REPRESENTASI SOSIAL PERTANIAN PADA PEMUDA TANI DI KOMUNITAS PERTANIAN LAHAN KERING (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)
Hurriyatun Nadra I34062082
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRACT HURRIYATUN NADRA. Social Representations of Agriculture Youth Farmers in the Dryland Agriculture Community (Case Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat). Supervised by Nurmala K. Pandjaitan. Lack of interest in the young labor force to work in the agricultural sector became one of concern for agricultural sustainability in Indonesia. The decline would have youth-related social representations of farm youth. How young people view rural agriculture is an interesting thing to learn. The purpose of this research was to determine the social representation of children of farmers for agriculture and how this relates to socio-economic characteristics, in Desa Pasawahan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. The number of respondents in this research were 40 people with incidental sampling, with 16-25 years age and they are farmer's son. In general, the social representations of youth tends to positive. However, farm youth still see agriculture in terms of workload, so they are unwilling to work in the agricultural sector for the future. Both social representation of agriculture and farm work in farm youths are the same. In general, youth farm represented that agriculture and work of farmers as an agricultural activities which is related to physical strength on farms. In contrast to agriculture and farm work, the young peasant farmers represent a positive affection from professional farmers. To land, a young peasant represent as a means of working agricultural land conditions that are less satisfying. Meanwhile, dry land, farm youth in general represent the negative affection of dry land. Individual characteristics associated with farm youth social representations shown on the social representation of farmers, land, and dry land. While socialization farm jobs associated with the social representations of social representations shown on dry land.
Keywords: social representations, agriculture, youth farming, dry land
RINGKASAN HURRIYATUN NADRA. REPRESENTASI SOSIAL PERTANIAN PADA PEMUDA TANI DI KOMUNITAS PERTANIAN LAHAN KERING Kasus: Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. (Di bawah bimbingan NURMALA K. PANDJAITAN) Permasalahan regenerasi angkatan kerja pertanian menjadi sorotan dalam perkembangan sektor pertanian. Hal ini disebabkan oleh menjauhnya sawah dan kehidupan pertanian dari bayangan ideal generasi muda tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Potret yang ada di sejumlah desa dimana profesi petani hanya digeluti oleh mereka yang sudah berusia lanjut, sedangkan kaum muda lebih senang menggeluti pekerjaan lain, salah satunya disebabkan karena sektor pertanian dinilai tidak lagi menguntungkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana representasi sosial pemuda tani terhadap pertanian dan bagaimana hubungan antara karakteristik sosial ekonomi pemuda tani serta sosialisasi aktivitas pertanian dengan representasi sosial. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan rujukan kepada para peneliti dan pemerintah desa agar penurunan minat generasi muda terhadap pekerjaan sektor pertanian dapat dicegah. Populasi dari penelitian ini adalah pemuda tani yang berusia antara 16 tahun sampai 25 tahun yang berada di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Jumlah responden yang diambil adalah 40 orang. Responden sejumlah 40 orang ini diambil dengan teknik incidental sampling dengan pertimbangan bahwa pada waktu penelitian, ditemukan responden yang memenuhi syarat dan bersedia untuk mengisi kuesioner, maka akan langsung diberikan kuesioner oleh enumerator. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer diperoleh secara langsung di lapangan dari hasil kuesioner. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007 tipe 12.0.4518.1014, tabel frekuensi, tabulasi silang, serta uji korelasi chi square. Representasi sosial pertanian dan pekerjaan tani pada pemuda tani di Desa Pasawahan dapat dikatakan sama. Secara umum pemuda merepresentasikan pertanian dan pekerjaan tani sebagai aktivitas pertanian yang berkaitan dengan
tenaga fisik yang dilakukan di lahan pertanian. Berbeda dengan pertanian dan pekerjaan tani, pemuda tani merepresentasikan petani sebagai afeksi positif dari profesi petani. Untuk lahan, pemuda tani merepresentasikannya sebagai sarana kerja pertanian dengan kondisi lahan yang kurang memuaskan. Sedangkan lahan kering, pemuda tani secara umum merepresentasikan afeksi negatif dari lahan kering. Secara umum, representasi sosial pemuda tani terhadap pertanian, pekerjaan tani, petani, lahan, serta lahan kering secara tidak langsung dipengaruhi oleh konteks lingkungan pertanian di desa tersebut. Representasi sosial pertanian ternyata tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan karakteristik individu, sosialisasi pengajaran bertani, serta intensitas keikutsertaan pemuda tani dalam aktivitas pertanian. Representasi sosial pekerjaan tani ternyata mempunyai hubungan yang signifikan dengan status kepemilikan lahan, tingkat sosialisasi, dan frekuensi keikutsertaan dalam aktivitas pertanian.Untuk representasi sosial petani, terdapat hubungan yang signifikan terhadap karakteristik individu yaitu usia, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan luas penguasaan lahan. Pada representasi sosial pada lahan terdapat hubungan yang signifikan terhadap karakteristik individu yaitu status perkawinan dan luas penguasaan lahan pertanian. Pada representasi sosial lahan kering terdapat hubungan yang signifikan terhadap karakteristik individu yaitu jenis kelamin dan status perkawinan, serta terdapat hubungan yang signifikan terhadap tingkat sosialisasi dalam aktivitas pertanian.
REPRESENTASI SOSIAL PERTANIAN PADA PEMUDA TANI DI KOMUNITAS PERTANIAN LAHAN KERING (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)
Oleh: HURRIYATUN NADRA I34062082
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Hurriyatun Nadra NRP : I34062082 Program Studi : Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul Skripsi : Representasi Sosial Pertanian pada Pemuda Tani di Komunitas Pertanian Lahan Kering (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat) dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui Dosen Pembimbing,
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA NIP. 19591114 198811 2001
Mengetahui Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1003
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “REPRESENTASI SOSIAL PERTANIAN PADA PEMUDA TANI DI KOMUNITAS PERTANIAN LAHAN KERING (KASUS DESA PASAWAHAN, KECAMATAN BANJARSARI, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. Bogor, Februari 2010
HURRIYATUN NADRA I34062082
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Kemayoran, Jakarta Pusat, 18 Oktober 1987 sebagai anak kedua dari empat bersaudara pasangan Bapak H.Misdja,SE dan Ibu Hj.Nur Rahmi. Penulis menyelesaikan sekolah menengah atas pada SMA Negeri 2 Bekasi pada tahun 2005. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, disamping kegiatan asistensi. Penulis menjadi Asisten M.K. Dasar-dasar Komunikasi selama dua semester tahun 2008-2009. Penulis menjadi anggota di Forum Syiar Islam Fakultas Ekologi Manusia (FORSIA) periode 2008-2009 dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) periode 2009-2010 Divisi Pengembangan Budaya, Olahraga dan Seni (PBOS). Penulis juga pernah mengikuti kepanitiaan Indonesian Ecology Expo 2009 (INDEX 2009) dan 2ndESPENT (Second Ecology Sport Event).
2
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam skripsi ini adalah Representasi Sosial Pertanian pada Pemuda Tani di Komunitas Pertanian Lahan Kering (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat). Penulisan skripsi ini merupakan syarat kelulusan mata kuliah KPM 499. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis bagaimana representasi sosial pemuda tani terhadap pertanian dan bagaimana hubungan karakteristik sosial ekonomi pemuda tani dan sosialisasi dalam aktivitas pertanian dengan representasi sosial pemuda tani terhadap pertanian di lahan kering. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing, serta pihak-pihak yang membantu penulis, baik langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan penulisan usulan penelitian. Demikian skripsi ini penulis sampaikan semoga bermanfaat. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sedalamdalamnya kepada: 1. Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS DEA sebagai dosen pembimbing studi pustaka dan skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta kesabarannya selama ini. 2. Keluarga tercinta, mama, papa, kak Nadiya Mawaddah, SP (GMSK 41), Rifa’Atul Mahmudah dan Safira Salsabila, yang selalu memberikan dukungan, doa, kasih sayang dan motivasi. 3. Gae’ dan Umi tersayang yang selalu memberi dukungan, doa, semangat, dan kasih sayangnya selama ini. 4. Dwinanto Hermawan, S.Kom yang selalu memberikan dorongan, doa, semangat dan kasih sayangnya kepada penulis.
3
5. Teman-temanku tercinta, Ayu, Rany, Amel, Arif, dan Utut, yang selalu mendukung dalam penulisan skripsi ini, dan menjadi tempat bertukar pikiran jika mengalami hambatan dalam penulisan. 6. Teman-teman kost Lukita, terutama Ektawati dan Kartika Eka Putri atas bantuannya selama penulis menyusun skripsi. 7. Teman-teman dari Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 43, Ani, Selly, Andris, Cecep, Abdillah, Azis, Fajar, Ogi, Untung, Hendra. 8. Teman-teman dari Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 42, Uday, Tamimi, Wagner dan Mba Galuh (41), sebagai tempat sharing jika mengalami hambatan dalam penulisan. 9. Teman-teman seperjuangan ‘akselerasi’ yang selalu mendukung dan membantu dalam penyelesaian skripsi. 10. Teman-teman dari Sajogyo Institute (SAINS) yaitu Mas Eko, Mas Didi dan Mba Laksmi yang telah mendukung penulis dalam penulisan skripsi. 11. Kepala desa Pasawahan, kepala dusun, ketua gapoktan yang telah membantu kelancaran penulis dalam memperoleh data desa dan hal-hal lain yang tentunya sangat berguna melengkapi penulisan skripsi ini. 12. Pemuda Pasawahan, Anak-anak SMP Plus Pasawahan dan SMK 1 Cipaku, serta OTL-OTL yang ada di Banjarsari, yang telah membantu penulis pada saat penelitian. 13. Teh Linda serta guru-guru SMP Plus Pasawahan yang telah mendukung berlangsungnya penelitian ini. 14. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan dan kerjasamanya selama ini sehingga memberikan warna dalam hidup penulis. Penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait. Bogor, Februari 2010 Hurriyatun Nadra
4
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................... DAFTAR TABEL....................................................................................... DAFTAR GAMBAR................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1.1 Latar Belakang........................................................................ 1.2 Masalah Penelitian.................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian.................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian................................................................ BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................... 2.1 Makna dan Representasi Sosial............................................... Pengukuran Representasi Sosial............................................. 2.2 Dimensi Makna Kerja Pertanian 2.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Representasi 2.4 Sosial....................................................................................... Karakteristik Pemuda Tani..................................................... 2.5 Pertanian di Indonesia............................................................. 2.6 Komposisi Usia Tenaga Kerja Pertanian................................ 2.7 Peluang Kerja Sektor Pertanian di Indonesia......................... 2.8 BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................. Lokasi dan Waktu................................................................... 3.1 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data...................................... 3.2 Teknik Pemilihan Responden................................................. 3.3 Teknik Analisis Data.............................................................. 3.4 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI............................................ Letak dan Keadaan Fisik......................................................... 4.1 Keadaan Penduduk dan Penguasaan Lahan............................ 4.2 Mata Pencaharian Penduduk................................................... 4.3 Tingkat Pendidikan................................................................. 4.4 4.5 Aspek Sosial Budaya Pertanian di Pasawahan....................... BAB V HUBUNGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PEMUDA TANI DENGAN SOSIALISASI AKTIVITAS PERTANIAN.......................................................................... 5.1 Karakteristik Sosial Ekonomi................................................. 5.1.1 Karakteristik Individu Pemuda Tani............................................................................. 5.1.2 Pekerjaan Orangtua Pemuda Tani............................... 5.2 Hubungan Karakteristik Individu Pemuda Tani dan Sosialisasi dalam Aktivitas Pertanian..................................... BAB VI 6.1
REPRESENTASI SOSIAL PEMUDA TANI........................ Dimensi Pola Pekerjaan dan Pandangan Terhadap Kerja........................................................................................ 6.1.1 Representasi Sosial Pertanian.....................................
Halaman x xii xiv xv 1 1 4 4 4 6 6 10 11 16 20 21 25 26 37 37 38 41 41 43 43 45 46 47 48 50 50 50 51 52 55 55 55
5
6.1.2 Representasi Sosial Pekerjaan Tani............................ 6.1.3 Representasi Sosial Petani.......................................... 6.2 Dimensi Lahan........................................................................ 6.2.1 Representasi Sosial Lahan.......................................... 6.2.2 Representasi Sosial Lahan Kering.............................. BAB VII HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU PEMUDA TANI, SOSIALISASI PEKERJAAN TANI, DAN INTENSITAS KEIKUTSERTAAN DALAM AKTIVITAS PERTANIAN DENGAN REPRESENTASI SOSIAL................................................................................... 7.1 Hubungan Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial....................................................................................... 7.1.1 Hubungan Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Pertanian..................................... 7.1.2 Hubungan Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Pekerjaan Tani............................ 7.1.3 Hubungan Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Petani.......................................... 7.1.4 Hubungan Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Lahan.......................................... 7.1.5 Hubungan Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Lahan Kering.............................. 7.2 Hubungan Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial....................................................................................... 7.2.1 Hubungan Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Pertanian..................................... 7.2.2 Hubungan Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Pekerjaan Tani............................ 7.2.3 Hubungan Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Petani.......................................... 7.2.4 Hubungan Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Lahan.......................................... 7.2.5 Hubungan Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Lahan Kering.............................. 7.3 Hubungan Intensitas Keikutsertaan dalam Aktivitas Pertanian dengan Representasi Sosial..................................... BAB VIII PENUTUP............................................................................... 8.1 Kesimpulan............................................................................. 8.2 Saran....................................................................................... DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
56 63 64 64 69
72 72 72 72 73 75 76 77 77 77 77 78 78 79 81 81 83 84
6
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8.
Tabel 9.
Tabel 10. Tabel 11.
Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14.
Luas dan penyebaran lahan kering di dataran rendah dan tinggi (hektar) di Indonesia, tahun 2002.......................... Rata-rata hasil beberapa komoditas tanaman pangan di lahan kering(ton/hektar) di Indonesia, tahun 1998........... Jumlah Pekerja di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia Berdasarkan Golongan Umur (Orang), 1982 – 2003................................................................................... Luas Wilayah Desa Pasawahan Berdasarkan Tataguna Tanah Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008......................................... Jumlah Penduduk menurut Golongan Usia, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008......................................................................... Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Kepemilikan Lahan di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008....................... Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008......................................... Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008......................................................................... Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Karakteristik Pemuda Tani, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, tahun 2009......................................................................... Jumlah dan Persentase Pemuda tani berdasarkan Pekerjaan Orangtua, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, tahun 2009... Tabulasi Silang antara Karakteristik Individu Responden dan Sosialisasi Aktivitas Pertanian, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, tahun 2009..................................................... Jumlah dan Persentase Asosiasi Kata Pertanian Berdasarkan Kategori Kata Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2009... Jumlah dan Persentase Asosiasi Kata Pekerjaan Tani Berdasarkan Kategori Kata Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2009.... Jumlah dan Persentase Aspek Afektif terhadap Pekerjaan Tani, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2009......................
24 25 26 44 45 46 47
47
50 52
53 55 57 58
7
Tabel 15. Tabel 16. Tabel 17. Tabel 18.
Jumlah dan Persentase Asosiasi Kata Petani Berdasarkan Kategori Kata Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2009.... Jumlah dan Persentase Asosiasi Kata Lahan Berdasarkan Kategori Kata Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2009.... Jumlah dan Persentase Representasi Pemuda tani terhadap Lahan Pertanian Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2009....................... Jumlah dan Persentase Asosiasi Kata Lahan Kering Berdasarkan Kategori Kata Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2009....
63 65 66 69
8
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2.
Kerangka Pemikiran Operasional................................... Contoh Penggunaan Skala Perbedaan Semantik............
Halaman 29 40
9
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19. Lampiran 20.
Tabulasi Silang Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Pertanian................................... Tabulasi Silang Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Pertanian................................... Tabulasi Silang Intensitas Keikutsertaan Aktivitas Pertanian dengan Representasi Sosial Pertanian....... Tabulasi Silang Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Pekerjaan Tani........................... Tabulasi Silang Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Pekerjaan Tani........................... Tabulasi Silang Intensitas Keikutsertaan Aktivitas Pertanian dengan Representasi Sosial Pekerjaan Tani........................................................................... Tabulasi Silang Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Petani........................................ Tabulasi Silang Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Petani........................................ Tabulasi Silang Intensitas Keikutsertaan Aktivitas Pertanian dengan Representasi Sosial Pekerjaan Tani........................................................................... Tabulasi Silang Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Lahan........................................ Tabulasi Silang Sosialisasi Pekerjaan Pertanian dengan Representasi Sosial Lahan............................ Tabulasi Silang Intensitas Keikutsertaan Aktivitas Pertanian dengan Representasi Sosial Lahan........... Tabulasi Silang Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Lahan Kering............................ Tabulasi Silang Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Lahan Kering............................ Tabulasi Silang Intensitas Keikutsertaan Aktivitas Pertanian dengan Representasi Sosial Lahan Kering........................................................................ Kategori Kata Representasi Sosial Pertanian............ Kategori Kata Representasi Sosial Pekerjaan Tani... Kategori Kata Representasi Sosial Petani................. Kategori Kata Representasi Sosial Lahan................. Kategori Kata Representasi Sosial Lahan Kering.....
87 88 88 89 90 90 91 92 92 93 94 94 95 96 96 97 97 98 98 99
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan 71,33 persen dari luas lahan
yang ada digunakan untuk usaha pertanian. Angka itu setara dengan 52,36 juta hektar pada tahun 2004 (BPS 2005). Dengan lahan seluas ini, tentunya dibutuhkan banyak sekali tenaga kerja. Pada kenyataannya, sebagian besar penduduk Indonesia memang hidup di pedesaan dan bekerja sebagai petani (Banowidjojo 1983 dikutip Amelia 2005). Jumlahnya hingga tahun 2006 tercatat mencapai 42,05 persen dari total penduduk negeri ini (BPS 2007), namun yang perlu diperhatikan, jumlah tersebut cenderung menurun sepanjang tahun-tahun belakangan. Tercatat pada tahun 2002, angkatan kerja pertanian di Indonesia mencapai jumlah 44,31 persen (BPS 2003). Permasalahan berikutnya adalah sejumlah indikator nasional menunjukkan adanya kecenderungan penuaan pada usia angkatan kerja pertanian. Sensus terhadap petani di Jawa Barat (BPS 2000) misalnya, menunjukkan bahwa proporsi angkatan kerja pertanian terbanyak terdapat pada segmen usia di atas 40 tahun (54,05 persen), diikuti segmen usia 30 - 39 tahun (23,43 persen) dan segmen usia di bawah 30 tahun (22,52 persen). Kondisi ini bergeser jauh dibanding tahun 1988 dimana komposisi angkatan kerja pertanian masih merata antar semua segmen usia. Kurangnya minat angkatan kerja muda untuk bekerja dan berusaha di sektor pertanian menjadi salah satu kekhawatiran dalam pembangunan sektor ini (Tarigan 2004). Oleh karena, kelangkaan sumberdaya manusia di sektor pertanian atau keterlibatan sebagian besar tenaga kerja pertanian yang setengah terpaksa
2
akibat tidak tersedianya alternatif lain dapat mengakibatkan proses produksi pertanian menjadi kurang optimal. Hal ini pada gilirannya akan mengakibatkan produktivitas tenaga kerja mengalami hal yang sama. Jika hal tersebut terjadi secara berkelanjutan maka akan menghambat perkembangan sektor pertanian itu sendiri. Dampaknya sudah jelas, mulai dari perekonomian masyarakat petani pedesaan hingga ketersediaan produksi beras nasional dipastikan terancam. Permasalahan regenerasi angkatan kerja pertanian menjadi sorotan dalam hal ini. Oleh karena menjauhnya sawah dan kehidupan pertanian dari bayangan ideal generasi muda tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Potret yang ada di sejumlah desa dimana profesi petani hanya digeluti oleh mereka yang sudah berusia lanjut, sedangkan kaum muda lebih senang menggeluti pekerjaan lain, salah
satunya
disebabkan
karena
sektor
pertanian
dinilai
tidak
lagi
menguntungkan. 1 Kesulitan hidup yang dihadapi petani mendorong mereka untuk berpikir realistis agar anak-anak mereka dapat hidup lebih baik dari kehidupan yang dijalaninya. Kenyataan bahwa lapangan pekerjaan di sektor pertanian tidak dapat dijadikan andalan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga turut membentuk pandangan petani agar anak-anak mereka tidak lagi bekerja di sawah sebagaimana orangtuanya (Arwani 2001). Hasil penelitian Tarigan (2004) menyatakan bahwa secara umum pemuda merepresentasikan pekerjaan yang kurang bergengsi secara status sosial. Angkatan kerja muda pedesaan khususnya pemuda tani, jarang yang memiliki
1 http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=183302&actmenu=36 (diakses pada 13 Maret 2009)
3
minat untuk bekerja di pertanian. Hal ini disebabkan karena angkatan kerja muda tidak mau ikut dalam kerasnya kerja dalam pertanian. Pekerjaan pertanian dipandang identik dengan kotor, perlu kerja keras, dan kelelahan. Pemikiran ini muncul karena mereka melihat orangtua mereka yang kelelahan ketika bekerja. Penelitian selama ini lebih melihat pada pertanian sawah (lahan basah), bagaimana di lahan kering yang umumnya tingkat kesuburan lahan dan tingkat produktivitas lahan yang lebih rendah dari sawah. Mungkinkah pertanian semakin tidak diminati oleh pemuda di pedesaan. Menarik untuk dipelajari, bagaimana kaum muda pedesaan memandang pekerjaan pertanian. Apakah benar mereka memandang pertanian sebagai peluang kerja yang kurang menguntungkan ataukah sebaliknya masih dipandang sebagai peluang bekerja yang dapat memberikan nafkah bagi keluarganya. Hal inilah yang menentukan apakah kelak pemuda tani ini akan meneruskan pekerjaan orangtua mereka sebagai petani ataukah mereka akan mencari pekerjaan di sektor non-pertanian. Hal tersebut dapat dipahami melalui teori representasi sosial. Moscovici (1961) dikutip oleh Abric (1976) menyatakan bahwa dalam memahami suatu objek tertentu, manusia melakukan pembelajaran dari realitas sosial yang ada dalam
masyarakat
yang
prosesnya
disebut
dengan
representasi
sosial.
Representasi sosial ini dibentuk dan dikomunikasikan melalui proses komunikasi secara sekaligus. Dalam representasi sosial ada sebuah informasi yang disebarkan, kemudian pengetahuan ini menjadi sebuah pengetahuan sosial yang dipahami bersama. Idhamsyah et al. (2009) menyatakan bahwa konteks lingkungan berperan dalam membentuk representasi sosial mengenai suatu objek. Konteks lingkungan yang berbeda tentunya representasi yang terbentuk pun akan berbeda.
4
1.2
Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah penelitian ini
adalah: 1.
Bagaimana representasi sosial pemuda tani terhadap pertanian di Desa Pasawahan?
2.
Bagaimana hubungan antara karakteristik individu pemuda tani, sosialisasi pekerjaan pertanian, dan intensitas keikutsertaan pemuda tani pada aktivitas pertanian dengan representasi sosial tentang pertanian lahan kering di Desa Pasawahan?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1.
Mengidentifikasi representasi sosial pemuda tani terhadap pertanian di Desa Pasawahan.
2.
