Hukum Tata Tertib sebagai Instrumen Penerbitan Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara Kanun Jurnal Ilmu Hukum Ainal Hadi No. 62, Th. XVI (April, 2014), pp. 177-188.
HUKUMAN TATA TERTIB SEBAGAI INSTRUMEN PENERTIBAN DAN PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN NEGARA DISCIPLINE PUNISHMENT AS AN ENFORCING INSTRUMENT AND IMPRISONMENT AND DETENTION Oleh: Ainal Hadi *) ABSTRACT The effort of educating prisoners in the context of correctional system is still full of problems for example imposition of discipline and security of the correction and detention institutions. The annoyance of security and discipline and the escape of them threaten the education. One of the instruments applied by the government is the Minister of Law and Human Rights Regulation Number 6, 2013 regarding the Correction and Detention Institutions Conduct containing the rules that must be obeyed by the prisoners and detainees along with the imposition of discipline punishment as an indicator to know whether their behavior is good or bad. Keywords: Discipline Punishment,Enforcing Instrument, Imprisonment.
PENDAHULUAN Gangguan keamanan dan ketertiban yang terjadi hampir di semua Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan. Gangguan tidak saja terjadi pada Lapas dan Rutan
di ibu kota
negara namun juga terjadi di Lapas dan Rutan yang jauh dari ibu kota. Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Tarakan misalnya, gangguan keamanan dan ketertiban, terjadi dalam bentuk pelarian, perkelahian diantara sesama narapidana dan tahanan, pencurian barang milik sesama narapidana dan lain sebagainya 1. Kerusuhan dan pelarian narapidana, dengan tingkat pelarian narapidana yang cukup tinggi pernah terjadi pada tahun 1999 dengan melibatkan 1.690 orang penghuni 2. Masalah pelarian narapidana dibahas pula dalam Rapat Kerja Departemen Kehakiman dengan Komisi III DPR tahun 1992. Rata-rata 200 narapidana yang melarikan diri atau 0,46 persen dari kurang lebih 43.000 narapidana /tahanan di seluruh Indonesia setiap tahun. Pelarian narapidana juga
*)
Ainal Hadi, S.H., M.H., adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Yahya A.Z. Problematika Pengamanan Narapidana dan Tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Tarakan, Pandecta Volume 6. Nomor 1. Januari 2011, hlm. 64. 2 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 128. ISSN: 0854-5499 1
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014).
Hukum Tata Tertib sebagai Instrumen Penerbitan Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara Ainal Hadi
terjadi di beberapa negara maju. Di Amerika Serikat, dengan bangunan penjaranya jauh lebih modern, pintu penjara dikendalikan dari pusat monitoring sebagai bagian dari sistem keamanan, dilengkapi
kamera pengintai dengan petugas keamanan yang sangat terlatih kasus pelarian
narapidana mencapai angka 200-220 tiap tahun. Demikian juga di negeri Belanda dan Jepang yang penjagaannya berlapis-lapis, sistem pembinaannya baik sekali, narapidana diberi kesempatan bekerja di pabrik (dalam rumah penjara) dengan berbagai macam fasilitas, pelarian narapidana dari penjara masih terjadi, bahkan di Negeri Belanda dengan menggunakan helikopter3. Kondisi yang demikian ini bila tidak segera diatasi dapat mengancam upaya pembinaan narapidana yang dalam kerangka sistem pemasyarakatan diarahkan untuk membentuk narapidana sebagai warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulang tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Menyikapi berbagai gangguan terhadap keamanan dan ketertiban Lapas dan Rutan, pemerintah melalui Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 tahun 2013 menerbitkan Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Adapun pertimbangannya antara lain untuk menjamin terselenggaranya tertib kehidupan di Lapas dan Rutan; adanya tata tertib yang wajib dipatuhi oleh setiap narapidana dan tahanan beserta mekanisme penjatuhan hukuman disiplin; dan
sebagai salah satu indikator dalam menentukan kriteria
berkelakuan baik terhadap narapidana dan tahanan. Dalam tulisan ini dipaparkan beberapa potensi gangguan keamanan dan ketertiban Lapas dan Rutan dengan mendasarkan bahan kajian pada Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, dan faktor-faktor penyebabnya.
