahasiswa untuk meneruskan informasi yang ingin diketahui oleh dosen. Hal itu ditunjukkan melalui kata terus sebagai penanda fatisnya. Kata terus merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata terus berfungsi untuk meminta penjelasan lanjutan dari seseorang. Ibrahim (1993: 16) mengatakan bahwa subkategori bid (mengundang) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seseorang akan terjadi. Dosen mempengaruhi mahasiswa untuk melanjutkan cerita dalam basa-basi mereka. Tuturan C9 merupakan basa-basi polar, karena tuturan bersifat berlawanan dengan realitasnya, di mana orang harus memilih tuturan yang tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 127
sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan, sebagaimana selaras teori yang dikemukakan oleh Arimi (1998: 171). Dalam tuturan C9, lebih tepatnya basa-basi untuk menunjukkan kedekatan relasi antara dosen dan mahasiswa yang bersangkutan. Tuturan C10 D ya!
: Betulkan! Yang Betul! Sambil anu sintaksis! Baca pada buku sintaksis,
M
: Hehe...ya Romo. ...
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa kurang menguasai tata bahasa. Dosen menyarankan mahasiswa untuk membaca buku sintaksis.) Tuturan C10 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh seorang dosen dengan bentuk tuturan “Baca pada buku sintaksis, ya!”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan C10 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Teori Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13) memperkuat alasan tersebut dengan berpendapat bahwa basa-basi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan oleh peserta komunikasi dengan saling bertukar kata-kata dalam pembicaraan ringan dan perasaan gembira untuk membentuk hidup yang menyenangkan. Tuturan tersebut juga menunjukkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 128
bahwa dosen ingin memecah suasana saat proses konsultasi skripsi berlangsung. Tuturan C10 mirip seperti tuturan A3, A4, A6, B5, B6, B12, dan C9. Tuturan C10 termasuk dalam subkategori mengundang karena dosen mengundang mahasiswa untuk membaca buku sintaksis agar dapat lebih mengerti tentang tata bahasa dan fungsi-fungsi kalimat. Hal itu ditunjukkan melalui kata ya sebagai penanda fatisnya. Kata ya merupakan penanda fatis temuan Kridalaksana (1986) yang digunakan untuk minta persetujuan atau pendapat kawan bicara bila dipakai pada akhir ujaran. Ibrahim (1993: 16) mengatakan bahwa subkategori bid (mengundang) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seseorang akan terjadi. Dosen meminta kesediaan dari mahasiswa untuk membaca buku sintaksis agar lebih mengerti tentang tata bahasa. Permintaan tersebut adalah suatu bentuk rekomendasi dan rekomendasi juga dapat berarti mengundang, karena berusaha mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan ajakan penutur. Tuturan C10 merupakan basa-basi polar, karena tuturan bersifat berlawanan dengan realitasnya, di mana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan, sebagaimana selaras teori yang dikemukakan oleh Arimi (1998: 171). Dalam tuturan C10, lebih tepatnya basa-basi untuk menunjukkan kedekatan relasi antara dosen dan mahasiswa yang bersangkutan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 129
Tuturan C11 D : ...atau yang lazim disebut konjungtor, atau dalam literatur lain disebut sebagai kata penghubung, sesungguhnya...nah maka bagian dari kata tugas dalam...enak saja termasuk kata tugas dalam bahasa Indonesia. Ini sering berpanjang-panjang lho...atau begini...begini...begini. Jangan dikutip seluruhnya. Intinya saja. Kalau bukan kutipan langsung, jangan berpanjang-panjang. Kamu mengutip intinya gitu lho! M
: Ya Pak.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen berasumsi bahwa kalimat yang disusun mahasiswa tidak efektif dan menyarankan untuk membuat pokok informasinya.) Tuturan C11 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh seorang dosen dengan bentuk tuturan “Kamu mengutip intinya gitu lho!”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan C11 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, B13, B14, B15, C1, C2, C3, C4, C5, C6, C7, dan C8, tuturan C11 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan C11 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan C11 termasuk dalam subkategori mengundang karena dosen mengundang mahasiswa untuk mengikuti sarannya. Tuturan tersebut memiliki penanda gitu lho. Penanda tersebut merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata gitu lho juga dapat ditulis gitu loh, seperti yang biasa kita lihat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 130
dalam bahasa “gaul” anak muda. Kata itu merupakan bentuk nonbaku yang digunakan dalam komunikasi, yang dapat menjadi salah satu ciri kategori/penanda fatis. Hal itu sesuai dengan teori Kridalaksana (1986: 111), yang mana kata tidak baku sangat jelas dinyatakan dalam teorinya, terutama pada bagian “... sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar ...”. Dalam tuturan C11, kata gitu lho dapat berfungsi untuk meminta seseorang untuk mengikuti saran penutur. Kata gitu juga mengingatkan kita pada deiksis wacana. Menurut Nababan (1987: 41), deiksis wacana adalah rujukan bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan dan/atau yang sedang dikembangkan. Dalam tata bahasa, gejala ini disebut anafora atau merujuk kepada sesuatu yang sudah disebut (misal: itu, tersebut) dan katafora atau merujuk kepada sesuatu yang akan disebut (misal: ini, yang berikut). Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana adalah kata atau frase ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, tersebut, dan sebagainya. Kata gitu merupakan kata yang dapat menunjukkan suatu hal seperti yang diacu oleh penutur yang mana dalam hal ini adalah saran. Tuturan C12 D : Terus di sini juga ada yang kurang. Kata penghubung atau juga disebut konjungsi sering sulit dibedakan dengan preposisi atau kata depan. Jika dilihat secara sekilas, konjungsi dan preposisi menjadi rancu...tuh koma. M
: O...ya.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 131
sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Mahasiswa kurang memperhatikan ejaan dalam kalimatnya. Dosen mengajak mahasiswa untuk mengamati bagian kalimat yang ditunjuk.) Tuturan C12 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh seorang dosen dengan bentuk tuturan “Jika dilihat secara sekilas, konjungsi dan preposisi menjadi rancu...tuh koma.”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan C12 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, B13, B14, B15, C1, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8, dan C11, tuturan C12 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan C12 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan C12 termasuk dalam subkategori mengundang karena dosen mengundang mahasiswa untuk memperhatikan bagian yang ditunjuk oleh dosen. Penanda tuh adalah kata yang menjadi penanda bahwa tuturan itu termasuk dalam subkategori mengundang. Penanda tersebut merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata itu, yang digunakan untuk menunjuk, lebih tepatnya seperti pendapat Nababan (1987: 41), yaitu anafora atau merujuk kepada sesuatu yang sudah disebut (misal: itu, tersebut). Kata itu kemudian menjadi tuh sebagai bentuk nonbaku yang digunakan dalam komunikasi, yang dapat menjadi salah satu ciri kategori/penanda fatis. Hal itu sesuai dengan teori Kridalaksana (1986: 111) yang mengatakan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 132
sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Dalam tuturan C12, kata tuh dapat berfungsi untuk meminta seseorang untuk memperhatikan hal yang ditunjukkan oleh penutur. Tuturan C13 D : Terus, ini sebaiknya di sini. Ini sama dengan ini, panjangnya sama dengan ini...kan tidak baik. Ha...ini tahunnya tuh di bawah sini kan lebih baik. M
: O ya Pak.
D
: Gitu.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Mahasiswa kurang memperhatikan format skripsi. Dosen meminta mahasiswa untuk mengerti letak tahun yang lebih baik.) Tuturan C13 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh seorang dosen dengan bentuk tuturan “Ha...ini tahunnya tuh di bawah sini kan lebih baik.”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan C13 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, B13, B14, B15, C1, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8, C11, dan C12, tuturan C13 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan C13 merupakan tuturan fatis murni.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 133
Tuturan C13 termasuk dalam subkategori mengundang karena dosen mengundang mahasiswa untuk memperhatikan bukti yang ditunjuk oleh dosen. Tuturan tersebut memiliki penanda kan. Kata tersebut adalah penanda fatis temuan Kridalaksana (1986) yang mana merupakan kependekan dari kata bukan atau bukankah, dan tugasnya ialah menekankan pembuktian. Dengan menekankan pembuktian, maka dosen secara ototmatis juga meminta mahasiswa untuk memperhatikan bukti yang ditunjuk oleh dosen. Makna “meminta” hadir dalam kata kan pada tuturan C13 didukung kuat oleh tuturan dan konteks yang menyertainya. Ibrahim (1993: 16) mengatakan bahwa subkategori bid (mengundang) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seseorang akan terjadi. Tuturan “Ha...ini tahunnya tuh di bawah sini kan lebih baik.” menunjukkan bahwa dosen mengundang mahasiswa untuk memahami format yang benar sehingga skripsinya menjadi lebih baik. Tuturan C14 D
: Lha iya...ya terserah...itu kan janji kamu sendiri.
M
: O...ya.
D
: Pokoknya kapan kamu datang itu kan setiap saat saya layani, gitu.
M
: O...ya.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 134
antara mereka. Mahasiswa dan dosen membuat janji pertemuan untuk konsultasi skripsi yang akan datang.) Tuturan C14 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan “Pokoknya kapan kamu datang itu kan setiap saat saya layani, gitu.” dan “O...ya.”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan C14 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, B13, B14, B15, C1, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8, C11, C12, dan C13, tuturan C14 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan C14 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan C14 termasuk dalam subkategori mengundang karena dosen mengundang mahasiswa untuk mengerti pesan yang diberikan. Penanda gitu adalah kata yang menjadi penanda bahwa tuturan itu termasuk dalam subkategori mengundang. Penanda tersebut merupakan temuan baru dari peneliti sebagai penanda fatis. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata begitu, mirip dengan tuturan B8 dengan penanda gitu aja. Kata-kata semacam itu kemudian menjadi bentuk nonbaku yang digunakan dalam komunikasi, yang dapat menjadi salah satu ciri kategori/penanda fatis. Hal itu sesuai dengan teori Kridalaksana (1986: 111) yang mengatakan bahwa sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 135
mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Dalam tuturan C14, kata gitu dapat berfungsi untuk meminta seseorang untuk mengerti pesan yang diberikan. Kata gitu juga mengingatkan kita pada deiksis wacana. Menurut Nababan (1987: 41), deiksis wacana adalah rujukan bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan dan/atau yang sedang dikembangkan. Dalam tata bahasa, gejala ini disebut anafora atau merujuk kepada sesuatu yang sudah disebut (misal: itu, tersebut) dan katafora atau merujuk kepada sesuatu yang akan disebut (misal: ini, yang berikut). Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana adalah kata atau frase ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, tersebut, dan sebagainya. Kata gitu merupakan kata yang dapat menunjukkan suatu hal seperti yang diacu oleh penutur yang mana dalam hal ini adalah pesan. Tuturan C15 D : ... Kenapa harus diulang-ulang lagi? Ini juga penelitian ini...iya ta? Sebenarnya ini kamu mau mengatakan apa? Jenis penelitian ta? M
: Ya pengertian dari kualitatif itu sendiri.
D
: Pengertian...terus? Terus mau apa?
M
: Ya untuk mengantar bahwa jenis penelitian itu sendiri...
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen berasumsi bahwa mahasiswa hanya ingin memaparkan jenis penelitiannya pada bagian yang sedang dibicarakan dan dosen menanyakannya hal itu kepada mahasiswa karena susunannya kurang benar.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 136
Tuturan C15 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh seorang dosen dengan bentuk tuturan “... Kenapa harus diulang-ulang lagi? Ini juga penelitian ini...iya ta? Sebenarnya ini kamu mau mengatakan apa? Jenis penelitian ta?”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan C15 merupakan tuturan fatis karena memiliki persamaan karakteristik dengan tuturan basa-basi. Hal itu dikatakan demikian karena seperti halnya tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, B13, B14, B15, C1, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8, C11, C12, C13, dan C14, tuturan C15 juga bukan tuturan basa-basi. Tuturan C15 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan C15 termasuk dalam subkategori mengundang karena dosen mengundang mahasiswa untuk memberikan konfirmasi positif dari asumsi dosen. Tuturan tersebut memiliki penanda fatis yang mengangkat unsur dialek. Hal itu selaras dengan teori Kridalaksana (1986: 111) yang mengemukakan bahwa sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Penanda fatis pada tuturan C15 adalah ta. Kata ta itu sendiri merupakan kata yang berasal dari bahasa Jawa. Kata ta dalam bahasa Indonesia adalah kan yang merupakan penanda fatis temuan penanda fatis temuan Kridalaksana (1986) yang mana merupakan kependekan dari kata bukan atau bukankah, dan tugasnya ialah menekankan pembuktian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 137
Dengan menekankan pembuktian, maka dosen secara ototmatis juga meminta konfirmasi positif dari mahasiswa. Makna “meminta” hadir dalam kata ta pada tuturan C15 didukung kuat oleh tuturan dan konteks yang menyertainya. Ibrahim (1993: 16) mengatakan bahwa subkategori bid (mengundang) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seseorang akan terjadi. Tuturan yang bercetak tebal juga mendorong mahasiswa agar yakin terhadap kesalahannya yang kurang tepat dalam memaparkan jenis penelitian. 4.2.1.4 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Salam Tuturan fatis salam berfungsi untuk menyatakan rasa senang karena bertemu seseorang. Seseorang dapat mengungkapkan rasa senangnya karena bertemu dengan orang lain atau sekadar menunjukkan kesopanannya untuk menjaga hubungan sosial. Tuturan D1 D
: Kamu gimana kabarnya, ha?
M
: Baik Romo, dah lama menghilang...hehe.
D
: Menghilang ke mana?
M
: Ee...kerja mbantu ibu bapak.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen menanyakan kabar mahasiswa yang berkonsultasi karena sudah lama tidak bertemu dan mahasiswa menjawabnya dengan senang hati.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 138
Tuturan D1 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh dosen dan mahasiswa dengan bentuk tuturan “Kamu gimana kabarnya, ha?” dan “Baik Romo, dah lama menghilang...hehe.”. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan D1 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Teori Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13) memperkuat alasan tersebut dengan berpendapat bahwa basa-basi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan oleh peserta komunikasi dengan saling bertukar kata-kata dalam pembicaraan ringan dan perasaan gembira untuk membentuk hidup yang menyenangkan. Tuturan tersebut juga menunjukkan bahwa dosen ingin memecah suasana saat proses konsultasi skripsi berlangsung. Tuturan D1 mirip seperti tuturan A2, A9, dan A10, karena merupakan basa-basi murni. Tuturan D1 termasuk dalam subkategori salam karena dosen memberi salam kepada mahasiswa yang datang untuk berkonsultasi dengan menanyakan kabar. Hal itu ditunjukkan melalui kata ha sebagai penanda fatisnya yang disertai dengan tuturan dan konteksnya. Subkategori salam dalam tuturan tersebut diperkuat oleh teori Ibrahim (1993) tentang salam atau greet (memberi salam) yaitu fungsi tuturan untuk menyatakan rasa senang karena bertemu seseorang. Dosen menunjukkan perasaan senang dan terbuka atas kehadiran mahasiswa yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 139
telah lama tidak muncul. Kata ha merupakan penanda fatis temuan baru dari peneliti yang sama dengan milik tuturan C3. Fungsi dari kata ha tuturan D1 dengan C3 juga sama, yaitu berfungsi untuk meminta seseorang untuk memberikan jawaban atas pertanyaan penutur atau dapat juga meminta seseorang untuk menuturkan ulang tuturannya jika dirasa belum dimengerti. Namun, kata ha dalam tuturan D1 digunakan untuk mengisi tuturan basa-basi salam. Jadi, kata ha juga dapat berfungsi dalam memberi salam. Kata ha juga merupakan penanda fatis sebagai bagian dalam tuturan basa-basi salam. Basa-basi pada tuturan D1 merupakan basa-basi murni. Menurut Arimi (1998: 171), basa-basi murni yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Dengan kata lain, apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang dipakai dalam basa-basi murni seperti: selamat siang, selamat datang, terima kasih, pamit, dan sebagainya. Dari teori tersebut, tampak bahwa ucapan salam termasuk dalam basa-basi, khususnya berjenis basa-basi murni. Tuturan D2 M
: Permisi Pak.
D
: Ya. Ini bab berapa?
M
: Itu bab 2, 3 Pak.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Mahasiswa datang dan memberi salam kepada dosen sebelum duduk di hadapan dosen.) Tuturan D2 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh mahasiswa dan dosen dengan bentuk tuturan “Permisi Pak.” dan “Ya. Ini bab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 140
berapa?”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan D2 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Teori Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13) memperkuat alasan tersebut dengan berpendapat bahwa basabasi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Tuturan tersebut juga menunjukkan bahwa mahasiswa ingin menunjukkan kesopanannya saat proses konsultasi skripsi akan dimulai. Tuturan D2 mirip seperti tuturan A2, A9, A10, dan D1, karena merupakan basa-basi murni. Tuturan D2 termasuk dalam subkategori salam karena mahasiswa memberi salam kepada dosen ketika memasuki ruangan dan akan mulai berkonsultasi skripsi. Hal itu ditunjukkan melalui kata permisi sebagai penanda fatisnya. Penanda fatis tersebut merupakan temuan baru dari peneliti. Subkategori salam dalam tuturan tersebut diperkuat oleh teori Sudaryanto (1991: 26), yang mana basa-basi bermakna tata krama pergaulan atau tindak tutur dengan tata krama yang disertai kesantunan dan tenggang rasa. Teori tersebut menyinggung tentang kesantunan yang mana dapat bermanifestasi dalam sikap sopan santun seperti yang ditunjukkan oleh mahasiswa. Dari penjelasan tersebut, tampak bahwa kata permisi dapat berfungsi untuk memberikan salam sebagai tanda kesopanan dan kehadiran penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 141
Basa-basi pada tuturan D2 merupakan basa-basi murni. Menurut Arimi (1998: 171), basa-basi murni yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Dengan kata lain, apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang dipakai dalam basa-basi murni seperti: selamat siang, selamat datang, terima kasih, pamit, dan sebagainya. Dari teori tersebut, tampak bahwa ucapan salam termasuk dalam basa-basi, khususnya berjenis basa-basi murni. 4.2.1.5 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Terima Kasih Tuturan fatis terima kasih berfungsi untuk menyatakan terima kasih karena mendapat bantuan. Seseorang dapat mengungkapkan penghargaannya maupun rasa senangnya atas bantuan orang lain. Tuturan E1 D : Nah, kadang ketika di...dibacakan karena keterbatasan waktu, maka yang membaca kadang-kadang langsung pada pokok. Jadi, tidak lagi baca kepala surat, terus identitas, nomer. M
: Begitu saja, terima kasih Pak Wid.
D
: Oke.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Mahasiswa mengakhiri konsultasi karena merasa sudah cukup untuk saat itu dan dosen menerima ucapan terima kasih dari mahasiswa.) Tuturan E1 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh mahasiswa dan dosen dengan bentuk tuturan “Begitu saja, terima kasih Pak Wid.” dan “Oke.”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 142
dan mahasiswa adalah seorang pastor yang berusia sekitar 30 tahun. Dua tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa dua tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan E1 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Teori Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13) memperkuat alasan tersebut dengan berpendapat bahwa basabasi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Tuturan tersebut juga menunjukkan bahwa mahasiswa ingin mengungkapkan rasa terima kasihnya saat proses konsultasi skripsi akan dimulai. Tuturan E1 mirip seperti tuturan A2, A9, A10, D1, dan D2, karena merupakan basa-basi murni. Tuturan E1 termasuk dalam subkategori terima kasih karena mahasiswa mengucapkan terima kasih kepada dosen setelah melakukan konsultasi skripsi. Hal itu ditunjukkan melalui kata terima kasih sebagai penanda fatisnya. Penanda fatis tersebut merupakan temuan dari Kridalaksana (1986) yang digunakan setelah penutur mendapatkan sesuatu dari mitra tutur. Dari tuturan E1, tampak bahwa mahasiswa telah mendapatkan bimbingan yang sangat dibutuhkannya dari dosen. Maka, mahasiswa mengucapkan terima kasih kepada dosen. Basa-basi pada tuturan E1 merupakan basa-basi murni. Menurut Arimi (1998: 171), basa-basi murni yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Dengan kata lain, apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang dipakai dalam basa-basi murni seperti: selamat siang, selamat datang, terima kasih, pamit, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 143
sebagainya. Dari teori tersebut, tampak bahwa ucapan terima kasih termasuk dalam basa-basi, khususnya berjenis basa-basi murni. Subkategori dengan karakteristik dan fungsi yang sama juga terdapat dalam tuturan E2 dan E3. Perbedaan antara ketiga tuturan itu terutama terletak pada bentuk penanda fatisnya sebagai variasi dari penanda fatis dari tuturan E1. Tuturan E2 memiliki penanda fatis makasih dan tuturan E3 memiliki penanda fatis nuwun. Kata makasih merupakan bentuk nonbaku dari kata terima kasih, sedangkan kata nuwun merupakan bentuk kedaerahan dari kata terima kasih maupun makasih. Kata nuwun berasal dari bahasa Jawa. Baik bentuk nonbaku maupun bentuk kedaerahan, hal itu sesuai dengan teori Kridalaksana (1986) “... maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsurunsur daerah atau dialek regional.”. Tuturan E2 dan E3 dapat dilihat pada bagian deskripsi data dan lampiran. 4.2.1.6 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Selamat Tuturan fatis selamat berfungsi untuk mengekspresikan kegembiraan karena adanya kabar baik tentang orang lain. Seseorang dapat menggunakan ungkapan-ungkapan untuk mengekspresikan kegembiraannya atas peristiwa baik yang dialami oleh orang lain atau menunjukkan kedekatan dan menjaga hubungan sosial antara mitra tutur. Tuturan F1 D
: Formatnya itu jangan begini!