Mengidentifikasi hubungan antara karakteristik individu pemuda tani, sosialisasi pekerjaan pertanian, dan intensitas keikutsertaan pemuda tani pada aktivitas pertanian dengan representasi sosial tentang pertanian lahan kering di Desa Pasawahan.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini penting karena ditempatkan dalam konteks Indonesia sebagai
negara agraris dengan luas lahan dan jumlah tenaga kerja yang dominan di sektor pertanian. Lebih jauh, berbicara keberlanjutan ketersediaan tenaga kerja pertanian juga berarti berbicara tentang keberlanjutan produksi pertanian yang pada
5
gilirannya menentukan tercukupinya pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Oleh karena itu, selain bermanfaat sebagai bagian dari pendalaman pustaka dan informasi mengenai representasi sosial pemuda tani pedesaan, lebih jauh penelitian ini diharapkan menjadi dasar bagi pengembangan kebijakan terkait regenerasi tenaga kerja pertanian ke depan.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Makna dan Representasi Sosial Makna (meaning) dinyatakan sebagai representasi internal yaitu suatu
proses yang diawali dengan stimulus fisik dari luar kemudian mendapat respon internal sampai akhirnya menciptakan respons yang tampak sebagai perilaku. Makna diperoleh melalui interaksi sosial yang dialami oleh seseorang. Selain itu, dalam pemaknaan individu terhadap suatu simbol terdapat beberapa hal yang mempengaruhi pola pikir (pemahaman simbol) antara lain sifat alamiah individu, pengalaman, pengetahuan, budaya, dan struktur sosial masyarakat tempat individu tinggal (Whyte 1991 dikutip Hamzah 2008). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan oleh para ilmuwan, masyarakat juga mengembangkan pengetahuan mereka sendiri mengenai fenomena atau obyek yang ada di dunia. Salah satu cara dalam menangkap representasi
mental
masyarakat
mengenai
suatu
objek
adalah
dengan
menggunakan teori representasi sosial yang pertama kali dikembangkan oleh Serge Moscovici pada tahun 1963. Salah satu poin penting dalam teori representasi sosial adalah dikajinya hubungan yang erat antara aspek subyektif dan obyektif (Wagner & Hayes 2005 dikutip Idhamsyah et al. 2009). Representasi sosial dapat dipahami sebagai sebuah sistem sosial yang berfungsi ganda, seperti yang disampaikan oleh Moscovici (1973) dikutip oleh Idhamsyah et al. (2009) sebagai berikut: “Sebuah sistem nilai, ide dan praktik dengan 2 fungsi utama: pertama, untuk membentuk keteraturan yang membantu manusia mengarahkan serta
7
menguasai diri mereka dalam dunia material dan sosial. Kedua, untuk membantu agar komunikasi terjadi diantara anggota dari sebuah komunitas dengan menyediakan kepada mereka sebuah kode untuk pertukaran sosial, serta menamai dan mengklasifikasikan secara ambigu berbagai macam aspek dari dunia, individu, dan sejarah kelompok (Moscovici 1973). Definisi yang lebih sederhana disampaikan oleh Jodelet (1984) dikutip oleh Idhamsyah et al. (2009) yang menekankan pada pikiran umum (common knowledge) yang merupakan sebuah proses berpikir sosial yang berkembang melalui adanya interaksi dan komunikasi yang dijelaskan sebagai berikut: “… a specific form of knowledge –common knowledge- whose contents show the operation of generative processes and socially marked functions. More broadly, it refers to a form of social thinking. The social marking of contents or processes of representations refers to conditions and contexts in which those representation reveal themselves in communication and through which they circulated and the fuctions thoses representations serve in interactions with the world and with others” (Jodelet 1984 dikutip Idhamsyah et al. 2009). Moscovici dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa representasi sosial adalah suatu proses untuk memahami suatu obyek, orang dan peristiwa yang diperoleh dari ide-ide implisit, eksplisit dan simbol-simbol, kemudian mengkomunikasikannya kepada individu-individu lain yang ada dalam kelompok. Dalam representasi sosial ada sebuah informasi yang disebarkan, kemudian pengetahuan ini menjadi sebuah pengetahuan sosial. Tujuan utama dari proses representasi sosial adalah mengubah informasi yang unfamiliar menjadi familiar.
8
Menurut Jost dan Ignatow (2001), representasi sosial menyajikan dinamika sosial dan kultural yang membentuk manusia serta keyakinan bersama tentang kenyataan yang bersifat alami secara empiris, yang sangat dinamis dan mengabaikan pengaruh kekuasaan dalam kognisi sosial. Representasi sosial didefinisikan sebagai shared symbolic product yang harus didefinisikan melalui koordinasi dan kerjasama antar individual, yang mana membutuhkan pertunjukan yang menampilkan kreasi atau adopsi dari representasi sosial yang memudahkan pelaksanaannya dalam kelompok. Menurut Campbell (1963) dikutip oleh Bergmann (1998) dinyatakan bahwa representasi sosial, attitudes dan values dapat dipertimbangkan sebagai “acquired behavioural
dispositions”.
Behavioural
dispositions
ini
mengacu
pada
kecenderungan untuk bertingkah laku. Disposisi perilaku ini merupakan suatu kekuatan
yang
mengkategorisasikan,
menyalurkan
manusia
mengorganisasikan
atau
dalam memilih,
mempersepsikan, namun
memiliki
beberapa konsekuensi. Kecenderungan berperilaku yang diperoleh dalam perasaan hampir seluruhnya adalah kecenderungan berperilaku yang telah disosialisasikan. (Lazarsfeld, Berelson, & Gaudet 1968; Campbell, Converse, Miller, & Stokes 1964 dikutip Bergmann 1998). Oleh sebab itu, representasi sosial, attitudes dan values secara kuat dibentuk dari sejarah masa lalu, keanggotaan dalam kelompok, kelompok acuan, dan tergantung dari pengalaman dalam momen tertentu. Attitudes, values dan representasi sosial secara substansi terkadang terjadi tumpang tindih (overlap), namun terdapat perbedaan diantara ketiganya. Attitudes merupakan pengambilan posisi ke arah sesuatu yang abstrak atau konkrit, yang bisa saja stabil tetapi dapat sangat tergantung pada konteks tertentu. Values
9
merupakan cara, alat dan tujuan yang menunjuk pada beberapa tujuan kolektif. Sedangkan representasi sosial adalah suatu sistem yang dapat mentransformasikan hal yang tidak diketahui menjadi sesuatu yang dapat diketahui, yang berbeda dari dibentuk attitude dan values, atau bisa oleh attitudes dan values (Bergmann 1998). Begitu pula Idhamsyah et al. (2009) menyatakan bahwa konteks lingkungan berpengaruh terhadap representasi sosial. Abric (1976) dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa representasi sosial terdiri dari beberapa elemen yakni informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Elemen-elemen ini terorganisasi dan terstruktur kemudian membentuk suatu sistem sosial-kognitif seseorang. Representasi sosial terdiri dari dua bagian yaitu central core dan peripheral core. Abric (1993) dikutip oleh Adriana (2009) menyatakan bahwa central core ditentukan oleh beberapa hal yakni obyek itu sendiri, jenis hubungan antara obyek tersebut dengan suatu kelompok, serta oleh nilai dan norma sosial yang meliputi ideologi dari konteks yang ada di lingkungan pada saat itu dalam suatu kelompok tersebut. Elemen peripheral dapat ditemukan di sekitar central core, memiliki sifat yang konkret dan merupakan elemen yang paling dapat diakses secara langsung. Elemen ini bersifat lebih fleksibel bila dibandingkan dengan central core. Ketika ada informasi baru atau perubahan baru masuk dan menyatu dalam suatu proses representasi, maka elemen ini akan dipinggirkan kehadirannya, lalu mengartikannya kembali pada pola central yang ada, atau dengan memberinya karakter tertentu. Hal ini dapat mendukung perkembangan dan pergerakan dari suatu representasi.
10
Jadi, representasi sosial merupakan suatu sistem yang dapat memahami konsep-konsep mental, lalu menciptakan suatu pemaknaan dari konsep tersebut yang lebih dipahami bersama dalam linkungan sosial. Pemaknaan bersama ini diperoleh melalui proses komunikasi yang terjadi dalam lingkungan sosial atau komunitas yang terjadi secara terus-menerus.
2.2
Pengukuran Representasi Sosial Idhamsyah et al. (2009), melakukan penelitian representasi sosial tentang
pemimpin. Representasi sosial tentang pemimpin ini diukur dengan menggunakan teknik asosiasi kata untuk mengumpulkan data dalam bentuk kuesioner. Partisipan diminta untuk menuliskan lima kata yang terlintas di benak mereka ketika mereka membaca kata pemimpin. Kemudian, dari kelima kata yang telah dituliskan, partisipan diminta untuk mengurutkannya berdasarkan kata yang paling merepresentasikan arti pemimpin sampai kata yang dipandang paling tidak merepresentasikan arti pemimpin. Partisipan juga diminta untuk menjelaskan arti dan maksud asosiasi kata yang telah mereka tuliskan dalam kuesioner. Teknik pengukuran ini dapat menjelaskan representasi mental yang ada dalam sebuah masyarakat mengenai sebuah obyek tertentu, dalam hal ini adalah makna pemimpin. Pada tahap awal, dicari kata-kata apa saja yang muncul untuk memaknai kata pemimpin untuk keperluan pengkodean. Pada tahap ini dicari seberapa banyak kata yang digunakan partisipan pada masing-masing kelompok dan kota untuk menggambarkan kata pemimpin untuk melihat perbedaan antar kelompok. Selanjutnya, kata-kata yang serupa dan memiliki karakteristik yang sama
11
dikelompok-kelompokkan sampai diperoleh beberapa kategori besar. Berdasarkan definisi yang diberikan partisipan, kata-kata tersebut kemudian dikode ulang kedalam kategori besar tersebut untuk memperoleh klasifikasi yang lebih general. Data diolah lebih lanjut untuk melihat frekuensi pada masing-masing kategori besar.
2.3
Dimensi Makna Kerja Pertanian Tjakrawati (1988) menyatakan makna kerja pertanian melalui nilai kerja.
Dalam tesisnya dinyatakan bahwa nilai sebagai konsepsi baik buruknya yang dihayati seseorang dan sebagian besar warga masyarakat yang memberi pedoman untuk memilih perilaku dalam menghadapi situasi tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nilai merupakan cara pandang suatu komunitas tentang baik atau buruknya suatu obyek yang dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat serta pengetahuan yang diadopsi telah masyarakat tersebut yang selanjutnya akan mempengaruhi seseorang dalam berpikir dan bertindak. Menurut Tjakrawati (1988), makna kerja pertanian dapat diukur dari tujuh dimensi yaitu: 1.
Dimensi Lahan Lahan bagi petani di daerah persawahan memiliki nilai ekonomis dan juga
nilai sosial. Nilai ekonomis lahan terlihat melalui usaha petani dalam menghimpun lahan, melalui pemilikan atau penguasaan, dan mempertahankan lahan yang telah dimilikinya. Semakin luas lahan yang dimiliki maka keuntungan dari hasil pertanian yang diperoleh pun semakin banyak. Hal ini juga didukung oleh Tarigan (2004), keuntungan ekonomis akan lebih banyak jika memiliki lahan yang luas. Nilai sosial lahan dapat menunjuk status sosial seseorang. Semakin luas
12
lahan yang dimiliki seseorang maka semakin tinggi status orang tersebut di masyarakat (Tjakrawati 1988; Amelia 2005). Hal ini juga didukung oleh Marbun (2008), ternyata dikalangan mahasiswa Batak Toba IPB lahan juga menjadi hal yang penting dalam pertanian karena status sosial seseorang ditentukan dari lahan yang dimilikinya. 2.
Dimensi Tenaga Kerja, Teknologi dan Hasil Kerja Tjakrawati (1988) menyatakan bahwa dengan kemunculan teknologi dalam
pekerjaan pertanian ternyata mempersempit peluang kerja pertanian bagi buruhtani, khususnya pemuda yang kebanyakan belum mempunyai lahan sendiri. Sempitnya peluang usaha di sektor pertanian, menjadikan pemuda lebih memilih untuk bekerja di luar sektor pertanian yang dirasa lebih mudah dijangkau oleh mereka. Selain itu, mahalnya teknologi baru dapat membuat orang enggan untuk bertani. Hal ini akan mengakibatkan minat pemuda semakin turun terhadap pekerjaan pertanian. 3.
Dimensi Modal Petani mengartikan modal sebagai barang atau uang yang tersedia untuk
pengadaan bahan-bahan dan alat-alat yang mendukung usahataninya. Seringkali modal menjadi hambatan utama dalam pelaksanaan pekerjaan pertanian. Apalagi bagi mereka yang memiliki lahan sempit. Keuntungan yang diperoleh tidak sebanding dengan modal yang telah mereka keluarkan. Tjakrawati (1988), menegaskan bahwa terbatasnya modal bertani dapat menyebabkan orang bekerja di sektor non-pertanian. Selain itu, dengan terbatasnya modal menyebabkan pemuda memanfaatkan uang kredit untuk membeli keperluan bertani.
13
4.
Dimensi Pasar, Komoditi dan Transportasi Menurut Tjakrawati (1988), pasar merupakan kegiatan menjual hasil
panennya ke pedagang melalui proses pembentukan harga. Posisi petani lemah dalam hal menentukan harga jual barang yang dimilikinya sendiri terhadap pedagang. Hal ini menyebabkan petani berpikir lebih baik hasil panennya disimpan dan dijual seperlunya daripada harus dijual ke tengkulak yang merugikan mereka. Penghasilan yang tidak tetap dari pekerjaan pertanian ini mengakibatkan banyak pemuda yang keluar dari sektor pertanian sehingga mereka melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan non-pertanian. Jika berbagai jenis kesempatan kerja/berusaha non tani ada di pedesaan dan dapat dijangkau petani, maka arus migrasi desa-kota dapat dikurangi. 5.
Dimensi Pola Pekerjaan dan Pandangan terhadap Kerja Petani menganggap jika mempunyai usaha tani dan non tani sekaligus
merupakan suatu usaha yang ideal karena keduanya saling melengkapi dalam waktu dan pendapatan. Pekerjaan tani dianggap baik karena tidak dibayangbayangi untung-rugi, tidak terikat waktu, dan santai, hasil tetap ada walau ada hama yang menyerang. Selain pekerjaan tani dianggap baik, ternyata memiliki segi buruk pula. Segi buruk pekerjaan pertanian yaitu kepanasan, kotor berlumpur, kehujanan, dan berat (Tjakrawati 1988; Marbun 2008). Hal ini didukung oleh pernyataan Tarigan (2004), masyarakat Desa Sukajembar yang menilai rendah pekerjaan pertanian. Pekerjaan ini dianggap sebagai pekerjaan melelahkan, kuno, kolot, dan sangat bertolak belakang dengan pekerjaan modern. Namun, secara moral pekerjaan usaha tani dianggap lebih halal atau bersih dari keterkaitan praktek bunga dan kemungkinan praktik-praktik
14
kecurangan (Muksin 2007). Pada komunitas nelayan, Hamzah (2008) menemukan makna kerja yang positif terhadap pekerjaan nelayan. Hal ini disebabkan dengan bekerja sebagai nelayan mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka selama ini walaupun mereka hidup sederhana sebagai nelayan. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan Gunawan (2003), masyarakat Lombe merepresentasikan kerja menjadi tiga yakni kerja sebagai strategi bertahan hidup, kerja sebagai upaya peningkatan pendapatan, dan kerja sebagai aktualisasi diri. 6.
Dimensi Hubungan dengan Teman dan Kerabat Keberhasilan teman/kerabat dan pengalaman baik dalam suatu bidang
pekerjaan menyebabkan petani mencoba dan mendalami suatu pekerjaan. Namun sebaliknya, apabila melihat kegagalan yang dialami oleh teman/kerabat dan pengalaman pahitnya, petani memilih untuk bertani karena bertani merupakan pekerjaan yang memiliki resiko rendah (Tjakrawati 1988). 7.
Dimensi Harapan-Harapan Petani mengartikan harapan sebagai suatu keadaan yang menjadi cita-
citanya yang akan terjadi kelak dikemudian hari. Cita-cita ini dapat terwujud atau tidak terwujud sesuai dengan takdir atau nasib yang tak bisa ditolak oleh siapapun. Bagi petani berlahan luas, mereka mengharapkan anak-anak mereka agar bisa bekerja di sektor pertanian mengikuti jejak orangtuanya. Akan tetapi, bagi petani yang memiliki lahan sempit maupun tak berlahan, sangat berharap anak mereka tidak bekerja di sektor pertanian. Mereka berharap anak mereka bekerja sebagai guru atau pegawai kantoran (Tjakrawati 1988). Pemahaman dan penghayatan terhadap makna pertanian menjadi relatif terkait dengan situasi dan sudut pandang tertentu. Salah satunya ialah pendekatan
15
yang digunakan Tarigan (2004) mengajukan konsep mengenai tipologi mengenai makna kerja pertanian, yang intinya pertanian merupakan: 1.
Pekerjaan Sampingan yang Aman dan Nyaman Bagi pemuda yang memiliki pekerjaan tetap non pertanian, menganggap
bahwa pekerjaan pertanian dapat menjadi sumber penghasilan yang potensial. Pertanian sebagai penopang ekonomi keluarga dinilai sangat tepat, paling tidak untuk menjaga keamanan konsumsi keluarga. Pekerjaan pertanian memiliki beberapa sifat yang mendukung untuk diusahakan bersamaan dengan pekerjaan lain yang sifatnya lebih terikat. Pertama, fleksibilitas dalam pengerjaannya, yakni bisa dikerjakan pagi, siang ataupun sore hari sehingga bagi seseorang yang bekerja sebagai pegawai negeri, masih memungkinkan untuk mengerjakan pekerjaan pertanian. Kedua, pekerjaan ini tidak mengharuskan pemilik mengerjakan langsung usahanya. Paling tidak sudah memiliki lahan, penghasilan bisa diperoleh dari hasil menyewakan lahan. Bagi pemuda yang telah memiliki pekerjaan yang tetap, berusahatani berfungsi memperoleh produksi dan menjadi momentum untuk menumpahkan kejenuhan dan kekesalan pada waktu bekerja. Secara psikologis pekerjaan pertanian juga memberi rasa nyaman dan tenang karena berada di antara masyarakat desa yang jauh dari sikap bersaing. 2.
Bisnis Pendukung yang Potensial Pandangan bahwa pertanian sebagai pekerjaan pendukung bisnis potensial
secara implisit mengandung makna bahwa proses produksinya sendiri merupakan usaha sampingan. Namun dalam kasus ini, pekerjaan utamanya sendiri masih bergerak dalam bidang komoditas pertanian. Oleh karena itu, motivasi memajukan
16
kedua pekerjaan ini (utama dan sampingan) berjalan secara bersamaan atau bersifat komplementer. 3.
Usaha dan Pekerjaan yang Prospektif Pertanian yang berorientasi pada pasar dan berproduksi cepat, dipandang
sebagai peluang bisnis yang tidak kalah menguntungkan dibandingkan dengan usaha dan pekerjaan di luar pertanian. Indikator ekonomi dipandang penting ketika memilih pekerjaan bertani di desa. Artinya pertanian dipandang prospektif karena dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar secara ekonomi di masa depan. Pandangan ini memotivasi pemuda untuk aktif mencari dan menerapkan inovasi baru berkaitan dengan teknik produksi dan pemasaran hasil pertanian. 4.
Usaha dan Pekerjaan Hari Tua Bagi pemuda yang memandang pekerjaan pertanian sebagai usaha dan
pekerjaan hari tua menganggap pekerjaan pertanian dinilai aman karena bisa menghasilkan produksi yang relatif stabil terhadap gejolak politik atau kondisi perekonomian negara, dan nyaman karena berada diantara komunitas asalnya yang dinilai tenang, ramah, penuh rasa kekeluargaan. Oleh karena itu, pemuda yang akan menekuni pekerjaan pertanian dihari tua akan secara rutin menabung dari sebagian penghasilannya untuk dibelikan lahan pertanian di desa.
2.4
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Representasi Sosial Berdasarkan penelitian Chandra (2004), Amelia (2005), Tarigan (2004), dan
Tjakrawati (1988) maka diperoleh beberapa faktor yang berhubungan dengan makna kerja pertanian bagi pemuda tani pedesaan yang digunakan untuk mengukur representasi sosial, antara lain:
17
1.
Usia Arti kerja pertanian pada pemuda terhadap pekerjaan pertanian terdapat dua
arti menurut golongan usia mereka. Bagi pemuda (remaja) mengartikan pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan sementara sebelum mereka mendapat pekerjaan yang mereka harapkan. Sedangkan pemuda (dewasa) mempersepsikan pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang sesuai dengan usia mereka yang sudah berkeluarga. Hal ini yang menyebabkan mereka tetap bertahan bekerja di sektor pertanian (Chandra 2004; Amelia 2005). Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Tarigan (2004), semakin muda usia maka semakin negatif arti kerja pertanian bagi pemuda pedesaan. Begitupun sebaliknya, semakin tua usia maka semakin positif arti kerja pertanian bagi pemuda pedesaan. 2.
Jenis Kelamin Hubungan ini lebih tertuju pada persepsi masyarakat dan pemuda mengenai
karakteristik pekerjaan pertanian. Pekerjaan pertanian mempunyai ciri-ciri diantaranya butuh tenaga kuat, dapat merusak penampilan karena ruang kerjanya di bawah terik sinar matahari dan kotor sehingga lebih sesuai untuk kaum pria. Wanita hanya terlibat dalam pekerjaan pemeliharaan dan proses panen. Akhirnya pekerjaan pertanian lebih ditekuni oleh pria akibat tuntutan sebagai penanggung jawab ekonomi keluarga (Tarigan 2004; Chandra 2004). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Gunawan (2003), kinerja perempuan lebih dominan dalam menggerakkan roda perekonomian dibandingkan dengan laki-laki karena laki-laki lebih sering merantau ke kota. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan konteks budaya masing-masing daerah. Jadi, laki-laki lebih memiliki persepsi yang positif terhadap pekerjaan pertanian dibandingkan perempuan.
18
3.
Status Kepemilikan dan Luas Lahan Usahatani Jika bekerja sebagai petani dan memiliki lahan sendiri, maka nilai statusnya
lebih tinggi karena dianggap sebagai orang yang memberi makan warga lainnya. Semakin luas lahan yang dimiliki maka semakin positif persepsi pemuda terhadap pekerjaan pertanian (Chandra 2004; Amelia 2005). Hal ini didukung oleh pernyataan Tarigan (2004), bahwa semakin luas lahan yang dimiliki oleh pemuda maka semakin positif representasi mereka terhadap pekerjaan pertanian. 4.
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan merupakan faktor penentu dalam pembentukan kualitas
sumberdaya manusia. Terdapat perbedaan arti kerja antar pemuda yang berpendidikan rendah dengan pemuda yang berpendidikan tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka pekerjaan pertanian semakin tidak menarik untuk ditekuni karena sektor non-pertanian lebih menarik bagi mereka. Semakin rendah tingkat pendidikan maka pekerjaan pertanian semakin diminati. Hal ini disebabkan oleh kerja di bidang pertanian tidak dituntut untuk memiliki ketrampilan khusus dan pendidikan yang tinggi (Tarigan 2004; Amelia 2005). 5.
Status Perkawinan Jika seseorang telah berkeluarga tentunya akan melakukan pekerjaan apapun
demi kelangsungan hidup keluarganya. Mereka berpikir lebih baik bekerja keras sebagai petani daripada tidak mempunyai pekerjaan sama sekali. Selain itu, mereka yang sudah menikah, tidak mau hidup terpisah dengan keluarganya. Pemuda belum menikah relatif lebih mudah untuk bermigrasi sehingga berorientasi bekerja di luar sektor pertanian (Tarigan 2004; Chandra 2004). Dapat disimpulkan bahwa jika seseorang telah menikah maka persepsi terhadap
19
pekerjaan pertanian cenderung positif, sedangkan pemuda yang belum menikah cenderung negatif mempersepsikan pekerjaan pertanian. 6.
