HUKUM ACARA PIDANA DAN PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN LAINNYA MENGINDAHKAN HUKUM AGAMA Oleh Dr. Suparmin, SH., M.Hum Ajun Komisaris Besar Polisi (Purn).
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG 2014
Badan Penerbit FH UNWAHAS Press
MOTTO
Doa Rumekso Ing Wengi Ana kidung rumekso ing wengi Teguh ayu luputo ing lara Luputo bilahi kabeh Jin setan datan purun Peneluhan tan ono wani Miwah panggawe olo Gunane wong luput Geni atemahan tirto Maling adoh tan ono ngarah ing mami Guno duduk pan sirno// Terjemahan / Artinya : Ada kidung (doa/lagu) menjaga/siap-siaga malam hari. Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari penyakit. Terbebas dari segala petaka. Apalagi perbuatan jahat. Guna-guna tersingkir. Api berubah menjadi air. Pencuripun menjauh dariku. Segala bahaya akan lenyap. (Achmad Chodjim, Doa Sunan) Allah adalah sumber penerangan. Sumber kebahagiaan. Sumber kedamaian. Sumber keselamatan. Sumber kesejahteraan.
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Teriring rasa syukur yang mendalam dan setulustulusnyakehadirat Allah SWT Yang Maha Agung, Maha Pengasih dan MahaPenyayang yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayahNya, dan terima kasih kami ucapkan kepada Rektor Universitas Wahid Hasyim Semarang Noor Achmad, MA Rektor UNWAHAS Semarang, dan Prof. Dr. H. Mahmutarom, SH., MH Pembantu Rektor I UNWAHAS Semarang sehingga penulis telah dapat menyelesaikan penulisan buku Ajar Perguruan Tinggi yang berjudul “Hukum Acara Pidana Dan Peraturan PerundangUndangan Lainnya Mengindahkan Norma Agama” yang diilhami oleh Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan. Sholawat dan salam semoga tercurah pada junjungan Nabi Muhammad SAW, beserta segenap keluarga, para sahabat, dan seluruh umatnya. Penulis menyadari, hanya dengan berkah, rahmat, dan Ridho Allah SWT semata yang telah berkenan memberikan kemampuan kepada penulis yang dha’if ini, untuk menyelesaikan penulisan buku ajar Perguruan Tinggi Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang. ini, yang terilhami dari penulisan Tesis Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2001, yang berjudul “Lembaga Kepolisian Dalam Penyelesaian Konflik Pendukung Antar Partai di Kabupaten Jepara (Studi kasus di Desa Dongos, Kecamatan Kedung), dan disertasi berjudul “Reorientasi Peran POLRI Dalam Penyelesaian Konfl ik Politik Studi Sosio-Legal menuju Mekanisme Ideal Penegakan Hukum (Konflik Antarpendukung Partai Politik di Provinsi Jawa Tengah) dan pengalaman 38 tahun penulis sebagai praktisi yang lama bekerja sebagai Anggota Reskrim (Polsekta 3
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Semarang Tengah/Poltabes Semarang tahun 1975 s.d 1999, juga sebagai Kapolsek Kedung Jepara, dan di tahun 2000-2004 sebagai Penyidik dan Kanit Resmob Polda Jateng) dalam menyelesaikan berbagai permasalahan kejahatan, penyimpangan sosial, termasuk konfl ik politik. Pada saat penulisan Tesis penulis (pasca konfl ik) sebagai Kapolsek Kedung Polres Jepara, dan bersama-sama Muspika Kecamatan Kedung sekaligus sebagai pelaku pendamai tragedi konfl ik politikdi Dongos Kecamatan Kedung yang pada waktu peristiwa/tragedi konfl ik terjadi pada tanggal 30 April 1999 menelan korban jiwa 4 orang meninggal dunia terdiri dari 3 (tiga) orang kader PKB dan 1 (satu) orang kader PPP, puluhan luka berat, rumah dan belasan mobil dibakar. Ide penulisan dengan pendekatan kritis dan hermeneutik ini merupakan hal yang baru dan menarik bagi penulis yang selama bekerja sebagai praktisi di Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sudah terbiasa dengan pola pikir yang doktrinal normatifberdasarkan ketentuan perundang-undangan yang hanya berpijak pada asas legalitas. Akan tetapi melihat realitas kehidupan penegakan hukum yang seakan terlepas dari aspekaspek moral spiritual,penulis berkeinginan menulis tentang penegakan hukum yang mengindahkan hukum agama dan hukum adat seperti yang dikehendaki Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomr 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. yang menegaskan : , untuk menuju penegakan keadilan masyarakat (restorative community justice). Perlu penulis paparkan dalam buku ini, bahwa dalam politik kebijakan hukum pidana (criminal policy) penggunaan hukum oleh aparat penegak hukum untuk menyelesaikan masalah sosial adalah merupakan tindakan penegakan hukum. dan studi teori tentang interprestasi dan sistem pemahamam tentang teks perundang-undangan ‘beyond written document’atas dasar pengalaman (hermeneutik berasal dari kata ‘hermes’yaitu dewa Yunani yang menjalankan tugas sebagai utusan Tuhan untuk menyampaikan dan menginterprestasikan sebagai penerima, baik berita baik maupun berita buruk). Pendekatan kritis di dalam studi hukum (critical approaches within studies) sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Baer, menggambarkan betapa tidak adilnya pendekatan simetrik terhadap hukum sebagai sesuatu yang ‘neutral obyective 4
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
and just’, tetapi di lain pihak dilandasi oleh pemikiranyang murni dogmatik atau doktrin yang di pandu olehputusan pengadilan, traktat, pelbagai perundang-undangan dan apa yang dinamakan“herrschendemeinung’ (mainstream dominant opinion), yang sama sekali mengesampingkan prakonsepsi sosial budaya yang membentuk wacanahukum. Dengan pendekatan kritis terjadi pergeseran dari pendekatan ‘interdisciplinary’ – menjadi ke arah‘transdisciplinary’, sehingga perspektif dogmatik diperluas, hukum dilihat sebagai fenomena sosial dan mesin keadilan yang sesungguhnya atas dasar ‘knowledge and insight’, namun tanpa harusmerusak atau menolak hukum sebagai mekanisme kekuasaan dan ketertiban. Penulisan buku ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih penulis kepada Akademisi dan praktisi di Negara Republik Indonesia serta civitas akademisi guna meningkatkan Pelayanan Prima anti KKN dan kekerasan serta memantapkan Ketertiban Kemanan Dalam Negeri dan Supremasi Hukum untuk mendukung pembangunan Nasional yang berdasarkan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang merupakan sumber moralitas dan hukum juga digunakan sebagai referensi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan (problem solving)serta pengembangan ilmu hukum, mengenai konsep Pencegahan dan Penanganan Konfl ik Sosial. Maka apa yang diharapkan oleh nilai-nilai yang ada di belakang kode etik profesi POLRI, doktrin ‘Community-Policing’, dan tugas POLRI modern dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang POLRI (sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas sebagai penegak hukumserta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat) tidak merupakan retorika belaka, karena tugas-tugas polisi dapat bersifat repressive yustisial maupun repressivenon yustisial, dimana terakhir ini didasarkan atas “asas kewajiban” (‘lichtmatigeid’). Keinginan ini telah mendorong penulis menggali nilai-nilai keadilan sebagai rahmat bagi seluruh alam dan umatnya untuk memiliki watak/karakter kesantunan dan kasih sayang, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, dengan mengkaji teks-teks Al-Qur’an yang penuh dengan lambang dan kandungan nilai-nilai kemuliaan dan pesan-pesan moral yang 5
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
sejalan dengan Firman Allah tentang amar ma’ruf nahi munkar dan kasih sayang. Dengan prinsip ‘musyawarah’ adalah salah satu prinsip ajaran Islam untuk mencapai kemaslahatan bersama“. Bahwa telah sejalan dengan Alkitab. Bahwa restorative justice untuk menuju kepolisian modern, dalam sistem peradilan pidana seyogyanya dibarengi penegakan keadilan masyarakat (restorative community justice), yang mendukung terhadap perlindungan hak asasi manusia dan tegaknya supremasi hukum, yang telah diratifi kasi oleh Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kehidupan dan tatanan hukum di Indonesia dalam menelusuri suatu Ratifi kasi terhadap Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, Degrading, Treatment, and Punishment yang disetujui Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1984 dimana Indonesia pun sebagai penandatangannya pada tanggal 23 Oktober1985. Penulis menyadari keterbatasan yang ada pada diri penulis, baik dari aspek ilmu agama, aspek hukum internasional, ilmu fi lsafat, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan yang telah berkembang demikian pesat. Keberanian penulis pada awal mengikuti perkuliahan pada program doktor ilmu hukum di Undip Semarang ini menjadi bukti bahwa penulis selalu ingin mengikuti perkembangan hukum atau kepesatan kemajuan ilmu pengetahuan, walaupun sebenarnya penulis sudah purna tugas bekerja sebagai anggota POLRI, tetapi penulis masih tetap berkeinginan menyumbangkan ilmu. Terwujudnya tulisan ini merupakan bukti kemurahan Allah SWT, serta keikutsertaan banyak pihak yang telah memberikan kesempatan, dorongan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Oleh karena itu, sudah seharusnya penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sampaikan satu persatu, namun jasa baiknya menjadi faktor penentu dalam keberhasilan penulisan buku ini. Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Andaikan tidak dibatasi dengan waktu, biaya dan kesempatan ingin rasanya mengkaji kembali dan terus memperbaiki tulisan ini agar dapat dikatakan mendekati layak sebagai buku. Meskipun demikian, dari segala hal yang jauh dari 6
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
kesempurnaan itu, penulis hanya mengharap agar jerih payah ini tidak berbuah sia yang tiada arti, karena masih ada yang dapat diambil manfaat bagi kepentingan sesama. Oleh karena itu, semua kritik dan saran bagi penyempurnaan tulisan ini sangat penulis harapkan. Penulis adalah dosen Ilmu Hukum yang mengajar berdasarkan : 1. Keputusan Rektor Universitas Wahid Hasyim Semarang No.: 318/KEP-UWH/IX/2013 tanggal 30 September 2013 tentang Pengangkatan Dosen Pengajar Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Semester Gasal Tahun 2013-2014 Univesitas Wahid Hasyim Semarang yaitu (1) Hak Asasi Manusia, (2) Hukum Aara Pidana Lanjut, (3) Kejahatan Ekonomi, (4) Perbandingan Hukum Pidana, dan (5) Hukum Kepolisian. 2. Keputusan Rektor Universitas Wahid Hasyim Semarang No.: 017/KEP-UWH/IX/2013 tanggal 03 Maret 2013 tentang Pengangkatan Dosen Pengajar Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Semester Genap Tahun 2013-2014 Univesitas Wahid Hasyim Semarang yaitu : (1) Hukum Acara Pidana, (2) Hukum Pidana Khusus, (3) Kejahatan Ekonomi, Kemahiran Litigasi. Semoga Allah SWT selalu mengampuni segala dosa kesalahan kita, memayungi setiap detak langkah kita agar senantiasa ada di jalan yang lurus dan benar, dan setiap amal baik kita. Amiin ya Rabbal ’Alamiin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Semarang, 26 Maret 2014 Penulis,
Dr. SUPARMIN, S.H., M.Hum. AKBP (P)
7
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL.................................................. i MOTTO ............................................................. ii PENGANTAR ....................................................... iii DAFTAR ISI ......................................................... iv GLOSARIUM ........................................................ vi BAB I
PENGERTIAN HUKUM ACARA PIDANA ................. 1 1. Pendahuluan .......................................... 1 2. Pengertian Hukum Acara Pidana ................... 2 3. Locus delictie (Tempat Kejadian Perkara) Pasal ayat () KUHAP Berlakunya Hukum Acara Pidana .......................................... 6 4. Syarat-Syarat danTujuan Hukum Acara Pidana ..................................................11 5. Orang-orang yang terlibat dalam hukum acara pidana ..........................................13
BAB II
ASAS-ASAS DAN SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA ...16 1. Pendahuluan ..........................................16 2. Kepentingan masyarakat dan kepentingan individu dalam hukum acara pidana...............18 3. Asas-asas dalam hukum acara pidana .............19 4. Ilmu-ilmu Pengetahuan Pembantu Hukum Acara Pidana ..........................................21 5. Dari Peraturan Hukum Pidana Ke Hukum Acara Pidana ..........................................28
BAB III
PEMERIKSAAN PENDAHULUAN ..........................39 1. Pendahuluan.........................................39 2. Pengertian Pemeriksaan Pendahuluan ..........39 3. Pejabat Penyidik, Penyelidik dan Penyidik Pembantu............................................40 4. Penyidikan dan Penyelidikan......................45 5. Pemeriksaan Tersangka............................51 6. Pemeriksaan Saksi dan Ahli .......................54 7. Penangkapan dan Penahanan .....................58
8
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
8. Penangguhan penahanan..........................66 9. Penggeledahan badan dan penggeledahan rumah ................................................70 10. Penyitaan ............................................73 11. Pemeriksaan surat .................................77 12. Penyelesaian penyidikan dan penghentian penyidikan ..........................................79 BAB IV
PENUNTUTAN ............................................81 1. Pendahuluan ..........................................81 2. Sekilas tentang lembaga penuntut umum ........81 3. Tugas dan wewenang penuntut umum ............83 4. Surat Dakwaan ........................................84 5. Penggabungan perkara (voeging) dan pemisahan perkara (splitsing)......................94 6. Penghentian penuntutan dan Penyampingan perkara ................................................97 7. Cara melakukan penuntutan .......................100
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN PERKARA KONEKSITAS ..................................104 1. Pendahuluan .........................................104 2. Perkara Koneksitas ..................................104
BAB VI
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI .......111 1. Pendahuluan .........................................111 2. Wewenang mengadili ...............................112 3. Sengketa Wewenang Mengadili....................114 4. Pengadilan Negeri dalam Praperadilan ..........117
BAB VII
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI BAGIAN KESATU GANTI KERUGIAN ..............................125 1. Pendahuluan .........................................125 2. Ganti Kerugian dan Rehabilitasi...................124 3. Ganti kerugian kepada pihak korban (victim of crime) ..............................................132
BAB VIII PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN .............. 137 1. Pendahuluan ........................................ 137 9
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
2. Kedudukan terdakwa, penasehat hukum, penuntut umum dan hakim ....................... 137 3. Penetapan Sidang dan Pemanggilan ............ 139 4. Proses pemeriksaan di sidang pengadilan ...... 141 BAB IX
HUKUM PEMBUKTIAN .................................. 1. Pendahuluan ........................................ 2. Sistem atau Teori Pembuktian ................... 3. Hal-hal yang Berkaitan dengan Pembuktian ...
153 153 154 159
BAB IX
PUTUSAN PENGADILAN................................ 1. Pendahuluan ........................................ 2. Macam-macam Putusan Hakim................... 3. Pengertian Upaya Hukum .........................
174 174 174 182
BAB X
STRATEGI DALAM PENYELESAIAN PERKARA DI LUAR PENGADILAN ATAU ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION (ADR) ................................... 210
DAFTAR PUSTAKA INDEX
10
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
GLOSARIUM
1. Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang KK Bab V Badan-Badan lain Yang Fungsinya Berkaitan dengan Mahkamah Agung “Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi, terdapat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.” 2. Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” 3. Dalam melaksanakan tugas pokok Polri bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.” Pasal 41 ayat (1) UUKepolisian “Dalam melaksanakan tugas keamanan, Polri dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 4. Pasal 43 Ayat (3) Polri membantu secara aktif tugas pemeliharaan perdamaian dunia di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 5. Tugas pemeliharaan perdamaian dunia (peace keeping operation) adalah tugas-tugas yang diminta oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada suatu negara tertentu dengan biaya operasional, pertanggung jawaban, dan penggunaan atribut, serta bendera PBB. 6. Negara Amerika misalnya di dalam Miranda Rules ditentukan bahwa sebelum polisi memeriksa tersangka, ia terlebih dahulu harus memberitahukan hak-hak tersangka 7. Peninjauan kembali (PK) putusan adalah upaya hukum luar biasa, dalam arti hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai hukum tetap. 8. Ayat (2) Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. 11
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Penyelidikan dan penyidikan, b. Penuntutan, c. pelaksanaan putusan, d. pemberian jasa hukum, dan e. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (ADR). 9. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Penjelasan Pasal 3 ayat (1) “Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase.” 10. Pasal 18 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Republik Indonesia “Pada tiap-tiap pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum putusan hakim diucapkan.” 11. Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1985 tentang Seleksi Terhadap Saksi-Saksi yang diperintahkan Untuk Hadir di Sidang Pengadilan “Bersama ini Mahkamah Agung ingin memperhatikan saudara perihal sebagai berikut : Tidak dibatasinya jumlah pemanggilan saksi yang dihadirkan di depan sidang pengadilan disamping dapat merupakan sumber pemborosan dalam penggunaan keuangan negara sehingga azas peradilan yang sederhana, cepat, dan dengan biaya ringan tidak terlaksana, juga merupakan penyelesaian perkara yang tidak efesien.” 12. Yang dimaksud melampaui/melanggar batas, misalnya membunuh orang yang menyerah, membunuh tawanan, membunuh orang yang tak berdaya, atau membunuh anggauta keluarga musuh yang tidak ikut berperang, memeras atau korupsi dan atau menerima suapan. 13. Dakwaan yang kabur dan tidak jelas seperti itu biasa dinamakan obscuur libel atau dalam bahasan latin obscuri libelli. 14. Pejabat aparat eksekusi pidana atau aparat penitensier yang bertugas melaksanakan undang-undang pelaksanaan pidana (penitential recht). Mereka misalnya Pejabat Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) yang bertugas melaksanakan 12
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
pidana perampasan kemerdekaan, yaitu pidana penjara dan kurungan. 15. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan. Asas ini lazimnya disebut asas Isonomia, atau Equality before the law. 16. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang (principle of legality) 17. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Asas ini lazim disebut asas “Praduga tak bersalah” atau Presumption of innocence. 18. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undangundang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi. 19. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak yang harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Asas ini dikenal sebagai asas contante justitie atau speedy trial serta fair trial. 20. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya. 21. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, 13
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum. 22. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. Asas ini lazim disebut asas kelangsungan pemeriksaan pengadilan (onmiddelijkheid van het onderzoek). 23. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang. Asas ini dikenal pula sebagai asas keterbukaan atau dalam bahasa Belanda disebut sebagai asas openbaarheid van het proces. 24. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. 25. Perma No. 1 tahun 1976 tanggal 31 Juli 1976 yang mencabut Perma No. 1 tahun 1971 serta surat-surat Edaran yang mendahuluinya mengenai soal peninjauan kembali putusan-putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
14
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
BAB I PENGERTIAN HUKUM ACARA PIDANA 1. Pendahuluan Bahwa Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Bahwa undang-undang tidak mungkin berlaku surut (mundur). “Nullum delictum sine praevia lege poenali” artinya : “Peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu.”1 . Ruang lingkup undang-undang hukum acara pidana mengikuti asas-asas yang dianut oleh hukum pidana Indonesia. Hukum acara pidana berlaku untuk melaksanakan tatacara Peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan, termasuk pengkhususannya sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketetuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan 2 Kehakiman . Hal tersebut sejalan dengan Hukum Agama AlQur’an Juz 15, Surat ke 17 Al Isra (Memperjalankan Di Malam Hari) ayat (15) Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Tuhan tidak akan meng’azab (menghukum dengan siksaan yang berat) sebelum Tuhan mengutus seorang rasul. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menurunkan ‘Kitab’ kepadamu dengan membawa kebenaran3, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah 1
R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea Bogor, hlm : 27 Dengan adanya ketentuan ini, dalam menghukum orang hakim terikat oleh undang-undang sehingga terjaminlah hak kemerdekaan orang.
2
Susunan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimnana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Terakhir dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 1009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Bab II, Pasal 10 ayat (1) “Badan-badan peradilan dan asas-asasnya dan Ruang lingkup berlakunya Undangundang Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan : (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan agama, (c) Peradilan Militer, (d) Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).” 3Al
Qur’an Dan Terjemahannya (Transliterasi Arab-Latin) Model Kanan-Kiri), Assalamah, (Ahmad Tohaputra) Penerbit Asy-Syifa Semarang, 2000, hal : 203 Jus 5, Qur’an Surat Ke-5, An Nisa (Wanita) ayat : (105) janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
1
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
wahyukan kepadamu.4 Dalam Kekristenan Alkitab, Keluaran Pasal 23 ayat (2) “Janganlah engkau turut-turut kebanyakan orang melakukan kejahatan, dan dalam memberikan kesaksian mengenai sesuatu perkara janganlah engkau turut-turut kebanyakan orang membelokkan hukum. Sedangkan Habakuk Pasal ke 1 ayat (4) “Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan tak pernah muncul keadilan, sebab orangorang fasik5 mengepung orang benar, itulah sebabnya keadilan muncul terbalik.” Matius Pasal 5 ayat (33) Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita; Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. Firman Allah Juz 15, QS ke 17, Al Isra (Memperjalankan Di Malam Hari) “Wa man kana fi hazihi a’ma fahuwa fil akhirati a’ma wa adallu sabila(n)“ Artinya :”Dan barang siapa yang buta hatinya di dunia ini, niscaya di akhirat nanti ia lebih buta pula dan lebih tersesat dari jalan yang benar.” Firman Allah Al Qur’an, Juz 2, Surat ke 2 Al Baqarah (Sapi Betina) ayat 190 “Dan perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas6.” Ibnu Umar r.a meriwayatkan dari Rasulullah Saw., beliau bersabda : “Kebaikan itu tidak akan rusak dan dosa tidak akan dilupakan. Tuhan tidak akan sirna (mati) dan jadilah kamu sebagaimana yang kamu kehendaki, yakni sebagaimana yang kamu amalkan, maka kamu akan dibalas”. Karena itu sungguh berbahagia orang yang sewaktu hidupya didunia ini dapat bertindak adil dalam hak-hak orang lain, dan sungguh celaka orang yang curang dalam hak-hak orang lain. 4
Pasal 1 ayat (1) KUHP, asas “Nullum delictum sine praevia lege poenali”dengan kata lain (norma agama) Tuhan tidak akan mengazab (menghukum dengan siksaan yang berat) sebelum Tuhan mengutus seorang rasul kepada manusia.
5
Alkitab, Amsal, Pasal 17 ayat (23) orang fasik menerima hadiah suapan dari pundi-pundi untuk membelokkan jalan Hukum. Menurut Yesaya, Pasal 33 ayat (15a “orang yang hidup dalam kebenaran yang berbicara dengan jujur, adalah orang yang menolak untung hasil pemerasan atau suap, yang mengibaskan tangannya supaya jangan menerima suap. Maka Tuhan membangkitkan hakim-hakim yang menyelamatkan mereka dari tangan perampok itu (Hakim-hakim, Surat 2 ayat (16).
6
Achmad Chodjim, 2003, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga -Penulis Syekh Siti Jenar dan Alfatihah, Serambi, Jakarta, hlm : 301 Catatan : Yang dimaksud melampaui/melanggar batas, misalnya membunuh orang yang menyerah, membunuh tawanan, membunuh orang yang tak berdaya, atau membunuh anggauta keluarga musuh yang tidak ikut berperang, memeras atau korupsi dan atau menerima suapan. Allah Ta’ala benar-benar mengancam dengan siksaan yang pedih kepada orang-orang yang melampaui batas.
2
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Diriwayatkan dari Umar r.a. bahwa Rasulullah Saw. Bersabda : “Sesungguhnya adil itu adalah timbangan Allah Ta’ala dibumi7. Maka barangsiapa yang mengambilnya (mengamalkannya) niscaya ia turun kesurga, dan barangsiapa yang meninggalkannya, niscaya ia diseret keneraka.” Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”; Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Berkaitan dengan Hukum Acara Pidana yang merupakan karya agung bangsa Indonesia, mengenai hukum pidana dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil (hukum pidana substansif) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan hukum pidana formil (hukum acara pidana) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hukum pidana materiil yang lazim disebut dengan hukum pidana umum, mengatur perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, syarat-syarat menjatuhkan pidana dan sanksi pidana. Sedangkan tujuan hukum pidana adalah harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional untuk mensejahterkan rakyat (social wealfer), demi terpeliharanya keamanan dan ketertiban umum serta ketenteraman berdasar Pancasila8. Hal ini berarti bahwa pembangunan pada hakikatnya selalu dikaitkan pada pandangan-pandangan positif
7
Al-FaqihAbullaits As-Samarqandi, 1999, Tanbihul Hafilin Nasehat Bagi Yang Lalai 2 (dua), Pustaka Amani, Jakarta, hlm : 67-74 Al-Faqih berkata, “Jika kamu mengerjakan perbuatan baik, maka kamu akan mendapatkan pahala kebaikan itu, dan jika kamu mengerjakan perbuatan jelek, maka kamu akan mendapatkan balasan kejelekan itu pada hari kiamat.” 8 Sudarto, 1986, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, dalam BPHN Simposium Pembangunan Hukum Pidana Nasional, Binacipta, Bandung, hlm 37- 39 Pada hakikatnya pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata, sehat sejahtera jasmani dan rohani, serta tata tenteram kerta raharja berdasarkan Pancasila.
3
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dalam ragka mewujudkan tujuan yang diinginkan 9. Bahwa, menurut resume butir-butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila : “Bangsa Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan Kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Membina (toleransi) kerukunan hidup sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Memelihara keterlibatan dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Mengembangkan rasa cinta tanah air dan mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan. Akan tetapi, sebenarnya hukum pidana tidak mengatur aturan-aturan tentang tata cara bagaimana atau tindakantindakan apa yang harus dilakukan apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana itu sendiri. Hal-hal terakhir inilah yang diatur dalam hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Hal ini berarti hukum pidana tidak mempunyai arti sama sekali apabila tidak ada hukum acaranya, sehingga dapat dikatakan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya inilah yang berfungsi mempertahankan tegaknya hukum pidana. Hukum acara pidana sendiri dapat dikatakan tanpa norma, karena di dalamnya hanya mengatur tentang prosedur dan tata cara yang harus dijalankan dalam penegakan hukum pidana materiil. 2. Pengertian Hukum Acara Pidana Untuk memahami apa hukum acara pidana itu, maka di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian, baik yang dirumuskan oleh sarjana Barat maupun sarjana Timur sebagai berikut ini: a. W.P.J. Pompe : Menurut Hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari pada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undangundang” b. J de Bosch Kemper 9
Soerjono Soekanto, 1983, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia, U.I. Press, Jakarta, hlm : 1Dengan demikian pembangunan merupakan suatu proses yang dialami oleh suatu masyarakat untuk menuju kehidupan yang lebih baik.
4
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Hukum acara pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturan-peraturan undang-undang yang mengatur wewenang negara untuk menghukum bilamana undangundang pidana dilanggar. c. Moeljatno : “Perbuatan pidana” sebagai “perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut”. d. D Simons Hukum acara pidana bertugas mengatur cara-cara negara dengan alat perlengkapannya mempergunakan wewenangnya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. e. Wirjono Prodjodikoro Hukum acara pidana ialah peraturan yang mengatur cara bagaimana badan pemerintah berhak menuntut, jika terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimana akan didapat suatu putusan pengadilan yang menjatuhkan suatu hukuman dapat dilaksanakan. f. Sudarto Hukum acara pidana ialah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pihak-pihak atau orang-orang lain yang terlibat di dalamnya, apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapatlah kiranya dikatakan bahwa empat pengertian yang pertama (dari Pompe, Kemper, Moeljatno dan Simons merupakan pengertian yang sempit, sebab dalam hal ini hukum acara pidana hanya ditekankan pada hak atas penguasa saja. Sedangkan apa yang dikatakan oleh Sudarto dan Wirjono Prodjodikoro merupakan pengertian yang luas, sebab sama halnya dengan hukum pada umumnya bahwa adresat hukum acara pidana adalah masyarakat (termasuk pula para penegak hukum). Hukum itu adalah untuk kepentingan-kepentingn manusia, untuk kepentingan dari individu, masyarakat ataupun negara 10. Drs. P.A. F.Lamintang, Prof. D. Simons, 1992, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek Van Het Nederlanches straftrecht), CV Pionir Jaya, Bandung, hlm 128 “Hukum itu mengatur hubungan yang satu dengan yang lain dan
10
mengatur pembatasan dari kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dengan memberikan larangan-larangan dan keharusan-keharusan, sehingga terdapat suatu tertib hukum”.
5
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Jadi, tepatlah kiranya apabila dikatakan bahwa aturanaturan dalam hukum acara pidana itu tidak hanya ditujukan buat para penegak hukum saja, tetapi diperuntukkan pula kepada pihak-pihak atau orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sebagai contoh misalnya dapat dikemukakan di sini bahwa aturan-aturan hukum acara pidana itu memuat pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersangka atau terdakwa, saksi, ahli maupun penasehat hukum. Dari ke enam pengertian / definisi tersebut diatas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa fungsi hukum acara pidana adalah untuk melaksanakan atau menegakkan hukum pidana. Oleh karena itu antara kedua-duanya saling berhubungan yang sangat erat, sehingga kadang-kadang bagi kita sulit untuk menentukan apakah aturan itu merupakan ketentuan hukum pidana atau kah termasuk ketentuan hukum acara pidana. Sebagai contoh misalnya, mengenai ketentuan Pasal 76 KUHP yaitu mengenai asas ne bis in idem atau juga dikenal dengan kata-kata nemo debet bis vexari ataupun disebut pula dengan istilah double jeopardy. Asas ini mengandung arti bahwa orang tidak dapat dituntut untuk ke dua kalinya karena satu perbuatan (feit), yang telah dilakukannya dan terhadap perbuatannya itu telah dijatuhkan putusan pengadilan (vonis) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Ditegaskan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2002 tentang Penanganan Perkara Yang Berkaitan Dengan Asas Nebis In Idem “ Berkaitan dengan banyaknya pengulangan perkara dengan obyek dan subyek yang sama dan telah diputus serta mempunyai kekuatan hukum tetap baik dari tingkat judex facti sampai dengan tingkat kasasi baik dari lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara, maka dengan ini Mahkamah Agung meminta perhatian sungguh-sungguh dari seluruh Ketua Pengadilan tingkat Pertama mengenai masalah tersebut11. Prinsip ne bis in idem ini, terdapat dalam Pasal 20 Statuta bahwa seseorang tidak dapat dituntut lagi di Bagir Manan, 2005, Himpunan Surat Edaran Dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia 1951-2005, Penerbit CV. Citra Mandiri Jakarta, hlm :1017 Agar asas “nebis is idem” dapat terlaksana dengan baik dan demi kepastian bagi pencari keadilan.
11
6
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Mahkamah atas tindak pidana yang sama yang telah diputuskan atau dibebaskan oleh Mahkamah lain untuk suatu tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 dimana tindak pidana itu telah diputuskan dengan putusan pidana atau dibebaskan oleh Mahkamah. Ketentuan ini dapat dipandang sebagai aturan pokok dalam hukum pidana, tetapi dapat pula dianggap sebagai aturan dalam hukum acara pidana. Demikian pula misalnya aturan-aturan dalam Buku I (Satu) KUHP yang mengatur tentang daluwarsa (verjaring), baik daluwarsa terhadap hak untuk melakukan penuntutan pidana (vervolgingsverjaring) yang terdapat dalam Pasal 78 dan 84 KUHP12.
Contoh: Pada suatu hari kedapatan seseorang meninggal tanpa diketahui sebab-sebabnya. (Pasal 133 ayat (1) KUHAP). Maka pada saat itu pula timbul dugaan pada polisi, bahwa mungkin orang tersebut mati karena pembunuhan atau penganiayaan. Atas dasar dugaan tersebut kemudian polisi mengadakan penyelidikan dan penyidikan. Polisi memanggil orang yang dicurigai untuk didengar keterangannya, baik sebagai tersangka maupun saksi. Selanjutnya untuk mengetahui sebab-sebab kematian korban tersebut, polisi meminta bantuan kepada Ahli Kedokteran Kehakiman guna pemeriksaan bedah mayat (autopsy) (Pasal 133 ayat (2) KUHAP. Hasil pemeriksaan dokter yang dituangkan dalam visum et repertum ternyata menyatakan bahwa matinya korban disebabkan oleh serangan penyakit jantung yang mendadak (kematian wajar/nature death). Jadi dalam hal ini sama sekali tidak ada pelanggaranpelanggaran terhadap aturan-aturan hukum pidana (tindak Drs. P.A.F. Lamntang, SH./ Prof. D. Simons, 1992 Bab ke-VIII itu mengatur dasar-dasar dari batalnya hak untuk melakukan tuntutan pidana atau het recht tot strafvordering dan batalnya kewajiban untuk menjalani hukuman. Hak untuk melakukan tuntutan itu menjadi batal karena : 1. Adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, 2. Meninggalnya tersangka, atau terhukum 3. Kedaluwarsa dan 4. adanya penyelesaian perkara diluar pengadilan (ADR), sesuai yang dikehendaki Pasal 38 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Juga adanya grasi, amnesti, dan abolisi.