M
: Ya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 144
D : Ini masuk lalu ini juga alinea baru. Itu masalah format. Kalau isinya sudah...hmm. Harusnya kamu datang sekarang itu membawa bab 2 lengkap! M
: O...iya Pak.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen memberikan apresiasi atas hasil kerja mahasiswa pada bagian tertentu dalam skripsinya.) Tuturan F1 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh seorang dosen dengan bentuk tuturan “Ini masuk lalu ini juga alinea baru. Itu masalah format. Kalau isinya sudah...hmm.”. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan F1 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Seperti teori Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13) yang berpendapat bahwa basa-basi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Tuturan tersebut juga menunjukkan bahwa dosen ingin menunjukkan ikatan personalnya dengan mahasiswa saat proses konsultasi skripsi berlangsung. Tuturan F1 mirip seperti tuturan A2, A9, A10, D1, D2, dan E1, karena merupakan basa-basi murni. Tuturan mengucapkan
F1
termasuk dalam
selamat
secara
tersirat
subkategori atas
selamat
kualitas
i si
karena
dosen
proposal
yang
dikonsultasikan. Hal itu ditunjukkan melalui kata hmm sebagai penanda fatisnya. Tuturan tersebut memiliki penanda hmm, seperti penanda yang terdapat dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 145
tuturan B1 dan C6. Seperti hal yang dibahas dalam tuturan B1 dan C6, berdasarkan pengalaman peneliti, kata hmm sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menunjukkan penolakan atau undangan. Kata tersebut dapat berfungsi untuk menyetujui, membenarkan, mengundang, memuji, menunjukkan apresiasi, dan lain-lain. Fungsi kata tersebut tergantung pada tuturan dan konteks yang menyertainya. Dalam tuturan F1, kata hmm berfungsi untuk memuji atau memberikan apresiasi. Fungsi tersebut dapat diartikan sebagai ucapan selamat karena dosen tampak senang dengan isi proposal mahasiswa, walaupun tidak diungkapan secara langsung. Hal itu sesuai dengan teori Ibrahim (1993) tentang subkategori selamat atau congratulate (mengucapkan selamat) yaitu fungsi tuturan mengekspresikan kegembiraan karena adanya kabar baik tentang orang lain. Basa-basi pada tuturan F1 merupakan basa-basi murni. Menurut Arimi (1998: 171), basa-basi murni yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Dengan kata lain, apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang dipakai dalam basa-basi murni seperti: selamat siang, selamat datang, terima kasih, pamit, dan sebagainya. Dari teori tersebut, tampak bahwa ucapan selamat termasuk dalam basa-basi, khususnya berjenis basa-basi murni. 4.2.1.7 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Berduka Cita Tuturan fatis berduka cita berfungsi untuk mengekspresikan penyesalan atas peristiwa yang terjadi pada orang lain. Seseorang dapat mengungkapkan rasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 146
simpati dan/atau empatinya atas peristiwa yang terjadi pada orang lain sehingga penutur dapat menunjukkan kepeduliannya kepada mitra tutur. Tuturan G1 D
: ...Kenapa? Ayamnya pada mati pa?
M
: Ee...panennya nggak tepat, Romo.
D
: Nggak tepat terus gimana?
M : Jadi kan sebenarnya...seharusnya tiga puluh hari, tapi karena ibu sama bapak ada acara nikahan di Jakarta dipanen cepet. D
: Woo...lha terus?
M
: Ya nggak dapet modal malah obatnya mungkin nambah...hehe.
D
: Woo...lha terus lakunya gimana? Sedikit, gitu?
M
: Ya, lakunya sedikit. Nggak dapet hasil. Biasanya kan hasilnya besar.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen berbasa-basi dengan menanyakan hasil panen ternak ayam milik orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi dan dosen mengungkapkan rasa penyesalannya kepada mahasiswa itu atas kegagalan panennya.) Tuturan G1 merupakan tuturan dengan wujud fatis yang diucapkan oleh seorang dosen dengan bentuk tuturan seperti yang bercetak tebal dengan pusat perhatian pada kata “woo” sebagai penanda fatis dari tuturan tersebut. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Tuturan yang bercetak tebal menunjukkan bahwa tuturan itu merupakan wujud fatis. Tuturan G1 pada bagian yang bercetak tebal merupakan tuturan fatis yang secara spesifik adalah tuturan basa-basi. Seperti teori Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 147
yang berpendapat bahwa basa-basi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Tuturan tersebut juga menunjukkan bahwa dosen ingin menunjukkan ikatan personalnya dengan mahasiswa saat proses konsultasi skripsi berlangsung. Tuturan G1 mirip seperti tuturan A3, A4, A6, B5, B6, B12, C9, dan C10, karena merupakan basabasi polar. Tuturan G1 termasuk dalam subkategori belasungkawa karena dosen menyampaikan rasa penyesalannya (berduka cita) kepada mahasiswa yang sedang berkonsultasi bahwa orang tua mahasiswa itu mengalami gagal panen dari usaha ternak ayam mereka. Hal itu selaras dengan teori Ibrahim (1993) tentang subkategori duka cita atau condole (belasungkawa) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan penyesalan atas peristiwa yang terjadi pada orang lain, yang juga ditunjukkan melalui kata woo sebagai penanda fatisnya. Kata woo merupakan penanda fatis temuan Kunjana, Yuli, dan Rishe (2014) yang dapat bermakna mengumpat. Namun, kata woo dalam tuturan G1 jelas memiliki makna yang berbeda, yaitu untuk menunjukkan perasaan “menyayangkan” atau menyesal terhadap hal yang dialami mahasiswa. Tuturan G1 merupakan basa-basi polar, karena tuturan bersifat berlawanan dengan realitasnya, di mana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan, sebagaimana selaras teori yang dikemukakan oleh Arimi (1998: 171). Dalam tuturan G1, lebih tepatnya untuk menunjukkan kedekatan relasi dosen dengan mahasiswa yang berbentuk empati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 148
4.2.2 Makna Pragmatik Tuturan Fatis Wujud tuturan fatis telah peneliti bahas dalam bagian yang sebelumnya. Sekarang, kita telah sampai pada bagian kedua dari pembahasan, yaitu mendeskripsikan makna pragmatik atau maksud tuturan fatis. Setiap peserta komunikasi selalu memiliki maksud yang ingin disampaikan yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai makna pragmatik, mengingat bahwa tuturan dalam penelitian ini dikaji secara pragmatik. Maksud dapat dipengaruhi oleh konteks, seperti teori milik Edward T. Hall (1974) dalam Kunjana (2014) yang menunjukkan bahwa dalam sebuah tuturan itu selalu terkandung tiga buah entitas yang harus ada secara bersama-sama, yaitu informasi, konteks, dan makna yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dengan demikian, konteks tidak pernah lepas dari tuturan yang selalu mengandung maksud tertentu sehingga maksud tuturan juga selalu ditentukan oleh konteks. Dalam kaitannya dengan konteks, suatu tuturan dapat mengandung bentuk tindak tutur. Menurut Kunjana (2014), adanya asumsi-asumsi tertentu yang hadir dalam entitas konteks menjadi pembangun interaksi. Jadi, syarat terjadinya interaksi adalah konteks yang mana di dalamnya terdapat substansi hakiki yang berupa seperangkat asumsi, baik asumsi-asumsi personal maupun komunal. Asumsi dan interaksi dapat mengindikasikan adanya bentuk tindak tutur di dalam suatu tuturan. Lalu, menurut Rahardi (2003), tindak tutur merupakan perwujudan konkret fungsi-fungsi bahasa yang merupakan pijakan analisis pragmatik. Artinya, ada hal yang harus dilakukan atau setidak-tidaknya ada efek tertentu yang dirasakan oleh peserta tutur sebagai akibat dari tuturan peserta tutur yang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 149
Pengaruh yang ingin diberikan penutur kepada mitra tutur dapat dibagi ke dalam lima jenis tindak tutur ilokusi, seperti pembagian menurut Searle (1983), yaitu Asertif, yakni bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya saja menyatakan, menyarankan, membual, mengeluh, dan mengklaim. Direktif, yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan tertentu, misalnya saja memesan, memerintah, memohon, menasihati, dan merekomendasi. Ekspresif, adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya saja berterima kasih, memberi selamat, meminta maaf, menyalahkan, memuji, dan berbelasungkawa. Komisif, yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya saya berjanji, bersumpah, dan menawarkan sesuatu. Deklarasi, yakni bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya berpasrah, memecat, membaptis, memberi nama, mengangkat, mengucilkan, dan menghukum. Konteks dan lima jenis tuturan basa-basi yang telah dipaparkan di atas akan digunakan untuk membahas maksud tuturan basa-basi antara dosen dan mahasiswa dalam proses konsultasi atau pembimbingan skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma semester genap tahun akademik 2015/2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 150
4.2.2.1 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Menerima Tuturan fatis menerima berfungsi untuk menerima, menyetujui, atau menghargai tuturan dari mitra tutur. Seseorang dapat menggunakan ungkapanungkapan tertentu untuk menunjukkan suatu penerimaan terhadap tuturan orang lain atau hal-hal yang berkaitan dengan orang yang menjadi lawan bicaranya. Tuturan A1 M: Menurut beberapa pengumuman yang saya baca, beberapa hal itu hanya menuliskan tentang makna pragmatik hanya sebagian kecil saja. D: Ya maka gini, maka saya sarankan nanti yang berikutnya teks pengumuman yang didapat dibawa hasil analisisnya seperti apa dibuat, kita diskusikan. Gitu. (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Mahasiswa merasa kurang menemukan fenomena yang dicari sehingga dia merasa bingung dan kurang yakin. Dosen menyarankan bahwa sebaiknya data diamati untuk didiskusikan bersama supaya menemukan titik terang.) Tuturan A1 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang pastor yang berusia sekitar 30 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiwa merasa kurang menemukan fenomena yang dicari, yaitu tindak tutur ilokusi asertif dalam bahasa pengumuman gereja sehingga dia merasa bingung dan kurang yakin terhadap penelitian yang dilakukannya. Lalu, dosen menyarankan bahwa sebaiknya data yang telah diperoleh mahasiswa dibawa saat konsultasi berikutnya dan diamati untuk didiskusikan bersama-sama supaya menemukan titik terang. Usia dan latar belakang merupakan bagian dari konteks, dan konteks sangat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 151
menentukan maksud tuturan. Hal itu selaras dengan teori milik Edward T. Hall (1974) dalam Kunjana (2014) yang menunjukkan bahwa dalam sebuah tuturan itu selalu terkandung tiga buah entitas yang harus ada secara bersama-sama, yaitu informasi, konteks, dan makna yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dengan demikian, konteks tidak pernah lepas dari tuturan yang selalu mengandung maksud tertentu sehingga maksud tuturan juga selalu ditentukan oleh konteks. Maksud tuturan tersebut adalah dosen menerima jawaban mahasiswa yang kemudian menanggapinya dengan memberikan saran. Hal itu ditandai dengan kata fatis ya seperti yang telah dibahas dalam wujud tuturan A1 yang menurut Kridalaksana (1986) berfungsi sebagai mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara, bila dipakai pada awal ujaran. Tuturan tersebut juga mengandung tindak tutur. Searle (1983) membagi tindak tutur ilokusi menjadi lima jenis seperti yang telah dipaparkan pada bagian pengantar pembahasan maksud di atas. Tuturan A1 mengandung tindak tutur ilokusi asertif, yaitu bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya saja menyatakan, menyarankan, membual, mengeluh, dan mengklaim. Dosen menyatakan bahwa dia menerima pernyataan mahasiswa tentang kesulitannya. Dosen paham atau mengerti bahwa mahasiswa sedikit mengalami kesulitan dalam penelitiannya. Lalu, dengan penerimaan tersebut, dosen memberikan saran kepada mahasiswa, seperti hal yang disinggung dalam teori tentang tindak tutur ilokusi di atas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 152
Tuturan A2 D : Nah, kadang ketika di...dibacakan karena keterbatasan waktu, maka yang membaca kadang-kadang langsung pada pokok. Jadi, tidak lagi baca kepala surat, terus identitas, nomer. M
: Begitu saja, terima kasih Pak Wid.
D
: Oke.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Dosen memberikan pendapat terakhir tentang cara pembaca membacakan pengumuman. Mahasiswa mengakhiri konsultasi karena merasa sudah cukup untuk saat itu dan dosen menerima ucapan terima kasih dari mahasiswa.) Tuturan A2 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang pastor yang berusia sekitar 30 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen memberikan pendapat terakhir tentang cara pembaca membacakan pengumuman, setelah membicarakan banyak hal tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman. Kemudian, mahasiswa mengakhiri konsultasi karena merasa sudah cukup dengan konsultasinya saat itu, dan dosen menerima ucapan terima kasih dari mahasiswa. Maksud tuturan A2 adalah dosen menerima ucapan terima kasih dari mahasiswa saat konsultasi berakhir. Hal itu ditandai dengan kata oke sebagai penanda fatisnya. Penanda tersebut dalam hal ini dapat dikatakan setara dengan fungsi penanda ya temuan Kridalaksana (1986). Penanda oke dapat berarti menerima, mengonfirmasi, menyetujui, mengukuhkan, atau membenarkan tuturan dari lawan bicara seperti halnya penanda ya. Jenis tindak tutur ilokusi dalam tuturan A2 adalah asertif (Searle, 1983), karena dosen menyatakan secara tersirat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 153
bahwa dia menerima ucapan terima kasih mahasiswa dan senang atas kunjungan mahasiswa dalam dengan yang baik. Tuturan A3 D
: Membesarkan pitik?
M
: Iya...hahaha.
D
: Sudah berhasil menjual ayam berapa?
M
: Untuk yang tahun ini...eeh apa yang panenan yang terakhir ini rugi kok.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen berbasa-basi menanyakan usaha ternak ayam milik orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Mahasiswa dengan senang hati menjawab pertanyaan dosen.) Tuturan A3 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen berbasa-basi menanyakan usaha ternak milik orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Lalu, mahasiswa dengan senang hati menjawab pertanyaan dosen. Dosen kenal betul dengan latar belakang mahasiswa dan memiliki relasi yang sangat dekat seperti ayah dengan anak sehingga dosen sering menciptakan basa-basi dengan mahasiswa. Maksud tuturan A3 adalah mahasiswa menerima pertanyaan dosen dengan tanggapan konfirmasi positif. Pertanyaan dosen tentu saja berupa basa-basi polar (Arimi, 1998: 171) yang sekadar berfungsi untuk menunjukkan keramahtamahan dan kedekatan relasi antara dosen dengan mahasiswa. Hal itu ditandai dengan kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 154
iya yang disertai dengan tawa riang dari mahasiswa. Penanda iya jelas setara dengan penanda ya temuan Kridalaksana (1986) yang berfungsi mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara. Penanda iya merupakan variasi dari bentuk fatis konfimasi positif, seperti ya, oke, dan sebagainya. Jenis tindak tutur ilokusi dalam tuturan A3 adalah asertif (Searle, 1983), karena mahasiswa secara tersirat menyatakan bahwa dia dengan senang hati menerima dan menanggapi basa-basi dari dosen. Tuturan A4 D
: Sudah berhasil menjual ayam berapa?
M kok.
: Untuk yang tahun ini...eeh apa yang panenan yang terakhir ini rugi
D
: O...rugi. Ambil hikmah dari pengalaman hidup itu. Kenapa rugi?
M
: Harganya turun, jadi ya dipermainkan gitu lah Mo.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen berbasa-basi menanyakan usaha ternak ayam milik orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Mahasiswa menjawab pertanyaan dosen dan dosen mendapat informasi bahwa usaha mereka sedang gagal panen.) Tuturan A4 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen berbasa-basi menanyakan usaha ternak milik orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Kemudian, mahasiswa menjawab pertanyaan dosen dan dosen mendapat informasi bahwa usaha mereka sedang gagal panen.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 155
Maksud tuturan A4 adalah dosen menerima informasi bahwa ternyata orang tua dari mahasiswa yang berkonsultasi mengalami kerugian dalam bisnis mereka. Pertanyaan dosen juga tentu saja berupa basa-basi polar (Arimi, 1998: 171) yang sekadar berfungsi untuk menunjukkan keramahtamahan dan kedekatan relasi antara dosen dengan mahasiswa, seperti pada tuturan A3. Hal itu ditandai dengan kata o. Seperti hal yang telah dibahas dalam wujud tuturan A4, kata o dapat bertugas untuk menunjukkan bahwa mitra tutur memahami pesan yang disampaikan oleh penutur. Pemahaman dapat diartikan sebagai bentuk penerimaan mitra tutur terhadap sesuatu yang disampaikan oleh penutur. Jenis tindak tutur ilokusi dalam tuturan A4 adalah asertif, karena dosen sebenarnya menyatakan bahwa dia menerima sekaligus menunjukkan bahwa dia paham atas informasi yang diperoleh. Tuturan A5 D
: Ini pada zaman apa kejadiannya? jangan hanya waktu siang malam!
M
: Sepuluh tahun yang lalu.
D : Nah... Sepuluh tahun yang lalu dikatakan itu tata waktunya. Itu keterangan...penting. ... (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen menanyakan latar waktu yang lebih lengkap dari deskripsi yang ditulis oleh mahasiswa. Mahasiswa menjawab pertanyaan dosen dengan benar dan dosen menyetujui keterangan yang diberikan.) Tuturan A5 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 156
laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen sedang memeriksa skripsi mahasiswa yang dikonsultasikan dan menanyakan latar waktu yang lebih lengkap dari deskripsi yang ditulis oleh mahasiswa. Lalu, mahasiswa menjawab pertanyaan dosen dengan benar dan dosen menyetujui keterangan yang diberikan. Mahasiwa ternyata dapat menjawab dengan benar. Maksud tuturan A5 adalah dosen menerima jawaban yang benar dari mahasiswa dengan menunjukkan sebuah konfirmasi positif. Hal itu ditunjukkan dengan kata nah. Penanda tersebut terdapat dalam temuan Kridalaksana (1986) yang mengatakan bahwa penanda nah bertugas untuk meminta supaya kawan bicara mengalihkan pembicaraan ke hal lain, atau lebih tepatnya berdasarkan tuturan tersebut, cenderung untuk menunjukkan suatu persetujuan atau pembenaran atas jawaban mahasiswa. Dosen menerima jawaban yang benar dari mahasiswa dengan menunjukkan sebuah konfirmasi positif. Konfirmasi positif juga dapat berarti persetujuan atau pembenaran. Tuturan A5 juga mengandung jenis tindak tutur ilokusi asertif, karena dosen menyatakan persetujuan atau pembenaran atas jawaban mahasiswa. Tuturan A6 D
: Lha mestinya kamu tuh nggak cepet-cepet pulang ke sini.
M
: Ini Mo, kasihan...hehe (sambil menunjuk skripsi yang dikonsultasikan).
D
: Halah...hanya selisih satu minggu aja ee...kamu juga...
M
: Iya sih.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 157
di atas meja yang berada di tengah. Dosen menyayangkan kegagalan panen ternak ayam orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi dan mengetahui alasan yang menjadi penyebab hal itu terjadi.) Tuturan A6 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen menciptakan basa-basi untuk memecah suasana agar tidak tegang. Dosen menyayangkan kegagalan panen ternak ayam orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi dan mengetahui alasan yang menjadi penyebab hal itu terjadi. Maksud tuturan A6 adalah mahasiswa menerima tanggapan dari dosen yang mana mahasiswa itu juga secara tersirat mengakui kesalahannya. Hal itu ditunjukkan dengan kata iya sih. Penanda iya sih bertugas untuk menyatakan suatu pengakuan yang dapat disertai dengan rasa sesal yang mengandung penerimaan dari mahasiswa atas tanggapan dosen, seperti hal yang telah dibahas pada wujud tuturan A6. Searle (1983) berpendapat bahwa pernyataan merupakan bagian dari tindak tutur ilokusi asertif. Jadi, tuturan tersebut memiliki jenis tindak tutur seperti yang disebutkan, karena mahasiswa secara tersirat menyatakan bahwa dia menyesal dan menerima tanggapan dosen yang menyayangkan kegagalan panen orang tua mahasiswa itu. Tuturan A7 D : ... Kalau koma itu ya yang teliti. Ini kalimat atau apa ini? Karya Sumarsana Basuki K. S. M
: Pengarangnya, Romo.