Sosialisasi Pekerjaan Pertanian Sosialisasi pekerjaan pertanian dan persepsi pekerjaan pertanian mempunyai
hubungan yang positif. Semakin tinggi sosialisasi maka semakin positif persepsi pemuda terhadap pekerjaan pertanian. Pemuda yang mendapat sosialisasi yang tinggi akan memiliki pengetahuan (Chandra 2004; Amelia 2005). Hal ini tidak didukung oleh pernyataan Tarigan (2004), yang menyatakan bahwa secara sadar atau tidak sadar orangtua telah mensosialisasikan pandangan kepada anak tentang kelelahan, kerendahan dan ketidakcerahan bekerja di pertanian. Orangtua sudah mengalami pergeseran pandangan terhadap pekerjaan pertanian walaupun secara faktual mereka masih hidup di dalamnya. Sebagai agen sosialisasi, orangtua membantu mengarahkan pemuda untuk berusaha keluar dari pekerjaan pertanian. Semakin tinggi tingkat sosialisasi maka semakin negatif representasi pemuda terhadap pekerjaan pertanian. 7.
Aspek Sosial Budaya Nilai budaya setempat yang menganggap pekerjaan pertanian sebagai
kebiasaan turun-temurun menyebabkan sebagian pemuda desa mempunyai persepsi positif terhadap pekerjaan pertanian. Idhamsyah et al. (2009) menyatakan konteks sosial dapat mempengaruhi komunitas dalam merepresentasikan suatu hal. Tjakrawati (1988), menyatakan bahwa arti kerja pertanian terkait dalam konteks pelaku sosial memberi penilaian terhadap kerja yang terwujud dalam perilaku sosial. Setiap komunitas memiliki budaya yang berbeda-beda sehingga arti kerja yang ada dalam komunitas pun berbeda-beda.
20
2.5
Karakteristik Pemuda Tani Sebagian besar pemuda tani yang ikut serta dalam pekerjaan pertanian
adalah laki-laki karena karakteristik pekerjaan pertanian relatif membutuhkan kekuatan fisik. Sebelum menikah, anak perempuan rumahtangga petani jarang diikutsertakan dalam pekerjaan pertanian tersebut. Perempuan biasanya mulai ikut serta dalam pekerjaan pertanian setelah mereka menikah, karena jika bekerja bertani sebelum menikah dianggap akan jauh dari jodoh (Muksin 2007). Pemuda tani umumnya cenderung memiliki tingkat pendidikan rendah karena latar belakang keluarga mereka yang serba kekurangan. Melibatkan anak dalam proses produksi pertanian sering dipandang lebih baik menurut orangtua mereka daripada orangtua harus mengeluarkan biaya untuk menyekolahkan anak. Orangtua menganggap hal ini lebih menghasilkan bagi si anak itu sendiri dibandingkan jika anak itu dibiayai sekolah (Tarigan 2004; Amelia 2005). Angkatan kerja muda pedesaan khususnya pemuda tani, jarang yang memiliki minat untuk bekerja di pertanian. Hal ini disebabkan karena angkatan kerja muda tidak mau ikut dalam kerasnya kerja dalam pertanian. Pekerjaan pertanian dipandang identik dengan kotor, perlu kerja keras, dan kelelahan (Tarigan 2004). Pemikiran ini muncul karena mereka melihat orangtua mereka yang kelelahan ketika bekerja, baik itu di sawah, ladang maupun kebun. Selain itu, orangtua mereka pun tidak mengharapkan anak-anak mereka menjadi pekerja pertanian karena mereka ingin anak-anaknya dapat hidup lebih baik daripada orangtuanya (Arwani 2001). Pemuda tani saat ini cenderung memilih pekerjaan di luar sektor pertanian, seperti menjadi buruh bangunan, supir/tukang ojek (Anwar 2000). Namun, tidak
21
sedikit pula yang membantu orangtua mereka di lahan pertanian atau menjadi buruh tani sebelum mendapat pekerjaan lain (Chandra 2004). Pemuda tani cenderung berpikir untuk bekerja di lahan pertanian hanya apabila tidak mendapat pekerjaan lain di kota. Pekerjaan pertanian dengan kata lain menjadi pilihan terakhir bagi Pemuda tani jika tidak mempunyai pekerjaan lain.
2.6
Pertanian di Indonesia Pembangunan pertanian seringkali diperbincangkan dalam setiap wacana.
Akan tetapi, dalam kenyataannya, pemberdayaan petani seringkali terabaikan oleh berbagai pihak. Sektor pertanian yang ada saat ini masih didominasi oleh usaha pertanian yang masih berskala kecil, memiliki modal yang terbatas, teknologi yang digunakan pun masih sederhana, sangat dipengaruhi oleh musim, dan umumnya hasil produksinya dipasarkan pada tingkat lokal. Tentunya, hal ini terkait dengan masih lemahnya kelembagaan usaha dan kelembagaan petani yang ada di Indonesia. Adapun yang terjadi saat ini pemasaran hasil produksi pertanian dikuasai oleh kelompok usaha yang besar, yang tentunya hal ini sangat merugikan petani (Antara 2007). Pertanian di Jawa Barat 2 Provinsi Jawa Barat, merupakan salah satu wilayah yang mempunyai potensi sumberdaya alam sangat besar, terutama potensi sumberdaya di sektor pertanian. Hal ini sebenarnya dapat memberikan dukungan dalam mempercepat 2 Kastaman et al.. 2007. Model Optimasi Pola Tanam pada Lahan Kering Di Desa Sarimukti Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut. http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/no.13%20jurnal-ftip-roni%20vol.1%20no.1-2007.pdf. Diakses tanggal 26 Agustus 2009.
22
pengembangan pembangunan perekonomian Jawa Barat, akan tetapi belum semua potensi yang dimiliki dapat dikelola secara optimal. Salah satu potensi sumberdaya yang belum digali secara optimal adalah potensi sumberdaya lahan kering. Provinsi Jawa Barat mempunyai luas lahan kering 3.214.484 hektar, sampai saat ini produkrtivitas usahataninya masih rendah 3. Jawa Barat adalah salah satu kawasan yang masyarakatnya masih hidup dari sektor pertanian. Produk Domestik Bruto Regional Jawa Barat tahun 2001 untuk sektor pertanian tersebut sebesar Rp30.987.578 juta (16.04 persen) dan tahun 2002 sebesar Rp33.391.149 juta (15,6 persen) (BPS 2002). Nilai tersebut masih cukup besar dibandingkan sektor lain seperti perdagangan dan jasa. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian masih memiliki peran yang besar dalam pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. Wilayah Jawa Barat yang menjadi sentra pengembangan tanaman pangan lahan kering yaitu wilayah dataran tinggi bagian tengah Jawa Barat. Salah satu daerah sentra pertanian tersebut yaitu Kabupaten Garut. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Garut (2001) pengembangan pertanian tanaman pangan lahan kering akan dikembangkan pada seluruh bagian wilayah kecamatan di Kab. Garut kecuali Kecamatan Leuwigoong dan Kecamatan Banyuresmi yang peruntukannya hanya untuk lahan sawah. Hal ini sesuai dengan luas penggunaan lahan kering di Kabupaten Garut sebesar 108.648 hektar yang lebih banyak dari lahan sawah dengan luas hanya 49.477 hektar (BPS 2003).
3 (www. jabar. litbang. deptan. go.id)
23
Keberhasilan pengembangan pertanian tanaman pangan lahan kering tersebut tidak hanya melibatkan instansi terkait sebagai perumus kebijakan tetapi juga petani sebagai pelaksana kegiatan pertanian. Nilai Produk Domestik Bruto (NPDB) sektor pertanian yang cukup besar seharusnya juga diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan petani sebagai pelaksana kegiatan pertanian, tetapi pada kenyataannya pendapatan yang diperoleh oleh para petani masih rendah. Konteks Pertanian Lahan Kering Lahan (tanah) merupakan bagian dari ruang sehingga pemanfaatan lahan harus sesuai dengan perencanaan tata ruang. Yang dimaksud dengan pemanfaatan lahan merupakan penggunaan lahan pada fungsi waktu tertentu. Penggunaan lahan merupakan suatu keadaan dimana suatu areal lahan ditempati oleh vegetasi, bangunan, atau objek/ kegiatan lain, baik yang ditata maupun yang tidak ditata (Beny 2007). Ciri-ciri usahatani lahan kering antara lain produktivitas yang sangat rendah; tanaman yang ditanam adalah jagung, padi ladang, ubi-ubian dan kacangkacangan (umumnya jagung merupakan tanaman utama); mixed cropping sebagai strategi antisipasi gagal panen; teknologi berasaskan low input; budidaya yang tradisional (manual); penguasaan lahan yang terbatas karena kendala tenaga kerja; serta cenderung menerapkan ladang berpindah yang berotasi sebagai upaya penyembuhan lahan secara tradisional (Basuki 2005 dan Notohadiprawiro 1989 dikutip Beny 2007). Komplikasi antara dari sifat alamiah kondisi biofisik wilayah serta keadaan usahatani yang telah disebutkan, maka profil usahatani lahan kering dapat disebutkan sebagai berikut: menanam pada lahan-lahan miring yang rentan
24
terhadap kualitas tanah; persiapan lahan yang didahului dengan pembakaran lahan atau istilah lokal kono; menanam tanpa olah tanah; sering mengalami gagal panen akibat kekeringan; musim tanam hanya sekali setahun (antara bulan Desember dan Maret); serta menggunakan varietas lokal secara turun-temurun (Beny 2007). Tabel 1. Luas dan penyebaran lahan kering di dataran rendah dan tinggi (hektar), di Indonesia, tahun 2002 Pulau Sumatera
Dataran rendah
Dataran tinggi
Jumlah
23.122.300
10.172.700
33.295.000
Jawa
7.844.600
2.902.400
10.747.000
Bali+NT
3.261.900
3.476.100
6.738.000
29.784.600
12.688.400
42.473.000
6.879.600
8.937.400
15.817.000
Maluku+Irja
16.400.700
18.474.300
34.875.000
Indonesia
87.293.700
56.651.300
143.945.000
Kalimantan Sulawesi
Sumber: Hidayat dan Mulyani (2002) dikutip oleh Nursyamsi (2004)
Pengembangan pertanian lahan kering seringkali menghadapi berbagai kendala, seperti fisik, kimia dan biologi tanah serta ketersediaan air, yang semuanya menyebabkan produktivitasnya sangat rendah. Di daerah transmigrasi, sering dijumpai lahan kering yang telah dibuka dan dikembangkan untuk lahan pertanian kondisi tanahnya sangat memprihatinkan. Produktivitas tanah sangat rendah yang dicerminkan oleh indeks pertanaman (IP) palawija sekitar 0,27-0,83 dengan hasil atau produksi yang sangat rendah pula (Amien 1999 dikutip Nursyamsi 2004). Rata-rata produktivitas beberapa tanaman pangan di lahan kering masih rendah atau masih jauh lebih rendah daripada potensi produksinya. Produksi jagung yang relatif tinggi dijumpai di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, masingmasing sebesar 2,77 ton/hektar, 2,59 ton/hektar, dan 2,50 ton/hektar, sedangkan di tempat lainnya (Bali, NTT, Kalimantan, Maluku, dan Irian Jaya) sangat rendah
25
berkisar antara 1,40 – 2,09 ton/ hektar. Produksi kacang tanah dan kedelai relatif sama yakni masing-masing berkisar antara 0,95 – 1,09 ton/ hektar dan 1,09 – 1,23 ton/ hektar. Demikian pula produksi ubi kayu dan ubi jalar relatif rendah, masingmasing berkisar antara 9,6 – 13,3 ton/hektar dan 8,0 – 10,9 ton/ hektar (lihat Tabel 2). Dengan penerapan teknologi yang sesuai maka produksi tanaman dapat ditingkatkan hingga mendekati potensi produksinya. Dengan demikian maka peluang untuk meningkatkan produksi tanaman pangan di lahan kering melalui penerapan teknologi yang tepat cukup besar. Tabel 2. Rata-rata hasil beberapa komoditas tanaman pangan di lahan kering(ton/hektar), di Indonesia, tahun 1998 Pulau
Jagung
Kc. tanah
Kedelai
Ubi kayu
Ubi jalar
Bali+NTT
2,77
1,06
1,25
13,3
10,9
Jawa
2,09
1,09
1,09
9,6
9,0
Kalimantan
1,57
1,12
1,08
11,9
8,0
Sulawesi
2,50
1,09
1,23
10,8
8,3
Maluku+Irja
1,40
0,95
1,09
11,3
8,7
Sumatera
2,59
1,06
1,12
11,4
9,0
Sumber : BPS (1998)
2.7
Komposisi Usia Tenaga Kerja Pertanian Menurut Maulana et al. (2007), komposisi usia pekerja pertanian saat ini
telah mengalami pergeseran. Hal ini ditunjukan dari data BPS tahun 1982-2003 (lihat Tabel 3), yakni pada tahun 1982, jumlah pekerja pertanian masih didominasi oleh pekerja usia dibawah 30 tahun yaitu sebesar 38 persen, sedangkan pekerja usia 30-44 tahun sebesar 32 persen dan 45-59 tahun sebesar 22 persen. Akan tetapi, pada tahun 2003, terjadi perubahan komposisi, pekerja pertanian usia dibawah 30 tahun semakin menurun dan pekerja usia di atas 30 tahun semakin meningkat.
26
Selama kurun waktu 1982 - 2003, terjadi perubahan komposisi, dari dominasi pekerja usia di bawah 30 tahun menjadi dominasi usia di atas 30 tahun. Fenomena ini, diakibatkan minat pemuda pada sektor pertanian mulai menurun. Pemuda lebih tertarik untuk bekerja di luar sektor pertanian. Bagi mereka yang berusia di atas 30 tahun masih tetap setia terhadap pekerjaan pertanian karena mereka masih merasa mampu untuk mengolah lahan pertaniannya. Tabel 3.
Jumlah Pekerja di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia Berdasarkan Golongan Umur (Orang), 1982 – 2003.
Sektor/Gol. Umur
1982
1990
2000
2001
2002
2003
10 – 29
12.012.555
14.874.087
11.470.393
10.761.816
10.664.176
11.099.423
30 – 44
9.988.064
13.143.187
14.053.075
14.448.223
14.608.302
15.267.839
45 – 59
7.216.091
9.498.944
9.949.160
9.921.730
10.485.245
10.600.637
60 +
2.376.604
3.728.794
5.073.225
4.612.139
4.875.904
5.033.538
Total
31.593.314
41.245.012
40.545.853
39.743.908
40.633.627
42.001.437
Sumber : BPS (diolah) dikutip Maulana et al. (2007)
2.8
Peluang Kerja Sektor Pertanian di Indonesia Sektor pertanian tentunya memberikan peluang pekerjaan bagi pemuda
pedesaan. Terutama jika sektor pertanian menjadi suatu andalan penopang perekonomian suatu desa. Sektor pertanian tidak hanya sebatas pertanian padi sawah. Akan tetapi juga termasuk perkebunan, peternakan, perikanan, dan sektor pertanian lainnya. Dalam penelitian Amelia (2005) di Desa Purasari tampak ada beragam usaha pertanian diantaranya usaha pertanian sawah, hortikultura, peternakan ayam, usaha kerajinan hasil hutan, usaha gula aren, dan penanaman cengkeh. Usaha peternakan ayam merupakan usaha baru yang memberikan hasil yang cukup berarti bagi pemilik peternakan dan bagi masyarakat Desa Purasari
27
secara keseluruhan. Usaha ini memberikan peluang bekerja yang cukup besar bagi masyarakat desa, khususnya bagi pemuda. Selain usahatani dan buruhtani, terdapat beberapa aktivitas perekonomian sebagai sumber pendapatan masyarakat, diantaranya berdagang kebutuhan seharihari, tengkulak hasil pertanian, industri pengolahan teh dan pembuatan gula aren, serta sebagai jasa angkutan (Tarigan 2004). Terlihat bahwa peluang pekerjaan pemuda di sektor pertanian tidak hanya di pertanian padi sawah. Akan tetapi, pemuda berpeluang di sektor pertanian lainnya. Gunawan (2003) menyebutkan bahwa di Lombe jenis pekerjaan utama masyarakat yaitu sebagai petani, pekebun, peternak dan nelayan. Sedangkan untuk perempuan Lombe, pekerjaan utama mereka adalah usaha pengkacipan mente. Hamzah (2008) menyatakan bahwa di Desa Lagasa, jenis pekerjaan utama masyarakat yaitu sebagai nelayan dan menangkap ikan. Chandra (2004) dan Amelia (2005) menyebutkan bahwa sebagian besar pemuda di pedesaan bekerja sebagai buruhtani. Hal ini disebabkan mereka belum mempunyai modal untuk membeli lahan sendiri. Kalaupun ada pemuda yang memiliki lahan itu berasal dari warisan orangtuanya terdahulu.
Kerangka Pemikiran Representasi sosial tentang pertanian pada pemuda tani adalah sejumlah pencitraan (image), opini, penilaian, dan keyakinan umum mengenai pertanian. Representasi sosial diartikan sebagai pemahaman bersama tentang suatu hal pada komunitas tertentu yang di dalamnya terdiri dari informasi, keyakinan, dan opini.
28
Saat ini minat angkatan kerja muda pedesaan terhadap pekerjaan pertanian mulai menurun. Hal ini terkait dengan bagaimana mereka merepresentasikan pertanian yang tentunya dipengaruhi banyak faktor. Faktor-faktor yang terkait dengan representasi sosial antara lain adalah (i) karakteristik individu pemuda tani, (ii) konteks pertanian di lahan kering, (iii) sosialisasi pekerjaan pertanian, serta (iv) intensitas keikutsertaan angkatan kerja muda dalam pertanian. Representasi sosial tentang pertanian pada pemuda tani ini berhubungan dengan karakteristik individu yang meliputi (i) usia (diduga semakin muda usia pemuda maka cenderung negatif representasi pemuda terhadap pertanian), (ii) jenis kelamin (diduga laki-laki cenderung memiliki representasi yang positif terhadap pertanian), (iii) tingkat pendidikan (diduga semakin tinggi tingkat pendidikan maka representasi yang dimiliki cenderung negatif terhadap pertanian), (iv) status perkawinan (diduga pemuda yang telah menikah cenderung memiliki representasi yang positif terhadap pertanian), (v) status kepemilikan lahan (diduga status kepemilikan lahan sebagai pemilik cenderung memiliki representasi yang positif terhadap pertanian) dan (vi) luas penguasaan lahan (diduga semakin luas lahan yang dikuasai cenderung memiliki representasi yang positif terhadap pertanian). Selain karakteristik individu, representasi sosial pemuda tani juga berhubungan dengan konteks pertanian yang ada di lokasi mereka yaitu pertanian lahan kering. Kondisi pertanian yang ingin dilihat yaitu (i) komposisi usia tenaga kerja pertanian, (ii) peluang kerja sektor pertanian serta (iii) bentuk aspek sosial budaya setempat (diduga konteks pertanian lahan kering berhubungan dengan representasi sosial pemuda tani).
29
Sosialisasi dalam aktivitas pertanian tentunya juga berhubungan dengan representasi sosial tentang pertanian (diduga semakin tinggi tingkat sosialisasi dalam aktivitas pertanian, pemuda tani cenderung memiliki representasi yang positif terhadap pertanian. Hal ini dapat dilihat dari (i) pengajaran cara bertani yang biasa dilakukan oleh keluarga ataupun kerabat yang dekat dengan pemuda tani dan (ii) awal usia ketika diberikan pengajaran. Keikutsertaan dalam pertanian dapat dilihat dari (i) jumlah aktivitas pertanian yang sering dilakukan oleh pemuda tani dan (ii) frekuensi keikutsertaan dalam pekerjaan pertanian. Kedua hal tersebut tentunya dapat terjadi melalui interaksi dan komunikasi yang terjadi dalam komunitas khususnya di pertanian lahan kering. Secara sederhana penjelasan di atas dapat digambarkan sebagai berikut: Karakteristik Individu Pemuda Tani 1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Tingkat Pendidikan 4. Status Perkawinan 5. Status Kepemilikan Lahan 6. Luas Penguasaan Lahan
Konteks Pertanian Lahan Kering 1. Peluang Kerja Sektor Pertanian 2. Aspek Sosial dan Budaya
Sosialisasi dalam aktivitas pertanian: 1.Pengajaran cara bertani 2.Usia ketika diajarkan
• • • • •
Intensitas Keikutsertaan dalam Pertanian: 1. Jumlah aktivitas yang dilakukan 2. Frekuensi keikutsertaan dalam aktivitas pertanian
Representasi Sosial Pertanian Pekerjaan Tani Petani Lahan Lahan Kering
Keterangan: Berhubungan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
30
Dengan demikian representasi sosial ini sebenarnya memperkenalkan suatu sintesis antara interaksi individu dengan lingkungan sosialnya. Dalam teori ini suatu komunitas dipandang bisa saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Hal tersebut sebagai dasar bagi munculnya pemaknaan bersama tentang suatu obyek tertentu yang mempengaruhi pemikiran atau pandangan individu berdasarkan makna bersama dalam suatu komunitas. Representasi sosial yang telah terbentuk akan menjadi penuntun dalam bertingkah laku. Hipotesa Penelitian 1.
Diduga karakteristik individu pemuda tani berhubungan dengan representasi sosial.
2.
Diduga sosialisasi nilai pertanian dalam pertanian berhubungan dengan representasi sosial.
3.
Diduga intensitas keikutsertaan pemuda tani dalam aktivitas pertanian berhubungan dengan representasi sosial.
Definisi Operasional 1.
Representasi sosial pertanian pada pemuda tani didefinisikan sebagai sejumlah opini, penilaian, dan keyakinan umum tentang pekerjaan pertanian yang ada pada pemuda tani di pedesaan yang diperoleh dari ide-ide implisit, eksplisit dan simbol-simbol, kemudian mengkomunikasikannya kepada individu-individu lain yang ada dalam kelompok. Representasi sosial diukur dengan melihat dua dimensi yakni dimensi pola pekerjaan dan pandangan terhadap pekerjaan dan dimensi lahan Untuk mengetahui representasi sosial tentang pertanian pada pemuda tani dilihat dari frekuensi kumulatif kategori yang telah digeneralisasi dari kata-kata yang telah
31
terkumpul dari metode asosiasi kata. Kata-kata tersebut antara lain kata Pertanian, Pekerjaan Tani, Petani, Lahan, Dan Lahan Kering. 2.
Pekerjaan pertanian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan proses produksi komoditas pertanian, atau sebagai seluruh kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam pertanian yang terdapat di Desa Pasawahan. Misalnya kegiatan menanam padi di sawah, menanam berbagai tanaman hortikultura serta menanam tanaman pertanian di ladang kering (tanaman kopi, coklat, albasia,dll).
3.
Petani adalah orang yang mata pencaharian utama atau sampingan berasal dari pekerjaan dan usaha pertanian.
4.
Pemuda tani adalah anak (laki-laki dan perempuan) yang berasal dari rumahtangga petani baik yang mengolah lahan pertanian sendiri ataupun menyewa/menggarap lahan orang lain, bertempat tinggal di desa pada saat penelitian berlangsung dengan usia antara 16 sampai 25 tahun.
5.
Usia pemuda tani adalah jumlah tahun hidup responden dari sejak lahir sampai dengan saat dilakukannya penelitian. Dikategorikan menjadi:
6.
a.
Usia 16 - 20 tahun
b.
Usia 21 - 25 tahun
Jenis kelamin adalah pembedaan fisik responden, dikategorikan menjadi: a.
Laki-laki
b.