12
7
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
pidana). Namun demikian, hukum acara pidana telah berjalan yaitu polisi telah mengadakan penyelidikan dan penyidikan13. Ini berarti bahwa fungsi hukum acara pidana bukan saja untuk menentukan secara resmi adanya pelanggaran terhadap hukum pidana (yang secara tidak resmi telah diketahui orang), tetapi ia mengadakan tindakan-tindakan walaupun baru ada persangkaan saja bahwa ada tindak pidana yang dilakukan oleh orang. Perlu dikemukakan di sini bahwa sifat keresmian hukum acara pidana ini membawa konsekuensi bahwa segala usaha untuk melaksanakan atau menegakkan hukum pidana itu harus dilakukan oleh aparat resmi (penyelidik/penyidik) yang menurut undang-undang memang ditugaskan untuk itu. Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia “Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”. Sehubungan dengan itu, maka sebagai suatu prinsip atau asas dalam hukum acara pidana adalah, bahwa ia tidak membernarkan adanya orang-orang yang main hakim sendiri (verbod van eigen richting). Bahwa penegakan hukum pidana harus dilaksanakan secara resmi dan dilakukan oleh aparat resmi (penyidik, penyelidik, sampai kepada penuntut umum) yang memang ditugaskan untuk itu, antara lain ditentukan dalam KUHAP sebagai berikut: Pasal 1 butir 1: Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
13
Pasal 14 ayat (1) huruf g UU Kepolisian “Dalam melaksanakan tugas pokok Polri bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.” Pasal 41 ayat (1) UUKepolisian “Dalam melaksanakan tugas keamanan, Polri dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”; Ayat (3) Polri membantu secara aktif tugas pemeliharaan perdamaian dunia di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tugas pemeliharaan perdamaian dunia (peace keeping operation) adalah tugas-tugas yang diminta oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada suatu negara tertentu dengan biaya operasional, pertanggung jawaban, dan penggunaan atribut, serta bendera PBB.
8
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Pasal 1 butir 2: Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pasal 4 KUHAP Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. 3. Locus delictie (Tempat Kejadian Perkara) Pasal 84 ayat (1) KUHAP Berlakunya Hukum Acara Pidana Bahwa setelah diuraikan di muka bahwa hukum pidana dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Dalam pembagian hukum antara hukum publik (publiekrechkt) dan hukum privat (privaatrecht), hukum acara pidana digolongkan ke dalam hukum publik. Untuk menentukan locus delicti tidaklah semudah seperti kelihatannya. Misalnya seorang mengirim paket berisi bom waktu dari Singapura yang ditujukan kepada orang lain di Jakarta. Bom meledak di Jakarta dan mengenai orang tersebut sehingga mati. Dalam hal ini di manakah terjadinya tindak pidana ? Untuk menentukan locus delicti ada 3 (tiga) teori, yaitu :
9
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
a. Teori perbuatan materiil (perbuatan jasmaniah); b. Teori instrumen; c. Teori akibat. Ad. a. Tempat tindak pidana ditentukan oleh perbuatan jasmani yang dilakukan oleh sipembuat dalam menyelesaikan tindak pidana. Ad. b. Dalam teori ini tempat terjadinya delik ialah tempat bekerjanya alat yang dipakai sipembuat. Ad. c. Untuk delik materiil kadang-kadang dapat digunakan dengan baik teori akibat. Misalnya dalam penipuan dellik ini selesai apabila sikorban sudah menyerahkan barangnya14. Sebagai bagian dari hukum publik, hukum acara pidana dapat pula diartikan secara luas dan sempit. Apabila hukum acara pidana dipandang dari segi tugas, fungsi, wewenang, kewajiban dan hak-hak dari pejabat-pejabat yang berwenang dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan mengadili, maka ia termasuk hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Ini yang disebut hukum acara pidana dalam arti luas. Sedangkan dalam arti sempit yaitu apabila kita melihat hukum acara pidana itu berjalan apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana telah dilanggar. Seperti telah diuraikan di muka bahwa hukum acara pidana tergolong dalam hukum publik. Ini berarti bahwa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap seseorang yang disangka telah melakukan tindak pidana (dalam Buku II) maka para penyelidik dan penyidik pada dasarnya dapat melaksanakan kewajiban mereka itu dengan tidak disyaratkan pada adanya laporan atau pengaduan / suatu permintaan dari seseorang yang telah merasa dirugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain. Dan dalam hal 14
Sudarto, Hukum Pidana I, 1990, Cetakan Ke II, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, Semarang, hlm 3637 Untuk menuntut seseorang didepan pengadilan perihal sesuatu tindak pidana, maka harus pasti tentang waktu dan tempat kejadian. Syarat pemidanaan, ada dua (1) Perbuatan, perbuatannya memenuhi rumusan delik dan bersifat melawan hukum. (2) Orang, ada kesalahan yang mampu bertanggung jawab, dan dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf atau pembenar).
10
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
tertangkap tangan Pasal 111 KUHAP ayat (1) “Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum, wajib menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang buktinya.” Demikian halnya untuk dapat melakukan penuntutan terhadap seseorang yang didakwa telah melakukan suatu tindak pidana, para penuntut umum pada dasarnya dapat melakukan kewajibannya tanpa digantungkan adanya suatu permintaan dari seseorang yang merasa dirugikan akibat dari suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, kecuali apabila undang-undang telah menentukan lain. Sebagai contoh misalnya, suatu penuntutan yang disyaratkan adanya suatu pengaduan dari orang yang merasa dirugikan adalah dalam hal tindak pidana perzinahan seperti diatur dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP, dalam tindak pidana persetubuhan yang dilakukan di luar perkawinan dengan seorang wanita yang belum berumur lima belas tahun seperti diatur dalam Pasal 287 ayat (2) KUHP, dalam tindak pidana penghinaan seperti diatur dalam Pasal 319 KUHP dan lain sebagainya. Dalam pada itu, mengenai ruang lingkup berlakunya KUHAP di dalam Pasal 2 KUHP dinyatakan bahwa: Undangundang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan. Mengenai Pasal 2 KUHAP ini, pembentuk undangundang hanya menjelaskan hal-hal sebagai berikut: a. Ruang lingkup undang-undang ini mengikuti asas-asas yang dianut oleh hukum pidana Indonesia; b. Yang dimaksud dengan ”peradilan umum” termasuk pengkhususannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) alinea terakhir Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (yang sekarang telah diubah) dengan UndamgUndang Nomor 35 Tahun 1999 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) 11
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Asas yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 huruf a KUHAP tentunya tidak hanya asas-asas yang termuat dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 9 KUHP, misalnya asas teritorial, asas nasionalitas pasif dan asas universal, tetapi meliputi pula asas-asas yang termuat dalam perundang-undangan hukum acara pidana di luar KUHP, misalnya asas opportunitas. Selanjutnya apa yang dimaksud dengan peradilan umum dalam rumusan KUHAP bahwa untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem peradilan yang terpadu. Di dalam Pasal 2 huruf b KUHAP tersebut, pembuat undang-undang secara singkat hanya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan peradilan umum adalah peradilan umum termasuk pengkhususan.nya sebagaimana yang tercantum dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) alinea terakhir UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan telah diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan diubah lagi sekarang Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman15. Selengkapnya berbunyi sebagai berikut: "Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Selain Peradilan Umum, Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedang peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat. Pada umumnya mengenai baik perkara perdata maupun perkara pidana. Perbedaan dalam empat peradilan ini, tidak Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang KK Bab V Badan-Badan lain Yang Fungsinya Berkaitan dengan Mahkamah Agung “Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi, terdapat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Ayat (2) Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Penyelidikan dan penyidikan, b. Penuntutan, c. pelaksanaan putusan, d. pemberian jasa hukum, dan e. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (ADR).
15
12
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
menutup kemungkinan adanya pengkhususan (differensiasi/ spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan Lalulintas, Pengadilan Anak-Anak, Pengadilan Pajak, Pengadilan Ekonomi dan sebagainya dengan UndangUndang". Dalam pada itu sebagai sumber utama hukum acara pidana kita sekarang adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau disingkat KUHAP yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana , Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 KUHAP sebagai hukum acara pidana positif yang terdiri dari XXII Bab dan 286 Pasal. Sumber hukum acara pidana yang lain dapat disebut di sini sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta asasasas peradilan dan pedoman bagi lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri; b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73 yang sebelumnya sudah diperbarui dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang mengatur kedudukan, susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung serta hukum acara yang berlaku bagi Mahkamah Agung; c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20. Dalam undang-undang ini diatur tentang susunan, kekuasaan dan kedudukan Hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan 13
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Tinggi; Yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum. d. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. e. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. f. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. g. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksanaan Republik Indonesia; h. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Lembaran; Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36; yang tlah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan KUHAP Di samping itu masih ada berbagai peraturan pelaksana yang lain, baik berupa Keputusan Menteri Kehakiman, Peraturan Menteri Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung, Keputusan Bersama Menhankam dan Menteri Kehakiman, Keputusan Menteri Keuangan dan sebagainya. Perlu dikemukakan di sini bahwa pada dasarnya hukum acara pidana umum (KUHAP) merupakan dasar dari hukum acara pidana di segala bidang, kecuali apabila undang-undang di bidang khusus mengatur secara tegas menentukan lain daripadanya. Ini sesuai dengan asas lex specialis derogat lex generali. 4. Syarat-Syarat Upaya Paksa Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa hukum pidana materiil mengatur perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana dan sanksi yang diancamkan terhadap perbuatan-perbuatan yang dirumuskannya. Sedangkan tujuan hukum pidana itu adalah untuk memelihara ketertiban umum demi kepentingan umum. Namun, di dalam hukum pidana tersebut tidak terdapat aturan-aturan tentang cara bagaimana atau tindakan-tindakan apa saja yang harus dilakukan apabila terjadi pelanggaran 14
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
terhadap hukum pidana itu sendiri. Dengan demikian maka apa yang menjadi tujuan hukum pidana itu tidak mungkin tercapai apabila pemerintah atau negara hanya membuat hukum pidana saja. Untuk itu dibutuhkan hukum acara pidana yang secara keseluruhan mengatur : a. Tata cara bagaimana negara melalui alat-alat perlengkapannya menemukan kebenaran tentang terjadinya suatu pelanggaran terhadap hukum pidana; b. Upaya-upaya yang dijalankan untuk mencari si pelanggar hukum tadi; c. Tindakan-tindakan yang dijalankan untuk menangkap si pelanggar hukum tersebut dan jika perlu menahannya; d. usaha-usaha menyerahkan alat-alat bukti yang dikumpulkan dalam hal mencari kebenaran tersebut di atas dan selanjutnya mengajukan si pelanggar hukum ke depan sidang pengadilan melalui peuntut umum: e. cara bagaimana hakim menjalankan pemeriksaan terhadap terdakwa di depan sidang pengadilan dan menjatuhkan putusan tentang salah tidaknya terdakwa terhadap tindak pidana yang didakwakan kepadanya; f. upaya-upaya hukum apa yang dapat dijalankan terhadap putusan hakim; g. cara bagaimana putusan hakim tersebut dilaksanakan dan cara pengawasan serta pengamatannya. Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum acara pidana mempunyai tiga tugas pokok, yaitu : 1. mencari dan mendapatkan kebenaran materiil; 2. memberikan suatu putusan hakim; 3. melaksanakan putusan hakim. Tekanan harus diletakkan pada fungsi mencari kebenaran materiil (materiele waarheid), sebab kebenaranlah yang harus menjadi dasar dari suatu putusan hakim pidana. Dalam pada itu bahwa apa yang diatur dalam hukum acara pidana adalah cara-cara yang harus ditempuh dalam menegakkan ketertiban hukum dalam masyarakat yang harus
15
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
diarahkan menjadi bangsa berjiwa Pancasila 16, tetapi sekaligus juga bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi tiaptiap individu baik yang menjadi korban maupun si pelanggar hukum sendiri. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan sekaligus untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (protection of human rigths), sesuai dengan tujuan pembangunan hukum nasional. 5. Orang-orang yang terlibat dalam hukum acara pidana Seperti telah diuraikan di muka bahwa yang menjadi adresat norma hukum adalah masyarakat. Kepada mereka inilah norma-norma itu tertuju. Secara lebih khusus, maka hukum acara pidana yang berupa aturan-aturan tentang tatacara penyelenggaraan peradilan pidana itu, di samping menjadi pedoman bagi para penegak hukum dalam melaksanakan tugas mereka di bidang peradilan juga merupakan petunjuk bagi orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Sehubungan dengan itu, maka orang-orang yang dapat terlibat dalam hukum acara pidana (dramatis personae) adalah: a. Setiap orang, sebab dalam hal-hal tertentu setiap orang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam hukum acara pidana17. Mereka ini dapat berkedudukan sebagai: Tersangka ialah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan yang cukup patut diduga sebagai pelaku tindakan pidana; Terdakwa ialah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan;
16
Suparmin, 2007, Tragedi Kemanusiaan Dalam Kasus Pemilu Di Jepara 1999, Wahid Hasyim University Press, Semarang, hlm : 11 Sebagaimana diketahui bahwa pembinaan masyarakat sebagai pihak yang ikut menentukan terciptanya kesejahteraan, dan ketertiban masyarakat harus ditingkatkan agar tercipta masyarakat yang mandiri tangguh dan profesional dibidang masing-masing. 17 Undang-Undang Nomor 48 Thun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 : Ayat (1) Peradilan dilakukan “DEMI KETUHANAN BBERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Ayat (2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Ayat (3) Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang. Ayat (4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
16
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Saksi ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan18, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri; Ahli ialah seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan peradilan. b. Pejabat Kepolisian berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri “Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Polri bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainya”. Dan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu, sebab mereka inilah yang terutama diberi tugas dalam pemeriksaan pendahuluan (voorondenoek). Mereka terdiri dari: Penyelidik ialah Pejabat Polisi Negera Republik Indonesia yang diberi wewenang menurut, undang-undang untuk melakukan penyelidikan; Penyidik ialah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan19; Penyidik Pembantu ialah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan. c. Pejabat Kejaksaan, sebagai mereka inilah yang terutama diberi tugas melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan. Mereka terdiri atas:
18
Susunan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan “Pasal 1 angka 31 “Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.” 19 Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad Sentosa, 1986, KUHAP Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan Pelaksana, Penerbit Djambatan, Jakarta, hlm : 98 Penjelasan Pasal 6 KUHAP ayat (2) Kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam peraturan pemerintah diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum.
17
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Jaksa ialah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; Penuntut Umum ialah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. d. Pejabat Pengadilan, sebab mereka yang terutama bertugas memeriksa dan memutus perkara di sidang pengadilan. Mereka terdiri dari : Hakim ialah pejabat pengadilan yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili; Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti yang bertugas membantu hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya sidang pengadilan. e. Para Penasihat Hukum ialah orang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum. f. Pejabat aparat eksekusi pidana atau aparat penitensier yang bertugas melaksanakan undang-undang pelaksanaan pidana (penitential recht). Mereka misalnya Pejabat Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) yang bertugas melaksanakan pidana perampasan kemerdekaan, yaitu pidana penjara dan kurungan. g. Penggantian hakim sehubungan hak ingkar; Mengenai hak ingkar berdasarkan pasal 157 dan pasal 220 KUHAP, maka jika ada keberatan terhadap hakim yang bersidang, menurut Ali Said SH Menteri Kehakiman Republik Indonesia berdasarkan petunjuk sebagai berikut : a) Untuk tingkat pengadilan negeri jika yang bersidang adalah hakim pengadilan negeri, yang berwenang menunjuk penggatinya adalah Ketua Pengadilan Negeri; b) Jika yang bersidang adalah Ketua Pengadilan Negeri, yang berwenang menunjuk penggantinya adalah Ketua Pengadilan Tinggi; c) Untuk tingkat banding, jika yang bersidang hakim tinggi, yang berwenang menunjuk penggantinya adalah Ketua Pengadilan Tinggi; 18
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
d) Jika yang bersidang Ketua Pengadilan Tinggi, yang berwenang, menunjuk penggantinya adalah Ketua Mahkamah Agung; e) Jika yang bersidang Hakim Mahkamah Agung, yang berwenang menunjuk penggantinya adalah Ketua Mahkamah Agung; f) Jika yang bersidang Ketua Mahkamah Agung, yang berwenang menunjuk penggantinya adalah Pimpinan Mahkamah Agung. Bahwa, segala sesuatu itu pada akhirnya dalam penegakan dan penerapan hukum tergantung pada manusianya. Untuk itu pada tahap pertama disamping penguasaan dan pengetahuan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengindahkan hukum agama oleh para penegak hukum, juga dituntut pula dari mereka tumbuhnya kesadaran dan penghayatan mengenai penghargaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat hak asasi manusia (HAM). Hal ini berkenaan dengan faktor karakter, moral, dan mental para penegak hukum. Namun hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengindahkan norma agama ini merupakan sarana pembinaan bagi para penegak hukum untuk mengadakan perubahan mental yang mengarah kepada penghayatan, pengakuan, penghargaan, penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
19
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
BAB II ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA 1. Pendahuluan Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang telah diletakkan di dalam undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman dan diubah lagi dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004, dan diubah lagi dengan UndangUndang Nomor 48 Thun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun asas tersebut antara lain : a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan; b. Penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang; c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengdilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap; d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan20 wajib diberi ganti kerugian atau rehabilitasi sejak tingkat penyidikan, dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi; e. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak 20
Pasal 1365 KUH Perdata”Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.” Pasal 1366 KUH Perdata “Setiap orang beranggung jawab tidak saja kepada kerugian yang disebabkan kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
20
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan21; f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang sematamata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya; g. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasehat hukum; h. Pengadilan memeriksa terdakwa dengan hadirnya 22 terdakwa ; i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang; j. Pengawasan pelaksanaan putusan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan. Di dalam pokok bahasan telah dikemukakan bahwa tujuan hukum acara pidana di samping mencari kebenaran materiil (substantial truth) juga sekaligus melakukan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (protection of human rights). Dalam rangka mencapai keseimbangan tujuan tersebut, maka hukum acara pidana mengatur pula prinsipprinsip hukum baik yang berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan yang baik maupun yang berkaitan dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Hal ini penting, mengingat hukum pidana, termasuk juga hukum acara pidananya, di samping bertujuan melindungi hakhak seseorang, tetapi dalam geraknya seringkali dilakukan dengan mengambil hak-hak orang juga. Dengan demikian hukum (acara) pidana ibarat pedang bermata dua. Oleh karena itu, penggunaan hukum acara pidana khususnya yang berkaitan 21
Tambahan Lembaran Negara RI No. 3209 Kehakiman, Tindak Pidana. Hukum Acara Pidana. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Hal itu berarti bahwa Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 22
Sejalan dengan Pasal 154 ayat (4) KUHAP Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
21
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dengan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan dan lainnya harus dilakukan sedemikian selektif dengan sedapat mungkin menerapkan unsur kehati-hatian melalui adanya bukti minimal yang harus terpenuhi. Hal ini penting untuk menghidari korban yang tidak dikehendaki. Hukum memang harus tegak, tapi kesalahan dalam penegakan hukum harus dihindari mengingat dampak yang ditimbulkannya tidak dapat hapus dalam hitungan hari, tetapi selamanya akan membekas pada diri manusia yang menjadi korban, bahkan juga keluarganya maupun lingkungan masyarakat tempat dia hidup mengingat bangsa kita mempunyai jiwa kebersamaan (kolektifitas) yang sangat tinggi. Hal inilah uniknya peradilan pidana, karena di dalamnya tidak bisa dihindari adanya konfrontasi antara manusia dengan manusia, mengadili juga berarti pergulatan kemanusiaan dan untuk itu perlu aturan main yang mampu menjaga harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan 2. Fungsi Hukum Acara Pidana Di dalam hukum acara pidana terdapat dua kepentingan hukum yang harus dijamin, yaitu: a. Kepentingan hukum yang terdiri atas kepentingan masyarakat, yang disebut ketertiban hukum (rechtsorde) atau ketertiban umum (publieke orde), yang harus dijamin supaya masyarakat dapat melangsungkan hidupnya secara aman dan tenteram. b. Kepentingan hukum yang terdiri atas kepentingan individu, yang terdiri atas hak-hak individu, yang harus dijamin pula dalam hukum acara pidana. Hukum acara pidana ditujukan untuk menjamin keserasian dan keseimbangan antara kedua kepentingan tersebut. Maka dari itu hukum acara pidana harus dapat membatasi kekuasaan penguasa agar tidak menjadi sewenangwenang di satu pihak dan di lain pihak kekuasaan penguasa merupakan jaminan bagi berlakunya hukum sehingga hak-hak asasi manusia terjamin adanya. Apabila seorang melakukan tindak pidana, maka berarti ada suatu pelanggaran terhadap ketertiban hukum yang harus dijamin dalam pergaulan hidup masyarakat. Sehubungan 22
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dengan itu maka terhadap ketertiban hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan kembali. Namun, dalam menegakkan kembali ketertiban hukum tersebut sering kali terpaksa hak-hak asasi manusia harus dilanggarnya. Dalam hal ini misalnya tindakan penangkapan dan atau penahanan yang merupakan pelanggaran hak asasi kebebasan bergerak, penggeledahan yang merupakan pelanggaran hak asasi ketentraman menghuni rumah, penyitaan yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia atas milik yang tidak boleh dirampas secara semena-mena, dan membuka serta memeriksa surat-surat yang merupakan pelanggaran hak asasi kebebasan dan rahasia dalam berkorespondensi. Untuk menjaga supaya dalam pelanggaran terhadap hakhak asasi manusia tersebut tidak terjadi sewenang-wenang dari petugas-petugas yang dibebani untuk mencari dan menemukan kebenaran itu, maka pelanggaran hak asasi tersebut hanya dapat dibenarkan menurut prosedur dan tatacara yang diatur oleh undang-undang. Adapun undangundang yang dimaksud adalah undang-undang hukum acara pidana, yang sekarang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Aara Pidana. 3. Asas-asas yang Berkaitan Hukum Acara Pidana Pada dasarnya asas-asas dalam hukum acara pidana dapat dibagi dua, pertama asas-asas yang berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan yang baik dan kedua asas-asas yang berhubungan dengan perlindungan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia (hak-hak asasi manusia). Asas-asas tersebut sebagian telah dimuat dalam Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970, yang meskipun sudah ada Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru, tetapi karena dalam undang-undang yang baru tidak diatur secara rinci, maka kita dapat mengacu pada ketentuan Pasal 47 yang ditentukan : "Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman masih tetap berlaku 23
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk yang baru berdasarkan undang-undang ini". Perkembangan sistem hukum Nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan susunan peraturan perundangundangan yang diatur Pasal 2 yo23 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa “Pancasila” merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara yang berkaitan dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1) “jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas “: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi;dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Perlindungan tentang Hak Azasi Manusia yang diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman antara lain sebagai berikut; a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan. Asas ini lazimnya disebut asas Isonomia, atau Equality before the law. b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam 23
Suparmin, 2012, Model Polisi Pendamai Dari Perspektif Alternative Dispute Resolution (ADR) Studi Penyelesaian Konflik antar Partai Politik, Badan Penerbit Universitas Diponegoro bekerja sama dengan Wahid Hasyim University Press, Semarang, hlm : 53 Dalam bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan doktrin / pendapat ahli tidak masuk dalam hierarki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
24
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang (principle of legality), c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Asas ini lazim disebut asas “Praduga tak bersalah” atau Presumption of innocence. d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi. e. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak yang harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Asas ini dikenal sebagai asas contante justitie atau speedy trial serta fair trial. f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya. g. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum. h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. Asas ini lazim disebut asas kelangsungan pemeriksaan pengadilan (onmiddelijkheid van het onderzoek). i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang. Asas ini dikenal pula sebagai asas keterbukaan atau dalam bahasa Belanda disebut sebagai asas openbaarheid van het proces. 25
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. 4. Perlu Ilmu Bantu Hukum Acara Pidana Bahwa dengan ilmu pengetahuan pada umumnya, maka hukum acara pidana juga membutuhkan ilmu bantu sebagai ilmu pengetahuan pembantu (hulpwetenchapen). Mengapa demikian ? Hal ini disebabkan karena tugas pokok hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil (materiele waarheid). Oleh karena itu, maka bagi aparat penegak hukum (law enforcement officer) seperti polisi24, jaksa, hakim dan penasihat hukum perlu mempunyai bekal ilmu pengetahuan lain sebagai ilmu pengetahuan pembantu dalam rangka mencari kebenaran materiil tersebut. Adapun ilmu pengetahuan pembantu dimaksud adalah : 1) Logika Yang dimaksud dengan logika ialah berpikir dengan akal yang sehat berdasar atas hubungan beberapa fakta atau berpikir secara rasional. Peranan logika dalam hukum acara pidana ini penting, khususnya dalam kaitannya dengan persangkaan atau dakwaan dalam pembuktian. Dalam hubungannya dengan ini dapatlah dikemukakan hal-hal sebagai berikut ini. Apabila timbul suatu persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar, maka pada tahap pertama adalah kegiatan yang berupa orientasi. Dalam hal ini pejabat penyidik harus bertindak untuk mencari dan mengumpulkan bahan-bahan keterangan dan bukti-bukti yang selengkap-lengkapnya serta meninjau kenyataan-kenyataan di tempat kejadian perkara (TKP). Contohnya, dalam hal terjadi penganiayaan atau 24
Suparmin, 2007, Lembaga Kepolisian & Penyelesaian Konflik Pendukung Partai Politik, Wahid Hasyim University Press, Semarang, hlm :32-33 Jika dibandingkan dengan aparat penegak hukum lain seperti jaksa, hakim dan lembaga pemasyarakatan maka polisi secara langsung berhubungan dengan pelaku kejahatan dilapangan. Menurut Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, 2007, mengatakan “Kita tentu sering menyaksikan anggota Polri masih bertugas dijalanan di tengah teriknya matahari, atau tetap berjaga ketika hujan deras turun. Sebagian lagi rela meninggalkan keluarganya demi menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Tidak jarang pula mereka harus bertaruh nyawa melawan pelaku kejahatan. Hal ini luput dari perhatian kita semua”.
26
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
pembunuhan, maka harus dicari bekas-bekas tanda penganiayaan atau tetesan darah dan sebagainya. Seperti yang dilakukan oleh petugas Polrestabes Semarang, Kasat Reskrim yang dilakukan oleh Kaur Identifikasi (Selaku Penyidik), berdasarkan Surat Nomor : R/26/II/2014/Reskrim-Perihal Permintaan pemeriksaan mayat, tanggal 19 Pebruari 2014 yang ditujukan kepada Kepala Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang; Bahwa telah dikirimkan seorang dengan identitas sebagai berikut : nama Zul Haris,kelamin laki-laki, umur 45 tahun, kebangsaan Indonesia, pekerjaan ... , agama Islam, alamat Jl. Taman Liman Mukti Rt 003 Rw 006 Kel. Pedurungan, Kec. Pedurungan, Kota Semarang. Korban tesebut ditemukan meninggal dunia di Pertigaan pinggir Jalan Taman Liman Mukti Rt 003 Rw 006 Kel. Pedurungan, Kec. Pedurungan, Kota Semarang, pada hari Rabu, tanggal 19 Pebruari 2014 diketahui sekira pukul 12.00 WIB25. Adapun kegiatan tahap kedua adalah membuat hipotesa. Ini berarti bahwa setelah mengumpulkan bahanbahan ditempat kejadian perkara itu kemudian harus disusun suatu hipotesa, yaitu apakah kejadian tersebut merupakan penganiayaan, pembunuhan ataukah bunuh diri dan sebagainya. Selanjutnya pada tahap ke tiga adalah melakukan verifikasi, dengan cara mencocokkan satu dengan lainnya. Misalnya, bahan-bahan bukti itu dicocokkan dengan keterangan-keterangan yang diperoleh dari saksi atau ahli. Bahan-bahan bukti yang dikumpulkan, menarik pikiran kepada hipotesa, dan dengan mencocokkan fakta-fakta sesudahnya, akan membentuk konstruksi yang logis tentang ada atau tidaknya tindak pidana yang dipersangkakan tersebut. 2) Psikologi Sawal, Ipda, Kaur Identifikasi Selaku Penyidik, an. Kasat Reskrim Polrestabes Semarang, Surat Nomor : R/26/II/2014/Reskrim-Perihal Permintaan pemeriksaan mayat, tanggal 19 Pebruari 2014 yang ditujukan kepada Kepala Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang “Mohon bantuan dilakukan pemeriksaan luar dan / atau dalam atas jenazah tersebut (Zul Haris) dan dibuatkan Visum Et Repertum serta menghubungi Polrestabes Semarang / nomor telepon 082138089181 (Unit Olah TKP). 25
27
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Secara harfiah psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai jiwa. Kata psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche yang dapat diartikan sebagai hidup, rob ataupun jiwa; sedangkan logos diartikan sebagai ilmu pengetahuan. Jadi, psikologi adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami jiwa manusia, dengan tujuan untuk dapat memperlakukannya secara lebih tepat. Peranan psikologi ini penting, sebab seperti telah dikemukakan di muka bahwa hukum acara pidana itu dapat melibatkan semua orang baik mereka berkedudukan sebagai tersangka atau terdakwa maupun orang itu berkedudukan sebagai saksi. Sehubungan dengan itu maka penyidik, penuntut umum, atau hakim pada waktu memeriksa tersangka atau terdakwa maupun mendengar keterangan saksi harus benar-benar mendalami atau menyelami jiwa orang yang sedang diperiksanya itu. Hal ini disebabkan karena jiwa tiap-tiap orang itu tidaklah sama. Jiwa seorang desa yang biasa hidup dalam suasana sunyi misalnya, akan berlainan dengan jiwa orang kota yang hidup dalam suasana keramaian. Oleb karena itu, maka penyidik, penuntut umum, hakim atau penasehat hukum harus benar-benar mendalami jiwa seseorang, misalnya jiwa pedagang, jiwa mahasiswa, jiwa anak-anak, jiwa orang lanjut usia, jiwa orang asing dan sebagainya. 3) Kriminalistik Kriminalistik adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah tekhnik yang di dalamnya tercakup masalah bagaimana kejahatan tersebut dilakukan, dengan apa ia melakukan kejahatan, dan penyelidikan dalam ilmu pengetahuan alam mengenai segala sesuatu yang dapat menjadi bukti tentang suatu tindak pidana. Dalam bekerjanya ia didukung oleh Ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal sebagai ilmu-Ilmu forensik26. Ilmu 26
AKBP. Dra. Tyas Hartiningsih, Waka Labfor Mabes Polri Cabang Semarang, Wawancara hari Kamis, tanggal 20 Maret 2014, sekira jam 10.45 WIB di Kantornya Komplek Akpol Semarang; Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No. : Skep/11/XII/1993, tanggal 31 Desember 1993 tentang Pokok-pokok Organisasi Laboratorium Forensik yang mempunyai tugas membina dan melaksanakan kriminalistik/forensik sebagai ilmu dan penerapannya untuk mendukung pelaksanaan tugas Polri yang meliputi Kimia Forensik, Narkotika Forensik, Biologi Forensik, Toksikologi Forensik, Fisika Forensik, Dokumen dan Uang Palsu Forensik, Balistik dan Metalurgi Forensik serta Fotografi Forensik.