D
: Lha ini titik kok. Ini kalimat baru ta?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 158
M
: O iya...hehe.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen menyadarkan mahasiswa untuk mengetahui kesalahan kalimat yang ditulis. Mahasiswa baru menyadari kesalahan kalimatnya setelah ditegur oleh dosen.) Tuturan A7 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen menyadarkan mahasiswa untuk mengetahui atau menyadari kesalahan kalimat yang ditulis. Mahasiswa baru menyadari kesalahan kalimatnya setelah ditegur oleh dosen. Maksud tuturan A7 adalah mahasiswa menerima teguran dosen dengan tanggapan konfirmasi positif. Hal itu ditunjukkan dengan kata o iya. Seperti dalam pembahasan wujud tuturan A7, penanda o iya dapat bertugas untuk menunjukkan suatu kesadaran dari benak mitra tutur terhadap kebenaran tentang sesuatu yang disampaikan oleh penutur. Misalnya, mitra tutur kurang cermat dalam mengamati sesuatu atau lupa tentang sesuatu, lalu penutur mengingatkan, menunjukkan, atau memperingatkan kebenaran yang seharusnya diketahui mitra tutur. Kemudian, pada waktu itu juga mitra tutur menyadari kebenaran tentang sesuatu yang disampaikan penutur. Searle (1983) berpendapat bahwa pernyataan merupakan bagian dari tindak tutur ilokusi asertif. Jadi, tuturan tersebut memiliki jenis tindak tutur seperti yang disebutkan, karena mahasiswa menerima dan menyadari kelalaiannya setelah ditegur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 159
Tuturan A8 M
: Maksudnya itu lho, Mo, ditemukan permasalahan-permasalahan...
D
: Ha’a...dengan itu terus apa?
M
: Dengan menemukan permasalahan yang ada...seperti itu?
D
: Itu baru keterangan!
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa berusaha menyampaikan maksud dengan susunan kalimat yang benar. Dosen memancing mahasiswa untuk terus berusaha membuat kalimat yang benar.) Tuturan A8 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa berusaha menyampaikan maksud dengan susunan kalimat yang benar, namun mahasiswa masih tetap kesulitan. Lalu, dosen memancing mahasiswa untuk terus berusaha membuat kalimat yang benar. Permasalahan utama yang dihadapi oleh mahasiswa adalah kesulitannya untuk menyusun kalimat dengan tata bahasa yang baik dan benar. Maksud tuturan A8 adalah dosen menerima pernyataan mahasiswa dengan tanggapan konfirmasi positif. Hal itu ditunjukkan dengan kata ha’a. Kata ha’a dalam bahasa Indonesia adalah ya yang berarti meneguhkan atau membenarkan, seperti penanda fatis ya temuan Kridalaksana (1986) yang bertugas untuk mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara. Jenis tindak tutur ilokusi dalam tutuan A8 adalah asertif, karena dosen menyatakan bahwa dia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 160
cukup mengerti pernyataan mahasiswa. Hal yang ingin dosen dengar adalah pengungkapan pesan dalam kalimat yang benar. Tuturan A9 D : Kamu tuh berkali-kali SMS lalu tidak datang-datang itu lho. Apakah saya harus nunggu yang tidak tentu? Berapa kali kamu SMS? M
: Dua kali, Pak.
D
: Kalau jam setengah satu itu ya jam 12.30 lebih sedikit gitu lho!
M
: Ya Pak.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen merasa kesal karena mahasiswa tidak tepat waktu ketika berkonsultasi dan memperingatkan mahasiswa untuk tepat waktu. Mahasiswa menerima peringatan dosen dengan tertunduk.) Tuturan A9 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen merasa kesal
karena
mahasiswa
tidak
tepat
waktu
ketika
berkonsultasi
da n
memperingatkan mahasiswa untuk tepat waktu. Mahasiswa mendengarkan dan menerima peringatan dosen dengan tertunduk karena merasa sedikit malu. Maksud tuturan A9 adalah mahasiswa menerima peringatan dosen dengan tanggapan konfirmasi positif. Hal itu ditunjukkan dengan kata ya. Kata ya yang diucapkan oleh mahasiswa dalam konteks tuturan tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa menerima dan menyetujui peringatan dosen agar tidak terlambat lagi. Tuturan A9 mengandung jenis tindak tutur ilokusi asertif (Searle, 1983), karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 161
mahasiswa menyatakan bahwa dia menerima peringatan dosen dengan tanggapan konfirmasi positif. Tuturan A10 M
: Permisi Pak.
D
: Ya. Ini bab berapa?
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Mahasiswa datang dan memberi salam kepada dosen sebelum duduk di hadapan dosen. Dosen menerima salam yang diberikan oleh mahasiswa dan langsung fokus pada konsultasi.) Tuturan A10 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa datang dan memberi salam kepada dosen sebelum duduk di hadapan dosen. Dosen menerima salam yang diberikan oleh mahasiswa dan langsung fokus pada konsultasi. Maksud tuturan A10 adalah dosen menerima salam yang diberikan mahasiswa. Hal itu ditunjukkan dengan kata ya. Tuturan ini memiliki karakteristik yang mirip dengan tuturan A9, baik dari penanda maupun sifat-sifatnya yang lain. Tuturan A10 juga mengandung jenis tindak tutur ilokusi asertif (Searle, 1983), karena dosen menyatakan penerimaan salam dan kehadiran mahasiswa yang ingin berkonsultasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 162
4.2.2.2 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Menolak Tuturan fatis menolak berfungsi untuk menolak atau melanggar basa-basi dari mitra tutur. Seseorang dapat menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu untuk menyatakan ketidaksetujuan dengan tetap mengutamakan nilai-nilai kesopanan. Tuturan B1 D : Hmm, bagaimana kok dapat diulang-ulang terus itu. Haduh...dapetdapet...pripun ta Mas Yudi? M
: Harus sesingkat mungkin ya Romo?
D
: Satu kalimat kok dapetnya dua kali?
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen tidak setuju dengan kalimat yang ditulis oleh mahasiswa dalam skripsinya karena menemukan kesalahan dan seharusnya kalimat ditulis secara efektif. Mahasiswa berasumsi bahwa kalimat harus dibuat sesingkat mungkin.) Tuturan B1 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen tidak setuju dengan kalimat yang ditulis oleh mahasiswa dalam skripsinya karena menemukan kesalahan dan seharusnya kalimat ditulis secara efektif. Dengan pernyataan dosen yang dituturkannya, mahasiswa berasumsi bahwa kalimat harus dibuat sesingkat mungkin. Dosen berbicara dengan nada tinggi dan terkesan menunjukkan ketidaksetujuan. Maksud tuturan B1 adalah dosen menolak hasil pekerjaan mahasiswa yang dikonsultasikan dengan menyatakan ketidaksetujuan. Hal itu ditandai dengan kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 163
hmm dan nada bicara yang menunjukkan bahwa dosen menentang. Kata hmm dapat disejajarkan dengan kata ah temuan Kridalaksana (1986) yang berfungsi untuk menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh. Kata hmm pada tuturan B1 lebih tepatnya berfungsi untuk mengekspresikan ketidaksetujuan atau penolakan terhadap sesuatu. Tuturan B1 mengandung jenis tindak tutur ilokusi asertif, karena dosen menyatakan suatu bentuk penolakan melalui penanda fatisnya yang diikuti dengan tuturan di belakangnya. Tuturan B2 D
: Dapat dua kali...dapat dua kali pripun?
M
: Hehe.
D : Ha? ...Ini kalimat apa ini? Menemukan permasalahan yang lainnya yang diangkat menjadi sebuah...Ini kalimat apa ini? Ne kene kene kene kene...! Pripun? Disambung-sambung ki piye? Piye? Sintaksisnya gimana? Subjeke endi? Subjeke endi? Subjeke endi? Nah...iki subjeke endi? Nek kalimat tuh yang jelas, ada titiknya. SPO...pripun ta Mas Yudi? ... (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen merasa kecewa dan kesal melihat tulisan mahasiswa yang kacau dan memiliki banyak kesalahan. Mahasiswa merasa malu melihat kesalahannya sendiri dan kekesalan yang diekspresikan oleh dosen.) Tuturan B2 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen merasa kecewa dan kesal melihat tulisan mahasiswa yang kacau dan memiliki banyak kesalahan. Mahasiswa merasa malu melihat kesalahannya sendiri dan kekesalan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 164
diekspresikan oleh dosen. Konteks yang paling memperngaruhi maksud tuturan di sini adalah kekesalan atau kekecewaan dosen dan kesalahan tulisan mahasiswa. Maksud tuturan B2 adalah dosen menolak hasil tulisan mahasiswa pada bagian kalimat-kalimat tertentu dengan menunjukkan ekspresi kekecewaan menggunakan kata berbahasa Jawa. Hal itu ditunjukkan dengan kata ki piye. Kata ki piye juga dapat disejajarkan dengan kata ah temuan Kridalaksana (1986) yang berfungsi untuk menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh. Kata ki piye pada tuturan B2 lebih tepatnya berfungsi untuk menunjukkan protes, atau dengan kata lain menunjukkan ketidaksetujuan dengan lebih keras. Jenis tindak tutur dalam tuturan B2 adalah ilokusi asertif, karena dosen menyatakan suatu penolakan keras terhadap tulisan mahasiswa. Sebagai tambahan konteks, dosen adalah seseorang yang berasal dari Jawa sehingga ketika mengekspresikan sesuatu secara spontan, seperti kekesalan atau kekecewaan, dia secara alam bawah sadar sering mengungkapkannya dengan bahasa Jawa. Jelaslah bahwa kata ki piye dalam tuturan ini berfungsi sebagai ekspresi penolakan karena kesal atau kecewa dengan tulisan mahasiswa. Tuturan B3 D : Subjeknya mana kalau kayaknya ada? Ha? Tidak ta? Novel karya Basuki...yang mempunyai apa...siapa yang mempunyai? M
: Mempunyai...tokoh.
D
: Bentar... Ini gimana kamu? Maksudmu?
M
: Ini jadi di dalam novel ini tokoh utamanya itu...
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 165
di atas meja yang berada di tengah. Dosen tiba-tiba menemukan kesalahan lain yang lebih menarik perhatiannya sehingga sempat menunda perhatian pada hal yang berkaitan dengan pertanyaan sebelumnya, yang diberikan untuk mahasiswa.) Tuturan B3 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, saat dosen memeriksa skripsi mahasiswa, dosen tiba-tiba menemukan kesalahan lain yang lebih menarik perhatiannya sehingga sempat menunda perhatian pada hal yang berkaitan dengan pertanyaan sebelumnya, yang diberikan untuk mahasiswa. Maksud tuturan B3 adalah dosen menolak jawaban mahasiswa dengan mengalihkan pembicaraan pada masalah yang lain, karena dosen tiba-tiba menemukan ada kalimat lainnya yang juga salah. Hal itu ditunjukkan dengan kata bentar. Kata bentar dapat berfungsi untuk menunda topik pembicaraan dan beralih ke topik pembicaraan yang lain karena topik yang baru lebih menarik perhatian penutur. Fungsi menunda dapat disetarakan dengan fungsi menolak, karena menunda dapat juga berarti menolak pembicaraan yang ingin dituturkan untuk beralih ke topik lain. Jenis tindak tutur dalam tuturan B3 adalah ilokusi asertif, karena dosen menyatakan suatu penolakan untuk mengalihkan perhatian pada bagian yang dianggap lebih penting. Tuturan B4 D
: Ini juga ini. Yang menggunakan psikologi sastra itu siapa?
M
: Maslow.
D
: Ha?
M
: Maslow.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 166
D
: Maslow? Siapa bilang? Masa, Maslow menggunakan pendekatan itu.
M
: Oh...Nyoman Kutha.
D
: Siapa bilang? Ya kamu ta?
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa salah memaparkan subjek pengguna teori psikologi sastra dalam kalimatnya. Dosen menentang kesalahan subjek yang dipaparkan dalam kalimat dan menegaskan bahwa pengguna teori itu adalah peneliti sendiri.) Tuturan B4 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa salah memaparkan subjek pengguna teori psikologi sastra dalam kalimatnya. Lalu, dosen menentang kesalahan subjek yang dipaparkan dalam kalimat dan menegaskan bahwa pengguna teori itu adalah peneliti sendiri. Maksud tuturan B4 adalah dosen menolak jawaban mahasiswa dengan menunjukkan tanda ketidaksetujuan. Hal itu ditunjukkan dengan kata siapa bilang yang berarti menolak atau tidak setuju. Seperti dalam pembahasan wujud tuturan B4, penolakan yang dilakukan oleh dosen tersebut juga berkaitan dengan perintah, yang dalam tuturan tersebut sebenarnya adalah suatu pancingan agar mahasiswa bersedia untuk terus menjawab pertanyaan sampai benar. Namun, akhirnya dosen sendirilah yang menjawab kebenarannya, yaitu mahasiswa sendiri yang menggunakan pendekatan psikologi dalam skripsinya. Hal itu berkaitan dengan tindak tutur dalam penggunaan bahasa. Searle (1983) membagi lima jenis tindak tutur ilokusi, dan jenis yang sesuai dengan unsur perintah tuturan B4 adalah direktif, yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 167
pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan tertentu, misalnya saja memesan, memerintah, memohon, menasihati, dan merekomendasi. Tuturan B5 D
: Lha mestinya kamu tuh nggak cepet-cepet pulang ke sini.
M : Ini Mo, dikonsultasikan). D
kasihan...hehe
(sambil
menunjuk
skripsi
yang
: Halah...hanya selisih satu minggu aja ee...kamu juga...
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa merasa cemas jika terlalu lama tidak mengurusi skripsinya. Dosen menyayangkan keputusan mahasiswa yang tanggung untuk terlalu cepat kembali ke Yogyakarta karena hanya selisih satu minggu.) Tuturan B5 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan basa-basi tersebut, setelah lama tidak berkonsultasi karena pulang kampung, mahasiswa merasa cemas jika terlalu lama tidak mengurusi skripsinya. Namun, dosen menyayangkan keputusan mahasiswa yang tanggung untuk terlalu cepat kembali ke Yogyakarta karena hanya selisih satu minggu. Hal yang menjadi masalah adalah dengan kembalinya mahasiswa tersebut yang terlalu cepat, orang tua mahasiswa itu mengalami gagal panen, karena tidak ada yang mengurus ayam mereka. Akibatnya, ayam terlalu cepat dipanen dan hasilnya tidak sempurna. Maksud tuturan B5 adalah dosen menolak alasan mahasiswa yang membuat mahasiswa itu terlalu cepat kembali ke Yogyakarta. Hal itu ditunjukkan dengan kata halah. Penanda fatis tersebut sama dengan temuan Kunjana, Yuli,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 168
dan Rishe (2014). Penanda fatis halah bermakna menyepelekan atau dapat juga digunakan untuk menyampaikan maksud kesembronoan. Menyepelekan dapat juga diartikan sebagai wujud penolakan, jika kita melihat tuturan B5 beserta konteksnya. Dosen terkesan menyepelekan alasan mahasiswa yang terlalu cepat pulang ke Yogyakarta bahwa mahasiswa tersebut kembali ke Yogyakarta untuk segera mengurus kembali skripsinya. Padahal, kenyataannya, cepat pulang atau tidak cepat pulang, upaya mahasiswa untuk mengurus skripsinya tidak membawa pengaruh yang besar, karena mahasiswa tersebut tetap menunda-nunda urusan skripsinya. Jenis tindak tutur dalam tuturan B5 adalah ilokusi asertif, karena dosen menyatakan suatu penolakan dalam bentuk ekspresi menyepelekan. Tuturan B6 D
: Di Cirebon tidak diterima?
M
: Mungkin masih masa percobaan.
D
: O...Cirebon di mana? Sekolah apa?
M
: Duh...lupa e namanya.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen ingin mendapat informasi tentang rekan dari mahasiswa yang berkonsultasi. Mahasiswa tidak dapat memberikan informasi tersebut karena lupa.) Tuturan B6 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan basa-basi tersebut, dosen berbasa-basi dengan menanyakan hal lain di luar topik konsultasi untuk memecah suasana. Dosen menanyakan kabar teman dari mahasiswa yang sedang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 169
berkonsultasi dan ingin mendapat informasi tentang rekan dari mahasiswa yang berkonsultasi. Namun, ternyata mahasiswa tidak dapat memberikan informasi yang ditanyakan oleh dosen karena lupa. Maksud tuturan B6 adalah mahasiswa menolak untuk menjawab pertanyaan dosen karena lupa terhadap informasi yang akan diberikan. Hal itu ditunjukkan dengan kata duh. Kata duh berasal dari kata aduh yang biasanya berfungsi untuk mengekspresikan keluhan. Dalam tuturan B6, keluhan tampak pada mahasiswa bahwa dia lupa tempat temannya melamar kerja sehingga dia tidak bisa memberikan informasi yang ditanyakan oleh dosen. Keluhan dalam tuturan B6 dapat diartikan sebagai penolakan bahwa mahasiswa tidak dapat memberikan informasi yang diminta karena lupa. Jenis tindak tutur dalam tuturan B6 adalah ilokusi asertif, karena mahasiswa menyatakan suatu penolakan dalam bentuk keluhan karena lupa terhadap informasi yang akan disampaikan. Tuturan B7 D
: Kamu jangan berpegang ini! Maksudmu apa? Maksudmu dulu!
M : Jadi, aku pinginnya, dengan menemukan masalah ini, dapat menjadi sebuah penelitian. D
: Yang terakhir ini! Katakan lagi!
M
: Hah...
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen terus menuntut mahasiswa untuk menyampaikan maksud yang lebih konkrit. Mahasiswa sudah berusaha menyampaikan maksud dan lambat laun mulai malas karena sudah jenuh dengan permintaan dosen atas kesalahan yang banyak terdapat dalam skripsinya.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 170
Tuturan B7 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen terus menuntut mahasiswa untuk manyampaikan maksud yang lebih konkrit. Mahasiswa sudah berusaha menyampaikan maksud dan lambat laun mulai malas karena sudah jenuh dengan permintaan dosen atas kesalahan yang banyak terdapat dalam skripsinya. Maksud tuturan B7 adalah mahasiswa menolak untuk tidak mau mengatakan maksud yang akan disampaikan, secara berulang-ulang, karena sudah jenuh dengan kebingungannya. Hal itu ditunjukkan dengan kata hah. Kata hah dapat berfungsi untuk mengekspresikan rasa jenuh atau bosan terhadap sesuatu atau terhadap perintah/permintaan seseorang, berdasarkan tuturan di atas beserta konteksnya. Penanda fatis tersebut dapat disetarakan dengan penanda fatis ah temuan Kridalaksana (1986) yang berfungsi untuk menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh. Ekspresi jenuh atau bosan dapat diartikan juga dengan penolakan, karena dengan perasaan tersebut, seseorang sudah tidak bersedia melakukan atau menuturkan sesuatu. Jenis tindak tutur dalam tuturan B7 adalah ilokusi asertif, karena mahasiswa menyatakan suatu penolakan dalam bentuk ekspresi rasa jenuh atau bosan. Tuturan B8 D : Dan selanjutnya ini saya belum anu lho...belum anu kalimat yang lainnya lagi lho. M
: Ya. Yang itu udah masuk lampiran.
D
: Lha ini masuk lampiran kalimatnya pating plethot.
M
: Sudah, gitu aja Romo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 171
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen masih mengejar mahasiswa untuk terus memperbaiki kalimat dalam skripsinya. Mahasiswa sudah bosan dan merasa cukup dengan hasil pekerjaannya.) Tuturan B8 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen masih mengejar mahasiswa untuk terus memperbaiki kalimat dalam skripsinya. Namun, mahasiswa sudah bosan dan merasa cukup dengan hasil pekerjaannya. Maksud tuturan B8 adalah mahasiswa menolak komentar dosen yang kemungkinan akan menjadi perintah bagi mahasiswa tersebut untuk memperbaiki bagian yang lain lagi. Hal itu ditunjukkan dengan kata gitu aja. Kata gitu aja dapat berfungsi untuk menahan permintaan seseorang. Fungsi “menahan permintaan seseorang” dapat juga diartikan sebagai bentuk penolakan, karena penutur menolak perintah yang diberikan seseorang, baik halus maupun kasar. Jenis tindak tutur dalam tuturan B8 adalah ilokusi direktif, karena dalam penolakannya, mahasiswa secara tersirat meminta dosen untuk menghentikan perintahnya untuk memperbaiki kalimat. Tuturan B9 D : Tidak, ini dulu kamu garap! Buatlah kalimat yang pendek-pendek yang terdiri atas S! P!... S! P! O! Ini S-nya mana? Subjeknya mana? Predikatnya? Harus selalu kamu perhatikan, ya! Seperti itu. M
: Dah, gini aja Romo.