Perempuan
32
7.
Tingkat pendidikan akhir adalah kondisi yang menggambarkan tingkat pendidikan
formal
akhir
yang
pernah
ditempuh
oleh
responden,
dikategorikan menjadi:
8.
a.
Tidak Tamat SD
b.
Tamat SD
c.
Tamat SMP
d.
Tamat SMA
Status perkawinan adalah status pernikahan responden pada saat dilakukan penelitian, dikategorikan menjadi:
9.
a.
Belum Menikah
b.
Menikah
Jenis pekerjaan utama orangtua adalah aktivitas utama yang dilakukan dalam satu bulan terakhir. Untuk ayah, dikategorikan menjadi: a.
Petani
b.
Buruhtani
c.
Dagang
d.
Pegawai Desa
Untuk ibu, dikategorikan menjadi: a.
Petani
b.
Buruhtani
c.
Ibu Rumahtangga
33
d. 10.
Dagang
Jenis pekerjaan sampingan orangtua adalah aktivitas sampingan yang dilakukan untuk memperoleh penghasilan tambahan dalam satu bulan terakhir. Untuk ayah, dikategorikan menjadi: a.
Tidak ada sampingan
b.
Petani
c.
Dagang
d.
Lainnya
Untuk ibu, dikategorikan menjadi:
11.
a.
Tidak ada sampingan
b.
Petani
c.
Dagang
d.
Lainnya
Status kepemilikan lahan adalah areal atau lahan yang dimiliki ataupun dikelola responden baik yang digunakan untuk pertanian ataupun nonpertanian. Status kepemilikan lahan dapat dikategorikan menjadi: a.
Pemilik
b.
Pemilik dan Penggarap
c.
Penggarap
d.
Sewa/Gadai
34
12.
Luas penguasaan lahan adalah jumlah hamparan tanah (dalam hektar) yang dikuasai oleh orangtua yang dimanfaatkan dalam berusahatani Dikategorikan menjadi:
13.
a.
Kurang dari 0,25 hektar
b.
0,25 - < 0,50 hektar
c.
0,50 - < 1,00 hektar
d.
Lebih dari 1,0 hektar
Sosialisasi pekerjaan tani adalah nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua ataupun kerabat lainnya, melalui pengenalan terhadap lingkungan pertanian, serta pengajaran cara bertani. Hal ini dapat dilihat dari waktu pertama kali ke lahan pertanian, orang yang mengajak ke lahan pertanian pertama kali, hal-hal yang dilakukan di lahan pertanian pertama kali, pernah diajarkan cara bertani, usia berapa diajarkan bertani, siapa yang mengajarkan bertani, serta
keikutsertaan
keikutsertaan
dalam
penyuluhan
pertanian
dan
frekuensi
penyuluhan.
Pertama kali ke lahan pertanian, dikategorikan menjadi: a.
Kurang dari usia 5 tahun (skor=3)
b.
Usia 6-12 tahun (skor=2)
c.
Lebih dari usia 12 tahun (skor=1)
Orang yang mengajak ke lahan pertanian pertama kali, dikategorikan menjadi: a.
Orangtua (skor=2)
b.
Kerabat (skor=1)
35
Hal yang dilakukan di lahan pertanian pertama kali, dikategorikan menjadi: a.
Menemani orangtua dan bermain (skor=1)
b.
Ikut serta dan belajar bertani (skor=2)
Pernah diajarkan cara bertani, dikategorikan menjadi: a.
Tidak pernah (skor=1)
b.
Pernah (skor=2)
Awal usia diajarkan cara bertani, dikategorikan menjadi:
14.
a.
Usia 5-10 tahun (skor=3)
b.
Usia 11-15 tahun (skor=2)
c.
Usia lebih dari 15 tahun (skor=1)
Intensitas keikutsertaan pemuda tani dalam aktivitas pertanian adalah banyaknya frekuensi keikutsertaan pemuda tani dalam pekerjaan pertanian untuk membantu pekerjaan orangtua menggarap lahan. Aktivitas pertanian tersebut antara lain persiapan lahan, pembibitan, penanaman, penyiangan gulma, pemupukan, penggantian bibit mati, penyemprotan pestisida, panen dan memasarkan hasil panen. Hal ini diidentifikasi dengan jumlah aktivitas pertanian yang sering diikuti serta frekuensi keikutsertaan dalam pekerjaan pertanian. Jumlah aktivitas yang diikuti, dikategorikan menjadi: a.
< 3 aktivitas (skor=1)
b.
3-6 aktivitas (skor=2)
c.
> 6 aktivitas (skor= 3)
36
Frekuensi keikutsertaan dalam pekerjaan tani dikategorikan menjadi: a.
Jarang (skor=1)
b.
Sepanjang musim (skor=2)
c.
Jika dibutuhkan (skor=3)
d.
Sering (skor=4)
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif. Penelitian eksploratif adalah penelitian penjajagan yang sering dilakukan sebagai langkah pertama untuk penelitian yang lebih mendalam, baik itu penelitian penjelasan maupun penelitian deskriptif. Melalui penelitian eksploratif ini masalah penelitian dapat dirumuskan dengan jelas dan lebih terperinci dan hipotesa dapat dikembangkan dalam penelitian selanjutnya (Singarimbun dan Effendi 1989). Hal ini disebabkan oleh masih sedikitnya penelitian mengenai hal ini.
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari,
Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat pada bulan Juli-Agustus 2009. Ada dua hal utama yang mendasari pemilihan tempat. Pertama, sebagaimana telah disebutkan di atas, Provinsi Jawa Barat berdasarkan Sensus Pertanian diketahui memiliki proporsi usia petani yang tidak merata dengan kecenderungan dominan terletak pada petani usia tua (di atas 40 tahun). Alasan kedua, di daerah ini masih banyak terdapat lahan pertanian, hal yang mana menunjukkan bahwa perekonomian masyarakat masih dominan disandarkan pada sektor ini. Hal yang menjadi kekhasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah bahwa lahan pertanian yang ada di daerah ini merupakan lahan kering. Diharapkan perbedaan jenis lahan dengan lahan pertanian pada umumnya dapat menghasilkan temuan yang berbeda dari penelitian-penelitian terdahulu yang kebanyakan dilakukan di daerah persawahan
ataupun
perkebunan.
Perbedaan
karakteristik
lahan
akan
38
menghasilkan representasi pertanian yang berbeda pula, sehingga sangat mendukung atas kebutuhan data yang dibutuhkan pada penggalian representasi sosial pertanian pemuda tani pada komunitas lahan kering.
3.2
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Proses penyusunan penelitian mengenai representasi sosial pertanian bagi
pemuda petani melalui beberapa tahap. Hal ini terkait dengan ragam dan jenis data yang hendak diteliti. Secara umum terdapat 6 hal yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Keenam hal tersebut akan didekati melalui 5 pendekatan yang berbeda sesuai dengan kekhasan masing-masing teknik pengumpulan data: 1.
Kuesioner, digunakan untuk menangkap data di tingkat responden berupa karakteristik individu responden. Selain itu juga digunakan untuk memahami aspek sosialisasi pekerjaan pertanian dan keikutsertaan dalam pekerjaan pertanian. Pendekatannya dilakukan menggunakan kuesioner yang memuat pertanyaan terbuka dan tertutup.
2.
Wawancara Mendalam, digunakan untuk mengetahui konteks pertanian lahan kering.
3.
Studi Literatur, digunakan untuk memberikan landasan pelaksanaan penelitian, khususnya dalam membangun teori berdasarkan penelitianpenelitian sebelumnya yang relevan. Dalam pelaksanaan penelitian di lapangan, teknik ini juga digunakan untuk mendapatkan temuan pada aras makro guna melengkapi temuan dari teknik survei dan wawancara. Fokus penelitian yang hendak didekati melalui teknik ini adalah aspek konteks
39
pertanian lahan kering. Pendekatannya diarahkan kepada literatur-literatur terkait di tingkat desa lokasi penelitian. 4.
Teknik Asosiasi Kata, digunakan untuk mengetahui representasi sosial tentang pertanian. Melalui teknik ini, responden diminta untuk menuliskan lima kata yang muncul dalam pikiran mereka ketika mendengar kata PERTANIAN, PEKERJAAN TANI, PETANI, LAHAN, LAHAN KERING. Kemudian, mengklasifikasikan kata-kata yang telah diperoleh dari tahap pertama, ke dalam kelompok yang lebih umum. (Guimelli 1998). Teknik pengukuran ini dapat menjelaskan representasi mental yang ada dalam sebuah masyarakat mengenai sebuah obyek tertentu, dalam hal ini adalah representasi pertanian.
5.
Metode Diferensial Semantik, dikenal juga sebagai Skala Perbedaan Semantik. Digunakan untuk mengetahui representasi sosial pada aspek afektif terhadap pekerjaan pertanian dan lahan pertanian. Iskandar (2000) dikutip oleh Riduwan (2006) menyatakan bahwa skala perbedaan semantik berisi serangkaian karakteristik bipolar (dua kutub) yang memiliki 3 dimensi dasar sikap seseorang terhadap obyek, yaitu: potensi (kekuatan/atraksi fisik suatu obyek), evaluasi (hal yang menguntungkan atau tidak menguntungkan dari suatu obyek), dan aktifitas (tingkatan gerakan suatu objek). Pada skala perbedaan semantik, responden diminta untuk menjawab atau memberikan penilaian terhadap suatu konsep atau objek tertentu yang memiliki rentangan skor 1-5 dengan cara memberi tanda (x) pada angka yang sesuai Penggunaannya seperti digambarkan pada Gambar 2 berikut:
40
Gambar 2. Contoh Penggunaan Skala Perbedaan Semantik 5
4
Baik
3
2
1 Buruk
x
Kategori untuk aspek afektif pekerjaan pertanian ialah sebagai berikut: 1. Baik - Buruk 2. Untung – Rugi 3. Aman - Penuh resiko 4. Ringan – Melelahkan 5. Mencukupi kebutuhan - Tidak mencukupi kebutuhan 6. Bersih – Kotor 7. Santai - Terikat waktu 8. Modern – Tradisional 9. Terhormat - Memalukan Kategori untuk aspek afektif terhadap lahan pertanian ialah sebagai berikut: 1.
Ekonomis - Tidak Ekonomis
2. Menjamin hari tua - Tidak menjamin hari tua 3. Terhormat - Tidak terhormat 4. Murah - Mahal 5. Berharga - Tidak Berharga Selanjutnya, diantara dua kutub ini akan diberi skor nilai antara 1-5, dimana setiap responden harus memberikan penilaian dengan menggunakan rentangan skor tersebut. Jika skor yang diberikan semakin ke kanan mendekati angka 1 maka dapat disimpulkan bahwa representasi pemuda tani terhadap pekerjaan pertanian dan lahan pertanian sangat negatif, dan
41
sebaliknya jika skor yang diberikan semakin ke kiri atau mendekati angka 5 maka dapat disimpulkan bahwa representasi pemuda tani terhadap pekerjaan pertanian dan lahan pertanian sangat positif.
3.3
Teknik Pemilihan Responden Populasi dari penelitian ini adalah pemuda tani yang berusia antara 16 tahun
sampai 25 tahun yang berada di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Jumlah responden yang diambil adalah 40 orang. Responden sejumlah 40 orang ini diambil dengan teknik incidental sampling dengan pertimbangan bahwa pada waktu penelitian, ditemukan responden yang memenuhi syarat sebagai responden dan bersedia untuk mengisi kuesioner. Teknik ini dilakukan dengan alasan jarak antar dusun sangat berjauhan sehingga sulit untuk membuat kerangka sampling terlebih dahulu..
3.4
Teknik Analisis Data Data primer yang diperoleh melalui kuesioner dianalisis menggunakan tabel
frekuensi, tabulasi silang, dan uji korelasi Chi-Square. Tabel frekuensi digunakan untuk mendapatkan deskripsi responden berdasarkan karakteristik individu yang dimiliki. Uji Chi-Square digunakan untuk mengukur hubungan antara karakteristik sosial ekonomi, sosialisasi pekerjaan pertanian dan intensitas keikutsertaan pada aktivitas pertanian terhadap representasi sosial hasil dari metode asosiasi kata dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 tipe 12.0.4518.1014. Untuk kondisi pertanian dan konteks sosial budaya akan dianalisis secara kualitatif.
42
Data yang diperoleh melalui asosiasi kata, akan diolah sebagai berikut: a.
Kata-kata yang yang muncul dikategorikan dalam beberapa kata yang dianggap mewakili kata tersebut.
b.
Masing-masing kategori diberi kode untuk membedakannya.
c.
Kata-kata yang muncul dimasukkan ke dalam kategori yang sesuai dan dihitung frekuensi.
d.
Adapun kategori kata yang muncul adalah sebagai berikut: 1.
Pertanian, kategorinya yaitu aktivitas pertanian, teknologi pertanian, komoditas pertanian, sumberdaya alam pertanian, afeksi, dan hambatan pertanian.
2.
Pekerjaan Tani, kategorinya yaitu aktivitas pertanian, afeksi, dan sarana produksi pertanian.
3.
Petani, kategorinya yaitu afeksi positif, afeksi negatif, dan aktivitas pertanian.
4.
Lahan, kategorinya yaitu sarana kerja pertanian, kondisi lahan, afeksi, komoditas pertanian, dan sarana produksi pertanian.
5.
Lahan kering, kategorinya yaitu afeksi negatif, afeksi positif, usaha perbaikan lahan, sarana kerja pertanian, komoditas pertanian, serta penggunaan lahan selain pertanian.
e.
Kata yang paling tinggi frekuensinya adalah representasi sosial bagi pemuda tani.
43
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1
Letak dan Keadaan Fisik Desa Pasawahan berlokasi sekitar 14 km dari Ibukota Kecamatan Banjarsari
atau sekitar 64 km dari Ibukota Kabupaten Ciamis. Di sebelah Utara, desa ini berbatasan dengan Desa Langkapsari, di sebelah Selatan dengan Desa Kalijati, di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kalijaya, dan di sebelah Timur dengan Desa Kawasen. Oleh karena letak desa yang jauh dari pusat fasilitas, penduduk terbiasa menggunakan mobil pick-up untuk mencapai jalan raya dan melakukan kegiatan sehari-hari seperti belanja ke pasar untuk keperluan satu bulan dan sekolah ke Kota Banjarsari. Desa Pasawahan terbagi atas enam dusun, enam rukun warga (RW), dan 35 rukun tetangga (RT). Enam dusun tersebut letaknya cukup berjauhan satu dengan yang lainnya, yaitu Dusun Ciakar, Dusun Mekarsari, Dusun Karang Anyar, Dusun Munggang Wareng, Dusun Cisarua, dan Dusun Ciawitali. Dusun Karang Anyar dan Dusun Munggang Wareng relatif mudah dicapai. Dusun-dusun di Desa Pasawahan letaknya cukup berjauhan satu sama lain sehingga dapat dikataka batas antar dusun sangat jelas kecuali untuk Dusun Munggang Wareng dan Dusun Karang Anyar.Dari keenam dusun yang ada, Dusun Ciawitali dan Dusun Cisarua letaknya paling jauh dan akses ke tempat tersebut cukup sulit. Desa Pasawahan luasnya sekitar 2692,9 hektar dengan tataguna tanah seperti Tabel 4. Sebagian besar tanah dimanfaatkan untuk perkebunan dan tegalan yaitu seluas 1146 hektar (42,56 persen), sedangkan 894 hektar (33,19 persen) dari wilayahnya dimanfaatkan untuk sawah (lihat Tabel 4). Desa ini terletak pada
44
ketinggian 750 meter dari permukaan air laut dengan topografi wilayah berbukitbukit, dan suhu rata-rata harian 24oC. Tabel 4. Luas Wilayah Desa Pasawahan Berdasarkan Tataguna Tanah tahun Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008 Penggunaan Lahan 1. Pemukiman dan Pekarangan 2. Persawahan 3. Perkebunan dan Tegalan 4. Lainnya (prasarana umum, kebun milik swasta) Jumlah
Luas (Hektar)
%
245,9
9,13
894
33,19
1146
42,56
407
15,12
2692,9
100
Sumber: Potensi Desa tahun 2008 (diolah)
Jalan di dalam dusun adalah jalan batu yang walaupun sempit ternyata sering dilewati kendaraan berat yaitu truk-truk yang mengangkut bahan bangunan dan mengangkat kayu yang telah ditebang. Selain itu ada pula pick-up yang mengangkut pedagang dan hasil pertanian. Dengan ongkos Rp 10.000 per orang colt mini akan membawa penumpang dari dusun sampai ke pasar Kecamatan yang jauhnya sekitar 14 km. Angkutan umum lainnya adalah ojek dengan ongkos yang lebih tinggi yaitu Rp 40.000 per orang dari dusun Munggang Wareng ke pasar Kecamatan. Sedangkan ongkos ojek untuk bepergian antar dusun diseputar desa berkisar antara Rp 10.000 sampai Rp 20.000. Sarana angkutan yang cukup lancar dan ongkos yang terjangkau sangat membantu para pedagang maupun petani dalam menjual hasil produksinya. Fasilitas jalan raya yang ada sangat buruk. Menurut penduduk sekitar, pada tahun 2008 telah ada perbaikan jalan dari pemerintah desa. Namun, setelah terjadi musim hujan, jalan aspal kembali rusak karena terkikis oleh air hujan, sehingga jalanan menjadi aspal berbatu. Untuk beradaptasi dengan jalan yang rusak dan curam ini, masyarakat yang memiliki kendaraan bermotor, khususnya motor,
45
harus memodifikasi kendaraan mereka sehingga sesuai dan dapat awet dipergunakan. Desa Pasawahan kegiatan jual beli/pasar berlangsung 2 kali seminggu yaitu pada hari selasa dan kamis. Pasar ini baru berfungsi untuk membeli keperluan sehari-hari saja belum sebagai tempat memasarkan hasil produksi pertanian. Petani lebih sering menjual hasil produksinya ke tengkulak, karena mereka malas untuk menjual ke pasar karena jaraknya relatif jauh dan perlu mengeluarkan ongkos tambahan untuk menyewa pick-up.
4.2
Keadaan Penduduk dan Penguasaan Lahan Data monografi desa tahun 2008 mencatat jumlah penduduk Desa
Pasawahan sebanyak 4631 jiwa, yang terdiri dari 49,62 persen laki-laki dan 50,38 persen perempuan. Jumlah tersebut terbagi dalam 1522 kepala keluarga dengan jumlah rata-rata tiap keluarga 4 jiwa. Dari jumlah penduduk yang ada, yang termasuk kelompok pemuda (16-25 tahun) sebanyak 532 jiwa atau 11,48 persen (lihat Tabel 5). Tabel 5. Jumlah Penduduk menurut Golongan Usia, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008. Golongan umur
Jenis kelamin
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
0 - 05 tahun
170
209
379
6 - 10 tahun
170
199
369
11 - 15 tahun
169
170
339
16 - 20 tahun
86
97
183
21 - 25 tahun
150
199
349
26 - 30 tahun
178
192
370
31 - 35 tahun
181
208
389
36 - 40 tahun
172
193
365
46
Golongan umur
Jenis kelamin
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
41 - 45 tahun
177
191
368
46 - 50 tahun
183
189
372
51 - 55 tahun
182
181
363
56 - 60 tahun
161
196
357
61 - 65 tahun
72
79
151
66 - 70 tahun
59
73
132
71 - 75 tahun
67
83
150
> 75 tahun
18
20
38
2298
2333
4631
Total Sumber: Data Monografi Desa 2008
Berdasarkan data Potensi Desa tahun 2008, sebagian besar (52,29 persen) petani memiliki lahan yang sempit yaitu sebanyak 800 keluarga, sedangkan yang memiliki lahan luas hanya sedikit yaitu 248 keluarga (16,21 persen). Adapun keluarga petani yang tak berlahan sejumlah 482 keluarga (31,5 persen), yang jumlahnya kurang lebih dua kali dari jumlah petani yang memiliki lahan luas (Lihat Tabel 6). Tabel 6.
Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Kepemilikan Lahan di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, 2008. Luas Kepemilikan Lahan
Jumlah keluarga
%
1. Keluarga tak berlahan
482
31,5
2. Pemilik lahan sempit (kurang dari 1 hektar)
800
52,29
3. Pemilik lahan luas (lebih dari 1 hektar)
248
16,21
1530
100
Jumlah Sumber: Potensi Desa tahun/2008 (diolah)
4.3
Mata Pencaharian Penduduk Bertani sampai saat ini masih menjadi mata pencaharian utama penduduk
Desa Pasawahan. Tabel 7 menunjukkan bahwa 31,34 persen penduduk desa (15,86 persen laki-laki dan 15,48 persen perempuan) mempunyai pekerjaan utama
47
sebagai petani. Namun, jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan utama sebagai buruhtani ternyata jumlahnya lebih besar yakni 61,63 persen (30,66 persen laki-laki dan 30,97 persen perempuan). Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008 Jenis pekerjaan
Laki-laki
%
Perempuan
%
Petani
420
15,86
410
15,48
Buruh tani
812
30,66
820
30,97
12
0,45
3
0,11
5
0,19
10
0,39
150
5,66
0
0,00
6
0,23
0
0,00
1405
53,05
1243
46,95
PNS Pedagang keliling Pengusaha kecil dan menengah Dusun kampung Jumlah n = 2648 (100%) Sumber: Potensi Desa tahun 2008
4.4
Tingkat pendidikan Berdasarkan Potensi Desa tahun 2008, sebagian besar (51,23 persen)
penduduk Desa Pasawahan tingkat pendidikan akhirnya yakni tamat SD. Setelah lulus SD, biasanya anak-anak diikutsertakan dalam kegiatan pertanian. Daripada sekolah orangtua lebih memilih untuk mempekerjakan anak-anak mereka karena dianggap lebih produktif dibandingkan mereka sekolah. Berdasarkan jenis kelamin tidak ada perbedaan yang signifikan persentase antara perempuan dan laki-laki. Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk sekolah (Lihat Tabel 8). Tabel 8.
Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008.
Tingkat pendidikan
Laki-laki
(%)
Perempuan
(%)
Usia 18-56 tahun tidak tamat SD
111
48,05
120
51,95
Tamat SD/ sederajat
264
50,57
258
49,43
Tamat SMP/sederajat
98
48,51
104
51,49
48
Tingkat pendidikan
Laki-laki
(%)
Perempuan
(%)
30
63,83
17
36,17
Tamat D1/sederajat
-
0,00
1
100,00
Tamat D2/sederajat
6
75,00
2
25,00
Tamat S1/sederajat
5
62,5
3
37,5
Tamat SMA/sederajat
Sumber: Potensi Desa tahun 2008
4.5
Aspek Sosial Budaya Pertanian di Pasawahan Lahan pertanian yang ada di Desa Pasawahan merupakan lahan kering.