28
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
forensik yaitu ilmu pengetahuan yang dapat memberikan keterangan atau kesaksian bagi pengadilan secara meyakinkan menurut kebenaran-kebenaran ilmiah yang dapat mendukung pengadilan dalam menetapkan keputusannya. Untuk mendukung kelancaran dalam hal menghadapi gangguan Kamtibmas khususnya keracunan makanan, penangan pertama oleh Sabhara, dengan Juklap Kapolri No. Pol. : Juklap/124/124/II/1993-tanggal 1 Peruari 199327. Menurut AKBP Dra. Tyas Hartiningsih disimpulkan bahwa kriminalistik adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah kejahatan sebagai suatu masalah tekhnik, yang antara lain meliputi ilmu kedokteran forensik, ilmu alam forensik, ilmu kimia forensik dan sebagainya. Pengertian kriminalistik, adalah : 1) Kriminalistik adalah Ilmu Pengetahuan Penyidikan Kejahatan/ Pelanggaran yang di dalamnya diterapkan berbagai ilmu pengetahuan baik IPS maupun IPA/Eksakta. 2) Forensik adalah forum yang berhubungan dengan kegiatan penegakan hukum baik preventif maupun represif. 3) Ilmu Forensik adalah multi disiplin ilmu baik Sains dan Tehnologi yang dipergunakan dalam upaya penegakan hukum. 4) Terapan Forensik adalah penggunaan ilmu-ilmu Forensik dalam kegiatan penegakan hukum baik preventif maupun represif. 5) Praktisi Forensik adalah orang yang menerapkan ilmu-ilmu Forensik dalam bidang pekerjaannya terutama dalam bidang penegakan hukum. 6) Scientific Crime Investigation / SCI (penyidikan perkara tindakan pidana secara ilmiah) adalah pengungkapan tindak pidana secara teknologi /ilmiah baik pemeriksaan di tempat kejadian perkara (tehnis kriminalistik) maupun pemeriksaan barang bukti secara laboratorium kriminalistik. 7) Penyidikan adalah serangkaian tindak penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang, untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya ( Pasal 1 point 2 KUHAP ) . 27
Kunarto, 1993, Jendral Polisi Kapolri, 1993 tentang Penanganan Terhadap Kasus Keracunan Makanan Bagi Satuan Sabhara.
29
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Disamping itu juga terbit berbagai buku ilmiah dan majalahmajalah kriminalistik serta laboratorium-laboratorium kriminal diberbagai negara. Dibawah ini adalah alat-alat khusus/instrumen mutakhir pada saat ini yang digunakan untuk mendukung pemeriksaan secara tehnis kriminalistik di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan tehnis Laboratoris (di laboratorium) yang terdapat di Puslafor Bareskrim Polri dan cabang-cabangnya28. NO NAMA ALSUS 1 2 1 Gas Cromatography (GC)
2
3
4
5 28
KEGUNAAN 3 Riks BB Narkoba, BB kebakaran, handak high explosive, racun unknown material namun harus dengan pembanding Gas Riks BB unknown Cromatography material, BB jenis Mass racun, BB Narkoba, Spectrofotometer BB kebakaran, handak (GC-MS) high explosive.
PRINSIP KERJA 4 Penguraian senyawa berdasarkan pemanasan pada logam (butuh pembanding) Penguraian senyawa berdasarkan pemanasan pada kolom dan dikombinasi dengan berat molekulnya (tanpa pembanding) Atomic Riks logam berat Penentuan Absorbance misalnya lingkungan, konsentrasi logam Spectrofotometer keracunan, handak, berat berdasarkan (AAS) dll energi eksitasi yang diserap Ion Riks kation dan anion, Penguraian Cromatography asam-asam organik, senyawa dalam (IC) asam amino, handak, bentuk kation dan lingkungan dan anion berdasarkan toksikologi/keracunan pemanasan pada kolom Video Spectral Riks dokumen dan Berdasarkan Comparator uang palsu permainan sinar
Laboratorium Forensik Polri, Cabang Semarang, Bahan Ajar 2013, hlm : 9-15
30
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
NO 1
NAMA ALSUS 2 (VSC) Gas Cromatpgraphy Infra Red (GC-IR)
KEGUNAAN 3
PRINSIP KERJA 4 UV, IR tembus, dll 6 Riks BB unknown Penguraian material, BB jenis senyawa racun, BB Narkoba, berdasarkan BB kebakaran, handak pemanasan pada high explosive kolom dan dikombinasikan dengan gugus fungsionilnya (tanpa pembanding) 7 Comparison Riks BB proyektil Berdasarkan Microscope peluru, selongsong, pembesaran obyek tool mark, dll menggunakan (dengan pembanding) lensa (mikroskop) dengan pembanding 8 High Riks Narkoba, Prinsip sama Performance pemalsuan obat, dengan Liquid bahan bakar, cromatography Cromatography unknown material, dll namun mampu (HPLC) (rusak pada suhu pada suhu rendah tinggi) karena ada pompa 9 Total Organic Riks BB kasus Mendeteksi total Carbon (TOC) lingkungan (karbon karbon total) 10 Fluorescense Riks senyawa yang Mendeteksi Spectrofotometer dapat ber senyawa yang flourescense, obatbersifat obatan fllourescense 11 LAB-X 3000 Riks logam Penyinaran dengan (X Rays) sinar X, tereksitasi 12 Lie Detector Test kebohongan Pemeriksaan (Polygraph) berdasarkan detak jantung, keringat 13 EMIT Solaris Riks Narkoba pada Spectrofotometry (Immunoassay) urine dan darah 14 Flash Point Penemuan Flash point Pengukuran suhu Tester (flash point) 31
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
NO NAMA ALSUS 1 2 15 REPROSTAR 16 POLARIMETER
KEGUNAAN 3 Riks dokumen, TLC, dan manajemen dokumentasi Riks senyawa yang memutar bidang polar
17 Radio Aktif Detector
Riks unsur radioaktif
18 Explosive Detector
Riks handak high explosive di TKP
19 Ultra Violet Visible Spectrofotometer (UV-VIS)
Multi fungsi mulai dari handak, Narkoba, bahan bakar, unknown material, dll. 20 Polimerase Chain Riks DNA Reaction (PRC) 21 Ion Scany
22 Gastec (Gas Detector)
23 Tensile Machine
24 X-Ray Diffraction (XRD) 32
PRINSIP KERJA 4 Kamera dan sinar Pemeriksaan senyawa yang bersifat dapat memutar bidang polar Mendeteksi unsur yang bersifat radioaktif Mendeteksi bahan peledak berdaya ledak tinggi Pemeriksaan senyawa berdasarkan panjang gelombang Pendeteksian tipe DNA dalam locus tertentu dengan pembanding Mendeteksi bahan peledak berdasarkan ion dalam senyawa Mendeteksi senyawa beracun yang bersifat gas
Mendeteksi ada/ tidaknya bahan peledak / sisa bahan peledak Mendeteksi berbagai jenis gas meliputi kepekatan dan kadarnya dalam suatu ruangan Uji tarik logam Logam ditarik sampai putus, berapa kekuatan/keuletan logam tersebut Riks komposisi Kimia Material ditembak terhadap logam dengan sudut
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
NO 1
NAMA ALSUS 2
KEGUNAAN 3
PRINSIP KERJA 4 tertentu dan energi tertentu sehingga akan muncul grafik .... Grafik tsb dianalisa Sda
Riks struktur molekul logam/microstruktur logam
Struktur molekul dalam material diperbesar melalui elektron mikroskop Mendeteksi bekas bekas tindasan dalam tulisan
25 X-Ray Fluorescense (XRF) 26 Scan Electron Microscope (SEM)
Sda
27 ESDA
Deteksi suatu tindasan dalam penulisan dokumen
Pertanyaan 7 (tujuh) - KAH
Membuat terang suatu tindak pidana yaitu dengan cara dapat menjawab pertanyaan “7 KAH” Tn. GEORGE DARJES secara benar, yaitu : 1) Apakah yang terjadi (jenis kejadian) 2) Dimanakah terjadinya ( tempat kejadian) 3) Bilamanakah terjadinya (waktu kejadian) 4) Dengan apakah perbuatan itu dilakukan (alat yang digunakan) 5) Bagaimanakah perbuatan itu dilakukan (modus operandi) 6) Mengapakah perbuatan itu dilakukan (motif dan tujuan perbuatan) 7) Siapakah yang melakukan (pelaku/para pelaku) Pertanyaan-pertanyaan 7 Kah tersebut pemecahannya ditentukan oleh “Kriminalistik”. Semua pertanyaan yang terdapat dalam teori 7 KAH Tn. GEORGE DARJES harus dijawab secara tepat dan menyakinkan. Kalau ada satu saja pertanyaan yang belum terjawab secara benar, berarti kasus itu belum dapat dikatakan terang. 33
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Tepat berarti cocok/sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Jika si A disebut sebagai pelaku pembunuhan suatu tindak pidana, maka si A itu memang benar-benar pembunuhnya, kepastiannya harus 100% benar, tidak boleh kira-kira. Meyakinkan berarti kasus yang diungkapkan itu kebenarannya diyakini sebagai yang benar secara mantap, tidak ragu-ragu. MOTTO PENYIDIKAN LEBIH BAIK MELEPAS 100 ORANG TERSANGKA DARIPADA MENJEBLOSKAN SATU ORANG YANG TIDAK BERSALAH KE DALAM PENJARA Tugas dan Permasalahan Kriminalistik a. Membuktikan bahwa suatu tindakan pidana telah benar-benar terjadi Dalam hal ini tindak pidana yang harus dibuktikan adalah tindak pidana yang pembuktiannya tidak ada jalan lain selain kriminalistik. Tindak pidana dapat dibuktikan tanpa ilmu kriminalistik, tidak perlu ditangani dengan melibatkan ilmu kriminalistik. Pertanyaan : Coba sebutkan contoh tindak pidana yang dapat dibuktikan tanpa pertolongan ilmu kriminalistik ! b. Mengidentifikasikan segala sesuatu yang tersangkut dalam tindak pidana yaitu : 1) Korban 2) Pelaku 3) Alat yang digunakan/barang-barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Apabila telah dapat membuktikan bahwa suatu tindak pidana memang benar-benar terjadi, maka selanjutnya menghadapi soal-soal pengidentikkan. Contoh Penanganan Barang Bukti Senjata api. 1. Senjata Api, Anak Peluru, Selongsong Peluru, Peluru Dan Sisa Mesiu 34
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
a. Pendahuluan Balistik forensik merupakan bagian dari ilmu forensik yang berguna membuat terang tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan senjata api. b. Pengertian Ballistic of small arms adalah ilmu balistik yang khusus mempelajari tentang senjata api ringan, dimulai dari saat peluru mulai ditembakkan, terjadinya peledakan, anak peluru melalui laras senjata api, anak peluru meninggalkan laras senjata api, hingga anak peluru jatuh atau mengenai sasaran.
Gambar 1. Komponen Senjata Api Dalam penerapannya, balistik forensik selalu berhadapan dengan masalah yaitu apakah ada senjata api yang terlibat dalam suatu tindak pidana. Karena itu di dalam tindak pidana dengan penggunaan senjata api, sedapat mungkin harus ditemukan anak peluru dan atau selongsong peluru disamping juga senjata apinya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah senjata api tersebut terlibat atau tidak dalam kasus tindak pidana tersebut. Ini dapat dibuktikan dengan adanya sidik jari senjata api. d. Penanganan barang bukti 1). Senjata api Tujuan riks
Kasus
Menentukan : • Pencurian, • Jenis perampokan, kaliber penodongan, senpi penganiayaan, • No seri pembunuhan,
Lokasi BB TKP, TSK
Penanganan • Ambil dgn ujung telunjuk dan ibu jari pd bag. Pelindung penarik • Jgn dibersihkan dan diotak-atik mekanisme35
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
senpi asli / palsu
bunuh diri
nya • Jaga jgn sampai ujung laras kemasukan kotoran • Tutup ujung laras, jgn disumbatkan • Bungkus, label & segel
2). Peluru Tujuan riks Kasus Mengetahui : • Pencurian, • Kaliber peluru perampokan, penodongan, penganiayaan, pembunuhan, bunuh diri
Lokasi BB TKP, Senpi BB
Penanganan • Pd pistol / senpi otomatis, keluarkan peluru dr magazin • Pd senpi revolver keluarkan peluru dr silinder
3) Anak Peluru Tujuan riks
Kasus
Lokasi BB
Penanganan
Mengetahui : • Pencurian, TKP, Senpi • Ambil dgn ujung • Kaliber AP perampokan, BB telunjuk dan ibu jari • Ap ditembak penodongan, pd ujung & pangkal kan senpi penganiayaan, anak peluru jenis apa ? pembunuhan, • Jgn pegang badan AP • Apakah AP bunuh diri • Jika masuk tempat ditembakka keras, kayu, tembok, n senpi bb ? usahakan tdk merusak goresan2 pd badan AP • Jika masuk ke tubuh korban, ambil ap minta bantuan dokter • Jika lebih dr satu pisahkan
4). Selongsong Peluru Tujuan riks 36
Kasus
Lokasi BB
Penanganan
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Mengetahui : • Kaliber SP • SP ditembak kan senpi jenis apa ? • Apakah SP ditembakkan senpi BB ?
• Pencurian, perampokan, penodongan, penganiayaan, pembunuhan, bunuh diri
TKP, sekitar TKP, senpi
• Ambil dgn ujung telunjuk dan ibu jari pd ujung & pangkal SP • Usahakan tdk merusak goresan2 pd pangkal SP • Jika lebih dr satu macam pisahkan
5). Sisa Mesiu Tujuan riks Kasus Tsk, • Pencurian, Menentukan perampokan, Jarak Tembak penodongan, penganiayaan, pembunuhan, bunuh diri
Lokasi BB Penanganan Tangan Tsk, • Pd pakaian Sekitar korban bag Lubang lubang tembak Tembak Pd masuk, tutup / Pakaian, lapisi plastik / Sktr Luka kertas bersih, Tembak agar sisa mesiu Masuk Pd tdk hilang jgn Tubuh hanya digunting Korban pd sekitar lubang tembak saja, tetapi harus diambil semua
2. Bahan peledak dan Bom29 a. Pendahuluan Pemakaian handak & penerapan teknologi peledakan telah memberikan saham yg besar dlm pembangunan nasional seperti utk keperluan militer (lat ops), utk keperluan industri (peledakan gunung kapur, pemecahan batu), utk
29
Tyas Hartiningsih, Bahan Ajar Lembaga Pendidikan Polri terutama AKPOL, 2013, hlm : 101-112 pada masa lalu, kegagalan olah TKP, karena dalam pelaksanaan olah TKP disebabkan oleh ketidak mampuan pelaksana olah TKP dalam merumuskan masalah, sehingga tidak ditemukan suatu permasalahan yang akan dipecahkan.
37
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
keperluan pertambangan (emas, minyak, aspal) utk pekerjaan konstruksi (jln raya, jln KA, waduk), dsb. Kadang - kadang handak disalahgunakan pemakaiannya utk penangkapan ikan, utk tindak kriminal misalnya memberikan teror kpd masyarakat, sabotase, perusakan, dsb. Contoh Modus Operandi b. Contoh Modus Operandi Pemalsuan Produk Cetak 1). Modus Operandi Pemalsuan Paspor. Dengan cara merubah isi dari tulisan yang tercetak dari paspor itu sendiri, kemudian diganti dengan tulisan lain. Mengelupas foto yang ada pada paspor dan diganti dengan foto diri pemalsu. Merubah status kewarganegaraan / fiktif. Membuat syarat-syarat keterampilan fiktif. 2). Modus Operandi Pemalsuan KTP dan KK. Dengan cara men-scan blangko KTP dan atau Kartu keluarga mengisi dengan isian sesuai dengan daftar isian dari pelaku pemalsuan. 3). Modus Operandi Pemalsuan Blangko BPKB. Dengan cara membuat blangko BPKB Palsu dengan menggunakan system cetak yang tidak sama dengan system cetak BPKB yang asli. 4). Modus Operandi Pemalsuan Ijazah. Membuat blangko Ijazah palsu. Kemudian mengisi blangko Ijazah palsu tersebut dengan identitas yang dikehendaki dari pemalsu tersebut. Memalsukan tanda tangan pejabat yang berwenang dalam mengeluarkan ijazah tersebut. Memalsukan cap stempel dari instansi yang berwenang mengeluarkan Ijazah tersebut. 5). Kasus-kasus pemalsuan Produk Cetak yang menonjol. Pemalsuan Kartu ATM dan Credit Card. Pemalsuan KTP dan Kartu Keluarga. Pemalsuan SIM, STNK dan BPKB. Pemalsuan Materai. Pemalsuan Pita Cukai rokok. Pemalsuan Perangko. 38
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Pemalsuan Ijazah Sekolah. Pemalsuan Paspor atau Visa. Pemalsuan Produk Cetak untuk industri. IDENTIFIKASI PRODUK CETAK. Sebuah Produk cetak pada dasarnya adalah suatu benda yang terdiri atas benda padat berupa kertas dan tinta yang berupa cairan yang ditulis atau tercetak diatas kertas dan sebagainya. Atas dasar bahwa kertas terdiri atas benda padat, kita dapat menganalisa kertas tersebut dengan proses kimia (Chemis) dan Fisik sampai pada unsur-unsur yang terkandung didalamnya serta system cetak yang digunakan. Lebih jauh secara mikroskopis kita dapat mengetahui jeni-jenis serat yang membangun kertas tersebut. Selanjutnya dengan reaksi-reaksi warna kimia dan dengan sinar-sinar optik dengan panjang gelombang tertentu sebuah kertas yang dipakai dapat di identifikasi. Oleh sebab itu sebuah Produk cetak dokumen berharga pada umumnya terbuat dari jenis kertas khusus yang merupakan salah satu alat pengaman dari sebuah dokumen berharga terhadap usaha-usaha dari pemalsuan sebuah dokumen Oleh sebab itu dalam mengidentifikasi sebuah dokumen jenis tinta cetak dokumen dan system cetak yang dipakai dapat pula menjadi ciri-ciri khusus sebuah dokumen sekaligus juga sebagai alat pengaman dari dokumen, sedangkan untuk Produk cetak seperti pada kemasan tidak perlu menggunakan pengaman khusus tetapi segi pengamanan tersebut dari pemilik sendiri pada saat proses design sehingga ciri-ciri khusus pada jenis produk cetak ini yang mengetahui hanya pemilik atau designer itu sendiri30. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pemeriksaan produk cetak akan kita pelajari tentang unsur-unsur yang menyertai sebuah produk cetak antara lain : 30
Tyas Hartiningsih, Ibid, 198-201 bahwa “Implementasi SCI/KriminalistikForensik dalam olah TKP merupakan jaminan mutu (Quality Assurance) dan kendali mutu (Quality control). Dalam pelaksanaan olah TKP implementasi tersebut berperan penting terhadap proses menciptakan keyakinan hakim guna penetapan putusan peradilan dan merupakan alat bukti yang syah tidak terbantahkan karena berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah.
39
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
1. Tinta Cetak yang digunakan. 2. Media yang digunakan untuk menuangkan sebuah image pada sebuah bidang. 3. System cetak apa yang digunakan. 4. Design / Rancangan. Ilmu-ilmu pengetahuan/istilah forensic/kriminalistik antara lain sebagai berikut: a. Toksikologi forensik Perkataan toksikologi merupakan rangkaian dari dua kata, yakni toxicon dan logos. Tosikon berarti segala sesuatu yang ada hubungannya dengan mata anak panah dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Dengan demikian maka toksikologi berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai anak panah. Arti tersebut lambat laun berubah menjadi "racun", sebab mata anak panah itu pada ilmunya mengandung zat yang dapat meracuni seseorang sampai mati. Jadi dapat disimpulkan bahwa toksikologi forensik adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari racun yang ada hubungannya untuk pengadilan. Sebagaimana diketahui bahwa racun bila ditinjau dari daya kerjanya pada takaran atau dosis tertentu justru bermanfaat pada tubuh manusia. Akan tetapi pengertian racun sebagai bahasa sehari-hari diartikan sebagai sesuatu yang merugikan manusia dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Maka apabila kematian seseorang ada hubungannya dengan racun dan kematian itu dapat menimbulkan dugaan bahwa hal itu disebabkan oleh suatu kejahatan, penyidik dalam mengadakan penyidikannya dapat menggunakan jasa dari toksikologi forensik ini. Dengan toksikologi forensik ini penyidik dapat diharapkan mengungkap keterangan dengan racun jenis apakah dan berapa kadar racun yang menyebabkan matinya seseorang tersebut. b. Ilmu kimia forensik Ilmu kimia forensik juga merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang dapat membantu pengadilan, yang 40
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dalam berfungsinya ia memakai dasar ilmu kimia analitika sebagai sarana utamanya. Peranannya terutama dalam hal penyidikan yang menyangkut masalah narkotika, pemalsuan barang yang berhubungan dengan zat kimia, pembunuhan dengan zat kimia, noda-noda yang tertinggal dalam berbagai kejahatan, yang pada pokoknya yang menjadi obyek ilmu pengetahuan ini adalah segala sesuatu yang berupa saksi diam (silent witness) atau barang bukti. c. Ilmu alam forensik Ilmu alam forensik merupakan ilmu pengetahuan yang dapat membantu pengadilan pula, yang di dalam berfungsinya memakai dasar-dasar ilmu pengetahuan alam. Adapun ilmu pengetahuan yang dapat dimasukkan dalam golongan ilmu alam forensik ini antara lain : - Balistik kehakiman (forensic ballistic) Balistik kehakiman adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah peluru kejahatan (geincrimineerde kogel) dan kelongsong peluru kejahatan serta menentukan senjata api yang disangka dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Untuk mendapatkan kepastian dari jenis senjata api apakah peluru yang ditembakkan kepada korban, maka kadang-kadang dilakukan suatu kogeltest di mana diadakan suatu perbandingan antara peluru kejahatan dengan peluru lain yang sengaja ditembakkan. d.
Ilmu Kedokteran forensik (Ilmu kedokteran kehakiman). Ilmu kedokteran forensik mempelajari manusia/organnya dalam hubungannya dengan masalah tindak pidana. la meskipun berobyek manusia/organnya, tetapi tujuannya bukan untuk menyembuhkan penyakit penderita. Memang harus diakui bahwa ilmu pengetahuan ini juga mempelajari atau menyelidiki penyakit penderita, tetapi hal itu dikerjakan untuk mencari sebab-sebab yang menimbulkan luka atau kematian korban. Adapun katau diperinci ilmu kedokteran kehakiman ini antara lain mempelajari masalah sebab-sebab kematian, 41
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
identifikasi, keadaan mayat post-mortem, luka yang diderita, perzinaan, perkosaan pemeriksaan noda-noda darah dan sebagainya. e. Dactyloscopie/Daktiloskopi/Sidik Jari. Kata dactyloscopic terdiri dari kata doctylus yang berarti vinger (jari) dan kata copy yang berarti afdruk (cetakan). Jadi dactyloscopic ini adalah pengetahuan yang mempelajari tentang sidik jari (finger-prints). Apabila suatu tindak pidana meninggalkan bekas sidik jari, maka dengan ilmu pengetahuan ini dapat disidik jari siapa yang tertinggal itu dan bagaimana kaitannya dengan tindak pidana tersebut. Di Polrestabes Semarang daktiloskopi merupakan bagian dari Identifikasi pada Sat Reskrim yang berada di bawah Kasat skrim, Ur Ident dipimpin oleh Kaur Ident bertugas membantu Kast Reskrim dalam menyelenggarakan fugsi Identifikasi yang meliuti fotografi kepolisian dan melaksanaan pengolahan ada tempat kejadian perkara (olah TKP) untuk mendukung penyidikan yang diemban oeh fungsi Reserse Kriminal di lingkungan Polrestabes Semarang31. Menurut Iptu Sawal kehebatan sidik jari (daktiloskopi) untuk mendukung penyidikan diseluruh dunia berdasarkan teori : Remus, Bactthazard, dan Galton ahli sidik jari (daktiloskopi) dunia, ialah : 1) Setiap orang sidik jari tidak sama. 2) Bersifat tetap dari lahir sampai meninggal dunia tidak berubah. 3) Dapat dirumus. Sebagai dasarnya adalah tidak ada dua orang yang memiliki sidik jari yang sama dan sidik jari seseorang tidak akan berubah selama hidupnya. Pengetahuan ini termasuk dalam lapangan ilmu pengetahuan alam forensik, sebab di dalam mempelajari dan meneliti sidik jari tersebut dipakai rumus-rumus, perhitungan31
Sawal, 2014, Ipda, (Kaur Identifikasi) An. Kasat Reskrim Polrestabes Semarang, wawancara hari Rabu, tanggal 26 Maret 2014, sekira jam 14.40 WIB di Kantornya Polrestabes Semarang, Jl. Dr. Sutomo Nomor 19 Semarang, menegaskan Ketentuan yang tersebut dalam angka 1 dan 2 di atas merupakan suatu dalil dalam ilmu pengetahuan daktiloskopi yang telah ditentukan da tidak dapat disangkal lagi kebenarannya dan dinyatakan oleh para ahli yaitu dapat “dirumus”;
42
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
perhitungan serta cara-cara menurut ilmu pasti dan ilmu alam. Dalam pada itu peristiwa-peristiwa lain yang perhitungannya maupun cara memeriksanya dengan mempergunakan ilmu alam, misalnya peristiwa tabrakan lalulintas di darat. Dalam hal ini bukti mati yang mungkin diperoleh dalam penyidikan adalah bekas ban yang direm, bekas cat, olie, bensin dan sebagainya. Perlu dikemukakan di sini bahwa masih ada ilmu pengetahuan lainnya yang dapat membantu pengadilan, misalnya ilmu mengenai cara mengenali tulisan-tulisan yang dipalsukan, uang palsu dan cara menguraikan tulisan rahasia. Ilmu ini lazim disebut graphology (Ilmu tulisan tangan). Dalam menghadapi paradigma hukum tersebut, prioritas pembinaan Polri adalah peningkatan kemampuan tenis pembuktian materiil dengan dukungan Teknologi Identifikasi, Teknologi Forensik, dan Teknologi Informasi32.
32
Yul Mulyadi, SH Inspektur Polisi Satu, Kaur Identifikasi Sat Reskrim Polrestabes Semarang, 2012, Hubungan Tata Cara Kerja (HTCK) Sat Reskrim Identifikasi Polrestabes Semarang, 25 Juni 2012, hlm : 1, 11 Disamping itu, perkembangan teknik-teknik identifikasi sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga mendapat perhatian Polri. Misalnya : Identifikasi melalui raut wajah, identifikasi sidik jari dengan menggunakan komputer AFIS, teknik mendeteksi sidik jari laten dengan menggunakan sinar laser dan lain sebagainya.
43
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
BAB III PEMERIKSAAN PENDAHULUAN 1. Pendahuluan Dalam rangka mencari kebenaran materiil, Hukum Acara Pidana mengenai dua tahap pemeriksaan. Pemeriksaan pendahuluan merupakan tahap awal dari suatu proses perkara pidana, yang menurut KUHAP sekarang terutama dilakukan oleh pihak kepolisian. Pemeriksaan terakhir dilakukan di muka sidang pengadilan yang terbuka untuk umum guna menentukan salah tidaknya seseorang yang di dakwa telah melakukan suatu tindak pidana. Proses dalam pemeriksaan pendahuluan ini menjadi titik penentu kelanjutan perkara pidana yang sedang ditangani. Peran Kepolisian sebagai penyidik yang otonom menjadi penting, karena melalui kepiwaiannya tindak pidana yang terjadi dapat terkuak dengan jelas tentang siapa pelakunya, dengan apa dan cara bagaimana perbuatan itu dilakukan, serta alat bukti yang cukup dan sah menurut hukum sehingga setiap orang dengan akal sehatnya dapat menerima jika seseorang harus dipidana karena perbuatan yang dilakukannya. 2. Pengertian Pemeriksaan Pendahuluan Proses penyelesaian perkara pidana menurut hukum acara pidana merupakan tahapan proses yang panjang membentang dari awal sampai akhir melalui beberap tahapan sebagai berikut: 1) Tahap penyidikan; 2) Tahap penuntutan; 3) Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan; 4) Tahap pelaksanaan dan pengawasan terhadap putusan pengadilan. Dalam pada itu, apabila proses pidana tersebut ditinjau dari segi pemeriksaannya yakni pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa dan para saksi, maka tahapannya dapat dibagi dua. Tahap pertama tahap pemeriksaan pendahuluan (vooronderzoek) dan tahap ke dua tahap pemeriksaan pengadilan (gerechtelijk onderzoek). 44
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Adapun menurut sistem yang dipakai di dalam KUHAP, maka pemeriksaan pendahuluan merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik termasuk di dalamnya penyidikan tambahan atas dasar petunjuk-pelunjuk dari penuntut umum dalam rangka penyempurnaan hasil penyidikannya. Atau dengan perkataan lain pemeriksaan pendahuluan adalah proses pemeriksaan perkara pada tahap penyidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan pemeriksaan pengadilan (gerechtelijk onderzoek) adalah pemeriksaan yang dilakukan di depan pengadilan, yang dipimpin oleh hakim dan sifatnya terbuka untuk umum. 3. Pemeriksaan Saksi dan Ahli Menurut undang-undang menjadi saksi adalah salah satu kewajiban seseorang. Orang yang dipanggil untuk di dengar keterangannya sebagai saksi oleh penyidik ataupun oleh pengadilan guna memberi keterangan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri, tetapi dengan menolak kewajibannya itu maka ia dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 216 KUHP dan Pasal 224 atau 522 KUHP. Pasal 216 KUHP berlaku bagi saksi yang tidak mau dipanggil oleh penyidik33, sedangkan Pasal 224 atau Pasal 522 KUHP berlaku terhadap saksi yang tidak mau dipanggil di muka pengadilan. Adapun peranan saksi dalam perkara pidana adalah untuk membantu mencari kebenaran. Sampai kini keterangan saksi oleh undang-undang dipandang sebagai alat bukti yang penting, meskipun dengan adanya kemajuan di bidang teknologi dalam pembuktian secara ilmiah dengan cara mempergunakan bukti-bukti berupa benda mati atau yang lazimnya disebut saksi diam (silent witness) yang lebih dapat dipercaya kebenarannya daripada keterangan seorang saksi. Hal ini disebabkan karena seorang saksi memberikan kesaksiannya itu kerap kali jauh dari keadaan yang senyatanya baik sengaja ataupun tidak disengaja. Ini tergantung dari kecakapan setiap orang untuk menangkap dengan pancaindera, 33
Pasal 112 ayat (2) KUHAP Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah membawa.
45
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
mengingat tentang apa yang telah ia tangkap dan menceriterakan kembali tentang apa yang telah ia tangkap dan ingat itu. Bagi orang yang telah biasa memusatkan pikirannya misalnya, akan lebih mudah mengungkapkan kembali mengenai apa yang telah ia tangkap dengan pancainderanya itu daripada orang yang tidak pernah mengontrol pikirannya. Demikian pula halnya dengan orang yang mempunyai pancaindera yang tajam akan lebih mudah menangkap keadaan tentang hal-hal sekelilingnya daripada orang yang kurang sempurna pancainderanya. Akhirnya dapat dikemukakan di sini, bahwa orang yang terdidik akan lebih pandai menguraikan kembali tentang apa yang telah ia alami, lihat atau dengar sendiri. Oleh karena itu dalam memeriksa seorang saksi penyidik dituntut syarat-syarat yang tinggi, yakni bukan saja kecerdasan, kepandaian dan keahlian dalam teknik interogasi, tetapi juga kesabaran, kebijaksanaan, pengetahuan tentang manusia dan akhirnya penguasaan atau pengendalian penyidik sendiri terhadap dirinya. Dalam pada itu mengenai tata-cara pemeriksaan saksi, dengan tidak mengurangi kewenangan hakim 34 dalam menentukan jumlah dan saksi-saksi yang telah diperiksa oleh penyidik menurut KUHAP ditentukan sebagai berikut: - saksi diperiksa dengan tidak disumpah, kecuali apabila ada cukup alasan untuk menduga bahwa saksi tersebut tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 116 ayat (1) KUHAP; - saksi diperiksa secara tersendiri, agar jangan mempengaruhi satu dengan lainnya, tetapi dapat juga dipertemukan yang satu dengan yang lain (confrontatie) dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya (Pasal 116 ayat (2); - pemeriksaan dilakukan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apa pun (Pasal 117 ayat (1);
34
Ali Said, Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1985 tentang Seleksi Terhadap Saksi-Saksi yang diperintahkan Untuk Hadir di Sidang Pengadilan “Bersama ini Mahkamah Agung ingin memperhatikan saudara perihal sebagai berikut : Tidak dibatasinya jumlah pemanggilan saksi yang dihadirkan di depan sidang pengadilan disamping dapat merupakan sumber pemborosan dalam penggunaan keuangan negara sehingga azas peradilan yang sederhana, cepat, dan dengan biaya ringan tidak terlaksana, juga merupakan penyelesaian perkara yang tidak efesien.”