D
: Ha?
M
: Gini aja...hehe.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 172
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen masih mengejar mahasiswa untuk terus memperbaiki kalimat dalam skripsinya. Mahasiswa sudah bosan dan merasa cukup dengan hasil pekerjaannya.) Tuturan B9 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen masih mengejar mahasiswa untuk terus memperbaiki kalimat dalam skripsinya. Namun, mahasiswa sudah bosan dan merasa cukup dengan hasil pekerjaannya. Maksud tuturan B9 adalah mahasiswa menolak saran dosen untuk memperbaiki kalimat dengan memperhatikan fungsi-fungsinya (SPOK) karena sudah jenuh dan merasa kesulitan. Hal itu ditunjukkan dengan kata dah. Fungsi dan jenis tindak tutur yang dimiliki tuturan B9 sama persis dengan tuturan B8. Tuturan B10 D : Tidak, ini dulu kamu garap! Buatlah kalimat yang pendek-pendek yang terdiri atas S! P!... S! P! O! Ini S-nya mana? Subjeknya mana? Predikatnya? Harus selalu kamu perhatikan, ya! Seperti itu. M
: Dah, gini aja Romo.
D
: Ha?
M
: Gini aja...hehe.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen masih mengejar mahasiswa untuk terus memperbaiki kalimat dalam skripsinya. Mahasiswa sudah bosan dan merasa cukup dengan hasil pekerjaannya.) Tuturan B10 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 173
seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen masih mengejar mahasiswa untuk terus memperbaiki kalimat dalam skripsinya. Namun, mahasiswa sudah bosan dan merasa cukup dengan hasil pekerjaannya. Maksud, fungsi penanda, dan jenis tindak tutur yang dimiliki tuturan B10 sama persis dengan tuturan B8 dan B9. Perbedaanya hanya terdapat pada wujud atau bentuk penandanya, yaitu gini aja. Tuturan B11 D
: Ini skripsi ya? Bukan proposal ya?
M
: Ini sebenarnya masih proposal, Pak.
D
: Lha proposal kok setebal ini?
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen berasumsi bahwa mahasiswa membawa skripsi. Mahasiswa ternyata baru membawa proposal dan dosen terkejut karena proposal yang dibawa cukup tebal seperti skripsi.) Tuturan B11 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen berasumsi bahwa mahasiswa membawa skripsi. Namun, mahasiswa ternyata baru membawa proposal dan dosen terkejut karena proposal yang dibawa cukup tebal seperti skripsi. Maksud tuturan B11 adalah dosen menolak hasil pekerjaan mahasiswa yang dikonsultasikan dengan menunjukkan ketidaksetujuan karena terlalu tebal. Hal itu ditunjukkan dengan kata lha. Kata tersebut adalah penanda fatis temuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 174
Kunjana, Yuli, dan Rishe (2014) yang dimaknai sebagai pengungkapan untuk menunjukkan kekesalan atau kekecewaan. Dalam tuturan B11, kenyataannya dosen tampak merasa kecewa karena proposal mahasiswa yang dikonsultasikan terlalu tebal. Proposal seharusnya tidak setebal skripsi. Kekesalan atau kekecewaan dalam tuturan B11 dapat diartikan sebagai wujud penolakan atau lebih tepatnya rasa ketidaksetujuan. Walaupun dosen sebenarnya menolak atau tidak setuju, namun bagaimanapun proses konsultasi harus tetap berjalan. Jenis tindak tutur dalam tuturan B11 adalah ilokusi asertif, karena sebenarnya dosen menyatakan suatu penolakan dalam bentuk ketidaksetujuan. Tuturan B12 M
: Kalok Bapak besok masih di kampus, saya bawa yang bab...
D
: Masih, kalau masih hidup.
M
: Nggak, maksudnya Jumatnya kan...
D
: Lha iya...ya terserah...itu kan janji kamu sendiri.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen ingin memberikan candaan ringan untuk mencairkan suasana, namun mahasiswa ingin tetap fokus pada perjanjian yang dibuatnya.) Tuturan B12 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan basa-basi tersebut, sebenarnya dosen ingin memberikan candaan ringan untuk mencairkan suasana. Namun, mahasiswa ingin tetap fokus pada perjanjian yang dibuatnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 175
Maksud tuturan B12 adalah mahasiswa menolak candaan ringan dari dosen dan tetap ingin fokus pada perjanjian yang akan dibuatnya untuk konsultasi berikutnya. Hal itu ditunjukkan dengan kata nggak. Kata nggak, enggak, atau gak berasal dari kata tidak yang berfungsi untuk menolak atau melawan. Jenis tindak tutur dalam tuturan B11 adalah ilokusi direktif, karena sebenarnya mahasiswa meminta dosen untuk tetap memperhatikan keseriusan janji yang ingin dibuat. Tuturan B13 M
: Ya pengertian dari kualitatif itu sendiri.
D
: Pengertian...terus? Terus mau apa?
M
: Ya untuk mengantar bahwa jenis penelitian itu sendiri...
D : Ya tapi kamu mengumpulkan pengertian. Tidak mengambil kesimpulan untuk apa. Apa lagi ada dua pendapat...itu kan seharusnya disimpulkan. ... (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen memperingatkan mahasiswa untuk jangan hanya mengutip teori dari para ahli, namun mahasiswa disarankan untuk membuat kesimpulan.) Tuturan B13 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen memperingatkan mahasiswa untuk jangan hanya mengutip teori dari para ahli, namun mahasiswa disarankan untuk membuat kesimpulan. Maksud tuturan B13 adalah dosen menolak tulisan mahasiswa yang masih kurang tepat, karena seharusnya berisi kesimpulan, bukan sekadar mengumpulkan kutipan pengertian dari para ahli. Hal itu ditunjukkan dengan kata ya tapi. Kata ya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 176
tapi dapat berfungsi untuk menunjukkan suatu pertentangan. Pertentangan juga dapat diartikan sebagai wujud penolakan, karena dengan pertentangan, hal itu menandakan bahwa seseorang merasa tidak berkenan dengan sesuatu yang dihadapinya. Jenis tindak tutur dalam tuturan B13 adalah ilokusi asertif, karena sebenarnya dosen juga menyarankan mahasiswa untuk membuat kesimpulan dengan interpretasinya sendiri. Tuturan B14 M
: Kalok pengkodean tuh bisa...
D : Kalau kode tuh tidak usah disebutkan. Katakan saja memberikan kode. Nanti pada daftar, lalu kodenya diterangkan...gitu lho. Lha ini untuk apa kamu tuliskan? Hayo? M
: Ya untuk menerangkan itu Pak.
D
: Menerangkan mana?
M
: Contoh Pak.
D : O contoh. Tapi kamu ganti alinea. Ha ini kan ganti alinea. Masa menerangkan ini kok dicampur. Dituntut adanya itu apa kok ada bahasa tulis dituntut adanya? M
: Ya harus apa namanya...
D : Bukan, kalimatmu itu lho...dituntut kok dituntut adanya. Dituntut yang dituntut oleh. ... (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Mahasiswa berusaha menyampaikan alasan atas pekerjaannya. Dosen menentang kesalahan-kesalahan yang ditemukan dalam skripsi mahasiswa itu.) Tuturan B14 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 177
mahasiswa berusaha menyampaikan alasan atas pekerjaannya. Kemudian, dosen menentang kesalahan-kesalahan yang ditemukan dalam skripsi mahasiswa itu. Maksud tuturan B14 adalah dosen menolak penulisan kalimat yang ditulis oleh mahasiswa karena masih terdapat tata bahasa yang salah. Hal itu ditunjukkan dengan kata kok. Kata kok dalam tuturan B14 lebih sesuai dengan pendapat Kunjana, Yuli, dan Rishe (2014) sebagai pengganti kata tanya “mengapa” atau “kenapa”. Dosen mempertanyakan kesalahan yang diperbuat oleh mahasiswa. Pertanyaan seperti itu menunjukkan bahwa dosen tidak setuju dengan tulisan mahasiswa. Jadi, secara otomatis dosen juga menolak hasil tulisan mahasiswa pada bagian tertentu yang terdapat kesalahan. Jenis tindak tutur dalam tuturan B13 adalah ilokusi asertif, karena dosen menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kesalahan yang ditemukannya dalam skripsi mahasiswa itu. Tuturan B15 D : ... Terus nanti minta softcopy dari bab 1 sampai bab 5. (Dosen meminta softcopy skripsi.) M
: O ya...kalok gitu mungkin masih agak lama ya Pak ya.
D
: Bab 4 kemarin sudah kamu serahkan kepada saya atau belum?
M
: Belum Pak, karena saya belum selesai analisisnya.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen menginginkan softcopy skripsi dari mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Mahasiswa belum dapat menuruti keinginan dosen dan merasa membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mewujudkannya.) Tuturan B15 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 178
seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen menginginkan softcopy skripsi dari mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Namun, mahasiswa belum dapat menuruti keinginan dosen dan merasa masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memenuhi keinginan dosen. Maksud tuturan B15 adalah mahasiswa menolak permintaan dosen yang ingin mendapatkan softcopy skripsinya karena belum selesai dan masih membutuhkan waktu yang lama. Hal itu ditunjukkan dengan kata kalok gitu. Kata kalok gitu dapat berfungsi untuk menahan permintaan seseorang karena alasan tertentu. Jenis tindak tutur dalam tuturan B15 adalah ilokusi direktif, karena mahasiswa sebenarnya meminta dosen untuk menunda permintaannya. 4.2.2.3 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Mengundang Tuturan fatis mengundang berfungsi untuk mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seseorang akan terjadi. Seseorang dapat menggunakan ungkapan-ungkapan untuk menawarkan sesuatu, memberikan harapan baik kepada orang lain, atau mengajak mitra tutur untuk memberikan perhatian pada suatu hal. Tuturan C1 M : Apakah memang di dalam bahasa pengumuman itu ee...terdapat ee...makna pragmatiknya? D : Nah, sekarang spesifik. Makna pragmatik itu apa saja? Makna tindak tutur itu apa saja? (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Mahasiswa memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 179
keraguan terhadap kehadiran makna pragmatik dalam bahasa pengumuman. Dosen ingin mengingatkan mahasiswa terlebih dahulu pada jenis makna pragmatik.) Tuturan C1 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang pastor yang berusia sekitar 30 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa memiliki keraguan terhadap kehadiran makna pragmatik dalam bahasa pengumuman sehingga dia bertanya kepada dosen. Namun, sebelum menjawab pertanyaan mahasiswa, dosen ingin mengingatkan mahasiswa terlebih dahulu pada jenis makna pragmatik. Pada saat itu, mahasiswa juga tampak kurang sistematis dalam mencari solusi penelitian sehingga dosen berusaha mengurutkan proses berpikir dalam menemukan solusi. Maksud tuturan C1 adalah dosen mengundang mahasiswa untuk memfokuskan pembicaraan pada jenis makna terlebih dahulu sebelum membicarakan hal yang secara langsung diinginkan mahasiswa. “Mengundang” dalam hal ini diartikan sebagai “mengarahkan”. Dosen berusaha mengarahkan mahasiswa untuk memperhatikan topik yang akan dibicarakan dosen dan mengingat jenis makna pragmatik terlebih dahulu. Hal itu ditandai dengan kata nah. Menurut Kridalaksana (1986), penanda nah bertugas untuk meminta supaya kawan bicara mengalihkan pembicaraan ke hal lain, atau lebih tepatnya berdasarkan tuturan tersebut adalah untuk meminta perhatian mahasiswa pada pembicaraan yang diinginkan dosen terlebih dahulu, karena dosen ingin mengingatkan mahasiswa pada jenis makna pragmatik sebelum memberikan jawaban yang diinginkan mahasiswa. Dalam hal ini, meminta perhatian sama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 180
artinya dengan mengarahkan dan itu juga dapat berarti mengundang, karena mahasiswa terpengaruh untuk mengikuti arahan dosen. Jenis tindak tutur dalam tuturan C1 adalah ilokusi direktif, karena dosen memberikan rekomendasi untuk mengingat jenis makna pragmatik dengan menyebutkannya. Tuturan C2 M : ... Maka, ada ee...tersirat beberapa makna pragmatik. Misalnya, ada permohonan, ada juga ajakan, ada juga laporan. D : Oke, nah, sekarang gini, anggap saja itu sebagai data awal. Jadi, sampel dari beberapa pengumuman yang ada, itu dianalisis saja. (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Mahasiswa menjelaskan temuan di dalam penelitiannya. Dosen memiliki saran untuk mahasiswa dalam menangani penelitian yang sedang dijalaninya.) Tuturan C2 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang pastor yang berusia sekitar 30 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa menjelaskan temuan data di dalam penelitiannya. Lalu, dosen menyarankan mahasiswa untuk menganalisis sampel data yang diperoleh terlebih dahulu. Maksud tuturan C2 adalah dosen mengundang mahasiswa untuk mengikuti sarannya. Hal itu ditunjukkan dengan kata gini. Dalam tuturan C2, kata gini dapat berfungsi untuk meminta seseorang untuk mengikuti saran penutur. Jenis tindak tutur dalam tuturan C1 adalah ilokusi direktif, karena dosen meminta mahasiswa untuk mengikuti sarannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 181
Tuturan C3 D
: Dapat dua kali...dapat dua kali pripun?
M
: Hehe.
D : Ha? ...Ini kalimat apa ini? Menemukan permasalahan yang lainnya yang diangkat menjadi sebuah...Ini kalimat apa ini? Kene kene kene kene kene...! (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Dosen ingin menyadarkan mahasiswa pada kesalahan kalimatnya.) Tuturan C3 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Maka, dosen ingin menyadarkan mahasiswa pada kesalahan kalimatnya. Maksud tuturan C3 adalah dosen mengundang mahasiswa untuk memperhatikan kesalahan kalimat yang ditulis. Hal itu ditunjukkan dengan kata ha. Dalam tuturan C3, kata ha dapat berfungsi untuk meminta seseorang untuk memberikan jawaban atas pertanyaan penutur atau dapat juga meminta seseorang untuk menuturkan ulang tuturannya jika dirasa belum dimengerti. Maka dari itu, penutur dapat dikatakan mengundang mitra tutur untuk menuturkan sesuatu. Jenis tindak tutur dalam tuturan C3 adalah ilokusi direktif, karena dosen meminta mahasiswa untuk memperhatikan kesalahan kalimatnya. Tuturan C4 D
: Dapat dua kali...dapat dua kali pripun?
M
: Hehe.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 182
D : Ha? ...Ini kalimat apa ini? Menemukan permasalahan yang lainnya yang diangkat menjadi sebuah...Ini kalimat apa ini? Kene kene kene kene kene...! (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Dosen ingin mengajak mahasiswa untuk benar-benar mengamati kalimatnya.) Tuturan C4 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Maka, dosen ingin mengajak mahasiswa untuk benar-benar mengamati kalimatnya. Maksud tuturan C4 adalah dosen mengundang mahasiswa untuk memperhatikan kembali dengan lebih cermat kesalahan kalimat yang ditulis. Hal itu ditunjukkan dengan kata kene. Kata kene dalam bahasa Indonesia adalah sini yang berarti mengajak seseorang datang atau mendekati penutur. Jenis tindak tutur dalam tuturan C3 adalah ilokusi direktif, karena dosen meminta mahasiswa untuk memperhatikan kesalahan kalimatnya dengan lebih cermat. Tuturan C5 D : ... Kalimat yang pendek-pendek aja! Nggak usah kalimat yang bersambung-sambung. Hayo...coba kamu baca dulu! Biar tahu kesalahanmu. Coba...nanti kalau anu...tanya saja...tahu kesalahannya. M
: Yang subjek ini...
D
: Hmm?
M
: Yang subjek ini maksudnya apa?
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 183
ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Dosen ingin mengajak mahasiswa untuk membaca kembali kalimatnya.) Tuturan C5 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Maka, dosen ingin mengajak mahasiswa untuk membaca kembali kalimatnya. Maksud tuturan C5 adalah dosen mengundang mahasiswa untuk membaca kalimat yang ditulis dalam skripsi agar mahasiswa mengetahui kesalahannya. Hal itu ditunjukkan dengan kata hayo. Penanda fatis tersebut sama dengan temuan Kunjana, Yuli, dan Rishe (2014). Fungsi ancaman dalam kata hayo pada tuturan C5, dapat diartikan sebagai ajakan atau undangan yang seakan menantang mahasiswa untuk mencari kesalahan yang terdapat dalam kalimatnya. Jadi, kata hayo dapat digunakan untuk mengajak atau mendorong secara tegas. Jenis tindak tutur dalam tuturan C5 adalah ilokusi direktif, karena dosen meminta mahasiswa untuk membaca kembali tulisannya secara tegas. Tuturan C6 D : ... Kalimat yang pendek-pendek aja! Nggak usah kalimat yang bersambung-sambung. Hayo...coba kamu baca dulu! Biar tahu kesalahanmu. Coba...nanti kalau anu...tanya saja...tahu kesalahannya. M
: Yang subjek ini...
D
: Hmm?
M
: Yang subjek ini maksudnya apa?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 184
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Dosen meminta penjelasan yang lebih lengkap.) Tuturan C6 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Maka, kali ini dosen meminta penjelasan yang lebih lengkap. Maksud tuturan C6 adalah dosen mengundang mahasiswa untuk memperjelas jawabannya. Hal itu ditunjukkan dengan kata hmm. Kata hmm pada tuturan C6 memiliki fungsi yang sama dengan kata ha pada tuturan C3 yang berfungsi untuk meminta seseorang untuk menuturkan ulang tuturannya jika dirasa belum dimengerti oleh penutur. Meminta juga dapat berarti mengundang, seperti hal yang telah dibahas pada tuturan-tuturan sebelumnya. Jenis tindak tutur dalam tuturan C6 adalah ilokusi direktif, karena dosen meminta mahasiswa untuk segera menuturkan hal yang ditanyakan oleh dosen. Tuturan C7 M
: Nggak teliti dalam tanda bacanya, Romo.
D
: Demikian juga ini...dalam cerita...ini dalam cerita apa dalam cerita itu?
M
: Dalam cerita, koma...hehe.
D
: Yang jelas! Di dalam...ini juga...nih ini juga. Gimana? Ha?
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa kurang memperhatikan ejaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 185
dalam kalimatnya. Dosen mengajak mahasiswa untuk mengamati bagian kalimat yang ditunjuk.) Tuturan C7 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa kurang memperhatikan ejaan dalam kalimatnya. Lalu, dosen mengajak mahasiswa untuk mengamati bagian kalimat yang ditunjuk. Maksud tuturan C7 adalah dosen mengundang mahasiswa untuk memperhatikan bagian yang ditunjuk oleh dosen. Hal itu ditunjukkan dengan kata nih. Dalam tuturan C7, kata nih dapat berfungsi untuk meminta seseorang untuk memperhatikan hal yang ditunjukkan oleh penutur. Jenis tindak tutur dalam tuturan C7 adalah ilokusi direktif, karena dosen meminta mahasiswa untuk memperhatikan hal yang ditunjuk oleh dosen. Tuturan C8 M
: Tanda bacanya ternyata belum begitu tepat.
D
: Ini gimana ini...coba?
M
: (Mahasiswa membuat perbaikan tulisannya.)
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa kurang memperhatikan ejaan dalam kalimatnya. Dosen meminta mahasiswa untuk membuat perbaikan kalimatnya.) Tuturan C8 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa kurang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 186
memperhatikan ejaan dalam kalimatnya. Kemudian, dosen meminta mahasiswa untuk membuat perbaikan kalimatnya. Maksud tuturan C8 adalah dosen mengundang mahasiswa untuk memperbaiki bagian yang salah. Hal itu ditunjukkan dengan kata coba. Kata coba dalam tuturan C8 lebih dekat fungsinya dengan kata hayo pada tuturan C5, yaitu sebagai ajakan atau undangan dengan sedikit menantang. Jadi, kata coba juga dapat digunakan untuk mengajak atau mendorong secara tegas. Jenis tindak tutur dalam tuturan C8 adalah ilokusi direktif, karena dosen meminta mahasiswa untuk membuat perbaikan kalimat dalam skripsinya. Tuturan C9 D
: Hmm? Dia sekarang di Cirebon?