Lahan yang ada berciri-ciri tanah miring, berundak-undak, tanah kering, dan produktivitas yang rendah. Bentuk-bentuk pertanian yang ada di Pasawahan yaitu sawah, kebun, ladang, dan pekarangan. Bentuk pertanian kebun lebih banyak dibandingkan dengan bentuk pertanian sawah. Tanaman yang ditanam di kebun yaitu jenis tanaman jangka panjang antara lain albusia, kopi, coklat, petai, jengkol, dan lain-lain. Untuk sawah, bentuk sawah di Desa Pasawahan yaitu sawah tadah hujan karena masih mengandalkan air hujan untuk pengairan sawah. Sawah di desa ini belum memakai sistem irigasi yang menyalurkan pasokan air bagi lahan mereka. Teknologi yang digunakan masih tergolong sederhana, karena lokasi yang tidak mendukung dalam penggunaan teknologi seperti penggunaan traktor dan irigasi. Hal ini mengakibatkan jadwal penanaman padi sawah disesuaikan dengan musim penghujan. Sebagian besar petani menanam padi sawah sebanyak dua kali dalam setahun. Akan tetapi, ada juga yang menanam padi sawah sampai tiga kali setahun, disesuaikan dengan kondisi air di lahan masing-masing. Petani yang ada kebanyakan masih berpendidikan rendah. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang tata cara bertani yang baik pun belum diketahui. Tata cara
49
bertani yang dilakukan berdasarkan ajaran orangtua. Mereka berharap kelak anakanak mereka dapat menjadi petani yang berpendidikan sehingga produktivitas pertanian di Desa Pasawahan menjadi lebih meningkat dan lebih tersistematis. Budaya bertani yang ada diantara petani, yaitu budaya ‘ikut-ikutan’. Hal ini berarti penanaman atau jenis tanaman yang akan ditanam tergantung pada petani lain yang telah berhasil menanam tanaman tersebut. Sebagai contoh, sejak tahun 2007, banyak petani yang menanam pohon albu (albizea) di kebun mereka. Banyak petani yang menanam albu karena ada salah satu petani yang berhasil menanam tanaman tersebut dan memperoleh keuntungan yang luar biasa hingga mencapai jutaan rupiah. Akibatnya, hasil produksi pertaniannya tidak cukup beragam dan pendapatan pun semakin sedikit karena produk yang dihasilkan. Untuk hasil pertanian, belum ada suatu wadah yang menyalurkan (distributor) hasil pertanian dengan baik. Petani langsung menjual hasil pertanian mereka kepada tengkulak yang tentunya dirasa sangat merugikan karena membayar dengan harga yang sangat murah.
BAB V HUBUNGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PEMUDA TANI DENGAN SOSIALISASI DALAM AKTIVITAS PERTANIAN 5.1
Karakteristik Sosial Ekonomi Karakteristik sosial ekonomi pemuda tani dapat dilihat dari karakteristik
individu yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan akhir, status perkawinan, status kepemilikan lahan orangtua, dan luas penguasaan lahan. Selain itu, juga melihat pekerjaan orangtua baik ayah maupun ibu. 5.1.1 Karakteristik Individu Pemuda Tani Berikut tabel mengenai karakteristik individu pemuda tani. Tabel 9.
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Karakteristik Individu, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, tahun 2009
Karakteristik Pemuda Tani Jenis Kelamin Usia Tingkat Pendidikan Akhir Status Perkawinan Status Kepemilikan Lahan
Luas Penguasaan Lahan
Uraian Laki-laki Perempuan 16 - 20 tahun 21 - 25 tahun Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Belum Menikah Menikah Pemilik Pemilik dan Penggarap Penggarap Sewa < 0.25 Hektar 0.25 - < 0.5 Hektar 0.5 - < 1 Hektar ≥ 1 Hektar
Jumlah (%) 16 (40,0) 24 (60,0) 31 (77,0) 9 (23,0) 1 (2,5) 7 (17,5) 23 (57,5) 9 (22,5) 26 (65,0) 14 (35,0) 16 (50,0) 8 (25,0) 5 (16,0) 3 (9,0) 7 (17,5) 11 (27,5) 10 (25,0) 12 (30,0)
Berdasarkan Tabel 9, diketahui bahwa sebagian besar responden (60 persen) adalah perempuan, sedangkan responden laki-laki sebesar 40 persen. Dari segi usia, responden dibagi menjadi dua kategori yakni (1) kategori usia 16 - 20 tahun
51
dan (2) kategori usia 21 - 25. Sebagian besar responden (77 persen) termasuk pada kategori usia pertama yakni usia 16 - 20 tahun. Sebagian besar (57,5 persen) responden sudah menamatkan pendidikan pada tingkat SMP. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan sudah mulai meningkat. Orangtua mulai berpikir akan pendidikan anaknya sehingga anak mereka bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Berbeda dengan hasil penelitian Tarigan (2004) bahwa tingkat pendidikan di Desa Sukajembar relatif masih rendah karena sebagian besar masyarakat lulus SD atau tidak tamat/belum sekolah SD. Berdasarkan Tabel 9, diketahui bahwa sebagian besar responden (65 persen) belum menikah. Nampaknya saat ini pemuda tani telah berpikir bahwa lebih baik bekerja atau melanjutkan sekolah terlebih dahulu daripada menikah muda. Sebagian besar responden (50 persen), status kepemilikan lahan orangtua sebagai pemilik lahan, sedangkan 9 persen berasal dari keluarga yang berstatus sebagai penyewa lahan. Untuk luas penguasaan lahan, sebagian besar responden (30 persen) luas penguasaan lahan orangtua adalah sebesar lebih dari sama dengan 1 hektar (≥ 1 hektar), sedangkan 17,5 persen berasal dari keluarga yang memiliki luas penguasaan lahan kurang dari sama dengan 0,25 hektar (≤ 0,25 hektar) Hal ini memperlihatkan adanya ketimpangan dalam kepemilikan lahan pertanian. Seperti halnya, di Desa Sukajembar, juga terjadi ketimpangan dalam luas penguasaan lahan (Tarigan 2004). 5.1.2 Pekerjaan Orangtua Berikut penjelasan mengenai pekerjaan orangtua responden baik ayah maupun ibu, yang dilihat dari pekerjaan utama dan sampingan orangtua.
52
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Pemuda tani berdasarkan Pekerjaan Orangtua, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, tahun 2009 Pekerjaan Orangtua Pekerjaan Utama Ayah
Pekerjaan Utama Ibu
Pekerjaan Sampingan Ayah
Pekerjaan Sampingan Ibu
Uraian Petani Buruhtani Dagang Pegawai desa Petani Buruhtani Ibu Rumah Tangga Dagang Tidak Ada Sampingan Petani Dagang Lainnya Tidak Ada Sampingan Petani Dagang Lainnya
Jumlah (%) 27 (67,5) 8 (20,0) 3 (7,5) 2 (5,0) 14 (35,0) 6 (15,0) 16 (40,0) 4 (10,0) 23 (57,5) 4 (10,0) 6 (15,0) 7 (17,5) 26 (65,0) 10 (25,0) 1 (2,5) 3 (7,5)
Berdasarkan Tabel 10, secara keseluruhan orangtua responden bekerja di sektor pertanian, baik menjadi petani ataupun buruhtani. Namun, ada yang menjadikan pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan utama dan juga ada yang menjadikan sebagai pekerjaan sampingan. Sebagian besar orangtua responden (67,5 persen) bekerja sebagai petani, sedangkan 4 persen orangtua responden memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani. Pekerjaan utama ibu, hampir seimbang antara menjadi petani (35 persen) dan menjadi ibu rumahtangga (40 persen). Bagi orangtua yang menjadikan pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan sampingan, menganggap bahwa pekerjaan pertanian tidak dilakukan sepanjang musim dan dapat dilakukan secara fleksibel, sehingga memilih pekerjaan lain yang lebih bisa menjanjikan sepanjang tahun.
5.2
Hubungan Karakteristik Individu Pemuda Tani dan Sosialisasi dalam Aktivitas Pertanian Sosialisasi pekerjaan tani merupakan nilai-nilai yang ditanamkan oleh
orangtua ataupun kerabat lainnya, melalui pengenalan terhadap lingkungan
53
pertanian, serta pengajaran cara bertani. Hal ini dapat dilihat dari awal keikutsertaan ke lahan pertanian, orang yang mengajak ke lahan pertama kali, kegiatan yang dilakukan di lahan pertanian pertama kali, pernah diajarkan cara bertani, usia berapa diajarkan bertani, serta siapa yang mengajarkan bertani. Tabel 11. Tabulasi Silang antara Karakteristik Individu Responden dan Sosialisasi Aktivitas Pertanian, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, tahun 2009 Karakteristik Individu Jenis Kelamin Usia Tingkat Pendidikan Akhir Status Perkawinan Status Kepemilikan Lahan
Luas Penguasaan Lahan
Uraian Laki-laki Perempuan 16 - 20 tahun 21 - 25 tahun Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Belum Menikah Menikah Pemilik Pemilik dan Penggarap Penggarap Sewa < 0,25 Hektar 0,25 - < 0,50 Hektar 0,50 - < 1,00 Hektar ≥ 1 Hektar
Sosialisasi Aktivitas Pertanian Baik Buruk Sedang 7 (44) 0 (0) 9 (56) 11 (46) 2 (8) 11 (46) 12 (39) 2 (6) 17 (55) 6 (67) 0 (0) 3 (33) 1 (100) 0 (0) 0 (0) 4 (57) 0 (0) 3 (43) 2 (22) 2 (22) 5 (56) 11 (48) 0 (0) 12 (52) 9 (35) 2 (7) 15 (58) 9 (64) 0 (0) 5 (36) 6 (38) 1 (6) 9 (56) 3 (38) 0 (0) 5 (62) 2 (40) 0 (0) 3 (60) 0 (0) 1 (33) 2 (67) 4 (57) 0 (0) 3 (43) 5 (46) 1 (8) 5 (46) 3 (30) 1 (10) 6 (60) 6 (50) 0 (0) 6 (50)
Berdasarkan Tabel 11, dapat diketahui mengenai hubungan antara karakteristik individu pemuda tani dengan tingkat sosialisasi dalam aktivitas pertanian baik dilakukan oleh orangtua ataupun kerabat terdekat. Berdasarkan jenis kelamin, untuk sosialisasi buruk, sebanyak delapan persen responden memiliki tingkat sosialisasi yang buruk. Berdasarkan usia, sebagian besar responden (67 persen) pada usia 21-25 tahun memiliki tingkat sosialisasi yang baik. Berdasarkan tingkat pendidikan akhir, sebesar 22 persen responden dengan tingkat pendidikan akhir SMP yang memiliki tingkat sosialisasi yang buruk, sedangkan responden yang tidak tamat SD sebesar 100 persen memiliki tingkat sosialisasi yang baik. Hal ini disebabkan oleh pemuda tani yang tidak tamat SD lebih sering bersosialisasi dan ikutserta dalam aktivitas pertanian, sedangkan
54
pemuda yang telah tamat SMP sibuk dengan proses kegiatan belajar mengajar sehingga jarang diberikan sosialisasi terhadap aktivitas pertanian. Berdasarkan status perkawinan, sebagian besar responden (64 persen) yang telah menikah memiliki tingkat sosialisasi yang baik. Hal ini disebabkan oleh aktivitas responden yang telah menikah lebih sering berhubungan dengan aktivitas pertanian sehingga tingkat sosialisasi mereka lebih tinggi. Berdasarkan status kepemilikan lahan orangtua, sebagian besar responden (33 persen) yang status kepemilikan lahan sebagai penyewa lahan memiliki tingkat sosialisasi yang buruk karena mereka tidak memiliki lahan sendiri untuk disosialisasikan kepada anakanak mereka. Berdasarkan luas penguasaan lahan, sebagian besar responden (57 persen) yang menguasai lahan < 0,25 hektar memiliki tingkat sosialisasi yang baik, sedangkan yang memiliki lahan 0,25 - < 1,00 hektar yang memiliki tingkat sosialisasi lahan yang buruk.
55
BAB VI REPRESENTASI SOSIAL PEMUDA TANI Representasi sosial pemuda tani dilihat melalui dua dimensi yakni (1) dimensi pola pekerjaan dan pandangan terhadap kerja dan (2) dimensi lahan. Dimensi pola pekerjaan dan pandangan terhadap kerja terbagi menjadi tiga yaitu representasi sosial pertanian, representasi sosial pekerjaan tani, dan representasi sosial petani. Untuk dimensi lahan, terbagi menjadi dua yaitu representasi lahan dan representasi lahan kering. 6.1
Dimensi Pola Pekerjaan dan Pandangan Terhadap Kerja
6.1.1 Representasi Sosial Pertanian Berdasarkan hasil asosiasi kata maka diperoleh kategori kata yang lebih umum. Berikut enam kategori kata yang diperoleh dari hasil asosiasi kata pertanian. Tabel 12. Jumlah dan Persentase Asosiasi Kata Pertanian Berdasarkan Kategori Kata Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2009 Kategori Kata Jumlah (%) Aktivitas Pertanian 157 (78,5) Teknologi Pertanian 8 (4,0) Komoditas Pertanian 6 (3,0) Sumberdaya Alam Pertanian 22 (11,0) Afeksi 4 (2,0) Hambatan Pertanian 3 (1,5) 200 (100) Total Berdasarkan Tabel 12, diketahui bahwa sebagian besar kata (78,5 persen) merepresentasikan pertanian pada kategori aktivitas pertanian. Pemuda tani memaknai pertanian sebagai aktivitas kerja yang berkaitan dengan tenaga fisik seperti bercocoktanam, pembibitan, penanaman, panen, mengolah lahan, pembukaan lahan, mencangkul, menggarpu, pemupukan, penyiangan gulma,
56
penyemprotan pestisida, perawatan lahan, penyiraman, penjualan, pemasaran hasil, dengan menggunakan sarana produksi pertanian seperti cangkul, pupuk, yang biasa dilakukan di sawah, kebun ataupun ladang. Seperti halnya hasil penelitian Amelia (2005) yang menyatakan bahwa pemuda lebih mempersepsikan pertanian sebagai proses produksi komoditas pertanian yang mencakup seluruh kegiatan yang berhubungan langsung dalam proses pengelolaan, dan pemanfaatan sumberdaya alam pertanian. Pemuda tani tidak banyak yang memaknai pertanian sebagai teknologi, komoditas pertanian, afeksi, sumberdaya alam, dan hambatan pertanian. Teknologi pertanian yang disebutkan merupakan teknologi yang umum seperti irigasi dan sengkedan yang tergolong sederhana. Secara konteks lingkungan pertanian, Desa Pasawahan untuk pertanian sawah belum menggunakan teknologi seperti irigasi, namun telah menggunakan sistem sengkedan yakni tanah miring yang dibuat seperti berundak-undak (tangga) agar mencegah terjadinya longsor. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi longsor dan juga untuk mengalirkan air ke lahan lainnya. Komoditas pertanian yang dikemukakan hanya terbatas pada komoditas palawija. Pemuda lebih merepresentasikan pertanian secara umum. Oleh karena itu, masih sedikit afeksi yang muncul seperti sumber kehidupan dan terhormat. Begitu pula dengan hambatan pertanian, pemuda cenderung tidak memaknai hal tersebut. 6.1.2 Representasi Sosial Pekerjaan Tani Pemuda tani merepresentasikan pekerjaan tani ke dalam tiga kategori kata yang diperoleh dari hasil asosiasi kata. Berikut ketiga kategori kata yang muncul.
57
Jumlah dan Persentase Asosiasi Kata Pekerjaan Tani Berdasarkan Kategori Kata Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2009 Kategori Kata Jumlah (%) Aktivitas Pertanian 192 (96,0) Afeksi 6 (3,0) Sarana Produksi Pertanian 2 (1,0) 200 (100) Total Berdasarkan Tabel 13, diketahui bahwa hampir seluruh kata (96 persen)
Tabel 13.
merepresentasikan pekerjaan tani dalam kategori kata aktivitas pertanian. Pemuda tani memaknai pekerjaan tani yang sebagai aktivitas pertanian yang berkaitan dengan kekuatan fisik seperti bercocoktanam, pembibitan, penanaman, panen, mengolah lahan, pembukaan lahan, mencangkul, menggarpu, pemupukan, penyiangan gulma, penyemprotan pestisida, perawatan lahan, penyiraman, penjualan, pemasaran hasil, penyadap karet, buruh tani, tengkulak, dan sayuran. Pemuda tani lebih melihat aktivitas pertanian yang dilakukan di sarana kerja pertanian seperti sawah, kebun, dan huma. Dalam pekerjaan tani, mulai muncul afeksi terhadap pekerjaan ini. Afeksi tersebut terbagi dua yakni afeksi positif dan afeksi negatif. Pada afeksi positif, muncul kata baik dan untung, namun kata ini masih sedikit yang mengeluarkannya. Pada afeksi negatif, kata yang menggambarkan beban kerja dari pekerjaan pertanian yakni lelah, kotor, berat, dan beresiko. Hal ini mengartikan bahwa pemuda memaknai pekerjaan tani sebagai aktivitas pertanian yang terkait dengan mengolah sarana pertanian dengan menggunakan tenaga fisik yang kotor, melelahkan, berat dan beresiko. Seperti halnya hasil penelitian Tarigan (2004) yang mengemukakan bahwa di Desa Jembarmanah pemuda merepresentasikan pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang kotor, perlu kerja
58
keras, dan melelahkan. Sedangkan untuk sarana produksi tani sangat sedikit yang mengeluarkannya yakni hanya kata pupuk. Aspek Afektif Representasi Sosial Pekerjaan Tani Representasi sosial pekerjaan pertanian juga dilihat dari aspek afektif. Hal ini menggambarkan kecenderungan pemuda dalam merepresentasikan pekerjaan tani. Berikut ini tabel yang menunjukkan jumlah dan persentase aspek afektif terhadap pekerjaan tani, pemuda tani Desa Pasawahan. Tabel 14. Jumlah dan Persentase Aspek Afektif terhadap Pekerjaan Tani, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2009
1
Pandangan terhadap Pekerjaan Pertanian Baik - Buruk
2
Untung - Rugi
3
Aman - Beresiko
4
Ringan - Melelahkan
5
Mencukupi - Tidak
6
Bersih - Kotor
7
Santai - Terikat Waktu
8
Modern - Tradisional
9
Terhormat - Memalukan
No.
Sangat Positif 34 (85,0) 15 (37,5) 18 (45,0) 6 (15,0) 20 (50,0) 2 (5,0) 8 (20,0) 6 (15,0) 8 (20,0)
Positif
Netral
Negatif
0 (0,0) 11 (27,5) 5 (12,5) 5 (12,5) 6 (15,0) 3 (7,5) 9 (22,5) 4 (10,0) 5 (12,5)
1 (2,5) 11 (27,5) 8 (20,0) 9 (22,5) 9 (22,5) 8 (20,0) 8 (20,0) 19 (47,5) 21 (52,5)
2 (5,0) 2 (5,0) 5 (12,5) 2 (5,0) 1 (2,5) 5 (12,5) 4 (10,0) 7 (17,5) 5 (12,5)
Sangat Negatif 3 (7,5) 1 (2,5) 4 (10,0) 18 (45,0) 4 (10,0) 22 (55,0) 11 (27,5) 4 (10,0) 1 (2,5)
Berdasarkan Tabel 14, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan pemuda di Desa Pasawahan memiliki representasi terhadap pekerjaan pertanian yang cenderung positif. Hal ini terlihat dari pernyataan-pernyataan positif yang lebih dipilih oleh responden. Representasi pemuda tani terhadap pekerjaan pertanian cenderung positif terhadap kata ‘baik’ (85 persen) dan kata ‘mencukupi’ (50
59
persen). Lalu pekerjaan tani juga direpresentasikan sebagai pekerjaan yang aman, untung, terhormat dan santai. Untuk tiga pernyataan lainnya memiliki representasi yang cenderung negatif yakni ‘kotor’ (55 persen), ‘melelahkan’ (45 persen), dan pekerjaan pertanian direpresentasikan sebagai pekerjaan yang masih tradisional. Pemuda melihat pekerjaan pertanian secara positif dari segi moral, ekonomi pandangan pribadi, dan sosial. Dari segi moral, pemuda memiliki representasi bahwa pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang ‘baik’. Pemuda menganggap bahwa pekerjaan pertanian merupakan pekerjaan yang mulia. Berikut kutipan pernyataan dari salah satu responden yang mengatakan pekerjaan yang ‘baik’: “Pekerjaan tani tuh mulia teh, soalnya dari pertanian kita kan menghasilkan padi berarti dari pekerjaan ini dapat ngidupin orang banyak teh, udah gitu halal lagi hasilnya” (AA, 19 tahun). Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa pemuda menganggap pekerjaan pertanian adalah pekerjaan yang mulia karena secara tidak langsung dapat menghidupi orang banyak. Secara moral, pekerjaan pertanian dianggap lebih halal dibandingkan pekerjaan lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Muksin (2007) yang menyatakan bahwa pekerjaan pertanian lebih halal atau bersih dan jauh dari kecurangan. Pemuda merepresentasikan pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang menguntungkan dan mencukupi kebutuhan, dari segi ekonomi. Menurut pemuda, pekerjaan pertanian dapat menguntungkan apabila mempunyai lahan yang luas dan dimanfaatkan dengan maksimal.
60
Berikut kutipan pernyataan pemuda yang menyatakan pekerjaan pertanian ‘menguntungkan’: “Kalo kerja di pertanian mah bisa untung bisa juga ga untung, untung kalo kita punya lahan yang luas dan digarap, kalo ga digarap mah sama aja boong ga dapet untung apa-apa teh” (PY, 17 tahun). Pemuda juga merepresentasikan bahwa pekerjaan pertanian adalah pekerjaan yang mencukupi kebutuhan. Pertanian hanya sebagai pekerjaan subsisten, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga saja. Berikut kutipan yang menyatakan bahwa pertanian ‘mencukupi kebutuhan’: “Dengan bertani cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga aja, terkadang kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ” (HD, 21 tahun). Pemuda juga merepresentasikan secara sosial yakni pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang terhormat. Terhormat yang dimaksud yaitu pekerjaan pertanian tidak memalukan dan lebih membanggakan. Berikut kutipan yang menyatakan pekerjaan pertanian merupakan pekerjaan yang ‘terhormat’: “Bekerja dipertanian menyenangkan dan lebih bangga kepada diri sendiri, petani dapat menghidupi orang banyak, dan lebih terhormat” (RW, 20 tahun). Berdasarkan kutipan di atas, terlihat bahwa pekerjaan pertanian merupakan pekerjaan yang terhormat. Hal ini menunjukkan pemuda masih memiliki representasi yang positif terhadap pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang terhormat.