46
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
- keterangan saksi tersebut dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh penyidik dan saksi setelah ia menyetujuinya. Apabila saksi tidak mau membubuhkan tandatangannya, penyidik mencatat hal itu dengan menyebutkan alasannya (Pasal 118); - saksi yang berada di luar daerah hukum penyidik, pemeriksaannya dapat dibebankan kepada penyidik di tempat/kediaman saksi tersebut (Pasal 119) Di samping saksi ada saksi lain yang mempunyai kedudukan khusus, ialah ahli atau saksi ahli. Menurut Pasal 120 KUHAP, dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta bantuan pendapat orang ahli atau orang yang mempunyai keahlian khusus. Sebelum diperiksa, ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Namun, apabila karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ahli tersebut menyimpan rahasia maka ia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta oleh penyidik. Dalam hal ada laporan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu 35 oleh penyidik, maka untuk dapat meyakinkan bahwa surat atau tulisan tersebut palsu atau tidak, penyidik dapat minta keterangan orang ahli (Pasal 132 ayat (1) KUHAP). Apabila ada dugaan kuat bahwa surat atau tulisan itu adalah palsu, maka dengan izin khusus secara tertulis dari ketua pengadilan negeri, penyidik dapat minta kepada pejabat penyimpan umum (Kantor Arsip Negara atau Kantor catatan Sipil atau Balai Harta Peninggalan atau Notaris sesuai dengan ketentuan undang-undang), agar surat atau tulisan tersebut diserahkan kepadanya dan jika dalam waktu yang diminta oleh penyidik ternyata surat palsu atau tulisan tersebut belum
35
Soekamto, SH., Drs., Inspektur Jendral Polisi Kepala Divisi Hukum Mabes Polri, 2003, Penjabaran Unsur-Unsur Pasal Dalam KUHP, Jakarta, hlm : 84 “Memakai surat palsu” menurut Yurisprudensi (Arrest HR 29 Juni 1910 W. 9061), kesengajaan menggunakan surat palsu itu merupakan kejahatan yang berdiri sendiri, disamping kejahatan pemalsuan itu sendiri. Untuk penjatuhan hukumannya adalah tidak perlu bahwa perbuatan tersebut menghasilkan suatu pemalsuan yang dapat dihukum, melainkan cukup jika pada waktu digunakan pada waktu itu adalah palsu dan kepalsuan itu sendiri diketahui oleh si pelaku.
47
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
diserahkan, maka penyidik dapat mengambilnya (Pasal 132 ayat (2) dan ayat (5) KUHAP. Dalam pada itu apabila penyidik menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli, kepada Ahli Kedokteran Kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Permintaan keterangan ahli ini harus dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah mayat/outopsi (Pasal 133 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP). Mayat yang dikirim kepada Ahli Kedokteran Kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilakukan dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari atau bagian lain pada mayat (Pasal 133 ayat (3) KUHAP). Dalam hal outopsi tersebut sangat diperlukan untuk membuktikan yang tidak mungkin lagi dihindari, maka penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. Apabila keluarga korban berkeberatan atas dilakukannya bedah mayat tersebut, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlunya diadakan bedah mayat itu (Pasal 134 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP), untuk dimintakan visum et repertum. Tujuan meminta visum et repertum menurut Aipda Jasmin (Piket Inafis/Olah TKP) ialah “untuk memberikan keyakinan kepada hakim suatu kenyataan yang berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang ada pada korban atas semua keadaan sebagaimana tertuang dalam Berita Acara visum et repertum, agar hakim dapat mengambil keputusan dengan tepat dengan berdasar fakta tersebut.”36 Bahwa olah tempat kejadian perkara (TKP)/Inafis adalah “mendatangi tempat kejadian perkara tindak pidana untuk melakukan olah TKP yang
36
Jasmin Aipda, dan Bambang Aris Bripka, Anggota Piket Inafis Unit Olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) Polrestabes Semarang, Wawancara hari Rabu, tanggal 26 Maret 2004, sekira jam 15.30 WIB di Kantornya Polrestabes Semarang Jl. Dr. Sutomo 19 Semarang. Menerangkan bahwa “Visum dari bahasa Latin, visum/visa yang berarti laporan tertulis untuk kepentingan peradilan. Pengertian Visum adalah Laporan tertulis dari seorang dokter tentang apa yang dia lihat, dan dia temukan dalam melakukan pemeriksaan barang bukti, guna kepentingan peradilan, dimana visum et repertum tersebut merupakan kesaksian yang tertulis dalam proses peradilan.”
48
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
bertujuan untuk mengetahui suatu tindak pidana apa yang terjadi, dengan langkah-langkah sebagai berikut : a) melakukan pemotretan di TKP secara umum dan khusus; b) mencari dan mengumpulkan barang bukti; c) mencari sidik jari laten; d) mencatat keterangan saksi-saksi; e) meminta bantuan ahli; f) menuangkan hasil pemeriksaan kedalam berita acara tindakan kepolisian (pemotretan, pengambilan barang bukti, saksi-saksi, sidik jari, permintaan bantuan ahli dll)37 Apabila barang bukti (mayat) dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan, maka penyidik mengirimkan mayat tersebut kepada Ahli Kedokteran Kehakiman atau dokter rumah sakit untuk diadakan autopsi (Pasal 134 ayat (3). Perlu dikemukakan di sini bahwa ada ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 222 KUHP, bagi orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan dengan ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Untuk keperluan peradilan penyidik dapat melakukan penggalian mayat termasuk pengambilan mayat. Untuk itu penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban tersebut yang selanjutnya berlaku ketentuanketentuan seperti telah diuraikan di atas. Dalam rangka mencari kebenaran yang selengkaplengkapnya, maka penyidik kalau menganggap perlu dapat menggunakan wewenangnya untuk menerapkan alat-alat pemaksa yang istimewa (bijzondere dwangmiddelen) yakni
37
Jasmin, Aipda, wawancara hari Rabu, tanggal 26 Maret 2004, sekira jam 15.30 WIB. Paur Olah TKP/Inafis “Bertugas membantu Kaur Ident dalam melaksanakan tugas yang meliputi daktiloskopi criminal melaksanakan pegolahan pada tempat kejadian perkara (olah TKP), pengambilan sidik jari tersangka maupun korban (baik yang masih hidup maupun berupa mayat).
49
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
penangkapan, penahanan, penggeledahan38, penyitaan dan pemeriksaan surat39. 4. Penangkapan dan Penahanan Penangkapan dan penahanan pada dasarnya merupakan tindakan yang membatasi dan mengambil kebebasan bergerak seseorang. Kebebasan atau kemerdekaan di sini dapat diartikan sebagai dapat berdiri di tempat mana dan pergi ke mana saja yang orang kehendaki. Kebebasan dan kemerdekaan bergerak merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling didambakan oleh setiap insan. Oleh karena itu dalam menggunakan wewenang penangkapan dan penahanan tesebut penyidik, penuntut umum atau hakim haruslah bersikap hatihati dan penuh rasa tanggung jawab baik dari segi hukum maupun moral. Dalam hubungannya dengan masalah ini, van Bemmelen mengatakan bahwa penahanan adalah sebagai suatu pedang yang memenggal kedua belah pihak, karena tindakan yang bengis ini dapat dikenakan pada orang-orang yang belum menerima keputusan dari hakim, sehingga mungkin pula terkena pada orang-orang yang sama sekali tidak bersalah. Sekiranya dapat dipahami bahwa fungsi penangkapan dan penahanan adalah untuk perlindungan masyarakat terhadap kejahatan (prevensi general), akan tetapi ia tidak menutup kemungkinan terkena pula pada orang-orang yang sama sekali tidak bersalah tersebut. Oleh karena itu, maka aparat penegak hukum dalam menggunakan wewenang yang mereka miliki itu haruslah dilandasi oleh keyakinan adanya presumption of guilt (praduga bersalah). Ini berarti bahwa sebelum aparat penegak hukum menentukan sikapnya untuk menahan tersangka, terlebih dahulu harus mencari fakta-fakta atau bukti-bukti yang cukup kuat sehingga timbul keyakinan (overtuiging) atas kesalahan tersangka. Dan, apabila masih ada keragu-raguan tentang Pasal 125 KUHAP Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 KUHAP.
38
Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain.
39
50
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
kesalahan tersangka tersebut, maka harus dipilih tindakan yang menguntungkan tersangka yaitu tidak menahan tersangka. Hal ini sesuai dengan apa yang dikenal di bidang hukum sebagai asas in dubio pro reo, artinya apa bila ada keragu-raguan maka berikanlah keuntungan untuk terdakwa, dan sebaiknya penyidik tidak melakukan tindakan represif terlebih dahulu. Dalam pada itu mengenai pengertian penangkapan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 20 adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan. Selanjutnya menurut Pasal 17 KUHAP dinyatakan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana “berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. Dalam penjelasan mengenai ketentuan Pasal 17 KUHAP ini, pembentuk undang-undang telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai bunyi Pasal 1 butir 14. Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, akan tetapi hanya dapat ditujukan kepada mereka yang betulbetul melakukan tindak pidana. Menurut hemat penulis, secara praktis penafsiran dari bukti permulaan yang cukup itu harus ditafsirkan adanya minimum dua alat bukti. Hal ini sesuai dengan asas yang dikenal dalam hukum acara pidana ialah "Unus testis nullus testis" atau Een getuige is geen getuige (satu saksi bukan saksi). Adapun mengenai pelaksanaan penangkapan tersebut harus dilakukan oleh petugas Polri dan hanya sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. dengan menunjukkan surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh penyidik atau penyidik pembantu; b. dengan memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka "yang mencantumkan identitas tersangka, alasan penangkapan, uraian singkat mengenai kejahatan yang 51
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dipersangkakan terhadap tersangka dan mengenai tempat di mana tersangka akan diperiksa; c. dengan menyerahkan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka setelah penangkapan dilakukan (Pasal 18 KUHAP). Dalam pada itu dalam hal tertangkap tangan maka penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tersangka berserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Mengenai jangka waktu penangkapan sebagaimana di atur dalam Pasal 19 ayat (1) KUHAP dinyatakan, bahwa penangkapan sebagai dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. Oleh karena menurut Pasal 16 KUHAP, penangkapan itu hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penyelidikan atau kepentingan penyidikan maka apabila kepentingan tersebut tidak memerlukan lagi tersangka harus segera dibebaskan. Sedang apabila menurut pendapat penyidik tersangka tersebut atas perbuatannya perlu dikenakan penahanan, maka penyidik harus mengeluarkan surat perintah penahanan. Dan, dalam hal tersangka di tahan, maka dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan itu tersangka harus mulai diperiksa (Pasal 122 KUHAP). Perlu dikemukakan di sini bahwa terhadap tersangka pelaku tindak pidana pelanggaran tidak dikenakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan tersebut tanpa alasan yang sah (Pasal 19 ayat 2). Sebagaimana diuraikan di atas bahwa jangka waktu penangkapan paling lama adalah satu hari, oleh karena itu selebihnya dari waktu tersebut adalah termasuk penahanan. Yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik dan penyidik pembantu atas perintah penyidik untuk kepentingan penyidikan, penuntut umum untuk kepentingan penuntutan dan hakim untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 20 KUHAP). Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan penahanan ini ada dua, yaitu: 52
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
1. syarat obyektif atau disebut juga gronden van rechtmatigheid; 2. syarat subyektif atau disebut gronden van noodzakelijkheid. Ad 1 Yang dimaksud dengan syarat obyektif ialah dasar penahanan yang ditinjau dari segi tindak pidananya, yaitu tindak pidana-tindak pidana apa yang dapat dikenakan penahanan. Untuk itu telah ditetapkan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP sebagai berikut: a.tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b.tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379, a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7) Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 UndangUndang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). c.tindak pidana yang berupa percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak-tindak pidana tersebut di atas. Syarat obyektif ini bersifat absolut, dalam arti bahwa jika tindak pidana yang dilakukan tersangka atau terdakwa tidak termasuk dalam rumusan Pasal 21 ayat (4) KUHAP, maka tersangka atau terdakwa tidak dapat dikenakan penahanan. Ad 2 Yang dimaksud dengan syarat subyektif adalah alasanalasan penahanan yang ditinjau dari segi perlunya tersangka atau terdakwa itu ditahan. Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, perlunya tersangka atau terdakwa itu di 53
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
tahan karena adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa : - tersangka atau terdakwa akan melarikan diri; - merusak atau menghilangkan barang bukti; - mengulangi tindak pidana. Syarat subyektif ini bersifat alternatif, maksudnya tidak perlu ketiga syarat dipenuhi, tetapi salah satu syarat saja sudah cukup. Menurut Pasal 22 KUHAP, jenis penahanan itu dapat berupa : a. penahanan rumah tahanan negara; b.penahanan rumah (huis-arrest); c. penahanan kota (stad-arrest) Perlu dikemukakan di sini, bahwa selama belum ada rumah tahanan negara penahanan dapat dilakukan di Kantor Kepolisian Negara, di Kantor Kejaksaan Negeri, di Lembaga Pemasyarakatan, di Rumah Sakit dan dalam keadaan memaksa di tempat lain. Bagi tersangka atau terdakwa pecandu Narkotika (narcotics-addict) sejauh mungkin ditahan di tempat tertentu yang sekaligus merupakan tempat perawatan/rehabilitasi. Kalau penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang Pengadilan, maka penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melaporkan diri pada waktu yang ditentukan. Lain halnya dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 33 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahwa pengurangan penahanan terhadap pidana yang dijatuhkan oleh hakim bersifat fakultatif, maka menurut Pasal 22 ayat (4) KUHAP masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Jadi dalam hal ini pengurangan penahanan ini bersifat imperatif. Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari 54
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
jumlah lamanya waktu penahanan, sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan (Pasal 22 ayat 5 KUHAP). Dalam pada itu, penyidik atau penuntut umum atau Hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain (Pasal 23 KUHAP). Lain halnya dengan sistem yang terdapat dalam HIR, yang memungkinkan penahanan berlarut-larut tanpa batas waktu tertentu dalam arti bahwa Hakim Pengadilan Negeri atas permintaan penuntut umum dapat memperpanjang penahanan itu berulang-ulang untuk tiap kali 30 hari lamanya jika pemeriksaannya belum selesai, maka menurut Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 KUHAP telah ditentukan secara tegas batas perpanjangan penahanan yang tidak boleh terlampaui menurut hukum. Adapun penahanan serta perpanjangannya adalah sebagai berikut : Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik hanya berlaku paling lama untuk 20 hari dan apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 40 hari. Setelah waktu 60 hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum (Pasal 24 KUHAP). Penuntut Umum berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan, yang hanya berlaku paling lama 20 hari dan setelah jangka waktu tersebut apabila masih diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk paling lama 30 hari. Setelah waktu 50 hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum (Pasal 25 KUHAP). Perlu dikemukakan di sini bahwa setiap perpanjangan penahanan hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk itu atas dasar alasan dan resume hasil pemeriksaan yang diajukan kepadanya. Hakim Pengadilan Negeri yang mengadili perkara guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama 30 hari dan apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum 55
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling lama 60 hari. Setelah waktu 90 hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah di keluarkan dari tahanan demi hukum (Pasal 26 KUHAP). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tersangka atau terdakwa sejak proses penyidikan oleh penyidik hingga perkaranya diputus oleh Hakim Pengadilan Negeri dapat dikenakan penahanan selama-lamanya 200 hari. Selanjutnya apabila perkara tersebut diajukan upaya-upaya hukum (rechtsmiddelen) maka proses penahanannya dapat berlangsung sebagai berikut: Guna kepentingan pemeriksaan banding Hakim Pengadilan Tinggi yang mengadili perkara berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama 30 hari dan apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan untuk paling lama 60 hari. Setelah waktu 90 hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum (Pasal 27 KUHAP). Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara tersebut guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama 50 hari dan apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama 60 hari. Setelah waktu 110 hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum (Pasal 28 KUHAP). Dalam pada itu, menurut Pasal 29 KUHAP dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang penahanan40 berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena :
40
Mudjono, 8 Desember 1983, Mahkamah Agung, Nomor SE.MA/12 Tahun 1983 “Perhitungan perpanjangan penahanan berdasarkan pasal 29 KUHAP. Dan, SE.MA/13 Tahun 1983, 8 Desember 1983 “Penerimaan atau penolakan terhadap keberatan berdasarkan Pasal 29 ayat (7) KUHAP harus berbentuk ‘Penetapan’”.
56
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih. Dalam hal yang demikian, maka perpanjangannya diberikan untuk paling lama 30 hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat perpanjang lagi untuk paling lama 30 hari untuk setiap tingkat pemeriksaan. Adapun prosedur perpanjangannya adalah sebagai berikut: a. dalam tingkat penyidikan dan penuntutan diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri; b. dalam tingkat pemeriksaan di Pengadilan Negeri diberikan oleh Ketua Pengadilan Tinggi; c. dalam tingkat pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung; d. dalam tingkat pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung. Terhadap perpanjangan yang merupakan pengecualian ini, tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat: a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua Pengadilan Tinggi; b. pemeriksaan Pengadilan Negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung. Sedangkan terhadap perpanjangan penahanan dalam tingkat pemeriksaan kasasi, tidak dapat diajukan keberatan sebab Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat terakhir dan yang melakukan pengawasan tertinggi terhadap perbuatan pengadilan lain41. Di samping itu ada kemungkinan adanya penahananpenahanan yang tidak didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum acara pidana. Hal ini dapat dikemukakan misalnya sebagai berikut: Bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1985, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Diganti dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1945 tentang Mahkamah Agung.
41
57
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Seseorang dapat ditahan yang disangka karena mempunyai unsound mind ataupun dipandang insane, meskipun di Indonesia dan beberapa negara lain, hal itu harus melalui prosedur judisiil. Demikian pula, terdapat suatu ketentuan dalam beberapa negara yang memungkinkan penahanan terhadap seseorang narcotict addict dan mengirimkan mereka ke suatu lembaga untuk menjalani suatu treatment. Juga karena kita mengenal adanya suatu penahanan terhadap orang asing yang masuk secara ilegal dalam negara ataupun karena pelanggaran-pelanggaran imigratoir. Kemudian kita mengenal pula lembaga gijzeling, karena seseorang tidak mampu membayar hutangnya, atau terhadap saksi yang tidak mau di sumpah. Di samping itu Penpres No. 3 Tahun 1962 memberikan kewenangan yang luar biasa pada Jaksa Agung untuk mengadakan penahanan dan pengusiran; dengan kata-kata dalam Penpres tersebut, ia rumuskan sebagai kewenangan "untuk menunjuk suatu tempat tertentu sebagai tempat berdiam untuk sementara dan membawanya ke situ atau melarang untuk sementara orang tersebut bertempat tinggal dalam suatu daerah ... dan seterusnya". la merupakan tindakan penahanan, suatu detention yang tidak mempunyai hubungan dengan hukum acara pidana (dentention without trial) dan precautionary. la bukanlah suatu penahanan dalam suatu proses pidana dan ia merupakan suatu preventive-detention, sebagai tindakan emergency atau eksepsional. 5. Pejabat Penyidik, Penyelidik dan Penyidik Pembantu Sebagaimana penulis uraikan di muka, KUHAP sebagai hukum acara pidana disahkan pada tanggal 31 Desember 1981 menjadi Undang-Undang No. 8 tahun 1981 (L.N. No. 76 T.L.N. 3209). Dalam hubungannya dengan tugas dan wewenang Polisi, maka KUHAP telah menempatkan kedudukan Polisi sebagai penyidik tunggal, dalam arti bahwa menurut KUHAP hanya 58
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Polisi Negaralah sebagai pejabat satu-satunya yang mempunyai monopoli penyidikan tindak pidana umum. Di dalam KUHAP dibedakan antara penyidik dan penyelidik. Menurut Pasal 1 butir 1, penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan (Pasal 1 butir 4). Jadi, perbedaannya ialah bahwa penyidik itu terdiri dari Polisi Negara dan pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, sedang penyelidik hanyalah terdiri dari Polisi Negara saja. Demikian pula di dalam Pasal 6 KUHAP di sebut dua macam pejabat yang diserahi wewenang penyidikan, yaitu ; a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia; b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang- Undang; Selanjutnya ayat (2) dari Pasal tersebut menyebutkan bahwa syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disingkat PP No. 27 tahun 1983, Pasal 2 menetapkan kepangkatan pejabat Polisi Negara menjadi penyidik yaitu sekurang-kurangnya berpangkat pembantu Letnan dua polisi. Sebagai suatu pengecualian, ditentukan jika disuatu tempat tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua ke atas, maka Komandan sektor Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah pangkat Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya adalah penyidik. Pejabat Penyidik polisi negara tersebut diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan wewenangnya kepada pejabat polisi negara lain. Dalam pada itu, bagi pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang dibebani wewenang penyidikan ditetapkan 59
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dalam Pasal tersebut harus berpangkat sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat I (golongan IIb) atau yang disamakan dengan itu. Pejabat penyidik pegawai negeri sipil tersebut diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul Departemen yang membawahi pegawai tersebut. Wewenang pengangkatan ini dapat dilimpahkan pula oleh Menteri Kehakiman. Sebelum pengangkatan terlebih dahulu Menteri Kehakiman meminta pertimbangan kepada Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia nomor : M.04-PW.07.03 tahun 1984, Penyidik pegawai negeri sipil mempunyai wewenang penyidikan sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya (Pasal 1 ayat 1). Selanjutnya di dalam ayat (2) ditentukan, bahwa dalam melakukan tugas sebagaimana tersebut pada ayat (1); penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang melakukan penangkapan dan atau penahanan. Dalam pada itu Pasal 2 keputusan Menteri Kehakiman tersebut menyatakan, apabila undang-undang yang menjadi dasar hukum tidak mengatur secara tegas kewenangan yang diberikannya, maka penyidik pegawai negeri sipil karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan penyitaan benda dan atau surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari, penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana 60
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dan selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggung-jawabkan42. Selanjutnya Pasal 3 menyatakan, bahwa penyidik pegawai negeri sipil membuat berita acara setiap tindakan tentang : a. pemeriksaan tersangka, b. pemasukkan rumah, c. penyitaan benda, d. pemeriksaan surat, e. pemeriksaan saksi, f. pemeriksaan di tempat kejadian dan mengirimkannya kepada penyidik POLRI. Di dalam KUHAP dikenal pula pejabat penyidik pembantu (Pasal 10). Selanjutnya Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 menentukan bahwa penyidik pembantu adalah pejabat Polisi negara Republik Indonesia yang berpangkat Sersan Dua Polisi dan pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Gol. II/a) atau yang disamakan dengan itu. Penyidik Pembantu tersebut diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. Wewenang pengangkatan ini dapat pula dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lain. Sebagaimana diuraikan di muka, KUHAP membedakan penyidik dan penyelidik. Mengenai wewenang penyelidik diatur dalam Pasal 5, yang menyatakan sebagai berikut: 1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4: a. karena kewajibannya mempunyai wewenang: 1. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; 2. mencari keterangan dan barang bukti; 3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 42
Yang dimaksud dengan “tindakan lain” tersebut sesuai dengan Pasal 16 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Yaitu t : 1). Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; 2) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukan tindakan jabatan; 3) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; 4) atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; 5) menghormati hak asasi manusia.
61
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; 2. pemeriksaan dan penyitaan surat; 3. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; 4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik. 2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik. Adapun yang dimaksud dengan "tindakan lain" seperti dalam angka 4 huruf a dari Pasal 5 KUHAP di atas adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat: a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b) selaras dengan kewajiban hukum yang mcngharuskan dilakukannya tindakan jabatan; c) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d) atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; e) menghormati hak asasi manusia. Sementara itu, wewenang penyidik Polri diatur dalam Pasal 7 KUHAP sebagai berikut: 1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf (a) karena kewajibannya mempunyai wewenang: a) menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c) menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e) mengambil sidik jari dan memotret seorang; f) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 62
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
g) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan; h) mengadakan penghentian penyidikan; i) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Dalam pada itu, wewenang penyidik pembantu pada dasarnya sama dengan wewenang-wewenang yang dimiliki oleh penyidik, kecuali wewenang penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik (Pasal 11 KUHAP). Adapun pelimpahan wewenang penahanan kepada penyidik pembantu tersebut hanya diberikan dalam hal-hal sebagai berikut: apabila perintah dari penyidik tidak dimungkinkan karena hal dan dalam keadaan yang sangat diperlukan; terdapat hambatan perhubungan di daerah terpencil; di tempat itu belum ada petugas penyidik; dalam hal lain yang dapat diterima menurut kewajaran. Mengenai yurisdiksi wewenang dari penyidik, penyidik pembantu dan penyelidik pada umumnya adalah di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di daerah hukum masingmasing mereka diangkat sesuai dengan surat keputusan pengangkatannya (Pasal 9 KUHAP). 6. Penyelidikan dan Penyidikan Kata penyidikan dipakai sebagai istilah hukum pada tahun 1961, ialah sejak dimuatnya istilah tersebut dalam UndangUndang Pokok Kepolisian (Undang-Undang No. 13 tahun 1961). Sebelumnya dipakai istilah "pengusutan" yang merupakan terjemahan dari bahasa belanda opsporing. Bahwa Pasal 1 butir 2 KUHAP, penyidikan ini dirumuskan sebagai serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam kenyataannya penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keteranganketerangan mengenai: 63
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
tindak pidana apa yang telah dilakukan; kapan tindak pidana itu dilakukan; di mana tindak pidana itu dilakukan; dengan apa tindak pidana itu dilakukan; bagaimana tindak pidana itu dilakukan; mengapa tindak pidana itu dilakukan; siapa pembuatnya. Di samping fungsi penyidikan KUHAP mengenai pula fungsi penyelidikan, yang di dalam Pasal 1 butir 5 dirumuskan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Demikian pula di dalam hukum acara pidana salah satu negara Eropa dikenal fungsi inquiry sebelum investigation, yang tugasnya supaya immediately informs of the discovery of crime and the opening of inquiry. Dalam hubungannya dengan fungsi penyelidikan ini. Pedoman Pelaksanaan KUHAP menjelaskan bahwa penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain yang berupa; penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyelesatan penyidikan dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Adapun latar belakang, motivasi dan urgensi diintrodusirnya fungsi penyelidikan di dalam KUHAP antara lain untuk perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia(HAM), adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan wewenang alat-alat pemaksa (dwangmiddelen), ketatnya pengawasan, dan adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi, dikaitkan bahwa setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu tidak selalu menampakkan secara jelas sebagai tindak pidana. Oleh karena itu sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan dengan konsekuensi digunakannya alat-alat pemaksa, perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang di dan diduga sebagai tindak pidana itu benarbenar merupakan tindak, sehingga dapat dilakukan penyidikan. 64
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Dengan demikian KUHAP telah mengatur ketentuanketentuan yang berusaha mencegah digunakannya alat-alat pemaksa secara gegabah. Dengan perkataan lain, bahwa alatalat pemaksa itu baru digunakan sebagai tindakan yang terpaksa dilakukan demi kepentingan umum yang lebih luas. Penyelidikan ataupun penyidikan merupakan tindak pertama-tama yang dapat dan harus segera dilakukan oleh penyelidik atau penyidik jika terjadi atau, timbul persangkaan telah terjadi suatu tindak pidana. Untuk itu harus segera diusahakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan suatu tindak pidana, dan jika ya, siapakah pembuatnya. Persangkaan atau pengetahuan adanya tindak pidana tersebut dapat diperoleh dari empat kemungkinan : 1) kedapatan tertangkap tangan; 2) karena adanya laporan; 3) karena adanya pengaduan; 4) Informasi/diketahui penyidik. Pasal 1 KUHAP merumuskan tertangkap tangan ini sebagai berikut: tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang di duga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa adalah pelakunya atau membantu melakukan tindak pidana itu. Sejak zaman Romawi telah dikenal delik tertangkap tangan ini, yaitu delik yang tertangkap sedang atau segera setelah berlangsung yang mempunyi akibat-akibat hukum yang berbeda dengan delik lain. Delik tertangkap tangan disebut oleh orang Romawi delictiim flagrans Jerman atau Belanda kuno handhaft (ig) daet dan vresche daet sedangkan orang Perancis menyebutnya Lagrant deft dan Jerman frische Tat.
65
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Penyidikan dalam tindak pidana yang tertangkap tangan ini lebih mudah dilakukan sebab terjadinya baru saja, berbeda dengan tindak pidana yang diluar tertangkap tangan (buiten ontdekking op heterdaad), yang kejadiannya sudah beberapa waktu berselang. Kekuasaan penyelidik dalam tindak pidana tertangkap tangan ini menjadi lebih luas, ia tanpa menunggu perintah penyidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan, tetapi tetap dalam batas penyelidikan. Tindakan penyelidik tersebut dapat berupa tindakan-tindakan seperti diatur dalam Pasal 5 ayat (1) sub b KUHAP, ialah : penangkapan larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan atau penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seseorang serta membawa dan menghadapkan kepada penyidik. Dalam hal demikian maka penyelidik membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum (Pasal 102 KUHAP). Perlu dikemukakan di sini bahwa kekuasaan untuk menangkap dalam hal tindak pidana yang tertangkap tangan ini bukan saja merupakan wewenang penyelidik dan penyidik, tetapi setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum wajib menangkap tersangka untuk diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik (Pasal 111 ayat (1) KUHAP). Adapun yang dimaksud dengan tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum adalah tugas untuk menjaga memelihara ketertiban, ketentraman dan keamanan yang merupakan sebagian dari tugas kenegaraan, yang dilakukan oleh pemerintah dengan perantara alat-alat pemerintahannya yang khusus ditugaskan untuk itu. Dengan demikian maka yang dimaksud dengan "setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum" itu adalah mereka yang oleh suatu peraturan perundang-undangan telah diberi wewenang untuk menjaga dan memelihara ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum. 66
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Kalimat undang-undang tersebut di atas haruslah diartikan sebagai undang-undang dalam arti material, dan bukan undang-undang dalam arti formal semata-mata. Undang-undang dalam arti material adalah semua perundangundangan termasuk semua perundang-undang yang wewenang pembentukannya telah dilimpahkan oleh pembentuk undangundang di pusat kepada para pembentuk undang-undang di daerah-daerah. Sebagaimana diuraikan di atas bahwa cara lain untuk mengetahui terjadinya tindak pidana ialah karena adanya laporan dan pengaduan. Pasal 1 butir 24 KUHAP merumuskan laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Dalam pada itu, Pasal 1 butir 25 KUHAP merumuskan pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Perbedaan antara laporan dan pengaduan ini sebenarnya erat hubungannya dengan jenis tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang yang "dilaporkan" atau "diadukan". Orang menyebut suatu pemberitahuan itu sebagai suatu laporan, apabila pemberitahuan tersebut berkenaan dengan dilakukannya tindak pidana biasa (gewone delict) oleh seseorang, dan orang menyebutnya sebagai suatu pengaduan, apabila pemberitahuan itu berkenaan dengan dilakukannya tindak pidana aduan (klacht delict) oleh seseorang. Dalam Pasal 108 ayat (1) KUHAP dinyatakan, bahwa setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindakan pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan penyidik baik secara lisan maupun tertulis. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perbuatan melaporkan dan mengadukan itu merupakan hak atau suatu kewenangan belaka, bukan suatu kewajiban. Namun demikian, pengecualiannya ada dalam beberapa hal seperti dinyatakan dalam ayat (2) Pasal tersebut ialah setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk 67
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik. Dan apabila hal ini dilalaikan, maka dapat dipersalahkan melanggar Pasal 164 atau Pasal 165 KUHP. Seperti dinyatakan dalam Pasal 108 ayat (1) di atas, bentuk laporan atau pengaduan43 tersebut dapat diajukan secara tertulis maupun lisan. Apabila diajukan secara tertulis maka harus ditanda-tangani oleh pelapor atau pengadu, sedangkan kalau diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik atau penyidik dan ditandatangani bersama oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik atau penyidik. Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan tanda penerimaannya kepada yang bersangkutan (Pasal 108 ayat (6) KUHAP]. Selanjutnya menurut Pasal 108 ayat (3) KUHAP, penyelidik atau penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ke tempat kejadian dan dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di situ belum selesai. Dan menurut ayat (4) apabila ada orang yang melanggar larangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan di maksud selesai. Tindakan selanjutnya adalah melakukan usaha-usaha untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut guna membuat terang perkara. Untuk itu, penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu harus memenuhi panggilan tersebut (Pasal 112 ayat (1) KUHAP). Di dalam penjelasan Pasal tersebut dikatakan, bahwa panggilan tersebut harus dilakukan dengan surat panggilan Pasal 103 ayat (1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditanda tangani oleh pelapor atau pengadu. Sedangkan Pasal 103 ayat (2) KUHAP Laporan atau pengaduan yang disampaikan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik ditanda tangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik. Pasal 104 KUHAP Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda pengenalnya.