M
: Tadinya tuh di Surabaya. Ee...nggak kena di tesnya.
D
: O...terus?
M : Terus yang di Semarang ini dia nggak cocok sama tempatnya karena di desa. (Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen berbasa-basi dengan menanyakan rekan dari mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Mahasiswa dengan senang hati menjawab pertanyaan dosen dan dosen menginginkan informasi yang lebih lanjut tentang rekan dari mahasiswa itu.) Tuturan C9 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan basa-basi tersebut, dosen berbasa-basi
dengan
menanyakan
rekan
dari
mahasiswa
yang
sedang
berkonsultasi. Lalu, mahasiswa dengan senang hati menjawab pertanyaan dosen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 187
dan dosen menginginkan informasi yang lebih lanjut tentang rekan dari mahasiswa itu. Maksud tuturan C9 adalah dosen mengundang mahasiswa untuk meneruskan informasi yang ingin diketahui oleh dosen. Hal itu ditunjukkan dengan kata terus. Kata terus berfungsi untuk meminta penjelasan lanjutan dari seseorang. Jenis tindak tutur dalam tuturan C9 adalah ilokusi direktif, karena dosen meminta mahasiswa untuk meneruskan ceritanya. Tuturan C10 D ya!
: Betulkan! Yang Betul! Sambil anu sintaksis! Baca pada buku sintaksis,
M
: Hehe...ya Romo. ...
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa kurang menguasai tata bahasa. Dosen menyarankan mahasiswa untuk membaca buku sintaksis.) Tuturan C10 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan basa-basi tersebut, mahasiswa melakukan banyak kesalahan karena kurang menguasai tata bahasa. Maka, dosen menyarankan mahasiswa untuk membaca buku sintaksis. Maksud tuturan C10 adalah dosen mengundang mahasiswa untuk membaca buku sintaksis agar dapat lebih mengerti tentang tata bahasa dan fungsifungsi kalimat. Hal itu ditunjukkan dengan kata ya. Kata ya merupakan penanda fatis temuan Kridalaksana (1986) yang digunakan untuk minta persetujuan atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 188
pendapat kawan bicara bila dipakai pada akhir ujaran. Jenis tindak tutur dalam tuturan C10 adalah ilokusi direktif, karena dosen meminta mahasiswa untuk membaca buku sintaksis kembali. Tuturan C11 D : ...atau yang lazim disebut konjungtor, atau dalam literatur lain disebut sebagai kata penghubung, sesungguhnya...nah maka bagian dari kata tugas dalam...enak saja termasuk kata tugas dalam bahasa Indonesia. Ini sering berpanjang-panjang lho...atau begini...begini...begini. Jangan dikutip seluruhnya. Intinya saja. Kalau bukan kutipan langsung, jangan berpanjang-panjang. Kamu mengutip intinya gitu lho! M
: Ya Pak.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen berasumsi bahwa kalimat yang disusun mahasiswa tidak efektif dan menyarankan untuk membuat pokok informasinya.) Tuturan C11 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen berasumsi bahwa kalimat yang disusun mahasiswa tidak efektif dan dia menyarankan untuk membuat pokok informasinya. Maksud tuturan C11 adalah dosen mengundang mahasiswa untuk mengikuti sarannya. Hal itu ditunjukkan dengan kata gitu lho. Dalam tuturan C11, kata gitu lho dapat berfungsi untuk meminta seseorang untuk mengikuti saran penutur. Jenis tindak tutur dalam tuturan C11 adalah ilokusi direktif, karena dosen meminta mahasiswa untuk mengikuti sarannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 189
Tuturan C12 D : Terus di sini juga ada yang kurang. Kata penghubung atau juga disebut konjungsi sering sulit dibedakan dengan preposisi atau kata depan. Jika dilihat secara sekilas, konjungsi dan preposisi menjadi rancu...tuh koma. M
: O...ya.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Mahasiswa kurang memperhatikan ejaan dalam kalimatnya. Dosen mengajak mahasiswa untuk mengamati bagian kalimat yang ditunjuk.) Tuturan C12 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa kurang memperhatikan ejaan dalam kalimatnya. Lalu, dosen mengajak mahasiswa untuk mengamati bagian kalimat yang ditunjuk. Maksud tuturan C12 adalah dosen mengundang mahasiswa untuk memperhatikan bagian yang ditunjuk oleh dosen. Hal itu ditunjukkan dengan kata tuh. Dalam tuturan C12, kata tuh dapat berfungsi untuk meminta seseorang untuk memperhatikan hal yang ditunjukkan oleh penutur. Jenis tindak tutur dalam tuturan C12 adalah ilokusi direktif, karena dosen meminta mahasiswa untuk memperhatikan sesuatu. Tuturan C13 D : Terus, ini sebaiknya di sini. Ini sama dengan ini, panjangnya sama dengan ini...kan tidak baik. Ha...ini tahunnya tuh di bawah sini kan lebih baik. M
: O ya Pak.
D
: Gitu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 190
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Mahasiswa kurang memperhatikan format skripsi. Dosen meminta mahasiswa untuk mengerti letak tahun yang lebih baik.) Tuturan C13 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa kurang memperhatikan format skripsi. Kemudian, dosen meminta mahasiswa untuk mengerti letak tahun yang lebih baik. Maksud tuturan C13 adalah dosen mengundang mahasiswa untuk memperhatikan bukti yang ditunjuk oleh dosen. Hal itu ditunjukkan dengan kata kan. Kata tersebut adalah penanda fatis temuan Kridalaksana (1986) yang mana merupakan kependekan dari kata bukan atau bukankah, dan tugasnya ialah menekankan pembuktian. Dengan menekankan pembuktian, maka dosen secara ototmatis juga meminta mahasiswa untuk memperhatikan bukti yang ditunjuk oleh dosen. Jenis tindak tutur dalam tuturan C13 adalah ilokusi direktif, karena dosen meminta mahasiswa untuk memperhatikan sesuatu. Tuturan C14 D
: Lha iya...ya terserah...itu kan janji kamu sendiri.
M
: O...ya.
D
: Pokoknya kapan kamu datang itu kan setiap saat saya layani, gitu.
M
: O...ya.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 191
sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Mahasiswa dan dosen membuat janji pertemuan untuk konsultasi skripsi yang akan datang.) Tuturan C14 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa dan dosen membuat janji pertemuan untuk konsultasi skripsi yang akan datang. Maksud tuturan C14 adalah dosen mengundang mahasiswa untuk mengerti pesan yang diberikan. Hal itu ditunjukkan dengan kata gitu. Dalam tuturan C14, kata gitu dapat berfungsi untuk meminta seseorang untuk mengerti pesan yang diberikan. Jenis tindak tutur dalam tuturan C14 adalah ilokusi direktif, karena dosen meminta mahasiswa untuk mengerti pesan dosen. Tuturan C15 D : ... Kenapa harus diulang-ulang lagi? Ini juga penelitian ini...iya ta? Sebenarnya ini kamu mau mengatakan apa? Jenis penelitian ta? M
: Ya pengertian dari kualitatif itu sendiri.
D
: Pengertian...terus? Terus mau apa?
M
: Ya untuk mengantar bahwa jenis penelitian itu sendiri...
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen berasumsi bahwa mahasiswa hanya ingin memaparkan jenis penelitiannya pada bagian yang sedang dibicarakan dan dosen menanyakannya hal itu kepada mahasiswa karena susunannya kurang benar.) Tuturan C15 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 192
seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen berasumsi bahwa mahasiswa hanya ingin memaparkan jenis penelitiannya pada bagian yang sedang dibicarakan dan dosen menanyakannya hal itu kepada mahasiswa karena susunannya kurang benar. Maksud tuturan C15 adalah dosen mengundang mahasiswa untuk memberikan konfirmasi positif dari asumsi dosen. Hal itu ditunjukkan dengan kata ta. Kata ta itu sendiri merupakan kata yang berasal dari bahasa Jawa. Kata ta dalam bahasa Indonesia adalah kan yang merupakan penanda fatis temuan penanda fatis temuan Kridalaksana (1986) yang mana merupakan kependekan dari kata bukan atau bukankah, dan tugasnya ialah menekankan pembuktian. Jenis tindak tutur dalam tuturan C15 adalah ilokusi direktif, karena dosen meminta konfirmasi positif dari mahasiswa. 4.2.2.4 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Salam Tuturan fatis salam berfungsi untuk menyatakan rasa senang karena bertemu seseorang. Seseorang dapat mengungkapkan rasa senangnya karena bertemu dengan orang lain atau sekadar menunjukkan kesopanannya untuk menjaga hubungan sosial. Tuturan D1 D
: Kamu gimana kabarnya, ha?
M
: Baik Romo, dah lama menghilang...hehe.
D
: Menghilang ke mana?
M
: Ee...kerja mbantu ibu bapak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 193
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen menanyakan kabar mahasiswa yang berkonsultasi karena sudah lama tidak bertemu dan mahasiswa menjawabnya dengan senang hati.) Tuturan D1 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen berbasa-basi dengan menanyakan kabar mahasiswa yang berkonsultasi karena sudah lama tidak bertemu dan mahasiswa menjawabnya dengan senang hati. Maksud tuturan D1 adalah dosen memberi salam kepada mahasiswa yang datang untuk berkonsultasi dengan menanyakan kabar. Hal itu ditunjukkan dengan tuturan, konteks, dan kata ha. Fungsi dari kata ha tuturan D1 dengan C3 juga sama, yaitu berfungsi untuk meminta seseorang untuk memberikan jawaban atas pertanyaan penutur atau dapat juga meminta seseorang untuk menuturkan ulang tuturannya jika dirasa belum dimengerti. Namun, kata ha dalam tuturan D1 digunakan untuk mengisi tuturan basa-basi salam. Jadi, kata ha juga dapat berfungsi dalam memberi salam. Kata ha juga merupakan penanda fatis sebagai bagian dalam tuturan basa-basi salam. Jenis tindak tutur dalam tuturan C15 adalah ilokusi direktif, karena dosen meminta meminta tanggapan atau jawaban dari mahasiswa. Tuturan D2 M
: Permisi Pak.
D
: Ya. Ini bab berapa?
M
: Itu bab 2, 3 Pak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 194
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Mahasiswa datang dan memberi salam kepada dosen sebelum duduk di hadapan dosen.) Tuturan D2 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa baru saja datang dan pada saat itu pula dia memberi salam kepada dosen, sebelum mahasiswa duduk di hadapan dosen. Maksud tuturan D2 adalah mahasiswa memberi salam kepada dosen ketika memasuki ruangan dan akan mulai berkonsultasi skripsi. Hal itu ditunjukkan dengan kata permisi. Seperti dalam pembahasan wujud tuturan D2, kata permisi dapat berfungsi untuk memberikan salam sebagai tanda kesopanan dan kehadiran penutur. Jenis tindak tutur dalam tuturan D2 adalah ilokusi asertif, karena mahasiswa menyatakan tuturan yang menunjukkan kesopanan sekaligus menyatakan kehadirannya. 4.2.2.5 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Terima Kasih Tuturan fatis terima kasih berfungsi untuk menyatakan terima kasih karena mendapat bantuan. Seseorang dapat mengungkapkan penghargaannya maupun rasa senangnya atas bantuan orang lain. Tuturan E1 D : Nah, kadang ketika di...dibacakan karena keterbatasan waktu, maka yang membaca kadang-kadang langsung pada pokok. Jadi, tidak lagi baca kepala surat, terus identitas, nomer. M
: Begitu saja, terima kasih Pak Wid.
D
: Oke.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 195
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Mahasiswa mengakhiri konsultasi karena merasa sudah cukup untuk saat itu dan dosen menerima ucapan terima kasih dari mahasiswa.) Tuturan E1 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang pastor yang berusia sekitar 30 tahun. Dalam tuturan tersebut, mahasiswa mengakhiri konsultasi karena merasa sudah cukup untuk saat itu. Lalu, mahasiswa mengucapkan terima kasih atas bimbingan tang telah diberikan dan dosen menerima ucapan terima kasih tersebut. Maksud tuturan E1 adalah mahasiswa mengucapkan terima kasih kepada dosen setelah melakukan konsultasi skripsi. Hal itu ditunjukkan dengan kata terima kasih. Penanda fatis tersebut merupakan temuan dari Kridalaksana (1986) yang digunakan setelah penutur mendapatkan sesuatu dari mitra tutur. Dari tuturan E1, tampak bahwa mahasiswa telah mendapatkan bimbingan yang sangat dibutuhkannya dari dosen. Maka, mahasiswa mengucapkan terima kasih kepada dosen. Searle (1983) berpendapat bahwa tindak tutur ilokusi ekspresif adalah adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya saja berterima kasih, memberi selamat, meminta maaf, menyalahkan, memuji, dan berbelasungkawa. Jenis tindak tutur dalam tuturan E1 adalah ilokusi ekspresif, karena mahasiswa berterima kasih kepada dosen. Tuturan E1 mirip dengan tuturan E2 dan E3, seperti yang telah dijelaskan pada bagian pembahasan wujud tuturan E1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 196
4.2.2.6 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Memuji Tuturan fatis memuji merupakan perkembangan dari subkategori selamat. Tuturan fatis memuji berfungsi untuk mengekspresikan suatu penghargaan atau apresiasi terhadap sesuatu yang berasal dari mitra tutur. Seseorang dapat menggunakan kata-kata tertentu untuk mengekspresikan pujiannya. Penjelasan perubahan subkategori selamat menjadi memuji dapat diamati sebagai berikut. Tuturan F1 D
: Formatnya itu jangan begini!
M
: Ya.
D : Ini masuk lalu ini juga alinea baru. Itu masalah format. Kalau isinya sudah...hmm. Harusnya kamu datang sekarang itu membawa bab 2 lengkap! M
: O...iya Pak.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen memberikan apresiasi atas hasil kerja mahasiswa pada bagian tertentu dalam skripsinya.) Tuturan F1 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen memberikan apresiasi atas atas hasil kerja mahasiswa pada bagian tertentu dalam skripsinya. Dosen berbicara dengan nada yang menunjukkan apresiasi pada akhir tuturan, bukan nada tinggi seperti tuturan B1 yang menunjukkan penolakan. Maksud tuturan F1 adalah dosen memuji isi tulisan mahasiswa yang sudah cukup baik, walaupun format tulisan masih perlu perbaikan. Hal itu ditunjukkan dengan kata hmm dan nada bicara yang mengekspresikan rasa “senang”. Dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 197
tuturan F1, kata hmm berfungsi untuk memuji atau memberikan apresiasi. Fungsi tersebut sebenarnya dapat diartikan sebagai ucapan selamat karena dosen tampak senang dengan isi proposal mahasiswa, walaupun tidak diungkapan secara langsung. Fungsi selamat milik Ibrahim (1993) tersebut menjadi berfungsi memuji karena fungsi selamat perlu dikhususkan lagi menjadi fungsi memuji sehingga dihasilkanlah subkategori memuji. Jenis tindak tutur dalam tuturan F1 adalah ilokusi ekspresif, karena dosen secara tersirat memuji mahasiswa atas kualitas isi proposal yang cukup baik. 4.2.2.7 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Berempati Tuturan fatis berempati merupakan perkembangan dari subkategori berduka cita. Tuturan fatis berempati berfungsi untuk mengekspresikan suatu keprihatinan, penyesalan, atau empati terhadap nasib buruk yang dialami oleh mitra tutur. Seseorang dapat mengungkapkan rasa empatinya atas peristiwa yang terjadi pada orang lain sehingga penutur dapat menunjukkan kepeduliannya kepada mitra tutur. Penjelasan perubahan subkategori berduka cita menjadi berempati dapat diamati sebagai berikut. Tuturan G1 D
: ...Kenapa? Ayamnya pada mati pa?
M
: Ee...panennya nggak tepat, Romo.
D
: Nggak tepat terus gimana?
M : Jadi kan sebenarnya...seharusnya tiga puluh hari, tapi karena ibu sama bapak ada acara nikahan di Jakarta dipanen cepet. D
: Woo...lha terus?
M
: Ya nggak dapet modal malah obatnya mungkin nambah...hehe.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 198
D
: Woo...lha terus lakunya gimana? Sedikit, gitu?
M
: Ya, lakunya sedikit. Nggak dapet hasil. Biasanya kan hasilnya besar.