61
Berdasarkan pandangan pribadi pemuda merepresentasikan pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang aman dan santai. Pemuda menganggap pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang aman karena bisa menghasilkan produksi yang relatif stabil terhadap gejolak politik atau kondisi perekonomian negara, dan nyaman karena berada diantara komunitas asalnya yang dinilai tenang, ramah, penuh rasa kekeluargaan. Namun, pekerjaan pertanian ini terkadang dibayangi oleh suatu risiko yakni gagal panen akibat bencana alam ataupun gangguan hama. Santai disini berarti pekerjaan pertanian tidak terikat waktu dan bersifat fleksibel. Berikut kutipan pernyataan pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang ‘aman’: “Pekerjaan pertanian tuh aman karena produksinya stabil, resikonya kecil, paling-paling resikonya cuma satu, ya gagal panen teh ” (AO, 25 tahun). Kutipan di atas menunjukan bahwa pertanian merupakan pekerjaan yang aman karena memiliki resiko yang kecil. Hal ini menunjukan bahwa pekerjaan pertanian tetap menjadi pilihan bagi masyarakat Desa Pasawahan. Berikut kutipan yang menyatakan pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang ‘santai’: “Kalo kerja tani mah santai ga pake jadwal-jadwal kayak kerja kantoran, kalo emang harus ke sawah ya udah berangkat, ga ditentuin kapan harus ke lahan” (AO, 25 tahun). Berdasarkan kutipan tersebut di atas, terlihat bahwa memang pekerjaan pertanian tidak terlalu mengikat dalam hal waktu. Waktu petani untuk bekerja di
62
lahannya masing-masing bersifat fleksibel tergantung kebutuhan dan aktivitas yang dilakukan. Representasi pemuda terhadap pekerjaan pertanian yang negatif yakni dari segi pandangan pribadi dan segi teknologi. Dari segi pandangan pribadi ini, pemuda lebih melihat pada beban kerja dari pekerjaan pertanian yaitu melelahkan dan juga kotor. Berikut kutipan pernyataan yang menyatakan pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang ‘melelahkan dan kotor’: “Kerja tani itu melelahkan juga harus kotor-kotoran” (MY, 17 tahun). Kutipan di atas menunjukan bahwa pekerjaan pertanian itu melelahkan dan kotor bagi pemuda. Pemuda lebih melihat pekerjaan pertanian menurut pandangan pribadi mereka sebagai sesuatu yang membebankan dan kotor. Berdasarkan segi teknologi, pemuda merepresentasikan bahwa pekerjaan pertanian masih jarang menggunakan teknologi, karena sistem pertanian yang mereka gunakan masih tradisional. Kondisi lahan yang miring dan berundakundak menyulitkan mereka untuk memakai teknologi seperti alat pembajak, sehingga pekerjaan lebih sulit dan melelahkan dengan cara yang tradisional. Berikut kutipan yang menyatakan pekerjaan pertanian masih ‘tradisional’: “Untuk ngebajak sawah mah susah kalo pake traktor soalnya kan tanah disini miring dan berundak-undak, paling kita masih pake kebo kalo ngebajak sawah” (PY, 17 tahun). Secara keseluruhan, pemuda merepresentasikan cenderung positif terhadap pekerjaan pertanian. Pemuda melihat pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang baik, mencukupi kebutuhan, memiliki keuntungan ekonomi, aman, terhormat,
63
ataupun tidak terikat waktu. Namun, pemuda juga melihat pada beban kerja dari pekerjaan pertanian yakni melelahkan dan kotor. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Tjakrawati (1988) dan Marbun (2008) yang menyatakan bahwa pekerjaan tani dianggap baik, tidak terikat waktu, dan santai. Namun, segi buruk dari pekerjaan pertanian yaitu kepanasan, kotor berlumpur, dan berat. 6.1.3 Representasi Sosial Petani Pemuda tani merepresentasikan petani ke dalam tiga kategori kata yang diperoleh dari hasil asosiasi kata. Berikut ketiga kategori kata yang muncul. Jumlah dan Persentase Asosiasi Kata Petani Berdasarkan Kategori Kata Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2009 Kategori Kata Jumlah (%) Afeksi Positif 88 (44,0) Afeksi Negatif 50 (25,0) Aktivitas Pertanian 62 (31,0) 200 (100) Total Berdasarkan Tabel 15, sebagian besar kata (44 persen) yang muncul
Tabel 15.
merepresentasikan kata petani pada kategori afeksi positif. Afeksi positif ini terbagi menjadi dua yakni sifat/karakter petani dan kekuatan fisik petani. Dalam sifat/karakter petani muncul kata-kata positif yakni rajin, mandiri, pantang menyerah, sabar, mengerti alam, lapang dada, tekun, terhormat, kaya, pekerja keras, tak kenal lelah, dan pahlawan. Untuk kekuatan fisik, kata-kata yang muncul yaitu kuat, tahan panas, tahan hujan, tahan ‘banting’. Pemuda tani memaknai petani sebagai profesi yang harus memiliki kesabaran, perlu ketekunan, tak mengenal lelah dan sifat petani lainnya, serta memerlukan kekuatan fisik seperti tahan panas/hujan dan tahan ‘banting’. Pemuda tani juga memaknai petani sebagai afeksi negatif yang terbagi menjadi dua yaitu fisik petani dan kondisi petani. Dari segi fisik petani kata-kata
64
yang muncul yaitu dekil, kotor, hitam, dan baju lusuh, sedangkan dari kondisi petani muncul kata-kata tertindas, terintimidasi, terkucilkan, putus asa, lelah, cuek, terhina, miskin,dan beresiko. Secara fisik petani terlihat dekil, kotor, hitam, dan baju lusuh. Hal ini disebabkan kondisi pekerjaan mereka yang bekerja dibawah terik sinar matahari, kepanasan, kehujanan, kotor-kotoran di lumpur atau tanah. Dari segi kondisi petani, terlihat bahwa petani sebagai obyek atau korban dari kejamnya masyarakat yang memandang petani sebelah mata sehingga petani merasa bahwa mereka terintimidasi, terhina, terkucilkan dan sebagainya. Terlihat bahwa terkadang petani merasa tidak nyaman akan profesinya sebagai petani. Pemuda tani juga memaknai petani sebagai profesi yang melakukan aktivitas pertanian dengan menggunakan kekuatan fisik seperti bercocok tanam, pembibitan, penanaman, panen, mengolah lahan, menyemai, pemupukan, penyiangan gulma, penyemprotan pestisida, perawatan lahan, penyiraman, sawah, pembukaan lahan, mencangkul, menggarpu, dan membajak lahan. Dalam aktivitas pertanian ini juga muncul status dari petani yakni pemilik dan penggarap, dan alat kerja dari petani seperti cangkul, parang serta caping. Hal ini merepresentasikan bahwa petani adalah salah satu profesi yang melakukan aktivitas pertanian di lahan dengan menggunakan alat pertanian, yang memiliki status sebagai pemilik atau sebagai penggarap, yang memiliki sifat/karakteristik yang baik secara normatif. 6.2
Dimensi Lahan
6.2.1 Representasi Sosial Lahan Pemuda tani merepresentasikan lahan menjadi lima kategori umum. Berikut lima kategori kata yang diperoleh dari hasil asosiasi kata lahan.
65
Jumlah dan Persentase Asosiasi Kata Lahan Berdasarkan Kategori Kata Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2009 Kategori Kata Jumlah (%) Sarana Kerja Pertanian 77 (38,5) Kondisi Lahan 56 (28,0) Afeksi 39 (19,5) Komoditas Pertanian 23 (11,5) Sarana Produksi Pertanian 5 (2,5) 200 (100) Total Berdasarkan Tabel 16, diketahui bahwa sebagian besar kata (38,5 persen)
Tabel 16.
yang muncul untuk merepresentasikan kata lahan termasuk pada kategori sarana kerja pertanian. Pemuda tani memaknai lahan sebagai sarana kerja pertanian yakni sawah, kebun, huma, hutan, dan ladang. Hal ini menggambarkan konteks pertanian lahan kering yang lahan pertaniannya berupa sawah, kebun huma, hutan, dan ladang. Selain itu, pemuda juga merepresentasikan kondisi dari lahan pertanian. Kondisi lahan ini terbagi menjadi tiga yakni kondisi lahan yang baik, kondisi lahan yang buruk, dan usaha perbaikan lahan. Dari ketiganya, kata pada kondisi lahan yang buruk lebih banyak muncul yaitu kata kering, basah, becek, gersang, tandus, lembab, dan lahan miring, sedangkan kondisi lahan yang baik hanya dua kata yang muncul yaitu subur dan luas. Sedikit pemuda tani yang merepresentasikan afeksi (sumber kehidupan, rebut, garap, dan perjuangkan), komoditas pertanian (padi, palawija, dan tanaman jangka panjang) dan sarana produksi pertanian (pupuk dan benih). Idhamsyah et al. (2009) menyebutkan bahwa konteks lingkungan berperan dalam membentuk representasi sosial. Secara keseluruhan, pemuda tani merepresentasikan kata lahan sebagai sarana kerja bagi petani. Namun, kondisinya kurang memuaskan walaupun dianggap sebagai sumber kehidupan. Kondisi lahan yang cenderung buruk ini terkait dengan konteks lokasi di Desa Pasawahan yang
66
tergolong lahan kering. Oleh sebab itu, pemuda tani cenderung kecewa dengan kondisi lahan yang mereka tempati saat ini. Untuk meyelesaikan masalah dari kondisi lahan maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk memperbaiki kondisi lahan sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih maksimal. Representasi sosial yang terbentuk secara tidak langsung dipengaruhi oleh konteks lingkungan pemuda tani. Aspek Afektif Representasi Sosial Lahan Representasi sosial pekerjaan lahan pertanian juga dilihat dari aspek afektif. Hal ini menggambarkan kecenderungan pemuda dalam merepresentasikan lahan pertanian. Berikut ini tabel yang menunjukkan jumlah dan persentase aspek afektif terhadap lahan pertanian, pemuda tani Desa Pasawahan. Tabel 17. Jumlah dan Persentase Representasi Pemuda tani terhadap Lahan Pertanian No. 1 2 3 4 5
Pandangan terhadap Lahan Pertanian Ekonomis - Tidak Ekonomis Menjamin Hari Tua Tidak Menjamin Terhormat - Tidak Terhormat Murah- Mahal Berharga - Tidak Berharga
Sangat Positif 21 (52,5) 22 (55,0) 13 (32,5) 2 (5,0) 33 (82,5)
Positif
Netral
Negatif
5 (12,5) 8 (20,0) 4 (10,0) 0 (0,0) 3 (7,5)
10 (25,0) 4 (10,0) 21 (52,5) 8 (20,0) 3 (7,5)
3 (7,5) 6 (15,0) 1 (2,5) 10 (25,0) 1 (2,5)
Sangat Negatif 1 (2,5) 0 (0,0) 1 (2,5) 20 (50,0) 0 (0,0)
Berdasarkan Tabel 17, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan pemuda di Desa Pasawahan memiliki representasi terhadap lahan pertanian yang cenderung positif. Hal ini terlihat dari pernyataan-pernyataan positif yang lebih dipilih oleh responden. Dari lima pernyataan yang dikemukakan, pemuda memilih empat pernyataan positif yakni lahan pertanian itu bersifat ekonomis, dapat menjamin
67
dihari tua, terhormat, dan berharga. Akan tetapi, dari representasi positif tersebut terdapat representasi negatif yakni lahan pertanian mahal. Pemuda melihat lahan pertanian dari dua segi yakni segi ekonomi dan segi sosial. Dari segi ekonomi, pemuda merepresentasikan lahan sebagai sesuatu yang bersifat ekonomis, menjamin hari tua, dan berharga. Sedangkan secara sosial, lahan pertanian itu bisa membuat orang menjadi lebih terhormat. Berikut kutipan responden yang menyatakan lahan pertanian ‘ekonomis’: “Kalo punya lahan mah enak teh bisa dapet untung, apalagi kalo lahannya luas tinggal nunggu hasil aja, tapi kalo didiemin tanah mah ga berarti apa-apa karena ga ada hasil yang bisa diambil”(AO, 25 tahun). Kutipan di atas menunjukan bahwa lahan bersifat ekonomis. Hal ini disebabkan dengan mempunyai lahan petani dapat memperoleh keuntungan. Namun, lahan harus tetap diolah dan jangan diberakan (didiamkan) karena lahan yang tidak diolah tidak dapat menghasilkan apapun kecuali tanah tersebut dijual. Lahan pertanian juga direpresentasikan sebagai sesuatu yang dapat menjamin dihari tua. Pemuda menganggap jika telah memiliki lahan pertanian akan lebih tenang karena tanah merupakan investasi jangka panjang dan tidak habis pakai. Lahan pun bisa diwariskan secara turun temurun sehingga keturunan kelak juga bisa terjamin kehidupannya. Berikut kutipan yang menyatakan lahan pertanian ‘menjamin dihari tua’: “kalo udah punya lahan mah bisa tenang dah, ampe tua juga dah gak usah bingung mo nyari kerjaan apa, lahan juga bisa disewain, pokoknya terjamin deh ” (AA, 21 tahun).
68
Lahan pertanian selain direpresentasikan sebagai sesuatu yang bersifat ekonomis, dan menjamin dihari tua, juga direpresentasikan sesuatu yang berharga. Lahan dianggap berharga karena lahan merupakan harta yang paling berharga bagi petani. Tanpa lahan mereka akan kesulitan untuk bertani dan mencukupi kebutuhan keluarga. Berikut kutipan yang menyatakan bahwa lahan pertanian ‘berharga’: “Lahan teh berharga banget buat orang-orang di sini yang kerjaannya sebagai petani, kalo ga ada lahan ga tau deh kaya gimana kita bisa bertahan hidup” (YY, 21 tahun). Seperti halnya di atas, lahan pertanian merupakan sesuatu yang berharga. Oleh sebab itu, nilai dari lahan semakin lama semakin mahal. Hal ini juga dirasakan oleh pemuda bahwa harga lahan yang mahal. Berikut kutipan yang menyatakan bahwa lahan pertanian ‘mahal’: “Lahan pertanian mah mahal apalagi yang tempatnya di pinggir jalan pasti lebih mahal tah” (PY, 17 tahun). Terlihat dari kutipan di atas bahwa lahan pertanian yang ada memiliki harga yang mahal. Apalagi jika lokasinya strategis di pinggir jalan. Tentunya lahan tersebut lebih mahal dibandingkan yang lokasinya jauh dari jalan. Dari segi sosial, nilai sosial lahan pertanian telah mengalami pergeseran. Terlihat bahwa pemuda lebih bersifat netral dan cenderung positif pada kata terhormat. Lahan tidak lagi menentukan terhormat atau tidaknya posisi seseorang di desa tersebut. Berikut kutipan yang mendukung pernyataan bahwa lahan tidak menentukan status kehormatan seseorang:
69
“terhormat atau ga nya orang, sekarang mah ga dilihat dari lahan yang dimiliki teh, tapi dilihat dari posisi di masyarakat misalnya sebagai kepala dusun pasti lebih dihormati oleh warga” (AA, 21 tahun). Berdasarkan kutipan di atas terlihat bahwa nilai sosial lahan sudah mengalami pergeseran pada pemuda. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tjakrawati (1988), Amelia (2005), dan Marbun (2008), yang menyatakan bahwa lahan memiliki nilai sosial dan ekonomi. Nilai sosial lahan dapat menunjuk status sosial seseorang. Semakin luas lahan yang dimiliki seseorang maka semakin tinggi status orang tersebut di masyarakat. Secara keseluruhan pemuda memiliki representasi yang cenderung postif terhadap lahan pertanian. Lahan pertanian sebagai sesuatu yang bernilai ekonomis, menjamin dihari tua, berharga, namun memiliki harga yang mahal, sehingga tidak semua orang mampu membeli lahan. Selain itu, nilai sosial lahan juga telah mengalami perubahan, kepemilikan lahan cenderung tidak menentukan status terhormat atau tidaknya seseorang. Hal ini memperlihatkan bahwa pemuda lebih merepresentasikan lahan pertanian dari nilai ekonomi dibandingkan nilai sosial dari lahan itu sendiri. 6.2.2 Representasi Sosial Lahan Kering Representasi sosial terhadap lahan kering diperoleh tiga kategori umum yang direpresentasikan oleh pemuda tani. Berikut tiga kategori kata yang diperoleh dari hasil asosiasi kata lahan kering. Jumlah dan Persentase Asosiasi Kata Lahan Kering Berdasarkan Kategori Kata Kategori Kata Jumlah (%) Afeksi Negatif 102 (51.0) Afeksi Positif 7 (3.0)
Tabel 18.
70
Kategori Kata Jumlah (%) Usaha Perbaikan Lahan 41 (20,5) Sarana Kerja Pertanian 23 (11,5) Komoditas Pertanian 15 (7,5) Penggunaan Lahan (Selain Pertanian) 12 (6,0) 200 (100) Total Berdasarkan Tabel 18, terlihat bahwa sebagian besar kata (51 persen) termasuk dalam kategori kata afeksi negatif. Pemuda tani memaknai lahan kering sebagai afeksi negatif dari kondisi lahan kering yang terdiri dari kondisi lahan yang buruk (tandus, longsor, sulit ditanami, tidak subur, curam, retak-retak, lembab, gersang, gundul, keras, kurang air, jelek, lahan miring, berbatu, dan menyedihkan) dan masalah pertanian (gagal panen dan paceklik). Terlihat bahwa ketika mendengar kata lahan kering, pemuda tani merepresentasikan kondisi buruk dari lahan kering seperti tandus, longsor, sulit ditanami, tidak subur, curam, retak-retak, lembab, gersang, gundul, keras, kurang air, jelek, lahan miring, berbatu, dan tentunya menyedihkan. Dari kondisi lahan yang buruk tentu akan muncul masalah pertanian seperti paceklik dan gagal panen akibat kondisi yang kurang mendukung. Berdasarkan kondisi lahan yang buruk, tentu pemuda tani juga merepresentasikan suatu usaha untuk perbaikan lahan seperti digemburkan, diolah, diairi, reboisasi, dipupuk, dan ditanami kembali. Namun, hanya 3 persen kata yang termasuk afeksi positif yaitu subur, gembur, dan luas. Pemuda tani juga memaknai lahan kering sebagai sarana kerja pertanian yaitu ladang, huma, dan pekarangan. Tidak banyak yang merepresentasikan komoditas pertanian yang muncul sesuai dengan tanaman yang bisa ditanam di lahan kering seperti tanaman jangka panjang, palawija, dan kacang-kacangan. Pemuda tani juga tidak banyak yang merepresentasikan lahan sebagai penggunaan lahan selain untuk pertanian (perumahan dan bangunan). Lahan juga memiliki
71
peranan lain selain sebagai sarana kerja, akan tetapi lahan kering juga berfungsi sebagai lahan untuk pemukiman. Seperti halnya representasi sosial lahan, dalam merepresentasikan lahan pemuda dipengaruhi oleh konteks lingkungan pertanian di Desa Pasawahan yakni pertanian lahan kering.
Ikhtisar Representasi sosial pertanian dan pekerjaan tani pada pemuda tani di Desa Pasawahan dapat dikatakan sama. Secara umum pemuda merepresentasikan pertanian dan pekerjaan tani sebagai aktivitas pertanian yang berkaitan dengan tenaga fisik yang dilakukan di lahan pertanian. Berbeda dengan pertanian dan pekerjaan tani, pemuda tani merepresentasikan petani sebagai afeksi positif dari profesi petani. Untuk lahan, pemuda tani merepresentasikannya sebagai sarana kerja pertanian dengan kondisi lahan yang kurang memuaskan. Sedangkan lahan kering, pemuda tani secara umum merepresentasikan afeksi negatif dari lahan kering. Secara umum, representasi sosial pemuda tani terhadap pertanian, pekerjaan tani, petani, lahan, serta lahan kering secara tidak langsung dipengaruhi oleh konteks lingkungan pertanian di desa tersebut.
72
BAB VII HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU PEMUDA TANI, SOSIALISASI PEKERJAAN TANI, DAN INTENSITAS KEIKUTSERTAAN AKTIVITAS PERTANIAN DENGAN REPRESENTASI SOSIAL 7.1
Hubungan Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Pada sub bab ini dibahas hubungan antara karakteristik individu dengan
representasi sosial terhadap pertanian, pekerjaan tani, petani, lahan, dan lahan lering. Karakteristik individu terdiri dari jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status perkawinan, status kepemilikan lahan, dan luas penguasaan lahan. 7.1.1 Hubungan Karakteritik Individu dengan Representasi Sosial Pertanian Pada representasi sosial pertanian ternyata tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status perkawinan status kepemilikan lahan, serta luas penguasaan lahan. Pemuda tani cenderung merepresentasikan pertanian sebagai aktivitas pertanian secara umum sesuai dengan apa yang telah mereka lihat sendiri di lingkungan sekitar pemuda tani. 7.1.2 Hubungan Karakteritik Individu dengan Representasi Sosial Pekerjaan Tani Representasi sosial terhadap petani ternyata memiliki hubungan yang signifikan dengan status kepemilikan lahan. Pada status kepemilikan lahan, didapatkan nilai chi square dengan nilai 24,253 pada α=0,05. Terlihat Lampiran 4, persentase afeksi pada pekerjaan tani lebih besar (20 persen) pada pemuda tani yang orangtuanya sebagai petani penggarap dibandingkan dengan petani pemilik, pemilik dan penggarap, atau sewa. Pemuda tani yang orangtuanya berstatus sebagai pemilik dan penggarap, sebesar 100 persen merepresentasikan pekerjaan tani sebagai aktivitas pertanian.
73
7.1.3 Hubungan Karakteritik Individu dengan Representasi Sosial Petani Representasi sosial terhadap petani ternyata memiliki hubungan yang signifikan dengan usia, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan luas penguasaan lahan. Pada usia, didapatkan chi square dengan nilai 15,232 pada α=0,05. Terlihat dari Lampiran 7, bahwa kategori usia 16 - 20 tahun (27,1 persen) lebih merepresentasikan afeksi negatif dibandingkan dengan kategori usia 21 - 25 tahun (17,8 persen), begitu pula sebaliknya, kategori usia 21 - 25 tahun (68,9 persen) lebih merepresentasikan pada afeksi positif dibandingkan kategori usia 16 - 20 tahun (36,8 persen). Dapat disimpulkan bahwa semakin muda usia seseorang maka cenderung negatif representasi sosial yang terbentuk. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Tarigan (2004) yang menyatakan bahwa semakin muda usia pemuda maka semakin negatif representasi mereka terhadap pertanian dan semakin tua usia pemuda semakin positif representasi mereka terhadap pertanian. Pada tingkat pendidikan, didapatkan chi square dengan nilai 14,503 pada α=0,05. Terlihat pada Lampiran 7, bahwa persentase afeksi positif pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, lebih kecil (26,7 persen) dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah (100 persen). Dapat disimpulkan semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin merepresentasikan petani pada afeksi positif terhadap profesi petani. Hal ini disebabkan semakin tinggi pendidikan mereka tidak terlalu melihat aspek positif profesi petani karena mereka tidak berminat terhadap profesi tersebut. Hal ini seperti hasil penelitian Amelia (2005) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan persepsi pada tingkat pendidikan yang berbeda. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tidak tertarik pada profesi di pertanian.
74
Pada status perkawinan, didapatkan nilai chi square dengan nilai 20,326 pada α=0,05. Terlihat pada Lampiran 7, diketahui bahwa persentase afeksi positif pada pemuda yang telah menikah lebih besar (64,3 persen) dibandingkan dengan pemuda yang belum menikah (33,1). Sedangkan persentase afeksi negatif lebih besar pada pemuda yang belum menikah dibandingkan dengan pemuda yang telah menikah. Dapat disimpulkan bahwa pemuda tani yang telah menikah cenderung memiliki representasi yang lebih positif dibandingkan dengan pemuda yang belum menikah. Hal ini disebabkan pemuda yang telah menikah harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan melakukan pekerjaan sebagai petani. Sedangkan pemuda yang belum menikah masih mempunyai pilihan lain selain bertani. Seperti halnya penelitian Daniel (2004), pemuda yang telah menikah lebih positif mempersepsikan pekerjaan pertanian. Pada luas penguasaan lahan, didapatkan nilai chi square dengan nilai 13,748 pada α=0,05. Terlihat pada Lampiran 7, persentase afeksi positif pemuda dengan luas penguasaan < 0,25 hektar lebih besar (68,6 persen) dibandingkan dengan status penguasaan lahan 0,25 - < 0,50 hektar (52,7 persen), 0,50 - < 1,00 hektar (32) dan > 1,00 hektar (31,7 persen). Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah luas penguasaan lahan maka cenderung positif merepresentasikan petani. Hal ini disebabkan pemuda dengan luas penguasaan lahan yang sempit memandang petani dengan luas penguasaan lahan luas secara positif karena dipandang lebih enak dan lebih baik kehidupannya. Berbeda dengan hasil penelitian Tarigan (2004) yang menyatakn bahwa semakin luas lahan yang dimiliki maka semakin positif representasi terhadap pekerjaan pertanian.