43
68
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
yang sah, artinya, surat panggilan yang ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang. Adapun mengenai pengertian dari kata "tenggang waktu yang wajar" dalam rumusan Pasal di atas, Menteri Kehakiman dalam keputusannya tanggal 10 Desember 1983 No. 14 - PW. 07.03 Tahun 1983 telah memberi penjelasan bahwa pengertian tenggang waktu yang wajar, disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat, dan tidak dianalogikan dengan penjelasan dari Pasal 152 ayat (2) KUHAP, di mana ditentukan waktu 3 hari44. Orang yang dipanggil oleh penyidik wajib datang menghadapnya dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya (Pasal 112 ayat (1) KUHAP). Namun, apabila seorang tersangka atau saksi yang dipanggil tersebut memberi alasan yang patut dan wajar, bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik tersebut wajib datang ke tempat kediamannya (Pasal 113 KUHAP). Di dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP dinyatakan dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Mengenai keharusan penyidik untuk memberitahukan kepada penuntut umum dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP di atas, Menteri Kehakiman dalam keputusannya tanggal 10 Desember 1983 No. M.14 PW. 07.03 tahun 1983 telah memberikan penjelasan sebagai berikut: Pengertian "mulai melakukan penyidikan" adalah jika dalam kegiatan penyidikan tersebut sudah dilakukan tindakan upaya paksa dari penyidik, seperti pemanggilan pro yustisia, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyitaan dan sebagainya. Bahwa Pasal 109 KUHAP mengenai keharusan penyidik untuk memberitahukan tentang dimulainya penyidikan kepada 44
Tambahan Pedoman Pelaksanaan, Ibid 1983, Dalam pelaksanaannya pengertian “tenggang waktu yang wajar” disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat, dan tidak dapat di analogikan dengan penjelasan pasal 152 ayat (2) KUHAP dimana ditentukan waktu tiga hari.
69
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
penuntut umum ini adalah diperlukan dalam rangka koordinasi dan pengawasan horisontal antara instansi penegak hukum. 7. Hak Tersangka Pasal 114 KUHAP menentukan bahwa sebelum penyidik mulai memeriksa tersangka, penyidik wajib memberitahukan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasehat hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 56. Sedangkan menurut Pasal 56 KUHAP, perkara yang wajib mendapat bantuan hukum adalah: 1) perkara yang tersangkanya diancam dengan pidana mati atau pidana lima belas tahun atau lebih; 2) perkara yang tersangkanya tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih berat, tetapi kurang dari lima belas tahun. Perkara semacam ini wajib mendapat bantuan hukum sesuai dengan asas fair trial dan contante justitie serta dengan pertimbangan bahwa tersangka dalam perkara yang semacam ini dapat dikenakan penahanan. Dalam penjelasan mengenai ketentuan Pasal 114 KUHAP di atas dikatakan, bahwa untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka sejak dalam taraf penyidikan kepada tersangka sudah dijelaskan bahwa tersangka berhak didampingi penasihat hukum pada pemeriksaan di sidang pengadilan. Menurut hemat penulis, penjelasan undang-undang ini dapat mengaburkan arti dan makna dari ketentuan Pasal 114 KUHAP sendiri, sebab seolah-olah pada saat penyidik akan mulai memeriksa tersangka ia hanya berkewajiban memberitahu kepada tersangka bahwa tersangka berhak didampingi penasehat hukum pada pemeriksaan di sidang pengadilan saja. Tidak ada kewajiban bagi penyidik untuk memberitahukan kepada tersangka bahwa ia berhak didampingi penasehat hukum pada tahap pemeriksaan di muka penyidik (tahap penyidikan). Hal ini jelas tidak sesuai dengan perumusan dari Pasal 114 KUHAP sendiri, yang menurut hemat penulis justru sudah jelas, tidak seperti apa yang dijelaskan dalam perumusan penjelasan Pasal 114 KUHAP tersebut. 70
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Untuk itu menurut hemat penulis perlu kiranya ditafsirkan secara sistematis dengan menghubung-hubungkan dengan Pasal-Pasal yang saling berkaitan, misalnya Pasal-Pasal: 115, 54, 56, 59, 69, 70, 71 serta Pasal-Pasal dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 Pasal 35, 36,37 dan 38. Dari ketentuan Pasal 115 KUHAP misalnya, dapat diketahui bahwa dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan, kecuali dalam hal tindak pidana terhadap keamanan negara45 penasihat hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka (within sight but not within hearing). Demikian pula dari ketentuan Pasal 54 KUHAP dapat diketahui bahwa tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Dengan demikian jelaslah bahwa penjelasan Pasal 114 KUHAP apabila dibaca dan diartikan secara paralel dengan Pasal-Pasal 115, 54, 56, 69, 70, 71 KUHAP dan Pasal-Pasal 35 s/d 38 Undang-Undang No. 14 tahun 1970, maka dapat disimpulkan bahwa penyidik sebelum memeriksa tersangka juga wajib memberitahukan bahwa tersangka berhak didampingi penasehat hukumnya selama diperiksa di muka penyidik tersebut dan pada setiap tahap pemeriksaan dalam proses pidana. Bahkan di negara Amerika misalnya di dalam Miranda Rules ditentukan bahwa sebelum polisi memeriksa tersangka, ia terlebih dahulu harus memberitahukan hak-hak tersangka tentang: a. hak untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan apapun yang diajukan oleh pemeriksa/interrogator (the right to remain silent); 45
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999-Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850 Dalam usaha untuk mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dari ancaman dan bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, yang terbukti bertentangan dengan agama, asas-asas, dan sendi kehidupan bangsa Indonesia yang ber-Tuhan dan dari tindak pidana lainnya yang membahayakan keamanan negara, perlu mengadakan perubahan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan menambah pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan keamanan negara.
71
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
b. apapun yang tersangka katakan itu dapat dan akan dipakai untuk memberatkan tersangka; c. tersangka mempunyai hak untuk dibela sebelum dan sesudah diperiksa; d. jika tersangka tidak mampu membayar pembela, ia berhak diberi pembela dari negara. Demikian pula di Inggris, di dalam Judges Rules di tentukan bahwa pemeriksa sebelum memeriksa tersangka harus mengatakan kepada tersangka bahwa ia mempunyai hak untuk tidak menjawab pertanyaan, tetapi apapun yang tersangka katakan akan dicatat dan dapat dijadikan bukti. Dalam hubungannya dengan ini, Andi Hamzah berpendapat bahwa ketentuan pemeriksa atau penyidik harus memberitahukan tersangka bahwa ia berhak untuk diam tidak menjawab pertanyaan sebelum pemeriksaan dimulai, terlampau jauh dan berkelebihan dan untunglah hal ini tidak dianut di dalam KUHAP kita. Dalam hal ini penulis tidak sependapat dengan pendapat di atas, karena menurut hemat penulis makna dari ketentuan tersebut adalah justru untuk memperingatkan kepada tersangka supaya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari penyidik bersikap hati-hati, sehingga apabila menurut tersangka pertanyaan dari penyidik itu sulit untuk dijawab maka lebih baik tersangka mengambil sikap untuk tidak menjawabnya..Hal tersebut merupakan kebebasan tersangka dalam memberikan keterangan dan ketentuan ini diambil dari Miranda Role yang berlku di Amerika. Dalam pada itu, pada waktu penyidik memeriksa tersangka, selanjutnya menurut KUHAP harus didasarkan atas ketentuan-ketentuan sebagai berikut: - Tersangka didengar keterangannya tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat (1); - Kepada tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya (saksi a'decharge), dan apabila ada maka penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut (Pasal 116 ayat (3); - Keterangan apa saja yang tersangka berikan kepada penyidik sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya harus dicatat dalam berita acara pemeriksaan 72
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dengan seteliti-telitinya sesuai dengan kata-kata yang dikemukakan oleh tersangka, dan jika isi berita acara tersebut telah disetujui maka berita acara pemeriksaan itu ditanda-tangani bersama oleh Penyidik dan tersangka (Pasal 117 ayat (2) dan Pasal 118 ayat (1) KUHAP46. Bila tersangka tidak mau membubuhi tanda-tangannya maka dicatat dalam berita acara pemeriksaan dengan menyebutkan alasannya (Pasal 118 ayat 2). Pemeriksaan terhadap tersangka yang berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang melakukan penyidikan, dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal tersangka tersebut (Pasal 119). 8. Penangguhan penahanan Untuk menjaga agar tersangka atau terdakwa yang ditahan tidak dirugikan kepentingannya karena tindakan penahanan tersebut mungkin akan berlangsung untuk beberapa waktu lamanya, maka diadakan kemungkinan bagi tersangka atau terdakwa mengajukan permohonan agar penahanannya itu ditangguhkan terlebih dahulu. Berbeda ketentuannya dengan hukum acara pidana lama (HIR) yang menetapkan bahwa pejabat satu-satunya yang berwenang memberikan penangguhan penahanan adalah hakim. Maka menurut KUHAP Pasal 31, pejabat yang berwenang memberikan penangguhan penahanan adalah penyidik penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan mereka masing-masing. Hal ini disebabkan karena pejabat-pejabat inilah yang mengetahui benar alasan pertimbangan untuk penangguhan penahanan tersebut, yakni apabila tersangka atau terdakwa tidak akan mempersulit atau merugikan kepentingan pemeriksaan perkara dengan menghilangkan bukti-bukti atau melarikan diri atau akan mengulangi tindak pidananya lagi. Hal ini dapat dilihat dan pemeriksaan perkaranya dan pribadi tersangka atau terdakwa tersebut.
46
Pasal 117 ayat (1) KUHAP “Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.
73
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Adapun penentuan penangguhan penahanan tersebut dapat diberikan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan. Menurut penjelasan Pasal 31 KUHAP, yang dimaksud dengan "syarat yang ditentukan" itu adalah wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota.Dalam hal menentukan besarnya jaminan itu ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, sesuai dengan tingkat pemeriksaan (lihat Pasal 35 ayat (1) KUHAP). Pejabat yang berwenang yang dimaksud, adalah : 1. Penyidik di tingkat penyidikan; 2. Penuntut Umum di tingkat penuntutan; dan 3. Hakim di tingkat pemeriksaan di tingkat pengadilan. Kemudian uang jaminan tersebut disimpan di kepaniteraan pengadilan negeri, dan apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah lewat tiga bulan tidak ditemukan, maka uang jaminan itu kemudian disetorkan ke kas negara47. Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 mengatur lebih lanjut hal-hal sebagai berikut : bahwa uang jaminan penahanan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan disimpan di kepaniteraan pengadilan negeri dan apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu tiga bulan tidak diketemukan, maka uang jaminan tersebut menjadi milik negara dan disetor ke kas negara. Dalam pada itu apabila jaminan itu adalah orang, dan tersangka atau terdakwa melarikan diri, maka penjamin (orang itu) diwajibkan membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang memberikan penangguhan penahanan tesebut dan uang tersebut harus disetor ke kas negara melalui panitera pengadilan negeri. Sedang apabila penjamin tidak membayar sejumlah uang yang telah disepakatinya sebagai uang jaminan, maka juru sita menyita barang miliknya untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke kas negara melalui panitera pengadilan negeri. 47
Andi Sofyan dan H. Abdul Azis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana Prenadamia Group, Jakarta, 2014, hlm 145 Namun, terhadap uang jaminan, apabila setelah lewat tiga bulan tersangka/terdakwa tertangkap, maka uang jaminan itu tidak dapat diminta kembali olehnya, sedangkan kepada tersangka/terdakwa yang tidak melarikan diri, maka apabila perkaranya sudah selesai dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap, maka uang jaminan itu dikembalikan kepadanya.
74
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Untuk pelaksanaannya lebih lanjut, Menteri Kehakiman48 dalam keputusannya tanggal 10 Desember 1983 Nomor M.14. PW.07.03 Tahun 198349 telah menetapkan petunjuk pelaksanaannya sebagai berikut: a. Dalam hal ada permintaan untuk penangguhan penahanan yang dikabulkan, maka diadakan perjanjian antara pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dengan tersangka atau penasihat hukumnya beserta syaratsyaratnya. b. Apabila jaminan itu berupa uang, maka uang jaminan harus secara jelas disebutkan dalam perjanjian dan besarnya ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. c. Dalam hal jaminan itu adalah orang, maka identitas orang yang menjamin tersebut secara jelas dicantumkan dalam perjanjian dan juga ditetapkan besarnya uang yang harus ditanggung oleh penjamin tersebut. d. Uang jaminan dimaksud dalam butir b, disetorkan sendiri oleh pemohon atau penasihat hukumnya atau keluarganya ke panitera pengadilan negeri, dengan formulir penyetoran yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan. e. Bukti setoran dibuat dalam rangkap 3, sehelai sebagai arsip panitera, sehelai dibawa oleh orang yang menyetorkan untuk digunakan sebagai bukti telah melaksanakan isi perjanjian dan yang sehelai lagi dikirimkan oleh panitera kepada pejabat yang berwenang melalui kurir, tetapi tidak dititipkan kepada yang menyetorkan untuk digunakan sebagai alat kontrol. f. Berdasarkan tanda bukti penyetoran uang yang diperlihatkan oleh keluarga atau kuasanya, atau Bahwa kekuasaan kehakiman berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi .
48
49
Ali Said, Menteri Kehakiman, 10 Desember 1983, Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M. 14.PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Lampiran angka 3 Pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik. Pasal 109 ayat (1) KUHAP, menentukan bahwa dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Pengertian “mulai melakukan penyidikan” adalah jika dalam kegiatan penyidikan tersebut sudah dilakukan tindak upaya paksa dari penyidik, seperti pemanggilan pro justitia, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyitaan dan sebagainya.
75
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
berdasarkan tanda bukti penyetoran uang jaminan yang diterima dari panitera pengadilan, atau surat jaminan dari penjamin dalam hal jaminannya adalah orang, maka pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan mengeluarkan surat perintah/penetapan penangguhan penahanan. g. Apabila berkas perkara telah diserahkan kepada penuntut umum dan penuntut umum berpendapat bahwa berkas perkara sudah lengkap, sedangkan tersangka masih dalam status penangguhan penahanan dengan jaminan, maka sebelum penyidik mengeluarkan perintah penghentian penangguhan penahanan, agar dikonsultasikan dengan pihak penuntut umum guna mempertimbangkan kelanjutan di tingkat penuntutan50. h. Demikian pula halnya apabila berkas perkara oleh penuntut umum telah dilimpahkan ke pengadilan, sedangkan terdakwa masih dalam status penangguhan penahanan dengan jaminan, maka penuntut umum dalam surat pelimpahannya minta kepada ketua pengadilan negeri agar penangguhan penahanan dengan jaminan tetap dilanjutkan. i. Dalam hal tersangka/terdakwa melarikan diri dan tidak dapat diketemukan lagi, maka diperlukan penetapan pengadilan tentang pengambil alihan uang jaminan tersebut menjadi milik negara. j. Dalam hal tersangka/terdakwa yang lari dimaksud dalam butir 1, jaminannya adalah orang, dan ternyata penjamin tidak dapat membayar uang yang menjadi tanggungannya, maka untuk memenuhi uang jaminannya itu, perlu penetapan pengadilan untuk melakukan penyitaan terhadap barang-barang milik penjamin menurut hukum acara perdata Perlu dikemukakan di sini bahwa masa penangguhan penahanan itu tidak termasuk masa status tahanan. Ini berarti bahwa selama tersangka atau terdakwa di luar tahanan, tidak
Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman “Ketentuan-mengenai badanbadan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang;” Meliputi (a) penyelidikan dan penyidikan, (b) penuntutan, (c) pelaksanaan putusan, (d) pemberian jasa hukum, dan (e) penyelesaian perkara di luar pengadilan.
50
76
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dapat diperhitungkan sebagai masa tahanan sehingga tidak dapat dipotongkan dengan pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Apabila tersangka atau terdakwa yang diberi penangguhan penahanan tersebut tidak memenuhi syaratsyarat51 yang telah ditetapkan maka penagguhan pcnahanannya dapat dicabut (Pasal 31 ayat 2 KUHAP). 9. Penggeledahan badan dan penggeledahan rumah Penggeledahan badan dan penggeledahan rumah hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan dan dengan surat perintah untuk itu dari yang berwenang. Yang dimaksud dengan penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau di bawanya serta untuk disita. Menurut Pasal 37 KUHAP, pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita. Dalam pada itu penyidik pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka yang telah ditangkap dihadapkan padanya, ia berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka. Penggeledahan badan ini meliputi pemeriksaan rongga badan, yang wanita dilakukan oleh pejabat wanita. Dalam hal penyidik berpendapat perlu dilakukakan pemeriksaan rongga badan, maka penyidik dapat minta bantuan kepada pejabat Kesehatan. Guna menjamin hak-asasi manusia seseorang atas rumah kediamannya sesuai dengan prinsip My home is my castle, maka penggeledahan rumah harus dilakukan dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan (Pasal 33 KUHAP). Jika yang melakukan penggeledahan rumah itu bukan penyidik sendiri, maka Petugas Kepolisian Negara lainnya harus dapat menunjukkan selain surat izin ketua Pengadilan Negeri juga Penjelasan Pasal 31 KUHAP yang dimaksud dengan “syarat yang ditentukan” ialah wajib lapor, tidak keluar rumah atau luar kota.
51
77
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
surat perintah tertulis dari penyidik. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya. Sedangkan apabila tersangka atau penghuni rumah menolak, atau tidak hadir maka pada waktu memasuki rumah harus disaksikan oleh Kepala Desa atau Ketua lingkungan dengan disertai dua orang saksi. Yang dimaksud dengan Ketua lingkungan di sini adalah ketua atau wakil Ketua RK, Ketua atau wakil Ketua RT, ketua atau wakil Ketua lembaga yang sederajat. Penyidik membuat berita acara tentang jalannya penggeledahan dan hasil penggeledahan dan ia membacakan terlebih dahulu berita acara tersebut kepada yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun tersangka atau keluarganya atau Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dengan dua orang saksi. Dalam hal tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tanda tangannya, hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya (Pasal 126 KUHAP). Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan. Dalam hal ini penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidak meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan berlangsung52. Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa pada dasarnya penggeledahan rumah harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Namun, dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, yaitu bilamana ditempat yang akan digeledah diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan sedangkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang Iayak dan dalam waktu yang singkat, maka menurut Pasal 34 KUHAP penyidik dapat melakukan penggeledahan: a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau dan yang ada di atasnya;
52
Setelah melakukan tindakan tentang upaya paksa tersebut diatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 KUHAP.
78
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada; c. ditempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; d. ditempat penginapan dan tempat umum lainnya. Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan ini, penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuan. Sebagai contoh dari surat, buku, tulisan yang berhubungan dengan tindak pidana menjadi sasaran tindak pidana, misalnya surat-surat palsu atau yang dipalsukan, surat-surat yang isinya tidak senonoh (pornographi), yang lazimnya disebut corpora dilicti. Adapun surat-surat, buku-buku, tulisan-tulisan yang dipergunakan dalam tindak pidana, misalnya surat yang memuat ancaman untuk mengancam orang lain, atau surat penghinaan, yang biasanya disebut instrumentadelicti. Untuk menjunjung tinggi Sidang MPR, DPR atau DPRD dan upacara-upacara keagamaan serta Sidang Pengadilan, maka selama berlangsungnya Sidang-Sidang atau upacara tersebut, penyidik tidak diperkenankan melakukan tugasnya memasuki ruangan dimaksud, kecuali dalam hal tertangkap tangan (Pasal 35 KUHAP). 10.Penyitaan barang bukti Yang dimaksud dengan penyitaan (beslagneming) adalah serangkaian tindakan penyidik53 untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Istilah penyitaan ini harus dibedakan dengan istilah perampasan (verbeurd verklaring), yang artinya barang 53
Mudjono, 8 Desember 1983, Ketua Mahkamah Agung RI, SE.M.A/11 Tahun 1983,”Perihal Surat izin penyitaan supaya dilampirkan dalam berkas perkara.
79
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
tersebut diambil alih dari pemiliknya, dengan tujuan mencabut hak milik atas barang itu untuk dipergunakan bagi kepentingan negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusak sampai tidak dapat dipergunakan lagi. Jadi, lain halnya dengan penyitaan yang bersifat sementara, yang kemudian apabila sudah tidak dipergunakan lagi akan dikembalikan kepada orang yang berhak, tetapi kalau perampasan ini bukan untuk sementara melainkan mencabut hak milik atas benda tersebut untuk selama-lamanya dan perampasan ini merupakan pidana tambahan; sedangkan penyitaan merupakan tindakan Kepolisian. Untuk mencegah dilakukannya tindakan sewenangwenang serta dalam rangka menghormati kemerdekaan seseorang atas hak untuk menguasai harta benda miliknya, maka pada dasarnya penyitaan dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat (Pasal 38 KUHAP). Di samping itu menurut Pasal 39 KUHAP ditentukan, bahwa benda yang dapat dikenakan penyitaan (barang bukti) adalah: a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan; d. benda yang khusus dibuat diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan54. Dalam melakukan penyitaan, penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan Kepala 54
KUHAP dan KUHP Dilengkapi dengan : Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara, Penerbit Sinar Grafika, ISBN 979-8061-79-9, Jakarta, 2005, hal : 218 bahwa “Pembangunan nasional di bidang hukum ditujukan agar masyarakat memperoleh kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan serta memberikan rasa aman dan tenteram.”
80
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Desa atau Ketua lingkungan dengan dua orang saksi. Kemudian penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang dari mana benda itu di sita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditanda tangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau Kepala atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi. Dalam hal orang tersebut tidak mau membubuhkan tanda tangannya hal itu di catat dalam berita acara dengan menyebut alasannya. Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang dari mana benda itu di sita atau keluarganya dan Kepala Desa (Pasal 129 KUHAP). Penyitaan dapat pula dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri, yaitu dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu. Dalam hal ini maka penyidik hanya dapat melakukan penyitaan atas benda bergerak dan untuk itu ia wajib segera melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Dalam hal tertangkap tangan semua tindakan penyidik harus serba cepat supaya tidak membuka kemungkinan dipindahkannya harta benda oleh yang tidak bertanggung jawab dengan tujuan untuk mempersulit jalannya penyidikan. Dalam hal demikian penyitaan tersebut dilakukan tidak mendapat surat perintah, melainkan cukup dengan diperlihatkan oleh Petugas kepada tersangka atau orang lain yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana tersebut surat tanda pengenal jabatan. Dalam hal tertangkap tangan ini penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Di samping itu ia berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau kirimannya dilakukan oleh Kantor Pos dan Telekomunikasi, Jawatan atau Perusahaan Komunikasi atau Pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada Pejabat kantor Pos dan Telekomunikasi. Jawatan atau 81
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Perusahaan Komunikasi atau Pengangkutan yang bersangkutan harus diberikan tanda penerimaan (Pasal 41 KUHAP). Dalam pada itu menurut Pasal 43 KUHAP, penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya sepanjang tidak menyangkut rahasia Negara hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus Ketua pengadilan Negeri setempat. Selanjutnya benda sitaan tersebut harus disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan Negara. Dan, selama belum ada rumah penyimpanan benda sita Negara tersebut, maka penyimpanannya dapat dilakukan di Kantor Kepolisian, Kantor Kejaksaan Negeri, di Kantor Pengadilan Negeri, di Gedung Bank Pemerintah dan dalam keadaan yang memaksa di tempat penyimpanan lain atau tetap ditempat semula benda itu disita. Benda sitaan itu harus dibungkus dalam sampul dan sebelum dibungkus, dicatat berat atau jumlah menurut jenis masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu di sita dan lain-lainnya yang kemudian diberi lak dan cap Jabatan dan ditanda tangani oleh penyidik. Terhadap benda-benda yang tidak mungkin dibungkus karena sifatnya besar, maka penyidik memberi Catatan seperti di atas, yang ditulis di atas label yang ditempelkan pada benda tersebut. Adakalanya benda yang disita itu berwujud hewan atau tumbuh-tumbuhan, seperti pohon jati. Dalam hal penyitaan hewan maka supaya disimpan oleh pemiliknya dengan disertai permintaan supaya jangan dijual atau dipotong selama perkara belum diputus oleh Hakim; sedangkan mengenai penyitaan pohon jati maka instansi Kehutanan harus menjaganya bahwa selama perkara tersebut belum diputus, tidak boleh ditebang. Dalam pada itu apabila benda yang disita tersebut terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan Pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan yang tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, maka sedapat mungkin 82
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut: a. apabila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya; b. apabila perkara sudah ada di tangan Pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin Hakim yang menyidangkan dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya. Adapun yang dimaksud dengan benda yang dapat diamankan antara lain ialah benda yang mudah terbakar, mudah meledak, yang untuk itu harus dijaga serta diberi tanda khusus atau benda yang dapat membahayakan keselamatan orang dan lingkungan. Mengenai pelaksanaan lelang terhadap benda yang menurut sifatnya lekas rusak dilakukan oleh Kantor lelang Negara setelah diadakan konsultasi dengan pihak penyidik atau penuntut umum setempat atau Hakim yang bersangkutan sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses Peradilan dan lembaga yang ahli dalam menentukan sifat benda yang mudah rusak. Selanjutnya uang hasil pelelangan dipakai sebagai ganti untuk diajukan di sidang Pengadilan sedangkan sebagian dari benda itu disisihkan untuk dijadikan barang bukti. Pada dasarnya benda yang dikenakan penyitaan diperlukan bagi pemeriksaan sebagai barang bukti. Oleh karena itu selama pemeriksaan berlangsung, dapat diketahui, apakah benda itu masih dibutuhkan atau tidak. Dalam hal penyidik atau penuntut umum berpendapat, benda yang disita itu tidak diperlukan lagi untuk pembuktian, maka benda tersebut dapat dikembalikan kepada yang berkepentingan atau pemiliknya. Dalam pengembalian benda sitaan ini, hendaknya sejauh mungkin diperhatikan segi kemanusiaan, dengan mengutamakan pengembalian benda yang menjadi sumber penghidupan. Menurut Pasal 46 KUHAP, benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila: 83
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana. Selanjutnya apabila perkara sudah diputus oleh hakim, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. 11. Pemeriksaan surat Ada tiga Pasal yang mengatur tentang pemeriksaan surat, yaitu Pasal 47, Pasal 48 dan Pasal 49 KUHAP. Yang dimaksud dengan pemeriksaan surat dalam ketiga Pasal tersebut di atas ialah pemeriksaan terhadap surat yang tidak langsung mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang diperiksa, akan tetapi dicurigai dengan alasan yang kuat. Untuk itu maka penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat tersebut yang dikirim melalui Kantor Pos dan Telekomunikasi, jawatan atau Perusahaan Komunikasi atau pengangkutan dengan izin yang diberikan untuk itu dari ketua Pengadilan Negeri. Dalam hal ini penyidik dapat meminta kepada Kepala kantor Pos dan Telekomunikasi, Kepala Jawatan atau Perusahaan Komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan. Apabila setelah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, maka surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara, dan apabila tidak ada hubungannya dengan perkara 84
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada Kantor Pos dan Telekomunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik", dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta identitas penyidik. Selanjutnya penyidik membuat berita acara tentang pemeriksaan surat tersebut, dan turunannya dikirimkan kepada Kepala kantor Pos dan Telekomunikasi, Kepala Jawatan atau Perusahaan Komunikasi atau Pengangkutan yang bersangkutan. Menurut Pasal 132 KUHAP, dalam hal ada laporan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli. Dalam pada itu kalau timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau dipalsukan, penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat dapat segera datang atau dapat minta kepada pejabat penyimpan umum, supaya ia mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan perbandingan. Dan apabila surat tersebut menjadi bagian serta tidak dapat dipisahkan dari suatu daftar, maka penyidik dapat minta supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang ditentukan dalam surat permintaan penyidik dikirimkan kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda penerimaan. Sedangkan jika surat tersebut tidak menjadi bagian dari suatu daftar, penyimpan membuat tulisan sebagai penggantinya sampai surat yang asli diterima kembali yang bagian bawah dari salinan itu penyimpan mencatat apa sebab salinan itu dibuat. Apabila dalam waktu yang ditentukan dalam surat permintaan, surat atau daftar itu tidak dikirimkan tanpa alasan yang sah, penyidik berwenang mengambilnya. Perlu diketahui di sini, bahwa yang dimaksud dengan pejabat penyimpan umum antara lain adalah pejabat yang berwenang dari arsip Negara, Catatan Sipil, Balai Harta Peninggalan, Notaris sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 85
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
12. Penyelesaian penyidikan dan penghentian penyidikan Setelah pemeriksaan yang diperlukan dalam rangka penyidikan ini dipandang cukup, maka penyidik segera membuat berita acara penyidikan. Pada berita acara penyidikan ini akan sekaligus terlampir pula semua berita acara yang dibuat penyidik sehubungan dengan tindakantindakan yang diperlukan dalam rangka penyidikan, termasuk berita acara keterangan tersangka, berita acara keterangan saksi, berita acara penahanan, berita acara penggeledahan, berita acara penyitaan, berita acara pemeriksaan surat dan lain sebagainya, sepanjang hal itu telah nyata-nyata dilakukan dalam rangka penyidikan tindak pidana tersebut. Apabila penyidikan telah selesai maka penyidik wajib segera menyerahkan hasil penyidikannya itu kepada penuntut umum. Adapun cara penyerahan berkas perkara tersebut dilakukan sebagai berikut: a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkam berkas perkara; b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (Pasal 8 KUHAP). Penyidikan dianggap selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau sebelum waktu tersebut berakhir sudah ada pemberitahuan (karena menurut Pasal 138 ayat (1) dalam waktu tujuh hari penuntut umum wajib memberitahukan kepada penyidik tentang hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum) tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik (Pasal 110 ayat (4) KUHAP). Tetapi apabila penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan tersebut dianggap masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik dengan disertai petunjuk-petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum tersebut, yang dalam waktu empat belas hari penyidik harus menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut 86
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
umum (Pasal 110 ayat (2) dan (3) dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP. Namun, ada kalanya perkara yang telah disidik oleh penyidik tidak diteruskan ke tahap penuntutan pada penuntut umum, disebabkan menurut pendapat penyidik tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikannya harus dihentikan demi hukum. Hal yang terakhir ini disebabkan karena adanya ketentuan Pasal 75 KUHP (pencabutan pengaduan), 76 KUHP (nebis in idem), Pasal 77 KUHP (karena tersangkanya meninggal dunia) dan Pasal 78 KUHP (Kedaluwarsa).Untuk itu penyidik mengeluarkan surat penetapan penghentian penyidikan dan memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya (Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Hal ini dimaksudkan untuk koordinasi dan pengawasan horizontal di antara penegak hukum. Bahwa peningkatan pembinaan sikap para aparat penegak hukum sesuai dengan kewenangan dan fungsinya masing-masing dengan pembidangan tugas, wewenang dan tanggung jawab. Pembidangan tersebut tak berarti mengkotak-kotakkan tugas, tetapi wewenang dan tanggung jawab tersebut mengandung arti koordinasi dan sinkronisasi pelaksaan.