(Konteks: Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen berbasa-basi dengan menanyakan hasil panen ternak ayam milik orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi dan dosen mengungkapkan rasa penyesalannya kepada mahasiswa itu atas kegagalan panennya.) Tuturan G1 dilakukan oleh dosen dan mahasiswa yang mana dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang lakilaki yang berusia sekitar 20 tahun. Dalam tuturan tersebut, dosen berbasa-basi dengan menanyakan hasil panen ternak ayam milik orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi dan dosen mengungkapkan rasa penyesalannya kepada mahasiswa itu atas kegagalan panennya. Dosen berbicara dengan nada yang terkesan “lemas” yang artinya sedih atau menyesal. Maksud tuturan G1 adalah dosen menyampaikan rasa penyesalannya kepada mahasiswa yang sedang berkonsultasi bahwa orang tua mahasiswa itu mengalami gagal panen dari usaha ternak ayam mereka. Hal itu ditunjukkan dengan kata woo dan nada sesal dari penutur. Kata woo merupakan penanda fatis temuan Kunjana, Yuli, dan Rishe (2014) yang dapat bermakna mengumpat. Namun, kata woo dalam tuturan G1 jelas memiliki makna yang berbeda, yaitu untuk menunjukkan perasaan “menyayangkan” atau menyesal terhadap hal yang dialami mahasiswa. Jenis tindak tutur dalam tuturan G1 adalah ilokusi ekspresif, karena dosen “berempati” atau ikut merasa sedih dan kecewa atas kegagalan panen orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Empati dalam tuturan ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 199
merupakan cerminan keprihatinan atas nasib buruk yang menimpa seseorang. Keprihatinan inilah yang menjadi latar belakang perubahan subkategori berduka cita milik Ibrahim (1993) menjadi “berempati”. Rasa prihatin atau penyesalan dalam tuturan ini lebih tepat berfungsi sebagai ekspresi empati, bukan duka cita, karena duka cita lebih tepat ditunjukkan pada keprihatinan atas kepergian seseorang, bukan nasib buruk yang tidak terkait dengan hidup dan mati seseorang seperti halnya dalam tuturan ini. Sedangkan, empati dalam tuturan ini hanya menyesali kegagalan atau matinya ayam-ayam ternak orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Maka, penyesalan dalam tuturan ini akan lebih tepat jika diistilahkan sebagai subkategori berempati. 4.3 Pembahasan Pada bagian ini, peneliti akan membahas hasil analisis data yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Analisis data menguraikan wujud dan maksud tuturan fatis yang diperoleh dari proses konsultasi skripsi yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa. Data yang telah dianalisis masih perlu dibahas, agar kita mengetahui jenis tuturan fatis yang baru dan penanda fatis yang baru pula. Selain itu, pembahasan juga dapat menunjukkan perbandingan setiap jenis tuturan fatis yang telah diperoleh dari analisis data, agar kita mengetahui perbedaan setiap jenisnya beserta alasan yang mendasari munculnya perbedaan itu dengan menggunakan teori para ahli. Analisis data menunjukkan bahwa penelitian ini menghasilkan suatu jenis tuturan fatis dan penanda fatis yang baru. Tuturan fatis itu juga dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 200
menyandingkan dirinya dengan subkategori acknowledgements menurut Ibrahim (1993: 16), yang mana pada penelitian yang relevan dengan penelitian ini seperti milik Sebastianus Seno Kurniawan dan Hendrika Yuli Surantini, subkategori tersebut berfungsi dalam tuturan basa-basi. Dengan kata lain, penelitian ini dapat menunjukkan bahwa subkategori tersebut dapat berfungsi pula dalam tuturan fatis yang baru itu. Peneliti menyebut jenis tuturan fatis yang baru dengan istilah “tuturan fatis murni”. Jenis tuturan fatis lainnya yang dideskripsikan dalam skripsi ini, yaitu basa-basi murni dan basa-basi polar. Jadi, jenis tuturan fatis yang menjadi objek penelitian dalam skripsi ini secara keseluruhan adalah tuturan fatis murni, basa-basi murni, dan basa-basi polar. Tuturan fatis yang baru itu disebut sebagai tuturan fatis murni oleh peneliti karena didasari oleh beberapa alasan. Penyebutan istilah tuturan fatis murni didasari oleh beberapa alasan yang dapat diilhami dari teori para ahli tentang pengertian kategori fatis dan hubungannya dengan basa-basi. Istilah fatis itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Inggris, yaitu phatic communion (komunikasi fatis) yang dicetuskan oleh Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13) yang mendefinisikan istilah tersebut sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word”. Teori yang mendefinisikan itsilah tersebut mirip dengan teori yang digunakan dalam penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu penelitian milik Sebastianus Seno Kurniawan dan Hendrika Yuli Surantini tentang basa-basi. Dua peneliti tersebut mengaitkan teori Malinowski itu dengan tuturan basa-basi. Namun, peneliti sendiri mengaitkan teori tersebut dengan tuturan fatis yang diperoleh dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 201
proses konsultasi skripsi yang belum tentu merupakan tuturan basa-basi. Peneliti menempatkan teori itu pada posisi yang netral, sebagaimana istilah fatis itu sendiri yang ternyata di dalam skripsi ini mencangkup tuturan fatis murni, tidak hanya tuturan basa-basi. Lalu, menurut Kridalaksana (1986: 111), kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Dari dua teori yang telah dipaparkan tersebut, maka tampak bahwa istilah fatis itu sendiri dapat berdiri sendiri. Artinya, istilah fatis tidak terbatas pada suatu jenis tuturan tertentu dan itu merupakan suatu “unsur” yang dapat terkandung dalam berbagai macam bentuk tuturan, yang sekali lagi tidak hanya tuturan basa-basi. Istilah fatis dapat mencangkup berbagai macam kemungkinan jenis tuturan yang mengandung unsur fatis itu sendiri. Maka, tuturan yang mengandung unsur fatis dapat disebut sebagai “tuturan fatis”. Dari hasil analisis data dan pemahaman atas pengertian istilah fatis, peneliti melihat bahwa sekarang tuturan fatis tidak selalu identik dengan basabasi. Sekarang tampak bahwa “fatis” itu sendiri sebenarnya adalah “unsur” yang dapat terkandung dalam berbagai macam bentuk tuturan. Dalam skripsi ini, peneliti mengamati tuturan konsultasi skripsi yang walaupun sebagian bukanlah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 202
tuturan basa-basi, namun tuturan bukan basa-basi itu (tuturan fatis yang baru/tuturan fatis murni) masih memiliki karakteristik seperti tuturan basa-basi yang selama ini dikenal sebagai satu-satunya bentuk tuturan yang mengandung unsur fatis. Cara termudah untuk mengetahui keberadaan unsur fatis dalam setiap tuturan fatis terutama dapat dikenali melalui penandanya. Penanda itu dapat disebut sebagai penanda fatis, dan penanda fatis dapat juga disebut sebagai partikel fatis, kata fatis, atau kategori fatis. Istilah kategori fatis adalah istilah yang paling mencolok, karena istilah tersebut digunakan oleh Kridalaksana, seperti teori yang telah disebutkan diatas tadi. Kategori fatis inilah yang dapat menandai keberadaan unsur fatis, karena kategori fatis itu sendiri merupakan unsur fatis yang paling terlihat, tanpa harus melihat maksud dan konteks tuturan untuk menentukan apakah tuturan itu merupakan tuturan fatis atau bukan. Jadi, kehadiran kategori fatis dalam suatu tuturan menandakan bahwa tuturan itu merupakan tuturan fatis. Begitulah peneliti memaknai istilah “fatis” yang ternyata adalah suatu “unsur” yang dapat terkandung pada suatu tuturan sehingga jika tuturan itu mengandung unsur fatis (dengan melihat maksud dan konteksnya, atau paling mudah dengan mengenali penanda fatisnya), maka tuturan itu adalah “tuturan fatis” yang tidak lagi terbatas pada basa-basi. Selanjutnya, peneliti memberi embel-embel “murni” pada jenis tuturan yang baru itu menjadi “tuturan fatis murni”. Kata atau embel-embel “murni” menandakan bahwa tuturan fatis yang baru itu merupakan tuturan fatis yang bukan merupakan basa-basi, namun masih memiliki unsur fatis. Jadi, peneliti menyebut tuturan yang baru itu dengan istilah “tuturan fatis murni”. Dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 203
serangkaian penjelasan yang telah dilakukan, maka peneliti dapat memaknai tuturan fatis murni sebagai tuturan yang memiliki unsur fatis dan cenderung berfungsi untuk menyampaikan pesan, namun masih memiliki fungsi sosial seperti dalam tuturan basa-basi, walaupun tuturan fatis murni bukanlah basa-basi. Tuturan fatis murni memiliki fungsi utama sebagai penyampai pesan, seperti tuturan lainnya yang bukan tuturan fatis sama sekali. Namun, tuturan fatis murni masih memiliki fungsi sosial, seperti tuturan basa-basi. Fungsi sosial bagi peneliti dipahami sebagai fungsi yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Hal itu selaras dengan teori Malinowski (1923: 315) dalam tesis Waridin (2008: 13) yang mendefinisikan istilah tersebut sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word”. Basa-basi memiliki fungsi sosial yang digunakan dalam situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan oleh peserta komunikasi dengan saling bertukar kata-kata dalam pembicaraan ringan dan perasaan gembira untuk membentuk hidup yang menyenangkan. Jadi, tuturan fatis murni sebenarnya masih memiliki karakteristik seperti tuturan basa-basi, walaupun sekali lagi, itu bukanlah tuturan basa-basi. Fungsi sosial juga dapat dimengerti sebagai bagian dari sifat kategori fatis, yang mana menurut Kridalaksana (1986: 111), kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 204
kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Teori itu mirip dengan teori tentang basa-basi yang “terkenal” memiliki fungsi sosialnya itu, seperti teori milik Jackobson (1980) yang mendefinisikan bahwa
basa-basi
adalah
mempertahankan,
a ta u
tuturan
yang
memutuskan
dipergunakan komunikasi
untuk untuk
memulai, memastikan
berfungsinya saluran komunikasi dan menarik perhatian lawan bicara atau menjaga agar lawan bicara tetap memperhatikan. Ketiga teori tersebut memperkuat kehadiran fungsi sosial dalam tuturan fatis murni yang sebenarnya masih seperti tuturan basa-basi. Sebagai tambahan, penjelasan tersebut juga menunjukkan bahwa fungsi sosial sebenarnya juga termasuk dalam unsur fatis, karena fungsi sosial juga dapat menandakan bahwa tuturan yang memiliki fungsi tersebut merupakan tuturan fatis, entah tuturan fatis itu merupakan tuturan fatis murni atau basa-basi. Hal itu juga diperkuat oleh keterkaitan antara fungsi sosial dengan sifat kategori fatis, seperti yang telah dibicarakan di atas. Kategori fatis itu sendiri tidak lain adalah penanda fatis yang merupakan unsur fatis “paling mencolok” karena penanda fatis adalah sarana termudah untuk mengetahui kehadiran unsur fatis. Tuturan fatis murni disebut bukan merupakan tuturan basa-basi karena tuturan tersebut masih membicarakan hal yang penting dan memang diperlukan sesuai dengan tujuan komunikasi. Berbeda dengan tuturan basa-basi yang pada umumnya adalah tuturan yang tidak membicarakan hal-hal penting, namun cenderung mengutamakan fungsi sosialnya, seperti yang kita lihat pada teori Malinowski (1923: 315 dalam tesis Waridin, 2008: 13) di atas. Dengan demikian,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 205
tuturan fatis murni jelas merupakan tuturan yang mengandung unsur fatis, cenderung mengutamakan fungsinya sebagai penyampai pesan, namun masih memiliki fungsi sosial seperti tuturan basa-basi, namun tetaplah bukan tuturan basa-basi. Tuturan fatis murni tidak mengenal perbedaan jenis murni dan polar seperti halnya basa-basi. Perbedaan jenis tersebut hanya terdapat pada tuturan basa-basi, seperti yang telah dikemukakan oleh Arimi (1998: 171) tentang jenis basa-basi, yaitu basa-basi murni dan basa-basi polar. Peneliti menemukan bahwa tuturan fatis murni tidak memiliki jenis murni atau polar, karena tuturan fatis murni pada dasarnya memang murni, yang artinya tuturan tersebut selalu selaras dengan kenyataan sebagai penyampai pesan yang disertai dengan penanda fatisnya. Oleh karena itu, tuturan itu disebut sebagai tuturan fatis murni. Demikianlah peneliti memaknai tuturan fatis murni sebagai jenis tuturan fatis yang baru dari peneliti sendiri melalui penelitian ini. Tuturan yang termasuk dalam tuturan fatis murni adalah tuturan A1, A5, A7, A8, B1, B2, B3, B4, B7, B8, B9, B10, B11, B13, B14, B15, C1, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8, C11, C12, C13, C14, dan C15. Dua tuturan fatis lain yang dikaji dalam skripsi ini adalah basa-basi murni dan basa-basi polar. Menurut KBBI (2004: 78), basa-basi diartikan sebagai ungkapan atau tuturan yang dipergunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi. Sementara itu, Anwar (1984: 46) menjelaskan bahwa basa-basi merupakan sejemput kata-kata yang dipakai untuk sekedar memecah kesunyian, untuk mempertahankan suasana baik dan sebagainya, sehingga bahasa tidak hanya digunakan untuk menyampaikan perasaan atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 206
pikiran, untuk membahas sesuatu masalah, untuk membujuk, merayu, dan sebagainya. Lalu, Arimi (1998: 171) dalam tesisnya membagi tuturan basa-basi menjadi dua, yaitu basa-basi murni dan polar. Basa-basi murni yaitu ungkapanungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Dengan kata lain, apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang dipakai dalam basa-basi murni seperti: selamat siang, selamat datang, terima kasih, pamit, dan sebagainya. Sedangkan basa-basi polar yaitu tuturan yang berlawanan dengan realitasnya, di mana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan. Peneliti menemukan kedua jenis basa-basi, baik murni maupun polar. Sebagaimana menurut Arimi (1998: 171), pertama, tuturan basa-basi murni adalah ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Dengan kata lain, apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang dipakai dalam basa-basi murni seperti: selamat siang, selamat datang, terima kasih, pamit, dan sebagainya. Tuturan yang termasuk dalam basa-basi murni adalah tuturan A2, A9, A10, D1, D2, E1, E2, E3, dan F1. Kedua, tuturan basa-basi polar adalah tuturan yang berlawanan dengan realitasnya, di mana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan. Tuturan yang termasuk dalam basa-basi polar adalah tuturan A3, A4, A6, B5, B6, B12, C9, C10, dan G1. Dari pemaparan tersebut, dalam penelitian ini diketahui bahwa tuturan fatis murni berjumlah 29 tuturan, basa-basi murni berjumlah 9 tuturan, dan basa-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 207
basi polar berjumlah 9 tuturan. Proses konsultasi skripsi didominasi oleh tuturan fatis murni. Hal itu selaras dengan anggapan sebagian besar orang yang berpikir bahwa proses konsultasi skripsi lebih sering bersifat fokus pada tujuan utama, karena memiliki kecenderungan untuk tetap fokus kepada skripsi. Namun, tidak dipungkiri pula bahwa ternyata di dalam proses konsultasi skripsi tetap terdapat unsur fatis seperti pada tuturan fatis murni, dan manifestasi tuturan fatis lainnya yang berupa basa-basi murni maupun polar. Penanda fatis merupakan unsur fatis yang paling tampak dalam tuturan fatis. Peneliti juga menemukan bentuk penanda fatis lain, selain temuan para ahli dan peneliti yang sebelumnya. Penanda yang ditemukan peneliti disebut sebagai penanda fatis karena penanda-penanda itu memiliki karaktersitik yang sesuai dengan temuan para ahli dan peneliti yang sebelumnya secara resmi. Selain itu, penanda fatis temuan peneliti juga merupakan kata fatis yang sangat sering didengar dan dialami oleh peneliti sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Penanda fatis temuan baru dari peneliti dalam skripsi ini yaitu oke, iya, o, iya sih, o iya, ha’a, hmm, ki piye, bentar, siapa bilang, duh, hah, gitu aja, dah, gini aja, nggak, ya tapi, kalok gitu, gini, ha, kene, nih, coba, terus, gitu lho, tuh, gitu, ta, permisi, makasih, dan nuwun. Sebagian penanda fatis temuan peneliti yang tidak dicantumkan di atas merupakan bentuk yang sama dengan temuan para ahli dan peneliti yang sebelumnya dan memiliki variasi fungsi yang berbeda dari temuan yang sebelumnya, sesuai dengan tuturan dan konteks yang menyertai penanda fatis yang bersangkutan. Misalnya, salah satunya, kata woo temuan peneliti yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 208
memiliki variasi fungsi yang lain dari temuan Kunjana, Rishe, dan Yuli (2014) karena dipengaruhi oleh tuturan dan konteks yang menyertainya. Makna pragmatik atau maksud tuturan fatis pada tuturan dalam skripsi ini bersandar pada 8 subkategori acknowledgements menurut Ibrahim (1993: 16) yang mengklasifikasikan tindak tutur ilokusi komunikatif. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan 7 subkategori. Ketujuh subkategori tersebut tidak hanya berlaku pada basa-basi, namun juga berlaku pada tuturan fatis bukan basa-basi, seperti tuturan fatis murni. Peneliti juga menemukan bahwa penanda fatis yang sama dapat berfungsi pada tuturan dalam subkategori yang berlainan. Subkategori acknowledgements dalam skripsi ini memiliki posisi yang netral sehingga dapat “dipasangkan” pada jenis tuturan fatis yang lain selain basa-basi. Selain itu, peneliti juga menemukan subkategori yang lain sebagai bentuk perkembangan melalui penelitian ini. Maka, peneliti memaknai setiap subkategori dengan pengertian yang berbeda. Subkategori menerima menandai suatu bentuk penerimaan yang dilakukan oleh penutur terhadap sesuatu yang berasal dari mitra tutur. Hal itu dapat ditunjukkan dengan penanda fatis ya, oke, iya, o, nah, iya sih, o iya, dan ha’a. Subkategori menolak menandai suatu bentuk penolakan yang dilakukan oleh penutur terhadap sesuatu yang berasal dari mitra tutur. Hal itu dapat ditunjukkan dengan penanda fatis hmm, ki piye, bentar, siapa bilang, halah, duh, hah, gitu aja, dah, gini aja, lha, nggak, ya tapi, kok, dan kalok gitu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 209
Subkategori mengundang menandai suatu bentuk undangan, permintaan, perintah, atau harapan baik yang dilakukan oleh penutur terhadap mitra tutur. Hal itu dapat ditunjukkan dengan penanda fatis nah, gini, ha, kene, hayo, hmm, nih, coba, terus, ya, gitu lho, tuh, kan, gitu, dan ta. Subkategori salam menandai suatu bentuk ekspresi rasa senang atau sikap sopan santun yang dilakukan oleh penutur terhadap mitra tutur. Hal itu dapat ditunjukkan dengan penanda fatis ha (biasanya menanyakan kabar) dan permisi. Subkategori terima kasih menandai suatu ungkapan terima kasih yang dilakukan oleh penutur terhadap mitra tutur. Hal itu dapat ditunjukkan dengan penanda fatis terima kasih, makasih, dan nuwun. Subkategori memuji berfungsi untuk mengekspresikan suatu penghargaan atau apresiasi terhadap sesuatu yang berasal dari mitra tutur. Hal itu dapat ditunjukkan dengan penanda fatis hmm. Subkategori
berempati
berfungsi
untuk
mengekspresikan
suatu
keprihatinan, penyesalan, atau empati terhadap nasib buruk yang dialami oleh mitra tutur. Hal itu dapat ditunjukkan dengan penanda fatis woo. Dari serangkaian pemaparan tentang penanda fatis di atas, peneliti menemukan penanda fatis yang baru dengan jumlah 31 penanda, yaitu oke, iya, o, iya sih, o iya, ha’a, hmm, ki piye, bentar, siapa bilang, duh, hah, gitu aja, dah, gini aja, nggak, ya tapi, kalok gitu, gini, ha, kene, nih, coba, terus, gitu lho, tuh, gitu, ta, permisi, makasih, dan nuwun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 210
Selain itu, peneliti memperjelas kembali alasan perbedaan jumlah tuturan beserta penanda fatis dalam setiap subkategorinya, seperti yang tampak pada tabel 1 (bagian deskripsi data) dan pemaparan penanda fatis tiap subkategori di atas. Kita melihat bahwa ada “kesenjangan” antara jumlah subkategori tuturan yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain, ada perbedaan yang sangat kontras, terutama pada subkategori tuturan menolak, mengundang, dan menerima dengan subkategori tuturan terima kasih, salam, selamat, dan berduka cita. Berdasarkan pengamatan peneliti saat melakukan pengumpulan data, hal itu terjadi karena proses konsultasi skripsi lebih banyak melibatkan subkategori tuturan menolak, mengundang, dan menerima. Tiga subkategori tuturan tersebut lebih banyak mengisi interaksi antara dosen dan mahasiswa karena memang pada dasarnya proses konsultasi skripsi adalah proses komunikasi yang intens, bukan sekadar menunjukkan kesopanan, kesantunan, dan sebagainya. Subkategori menolak, mengundang, dan menerima dapat menandakan suatu proses komunikasi yang intens karena memerlukan pemikiran yang kompleks. Subkategori terima kasih, salam, selamat, dan berduka cita hanya dituturkan jika memang diperlukan pada saat-saat tertentu, dan tidak memerlukan pemikiran yang kompleks karena hanya sebagai “bumbu” komunikasi, bukan inti komunikasi itu sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V PENUTUP
Bab ini terdiri dari dua hal pokok, yaitu kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi rangkuman keseluruhan isi dari penelitian ini. Bagian kesimpulan memiliki dua bagian. Bagian pertama berisi kesimpulan tentang wujud tuturan fatis dan bagian kedua berisi kesimpulan tentang maksud tuturan fatis. Saran berisi hal-hal relevan yang perlu diperhatikan dalam lingkup universitas dan bagi peneliti lanjutan. Berikut ini akan dipaparkan kesimpulan dan saran dari penelitian ini. 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data, peneliti menemukan tuturan fatis dengan maksud yang didasarkan pada subkategori acknowledgements yang diperoleh dari proses konsultasi skripsi antara dosen dan mahasiswa di Universitas Sanata Dharma Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI) semester genap tahun akademik 2015/2016. Temuan hasil pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut. Wujud kefatisan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah tuturan fatis murni, tuturan basa-basi murni, dan tuturan basa-basi polar. Tuturan fatis murni adalah tuturan yang memiliki unsur fatis dan cenderung berfungsi untuk
211
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 212
menyampaikan pesan, namun masih memiliki fungsi sosial seperti dalam tuturan basa-basi, walaupun tuturan fatis murni bukanlah basa-basi. Tuturan basa-basi murni adalah ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Tuturan basa-basi polar adalah tuturan yang berlawanan dengan realitasnya, di mana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan. Makna pragmatik yang berarti juga maksud tuturan fatis pada tuturan dalam skripsi ini bersandar pada 8 subkategori acknowledgements. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan 7 subkategori. Ketujuh subkategori tersebut tidak hanya berlaku pada basa-basi, namun juga berlaku pada tuturan fatis bukan basa-basi, seperti tuturan fatis murni. Peneliti juga menemukan bahwa penanda fatis yang sama dapat berfungsi pada tuturan dalam subkategori yang berlainan. Subkategori acknowledgements dalam skripsi ini memiliki posisi yang netral sehingga dapat “dipasangkan” pada jenis tuturan fatis yang lain selain basa-basi. Maka, peneliti memaknai setiap subkategori dengan pengertian yang berbeda dan secara otomatis 7 subkategori itu juga merupakan makna pragmatiknya. Subkategori menerima menandai suatu bentuk penerimaan yang dilakukan oleh penutur terhadap sesuatu yang berasal dari mitra tutur. Hal itu dapat ditunjukkan dengan penanda fatis ya, oke, iya, o, nah, iya sih, o iya, dan ha’a. Subkategori menolak menandai suatu bentuk penolakan yang dilakukan oleh penutur terhadap sesuatu yang berasal dari mitra tutur. Hal itu dapat ditunjukkan dengan penanda fatis hmm, ki piye, bentar, siapa bilang, halah, duh, hah, gitu aja,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 213
dah, gini aja, lha, nggak, ya tapi, kok, dan kalok gitu. Subkategori mengundang menandai suatu bentuk undangan, permintaan, perintah, atau harapan baik yang dilakukan oleh penutur terhadap mitra tutur. Hal itu dapat ditunjukkan dengan penanda fatis nah, gini, ha, kene, hayo, hmm, nih, coba, terus, ya, gitu lho, tuh, kan, gitu, dan ta. Subkategori salam menandai suatu bentuk ekspresi rasa senang atau sikap sopan santun yang dilakukan oleh penutur terhadap mitra tutur. Hal itu dapat ditunjukkan dengan penanda fatis ha (biasanya menanyakan kabar) dan permisi. Subkategori terima kasih menandai suatu ungkapan terima kasih yang dilakukan oleh penutur terhadap mitra tutur. Hal itu dapat ditunjukkan dengan penanda fatis terima kasih, makasih, dan nuwun. Subkategori memuji berfungsi untuk mengekspresikan suatu penghargaan atau apresiasi terhadap sesuatu yang berasal dari mitra tutur. Hal itu dapat ditunjukkan dengan penanda fatis hmm. Subkategori berempati berfungsi untuk mengekspresikan suatu keprihatinan, penyesalan, atau empati terhadap nasib buruk yang dialami oleh mitra tutur. Hal itu dapat ditunjukkan dengan penanda fatis woo. Ketujuh subkategori itu menjadi makna pragmatik dalam tuturan fatis murni untuk menjaga agar percakapan tetap berlangsung, memulai dan mengakhiri percakapan, memecah kesenyapan, menciptakan harmoni dan perasaaan nyaman, mengungkapkan kesopanan atau kesantunan, dan menyampaikan pesan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 214
5.2 Saran Berdasarkan hasil yang telah ditemukan, peneliti memberikan saran yang sekiranya perlu diperhatikan. Saran dari peneliti akan dipaparkan sebagai berikut. Penelitian ini hanya meneliti tentang wujud dan maksud komunkasi fatis yang berupa tuturan fatis antara dosen dan mahasiswa pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma dalam proses pembimbingan skripsi. Bagi peneliti selanjutnya, peneliti berharap bahwa penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan subjek dan ranah yang berbeda, seperti dalam lingkup masyarakat, keluarga, dan lain-lain. Penelitian ini didasarkan pada 8 subkategori acknowledgements dengan 7 subkategori saja. Peneliti berharap pula bahwa penelitian selanjutnya dapat menemukan manifestasi lain dari komunikasi fatis, seperti kategori, subkategori, wujud, dan penanda fatis yang lain sehingga teori tentang komunikasi fatis menjadi semakin lengkap.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Khaidir. 1984. Fungsi dan Peranan Bahasa Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Arikunto, Suharsimi. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Arimi, Sailal. 1998. Basa-basi dalam Masyarakat Bahasa Indonesia. (Thesis). Yogyakarta: UGM. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Depdiknas. 2004. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Ibrahim, Abdul Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional. Kurniawan, Sebastianus Seno. 2014. Basa-basi dalam Berbahasa Antara Guru dan Karyawan di SMP Negeri 12 Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsi Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia. Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Moleong, Lexy J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nababan. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan. Nadar, F. X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Pranowo. 2009. Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Prosiding Seminar Nasional Prasasti II. 2015. Kajian Pragmatik dalam Berbagai Bidang. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Dioma. . 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga.