75
7.1.4 Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Lahan Representasi sosial lahan ternyata mempunyai hubungan yang signifikan dengan status perkawinan dan luas penguasaan lahan. Pada status perkawinan, didapatkan nilai chi square dengan nilai 12,056 pada α=0,05. Terlihat pada Lampiran 10, diketahui bahwa persentase sarana kerja pertanian pada pemuda yang telah menikah lebih besar (51,4 persen) dibandingkan dengan pemuda yang belum menikah (31,5 persen). Dapat disimpulkan bahwa pemuda tani yang telah menikah cenderung memiliki representasi lahan sebagai sarana kerja pertanian dibandingkan dengan pemuda yang belum menikah. Hal ini disebabkan pemuda yang telah menikah harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan melakukan pekerjaan sebagai petani dengan menggunakan lahan sebagai sarana kerja mereka. Tanpa lahan pemuda akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Pada luas penguasaan lahan, didapatkan nilai chi square dengan nilai 22,259 pada α=0,05. Terlihat pada Lampiran 10, diketahui bahwa persentase pada luas penguasaan lahan < 0,25 hektar (54,3 persen) dan 0,25 - < 0,50 hektar (58,2 persen) lebih besar pada sarana kerja pertanian dibandingkan dengan luas penguasaan lahan 0,50 - < 1,00 hektar (24 persen) dan > 1,00 hektar (23,3 persen). Sedangkan, luas penguasaan lahan 0,50 - < 1,00 hektar (36 persen) dan > 1,00 hektar (28,3 persen) lebih besar pada afeksi dibandingkan luas penguasaan lahan < 0,25 hektar (8,6 persen) dan 0,25 - < 0,50 hektar (1,8 persen). Hal ini memperlihatkan bahwa semakin luas lahan yang dikuasai maka cenderung semakin besar representasi pada afeksi lahan dan semakin sempit lahan yang
76
dikuasai maka cenderung semakin besar representasi terhadap sarana kerja pertanian. 7.1.5 Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Lahan Kering Representasi sosial lahan kering ternyata mempunyai hubungan yang signifikan dengan jenis kelamin dan status perkawinan. Pada jenis kelamin, didapatkan nilai chi square dengan nilai 12,574 pada α=0,05. Terlihat pada Lampiran 13, diketahui bahwa persentase representasi lahan kering pada usaha perbaikan lahan lebih besar (28,8 persen) pada pemuda laki-laki dibandingkan dengan pemuda perempuan (15 persen). Hal ini dimungkinkan karena laki-laki lebih sering melakukan aktivitas pertanian di lahan sehingga merasa kondisi lahan kering yang ada cukup mengecewakan. Usaha perbaikan lahan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas yang selama ini rendah. Pada status perkawinan, didapatkan nilai chi square dengan nilai 11,285 pada α=0,05. Terlihat pada Lampiran 13, diketahui bahwa persentase representasi afeksi negatif lahan pada pemuda yang telah menikah lebih besar (57,1 persen) dibandingkan dengan pemuda yang belum menikah (47,7 persen). Dapat disimpulkan bahwa pemuda tani yang telah menikah cenderung memiliki representasi lahan kering sebagai afeksi negatif lahan dibandingkan dengan pemuda yang belum menikah. Hal ini disebabkan pemuda yang telah menikah memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan melakukan pekerjaan sebagai petani dengan menggunakan lahan sebagai sarana kerja mereka sehingga mereka lebih sering berhubungan dengan kondisi lahan yang buruk. Semakin sering kontak dengan lahan dengan kondisi yang buruk maka cenderung semakin negatif representasi pemuda yang telah menikah terhadap lahan kering.
77
7.2
Hubungan Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Pada sub bab ini dibahas hubungan antara sosialisasi pekerjaan pertanian
dengan representasi sosial terhadap kata pertanian, pekerjaan tani, petani, lahan, dan lahan kering. Sosialisasi pekerjaan pertanian terdiri dari pengajaran cara bertani dan awal usia pengajaran cara bertani. 7.2.1 Hubungan Antara Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Pertanian Pada representasi sosial pertanian ternyata tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan pengajaran cara bertani dan awal usia pengajaran cara bertani. Pemuda tani cenderung merepresentasikan pertanian sebagai aktivitas pertanian secara umum sesuai dengan apa yang telah mereka lihat sendiri di lingkungan sekitar pemuda tani. Dalam hal ini, representasi sosial pertanian pemuda berhubungan konteks lingkungan pertanian yang merupakan lingkungan pertanian lahan kering. 7.2.2 Hubungan Antara Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Pekerjaan Tani Begitu pula dengan representasi sosial pekerjaan tani tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan pengajaran cara bertani dan awal usia diajarkan bertani. Pemuda tani cenderung merepresentasikan pekerjaan tani sebagai aktivitas pertanian yang menggunakan kekuatan fisik. Representasi sosial ini juga berhubungan dengan konteks lingkungan pertanian mereka. 7.2.3 Hubungan Antara Sosialisasi Pekerjaan Pertanian dengan Representasi Sosial Petani Begitu pula dengan representasi sosial petani tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan pengajaran cara bertani dan awal usia diajarkan bertani. Pemuda tani cenderung merepresentasikan petani pada afeksi positif dari profesi petani. Pemuda dapat merepresentasikan petani tanpa harus melalui proses
78
pengajaran, tetapi hanya berinteraksi dan berkomunikasi dengan petani pemuda dapat merepresentasikan petani secara nyata. 7.2.4 Hubungan Antara Sosialisasi Pekerjaan Pertanian dengan Representasi Sosial Lahan Representasi sosial lahan tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan pengajaran cara bertani dan awal usia diajarkan bertani. Pemuda tani cenderung merepresentasikan lahan pada sarana kerja pertanian dengan kondisi yang kurang memuaskan. Pemuda dapat merepresentasikan petani tanpa harus melalui proses pengajaran, tetapi hanya berinteraksi dan melihat secara nyata kondisi lingkungan pertanian mereka yang tergolong lahan kering. 7.2.5 Hubungan Antara Sosialisasi Pekerjaan Pertanian dengan Representasi Sosial Lahan Kering Representasi sosial lahan kering ternyata memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat sosialisasi pekerjaan tani. Pada pengajaran cara bertani, diperoleh nilai chi square sebesar 55,918 dengan α=0,05. Dari Lampiran 14, diketahui bahwa persentase representasi afeksi negatif lahan kering pada pemuda yang memiliki tingkat sosialisasi baik (57 persen) dan sedang (50 persen) lebih besar dibandingkan dengan pemuda yang memiliki tingkat sosialisasi buruk (10 persen). Sedangkan persentasi afeksi positif lahan kering pada pemuda yang memiliki tingkat sosialisasi buruk lebih besar (40 persen) dibandingkan pemuda tingkat sosialisasi baik dan sedang. Hal ini menunjukkan bahwa pemuda yang memiliki tingkat sosialisasi yang baik cenderung memiliki representasi yang negatif terhadap lahan kering, sedangkan pemuda yang tingkat sosialisasi buruk cenderung memiliki representasi yang positif terhadap lahan kering. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tarigan (2004) yang menyatakan bahwa semakin tinggi
79
tingkat sosialisasi kepada pemuda pedesaan maka semakin negatif representasi pemuda terhadap pekerjaan pertanian.
7.3
Hubungan Intensitas Keikutsertaan dalam Aktivitas Pertanian dengan Representasi sosial Pada sub bab ini dibahas hubungan antara intensitas keikutsertaan dalam
aktivitas pertanian dengan representasi sosial terhadap kata Pertanian, Pekerjaan Tani, Petani, Lahan dan Lahan Kering. Intensitas keikutsertaan dalam aktivitas pertanian terdiri dari jumlah aktivitas yang sering diikuti dan frekuensi keikutsertaan pada aktivitas pertanian. Representasi sosial pertanian, pekerjaan tani, petani, dan lahan kering ternyata tidak mempunyai hubungan yang signifikan terhadap intensitas keikutsertaan pemuda tani dalam aktivitas pertanian. Pada representasi sosial lahan, ternyata mempunyai hubungan yang signifikan dengan intensitas keikutsertaan dalam aktivitas pertanian, dengan perolehan nilai chi square sebesar 28,347 pada α=0,05 (lihat Lampiran 12). Pada pemuda tani yang intensitas keikutsertaannya ketika jika dibutuhkan saja, sebagian besar (60 persen) merepresentasikan nilai afeksi dari lahan. Bagi pemuda tani yang sering melakukan aktivitas pertanian, sebagian besar (47 persen) merepresentasikan lahan sebagai sarana kerja pertanian. Bagi pemuda tani yang jarang mengikuti aktivitas pertanian (36 persen) lebih merepresentasikan pada kondisi lahan.
Ikhtisar Representasi sosial pertanian ternyata tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan karakteristik individu, sosialisasi pengajaran cara bertani, serta intensitas keikutsertaan pemuda tani dalam aktivitas pertanian. Representasi sosial
80
pekerjaan tani ternyata mempunyai hubungan yang signifikan dengan status kepemilikan lahan, tingkat sosialisasi, dan frekuensi keikutsertaan dalam aktivitas pertanian.Untuk representasi sosial petani, terdapat hubungan yang signifikan terhadap karakteristik individu yaitu usia, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan luas penguasaan lahan. Pada representasi sosial pada lahan terdapat hubungan yang signifikan terhadap karakteristik individu yaitu status perkawinan dan luas penguasaan lahan pertanian serta frekuensi keikutsertaan pada aktivitas pertanian. Pada representasi sosial lahan kering terdapat hubungan yang signifikan terhadap karakteristik individu yaitu jenis kelamin dan status perkawinan, serta terdapat hubungan yang signifikan terhadap tingkat sosialisasi dalam aktivitas pertanian.
BAB VIII PENUTUP 8.1
Kesimpulan Representasi sosial pertanian diperoleh enam kategori kata dan dominan
pemuda tani merepresentasikan kategori kata aktivitas pertanian yang cenderung pada aktivitas berat yang terkait dengan lahan. Pertanian dinilai sebagai kerja fisik yang melibatkan tenaga fisik dan lahan sebagai sarana kerja. Representasi terhadap pekerjaan tani diperoleh tiga kategori kata dan dominan responden merepresentasikan mengenai aktivitas pertanian, yang melihat pekerjaan pertanian hanya sebagai pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik serta dilakukan di atas lahan pertanian. Hal tersebut tidak berbeda dengan representasi sosial pertanian. Berdasarkan aspek afektif, representasi sosial pemuda tani terhadap pekerjaan pertanian secara keseluruhan cenderung positif. Dari segi pola pekerjaan dan pandangan terhadap kerja, pemuda tani lebih melihat pertanian dari segi moral, ekonomi, pandangan pribadi, dan sosial. Secara moral, pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang baik dan mulia, sedangkan dari segi ekonomi, pemuda merepresentasikan pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang untung, aman dan mencukupi kebutuhan. Secara sosial, pekerjaan pertanian direpresentasikan sebagai pekerjaan yang terhormat. Namun, pemuda juga merepresentasikan pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang melelahkan, kotor, dan masih menggunakan teknologi tradisional. Representasi sosial terhadap petani diperoleh tiga kategori dengan dominasi pada kategori kata afeksi positif yang merepresentasikan sifat/karakter petani serta kekuatan fisik petani. Pemuda tani menilai petani sebagai suatu profesi yang melibatkan aktivitas fisik dan dengan karakteristik petani yang khas secara
82
normatif. Representasi sosial lahan terdapat lima kategori dengan dominasi pada sarana kerja pertanian. Pemuda tani menilai lahan sebagai sarana kerja pertanian yang sesuai dengan konteks lingkungan pertanian mereka seperti sawah, kebun, dan ladang. Berdasarkan aspek afektif, representasi sosial pemuda tani terhadap lahan pertanian juga cenderung positif, yakni lahan pertanian bersifat ekonomis, dapat menjamin hari tua, terhormat dan berharga, akan tetapi lahan pertanian dianggap mahal. Pada representasi lahan kering, diperoleh enam kategori dan dominan responden merepresentasikan afeksi negatif mengenai kondisi lahan yang kurang memuaskan serta berbagai masalah dalam pertanian. Kondisi lahan di lahan kering dinilai pemuda kurang memuaskan sehingga perlu dilakukan usaha perbaikan sehingga produktivitas bisa semakin meningkat. Representasi sosial pertanian ternyata tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan karakteristik individu, sosialisasi pengajaran cara bertani, serta intensitas keikutsertaan pemuda tani dalam aktivitas pertanian. Representasi sosial pekerjaan tani ternyata mempunyai hubungan yang signifikan dengan status kepemilikan lahan, tingkat sosialisasi, dan frekuensi keikutsertaan dalam aktivitas pertanian.Untuk representasi sosial petani, terdapat hubungan yang signifikan terhadap karakteristik individu yaitu usia, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan luas penguasaan lahan. Pada representasi sosial pada lahan terdapat hubungan yang signifikan terhadap karakteristik individu yaitu status perkawinan dan luas penguasaan lahan pertanian serta frekuensi keikutsertaan pada aktivitas pertanian. Pada representasi sosial lahan kering terdapat hubungan yang signifikan terhadap karakteristik individu yaitu jenis kelamin dan status perkawinan, serta terdapat hubungan yang signifikan terhadap tingkat sosialisasi dalam aktivitas pertanian.
83
8.2
Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka terdapat
beberapa saran: 1.
Untuk meningkatkan minat pemuda terhadap pertanian, perlu dilakukan pendekatan-pendekatan yang disesuaikan dengan karakteristik pemuda tani karena perbedaan karakteristik ini menentukan bagaimana mereka memandang pertanian.
2.
Saat ini pemuda tani merepresentasikan pertanian sebagai pekerjaan yang kotor, melelahkan, tradisional dan mahal. Oleh sebab itu, diperlukan adanya bentuk pertanian yang tidak tergantung pada lahan dan mungkin menggunaka teknik yang lebih modern.
3.
Diperlukan adanya perhatian dari pemerintah daerah, terkait dengan kebijakan regenerasi angkatan kerja sektor pertania, sehingga tidak terjadi masalah yang berlarut-larut mengenai penuaan tenaga kerja sektor pertanian.
4.
Disarankan adanya penelitian lanjutan mengenai tipologi representasi sosial pertanian pemuda di Pedesaan serta karakteristik dari tipologi tersebut.
5.
Disarankan adanya penelitian lanjutan untuk representasi sosial pemuda tani secara lebih mendalam dengan metode kualitatif sehingga diketahui penyebab penurunan minat pemuda pada pekerjaan pertanian.
84
DAFTAR PUSTAKA Abric, Jean-Claude 1976. Astructural Approach of the social representations: The theory of the the central core. 9th International Conference on Social Representation. Juli.2008. Bali. Adriana, Galuh 2009. Representasi Sosial tentang Kerja pada Anak Jalanan. Skripsi. Departemen Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Amelia, Dina 2005. Persepsi Pemuda Pedesaan terhadap Pekerjaan Pertanian. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Antara, Made 2007. Tenaga Kerja di Sektor Pertanian. Jurusan Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Universitas Udayana. Bali. http://ejournal.unud.ac.id/ ?module=editor&idf=7&idj=48&idv=181&idi=50. Diakses 12 Mei 2009 Anwar 2000. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Pendidikan Anak Keluarga Petani di Kecamatan Baruga Kotamadya Kendari. Lembaga Penelitian Universitas Terbuka. http://pustaka.ut.ac.id/puslata/pdf/70009.pdf. Diakses tanggal 26 Agustus 2009 Arwani, Muh.Marwan 2001. Pergeseran Pola Kerja Petani di Pedesaan (Penelitian Desa Ringinharjo, Kec.Bantul,DIY). Jurnal Penelitian UNIB, Vol VII. No.2. Juli 2001 hal 127-133. Badan Pusat Statistik 2000. Penduduk Jawa Barat: Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000. Badan Pusat Statistik, Jakarta. --------- 2003. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. --------- 2005. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. --------- 2007. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Beny, Ulu Meak 2007. Penanganan dan Pengelolaan Lahan Kering di Desa Dampingan Program PIDRA. http://www.pidraIndonesia.org/component/option,comdocman/task,doc_view/gid,8/Itemid ,52/lang,id/. Diakses tanggal 13 Juli 2009.
85
Bergmann 1998. Social Representations as the Mother of All Behavioral Predispositions? The Relations between Social Representations, Attitudes, and Value. Papers on Social Representations. Vol.7 (1-2), 7783. Chandra, Daniel 2004. Persepsi Pemuda Desa terhadap Pekerjaan di Sektor Pertanian dan Minat Bekerja di Kota. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Deaux, Kay dan Gina Philogene 2001. Representations of the Social. Blackwell Publishers: USA. Guimeilli, Christian 1993. Concerning The Structure of Social Representations. Paper on Social Representations. Vol 2 (2), 85-92. Gunawan, Agus Elia 2003. Pengaruh Representasi Sosial Tenaga Kerja dan Sosialisasi Nilai Gender terhadap Performa Kerja Perempuan. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Hamzah, Awaluddin 2008. Respon Komunitas Nelayan terhadap Modernisasi Perikanan. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Idhamsyah et al. 2009. Representasi Sosial tentang Pemimpin antara Dua Kelompok Usia dan Situasi Sosial yang berbeda di Jakarta dan Palembang.http://idhamputra.wordpress.com/2009/01/19/representas i-sosial-tentang-pemimpin-antara-dua-kelompok-usia-dan-situasi-sosialyang-berbeda-di-jakarta-dan-palembang/. Diakses 6 Mei 2009. John T. Jost dan Gabriel Ignatow 2001. What We Do and Don’t Know about the Functions of Social Representations. dalam Representations of The Social. Blackwell Publishers: USA. Marbun, Rianti TM. 2008. Nilai Kerja Pertanian pada Mahasiswa Batak Toba. Skripsi. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Maulana et al. 2007. Dinamika Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Indonesia. dalam Jurnal Ekonomi Rakyat. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_23/ artikel_6.htm. Diakses 12 Mei 2009 Muksin 2007. Kompetensi Pemuda Tani yang Perlu Dikembangkan di Jawa Timur. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
86
Nursyamsi, Dedi 2004. Beberapa Upaya untuk Meningkatkan Produktivitas Tanah di Lahan Kering. Makalah Pribadi Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana (S3). Institut Pertanian Bogor. http://rudyct.com/PPS702ipb/08234/dedi_nursyamsi.pdf. Diakses tanggal 13 Juli 2009. Riduwan 2006. Rumus dan Data dalam Aplikasi Statistika untuk Penelitian (Administrasi Pendidikan-Bisnis-Pemerintah-Sosial-Kebijakan-EkonomiHukum-Manajemen-Kesehatan). Ed. Bukhori Alma. Alfabeta. Bandung. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Tarigan, Herlina 2004. Representasi Pemuda Pedesaan Mengenai Pekerjaan Pertanian: Kasus pada Komunitas Perkebunan Teh Rakyat di Jawa Barat. ICASERD Working Paper No.29. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Diakses http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/WP_29_2004.pdf. tanggal 6 Mei 2009. Tjakrawati, Sylvia 1988. Perubahan Nilai Kerja Pertanian di Daerah Persawahan. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Wahyuni, E.S. 2004. Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Penerbit Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Bogor Institut Pertanian Bogor. Bogor: Grafika Mardi Yuana.