87
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
BAB IV PENUNTUTAN 1. Pendahuluan Seperti telah diuraikan pada pokok bahasan III di muka bahwa proses perkara pidana berjalan melalui empat tahapan, yaitu tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang pengadilan dan diakhiri dengan tahap pelaksanaan putasan pengadilan beserta pengawasannya. Apabila pada tahap penyidikan atau tahap pemeriksaan pendahuluan melibatkan pihak Kepolisian yang terutama ditugasi untuk melaksanakannya, maka pada tahap penuntutan melibatkan kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum. Untuk kesempurnaan tugas penuntutan, jaksa perlu sekali mengetahui sejelas-jelasnya semua pekerjaan yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka penyidikan sejak dimulainya penyidikan, yang seluruhnya itu harus dilakukan atas dasar hukum. Hal ini disebabkan, jaksalah yang pada akhirnya dimuka pengadilan harus mempertanggungjawabkan dakwaannya itu sah dan benar atau tidak menurut hukum sehingga benar-benar perasaan keadilan masyarakat dapat terpenuhi. Dakwaan yang disusun dari hasil penyidikan Kepolisian ini harus dibuktikan di depan hakim, dan melalui proses pembuktian inilah nantinya Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan untuk dapat diputuskan oleh Hakim. 2. Sekilas tentang lembaga penuntut umum Lembaga penuntut umum seperti yang kita kenal sekarang berasal Perancis, yang akhirnya oleh negara lain diambil alih dalam perundang-undangannya, juga oleh Negara Belanda yang memasukkan dalam Wetboek van Strafvoerdering (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tahun 1838) dalam Inslands Reglement tahun 1848, menerapkannya di Indonesia. Sejak masa-masa sebelum ada suatu kekuasaan sentral yang menentukan sebagai kewajibannya untuk melaksanakan tugas-tugas Peradilan, maka tidak banyak perbedaan antara pelaksanaan proses perdata dan proses pidana. Juga dalam hal-hal untuk memperoleh putusan Hakim agar terhadap 88
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
seseorang dijatuhi pidana (tuntutan pidana), inisiatifnya adalah pada perseorangan, yaitu pada pihak yang dirugikan. Sistem ini lama kelamaan menunjukkan kekuarangankekurangan mencolok. Penuntutan secara terbuka (accusatoir murni), dengan sendirinya telah menyebabkan penuntutan kesalahan seseorang menjadi lebih sulit, sebab yang bersangkutan segera akan mcngetahui dalam keseluruhnya, semua hal yang memberatkan dirinya, sehingga dengan demikian ia akan memperoleh kesempatan untuk menghilangkan sebanyak mungkin bukti-bukti atas kesalahannya. Sifat perdata dari penuntutan tersebut menyebabkan pula bahwa kerapkali sesuatu tuntutan pidana tidak dilakukan oleh orang yang dirugikan, karena takut terhadap pembalasan dendam atau ia tidak mampu untuk mengungkapkan kebenaran dari tuntutannya, sebab kekurangan alat-alat pembuktian diperlukan. Dengan demikian banyaklah pembuat tindak pidana yang sebenarnya terang bersalah tidak dapat dijatuhi pidana. Atas dasar dan alasan di atas siatif tuntutan pidana tersebut, dari perseorangan, dan menyerahkannya kepada suatu badan nagara yang khusus diadakan untuk itu ialah openbaar Ministerie atau Openbaar Aangklager, yang kita kenal sebagai Penuntut Umum. Sejak saat itu suatu tindak pidana yang merugikan kepentingan anggota masyarakat, akhirnya dianggap sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentraman masyarakat, dan bukan saja menyerang kepentingan pribadi seseorang saja. Tuntutan pidana bukanlah soal pribadi lagi, tetapi persoalan kepentingan umum dan oleh karena itu segala penuntutan pidana haruslah Pemerintah melakukan atas nama masyarakat. Sejak itu Penuntut umum atas nama Pemerintah yang menuntut semua pelanggaran undang-undang di muka pengadilan, dan setelah Hakim menjatuhkan putusan, ia pulalah yang menjalankan (eksekusi) putusan tersebut.
89
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
3. Tugas dan wewenang penuntut umum Di dalam Pasal 13 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dalam pada itu Pasal 1 Undang-undang Pokok Kejaksanaan (UU No. 15 tahun 1961) menyatakan, Kejaksaan RI selanjutnya disebut Kejaksaan ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum. Istilah Jaksa berasal dari Jawa dan ia adalah suatu jabatan yang menunjukkan arti "pegawai tinggi", dan dahulu tugasnya bahkan ada yang mirip dengan tugas hakim. Namun, seperti telah diuraikan di muka bahwa lembaga penuntut umum ini berasal dari Perancis dalam permulaan abad ke 19. Menurut Pasal 14 KUHAP, penuntut umum mempunyai wewenang: a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau pembantu penyidik; b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka menyempurnakan penyidikan dari penyidik, c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan; e. melimpahkan perkara ke Pengadilan; f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. melakukan penuntutan; h. menutup perkara demi kepentingan hukum; i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggungjawab sebagai penuntut umum menurut undangundang, j. melaksanakan penetapan hakim. Di dalam penjelasan Pasal tersebut dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan "tindakan lain" ialah antara lain 90
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan Pengadilan. Setelah penuntut umum menerima hasil penyidikan dari penyidik, ia segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas; penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum (Pasal 138 KUHAP). Adapun yang dimaksud dengan "meneliti" di sini adalah tindakan penuntut umum dalam mempersiapkan penuntutan (prapenuntutan) apakah orang dan atau benda yang dalam hasil penyidikan telah sesuai telah memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk kepada penyidik. Setelah penuntut umum menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari ienyidik ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak diadakan penuntutan. 4. Surat Dakwaan Menurut Pasal 140 KUHAP, apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dari penyidik dapat dilakukan penuntutan, maka ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Yang dimaksud dengan surat dakwaan adalah suatu surat atau akte yang membuat perumusan dari tindak pidana yang didakwakan yang sementara dapat disimpulkan dari hasil penyidikan dari penyidik yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan di sidang pengadilan. Surat dakwaan ini adalah sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana, sebab dialah yang merupakan dasarnya, dan menentukan batas-batas bagi pemeriksaan hakim. Memang pemeriksaan itu tidak batal, jika batas-batas 91
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
tersebut dilampaui, tetapi putusan hakim hanya boleh mengenai fakta yang terletak dalam batas-batas itu, dan tidak boleh kurang atau lebih. Oleh karena itu ia dipandang suatu litis contcstatio. Surat dakwaan dikenal sebagai tyranieke macht van de dagvaarding in het straf process, dan memang sebenarnya ia adalah seorang tyran yang insyaf akan kekuatannya duduk di atas singgasananya. Adapun tujuan utama surat dakwaan adalah bahwa undang-undang ingin melihat ditetapkannya alasan-alasan yang menjadi dasar penuntutan sesuatu peristiwa pidana, untuk itu sifat-sifat khusus dari suatu tindak pidana yang telah dilakukan itu harus dicantumkan dengan sebaik-baiknya. Terdakwa harus dipersalahkan karena telah melanggar sesuatu peraturan bukum pidana, pada suatu saat dan tempat tertentu, serta dinyatakan pula keadaan-keadaan sewaktu melakukannya. Menyebut waktu, tempat dan keadaan, menunjukkan pada kita bahwa dakwaan itu tertuju pada perbuatanperbuatan atau peristiwa-peristiwa tertentu yang dispesialisasikan dan diindividualisir, jadi misalnya bukanlah pencurian atau penipuan pada umumnya tetapi pencurian atau penipuan yang konkrit. Dalam pada itu kepentingan surat dakwaan bagi terdakwa adalah bahwa ia mengetahui setepat-tepatnya dan setelititelitinya apa yang didakwakan kepadanya sehingga ia sampai pada hal yang sekecil-kecilnya untuk dapat mempersiapkan pembelaannya terhadap dakwaan tersebut. Adapun syarat-syarat dakwaan menurut Pasal 143 (2) KUHAP adalah : a. syarat formil b. syarat materiil Ad a.Dalam surat dakwaan harus disebut : nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; Ad b.Surat dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan 92
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Syarat formil di atas untuk menentukan identitas terdakwa, hal ini menunjukkan bahwa proses pidana ditujukan terhadap seorang terdakwa yang konkrit serta tertentu. Dalam pada itu tidakah dapat ditentukan suatu ukuran objektif, untuk menentukan bahwa suatu surat dakwaan adalah jelas dan tidak kualitatif. Persoalan, apakah surat dakwaan telah cukup jelas atau tidak, haruslah dipecahkan menurut keadaan yang konkrit dari keadaan mana dapat ditentukan apakah terdakwa dirugikan atau tidak untuk kepentingan pembelaannya55. Jika terdakwa dari pembelaannya menunjukkan bahwa ia mengetahui tentang hal yang didakwakan, maka tidak dapat diterima alasan jika ia menuntut pembatalan surat dakwaan, karena isinya tidak jelas. Mengenai pembatalan surat dakwaan menurut Nederburgh ada dua macam, yaitu: pembatalan yang formil (formele nietigheid) pembatalan yang hakiki (wezenlijke nietigheid) pembatalan yang hakiki ini juga disebut pembatalan yang esensiil atau yang substansiil. Pembatalan yang formil adalah pembatalan yang disebabkan karena tidak memenuhi syarat-syarat mutlak yang ditentukan sendiri oleh undang-undang, yaitu sesuatu yang diharuskan undang-undang (batal demi hukum). Pembatalan yang hakiki adalah pembatalan menurut penilaian hakim sendiri, yang disebabkan kerena tidak dipenuhi suatu syarat yang dianggap esensiil, misalnya karena pembuatan surat dakwaan yang sedemikian tidak jelas, sehingga dari isinya tidaklah dapat dilihat sebagai surat seperti yang dikehendaki oleh undang-undang, dan oleh karena itu Abdussalam, dan Zen Zanibar, 1998, “Refleksi Keterpaduan Penyidikan Penuntutan, Dan Peradilan Dalam Penanganan Perkara,”Dinas Hukum Polri, Jakarta, hlm : 132 bahwa yudec factie telah salah dan tidak menerapkan ketentuan Pasal 144 ayat (2) KUHAP, karena yudec factie (Pengadilan Tinggi) telah membenarkan adanya perubahan surat dakwaan telah melampaui waktu, karena surat dakwaan yang baru/kedua yang aslinya ada bekas tip ex, di mana sebenarnya tertulis tanggal 25 Januari 1994 diubah menjadi tanggal 24 Januari 1994, padahal ketua Pengadilan Negeri Surabaya yang memeriksa dan mengadili perkara ini telah menetapkan persidangan pada tanggal 31 Januari 1994, yang berarti tenggang waktu untuk surat dakwaan itu melebihi waktu yang ditetapkan dalam Pasal 144 ayat (2) KUHAP Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai. 55
93
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
sama sekali tak dapat memenuhi tujuan yang sebenarnya. Dakwaan yang kabur dan tidak jelas seperti itu biasa dinamakan obscuur libel atau dalam bahasan latin obscuri libelli. Dalam hal pertama, bukanlah hakim, tetapi pembuat undang-undang yang menentukan perbuatan atau penetapan mana karena pembatalan tersebut tidak mempunyai efek, tanpa mempersoalkan apakah kesalahan tersebut bersifat penting atau tidak, dalam hal demikian hakim harus menyatakan batal secara formil, karena ada sesuatu kekurangan yang disyaratkan undang-undang. Dalam hal kedua, segala sesuatunya akan diserahkan kepada penilaian hakim, dan akan tergantung pada maksud dan tujuan dari syarat-syarat yang ditentukan, apakah hakim akan membatalkan effek dari sesuatu penetapan atau perbuatan yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Tentang cara merumuskan dakwaan itu, ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu: a. harus mengandung lukisan dari apa yang senyatanya terjadi (feitelijke weegave); b. dalam lukisan itu harus ternyata pula unsur yuridis dari tindak pidana yang didakwakan (juridische elementen). Jadi tindak pidana yang didakwakan harus digambarkan sejelas mungkin dengan menyebut nama tempat, waktu dan cara terjadinya. Oleh karena itu terlebih dahulu pembuat dakwaan penganalisa dengan saksama perbuatan yang telah dilakukan, serta memberikan uraian dari delik, kejadian dalam mana kira-kira yang telah dilakukan itu hendaknya dimasukkan. Jika ia telah sampai begitu jauh, maka ia harus mengarah langsung kesasarannya dengan jalan mendakwa terdakwa telah melakukan (atau melalaikan) perbuatan-perbuatan tertentu, dalam keadaan tertentu pula dan ia harus benar-benar berhatihati sehingga semua unsur delik tersebut sesuai dengan yang ditentukan Undang-Undang dapat ditemukan kembali dalam dakwaan tersebut. Jadi membuat dakwaan bukanlah hal yang mudah, jika pada waktu membuatnya perhatian ditujukan pada fetelijke weergave saja, ada bahayanya bahwa lukisan itu tidak 94
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
termasuk semua unsur delik. Sebaliknya apabila ditujukan pada rumusan delik, ada bahaya bahwa yang dirumuskan itu kurang konkrit, yaitu hanya dengan kata-kata yang bersifat yuridis belaka. Oleh karena itu sewaktu melukiskan perbuatannya itu sebaiknya mengambil undang-undangnya, dan diteliti lagi apakah dalam lukisan tersebut sudah tidak ada unsur delik yang ketinggalan. Yang disebut unsur (elemen) delik adalah bagian uraian delik sesuatu tindak pidana. Kejahatan pencurian misalnya, yang dapat dipidana menurut Pasal 362 KUHP, memuat unsur-unsur sebagai berikut: mengambil sebagai perbuatan delik yang sebenarnya; pengambilan harus mengenai sesuatu barang; barang tersebut harus seluruhnya atau sebagian merupakan milik orang orang lain; pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki dengan melawan hukum. Bersifat melawan hukum dalam ajaran agama disebut melampaui batas/melanggar batas. Firman Allah Al Qur’an, Juz 2, Surat ke 2 Al Baqarah (Sapi Betina) ayat 190 “Dan perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas56.” Al Qur’an Juz 4, Surat ke 3 Ali Imran (Keluarga Imran) ayat (200) “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga diperbatasan negerimu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung” Dengan cara demikian kita dapat membedakan bermacam-macam unsur yang tergantung dari isi uraian delik yang bersangkutan. Jika kita ingin sesuatu tuntutan pidana berhasil dengan pemidanaan, maka unsur-unsur tersebut, yang kesemuanya dinamakan uraian delik, haruslah dikemukakan secara nyata dalam mendakwakan perbuatan itu. Di sidang pengadilan, hakim harus melakukan pemeriksaan apakah unsur-unsur dari 56
Achmad Chodjim, 2003, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga -Penulis Syekh Siti Jenar dan Alfatihah, Serambi, Jakarta, hlm : 301 Catatan : Yang dimaksud melampaui/melanggar batas, misalnya membunuh orang yang menyerah, membunuh tawanan, membunuh orang yang tak berdaya, atau membunuh anggauta keluarga musuh yang tidak ikut berperang, memeras atau korupsi.
95
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
perbuatan tersebut seperti dinyatakan dalam surat dakwaan itu, dapat dibuktikan atau tidak. Dalam musyawarah hakim (raadkamer) yang diadakan setelah pemeriksaan di persidangan selesai, ia harus mempertimbangkan apakah unsur-unsur yang dinyatakan dan telah diperiksa tersebut dapat dibuktikan. Apabila ia berpendapat bahwa salah satu atau lebih unsur tidak terbukti ia harus memutus bebas (vrijspraak). Jika ia menganggap unsur-unsur tersebut terbukti dan menurut pertimbangannya sesuai dengan uraian delik, maka ia menyatakan perbuatan tersebut terbukti dan kemudian harus diterangkannya pula bahwa perbuatan yang telah terbukti itu dapat dipidana. Jika dalam hal demikian ia menganggap bahwa terdakwa memang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, maka ia harus menjatuhkan pidana. Juga dapat terjadi bahwa salah satu atau unsur yang harus dimuat dalam surat dakwaan tidak dinyatakan, misalnya dalam dakwaan pencurian Penuntut Umum lupa menyebut bahwa pengambilan barang tersebut adalah dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum. Dalam hal demikian berarti bahwa tidak ada pelanggaran sesuatu tindak pidana. Hal yang didakwakan mungkin pula dapat dianggap terbukti, tetapi tidak merupakan perbuatan yang dapat dihukum. Dalam hal ini hakim harus memutus lepas dari tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging). Dalam pada itu mengenai hal-hal yang menyangkut perbuatan yang didakwakan, maka uraian tersebut akan menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tindak pidana yang bersangkutan secara konkrit. Agar mendapat gambaran yang lebih jelas, perlu kiranya dirinci hal-hal apakah dari perbuatan tersebut pada umumnya yang harus mendapat perhatian pembuat dakwaan untuk menyatakan atau ditonjolkan. Dalam menguraikan suatu tindak pidana, pada umumnya harus dinyatakan: 1. perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa; 2. bagaimana caranya ia melakukannya; 96
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
3. upaya-upaya apakah yang telah dipergunakan dalam pelaksanaannya; 4. terhadap siapakah tindak pidana itu ditujukan secara langsung atau tidak langsung; 5. bagaimanakah sifat dan keadaan orang yang telah menjadi korban; 6. bagaimana sifat dari terdakwa sendiri; 7. apakah obyek dari delik yang bersangkutan; 8. dan sebagainya. Dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa belumlah tentu segala sesuatu yang dimuat harus diuraikan dalam setiap dakwaan, tetapi dinyatakannya atau tidak hal-hal tersebut tergantung pada unsur-unsur tindak pidana yang bersangkutan atau keadaan-keadaan konkrit yang terjadi. Misalnya saja sifat ataupun keadaan dari orang yang menjadi korban: kejahatan tersebut ataupun dari terdakwa biasanya tidaklah dipersoalkan. Namun adakalanya hal-hal itu berpengaruh terhadap pemidanaan sesuatu tindak pidana. Seperti dalam Pasal 285, 286, 287, KUHP, disyaratkan bahwa korban dari kejahatan tersebut haruslah seorang wanita, dalam Pasal 288 KUHP korban wanita tersebut harus belum pantas dikawini, dalam Pasal 137 KUHP, kejahatan tersebut harus ditujukan terhadap Presiden, sedang untuk kejahatan-kejahatan Jabatan di perlukan syarat seseorang itu adalah pegawai Negeri. Dalam mendakwa perbuatan-perbuatan dalam tindak pidana tersebut di atas sifat dan keadaan setiap korban tersebut harus dinyatakan dalam surat dakwaan, sedang dalam mendakwa kejahatan-kejahatan lain tidak menjadi persoalan apakah si korban itu pegawai Negeri, pedagang, laki-laki atau wanita. Dalam pada itu mengenai penyebutan waktu dan tempat tindak pidana dimaksudkan, agar tersangka mengetahui setepat-tepatnya perbuatan yang didakwakan padanya, yaitu di mana serta kapan hal itu telah dilakukannya. Mengenai penyebutan waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana tersebut (tempus et locus delicti) ini sangat penting untuk pembelaan tersangka. 97
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Salah satu cara untuk melakukan pembelaan terhadap suatu dakwaan, adalah dengan mengemukakan apa yang dinamakan "alibi". Jika terdakwa mengajukan alibi dalam pembelaannya, maka ini berarti bahwa ia pada waktu yang disebut dalam surat dakwaan sebagai telah melakukan perbuatan tersebut, justru tidak berada di tempat terjadinya kejahatan tersebut. Alibi ini haruslah dibuktikan, dengan bukti-bukti yang dapat meyakinkan hakim. Jika hakim dapat membenarkan alibi tersebut, maka terdakwa akan dibebaskan. Untuk dapat membuktikan ini, ia harus dapat mengetahui di mana dan kapan menurut surat dakwaan tersebut perbuatan itu dilakukan. Di samping itu pemuatan waktu tersebut adalah untuk kepentingan beberapa persoalan yang berhubungan dengan hukum pidana sebagai berikut: a. Berlakunya Pasal 1 ayat (1) atau ayat (2) KUHP. Pembuat surat dakwaan harus dengan sendirinya mengetahui apakah pada waktu terjadinya tindak pidana tersebut, telah ada peraturan hukum yang menghukumnya, ataukah suatu peraturan yang sudah ada telah dicabut sebelumnya. Selain itu penting juga diketahui tentang kemungkinan perubahan undang-undang. b. Semua hal dalam mana unsur terdakwa atau korban sewaktu melakukan kejahatan tersebut memegang peranan penting misalnya terdakwa anak-anak dan delik susila yang memuat persyaratan tentang umur terdakwa. c. Berhubungan dengan daluwarsa (Pasal 78 sampai dengan Pasal 82 KUHP). Dengan mengetahui waktu terjadinya kejahatan, maka dapatlah dihitung apakah suatu tindak pidana tersebut telah daluwarsa atau belum. d. Semua hal, di mana untuk dapat dipidananya suatu perbuatan disyaratkan, bahwa hal tersebut dilakukan dalam waktu perang, misalnya Pasal 124, 126, 127 KUHP. e. Penentuan adanya recidive (Pasal 486/488 KUHP). f. Penentuan apakah pencurian itu dilakukan pada waktu malam menurut Pasal 363. Adapun penyusunan dakwaan secara teknis dapat dilakukan sebagai berikut: a. dakwaan tunggal; 98
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
b. dakwaan alternatif; c. dakwaan subsidiair; d. dakwaan kumulatif; e. dakwaan campuran. Ad a. dakwaan tunggal Di dalam dakwaan tunggal ini terdakwa didakwa satu perbuatan saja, tanpa diikuti dengan dakwaan-dakwaan lain atau tanpa ada alternatif dakwaan lainnya. Bentuk dakwaan tunggal semacam ini jarang dipergunakan kecuali dalam Perkara pidana yang sifatnya sangat sederhana, sebab mengandung risiko besar. Jika dakwaan tersebut tidak dapat dibuktikan, yang berarti terdakwa dibebaskan, maka sukar bagi penuntut umum untuk menuntut terdakwa untuk kedua kalinya, dengan dakwaan yang lebih tepat sebab ada resiko besar bahwa perbuatan yang dituntut kedua kalinya itu akan dianggap oleh hakim sebagai perbuatan yang sama dengan yang pertama, sehingga hakim menolak tuntutan Jaksa berdasarkan asas non bis in idem (Pasal 76 KUHP). Ad b. dakwaan alternatif Kepada terdakwa secara faktual didakwakan lebih dari satu tindak pidana, tetapi pada hakekatnya ia hanya didakwa atau dipersalahkan satu tindak pidana saja. Dinamakan alternatif sebab dakwaan-dakwaan tersebut satu sama lain saling mengecualikan dan merupakan alternatif. Dakwaan semacam ini dibuat jika hasil pemeriksaan menurut pendapat penuntut umum masih meragukan tentang jenis tindak pidana apa yang tepat harus didakwakan. Sebagai contoh misalnya penuntut umum masih ragu-ragu apakah perbuatan terdakwa itu sebaiknya dikualifisir sebagai pencurian atau penggelapan. Jadi dalam hal ini ada keragu-raguan tentang jenis tindak pidananya. Biasanya dalam dakwaan alternatif ini dipakai kata "atau" di antara delik-delik yang didakwakan. Ad c. dakwaan subsidiair Sama halnya dakwaan alternatif, di mana terdakwa didakwakan lebih dari satu dakwaan, tetapi pada prinsipnya ia hanya dipersalahkan satu tindak pidana saja. Maka sebagai 99
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
konsekuensi pembuktiannya apabila salah satu dakwaan telah terbukti, dakwaan-dakwaan selebihnya tak perlu dibuktikan lagi. Dalam dakwaan subsidiair ini, pertama-tama didakwakan dakwaan yang terberat, kemudian apabila dakwaan primairnya tidak terbukti, baru membukakan dakwaan yang subsidair, dan begitu seterusnya pada dakwaan yang terakhir adalah dakwaan yang paling ringan. Kalau dalam dakwaan alternatif, penuntut umum belum dapat menilai perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut dengan nyata, sehingga ia juga belum pasti mengetahui perbuatan apa yang akan terbukti, tetapi dalam dakwaan subsidair ini perbuatan tersebut menurut penilaian penuntut umum sudah nyata hanya ia ragu-ragu tentang Pasal pidana yang akan diterapkan hakim. Sebagaimana diuraikan di muka, bahwa dalam keadaan alternatif yang masing-masing saling mengecualikan satu sama lain, maka dalam hal ini hakim harus mengadakan pilihan dan ia bebas sama sekali untuk menyatakan terbukti dakwaan kedua misalnya, tanpa terlebih dahulu memberikan putusan terhadap dakwaan pertama. Hal ini adalah lain dengan dakwaan subsidair, di mana hakim terlebih dahulu harus memeriksa dakwaan primair, dan jika tidak terbukti barulah diperiksa dakwaan subsidair dan seterusnya. Akhirnya dapatlah disimpulkan bahwa salah satu perbedaan yang prinsipil antara dakwaan alternatif dengan dakwaan subsidair adalah bahwa pada dakwaan alternatif hakim boleh memilih antara dakwaan yang pertama, kedua atau seterusnya untuk diperiksa terlebih dahulu, sedang pada dakwaan subsidair ia harus memeriksa pertama-tama dakwaan primair, dan jika tidak terbukti baru memeriksa dakwaan subsidair dan seterusnya. Ad d. dakwaan kumulatif Dalam dakwaan kumulatif ini kepada terdakwa didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus, sedang tindak pidana itu harus dibuktikan keseluruhannya sebab tindak pidana-tindak pidana itu harus dibuktikan keseluruhannya, 100
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
sebab tindak pidana-tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Oleh karena itu hakim harus memutuskan terbukti atau tidaknya setiap dakwaan satu demi satu, jika dakwaan yang satu terbukti harus dibebaskan. Demikian pula kalau satu dari dakwaan tersebut dibatalkan, maka dakwaan mengenai perbuatan lainnya masih berlaku. Biasanya dalam bentuk dakwaan kumulatif ini dipakai istilah : kesatu, kedua, ketiga dan seterusnya. Ad e. dakwaan campuran Bentuk dakwaan campuran ini sebetulnya merupakan bentuk gabungan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif ataupun subsidiair. Jadi terdakwa di samping didakwakan secara kumulatif, masih didakwakan secara alternatif maupun subsidiair. Dalam pada itu, KUHAP mengatur pula mengenai perubahan surat dakwaan sebagaimana dimuat dalam Pasal 144. Menurut Pasal 144 KUHAP, penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, dan perubahan surat dakwaan ini hanya dapat dilakukan satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum persidangan dimulai. Sidang dimulai apabila sidang telah dibuka oleh hakim ketua sidang. Ini berarti bahwa tidak dimungkinkan adanya perubahan surat dakwaan yang dilakukan oleh penuntut umum selama atau setelah sidang dimulai. Selanjutnya apabila penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau Penasihat hukum dan penyidik. Apabila dilihat dari segi perkembangan dan pertumbuhan Kejaksaan sebagai lembaga penuntut umum di negara kita, maka ia sekarang telah menjadi lembaga Penuntut umum yang penuh (volwaardig), sebab KUHAP telah memberikan Kewenangan kepada jaksa untuk membuat serta mengubah surat dakwaan, yang sebelumnya menurut HIR hal ini merupakan wewenang hakim.
101
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
5. Penggabungan perkara (voeging) dan pemisahan perkara (splitsing) Pada umumnya tiap-tiap perkara diajukan sendiri dalam sidang Pengadilan. Akan tetapi apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntut umum menerima berkas perkara dari penyidik ia dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan. Menurut Pasal 141 KUHAP kemungkinan untuk menggabungkan perkara ini dalam hal: a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain; c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Jadi gagasan-gagasan untuk menggabungkan perkara ini bahwa penggabungan itu dipandang lebih baik bagi pemeriksaan perkara itu sendiri. Yang menjadi pertanyaan kini adalah apa yang dimaksud dengan "tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain tersebut". Suatu tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain, apabila tindak pidana tersebut dilakukan: a. oleh lebih dari seorang yang bekerjasama dan dilakukan pada saat bersamaan;, b. oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya; c. oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain. Untuk sekedar memberikan gambaran mengenai hal-hal tersebut di atas, di bawah ini diuraikan contoh masing-masing sebagai berikut: 102
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Ad a. suatu perampokan yang dilakukan oleh beberapa orang di satu rumah. Ad b. jika perampokan tersebut dilakukan bukan di satu rumah tetapi beberapa rumah dan pada waktu yang berlainan atas dasar permufakatan terlebih dahulu. Ad c. apabila para perampok itu sebelum melakukan perampokan merampas senjata api dari seorang agen Polisi, yang selanjutnya menggunakannya untuk merampok. Atau setelah merampok, perampok tersebut merampas mobil yang sedang diparkir di jalan untuk melarikan diri dan menghindari pemidanaan. Pertanyaan selanjutnya yaitu apa yang dimaksud dengan tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu sama lain, tetapi ada hubungannya. Dalam hal ini misalnya dua orang yang masing-masing melakukan penganiayaan satu sama lain (berkelai). Sebagai kebalikan dari penggabungan perkara (voeging) adalah pemisahan perkara (splitsing). Menurut Pasal 142 KUHAP dalam hal penuntut umum menerima satu berkas yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141 KUHAP, ia dapat melakukan penuntutan terhadap masingmasing tersangka secara terpisah. Perlu dikemukakan di sini, bahwa di samping pengertian voeging seperti diuraikan di atas, di dalam Bab XIII KUHAP dikenal pula penggabungan perkara perdata dan perkara pidana yaitu apabila suatu tindak pidana yang dilakukan tersangka menimbulkan kerugian bagi orang lain. Yang dimaksud dengan "kerugian bagi orang lain" di sini termasuk kerugian pihak korban. Adapun maksud penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana ini adalah supaya perkara gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Menurut Pasal 98 ayat (2) KUHAP, permintaan penggabungan perkara gugatan ganti rugi kepada perkara pidana itu hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan requisitoir, sedang dalam hal penuntut umum tidak hadir, yaitu dalam hal acara 103
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
pemeriksaan cepat (perkara rol), maka permintaan tersebut harus diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusannya. Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana tersebut, maka Pengadilan menimbang: 1. tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut; 2. tentang kebenaran dasar gugatan; 3. tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut. Dalam hal gugatan tersebut dapat diterima, putusan hukum memuat, tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Dan putusan mengenai ganti kerugian ini dengan sendirinya mendapat kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap. Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding. Sebaliknya jika terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan pula (Pasal 100 KUHAP). Dalam pada itu seperti ditentukan dalam Pasal 101 KUHAP, bahwa ketentuan-ketentuan dari aturan hukum Acara Perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian ini sepanjang dalam KUHAP tidak ditentukan lain. 6. Penghentian penuntutan dan Penyampingan perkara Yang dimaksud dengan penuntutan ialah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dengan suatu tuntutan (permintaan) supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan. Di bidang penuntutan ini dikenal dua buah asas, yaitu asas apportunitas dan asas legalitas. Selain harus memenuhi ketentuan pasal 21 ayat (4) huruf a dan huruf b, harus ada standar seorang dapat diajukan keperadilan pidana jika didukung bukti yang cukup yang “sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, menurut penilaian penyidik benar104
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
benar telah terjadi tindak pidana, dan menunjukkan bahwa tersangkalah yang telah melakukan perbuatan “57. Peran Kepolisian dalam penegakan hukum, menuju mekanisme penegakan hukum yang ideal, tidak hanya mengadili dan menghukum”, akan tetapi juga mengupayakan musyawarah untuk mewujudkan perdamaian berdasarkan keadilan (rstorative justice) dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia58. Asas opportunitas menghendaki, walaupun bukti-bukti cukup tentang kesalahan tersangka, tetapi jika penuntut umum berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugiannya bagi kepentingan umum dengan menuntut tersangka tersebut daripada tidak menuntutnya, maka ia berwenang untuk mcnyampingkannya (menceponir). Adapun sebagai dasarnya, adalah bahwa jika penuntut umum sebagai wakil masyarakat demi kepentingan umum harus menindak dan menuntut setiap pelanggaran undangundang, maka sebaliknya adalah tepat dan wajar, apabila kepentingan umum yang menghendaki bahwa sesuatu kejahatan tidak perlu dituntut maka penuntut umumpun haruslah berhak pula tidak menuntutnya. Mungkin unsur-unsur keamanan, ketertiban dan kemanfaatan dalam suatu kasus tertentu dipertimbangkan lebih besar daripada unsur-unsur keadilan sehingga dalam kasus tersebut adalah lebih mendekati tujuan hukum kalau penuntutannya tidak dilakukan. Secara tegas asas opportunitas ini dicantumkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kejaksaan (UU No. 15 tahun 1961), yang menyatakan bahwa Jaksa Agung dapat 57
Suparmin, 2008, Reorientasi Peran Polri Dalam Penyelesaian Konflik Politik; Studi Socio-Legal menuju Mekanisme Ideal Penegakan Hukum (Konflik Antarpendukung Partai Politik di Provinsi Jawa Tengah, Semarang 2008, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, hlm : 358 bahwa tindak pidana “terbukti” apabila sangkaan telah memenuhi “bukti yang cukup” sehingga Berkas Perkaranya lengkap (P21) diterima oleh Jaksa Penuntut Umum hingga dapat diajukan kepersidangan, telah sejalan dengan Pasal 183 KUHAP, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 58
Suparmin, 2013, Revitalisasi Hukum Kepolisian Dari Perspektif Analisa SWOT (Strength Weakness Opportunity Threat) Guna Problem Solving Tingkat Tinggi Untuk Intensitas Keamanan Dalam Negeri, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm : 107-108 bahwa, Asas kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan yang dilaksanakan dalam penegakan hukum.