3
Ismail Saleh Pendekatan Kemanusiaan dalam Pembinaan Narapidana(Politik dan Keamanan) Harian Umum Pelita, Edisi Jum'at, 14 Maret 2014.
178
Hukum Tata Tertib sebagai Instrumen Penerbitan Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara Ainail Hadi
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014).
PEMBAHASAN 1) Fungsi Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan dari segi peruntukkan dikhususkan sebagai tempat terpidana menjalani pidana hilang kemerdekaan (pidana penjara), namun dalam praktik institusi ini juga sering digunakan sebagai tempat penitipan sementara tahanan. Pidana penjara sebagai salah satu dari pidana perampasan kebebasan merupakan jenis pidana yang paling banyak dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana. Tentang pidana penjara, Lamintang mendefinisikan sebagai suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut4. Ditinjau dari bekerjanya sistem peradilan pidana5 yang terdiri dari fase pra adjudikasi, fase adjudikasi dan fase purna adjudikasi, pembinaan terhadap pelaku tindak pidana yang berstatus sebagai narapidana yang sedang menjalani pidananya merupakan fase terakhir. Banyak orang salah duga, seolah-olah program rehabilitasi pelaku tindak pidana baru mulai sejak ia memasuki pintu gerbang Lembaga Pemasyarakatan atau bentuk-bentuk “treatment of offenders” yang lain. Padahal, apa yang dinamakan Lembaga pemasyarakatan tersebut hanyalah merupakan salah satu dari pada sistem penyelenggaraan hukum pidana (criminal justice system) yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang tidak dapat dipikirkan sebagian demi sebagian. Saat-sat seorang tersangka ditahan polisi dan selanjutnya merupakan proses rehabilitasi. Pengalamannya ditahan polisi, cara-cara ia diinterrogasi, cara-cara alat bukti dikumpulkan dan dikemukakan di sidang pengadilan semuanya akan mempengaruhi tingkah laku narapidana terhadap
4
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984, hlm. 56. Mardjono Reksodiputro dalam Eva Achjani Zulva, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, 2011, hlm. 19. 5
179
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014).
Hukum Tata Tertib sebagai Instrumen Penerbitan Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara Ainal Hadi
penguasa dan akan merupakan faktor yang menentukan dalam penyesuaiannya terhadap program rehabilitasi6. Adapun fungsi utama dari Lembaga Pemasyarakatan7 adalah: a) Menerima terpidana yang telah diputus bersalah oleh pengadilan dengan pidana penjara; b) Melakukan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan; c) Melakukan berbagai upaya agar proses pembinaan dapat terlaksana dengan baik; d) Melakukan koordinasi dengan sub Sistem kepolisian atau kejaksaan manakala peserta didik pemasyarakatan tengah menjalani proses peradilan pidana; e) Menerima dan meneruskan permintaan grasi; f) Menyiapkan pembebasan apabila waktu menjalankan pidana penjara telah selesai; g) Menyiapkan pembebasan bersyarat; h) Menjaga dan memenuhi hak-hak narapidana yang diatur berdasarkan aturan perundangundangan Pembinaan narapidana di dalam Lapas dan Rutan harus melibatkan empat komponen penting. Keempat komponen harus bekerjasama dan saling memberi informasi, terjadi komunikasi timbal balik, sehingga pembinaan narapidana dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Keempat komponen tersebut adalah: a) Diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri; b) Keluarga, adalah anggota keluarga inti atau keluarga dekat; c) Masyarakat, adalah orang-orang yang berada di sekeliling narapidana pada saat masih diluar Lapas dan Rutan, dapat masyarakat biasa, pemuka masyarakat, atau pejabat setempat; d) Petugas, dapat berupa petugas kepolisian, pengacara, petugas keagamaan, petugas sosial, petugas lembaga pemasyarakatan, Rutan, Balai Bispa, Hakim Wasmat dan lain sebagainya8.