87
Lampiran 1. Tabulasi Silang Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Pertanian Uraian
Karakteristik Individu Jenis Kelamin Usia
Perempuan Laki-Laki
Status Perkawinan Status Kepemilikan Lahan
Luas Penguasaan Lahan
Teknologi Pertanian N(%) 5 (4,2)
Komoditi Pertanian N(%) 5 (4,2)
Representasi Sumberdaya Alam N(%) 17 (14,2)
69(86,3)
3 (3,8)
1 (1,3)
5 (6,3)
4 (3,3)
Hambatan Pertanian N(%) 1 (0,8)
0 (0,0)
2 (2,5)
Afeksi N(%)
16-20 Tahun
119 (76,8)
7 (4,5)
5 (3,2)
17 (11,0)
4 (2,6)
3 (1,9)
21-25 Tahun
38 (83,0)
1 (2,2)
1 (2,2)
5 (12,6)
0 (0,0)
0 (0,0)
5 (100)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
Tamat Sd
32 (91,4)
0 (0,0)
0 (0,0)
3 (8,6)
0 (0,0)
0 (0,0)
Tamat Smp
88 (76,5)
4 (3,5)
4 (3,5)
17 (14,8)
1 (0,85)
1 (0,85)
Tamat Sma
32 (71,1)
4 (8,8)
2 (4,4)
2 (4,4)
3 (6,9)
2 (4,4)
Belum Menikah
97 (74,6)
6 (4,6)
5 (3,8)
15 (11,5)
4 (3,1)
3 (2,4)
Menikah
60 (85,7)
2 (2,8)
1 (1,4)
7 (10,1)
0 (0,0)
0 (0,0)
Tidak Tamat Sd Tingkat Pendidikan
Aktivitas Pertanian N(%) 88 (73,3)
Pemilik
64 (80,0)
7 (8,75)
1 (1,25)
7 (8,75)
0 (0,0)
1 (1,25)
Pemilik dan Penggarap
30 (75,0)
0 (0,0)
1 (2,5)
5 (12,5)
4 (10,0)
0 (0,0)
Penggarap
18 (72,0)
0 (0,0)
2 (8,0)
5 (20,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
Sewa <0.25 Hektar
11 (73,0) 20 (57,1)
1 (7,0) 2 (5,7)
1 (7,0) 3 (8,5)
0 (0,0) 6 (17,1)
0 (0,0) 4 (11,4)
2 (13,0) 0 (0,0)
0.25-< 0.50 Hektar
45 (81,8)
1 (1,8)
2 (3,6)
5 (9,1)
0 (0,0)
2 (3,6)
0.50-< 1.0 Hektar
44 (88,0)
3 (6,0)
0 (0,0)
3 (6,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
> 1 Hektar
48 (80,0)
2 (3,3)
1 (1,7)
8 (13,3)
0 (0,0)
1 (1,7)
Chi2 8,692 2,870
5,627
5,819
16,884
26,558
87
88
Lampiran 2. Tabulasi Silang Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Pertanian Sosialisasi Pekerjaan Tani
Uraian
Baik Tingkat Sosialisasi
Aktivitas Pertanian N(%)
Teknologi Pertanian N(%)
Komoditi Pertanian N(%)
Representasi Kondisi Lingkungan Abiotik N(%)
Afeksi N(%)
Hambatan Pertanian N(%)
73 (81,0)
2 (2,0)
3 (3,0)
12 (14,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
Buruk
8 (80,0)
2 (20,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
Sedang
76 (76,0)
4 (4,0)
3 (3,0)
10 (10,0)
4 (4,0)
3 (3,0)
Chi2
13,771
Lampiran 3. Tabulasi Silang Intensitas Keikutsertaan Aktivitas Pertanian dengan Representasi Sosial Pertanian Intensitas Keikutsertaan Aktivitas Pertanian Jumlah Aktivitas Pertanian Yang Diikuti Frekuensi Keikutsertaan Pada Aktivitas Pertanian
Uraian
Aktivitas Pertanian N(%)
Teknologi Pertanian N(%)
Komoditi Pertanian N(%)
Representasi Kondisi Lingkungan Abiotik N(%) 20 (11,8)
Afeksi N(%)
Hambatan Pertanian N(%)
< 3 Aktivitas
134 (78,8)
6 (3,5)
6 (3,5)
1 (0,06)
3 (1,8)
3-6 Aktivitas
22 (88,0)
2 (8,0)
0 (0,0)
1 (4,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
> 6 Aktivitas
1 (20,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
1 (20,0)
3 (60,0)
0 (0,0)
Jarang
74 (74,0)
3 (3,0)
5 (5,0)
16 (16,0)
1 (1,0)
1 (1,0)
Jika dibutuhkan Sepanjang Musim Sering
19 (95,0)
1 (5,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
40 (89,0)
1 (2,0)
0 (0,0)
4 (9,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
10 (67,0)
1 (6,5)
0 (0,0)
1 (6,5)
3 (20,0)
0 (0,0)
Chi2
9,312
9,231
88
89
Lampiran 4. Tabulasi Silang Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Pekerjaan Tani Karakteristik Individu Jenis Kelamin Usia
Uraian Perempuan Laki-Laki
Status Perkawinan
Status Kepemilikan Lahan
Luas Penguasaan Lahan
Representasi Sarana Produksi Afeksi N(%) Pertanian N(%) 5 (4,,02) 2 (1,6)
79 (98,7)
1 (1,3)
0 (0,0)
16-20 Tahun
148 (95,5)
5 (3,2)
2 (1,3)
21-25 Tahun
44 (97,8)
1 (2,2)
0 (0,0)
5 (100)
0 (0,0)
0 (0,0)
Tidak Tamat Sd Tingkat Pendidikan
Aktivitas Pertanian N(%) 113 (94,2)
Tamat Sd
34 (97,1)
0 (0,0)
1 (2,9)
Tamat Smp
108 (93,9)
6 (5,2)
1 (0,9)
Tamat Sma
45 (100)
0 (0,0)
0 (0,0)
124 (95,4)
5 (3,8)
1 (0,8)
Menikah
68 (97,1)
1 (1,45)
1 (1,45)
Pemilik
Belum Menikah
79 (98,75)
0 (0,0)
1 (1,25)
Pemilik dan Penggarap
40 (100)
0 (0,0)
0 (0,0)
Penggarap
20 (80,0)
5 (20,0)
0 (0,0)
Sewa <0.25 Hektar
14 (93,0) 35 (100)
1 (7,0) 0 (0,0)
0 (0,0) 0 (0,0)
0.25-< 0.50 Hektar
48 (87,3)
6 (10,9)
1 (1,8)
0.50-< 1.0 Hektar
50 (100)
0(0,0)
0 (0,0)
59 (98,3)
0(0,0)
1 (1,7)
> 1 Hektar Keterangan: *: hubungan signifikan pada α=0,05
Chi2 2,723 0,707
10,059
1,090
24,253*
17,915
89
90
Lampiran 5. Tabulasi Silang Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Pekerjaan Tani Sosialisasi Pekerjaan Tani
Uraian Baik
Tingkat Sosialisasi
Buruk
Sedang Keterangan: *: hubungan signifikan pada α=0,05
Aktivitas Pertanian N(%)
Representasi Sarana Produksi Afeksi N(%) Pertanian N(%)
89 (99,0)
0 (0,0)
1 (1,0)
10 (100,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
93 (93,0)
6 (6,0)
1 (1,0)
Chi2
28,299*
Lampiran 6. Tabulasi Silang Intensitas Keikutsertaan Aktivitas Pertanian dengan Representasi Sosial Pekerjaan Tani Intensitas Keikutsertaan Aktivitas Pertanian Jumlah Aktivitas Pertanian Yang Diikuti Frekuensi Keikutsertaan Pada Aktivitas Pertanian
Representasi Uraian
Aktivitas Pertanian N(%)
Afeksi N(%)
Sarana Produksi Pertanian N(%)
< 3 Aktivitas
162 (95,3)
6 (3,5)
2 (1,2)
3-6 Aktivitas
25 (100,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
> 6 Aktivitas
5 (100,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
Jarang
99 (99,0)
0 (0,0)
1 (1,0)
Jika dibutuhkan
19 (95,0)
1 (5,0)
0 (0,0)
Sepanjang Musim
40 (89,0)
5 (11,0)
0 (0,0)
15 (100,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
Sering Keterangan: *: hubungan signifikan pada α=0,05
Chi2
2,722
13,324*
90
91
Lampiran 7. Tabulasi Silang Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Petani Karakteristik Individu Jenis Kelamin Usia
Tingkat Pendidikan
Status Perkawinan Status Kepemilikan Lahan
Luas Penguasaan Lahan
Uraian Perempuan
Afeksi Positif N(%) 51 (42,5)
Representasi Afeksi Negatif Aktivitas Pertanian N(%) N(%) 29 (24,2) 40 (33,3)
Laki-Laki
37 (46,2)
21 (26,2)
22 (27,5)
16-20 Tahun
57 (36,8)
42 (27,1)
56 (36,1)
21-25 Tahun
31 (68,9)
8 (17,8)
6 (13,3)
Tidak Tamat Sd
5 (100,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
Tamat Sd
23 (65,7)
8 (22,9)
4 (11,4)
Tamat Smp
48 (41,8)
26 (22,6)
41 (35,6)
Tamat Sma
12 (26,7)
16 (35,6)
17 (37,7)
Belum Menikah
43 (33,1)
35 (26,9)
52 (40,0)
Menikah
45 (64,3)
15 (21,4)
10 (14,3)
Pemilik
29 (36,25)
14 (17,5)
37 (46,25)
16 (40,0)
16 (40,0)
8 (20,0)
8 (32,0)
7 (28,0)
10 (40,0)
Sewa <0.25 Hektar
8 (53,0) 24 (68,6)
3 (20,0) 9 (25,7)
4 (27,0) 2 (5,7)
0.25-< 0.50 Hektar
29 (52,7)
12 (21,8)
14 (25,4)
0.50-< 1.0 Hektar
16 (32,0)
15 (30,0)
19 (38,0)
19 (31,7)
14 (23,3)
27 (45,0)
Pemilik dan Penggarap Penggarap
> 1 hektar Keterangan: *: hubungan signifikan pada α=0,05
Chi2 0,668 15,232*
14,503*
20,326*
10,506
13,748*
91
92
Lampiran 8. Tabulasi Silang Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Petani Sosialisasi Pekerjaan Tani
Uraian Baik
Tingkat Sosialisasi
Afeksi Positif N(%)
Representasi Afeksi Negatif Aktivitas Pertanian N(%) N(%)
47 (52,0)
21 (23,0)
22 (25,0)
Buruk
3 (30,0)
0 (0,0)
7 (70,0)
Sedang
38 (38,0)
29 (29,0)
33 (33,0)
Chi2
4,428
Lampiran 9. Tabulasi Silang Intensitas Keikutsertaan Aktivitas Pertanian dengan Representasi Sosial Pekerjaan Tani Intensitas Keikutsertaan Aktivitas Pertanian Jumlah Aktivitas Pertanian Yang Diikuti
Frekuensi Keikutsertaan Pada Aktivitas Pertanian
Representasi Uraian
Afeksi Positif N(%)
Afeksi Negatif N(%)
Aktivitas Pertanian N(%)
< 3 Aktivitas
70 (41,2)
40 (23,5)
60 (35,3)
3-6 Aktivitas
13 (52,0)
10 (40,0)
2 (8,0)
> 6 Aktivitas
5 (100,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
Jarang
40 (40,0)
21 (21,0)
39 (39,0)
Jika dibutuhkan
11 (55,0)
6 (30,0)
3 (15,0)
Sepanjang Musim
17 (38,0)
16 (36,0)
12 (26,0)
Sering
11 (73,0)
4 (27,0)
0 (0,0)
Chi2
3,069
6,223
92
93
Lampiran 10. Tabulasi Silang Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Lahan Sarana Kerja Pertanian N(%) 48 (40,0)
Kondisi Lahan N(%) 38 (31,7)
Representasi Komoditas Afeksi Pertanian N(%) N(%) 19 (15,8) 13 (10,8)
Laki-Laki
29 (36,3)
18 (22,3)
20 (25,0)
10 (12,5)
3 (3,6)
16-20 Tahun
53 (34,2)
44 (28,4)
34 (21,9)
20 (12,9)
4 (2,6)
21-25 Tahun
24 (53,3)
12 (26,7)
5 (11,0)
3 (6,7)
1 (2,3)
4 (80,0)
1 (20,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
Tamat Sd
23 (65,7)
10 (28,6)
1 (2,85)
1 (2,85)
0 (0,0)
Tamat Smp
33 (28,7)
30 (26,1)
29 (25,2)
21 (18,3)
2 (1,7)
Tamat Sma
17 (37,8)
15 (33,3)
9 (20,0)
1 (2,2)
3 (6,7)
Belum Menikah
41 (31,5)
35 (26,9)
31 (23,8)
19 (14,6)
4 (3,2)
Menikah
36 (51,4)
21 (30,0)
8 (11,4)
4 (5,7)
1 (1,5)
Pemilik
22 (27,5)
21 (26,25)
24 (30,0)
11 (13,75)
2 (2,5)
Pemilik dan Penggarap
13 (32,5)
11 (27,5)
11(27,5)
5 (12,5)
0 (0,0)
Penggarap
11 (44,0)
8 (32,0)
1 (4,0)
5 (20,0)
0 (0,0)
Sewa <0.25 Hektar
6 (40,0) 19 (54,3)
5 (33,0) 11 (31,4)
0 (0,0) 3 (8,6)
1 (7,0) 2 (5,7)
3 (20,0) 0 (0,0)
0.25-< 0.50 Hektar
32 (58,2)
15 (27,3)
1 (1,8)
7 (12,7)
0 (0,0)
0.50-< 1.0 Hektar
12 (24,0)
14 (28,0)
18 (36,0)
5 (10,0)
1 (2,0)
14 (23,3)
16 (26,7)
17 (28,3)
9 (15,0)
4 (6,7)
Karakteristik Individu
Jenis Kelamin Usia
Uraian Perempuan
Tidak Tamat Sd Tingkat Pendidikan
Status Perkawinan Status Kepemilikan Lahan
Luas Penguasaan Lahan
> 1 hektar Keterangan: *: hubungan signifikan pada α=0,05
Saprotan N(%) 2 (1,7)
Chi2 4,633 6,648
18,883
12,056*
3,211
22,259*
93
94
Lampiran 11. Tabulasi Silang Sosialisasi Pekerjaan Pertanian dengan Representasi Sosial Lahan Sosialisasi Pekerjaan Tani
Kondisi Lahan N(%)
Representasi Komoditas Afeksi Pertanian N(%) N(%)
35 (39,0)
21 (23,0)
22 (24,0)
11 (12,0)
1 (2,0)
Buruk
6 (60,0)
4 (40,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
Sedang
36 (36,0)
31 (31,0)
17 (17,0)
12 (12,0)
4 (4,0)
Uraian
Sarana Kerja Pertanian N(%)
Baik Tingkat Sosialisasi
Saprotan N(%)
Chi2
7.632
Lampiran 12. Tabulasi Silang Intensitas Keikutsertaan Aktivitas Pertanian dengan Representasi Sosial Lahan Representasi Intensitas Keikutsertaan Aktivitas Pertanian
Jumlah Aktivitas Pertanian Yang Diikuti
< 3 Aktivitas
Sarana Kerja Pertanian N(%) 67 (39,4)
3-6 Aktivitas
7 (28,0)
4 (16,0)
11 (44,0)
3 (12,0)
0 (0,0)
> 6 Aktivitas
3 (60,0)
0 (0,0)
2 (40,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
43 (43,0)
36 (36,0)
10 (10,0)
9 (9,0)
2 (2,0)
3 (15,0)
3 (15,0)
12 (60,0)
2 (10,0)
0 (0,0)
13 (29,0)
10 (22,0)
11 (24,5)
11 (24,5)
0 (0,0)
7 (47,0)
1 (6,5)
6 (40,0)
1 (6,5)
0 (0,0)
Uraian
Jarang Frekuensi Keikutsertaan Pada Aktivitas Pertanian
Jika dibutuhkan Sepanjang Musim
Sering Keterangan: *: hubungan signifikan pada α=0,05
Komoditas Pertanian N(%)
Kondisi Lahan N(%)
Afeksi N(%)
52 (30,6)
26 (15,3)
20 (11,8)
5 (2,9)
Saprotan N(%)
Chi2
12,456
28,347*
94
95
Lampiran 13. Tabulasi Silang Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial Lahan Kering Representasi
Perempuan
60 (50,0)
7 (5,8)
18 (15,0)
18 (15,0)
9 (7,5)
Penggunaan Lahan Selain Pertanian N(%) 8 (6,7)
Laki-Laki
42 (52,5)
0 (0,0)
23 (28,8)
5 (6,3)
6 (7,5)
2 (4,9)
16-20 Tahun
76 (50,2)
5 (3,3)
32 (20,6)
22 (14,2)
10 (6,5)
8 (5,2)
21-25 Tahun
26 (57,8)
2 (4,4)
9 (20,0)
1 (2,2)
5 (11,1)
2 (4,4)
Tidak Tamat Sd
5 (100,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
Tamat Sd
21 (60,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
4 (11,5)
6 (17,0)
4 (11,5)
Tamat Smp
63 (54,8)
3 (2,7)
25 (21,7)
12 (10,4)
6 (5,2)
6 (5,2)
Uraian
Karakteristik Individu Jenis Kelamin Usia
Tingkat Pendidikan
Status Perkawinan
Status Kepemilikan Lahan
Luas Penguasaan Lahan
Afeksi Negatif N(%)
Afeksi Positif N(%)
Usaha Perbaikan Lahan N(%)
Sarana Kerja N(%)
Komoditas Pertanian N(%)
Tamat Sma
13 (28,9)
4 (8,9)
16 (35,6)
7 (15,6)
3 (6,7)
2 (4,3)
Belum Menikah
62 (47,7)
5 (3,8)
23 (17,7)
21 (16,2)
9 (6,9)
10 (7,7)
Menikah
40 (57,1)
2 (2,9)
18 (25,7)
2 (2,9)
6 (8,5)
2 (2,9)
Pemilik
39 (48,75)
6 (7,5)
15 (18,75)
12 (15,0)
1 (1,25)
7 (8,75)
Pemilik dan Penggarap
22 (55,0)
0 (0,0)
11 (27,5)
4 (10,0)
3 (7,5)
0 (0,0)
Penggarap
13 (52,0)
0 (0,0)
5 (20,0)
3 (12,0)
3 (12,0)
1 (4,0)
Sewa <0.25 Hektar
4 (27,0) 21 (60,0)
1 (6,5) 0 (0,0)
7 (47,0) 3 (8,6)
2 (13,0) 2 (5,7)
1 (6,5) 5 (14,3)
0 (0,0) 4 (11,4)
0.25-< 0.50 Hektar
36 (65,4)
1 (1,8)
9 (16,4)
5 (9,1)
4 (7,3)
0 (0,0)
0.50-< 1.0 Hektar
18 (36,0)
5 (10,0)
13 (26,0)
8 (16,0)
3 (6,0)
3 (6,0)
> 1 hektar
27 (45,0)
1 (1,7)
16 (26,7)
8 (13,3)
3 (5,0)
5 (8,3)
Chi2
12,574* 6,268
19,818
11,285*
12,447
15,834
Keterangan: *: hubungan signifikan pada α=0,05
95
96
Lampiran 14. Tabulasi Silang Sosialisasi Pekerjaan Tani dengan Representasi Sosial Lahan Kering Representasi Sosialisasi Pekerjaan Tani
Uraian
Baik Tingkat Sosialisasi
Buruk
Sedang Keterangan: *: hubungan signifikan pada α=0,05
Afeksi Negatif N(%)
Afeksi Positif N(%)
Usaha Perbaikan Lahan N(%)
Sarana Kerja N(%)
Komoditas Pertanian N(%)
Penggunaan Lahan Selain Pertanian N(%)
51 (57)
2 (2)
13 (14)
8 (9)
10 (11)
6 (7)
1 (10)
4 (40)
0 (0)
4 (40)
1 (10)
0 (0)
50 (50)
1 (1)
28 (28)
11 (11)
4 (4)
6 (6)
Chi2
55,918*
Lampiran 15. Tabulasi Silang Intensitas Keikutsertaan Aktivitas Pertanian dengan Representasi Sosial Lahan Kering Intensitas Keikutsertaan Aktivitas Pertanian Jumlah Aktivitas Pertanian Yang Diikuti Frekuensi Keikutsertaan Pada Aktivitas Pertanian
Representasi
< 3 Aktivitas
85 (50)
7 (4.1)
31 (18.2)
21 (12.4)
14 (8.2)
Penggunaan Lahan Selain Pertanian N(%) 10 (7.1)
3-6 Aktivitas
14 (56)
0 (0)
10 (40)
1 (4)
0 (0)
0 (0)
> 6 Aktivitas
3 (60)
0 (0)
0 (0)
1 (20)
1 (20)
0 (0)
Uraian
Jarang Jika dibutuhkan Sepanjang Musim Sering
Afeksi Negatif N(%)
Afeksi Positif N(%)
Usaha Perbaikan Lahan N(%)
Sarana Kerja N(%)
Komoditas Pertanian N(%)
59 (59)
3 (3)
13 (13)
9 (9)
9 (9)
7 (7)
9 (45)
0 (0)
10 (50)
1 (5)
0 (0)
0 (0)
19 (42)
0 (0)
10 (22)
8 (18)
3 (7)
5 (11)
8 (53)
0 (0)
5 (33)
1 (7)
1 (7)
0 (0)
Chi2
11,424
17,432
96
97
Lampiran 16. Kategori Kata Representasi Sosial Pertanian No.
Kategori Kata Aktivitas Pertanian
Aktivitas Kerja 1 Aktivitas Pasca Panen Sarana Produksi Pertanian Sarana Kerja Strategi Pertanian 2 3 4 5 6
Teknologi Pertanian Komoditas Pertanian Sumberdaya Alam Pertanian Afeksi Hambatan Pertanian
Uraian Aktivitas Kerja, Aktivitas Pasca Panen, Sarana Produksi Pertanian, Sarana Kerja, Strategi Pertanian Bercocoktanam, Pembibitan, Penanaman, Panen (Hasil Pertanian), Mengolah Lahan, Pembukaan Lahan, Mencangkul, Menggarpu, Pemupukan, Penyiangan Gulma, Penyemprotan Pestisida, Perawatan Lahan, Penyiraman
Jumlah Kata (%) 157 (78,5)
109 (54,5)
Pemasaran Hasil, Penjualan
5 (2,5)
Peralatan Pertanian, Pupuk, Cangkul
7 (3,5)
Sawah, Kebun, Ladang Intensifikasi, Diversifikasi, Mekanisasi, Ekstensifikasi
25 (12,5) 11 (5,5)
Irigasi, Sengkedan
8 (4,0)
Palawija, Padi, Ikan, Udang
6 (3,0)
Tanah, Air, Lahan
22 (11,0)
Sumber Kehidupan, Terhormat
4 (2,0)
Hama,Burung,Belut
3 (1,5)
Lampiran 17. Kategori Kata Representasi Sosial Pekerjaan Tani No.
Kategori Kata
1 Aktivitas Pertanian
Aktivitas Kerja
Aktivitas Pasca Panen Jenis Pekerjaan
Uraian Aktivitas Kerja, Aktivitas Pasca Panen, Jenis Pekerjaan, Sarana Kerja Pertanian, Komoditas Pertanian Bercocoktanam, Pembibitan, Penanaman, Panen (Hasil Pertanian), Mengolah Lahan, Menyemai, Pemupukan, Penyiangan Gulma, Penyemprotan Pestisida, Perawatan Lahan, Penyiraman, Pembukaan Lahan, Mencangkul, Menggarpu Pemasaran Hasil, Penjualan Buruh Tani, Penyadap Karet, Tengkulak, Petani
Jumlah Kata (%) 192 (96)
175 (87,5)
5 (2,5) 9 (4,5)
97
98
No.
2
3
Kategori Kata Sarana Kerja Pertanian Komoditas Pertanian Afeksi Afeksi Negatif Afeksi Positif Sarana Produksi Tani
Uraian Sawah, Kebun, Huma Sayuran Afeksi Negatif, Afeksi Positif Lelah, Kotor, Berat, Beresiko Baik, Untung
Jumlah Kata (%) 2 (1,0) 1 (0,5) 6 (3,0) 4 (2,0) 2 (1,0) 2 (1,0)
Pupuk
Lampiran 18. Kategori Kata Representasi Sosial Petani No. 1
Kategori Kata Afeksi Positif Sifat/Karakter Petani Kekuatan Fisik
2
Afeksi Negatif Fisik Petani Kondisi Petani
3
Aktivitas Pertanian
Aktivitas Kerja
Uraian Sifat/Karakter Petani, Kekuatan Fisik Rajin, Mandiri, Pantang Menyerah, Sabar, Mengerti Alam, Lapang Dada, Tekun, Terhormat, Kaya, Pekerja Keras, Tak Kenal Lelah, Pahlawan Kuat, Tahan Panas, Tahan Hujan,Tahan Banting Fisik Petani, Kondisi Petani Dekil, Kotor, Hitam, Baju Lusuh Tertindas, Terintimidasi, Terkucilkan, Putus Asa, Lelah, Cuek, Terhina, Miskin, Beresiko Aktivitas Kerja, Status Kepemilikan Lahan, Atribut Petani Bercocoktanam, Pembibitan, Penanaman, Panen (Hasil Pertanian), Mengolah Lahan, Menyemai, Pemupukan, Penyiangan Gulma, Sawah, Penyemprotan Pestisida, Perawatan Lahan, Penyiraman, Pembukaan Lahan, Mencangkul, Menggarpu,Membajak
Status Kepemilikan Lahan Pemilik, Penggarap Atribut Petani Cangkul, Parang, Caping
Jumlah Kata (%) 88 (44,0) 68 (34,0) 20 (10,0) 50 (25,0) 18 (9,0) 32 (16,0) 62 (31,0)
35 (17,5)
19 (9,5) 8 (4,0)
Lampiran 19. Kategori Kata Representasi Sosial Lahan No. 1 2
Kategori Sarana Kerja Pertanian Kondisi Lahan
Uraian Sawah, Kebun, Huma, Hutan, Ladang, Kondisi Lahan Buruk, Kondisi Lahan
Jumlah Kata (%) 77 (38,5) 56 (28,0) 98
99
No.
3
4 5
Kategori Kondisi Lahan Buruk Kondisi Lahan Baik Usaha Perbaikan Lahan Afeksi Afeksi Positif Afeksi Negatif Komoditas Pertanian Sarana Produksi Tani
Uraian Baik Kering, Basah, Gersang, Becek, Tandus, Lembab, Lahan Miring Subur, Luas Disirami, Dipupuk Afeksi Positif, Afeksi Negatif Sumber Kehidupan Rebut, Garap, Perjuangkan Padi, Palawija, Tanaman Jangka Panjang Pupuk, Benih
Jumlah Kata (%) 34 (17,0) 7 (3,5) 15 (7,5) 39 (19,5) 22 (11,0) 17 (8,5) 23 (11,5) 5 (2,5)
Lampiran 20. Kategori Kata Representasi Sosial Lahan Kering No. 1
Kategori Kata Afeksi Negatif Kondisi Lahan
2 3 4 5 6
Masalah Pertanian Afeksi Positif Usaha Perbaikan Lahan Sarana Kerja Pertanian Komoditas Pertanian Penggunaan Lahan Selain Pertanian
Uraian Kondisi Lahan, Masalah Pertanian Tandus, Longsor, Sulit Ditanami, Tidak Subur, Curam, Retak-Retak, Lembab, Gersang, Gundul, Keras, Kurang Air, Jelek, Lahan Miring, Berbatu, Menyedihkan Gagal Panen, Paceklik Subur, Gembur, Luas Digemburkan, Ditanami, Diolah, Diairi, Reboisasi, Dipupuk Ladang, Huma, Pekarangan Tanaman Jangka Panjang, Palawija, Kacang-Kacangan Perumahan, Bangunan
Jumlah Kata (%) 102 (51) 93 (46,5)
9 (4,5) 7 (3,5) 41 (20,5) 23 (11,5) 15 (7,5) 12 (6,0)
99