105
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum. Dengan demikian maka hak opportunitas ini hanya diletakkan dalam tangan Jaksa Agung saja dan bukan setiap Jaksa. Ini merupakan jaminan hukum (legal guarantee) bahwa hanya satu pejabat saja yang berwenang dan tentunya bertanggung jawab. Bahkan menurut penjelasannya Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kejaksaan apabila Jaksa Agung hendak menyampaikan perkara harus senantiasa bermusyawarah terlebih dahulu dengan pejabat-pejabat tinggi lain yang ada sangkut pautnya dalam penuntutan, misalnya Kapolri, Menhankam dan kalau perlu langsung pada Presiden. Asas opportunitas tersebut tidaklah ditafsirkan secara positif tetapi secara negatif, yaitu bahwa penerapannya haruslah selalu merupakan suatu keistimewaan (uitzondering), terhadap kewajiban umum untuk melakukan penuntutan terhadap setiap tindak pidana. Sejalan dengan pesatnya perkembangan kegiatan transaksi perbankan, besarnya jumlah dana masyarakat yang berhasil dihimpun dan disalurkan dengan penggunaan teknologi yang semakin canggih, maka peluang terjadinya penyimpangan dibidang perbankan baik yang disengaja atau kurang hati-hatinya, baik yang bersifat administratif, perdata maupun pidana juga semakin terbuka lebar59. Penafsiran secara positif berarti bahwa suatu penuntutan barulah dapat dilakukan, jika telah dipenuhi syarat-syarat formil dan harus dianggap perlu demi kepentingan umum, sehingga Jaksa tidak akan menuntut suatu perkara, sebelum unsur kepentingan umum tersebut telah dapat dipenuhi, yaitu apakah suatu penuntutan itu benar-benar dikehendaki oleh penuntut umum atau tidak. Adapun tujuan asas opportunitas ini tidak lain hanya untuk memperlunak ketajaman yang terdapat pada asas legalitas, yang menghendaki apabila terjadi suatu tindak pidana maka penuntut umum wajib menuntut setiap orang 59
Suparmin, 2007, Kapita Selekta Aneka Persoalan Di Bidang Hukum Ekonomi & Hukum Pidana Khusus,Wahid Hasyim University Press, hlm : 184 Dalam hubungan ini, upaya perlindungan atas keamanan dana masyarakat perlu ditingkatkan. Perlindungan dana masyarakat yang disimpan pada Bank dapat ditempuh melalui berbagai upaya antara lain dengan memberikan pedoman kepada bank-bank untuk melakukan kegiatan usaha bedasarkan prinsip kehatihatian (prudenctial regulation).
106
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
yang telah melanggar undang-undang pidana tersebut. Dalam arti keharusannya untuk menuntut pidana asas legalitas mempunyai banyak pengikut terutama di Jerman, di mana sejak akhir abad yang lalu titik tolak dari tindakan yustisial adalah bahwa pelanggaran undang-undang harus dituntut. Ini berlaku juga di Austria, Spanyol dan Italia. Seperti telah diuraikan di muka bahwa sejak jaman Hindia Belanda dahulu, negara kita memakai asas opportunitas yang menentukan bahwa pemerintah berwenang tetapi tidak berkewajiban menurut undang-undang untuk menuntut semua tindak pidana dan karena alasan-alasan opportunitas dapat mengabaikan itu. Dalam pada itu suatu perkara dapat pula dihentikan penuntutannya oleh penuntut umum jika ia berpendapat bahwa dari hasil penyidikan tidak dapat dilakukan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana atau perkara harus ditutup demi hukum (Pasal 140 ayat 2 KUHAP). Dalam hal demikian maka penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Isi surat ketetapan tersebut kemudian diberitahukan kepada tersangka atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, Penyidik dan hakim. Perlu dikemukakan di sini bahwa hal penghentian penuntutan ini kemungkinan adanya penuntutan kembali masih tetap terbuka, jika kemudian ternyata ada bukti-bukti baru. 7. Tata Cara melakukan penuntutan Sebagaimana diketahui ada tiga jenis perkara di pengadilan. Adapun sebutan dari tiga perkara itu disesuaikan dengan cara melakukan penuntutannya atau cara pemeriksaanya, ialah sebagai berikut: 1. perkara cepat, yang terdiri atas : a. perkara cepat tindak pidana ringan, dan b. perkara cepat lalu lintas. 2. perkara singkat; 3. perkara biasa.
107
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Ad 1. Perkara Cepat Tindak Pidana Ringan Menurut Pasal 205 KUHAP, yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan masalah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 KUHAP. Acara pemeriksaannya disebut acara pemeriksaan cepat. Dalam perkara ini penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa, beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke Sidang Pengadilan. Untuk mengadili perkara tindak pidana ringan ini Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari dan pengadilannya dilakukan dengan Hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir. Ini berarti putusan hakim tidak dapat dimintakan banding, kecuali apabila hakim menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan maka terdakwa dapat minta banding. Menurut Pasal 207 KUHAP, Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari, tanggal, jam dan tempat ia harus menghadap sidang Pengadilan dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh penyidik, selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke Pengadilan. Perkara yang diterima Pengadilan harus segera disidangkan pada hari itu juga. Hakim yang bersangkutan memerintahkan panitera mencatat dalam buku register semua perkara yang diterimanya dengan masing-masing diberi nomor untuk dapat diselesaikan secara berurutan. Dalam buku register tersebut dimuat identitas terdakwa serta apa yang didakwakan kepadanya. Ini berarti bahwa dalam acara pemeriksaan cepat ini tidak diperlukan surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum seperti untuk pemeriksaan dengan acara biasa, melainkan tindak pidana yang didakwakan cukup ditulis dalam buku register tersebut. Dalam acara pemeriksaan cepat ini saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji, kecuali apabila hakim menganggap perlu (Pasal 208 KUHAP). Putusan dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan selanjutnya oleh Panitera dicatat dalam buku register 108
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
serta ditanda tangani oleh hakim yang bersangkutan dan Panitera. Dalam acara cepat ini berita acara sidang tidak perlu dibuat, kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik (Pasal 209 KUHAP). Ad 1b. Perkara Cepat Lalu Lintas Menurut Pasal 211 KUHAP, yang diperiksa dengan acara cepat ini adalah perkara pelanggaran lalu lintas tertentu. Jadi tidak semua pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan lalu lintas. Yang diperiksa menurut acara ini adalah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundangundangan lalu lintas60. Untuk perkara pelanggaran lalu lintas ini tidak diperlukan berita acara pemeriksaan, oleh karena itu catatan dari penyidik segera diserahkan kepada Pengadilan selambatlambatnya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya. Berbeda dengan cara pemeriksaan biasa, maka pemeriksaan menurut cara pemeriksaan lalu lintas ini, terdakwa dapat diwakilkan di Sidang. Dalam hadirnya terdakwa (vonnis bij verstek). Di dalam putusan verstek ini apabila putusan hakim itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, maka terdakwa dapat mengajukan perlawanan (versert) dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada Pengadilan yang menjatuhkan itu. Apabila diajukan versert, menurut hukum putusan versteknya menjadi gugur. Setelah panitera memberitahukan kepada penyidik tentang perlawanan itu hakim menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara tersebut. Jika putusan setelah diajukan perlawanan itu tetap berupa pidana perampasan kemerdekaan, maka terdakwa dapat mengajukan banding. Sesuai dengan makna yang terkandung dalam acara pemeriksaan cepat, segala sesuatu berjalan dengan cepat dan tuntas, maka menurut Pasal 215 KUHAP benda sitaan dikembalikan kepada yang paling berhak setelah putusan 60
Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad Sentosa, 1986, Op Cit hlm : 308 Acara yang dipakai berlaku ketentuan acara dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan. Jika putusan setelah adanya perlawanan tersebut tetap merupakan pidana perampasan kemerdekaan, maka terdakwa dapat mengajukan banding.
109
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dijatuhkan, jika terpidana telah memenuhi isi amar putusan itu. Ad 2. Perkara Singkat Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat adalah perkara pidana yang menurut penuntut umum pembuktiannya mudah, penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana (Pasal 203 KUHAP). Dalam perkara ini penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti ke sidang Pengadilan. Pada permulaan sidang, hakim menanyakan kepada terdakwa mengenai identitas serta mengingatkan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang dan setelah terdakwa menjawab segala pertanyaan, penuntutan umum segera memberitahukan dengan lisan dari catatannya tentang tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana itu dilakukan. Pemberitahuan secara lisan ini dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti surat dakwaan. Dalam hal hakim memandang perlu adanya pemeriksaan tambahan, supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama empat belas hari dan bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum belum juga dapat menyelesaikannya, maka hakim memerintahkan perkara ini diajukan ke Sidang Pengadilan dengan acara biasa. Dalam pada itu guna kepentingan pembelaan, maka atas permintaan terdakwa dan atau penasihat hukum, hakim dapat menunda pemeriksaan paling lama tujuh hari. Dalam perkara singkat ini putusan hakim tidak dibuat secara khusus (tersendiri), tetapi cukup dicatat dalam berita acara sidang dan hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut. Ad 3. Perkara biasa Perkara biasa adalah perkara yang sulit pembuktiannya, demikian pula penerapan hukumnya dan merupakan perkara besar diajukan oleh penuntut umum dengan surat pelimpahan perkara (acte van overwijzing) Pasal 143 KUHAP; Surat 110
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
pelimpahan perkara ini harus berisi : surat dakwaan, berkas perkara dan permintaan agar Pengadilan segera mengadili perkara tersebut. Pada waktu penuntut umum melimpahkan perkaranya ke Pengadilan Negeri maka turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada terdakwa atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik. Mengenai ketentuan hukum; Firman Allah Juz 4, Al Qur’an Surat ke-4 An Nisa (Wanita) ayat (13) “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta’at kepada Allah dan Rasul-nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” Firman Allah Juz 4, Al Qur’an Surat ke-4 An Nisa (Wanita) ayat (14) “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. Hadis Nabi, Al-Faqih berkata, “jika kamu mengerjakan perbuatan baik, maka kamu akan mendaptkan pahala kebaikan itu, dan jika kamu mengerjakan perbuatan jelek, maka kamu akan mendapatkan balasan kejelekan itu nanti pada hari kiamat.” Hal itu sesuai dengan firman Allah Ta’ala : “Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri” 61. (QS. Al. Isra: 7). Maksudnya, Allah tidak akan menganiaya seseorang. Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala kebaikan seseorang dan tidak akan menyiksanya tanpa adanya perbuatan dosa. Allah Ta’ala telah menunjukkan jalan yang benar dan telah mengutus Rasul yang mulia sebagai pemberi nasehat kepada umatnya. Allah telah menjelaskan jalan menuju surga dan jalan menuju 61
Al-FaqihAbullaits As-Samarqandi, 1999, Tanbihul Hafilin Nasehat Bagi Yang Lalai 2 (dua), Pustaka Amani, Jakarta, hlm : 74-75 Di dalam kitab-kitab terdahulu disebutkan, bahwa Allah berfirman, “Hamba-Ku, Aku adalah raja yang tidak pernah sirna, maka taatlah Aku dalam semua urusan yang telah aku perintahkan dan jauhilah segala hal yang telah Aku larang, sehingga Aku jadikan kamu hidup, tidak mati.
111
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
neraka. Abu Hurairah r.a. menceritakan dari Nabi Saw., bahwa beliau bersabda : “Perumpamaan antara aku dengan kamu adalah seperti seseorang yang menyalakan api, lantas kupu-kupu (laron) datang berebut (untuk masuk ke). Aku menahan kamu sekalian untuk tidak terjerumus ke dalam api (neraka).”
112
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
BAB V PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN PERKARA KONEKSITAS 1. Pendahuluan Bahwa penyidikan terhadap perkara tindak pidana koneksitas yaitu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan perdadilan militer, dilakukan oleh Tim Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 KUHAP 62. Pada pokok bahasan IV di muka telah diuraikan mengenai penggabungan beberapa tindak pidana yang diperiksa menjadi satu dalam pcrsidangan (voeging). Hal ini bisa dilakukan antara lain apabila ada beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan lainnya. Adanya tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan lainnya itu disebabkan karena adanya unsur turut serta melakukan suatu tindak pidana. Adapun bentuk penyertaan ini antara lain karena adanya orang yang menyuruh lakukan (doen pleger), orang yang turut melakukan (medepleger), orang yang membujuk lakukan (uitlokker) dan orang yang membantu lakukan (medeplichtig). Namun, berbeda dengan apa yang telah diuraikan di muka mengenai penggabungan perkara (voeging), sebab dalam hal perkara pidana koneksitas ini dilakukan dalam hal adanya tindak pidana yang dilakukan bersama-sama antara orang yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer. KUHAP mengatur cara bagaimana penyidikan dampai peradilan yang akan menangani perkara koneksitas ini.
62
Poniman, 1983, Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan Dan Menteri Kehakiman Nomor : KEP.10/M/XII/1983 – Nomor : M.57.PR.09.03Tahun 1983 tentang Pembentukan Tim Tetap Untuk Peyidikan Perkara Pidana Koneksitas Menteri Pertahanan Keamanan Dan Menteri Kehakiman; Pasal 7 ayat (1) Dalam hal perkara pidana koneksitas merupakan tindak pidana tertentu yang diatur dalam Undang-undang tertentu dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP, unsur Kejaksaan atau pejabat penyidik lainnya yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan diikutsertakan sebagai anggota Tim Tetap.
113
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
2. Perkara Koneksitas a. Penyidikan Perkara Koneksitas Yang dimaksud dengan perkara koneksitas adalah tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yurisdiksi peradilan umum dan yurisdiksi peradilan militer. Di dalam Pasal 89 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa penyidikan perkara koneksitas ini dilakukan oleh suatu Tim Tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 KUHAP beserta Polisi Militer ABRI dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing. Tim tersebut dibentuk dengan Surat Keputusan Bersama Menhankam dan Menteri Kehakiman. Menurut Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan dan Menteri Kehakiman Nomor : Kep. 10/M/XII/1983 maka telah dibentuk Tim Tetap Penyidik perkara koneksitas di: a. Pusat dan b Daerah. Adapun Tim Tetap tersebut terdiri dari unsur-unsur: a. Pada Tim Tetap Pusat: 1. Penyidik dari Markas besar Kepolisian Negara Republik Indonesia; 2. Penyidik dari polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada Pusat Polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, disingkat PUSPOMABRI; 3. Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi dari Oditur at Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, disingkat OTJEN ABRI. b. Pada Tim Tetap Daerah: 1. Dalam Daerah Hukum Pengadilan Tinggi: Penyidik dari Markas Komando Daerah Kepolisian Republik Indonesia; Penyidik dari Polisi Militer ABRI pada POM ABRI Daerah; Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi dari Oditur Militer Tinggi. 2. Dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri: Penyidik pada Markas Komando Wilayah Kepolisian Republik Indonesia, Markas Komando Kota Besar 114
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Kepolisian Republik Indonesia, Markas Komando Resort/Resort Kota Kepolisian Republik Indonesia dan Markas Komando Sektor/Sektor Kota Kepolisian Republik Indonesia; Penyidik dari Polisi Militer ABRI pada Detasemen POM ABRI; Oditur Militer dari Oditur Militer. Adapun kedudukan Tim Tetap Pusat berada di Ibukota Negara Republik Indonesia dan tim Tetap Daerah berkedudukan dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Tim Tetap Pusat bertugas melakukan penyidikan terhadap perkara koneksitas a. apabila perkara dan atau tersangkanya mempunyai bobot nasional dan atau internasional; b. apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat dalam lebih dari satu daerah hukum Pengadiian Tinggi. Tim Tetap Daerah bertugas melakukan penyidikan perkara koneksitas sebagai berikut: a. dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi; 1. apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat dalam lebih dari satu daerah hukum Pengadilan Negeri, tetapi masih dalam satu daerah hukum Pengadilan Tinggi. 2. apabila pelaksanaan penyidikannya tidak dapat diselesaikan oleh Tim Tetap yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Negeri dan masih dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. b. dalam daerah hukum Pengadiian Negeri, apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terjadi dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Sedangkan apabila perkara koneksitas merupakan tindak pidana tertentu (tindak pidana khusus) yang diatur daiam undang-undang tertentu dengan ketemuan khusus acara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP, misalnya tindak pidana korupsi, subversi atau 115
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
ekonomi, maka unsur Kejaksaan diikutsertakan sebagai anggota Tim Tetap. Demikian pula apabila perkara koneksitas merupakan tindak pidana tertentu yang diatur dalam undang-undang, di mana ditetapkan adanya penyidik pegawai negeri sipil, maka unsur penyidik pegawai negeri sipil yang dimaksud diikutsertakan sebagai anggota Tim Tetap. Dalam pada itu mengenai ketentuan-ketentuan proses penyidikannya berlaku ketentuan-ketentuan seperti telah diuraikan di muka, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 106 s/d Pasal 136 KUHAP serta Pasal-Pasal yang bersangkutan. b. Penuntutan Perkara Koneksitas Selanjutnya untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang akan mengadili perkara koneksitas tersebut, diadakan penelitian bersama oleh Jaksa atau Jaksa Tinggi dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi atas dasar hasil penyidikan dari Tim Tetap Penyidik tersebut di atas. Apabila dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas tersebut maka hal itu dilaporkan oleh Jaksa atau Jaksa Tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi kepada Oditur Jenderal ABRI. Adapun yang menjadi faktor penentu dalam penelitian bersama itu adalah titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum atau terletak pada kepentingan militer. Apabila titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum, maka semua pelaku tindak pidana yang bersangkutan harus diadili oleh pengadilan negeri63, sebagai pengadilan dalam 63
Ali Said –Ismail Saleh, Moedjono, 23 Maret 1981, Instruksi Bersama Ketua Mahkamah Agung RI; Menteri Kehakiman RI Dan Jaksa Agung RI, Nomor : KMA/35/III/Tahun 1981; Nomor :M.01.PW.07.10 Tahun 19081; Nomor : Intstr-001/JA/3/1981 tentang Peningkatan Tertib Penyidangan Dan Penyelesaian-Penyelesaian Perkara Pidana “Sidang dimulai pada jam 09.00 WIB dan waktu dimulainya sidang tersebut wajib dicatat dalam berita acara
116
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
lingkungan peradilan umum. Dalam hal demikian, maka Papera (Perwira Penyerah Perkara) segera membuat Skepera (surat keputusan penyerahan perkara) yang diserahkan melalui Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi kepada penuntut umum untuk dijadikan dasar mengajukan perkara atau melakukan penuntutan perkara tersebut ke pengadilan negeri yang berwenang. Apabila titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu terletak pada kepentingan militer, maka semua pelaku tindak pidana tersebut harus diadili oleh mahkamah militer, sebagai pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Dalam hal demikian, maka pendapat tersebut dijadikan dasar bagi Oditur Jenderal ABRI untuk mengusulkan kepada Menhankam, agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Mahkamah yang menetapkan, bahwa perkara koneksitas tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Sebagai contoh misalnya, apabila seorang anggota militer bersama-sama dengan dengan seorang pegawai sipil yang bekerja pada suatu dinas Angkatan Bersenjata, telah membocorkan rahasia pertahanan atau peralatan militer (Pasal 71 KUHPT yang isinya hampir sama dengan Pasal 112 KUHP), maka tindak pidana yang mereka lakukan itu jelas mempunyai titik berat merugikan kepentingan militer sehingga mereka harus diadili oleh mahkamah militer sebagai pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Sebaliknya apabila seorang pegawai negeri sipil bersama-sama dengan seorang anggota militer yang dikaryakan, pada suatu pemerintah daerah telah menggelapkan uang hasil pendapatan pemerintah daerah yang bersangkutan, maka tindak pidana yang mereka lakukan itu telah merugikan kepentingan umum, sehingga mereka harus diadili oleh pengadilan negeri sebagai pengadilan dalam lingkangan peradilan umum. Apabila perkara koneksitas itu harus diadili oleh mahkamah militer, maka surat keputusan Menhankam tersebut selanjutnya dijadikan dasar bagi perwira penyerah persidangan. Penyidangan perkara-perkara pidana didahulukan daripada perkara perdata dan diselenggarakan hari Senin sampai dengan Kamis setiap Minggu.”
117
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
perkara (papera) dan jaksa atau jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada mahkamah militer atau mahkamah militer tinggi (Pasal 91 KUHAP). Menurut Pasal 92 KUHAP, apabila perkara diajukan ke pengadilan negeri, maka berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim penyidik dibubuhi catatan oleh penuntut umum yang mengajukan perkara, yang menyatakan bahwa berita acara tersebut diambil alih olehnya. Demikian pula sebaliknya jika perkara tersebut diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan peradilan Militer, maka berita acara yang dibuat oleh tim penyidik dibubuhi catatan oleh oditur militer atau oditur militer tinggi yang menyatakan bahwa berita acara telah diambil alih olehnya. Dalam pada itu apabila terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum dengan oditur militer atau oditur militer tinggi mengenai pengadilan yang berwenang memeriksa perkara koneksitas tersebut, maka mereka masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat tersebut secara tertulis dengan disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa tinggi kepada jaksa agung dan kepada oditur jenderal ABRI. Selanjutnya, jaksa agung dan oditur jenderal ABRI bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat tersebut. Namun, apabila tidak tercapai musyawarah tersebut, maka pendapat jaksa agung yang menentukan (Pasal 93 KUHAP). c. Pemeriksaan Perkara Koneksitas Menurut Pasal 94 KUHAP, persidangan perkara koneksitas dilaksanakan sebagai berikut: 1) Dalam hal perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang. 2) Dalam hal perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka susunan majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan militer dan hakim anggota secara berimbang dari masing118
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
masing peradilan militer dan dari peradilan umum yang diberi pangkat militer tituler. Susunan mengenai majelis-hakim ini berlaku juga bagi pemeriksaan tingkat banding. Perlu dikemukakan di sini bahwa pemeriksaan perkara koneksitas ini pada hakekatnya merupakan suatu pengecualian atau penyimpangan dari ketentuan bahwa seseorang seharusnya dihadapkan di depan pengadilannya masing-masing. Namun dalam hal ini kepentingan dari yustisiabel tetap mendapat perhatian sepenuhnya, sebab susunan majelis hakim yang bersidang terdiri dari gabungan antara hakim peradilan umum dan hakim dari lingkungan peradilan militer. Dalam pada itu, Pasal 230 ayat (3) KUHAP mengatur mengenai formasi ruang sidang yang ditata menurut ketentuan sebagai berikut: a. tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat penuntut umum, terdakwa, penasihat hukum dan pengunjung; b. tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua sidang; c. tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan tempat hakim; d. tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan dari tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum; e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat hakim; f. tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak dibelakang kursi pemeriksaan; g. tempat pengunjung terletak dibelakang tempat saksi yang telah didengar; h. bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim dan panji Pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim sedangkan lambang Negara ditempatkan pada dinding bagian atas di belakang meja hakim; i. tempat rohaniawan terletak di sebelah kiri tempat panitera; j. tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i diberi tanda pengenal; 119
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
k. tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu masuk utama ruang sidang dan di tempat lain yang dianggap perlu.
120
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
BAB VI WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI 1. Pendahuluan Seperti telah diuraikan pada Pokok Bahasan I, berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menggerakkan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam undang-undang;” Dan “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana”. “Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ‘Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung’; Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Selain pengawasan sbagaimana dimaksud pada Ayat (1), “Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi da keuangan64”. Pasal 2 KUHAP “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUAHP).65 “ dan Pasal 103 KUHP “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII KUHP juga berlaku bagi perbuatanperbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya 64
Penjelasan Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, dan merupakan Badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Keketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tahun 2004 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 65
Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ada “empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili yaitu peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara.”
121
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.” Dalam pada itu, bab X KUHAP mengatur tentang wewenang pengadilan untuk mengadili, yang meliputi: Bagian kesatu tentang Pra peradilan ; Bagian kedua tentang Pengadilan Negeri ; Bagian ketiga tentang Pengadilan Tinggi dan Bagian keempat tentang Mahkamah Agung. Atas dasar pembagian wewenang pengadilan tersebut di atas, maka nampak seolah-olah terdapat empat instansi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Akan tetapi tidak demikian sebenarnya, sebab hanya terdapat tiga instansi saja, yaitu Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding (tingkat terakhir) dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi. Mahkamah Agung bukan merupakan pengadilan tingkat ketiga, karena kewenangannya berbeda dengan pengadilan tingkat pertama dan banding yang masih dalam lingkup judex factie (Pengadilan Tinggi), atau mengadili berdasar fakta hukumnya. Sedangkan Mahkamah Agung kewenangannya dalam lingkup judex iuris, atau mengadili dalam bentuk penilaian tentang penerapan hukum yang dilakukan judex factie, cara menyidangkannya sesuai aturan hukum apa tidak juga apakah melampui batas kewenangannya atau tidak 66. Sedangkan yang dimaksud dengan Praperadilan itu adalah wewenang dari pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang : a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
66
Susunan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Pasal 36A ayat (3) “Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Pasal 36 A Ayat (4) Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan menyalah gunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, untuk diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
122
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
b. Ganti kerugian67 dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Di dalam Pokok Bahasan ini akan diuraikan mengenai kompetensi absolut atau relatif, sengketa wewenang, mengadili dan praperadilan68. 2. Wewenang mengadili Yang akan diuraikan dalam sub pokok bahasan ini adalah wewenang mengadili dalan peradilan umum. Jadi, tidak termasuk peradilan militer, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara. Adapun tugas pengadilan dalam perkara pidana adalah memeriksa dan memutus semua tindak pidana yang diajukan (dituntut) kepadanya. Dalam hal kekuasaan atau wewenang mengadili ini ada dua macam atau yang lazim juga disebut kompetensi, yaitu : 1) Kekuasaan berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (attributie van rechtsmacht) kepada suatu macam pengadilan (pengadilan negeri), bukan pada pengadilan lain. 2) Kekuasaan berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (distributie van rechtsmacht) di antara satu macam (pengadilan-pengadilan negeri). Yang tersebut pertama disebut kompetensi mutlak (absolute kompetentie), sedang yang disebut kedua adalah kompetensi relatif (relatieve kompetentie). Pada pemeriksaan tingkat pertama suatu perkara mungkin selain dari pengadilan negeri yang berwenang memeriksa perkara tersebut ada pengadilan lain yang berwenang memeriksanya juga, misalnya peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan yang lain. Dalam hal demikian, maka disebut kompetensi mutlak (absolute kompetentie). 67
Radius Prawiro, 1983, Departemen Keuangan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 983/KMK.01/1983 Tanggal 31 Desember 1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian Pasal 3 ayat (2) Ketua Pengadilan Negeri bersangkutan meneruskan permohonan pembayaran ganti rugi tersebut pada ayat (1) kepada Kantor Perbendaraan Negara (KPN) pembayar disertai dengan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) menurut ketentuan yang berlaku. 68 Pasal 78 ayat (1) KUHAP yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah Pra Peradilan. Pasal 78 ayat (2) Pra Peradilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
123
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Namun, apabila sudah dapat dipastikan bahwa pengadilan negerilah yang berwenang memeriksanya pada tingkat pertama itu, dan bukan pengadilan lain seperti peradilan militer atau peradilan tata usaha negara yang memeriksanya, maka selanjutnya masih dipersoalkan pengadilan negeri manakah yang berwenang ? Dalam hal demikian ini yang disebut kompetensi relatif (relatieve kompetentie). Dalam pada itu, KUHAP mengatur tentang kompetensi relatif ini di dalam Pasal 84, 85 dan 86. Menurut Pasal 84 ayat (1) KUHAP, maka penggadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya (forum delicti commissi). Sedang menurut ayat (2) dinyatakan bahwa pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat dari pengadialan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan (forum domicilli). Selanjutnya di dalam ayat (3) dinyatakan bahwa apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu. Dan, menurut ayat (4) dinyatakan bahwa terhadap beberapa perkara yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut (voeging). Dalam hubungannya dengan ini perlu dikemukakan adanya yurisprudensi Mahkamah Agung (putusan M.A. 22 Agustus 1955), yang menentukan bahwa apabila karena suatu sebab perkara-perkara itu diajukan kepada beberapa pengadilan negeri secara serempak, maka yang harus melanjutkan pemeriksaan perkara adalah pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa ditahan (forum apprehensionis) 124
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
atau apabila terdakwa tidak ditahan, pengadilan negeri yang di daerah hukumnya terdakwa berdiam atau berada. Perlu dikemukakan disini bahwa semasa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950, maka untuk pejabatpejabat tingkat negara tertentu seperti presiden, wakil presiden, para menteri, ketua dan wakil ketua serta anggota DPR diberi hak istimewa untuk diadili pada tingkat pertama dan terakhir oleh Mahkamah Agung (forum privilegeatum). Ratio temporis (yurisdiksi temporal), dapatlah dikatakan bahwa Mahkamah adalah suatu hukum yang prospeptif dalam arti bahwa ia tidak boleh melaksanakan yurisdiksinya atas kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum berlakunya Statuta69. Selanjutnya ketentuan yang diatur dalam Pasal 85 KUHAP merupakan pengecualian tentang kompetensi relatif sebagaimana diatur dalam Pasal 84, yang menyatakan : “Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud ’’. Adapun yang dimaksud dengan kedaan daerah tidak mengizinkan, di dalam penjelasan Pasal tersebut dikatakan “antara lain tidak amannya daerah atau adanya bencana alam”. Ketentuan lain tentang kompetensi mengadili ialah mengenai pengadilan negeri yang berwenang mengadili seorang yang melakukan tindak pidana di luar negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 86 KUHAP. Di situ ditentukan bahwa dalam hal demikian, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya. 3. Sengketa Wewenang Mengadili 69
Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 299 Nullum Crimen Sine Lege Pasal 22 Statuta dibawah rubrik asas-asas umum dalam Hukum Pidana, menjelaskan bahwa tidak seorangpun dapat bertanggungjawab secara pidana berdasarkan Statuta kecuali tindak pidana yang berada dalam Yurisdiksi Mahkamah. Selanjutnya prinsip nullum crimen Sine Lege ini diperjelas oleh Pasal 23 Statuta bahwa seseorang yag telah didakwa Mahkamah hanya dapat dijatuhi pidana sesuai dengan Statuta.
125
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Bahwa sengketa wewenang mengadili ini terjadi diatur dalam Pasal 150 KUHAP, yang menyatakan bahwa sengketa wewenang mengadili terjadi : a. jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang sama. b. jika dua pengadilan atau lebih menyatakan tidak berwenang mengadili perkara yang sama. Pengadilan yang berwenang memutuskan sengketa tersebut adalah pengadilan tinggi yaitu apabila terjadi sengketa antara dua pengadilan negeri atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukum pengadilan tinggi yang bersangkutan. (Pasal 151 ayat 1 KUHAP). Sedangkan menurut ayat (2) nya, mengatur bahwa Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili : a. antara pengadilan dari satu lingkungan peradilan dengan pengadilan dari lingkungan peradilan yag lain b. antara dua pengadilan negeri yang berkedudukan dalam daerah hukum pengadilan tinggi yang berlainan c. antara dua pengadilan tinggi atau lebih Hal yang sama diatur pula dalam Pasal 33 ayat (1) UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili : a. antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan di lingkungan peradilan yang lain b. antara dua pengadilan yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Tingkat Banding yang berlainan dari lingkungan peradilan yang sama c. antara dua Pengadilan Tingkat Banding di lingkungan peradilan yang sama atau antara lingkungan peradilan yang berlainan. Selanjutnya dalam Pasal 147 KUHAP ditentukan bahwa setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntun umum, Ketua Pengadilan Negeri mempelajari apakah perkara itu termasuk pengadilan yang dipimpinnya. Di dalam Pasal 148 dinyatakan bahwa jika Ketua Pengadilan Negeri berpendapat bahwa perkara pidana yang diterimanya tidak termasuk wewenang dari pengadilan yang dipimpinnya, 126
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
maka ia menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap berwenang mengadilinya. Untuk itu dibuat surat penetapan yang memuat alasannya. Yang terpokok dalam asas teritorialitas adalah tentang wilayah atau teritorritoir dalam hubungannya dengan berlakunya undang-undang hukum pidana. Dasarnya ialah bahwa setiap negara yang bedaulat wajib memelihara sendiri ketertiban hukum wilayahnya70. Surat penetapan beserta surat pelimpahan perkara selanjutnya diserahkan kepada penuntut umum dan kejaksaan negeri tersebut kemudian meneruskan kepada kejaksaan negeri di tempat pengadilan negeri yang disebut dalam surat penetapan tersebut, sedangkan turunan surat Penetapan disampaikan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya dan penyidik (Pasal 148 ayat 2 dan 3 KUHAP). Kejaksaan negeri yang menerima surat pelimpahan perkara tersebut dari kejaksaan negeri semula, lantas membuat surat pelimpahan perkara baru untuk disampaikan kepada pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan. Dalam hal penuntut umum berkeberatan tehadap surat penetapan tersebut, maka ia dapat mengajukan perlawanan ke Pengadilan Tinggi yang bersangkutan, dalam waktu 7 hari setelah diterimanya penetapan tersebut (Pasal 149). Perlawanan tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang mengeluarkan surat penetapan dan dicatat dalam buku daftar panitera, yang selanjutnya dalam waktu 7 hari wajib meneruskannya ke Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Pengadilan Tinggi dalam waktu paling lama 14 hari setelah menerima perlawanan itu dapat menguatkan atau menolak perlawanan tersebut dengan surat penetapan. Dalam hal Pengadilan Tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum, maka dengan surat penetapan memerintahkan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan untuk menyidangkan perkara tersebut (Pasal 149 ayat 3).