6 7
8
180
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, hlm. 55. Eva Achjani Zulva. Op. Cit, hlm. 25-26. C.I. Harsono, HS, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, 1995, hlm. 51.
Hukum Tata Tertib sebagai Instrumen Penerbitan Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara Ainail Hadi
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014).
Mengacu pada empat komponen tersebut di atas, pengendalian dan tanggung jawab terhadap pembinaan narapidana utamanya berada pada petugas Lapas dan Rutan yang lebih banyak bersentuhan dengan terpidana penjara menanggung beban fisik dan psikologis, oleh karena itu petugas harus mencari atau memberi suasana yang harmonis sehingga terpidana itu selaman menjalankan hukuman merasakan: a) Perasaan “betah tinggal” dalam tembok penjara yang berarti menerima sebagai suatu kenyataan sebagai suatu akibat dari sesuatu sebab. Perasaan “betah tinggal” di sini bukan berarti “kesenangan”, tetapi sikap menerima sebagai suatu keharusan. b) Perasaan “aman”, bahwa di lingkungan tembok penjara merasakan adanya perlindungan karena situasi tenteram antara sesama penghuni maupun petugas segalapihak dan tidak ada tekanan yang mengakibatkan kegelisahan. c) “Menerima pelayanan” artinya segala sesuatu yang diberikan sesuai dengan ketentuan diterima dengan senang. d) “Adanya
itikad
baik”
dari
penghuni
baik
individu
maupun
keseluruhannya
untukmemperbaiki dirinya dan percaya bahwa perlakuan terhadapnya tidak hanya untuk kepentingan hukum melainkan juga untuk kepentingan diri terpidana dan terpenjara. e) Segala sesuatu yang diberikan dalambatas yang sewajarnya,sehingga tidak menimbulkan suatu sikap yang memanjakan dan tidak menimbulkan pelanggaran hak azasi dan perikemanusiaan9.
2) Gangguan Keamanan dan Ketertiban dalam Lapas dan Rutan Terdapat berbagai bentuk gangguan di dalam Lapas dan Rutan, namun hanya beberapa diantaranya yang menarik dan menjadi sorotan media seperti bebasnya pengunaan alat komunikasi (telepon seluler), pungutan liar oleh petugas Lapas dan Rutan, peredaran narkotika, kerusuhan dan pelarian narapidana. Tentang kerusuhan di Lapas dan Rutan, secara khusus
9
Sanusi Has
Sanusi Has, Op. Cit. hlm. 74.
181
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014).
Hukum Tata Tertib sebagai Instrumen Penerbitan Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara Ainal Hadi
mengolongkan kerusuhan tersebut dalam bentrokan phisik, demonstrasi, dan tidak kentara tapi menimbulkan kecemasan10. Ditinjau dari hubungan antara penghuni dengan petugas maupun konteks sosialnya maka kerusuhan dapat digolongkan: a) Kerusuhan yang ditujukan kepada petugas lembaga kepenjaraan b) Kerusuhan yang ditujukan kepada instansi lain c) Kerusuhan yang ditujukan kepada sesama penghuni,baik individu maupun kelompok. d) Kerusuhan tidak kentara, (jenis ini tidak digolongkan sebagai kerusuhan tetapi dapat dikatakan “bunga kerusuhan” kalau tidak diambil tindakan cepat dapat menimbulkan kecemasan, ketakutan dan kejengkelan11. Tindakan narapidana dan tahanan yang berpotensi sebagai gangguan atas keamanan dan ketertiban Lapas dan Rutan berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara ada 3 kategori yaitu: a. Gangguan ringan (terdiri dari 7 pelanggaran) yang dapat dikenakan hukuman disiplin ringan dalam bentuk peringatan lisan dan peringatan tertulis. Gangguan ringan tersebut adalah: 1. Tidak menjaga kebersihan diri dan lingkungan; 2. Meninggalkan blok hunian tanpa izin kepada petugas blok; 3. Tidak mengenakan pakaian seragam yang telah ditentukan; 4. Tidak mengikuti apel pada waktu yang telah ditentukan; 5. Mengenakan anting, kalung, cincin, dan ikat pinggang; 6. Melakukan perbuatan atau mengeluarkan perkataan yang tidak pantas dan melanggar norma kesopanan atau kesusilaan. b. Gangguan sedang (terdiri dari 6 pelanggaran) yang dapat dikenakan hukuman disiplin tingkat sedang dalam bentuk pengasingan dalam sel paling lama 6 (enam) hari; penundaan 10 11
182
Sanusi Has, Dasar-Dasar Penologi, Monora, Medan, 1977, hlm. 78. Ibid. hlm. 79.