215
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 216
, dkk. 2014. Adabiyyat: Jurnal Bahasa dan Sastra (Kata Fatis dan Penanda Ketidaksantunan Pragmatik dalam Ranah Keluarga). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Ruben, Brent D. dan Lea P. Stewart. 2013. Komunikasi dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Sudaryanto. 1990. Menguak Fungsi Hakikat Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Surantini, Hendrika Yuli. 2015. Basa-basi dalam Berbahasa Antaranggota Keluarga di Desa Kalirejo, Kulon Progo. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbicara. Bandung: Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. Waridin. 2008. Ungkapan Fatis dalam Acara Temu Wicara Televisi. Jakarta: FIB UI. Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
217
KEFATISAN MENERIMA No.
Tuturan
Wujud Fatis
1. (A1)
M : Menurut beberapa pengumuman yang saya baca, beberapa hal itu hanya menuliskan tentang makna pragmatik hanya sebagian kecil saja. D : Ya maka gini, maka saya sarankan nanti yang berikutnya teks pengumuman yang didapat dibawa hasil analisisnya seperti apa dibuat, kita diskusikan. Gitu.
D : Ya maka gini, maka saya sarankan nanti yang berikutnya teks pengumuman yang didapat dibawa hasil analisisnya seperti apa dibuat, kita diskusikan. Gitu.
2. (A2)
D : Nah, kadang ketika M : Begitu saja, terima di...dibacakan karena keterbatasan kasih Pak Wid. waktu, maka yang membaca D : Oke. kadang-kadang langsung pada pokok. Jadi, tidak lagi baca kepala surat, terus identitas, nomer. M : Begitu saja, terima kasih Pak Wid. D : Oke.
Maksud (Subkategori Acknowledgements) Dosen menerima jawaban mahasiswa yang kemudian menanggapinya dengan memberikan saran.
Dosen menerima ucapan terima kasih dari mahasiswa saat konsultasi berakhir.
Konteks Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang pastor yang berusia sekitar 30 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Mahasiswa merasa kurang menemukan fenomena yang dicari sehingga dia merasa bingung dan kurang yakin. Dosen menyarankan bahwa sebaiknya data diamati untuk didiskusikan bersama supaya menemukan titik terang. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang pastor yang berusia sekitar 30 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Dosen memberikan pendapat terakhir tentang cara pembaca membacakan pengumuman. Mahasiswa mengakhiri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
218
3. (A3)
D : Membesarkan pitik? M : Iya...hahaha. D : Sudah berhasil menjual ayam berapa? M : Untuk yang tahun ini...eeh apa yang panenan yang terakhir ini rugi kok.
D : Membesarkan pitik? M : Iya...hahaha.
4. (A4)
D : Sudah berhasil menjual ayam berapa? M : Untuk yang tahun ini...eeh apa yang panenan yang terakhir ini rugi kok. D : O...rugi. Ambil hikmah dari pengalaman hidup itu. Kenapa rugi? M : Harganya turun, jadi ya dipermainkan gitu lah Mo.
M : Untuk yang tahun ini...eeh apa yang panenan yang terakhir ini rugi kok. D : O...rugi. Ambil hikmah dari pengalaman hidup itu. Kenapa rugi?
D
M
5.
: Ini pada zaman apa
: Sepuluh tahun
konsultasi karena merasa sudah cukup untuk saat itu dan dosen menerima ucapan terima kasih dari mahasiswa. Mahasiswa Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah menerima pertanyaan dosen seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 dengan tanggapan tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk konfirmasi positif. merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen berbasa-basi menanyakan usaha ternak ayam milik orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Mahasiswa dengan senang hati menjawab pertanyaan dosen. Dosen menerima Dosen adalah seorang pastor yang berusia informasi bahwa sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah ternyata orang tua seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 dari mahasiswa yang tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk berkonsultasi merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. mengalami kerugian Dosen dan mahasiswa berada pada posisi dalam bisnis duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan mereka. sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen berbasa-basi menanyakan usaha ternak ayam milik orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Mahasiswa menjawab pertanyaan dosen dan dosen mendapat informasi bahwa usaha mereka sedang gagal panen. Dosen menerima Dosen adalah seorang pastor yang berusia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
219
(A5)
kejadiannya? jangan hanya waktu siang malam! M : Sepuluh tahun yang lalu. D : Nah... Sepuluh tahun yang lalu dikatakan itu tata waktunya. Itu keterangan...penting. ...
yang lalu. D : Nah... Sepuluh tahun yang lalu dikatakan itu tata waktunya. Itu keterangan...penting. ...
jawaban yang benar dari mahasiswa dengan menunjukkan sebuah konfirmasi positif.
6. (A6)
D : Lha mestinya kamu tuh nggak cepet-cepet pulang ke sini. M : Ini Mo, kasihan...hehe (sambil menunjuk skripsi yang dikonsultasikan). D : Halah...hanya selisih satu minggu aja ee...kamu juga... M : Iya sih.
D : Halah...hanya selisih satu minggu aja ee...kamu juga... M : Iya sih.
Mahasiswa menerima tanggapan dari dosen yang mana mahasiswa itu juga secara tersirat mengakui kelalaiannya.
7. (A7)
D : ... Kalau koma itu ya yang teliti. Ini kalimat atau apa ini? Karya Sumarsana Basuki K. S. M : Pengarangnya, Romo. D : Lha ini titik kok. Ini
D : Lha ini titik kok. Ini kalimat baru ta? M : O iya...hehe.
Mahasiswa menerima pertanyaan dosen dengan tanggapan konfirmasi positif.
sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen menanyakan latar waktu yang lebih lengkap dari deskripsi yang ditulis oleh mahasiswa. Mahasiswa menjawab pertanyaan dosen dengan benar dan dosen menyetujui keterangan yang diberikan. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen menyayangkan kegagalan panen ternak ayam orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi dan mengetahui alasan yang menjadi penyebab hal itu terjadi. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
220
kalimat baru ta? M : O iya...hehe.
8. (A8)
M : Maksudnya itu lho, Mo, ditemukan permasalahanpermasalahan... D : Ha’a...dengan itu terus apa? M : Dengan menemukan permasalahan yang ada...seperti itu? D : Itu baru keterangan!
M : Maksudnya itu lho, Mo, ditemukan permasalahanpermasalahan... D : Ha’a...dengan itu terus apa?
Dosen menerima pernyataan mahasiswa dengan tanggapan konfirmasi positif.
9. (A9)
D : Kamu tuh berkali-kali SMS lalu tidak datang-datang itu lho. Apakah saya harus nunggu yang tidak tentu? Berapa kali kamu SMS? M : Dua kali, Pak. D : Kalau jam setengah satu itu ya jam 12.30 lebih sedikit gitu l ho! M : Ya Pak.
D : Kalau jam setengah satu itu ya jam 12.30 lebih sedikit gitu lho! M : Ya Pak.
Mahasiswa menerima peringatan dosen dengan tanggapan konfirmasi positif.
duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen menyadarkan mahasiswa untuk mengetahui kesalahan kalimat yang ditulis. Mahasiswa baru menyadari kesalahan kalimatnya setelah ditegur oleh dosen. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa berusaha menyampaikan maksud dengan susunan kalimat yang benar. Dosen memancing mahasiswa untuk terus berusaha membuat kalimat yang benar. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen merasa kesal karena mahasiswa tidak tepat waktu ketika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
221
10. M (A10) D
: Permisi Pak. : Ya. Ini bab berapa?
M : Permisi Pak. D : Ya. Ini bab berapa?
Dosen menerima salam yang diberikan mahasiswa.
berkonsultasi dan memperingatkan mahasiswa untuk tepat waktu. Mahasiswa menerima peringatan dosen dengan tertunduk. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Mahasiswa datang dan memberi salam kepada dosen sebelum duduk di hadapan dosen. Dosen menerima salam yang diberikan oleh mahasiswa dan langsung fokus pada konsultasi.
KEFATISAN MENOLAK No.
Tuturan
1. (B1)
D : Hmm, bagaimana kok dapat diulang-ulang terus itu. Haduh...dapet-dapet...pripun ta Mas Yudi? M : Harus sesingkat mungkin ya Romo? D : Satu kalimat kok dapetnya dua kali?
Maksud (Subkategori Acknowledgements) D : Hmm, bagaimana Dosen menolak kok dapat diulang-ulang hasil pekerjaan terus itu. Haduh...dapetmahasiswa yang dapet...pripun ta Mas Yudi? dikonsultasikan M : Harus sesingkat dengan menyatakan mungkin ya Romo? ketidaksetujuan. Wujud Fatis
Konteks Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Dosen tidak setuju dengan kalimat yang ditulis oleh mahasiswa dalam skripsinya karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
222
2. (B2)
3. (B3)
D : Dapat dua kali...dapat dua kali pripun? M : Hehe. D : Ha? ...Ini kalimat apa ini? Menemukan permasalahan yang lainnya yang diangkat menjadi sebuah...Ini kalimat apa ini? Ne kene kene kene kene...! Pripun? Disambung-sambung ki piye? Piye? Sintaksisnya gimana? Subjeke endi? Subjeke endi? Subjeke endi? Nah...iki subjeke endi? Nek kalimat tuh yang jelas, ada titiknya. SPO...pripun ta Mas Yudi? ... D : Subjeknya mana kalau kayaknya ada? Ha? Tidak ta? Novel karya Basuki...yang mempunyai apa...siapa yang mempunyai? M : Mempunyai...tokoh. D : Bentar... Ini gimana kamu? Maksudmu? M : Ini jadi di dalam novel ini tokoh utamanya itu...
Disambung-sambung ki piye? Piye? Sintaksisnya gimana?
Dosen menolak hasil tulisan mahasiswa pada bagian kalimatkalimat tertentu dengan menunjukkan ekspresi kekecewaan menggunakan kata berbahasa Jawa.
M : Mempunyai...tokoh. D : Bentar... Ini gimana kamu? Maksudmu?
Dosen menolak jawaban mahasiswa dengan mengalihkan pembicaraan pada masalah yang lain, karena dosen tibatiba menemukan ada kalimat lainnya yang juga salah.
menemukan kesalahan dan seharusnya kalimat ditulis secara efektif. Mahasiswa berasumsi bahwa kalimat harus dibuat sesingkat mungkin. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Dosen merasa kecewa dan kesal melihat tulisan mahasiswa yang kacau dan memiliki banyak kesalahan. Mahasiswa merasa malu melihat kesalahannya sendiri dan kekesalan yang diekspresikan oleh dosen. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Dosen tiba-tiba menemukan kesalahan lain yang lebih menarik perhatiannya sehingga sempat menunda perhatian pada hal yang berkaitan dengan pertanyaan sebelumnya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
223
4. (B4)
D : Ini juga ini. Yang menggunakan psikologi sastra itu siapa? M : Maslow. D : Ha? M : Maslow. D : Maslow? Siapa bilang? Masa, Maslow menggunakan pendekatan itu. M : Oh...Nyoman Kutha. D : Siapa bilang? Ya kamu ta?
M : Maslow. D : Maslow? Siapa bilang? Masa, Maslow menggunakan pendekatan itu. M : Oh...Nyoman Kutha. D : Siapa bilang? Ya kamu ta?
5. (B5)
D : Lha mestinya kamu tuh nggak cepet-cepet pulang ke sini. M : Ini Mo, kasihan...hehe (sambil menunjuk skripsi yang dikonsultasikan). D : Halah...hanya selisih satu minggu aja ee...kamu juga...
M : Ini Mo, kasihan...hehe (sambil menunjuk skripsi yang dikonsultasikan). D : Halah...hanya selisih satu minggu aja ee...kamu juga...
6. (B6)
D : Di Cirebon tidak diterima?
D : O...Cirebon di mana? Sekolah apa?
yang diberikan untuk mahasiswa. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa salah memaparkan subjek pengguna teori psikologi sastra dalam kalimatnya. Dosen menentang kesalahan subjek yang dipaparkan dalam kalimat dan menegaskan bahwa pengguna teori itu adalah peneliti sendiri. Dosen menolak Dosen adalah seorang pastor yang berusia alasan mahasiswa sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah yang membuat seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 mahasiswa itu tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk terlalu cepat kembali merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. ke Yogyakarta. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa merasa cemas jika terlalu lama tidak mengurusi skripsinya. Dosen menyayangkan keputusan mahasiswa yang tanggung untuk terlalu cepat kembali ke Yogyakarta karena hanya selisih satu minggu. Mahasiswa Dosen adalah seorang pastor yang berusia menolak untuk sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah Dosen menolak jawaban mahasiswa dengan menunjukkan tanda ketidaksetujuan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
224
M : Mungkin masih masa percobaan. D : O...Cirebon di mana? Sekolah apa? M : Duh...lupa e namanya.
M : Duh...lupa e namanya.
menjawab pertanyaan dosen karena lupa terhadap informasi yang akan diberikan.
7. (B7)
D : Kamu jangan berpegang ini! Maksudmu apa? Maksudmu dulu! M : Jadi, aku pinginnya, dengan menemukan masalah ini, dapat menjadi sebuah penelitian. D : Yang terakhir ini! Katakan lagi! M : Hah...
D : Yang terakhir ini! Katakan lagi! M : Hah...
Mahasiswa menolak untuk tidak mau mengatakan maksud yang akan disampaikan, secara berulang-ulang, karena sudah jenuh dengan kebingungannya.
8. (B8)
D : Dan selanjutnya ini saya belum anu lho...belum anu kalimat yang lainnya lagi lho. M : Ya. Yang itu udah masuk lampiran.
D : Lha ini masuk lampiran kalimatnya pating plethot. M : Sudah, gitu aja Romo.
Mahasiswa menolak komentar dosen yang kemungkinan akan menjadi perintah
seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Dosen ingin mendapat informasi tentang rekan dari mahasiswa yang berkonsultasi. Mahasiswa tidak dapat memberikan informasi tersebut karena lupa. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Dosen terus menuntut mahasiswa untuk menyampaikan maksud yang lebih konkrit. Mahasiswa sudah berusaha menyampaikan maksud dan lambat laut mulai malas karena sudah jenuh dengan permintaan dosen atas kesalahan yang banyak terdapat dalam skripsinya. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
225
D : Lha ini masuk lampiran kalimatnya pating plethot. M : Sudah, gitu aja Romo.
9. (B9)
D : Tidak, ini dulu kamu garap! Buatlah kalimat yang pendek-pendek yang terdiri atas S! P!... S! P! O! Ini S-nya mana? Subjeknya mana? Predikatnya? Harus selalu kamu perhatikan, ya! Seperti itu. M : Dah, gini aja Romo. D : Ha? M : Gini aja...hehe.
10. D : Tidak, ini dulu kamu (B10) garap! Buatlah kalimat yang pendek-pendek yang terdiri atas S! P!... S! P! O! Ini S-nya mana? Subjeknya mana? Predikatnya? Harus selalu kamu perhatikan, ya! Seperti itu. M : Dah, gini aja Romo. D : Ha? M : Gini aja...hehe.
bagi mahasiswa tersebut untuk memperbaiki bagian yang lain lagi.
D : Tidak, ini dulu kamu garap! Buatlah kalimat yang pendekpendek yang terdiri atas S! P!... S! P! O! Ini S-nya mana? Subjeknya mana? Predikatnya? Harus selalu kamu perhatikan, ya! Seperti itu. M : Dah, gini aja Romo.
Mahasiswa menolak saran dosen untuk memperbaiki kalimat dengan memperhatikan fungsi-fungsinya (SPOK) karena sudah jenuh dan merasa kesulitan.
M : Dah, gini aja Romo. D : Ha? M : Gini aja...hehe.
Mahasiswa menolak saran dosen untuk memperbaiki kalimat dengan memperhatikan fungsi-fungsinya (SPOK) karena sudah jenuh dan merasa kesulitan.
Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Dosen masih mengejar mahasiswa untuk terus memperbaiki kalimat dalam skripsinya. Mahasiswa sudah bosan dan merasa cukup dengan hasil pekerjaannya. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Dosen masih mengejar mahasiswa untuk terus memperbaiki kalimat dalam skripsinya. Mahasiswa sudah bosan dan merasa cukup dengan hasil pekerjaannya. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Dosen masih mengejar mahasiswa untuk terus memperbaiki kalimat dalam skripsinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
226
11. D : Ini skripsi ya? Bukan (B11) proposal ya? M : Ini sebenarnya masih proposal, Pak. D : Lha proposal kok setebal ini?
12. M : Kalok Bapak besok (B12) masih di kampus, saya bawa yang bab... D : Masih, kalau masih hidup. M : Nggak, maksudnya Jumatnya kan... D : Lha iya...ya terserah...itu kan janji kamu sendiri.
13.
M
: Ya pengertian dari
Mahasiswa sudah bosan dan merasa cukup dengan hasil pekerjaannya. M : Ini sebenarnya Dosen menolak Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia masih proposal, Pak. hasil pekerjaan sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah D : Lha proposal kok mahasiswa yang seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 setebal ini? dikonsultasikan tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk dengan mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menunjukkan menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan ketidaksetujuan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan karena terlalu tebal. posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen berasumsi bahwa mahasiswa membawa skripsi. Mahasiswa ternyata baru membawa proposal dan dosen terkejut karena proposal yang dibawa cukup tebal seperti skripsi. M : Nggak, maksudnya Mahasiswa Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia Jumatnya kan... menolak candaan sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah D : Lha iya...ya ringan dari dosen seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 terserah...itu kan janji kamu dan tetap ingin tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk sendiri. fokus pada mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka perjanjian yang akan menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan dibuatnya untuk mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan konsultasi posisi duduk dan saling berhadapan dengan berikutnya. sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen ingin memberikan candaan ringan untuk mencairkan suasana, namun mahasiswa ingin tetap fokus pada perjanjian yang dibuatnya. M : Ya untuk Dosen menolak Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
227
(B13) kualitatif itu sendiri. D : Pengertian...terus? Terus mau apa? M : Ya untuk mengantar bahwa jenis penelitian itu sendiri... D : Ya tapi kamu mengumpulkan pengertian. Tidak mengambil kesimpulan untuk apa. Apa lagi ada dua pendapat...itu kan seharusnya disimpulkan. ...
mengantar bahwa jenis penelitian itu sendiri... D : Ya tapi kamu mengumpulkan pengertian. Tidak mengambil kesimpulan untuk apa. Apa lagi ada dua pendapat...itu kan seharusnya disimpulkan. ...
tulisan mahasiswa yang masih kurang tepat, karena seharusnya berisi kesimpulan bukan sekadar mengumpulkan kutipan pengertian dari para ahli.