Hukum Tata Tertib sebagai Instrumen Penerbitan Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara Ainail Hadi
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014).
atau peniadaan hak tertentu dalam kurun waktu tertentu berdasarkan hasil Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (dapat berupa penundaan waktu pelaksanaan kunjungan). Bentuk gangguan tingkat sedang tersebut adalah: 1. Memasuki steril area tanpa ijin petugas; 2. Membuat tato dan/atau peralatannya, tindik, atau sejenisnya; 3. Melakukan aktifitas yang dapat membahayakan keselamatan diri sendiri atau orang lain; 4. Melakukan perbuatan atau mengeluarkan perkataan yang tidak pantas yang melanggar norma keagamaan; 5. Melakukan aktifitas jual beli atau utang piutang; 6. Melakukan perbuatan yang termasuk dalam kategori yang mendapatkan hukuman disiplin tingkat ringan secara berulang lebih dari 1 (satu) kali. c. Gangguan berat (terdiri dari 16 pelanggaran) yang dapat dikenakan hukuman disiplin tingkat berat
dalam bentuk pengasingan dalam sel paling lama 6 (enam) hari dan dapat
diperpanjang selama 2 (dua) kali 6 (enam) hari; tidak mendapatkan hak remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat dalam tahun berjalan dan dicatat dalam register F. Bentuk gangguan berat tersebut adalah: 1.
Tidak mengikuti program pembinaan yang telah ditetapkan;
2.
Mengancam, melawan, atau melakukan penyerangan terhadap petugas;
3.
Membuat atau menyimpan senjata api, senjata tajam, atau sejenisnya;
4.
Merusak fasilitas lapas atau rutan;
5.
Mengancam, memprovokasi, atau perbuatan lain yang menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban;
6.
Memiliki, membawa, atau menggunakan alat komunikasi atau alat elektronik;
7.
Membuat, membawa, menyimpan, mengedarkan atau mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol; 183
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014).
8.
Hukum Tata Tertib sebagai Instrumen Penerbitan Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara Ainal Hadi
Membuat, membawa, menyimpan, mengedarkan, atau mengkonsumsi narkotika dan obat terlarang serta zat adiktif lainnya;
9.
Melakukan upaya melarikan diri atau membantu narapidana atau tahanan lain untuk melarikan diri;
10. Melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama penghuni maupun petugas; 11. Melakukan pemasangan atau menyuruh orang lain melakukan pemasangan instalasi listrik di dalam kamar hunian; 12. Melengkapi untuk kepentingan pribadi di luar ketentuan yang berlaku dengan alat pendingin, kipas angin, kompor, televisi, slot pintu, dan/atau alat elektronik lainnya di kamar hunian; 13. Melakukan perbuatan asusila atau penyimpangan seksual; 14. Melakukan pencurian, pemerasan, perjudian, atau penipuan; 15. Menyebarkan ajaran sesat; 16. Melakukan perbuatan yang termasuk dalam kategori yang mendapatkan hukuman disiplin tingkat sedang secara berulang lebih dari 1 (satu) kali atau perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban berdasarkan penilaian sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan. Tim Pengamat Pemasyarakatan diberikan pula kewenangan
untuk mempertimbangkan
beberapa bentuk gangguan atas keamanan dan ketertiban tertentu untuk dikenakan hukuman disiplin tingkat ringan, hukuman disiplin tingkat sedang atau hukuman disiplin tingkat berat. Dari pembagian tingkat gangguan di atas terlihat bahwa pelanggaran-pelanggaran kategori gangguan ringan dan sedang pada dasarnya adalah perbuatan yang dibolehkan (bukan tindak pidana) hanya saja terlarang jika dilakukan oleh narapidana dan tahanan selama berada dalam Lapas dan Rutan. Namun pada pelanggaran yang tergolong sebagai gangguan berat hampir semuanya adalah tindak pidana.
184
Hukum Tata Tertib sebagai Instrumen Penerbitan Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara Ainail Hadi
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014).
Jenis hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan terhadap narapidana yang melakukan pelanggaran tingkat sedang dan berat dan pemberatan (dalam hal adanya pengulangan pelanggaran) secara tegas juga telah diatur dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pemasyarakatan: (a) Tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari bagi narapidana atau anak pidana; dan atau (b) menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi narapidana atau anak pidana yang pernah dijatuhi hukuman tutupan sunyi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, apabila mengulangi pelanggaran atau berusaha melarikan diri dapat dijatuhi lagi hukuman tutupan sunyi paling lama 2 (dua) kali 6 (enam) hari.
3) Faktor Penyebab Gangguan Keamanan dan Ketertiban Lapas dan Rutan Upaya perbaikan narapidana sejak kemerdekaan sampai sekarang masih menyisakan berbagai permasalahan diantaranya adalah bidang penertiban dan pengamanan Lapas dan Rutan. Persoalan keamanan tidak hanya terbatas pada pengendalian huru-hara, pemberontakan dan pelarian saja, melainkan keamanan berarti ketentraman batin semua golongan penghuni penjara termasuk juga golongan petugas penjara yang mengelola lembaga kepenjaraan tersebut 12. Gangguan keamanan dalam sebuah lembaga kepenjaraan dapat terjadi karena faktor intern dan faktor extern atau gabungan dari kedua faktor tersebut. Seorang pelanggar hukum telah dibebani oleh derita “pains of inprisonment”, penolakan dari masyarakat dan karena kelalaian dari fihak lain menimbulkan derita baru terhadap penghuni (faktor intern), maka situasi inilah yang menimbulkan bentrokan fisik, pemberontakan, penilaian dan tindakan yang tidak berdisiplin atau adanya kesempatan karena dibantu oleh fihak luar tembok (faktor extern) misalnya melaui kunjungan diselundupkan barang yang terlarang dan dipergunakan untuk mengganggu keamanan13. Menurut Purnianti, kerusuhan lembaga pemasyarakatan/rutan yang sering berujung pada pelarian narapidana disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah, sebab-sebab internal dari 12 13
Ibid. hlm 73. Ibid. hlm 76.
185
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014).
Hukum Tata Tertib sebagai Instrumen Penerbitan Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara Ainal Hadi
para narapidana yang bersangkutan, seperti kondisi temperamental individual yang mungkin saja dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman sub kulturnya, kepribadian, pengaruh-pengaruh sosial budaya dan ekonomi, dan sebagainya. Sebab lainnya adalah, faktor kausa sistemik lembaga pemasyarakatan, seperti kondisi hubungan sosial antara petugas dan narapidana yang dikembangkan, kondisi fisik lembaga dan ketidakefektifan program pem-binaan itu sendiri14. Dwidja Priyatno15 memaparkan pula beberapa sebab terjadinya peningkatan pelarian narpidana yang disebabkan antara lain: a)
Kepemimpinan, kualitas daya antisipasi, penghayatan dan wawasan terhadap standar minimum pengamanan di kalangan pegawai pemasyarakatan;
b)
Rendahnya kualitas SDM petugas pengamanan karena kurangnya pemahaman terhadap Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan (PPLP) dan Prosedur Tetap (Protap) pelaksanaan tugas pemasyarakatan;
c)
Tidak memadainya jumlah petugas pengamanan;
d)
Pengaruh situasi dan kondisi di luar/masyarakat;
e)
Kurang lancar dan kurang selektifnya pelaksanaan kegiatan pembinaan narapidana.