14. M : Kalok pengkodean tuh (B14) bisa... D : Kalau kode tuh tidak usah disebutkan. Katakan saja memberikan kode. Nanti pada daftar, lalu kodenya diterangkan...gitu lho. Lha ini untuk apa kamu tuliskan? Hayo? M : Ya untuk menerangkan itu Pak. D : Menerangkan mana? M : Contoh Pak. D : O contoh. Tapi kamu ganti alinea. Ha ini kan ganti alinea. Masa menerangkan ini kok dicampur. Dituntut adanya itu apa kok ada bahasa tulis dituntut adanya? M : Ya harus apa namanya...
D : O contoh. Tapi kamu ganti alinea. Ha ini kan ganti alinea. Masa menerangkan ini kok dicampur. Dituntut adanya itu apa kok ada bahasa tulis dituntut adanya? M : Ya harus apa namanya... D : Bukan, kalimatmu itu lho...dituntut kok dituntut adanya. Dituntut yang dituntut oleh. ...
Dosen menolak penulisan kalimat yang ditulis oleh mahasiswa karena masih terdapat tata bahasa yang salah.
sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen memperingatkan mahasiswa untuk jangan hanya mengutip teori dari para ahli, namun mahasiswa disarankan untuk membuat kesimpulan. Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di antara mereka. Mahasiswa berusaha menyampaikan alasan atas pekerjaannya. Dosen menentang kesalahan-kesalahan yang ditemukan dalam skripsi mahasiswa itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
228
D : Bukan, kalimatmu itu lho...dituntut kok dituntut adanya. Dituntut yang dituntut oleh. ... 15. D : ... Terus nanti minta (B15) softcopy dari bab 1 sampai bab 5. (Dosen meminta softcopy skripsi.) M : O ya...kalok gitu mungkin masih agak lama ya Pak ya. D : Bab 4 kemarin sudah kamu serahkan kepada saya atau belum? M : Belum Pak, karena saya belum selesai analisisnya.
D : ... Terus nanti minta softcopy dari bab 1 sampai bab 5. (Dosen meminta softcopy skripsi.) M : O ya...kalok gitu mungkin masih agak lama ya Pak ya.
Mahasiswa menolak permintaan dosen yang ingin mendapatkan softcopy skripsinya karena belum selesai dan masih membutuhkan waktu yang lama.
Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen menginginkan softcopy skripsi dari mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Mahasiswa belum dapat menuruti keinginan dosen dan merasa membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mewujudkannya.
KEFATISAN MENGUNDANG No. 1. (C1)
Tuturan M : Apakah memang di dalam bahasa pengumuman itu ee...terdapat ee...makna pragmatiknya? D : Nah, sekarang spesifik. Makna pragmatik itu apa saja? Makna tindak tutur itu apa saja?
Wujud Fatis D : Nah, sekarang spesifik. Makna pragmatik itu apa saja? Makna tindak tutur itu apa saja?
Maksud (Subkategori Acknowledgements) Dosen mengundang mahasiswa untuk memfokuskan pembicaraan pada jenis makna terlebih dahulu sebelum membicarakan hal
Konteks Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 30 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
229
yang secara langsung diinginkan mahasiswa.
2. (C2)
M : ... Maka, ada ee...tersirat beberapa makna pragmatik. Misalnya, ada permohonan, ada juga ajakan, ada juga laporan. D : Oke, nah, sekarang gini, anggap saja itu sebagai data awal. Jadi, sampel dari beberapa pengumuman yang ada, itu dianalisis saja.
D : Oke, nah, sekarang gini, anggap saja itu sebagai data awal. Jadi, sampel dari beberapa pengumuman yang ada, itu dianalisis saja.
3. (C3)
D : Dapat dua kali...dapat dua kali pripun? M : Hehe. D : Ha? ...Ini kalimat apa ini? Menemukan permasalahan yang lainnya yang diangkat menjadi sebuah...Ini kalimat apa ini? Kene kene kene kene kene...!
D : Ha? ...Ini kalimat apa ini? Menemukan permasalahan yang lainnya yang diangkat menjadi sebuah...Ini kalimat apa ini? Kene kene kene kene kene...!
santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Mahasiswa memiliki keraguan terhadap kehadiran makna pragmatik dalam bahasa pengumuman. Dosen ingin mengingatkan mahasiswa terlebih dahulu pada jenis makna pragmatik. Dosen mengundang Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia mahasiswa untuk sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah mengikuti sarannya. seorang laki-laki yang berusia sekitar 30 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Mahasiswa menjelaskan temuan di dalam penelitiannya. Dosen memiliki saran untuk mahasiswa dalam menangani penelitian yang sedang dijalaninya. Dosen mengundang Dosen adalah seorang pastor yang berusia mahasiswa untuk sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah memperhatikan seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 kesalahan kalimat tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk yang ditulis. merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Dosen ingin menyadarkan mahasiswa pada kesalahan kalimatnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
230
4. (C4)
D : Dapat dua kali...dapat dua kali pripun? M : Hehe. D : Ha? ...Ini kalimat apa ini? Menemukan permasalahan yang lainnya yang diangkat menjadi sebuah...Ini kalimat apa ini? Kene kene kene kene kene...!
D : Ha? ...Ini kalimat apa ini? Menemukan permasalahan yang lainnya yang diangkat menjadi sebuah...Ini kalimat apa ini? Kene kene kene kene kene...!
5. (C5)
D : ... Kalimat yang pendekpendek aja! Nggak usah kalimat yang bersambung-sambung. Hayo...coba kamu baca dulu! Biar tahu kesalahanmu. Coba...nanti kalau anu...tanya saja...tahu kesalahannya. M : Yang subjek ini... D : Hmm? M : Yang subjek ini maksudnya apa?
Hayo...coba kamu baca dulu! Biar tahu kesalahanmu.
6. (C6)
D : ... Kalimat yang pendekpendek aja! Nggak usah kalimat yang bersambung-sambung. Hayo...coba kamu baca dulu! Biar tahu kesalahanmu. Coba...nanti kalau anu...tanya saja...tahu kesalahannya. M : Yang subjek ini...
M : Yang subjek ini... D : Hmm? M : Yang subjek ini maksudnya apa?
Dosen mengundang mahasiswa untuk memperhatikan kembali dengan lebih cermat kesalahan kalimat yang ditulis.
Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Dosen ingin mengajak mahasiswa untuk benar-benar mengamati kalimatnya. Dosen mengundang Dosen adalah seorang pastor yang berusia mahasiswa untuk sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah membaca kalimat seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 yang ditulis dalam tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk skripsi agar merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. mahasiswa Dosen dan mahasiswa berada pada posisi mengetahui duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan kesalahannya. sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Dosen ingin mengajak mahasiswa untuk membaca kembali kalimatnya. Dosen mengundang Dosen adalah seorang pastor yang berusia mahasiswa untuk sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah memperjelas seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 jawabannya. tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
231
D : Hmm? M : Yang subjek ini maksudnya apa? 7. (C7)
M : Nggak teliti dalam tanda bacanya, Romo. D : Demikian juga ini...dalam cerita...ini dalam cerita apa dalam cerita itu? M : Dalam cerita, koma...hehe. D : Yang jelas! Di dalam...ini juga...nih ini juga. Gimana? Ha?
M : Dalam cerita, koma...hehe. D : Yang jelas! Di dalam...ini juga...nih ini juga. Gimana? Ha?
8. (C8)
M : Tanda bacanya ternyata belum begitu tepat. D : Ini gimana ini...coba? M : (Mahasiswa membuat perbaikan tulisannya.)
D : Ini gimana ini...coba?
9. (C9)
D : Hmm? Dia sekarang di Cirebon? M : Tadinya tuh di Surabaya.
M : Tadinya tuh di Surabaya. Ee...nggak kena di tesnya.
sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa salah menyusun kalimat dalam skripsinya. Dosen meminta penjelasan yang lebih lengkap. Dosen mengundang Dosen adalah seorang pastor yang berusia mahasiswa untuk sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah memperhatikan seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 bagian yang tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk ditunjuk oleh dosen. merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa kurang memperhatikan ejaan dalam kalimatnya. Dosen mengajak mahasiswa untuk mengamati bagian kalimat yang ditunjuk. Dosen mengundang Dosen adalah seorang pastor yang berusia mahasiswa untuk sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah memperbaiki bagian seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 yang salah. tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa kurang memperhatikan ejaan dalam kalimatnya. Dosen meminta mahasiswa untuk membuat perbaikan kalimatnya. Dosen mengundang Dosen adalah seorang pastor yang berusia mahasiswa untuk sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah meneruskan seorang laki-laki yang berusia sekitar 20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
232
Ee...nggak kena di tesnya. D : O...terus? M : Terus yang di Semarang ini dia nggak cocok sama tempatnya karena di desa.
D
: O...terus?
10. D : Betulkan! Yang Betul! (C10) Sambil anu sintaksis! Baca pada buku sintaksis, ya! M : Hehe...ya Romo. ...
Baca pada buku sintaksis, y a!
11. D : ...atau yang lazim disebut (C11) konjungtor, atau dalam literatur lain disebut sebagai kata penghubung, sesungguhnya...nah maka bagian dari kata tugas dalam...enak saja termasuk kata tugas dalam bahasa Indonesia. Ini sering berpanjang-panjang
Kamu mengutip intinya gitu lho!
informasi yang ingin tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk diketahui oleh merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. dosen. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Dosen berbasa-basi dengan menanyakan rekan dari mahasiswa yang sedang berkonsultasi. Mahasiswa dengan senang hati menjawab pertanyaan dosen dan dosen menginginkan informasi yang lebih lanjut tentang rekan dari mahasiswa itu. Dosen mengundang Dosen adalah seorang pastor yang berusia mahasiswa untuk sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah membaca buku seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 sintaksis agar dapat tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk lebih mengerti merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. tentang tata bahasa Dosen dan mahasiswa berada pada posisi dan fungsi-fungsi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan kalimat. sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa kurang menguasai tata bahasa. Dosen menyarankan mahasiswa untuk membaca buku sintaksis. Dosen mengundang Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia mahasiswa untuk sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah mengikuti sarannya. seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
233
lho...atau begini...begini...begini. Jangan dikutip seluruhnya. Intinya saja. Kalau bukan kutipan langsung, jangan berpanjangpanjang. Kamu mengutip intinya gitu lho! M : Ya Pak. 12. D : Terus di sini juga ada Jika dilihat secara sekilas, (C12) yang kurang. Kata penghubung konjungsi dan preposisi atau juga disebut konjungsi sering menjadi rancu...tuh koma. sulit dibedakan dengan preposisi atau kata depan. Jika dilihat secara sekilas, konjungsi dan preposisi menjadi rancu...tuh koma. M : O...ya.
13. D : Terus, ini sebaiknya di (C13) sini. Ini sama dengan ini, panjangnya sama dengan ini...kan tidak baik. Ha...ini tahunnya tuh di bawah sini kan lebih baik. M : O ya Pak. D : Gitu.
Ha...ini tahunnya tuh di bawah sini kan lebih baik.
sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen berasumsi bahwa kalimat yang disusun mahasiswa tidak efektif dan menyarankan untuk membuat pokok informasinya. Dosen mengundang mahasiswa untuk memperhatikan bagian yang ditunjuk oleh dosen.
Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di antara mereka. Mahasiswa kurang memperhatikan ejaan dalam kalimatnya. Dosen mengajak mahasiswa untuk mengamati bagian kalimat yang ditunjuk. Dosen mengundang Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia mahasiswa untuk sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah memperhatikan seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 bukti yang ditunjuk tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk oleh dosen. mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di antara mereka. Mahasiswa kurang memperhatikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
234
14. D : Lha iya...ya terserah...itu (C14) kan janji kamu sendiri. M : O...ya. D : Pokoknya kapan kamu datang itu kan setiap saat saya layani, gitu. M : O...ya.
15. D : ... Kenapa harus diulang(C15) ulang lagi? Ini juga penelitian ini...iya ta? Sebenarnya ini kamu mau mengatakan apa? Jenis penelitian ta? M : Ya pengertian dari kualitatif itu sendiri. D : Pengertian...terus? Terus mau apa? M : Ya untuk mengantar bahwa jenis penelitian itu sendiri...
format skripsi. Dosen meminta mahasiswa untuk mengerti letak tahun yang lebih baik. D : Pokoknya kapan Dosen mengundang Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia kamu datang itu kan setiap mahasiswa untuk sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah saat saya layani, gitu. mengerti pesan yang seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 M : O...ya. diberikan. tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di antara mereka. Mahasiswa dan dosen membuat janji pertemuan untuk konsultasi skripsi yang akan datang. D : ... Kenapa harus Dosen mengundang Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia diulang-ulang lagi? Ini juga mahasiswa untuk sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah penelitian ini...iya ta? memberikan seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 Sebenarnya ini kamu mau konfirmasi positif tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mengatakan apa? Jenis dari asumsi dosen. mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka penelitian ta? menyelesaikan tugas akhirnya. Dosen dan mahasiswa berada pada ruangan dosen dengan posisi duduk dan saling berhadapan dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersamasama di atas meja yang berada di antara mereka. Dosen berasumsi bahwa mahasiswa hanya ingin memaparkan jenis penelitiannya pada bagian yang sedang dibicarakan dan dosen menanyakannya hal itu kepada mahasiswa karena susunannya kurang benar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
235
KEFATISAN SALAM No.
Tuturan
1. D : Kamu gimana kabarnya, (D1) ha? M : Baik Romo, dah lama menghilang...hehe. D : Menghilang ke mana? M : Ee...kerja mbantu ibu bapak.
2. M (D2) D M
: Permisi Pak. : Ya. Ini bab berapa? : Itu bab 2, 3 Pak.
Wujud Fatis D : Kamu gimana kabarnya, ha? M : Baik Romo, dah lama menghilang...hehe.
M : Permisi Pak. D : Ya. Ini bab berapa?
Maksud (Subkategori Acknowledgements) Dosen memberi salam kepada mahasiswa yang datang untuk berkonsultasi dengan menanyakan kabar.
Konteks
Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen menanyakan kabar mahasiswa yang berkonsultasi karena sudah lama tidak bertemu dan mahasiswa menjawabnya dengan senang hati. Mahasiswa memberi Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia salam kepada dosen sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang ketika memasuki laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. ruangan dan akan Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk mulai berkonsultasi mendapatkan bimbingan skripsi dalam rangka skripsi. menyelesaikan tugas akhirnya. Mahasiswa datang dan memberi salam kepada dosen sebelum duduk di hadapan dosen.
KEFATISAN TERIMA KASIH No.
Tuturan
Wujud Fatis
Maksud (Subkategori
Konteks
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
236
1. D : Nah, kadang ketika (E1) di...dibacakan karena keterbatasan waktu, maka yang membaca kadang-kadang langsung pada pokok. Jadi, tidak lagi baca kepala surat, terus identitas, nomer. M : Begitu saja, terima kasih Pak Wid. D : Oke.
M : Begitu saja, terima kasih Pak Wid. D : Oke.
2. D : Betulkan! Yang Betul! M : Hehe...ya Romo. (E2) Sambil anu sintaksis! Baca pada Makasih Romo. buku sintaksis, ya! D : Ya, sama-sama. M : Hehe...ya Romo. Makasih Romo. D : Ya, sama-sama.
3. M (E3) D M D
: Njlimet ya Romo...hehe. : Ya nggak! : Nuwun Romo. : Yo...yo...ha’a.
M D
: Nuwun Romo. : Yo...yo...ha’a.
Acknowledgements) Mahasiswa mengucapkan terima kasih kepada dosen setelah melakukan konsultasi skripsi.
Mahasiswa mengucapkan terima kasih kepada dosen setelah melakukan konsultasi skripsi.
Mahasiswa mengucapkan terima kasih kepada dosen setelah melakukan konsultasi skripsi.
Dosen adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun dan mahasiswa adalah seorang pastor yang berusia sekitar 30 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi tentang makna pragmatik dalam bahasa pengumuman yang menjadi bahan penelitiannya. Dosen dan mahasiswa berada dalam posisi duduk dengan santai dan nyaman di dalam ruangan dosen pada bagian ruangan yang menyerupai ruang tamu. Mahasiswa mengakhiri konsultasi karena merasa sudah cukup untuk saat itu dan dosen menerima ucapan terima kasih dari mahasiswa. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa mengakhiri konsultasi karena merasa sudah cukup untuk saat itu dan dosen menerima ucapan terima kasih dari mahasiswa. Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
237
skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Mahasiswa mengakhiri konsultasi karena merasa sudah cukup untuk saat itu dan dosen menerima ucapan terima kasih dari mahasiswa. KEFATISAN SELAMAT No.
Tuturan
1. D : Formatnya itu jangan (F1) begini! M : Ya. D : Ini masuk lalu ini juga alinea baru. Itu masalah format. Kalau isinya sudah...hmm. Harusnya kamu datang sekarang itu membawa bab 2 lengkap! M : O...iya Pak.
Wujud Fatis D : Ini masuk lalu ini juga alinea baru. Itu masalah format. Kalau isinya sudah...hmm. ...
Maksud (Subkategori Acknowledgements) Dosen mengucapkan selamat secara tersirat atas kualitas isi proposal yang dikonsultasikan.
Konteks Dosen adalah seorang pastor yang berusia sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen memberikan apresiasi atas hasil kerja mahasiswa pada bagian tertentu dalam skripsinya.
KEFATISAN BERDUKA CITA No.
Tuturan
1. D : ...Kenapa? Ayamnya (G1) pada mati pa?
Wujud Fatis D M
: Woo...lha terus? : Ya nggak dapet
Maksud (Subkategori Konteks Acknowledgements) Dosen Dosen adalah seorang pastor yang berusia menyampaikan rasa sekitar 50 tahun dan mahasiswa adalah seorang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
238
M : Ee...panennya nggak tepat, Romo. D : Nggak tepat terus gimana? M : Jadi kan sebenarnya...seharusnya tiga puluh hari, tapi karena ibu sama bapak ada acara nikahan di Jakarta dipanen cepet. D : Woo...lha terus? M : Ya nggak dapet modal malah obatnya mungkin nambah...hehe. D : Woo...lha terus lakunya gimana? Sedikit, gitu? M : Ya, lakunya sedikit. Nggak dapet hasil. Biasanya kan hasilnya besar.
modal malah obatnya mungkin nambah...hehe. D : Woo...lha terus lakunya gimana? Sedikit, gitu? M : Ya, lakunya sedikit. Nggak dapet hasil. Biasanya kan hasilnya besar.
penyesalannya (berduka cita) kepada mahasiwa yang sedang berkonsultasi bahwa orang tua mahasiswa itu mengalami gagal panen dari usaha ternak ayam mereka.
laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun. Mahasiswa ingin berkonsultasi untuk merevisi skripsi yang telah diselesaikannya. Dosen dan mahasiswa berada pada posisi duduk di sebuah ruang tamu pastoran dengan sebuah print out skripsi yang diamati bersama-sama di atas meja yang berada di tengah. Dosen berbasabasi dengan menanyakan hasil panen ternak ayam milik orang tua mahasiswa yang sedang berkonsultasi dan dosen mengungkapkan rasa penyesalannya kepada mahasiswa itu atas kegagalan panennya.
Yogyakarta, 14 April 2016 Triangulator
Prof. Dr. Pranowo, M.Pd.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Markus Jalu Vianugrah lahir di Sleman, Yogyakarta pada tanggal 6 April 1994. Ia mengawali pendidikan formalnya di Taman Kanakkanak Kanisius Demangan Baru, Depok, Sleman, Yogyakarta pada tahun 1999. Pendidikan tingkat sekolah dasar ia tempuh di SD Kanisius Demangan Baru yang menjadi satu lokasi dengan TK tersebut, dan
lulus
pada
tahun
2006.
Kemudian,
ia
melanjutkan studinya di SMP Negeri 5 Depok dan taman pada tahun 2009. Lalu, pendidikan tingkat menengah atas dia tempuh di SMA Negeri 1 Gamping, Tegalyoso, Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta dan tamat pada tahun 2012. Setelah menyelesaikan sekolah tingkat menengah atas, ia melanjutkan studinya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jurusan Bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia. Lalu, setelah menyelesaikan skripsinya yang berjudul Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dan ia memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia. Masa pendidikan S1 tersebut berakhir pada tahun 2016.
239