f)
Sarana fisik dan sarana pengamanan yang kurang memenuhi standard minimum pengamanan. Terkait dengan sebab-sebab pelarian narapidana, menurut Sanusi Has16 penyebab terjadinya
adalah: a) Adanya situasi kehidupan yang mencekam, karena adanya tekanan-tekanan, pemerasan, perawatan makanan,kesehatan yang kurang (kesakitan-kesakitan) b) Tindakan yang tidak adil, seperti penahanan yang berlarut-larut, lamanya hukuman yang dirasakan terlalu berat tidak setimpal c) Menurut seorang terpidana di Amerika, hukuman yang paling berat dirasakan ialah keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologis yang tidak tersalurkan
14
Purnianti Mencari Sebab Pelarian Narapidana Anak, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 3, No. III September 2004, hlm 29-38. 15 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 128. 16 Sanusi Has Op. Cit hlm. 83
186
Hukum Tata Tertib sebagai Instrumen Penerbitan Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara Ainail Hadi
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014).
d) Kecanduan atau terlalu terikat dengan kebiasaan merokok dan obat-obat atau ramuan (ganja) (tidak dapat menahan diri), karena lingkungan yang serba terbatas terutama dalam bidang materi e) Kerinduan kepada keluarga dan anak-anak f) Keinginan membalas dendam terhadap oknum yang telah mencelakakannya g) Keinginan melakukan lagi perbuatan kriminil h) Membalas dendam terhadap petugas yang pernah “menyakitinya” agar petugas tersebut lalu ditindak oleh yang berwenang karena peristiwa pelarian tersebut, dan lain-lain sebagainya.
KESIMPULAN Potensi gangguan terhadap keamanan dan ketertiban Lapas/Rutan dikelompokkan dalam gangguan ringan, sedang, dan berat. Terhadap pembuat gangguan tersebut dapat dikenakan hukuman disiplin, bahkan untuk gangguan keamanan dan ketertiban yang berat narapidana akan kehilangan hak-haknya seperti hak remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat. Gangguan keamanan dan ketertiban Lapas dan Rutan dapat terjadi karena sebab-sebab internal (faktor intern) seperti kondisi temperamental individual, kepribadian, pengaruhpengaruh sosial budaya dan ekonomi, dan faktor extern meliputi faktor kausa sistemik lembaga pemasyarakatan, seperti kondisi hubungan sosial antara petugas dan narapidana, kondisi fisik lembaga dan ketidakefektifan program pembinaan. Terkait dengan hukuman disiplin pengasingan dalam sel selama beberapa hari, masih diperlukan kajian tentang urgensinya, karena sesungguhnya narapidana memang berada dalam pengasingan, terpisah dari teman kolega, masyarakat dan lingkungannya semula. Tentang pengenaan hukuman pengasingan harus selektif, hanya diperuntukkan bagi narapidana saja tidak untuk tahanan demi menjunjung asas praduga tak bersalah.
187
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014).
Hukum Tata Tertib sebagai Instrumen Penerbitan Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara Ainal Hadi
DAFTAR PUSTAKA C.I. Harsono HS, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta. Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Eva Achjani Zulva, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung. Ismail Saleh, 2014, Pendekatan Kemanusiaan dalam Pembinaan Narapidana (Politik dan Keamanan) harian Umum Pelita Edisi Jum'at, 14 Maret. P.A.F. Lamintang, 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. Purnianti, 2004, Mencari Sebab Pelarian Narapidana Anak, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 3, No. III September. Sanusi Has, 1977, Dasar-Dasar Penologi, Monora, Medan. Yahya A.Z., 2011, Problematika Pengamanan Narapidana dan Tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Tarakan, Pandecta Volume 6. Nomor 1. Januari 2011.
188