70
S.R. Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta, hlm : 89-90 Tolak pangkal pemikiran untuk penerapan asas teritorialitas ialah bahwa di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, undang-undang (hukum) pidana Indonesia mengikat bagi siapa saja (penduduk atau bukan) yang melakukan perbuatan di Indonesia.
127
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Namun, sebaliknya apabila Pengadilan TInggi menolak perlawanan tersebut, yang berarti menguatkan pendapat Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Tinggi mengirimkan berkas perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang dianggap berwenang mengadili yang dimuat dalam surat penetapannya dan tembusan surat penetapan Pengadilan Tinggi tersebut disampaikan kepada penuntut umum (Pasal 149 ayat 4 dan 5). 4. Pengadilan Negeri dalam Praperadilan Bahwa, dari salah satu hal yang menggembirakan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 sebagai hukum acara pidana nasional adalah lahirnya lembaga Praperadilan yang tugas pokoknya mengadakan pengawasan terhadap tindakan-tindakan upaya paksa (dwangmid-delen) yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang tidaka berdasarkan Undang-Undang (unlawful) guna melindungi hak-hak asasi tersangka / terdakwa dalam proses pemeriksaan pendahuluan (vooronderzoek). Menurut Pasal 77 yang berkaitan dengan Pasal 78 KUHAP pra peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang : a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Jadi, praperadilan bukanlah merupakan badan tersendiri, tetapi hanya merupakan wewenang saja dari pengadilan negeri. Wewenang tersebut jika dihubungkan dengan Pasal lainnya dapat diperinci sebagai wewenang dari pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus mengenai : a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (Pasal 77 KUHAP). b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP). 128
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
c. sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian (Pasal 82 ayat 1 dan ayat 3 KUHAP). d. tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan dan atau penahanan serta tindakantindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri (Pasal 95 ayat 2 KUHAP). e. permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri (Pasal 97 ayat 2 KUHAP). f. Adapun yang dimaksud dengan tindakan-tindakan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (2) KUHAP adalah tindakan-tindakan upaya paksa (dwangmiddelen, coercive measurement) lainnya seperti : pemasukkan rumah, penggeledahan, penyitaan barang, surat-surat yang dilakukan secara melawan hukum dan menimbulkan kerugian materiil. Hal-hal tersebut dimasukkan dalam Pasal 95, karena dipandang perlu bahwa hak-hak terhadap harta benda dan hak-hak atas privacy tersebut perlu dilindungi terhadap tindakan-tindakan yang melawan hukum71. Siapakah yang berhak mengajukan praperadilan dan siapakah yang dapat dipraperadilankan ? Dalam hal ini maka perlu diperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 79, 80 dan 81 KUHAP, yang menyatakan sebagai berikut : 1) Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri menyebutkan alasannya. 2) Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang Untuk itu, setelah selesai melakukan tindakan upaya paksa penyelidik/penyidik wajib segera membuat Berita Acara pelaksanaan tindakan upaya paksa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) KUHAP dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan dan ditanda tangani oleh semua pihak yang terlibat dalam semua tindakan tersebut pada ayat (1).
71
129
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. 3) Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Berdasarkan ketentuan dari ketiga Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang berhak mengajukan praperadilan yaitu : a. tersangka, keluarga atau kuasanya. b. penyidik. c. penuntut umum. d. pihak ketiga yang berkepentingan. Dengan demikian maka antara penyidik dengan penuntut umum dapat saling mempraperadilankan. Penyidik dapat mempraperadilankan penuntut umum dalam hal penutut umum menghentikan penuntutan dan demikian pula sebaliknya penuntut umum dapat mempraperadilankan penyidik dalam hal penyidik menghentikan penyidikan. Hal ini merupakan sarana pengawasan horizontal (pengawasan antara penegak hukum). Perlu dikemukakan di sini bahwa meskipun menurut Pasal 20 KUHAP yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik untuk kepentingan penyidikan, penuntut umum untuk kepentingan penuntutan dan hakim untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, tetapi hakim tidak dapat dipraperadilankan. Dalam hubungannya dengan ini Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : SE.MA / 14 Tahun 1983, yang menyatakan bahwa hakim tidak dapat diajukan ke sidang praperadilan, dengan alasan : karena tanggungjawab yuridis atas penahanan itu tetap ada pada masing-masing instansi yang melakukan penahanan (pertama) itu, dan apabila yang melakukan penahanan (pertama) itu hakim sendiri, maka penahanan itu adalah dalam rangka pemeriksaan oleh pengadilan negeri di mana Pasal 82 ayat (1) huruf d berlaku terhadapnya. 130
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Adapun bunyi Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP adalah sebagai beriokut : “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”. Dalam pada itu, dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : SE.MA / 15 Tahun 1983 ruang lingkup wewenang pengadilan negeri dalam praperadilan menjadi tidak terbatas memeriksa sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum saja, tetapi ia berwenang pula memeriksa seorang militer yang didakwa telah melakukan penangkapan / penahanan secara tidak sah. Pertimbangan Mahkamah Agung adalah sebagai berikut : 1) Bahwa yang menjadi dasar / patokan untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang melaksanakan sidang praperadilan di pengadilan negeri atau pengadilan militer adalah status si pelaku tindak pidana dan bukan status pejabat yang melakukan penangkapan / penahanan. Jadi, apabila status si pelaku kejahatan adalah sipil, maka pengadilan yang berwenang melaksanakan sidang praperadilan adalah pengadilan negeri, meskipun yang didakwa melakukan penangkapan / penahanan secara tidak sah itu statusnya adalah militer. 2) Berhubung dengan itu maka seorang militer yang didakwa telah melakukan penagkapan / penahanan secara tidak sah dapat diperiksa di muka sidang praperadilan yang dilaksanakan oleh pengadilan negeri apabila si pelaku tindak pidana adalah seorang sipil. Menurut hemat penulis kewenangan praperadilan yang diatur dalam SE.MA No. 15 Tahun 1983 di atas masih perlu dipertanyakan, mengingat SE.MA tersebut tidak didasarkan pada undang-undang. Dalam pada itu, mengenai acara pemeriksaan dan putusan praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHAP adalah sebagai berikut : a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang. 131
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang atau termohon. c. pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya. d. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur. e. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru. f. putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya, juga memuat hal sebagai berikut : 1. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka. 2. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan. 3. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya. 132
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
4. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita. Perlu dikemukakan disini bahwa menurut Pasal 83 ayat (1) KUHAP, putusan-putusan praperadilan tersebut tidak dapat dimintakan banding, tetapi khusus terhadap putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, maka atas permintaan penyidik atau penuntut umum dapat dimintakan putusan akhir kepada pengadilan tinggi (Pasal 83 ayat 2 KUHAP). Dalam membicarakan praperadilan ini yang merupakan lembaga baru dalam hukum acara pidana kita, tidaklah berkelebihan dalam sub bab pokok bahasan ini diuraikan pula lembagalembaga yang mirip dengan praperadilan di negara-negara lain sebagai perbandingan. Di negara Amerika Serikat misalnya, dikenal lembaga Habeas Corpus, yang termaktub dalam article I section 9 dari Konstitusi Amerika Serikat. Di Amerika Serikat sebagai salah satu jaminan hukum (legal guarantee) terhadap posisi tersangka yang dikenakan penahanandalam proses perkara pidana adalah adanya ketentuan mengenai “The Writ of Habeas Corpus” atau kadang-kadang disebut juga “The Writ of Liberty”. Yang dimaksud dengan “The Writ of Habeas Corpus” ialah suatu perintah (Writ) dari pengadilan yang ditujukan kepada pejabat yang menahan seseorang untuk membawanya ke muka pengadilan guna menjelaskan alasan-alasan penahanannya itu. Setiap orang yang ditahan, biasanya melalui pengacaranya atau keluarga dan teman-temannya atas nama orang yang ditahan tersebut dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk suatu “writ’’ tersebut. Dan, apabila hakim berpendapat bahwa penahanan yang dikenakan terhadap orang tersebut tidak sah, maka orang tersebut harus dikeluarkan dari tahanan. Orang hanya ditangkap hanya bilamana terdapat dasar yang sangat kuat (probable cause), yakni alasan-alasan yang wajar untuk menduga bahwa orang itu bersalah telah 133
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
melakukan tindak pidana. Seseorang yang ditangkap harus diajukan ke hadapan hakim tanpa penundaan yang tidak perlu. Dalam hal ini ia berhak untuk segera didengar keterangannya supaya dapat ditentukan apakah terdapat alasan yang kuat untuk menahannya. Dalam beberapa kasus, polisi telah melanggar hak-hak tersangka dengan cara lain. Ia mungkin telah ditangkap dengan cara tidak sah (unlawful) atau pembuktian terhadapnya mungkin telah didapatkan dengan penggeledahan atau penyitaan yang tidak wajar atas harta dan miliknya, atau melalui penyadapan yang tidak sah terhadap pembicaraan langsung dan melalui telepon yang bersifat pribadi dengan alat elektronik (eavesdropping). Dalam semua kasus ini, polisi dan pejabat lainnya yang bersalah berperilaku yang buruk itu, dapat dituntut secara perdata oleh tersangka atau dasar kerugian, dan dalam banyak peristiwa mereka dapat juga dikenakan tuntutan pidana. Dalam hal demikian, maka hakim yang memeriksa perkara harus mengabaikan semua bukti yang diperoleh melalui cara-cara yang tidak sesuai dengan Undang-Undang dasar (unconstitutional). Meskipun bukti-bukti itu hanya telah memberikan petunjuk dengan mana kemudian didapat bukti lain, bukti yang sekunder itupun akan diabaikan juga sebagai “ buah dari pohon beracun ’’. Dalam pada itu, di negeri Belanda lembaga hakim yang telah berperan dalam fase pemeriksaan pendahuluan tersebut disebut Rechter Commissaris. Rechter Commissaris ini di negeri Belanda berfungsi baik sebagai pengawas maupun melakukan tindakan eksekutif. Sebagai pengawas Rechter Commissaris mengawasi apakah upaya paksa (coercive measurs) dilakukan dengan sah atau tidak ; sedangkan Rechter Commissaris dalam melakukan tindakan eksekutif berhak memanggil orang, memeriksanya serta mengadakan penahanan. Jadi, ia tidak hanya sebagai “ examinating judge ’’, akan tetapi juga sebagai “ investigating judge ’’. Apabila kita bendingkan antara praperadilan dengan Rechter Commissaris, maka nampak di sini bahwa hakim 134
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
praperadilan bersifat pasif sebab ia hanya berfungsi sebagai “ examinating magistrate ’’ ; sedangkan Rechter Commissaris hakim memimpin pemeriksaan pendahuluan sebagai perwujudan keaktifan hakim. Demikian pula halnya di Perancis dikenal “Judge d’Intruction’’ (hakim penyidik), ia mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat bukti yang lain. Ia dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah dan penyitaan, penahanan dan menutup tempat-tempat tertentu. Setelah pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan selesai, ia menentukan apakah suatu perkara cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan atau tidak. Apabila cukup alasan, maka ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang disebut ordonance de renvoi, sebaliknya jika ia berpendapat tidak cukup alasan ia akan membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu. Perlu dikemukakan di sini bahwa tidak semua perkara harus melalui Juge d’Intruction. Hanya perkara-perkara besar yang sulit pembuktiannya yang ditangani olehnya. Selebihnya bagi perkara yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-petunjukdari jaksa.
135
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
BAB VII GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI Bagian Kesatu Ganti Kerugian 1. Pendahuluan Ketentuan mengenai ganti kerugian dan rehabilitasi ini merupakan ketentuan baru dalam hukum acara pidana Indonesia, yang sebelumnya tidak dikenal dalam hukum acara pidana lama (HIR). Di dalam Pasal 9 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970) dinyatakan bahwa seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi. Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan tersebut kini telah diatur dalam KUHAP beserta peraturan pelaksanaannya. Ganti Kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena itangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (Pasal 1 butir 22 KUHAP). Sedangkan butir 23 dari Pasal 1 KUHAPmenyatakan bahwa rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Dalam pokok Bahasan ini akan diuraikan mengenai ganti kerugian kepada tersangka, terdakwa dan terpidana dan sekaligus diuraikan pula mengenai ganti kerugian kepada pihak ketiga atau korban (victim of crime) sebagaimana diatur dalam Bab XIIIKUHAP. 2. Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Hukum acara pidana lama (HIR) tidak mengatur tentang ganti kerugian dan rehabilitasi. Masalah ganti kerugian ini erat 136
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
hubungannya dengan masalah penahanan, yang dasar hukumnya telah dipancangkan dalam Pasal 9 Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Apabila Pasal 9 Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut mengatur tentang pokokpokoknya saja sebagai dasar hukumnya, maka apa yang diatur dalam KUHAP merupakan penjabarannya. Mengenai ganti kerugian dan rehabilitasi ini di dalam KUHAP hanya diatur dalam tiga Pasal, yaitu Pasal 95 dan Pasal 96 mengenai ganti kerugian dan Pasal 97 mengenai rehabilitasi. Ketentuan tentang ganti kerugian ini merupakan jaminan bagi perlindungan hak–hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana yang dikenakan penangkapan atau penahanan yang tidak berdasarkan hukum (unlawful arrest or detention). Ketentuan semacam ini tercantum pula dalam International Covenant on Civil and Political Rights, Pasal 9 yang menyatakan “Enyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an enforceable right to compensation” (seseorang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak berdasarkan hukum akan mendapat hak menuntut ganti kerugian). Seperti diuraikan di muka dalam Pokok Bahasan VII ini akan diuraikan tentang gati kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Bab XII KUHAP dan sekaligus akan diuraikan pula mengenai ganti kerugian kepada pihak ketiga atau korban (Victim of crime) sebagaimana diatur dalam Bab XIII KUHAP. Sehubungan dengan itu maka ketentuan tentang ganti kerugian ini dapat saya bagi menjadi dua sebagai berikut : 1. Ganti kerugian yang pembayarannya dibebankan kepada negara. 2. Ganti kerugian yang pembayarannya dibebankan kepada terdakwa. Ganti kerugian yang pembayarannya dibebankan kepada negara ini dibagi menjadi tiga, yakni : a. Ganti kerugian kepada Tersangka karena ia ditangkap, ditahan atau dikenakan tindakan - tindakan lain, yang tanpa 137
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
alasan yang berdasarkan undang – undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. b. Ganti kerugian kepada Terdakwa karena ia pernah ditangkap dan atau ditahan yang kemudian perkara pidananya berakhir dengan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. c. Ganti kerugian kepada Terpidana yaitu setelah adanya peninjauan kembali terhadap putusan hakim yang sudah berkekuatn tetap (herziening) di mana Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum. Seperti disebut dalam Pasal 95 ayat (2) KUHAP dan dihubungkan dengan Pasal 77 KUHAP, maka tuntutan ganti kerugian tidak hanya dapat diajukan terhadap perkara yang telah diajukan ke muka pengadilan, dalam arti perkara itu dihentikan baik di tingkat penyidikan atau di tingkat penuntutan. Jika perkara tidak diajukan ke pengadilan, baik karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana sedangkan tehadap tersangka telah dikenakan penangkapan, penahanan atau tindakan – tindakan lain secara melawan hukum, maka tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi tersebut diperiksa atau diputus oleh praperadilan. Dalam pada itu, tuntutan ganti kerugian oleh terdakwa yang perkaranya telah diajukan ke pengadilan dan berakhir dengan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum maka permintaan ganti kerugian yang demikian itu diperiksa dan diputus oleh hakim yang sama yang mengadili perkara pidana yang bersangkutan. Ini dimaksudkan karena hakim yang sama yang telah mengadili perkara tersebut lebih memahami atas perkara pidana yang menjadi pokok perkara. Adapun mengenai acara periksaan dan putusan tentang tuntutan ganti kerugian tersebut mengikuti acara praperadilan. Selanjutnya di dalam Pasal 96 ayat (1) dan (2) KUHAP ditentukan bahwa putusan tentang pemberian ganti kerugian 138
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
berbentuk penetapan yang memuat dengan lengkap semua hal yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut. Perlu dikemukakan di sini bahwa tidak secara otomatis perkara yang berakhir dengan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum terdakwa wajib diberi ganti kerugian, jika terdakwa ditahan tetapi hakimlah yang akan menentukan berdasarkan keadilan. Ini disebabkan bahwa tidak jarang terjadi orang yang betul – betul bersalah itu diputus bebas hanya karena secara teknis yuridis kurang dapat dibuktikan kesalahannya di muka pengadilan. Di dalam penjelasan Pasal 8 Peraturan Pemerintahan Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP yang sekarang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 dinyatakan bahwa dalam menetapkan dikabulkan atau tidaknya tuntutan ganti kerugian, hakim mendasarkan pertimbangannya kepada kebenaran dan keadilan, sehingga dengan demikian tidak semua tuntutan ganti kerugian akan dikabulkan oleh hakim. Misalnya apabila tuntutan tersebut didasarkan atas hal yang menyesatkan atau bersifat menipu, maka tepat kalau tuntutan yang demikian itu ditolak. Di negeri Belanda hal itu diserahkan pada pertimbangan hakim dan didasarkan pada pertimbangan “billijkheid en rechtvaardigheid” (keadilan dan kebenaran). Pengadilan di sana pernah menolak tuntutan ganti kerugian meskipun terdakwa diputus bebas (vrijspraak), karena hakimtidak yakin terdakwa tidak bersalah dimana terdakwa sebelumnya telah ditahan. Dalam putusan lain dengan alasan yang lain pula hakim menolak ganti kerugian karena terdapat suatu alasan tentang keamanan masyarakat yang cukup penting untuk mengadakan penangkapan, penahanan dan karena perbuatan – perbuatan gegabah itu dilakukan karena kesalahannya sendiri. Dalam pada itu, Pasal 90 Wetboek van Strafvordering Belanda menyatakan bahwa pembayaran suatu santunan (tegemoetkoming) diberikan, apabila atau sejauh adanya dasar keadilan yang ditentukan oleh penilaian hakim. Dengan demikian maka disini kita lihat lagi adanya dasar keadilan yang dinilai oleh hakim. Sehingga adanya contoh tersebut di atas, yaitu adanya penyesatan pemberian bukti 139
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
yang palsu, menyebabkan bahwa tidak semua permohonan ganti kerugian dapat dikabulkan. Ini terbukti adanya semacam penelitian terhadap putusan – putusan pengadilan di negeri Belanda, yang menyimpulkan bahwa hanya 4 sampai dengan 5 pemohon dari 29 buah permohonan ganti kerugian dapat dikabulkan dari tahun 1926 – 1938. Hal yang serupa dapat kita jumpai dalam Criminal Indemnity Law Jepang, yang menyatakan bahwa sebagian atau seluruh permintaan ganti kerugian itu didasarkan atas pertimbangan pertimbangan yang layak (properdiscretion) hakim, dapat ditolak, apabila tersangka atau terdakwa yang bersangkutan ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili dengan dasar membuat pengakuan – pengakuan palsu, dengan maksud untuk menyesatkan pejabat – pejabat penyidik, penuntut umum atau hakim atau dengan memalsukan bukti – bukti untuk putusan. Dalam pada itu tuntutan ganti kerugian oleh Terpidana setelah peninjauan kembali (herziening) ketentuan – ketentuannya sama dengan tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh terdakwa, yang perkaranya berakhir dengan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum seperti tersebut di atas. Jadi, tetap mendasarkan pada ketentuan – ketentuan tentang ganti kerugian atau rehabilitasi sebagamana diatur dalam Pasal 95, 96 dan 97 KUHAP beserta peraturan pelaksanaannya. Menurut Pasal 7 PP No. 27 Tahun 1983 yang sekarang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Pelaksanaan Hukum Acara Pidana, tuntutan ganti kerugian tersebut hanya dapat diajukan dengan tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat pemberitahuan penetapan praperadilan. Adapun besarnya jumlah ganti kerugian tersebut yang diberikan oleh Pasal 9 dibatasi minimum dan maksimumnya, yaitu serendah – rendahnya berjumlah Rp. 5.000; (lima ribu rupiah) dan setinggi – tingginya Rp. 1.000.000; (satu juta 140
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
rupiah). Sedangkan apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacad sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi – tingginya Rp. 3.000.000; (tiga juta rupiah). Selanjutnya mengenai tata cara pembayaran ganti kerugian tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983 / KMK.01 / 1983 tanggal 31 Desember 1983. Perlu dikemukakan di sini bahwa ketentuan tentang ganti kerugian setelah peninjauan kembali (herziening) ini sangat penting dan telah menjadi ketentuan yang bersifat universalsejak tahun 1966, yaitu dengan dimuatnya ketentuan tersebut dalam Pasal 14 ayat (6) International Covenent on Civil and Political Rights, yang menyatakan : “When a person has by a final dcisian been convicted of a criminal offence and when subsequently his conviction reversed or he has been pardoned on the ground that a new or newly of justice, the person who has suffered punishment as a result of such conviction shall be compensated according to law, unless it is proved that the nondisclosure of the unknown fact in time is wholly or party attributable to him”. (apabila seseorang telah dipidana dengan putusan akhir karena suatu perbuatan criminal dan apabila akhirnya pidananya dihapus atau diberi pengampunan berdasar ditemuinya fakta baru atau diperbaharui yang menunjukkan dapat ditarik kesimpuan bahwa telah terjadi kesesatan dalam peradilan, orang yang telah dijatuhi pidana sebagai akibat pemidanaan, akan diberi ganti kerugian menurut undang – undang, kecuali dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu, seluruhnya atau sebagian atas tanggungan dia sendiri). Bahwa bahasan rehabilitasi, dikemukakan tentang apa yang dimaksud dengan rehabilitasi. KUHAP mengaturnya hanya satu Pasal saja, yaitu Pasal 97. Pasal 97 ayat (1) menyatakan bahwa seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila pengadilan
141
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap 72. Selanjutnya ditentukan bahwa rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan tersebut (Pasal 97 ayat 2 KUHAP). Ayat (3) dari Pasal 97 KUHAP tersebut menyatakan bahwa permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penagkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang–undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77. Dari ketentuan–ketentuan di atas, maka dapat dilihat di sini bahwa sama halnya dengan ketentuan tentang ganti kerugian, pada prose rehabilitasipun dibedakan antara perkara yang diajukan ke pengadilan dan yang tidak. Apabila perkara diajukan ke pangadilan dan diputus dengan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka pengadilan yang mengadili perkara pidananya itu yang memberikan rehabilitasi, yaitu dengan cara mencantumkan sekaligus dalam putusan mengenai perkaranya. Sedangkan apabila perkaranya dihentikan baik di tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan, sedangkan tersangka sebelumnya dikenakan penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang – undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, maka rehabilitasi diberikan oleh praperadilan. Selanjutnya menurut Pasal 12 PP Nomor 27 Tahun 1983 yang telah diubah dengan PP Nomor 58 Tahun 2010 dinyatakan bahwa permintaan rehabilitasi tersebut diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang berwenang selambat – lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon. Sedangkan apabila permintaan rehabilitasi itu diajukan bersama – sama dengan permintaan mengenai sah tidaknya Pasal 191 ayat (3) KUHAP Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah terdakwa perlu dibebaskan.
72
142
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
penangkapan atau penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP, maka penetapan tentang rehabilitasi dicantumkan sekaligus dengan penetapan sah tidaknya penangkapan atau penahanan tersebut. (Penjelasan Pasal 12) Dalam pada itu mengenai amar putusan dari pengadilan mengenai rehabilitasi berbunyi : “Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”. Sedangkan amar penetapan dari praperadilan mengenai rehabilitasi berbunyi : “Memulihkan hak pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”. (Pasal 14) Selanjutnya isi putusan atau penetapan rehabilitasi diumumkan oleh panitera dengan menempatkannya pada papan pengumuman pengadilan. 3. Ganti kerugian kepada pihak korban (victim of crime) Seperti telah diuraikan di muka, maka dalam sub pokok bahasan ini akan diuraikan mengenai ganti kerugian yang pembayarannya dibebankan kepada terdakwa. Apabila di muka telah dibicarakan tuntutan ganti kerugian dari tersangka, terdakwa dan terpidana karena ia ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang – undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, maka di bawah ini akan dibicarakan tentang ganti kerugian dari pihak ketiga atau korban tindak pidana akibat dari dilakukannya tindak pidana tersebut oleh terdakwa. Dalam hubungannya dengan hak – hak asasi manusia (HAM), KUHAP telah memberikan jaminan hukum bahwa tidak saja hak dari pelaku tindak pidana (terdakwa) yang diperhatikan, tetapi juga hak dari orang yang menderita kerugian (saksi korban) yang disebabkan karena dilakukannya suatu tindak pidana mendapat perlindungan. Hal ini dengan diaturnya ketentuan tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pada perkara pidananya seperti dimuat dalam Bab XIII Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Ininmerupakan inovasi baru pula dalam KUHAP, karena hukum acara pidana yang lama (HIR) bahkan dalam Undang – Undang 143
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970) pun tidak memuatnya. Perlindungan terhadap hak dari korban tindak pidana ini diberikan dengan cara mempercepat proses untuk mendapatkan ganti kerugian yang dideritanya, dengan cara menggabungkan gugatan ganti ruginya pada perkara pidananya, yang pada hakikatnya merupakan perkara perdata dan yang biasanya diadili melalui hakim perdata. Dengan dibukanya penggabungan gugatan ganti kerugian ini pada perkara pidananya, maka jelas akan dihemat waktu dan biaya perkara. Sebagai bahan perbandingan, mengingat bahwa ketentuan tentang penggabungan gugatan ganti kerugian ini di dalam hukum acara pidana kita merupakan hal yang baru maka di bawah ini akan diuraikan mengenai penggabungan gugatan ganti kerugian yang disebabkan karena dilakukannya tindak pidana di beberapa negara, baik di negara – negara Eropah, Amerika Latin dan beberapa negara Asia, Timur Jauh seperti diuraikan dalam buku “Compensation of the victim of crime”, yang merupakan hasil suatu survey. Menurut hasil survey tersebut, maka disimpulkan adanya lia sistem ganti kerugian sebagai berikut : 1) Ganti kerugian tersebut dipandang bersifat perdata dan diberikan pada prosedur perdata. 2) Ganti kerugian bersifat perdata tetapi diberikan pada prosedur pidana. 3) Ganti kerugian yang sifatnya perdata tetapi terjalin dengan sifat pidana dan diberikan pada prosedur pidana. 4) Ganti kerugian yang sifatnya perdata dan diberikan pada prosedur pidana tetapi pembayarannya menjadi tanggungjawab negara. 5) Ganti kerugian yang sifatnya netral dan diberikan dengan prosedur khusus pula. a.Dalam sistem yang pertama ini diadakan pemisahan antara ganti kerugian dan penyelesaian perkara pidananya. Dalam sistem ini, tindak pidana semata – mata dipandang sebagai kejahatan terhadap negara atau kepentingak umum, sehingga peranan korban tidak mendapat tempat dalam hukum acara pidana. Oleh 144
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
karena itu kepentingan korban tindak pidana sebagai individu diselesaikan menurut hukum acara perdata73. b.Meskipun pada dasarnya diadakan pemisakan antara kepentingan umum dan kepentingan individu seperti dalam a, tetapi sebagai perlindungan kepada korban tindak pidana, maka kepada korban diberikan cara – cara yang mudah untuk mendapatkan ganti kerugian itu, ialah dengan cara menggabungkan perkara perdatanya kepada perkara pidananya. c.Berbeda dengan yang diterangkan pada b di atas, maka dalam sistem yang ketiga ini permintaan ganti kerugian tersebut harus diputus oleh pengadilan pidana lebih bersifat pidana (hukum), yakni dalam bentuk : denda pengganti (fine like restitution atu boete) denda pembayaran ganti kerugian kepada korban, maka perkara pidananya tidak dituntut ke pengadilan (misalnya di USA). d. Dalam sistem ini negara seakan – akan mengambil alih tanggung jawab dari terpidana untuk membayar ganti kerugian, tetapi negara dapat meminta kembali (reimburse) dari terpidana. e. Sistem ini merupakan prosedur baru yang diterapkan di Swiss, dimana korban adalah orang yang sangat membutuhkan karena ia seorang ynag tidak mampu, sedangkan terpidana sendiri juga demikian keadaannya. Sehingga pemerintah mengambil alih beban terpidana tersebut demi memberikan perlindungan bagi si korban, dalam hal ini tidak termasuk prosedur perdata tetapi juga tidak termasuk prosedur pidana. Dalam KUHAP ditempuh cara seperti tersebut pada b di atas, yaitu gugatan ganti kerugian dari korban yang sifatnya perdata digabungkan dengan perkara pidananya dan ganti kerugian tersebut dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak pidana (terdakwa). Ganti kerugian tersebut dapat dimintakan terhadap semua macam perkara yang dapat Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan itu, menggantikan kerugian tersebut.” Pasal 1366 “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
73
145
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
menmbulkan kerugian materiil bagi korban. Sedangkan kerugian yang bersifat immaterial tidak dapat dimintakan ganti kerugian melalui prosedur ini. Menurut Pasal 98 ayat (1) KUHAP, apabila suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua siding atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu74. Permintaan tersebut hanya dapat diajukan selambatlambatnya sebelum penuntut umum tuntutan pidana (requisitoir). Sedangkan dalam hal suatu perkara yang tidak dihadiri oleh penuntut umum (perkara cepat), permintaan tersebut diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan (Pasal 98 ayat (2) KUHAP). Kemudian hakim ketua sidang dengan syarat penetapan yang dicatat dalam berita acara persidangan menggabungkan pemeriksaan perkara gugatan ganti kerugian tersebut (perdata) dengan perkara pidananya. Menurut Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, ganti kerugian yang dapat diputus hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan (saksi korban), sehingga tuntutan yang lain dari itu harus dinyatakan tidak dapat diterima dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa. Gugatan yang baru tersebut tidak merupakan perkara “ne bis in idem”. Dapat disimpulkan dari Pasal 99 ayat (3) KUHAP bahwa ganti kerugian pada pihak yang dirugikan tersubut barulah dapat dikabulkan apabila terdakwa dijatuhi pidana saja. Sehingga jika terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hokum, maka tuntutan ganti kerugian tersebut tidak dapat dikabulkan. 74
Ismail Saleh-Awaloedin Djamin, 6 Oktober 1981, Instruksi Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia Dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor : Instr-006/JA/19/1981 - No.Pol. : INS/17/X/81 tentang Peningkatan Usaha Pengamanan Dan Kelancaran Penyidangan Perara-Perkara Pidana. Angka 4. Mengadakan pertemuan-pertemuan berkala sekurang-kurangnya sekali sebulan antara unsur Kejaksaan Republik Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia di daerah untuk membicarakan masalah perkembangan penyelesaian perkara, persiapan penyidangan dan teknis pelaksanaannya, serta memeahkan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan Instruksi Bersama ini.
146
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Selanjutnya di dalam Pasal 100 ayat (1) dinyatakan bahwa apabila terjadi pemnggabungan antara perkara perdata dengan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding. Sedangkan apabila terhadap suatu perkara tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan. (ayat (2)). Ketentuan dari aturan hokum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam KUHAP tidak diatur lain (Pasal 101). Perlu dikemukakan di sini bahwa ketentuan ganti kerugian pada pihak ketiga atau korban tindak pidana ini terdapat variasi di beberapa negara seperti telah diuraikan di muka. Hal ini dikenal juga di Perancis yang ternyata pengertian pihak ketiga itu ditafsirkan secara luas, juga biasa muncul gugatan dari asuransi kesehatan, pihak pemerintah dalam hal pelanggaran ijin usaha, pihak bea cukai (douane), perpajakan dan lain-lain. Hukum pidana Soviet pun mengenal semacam ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan yang dinamakan “perbaikan kerusakan” (reparation of damage), yang dicantumkan sebagai suatu pidana dalam hokum pidananya (Criminal Code).
147
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
BAB VIII PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN 1. Pendahuluan Pemeriksaan perkara pidana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pemeriksaan pendahuluan dan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam sistem hukum acara pidana yang lama (HIR), pemeriksaan pendahuluan menganut sistem inquisitoir artinya tersangka dipandang sebagai obyek pemeriksaan, sifat pemeriksaan masih tertutup (rahasia) dan kedudukan atau hak antara pemeriksa dengan yang diperiksa tidaklah sama. Namun, sekarang dengan berlakunya KUHAP di dalam pemeriksaan pendahuluan dianut sisten inquisitoir yang lunak (gematigd inquisitoir), yang berarti bahwa pada tahap pemeriksan pendahuluan di muka penyidik, tersangka boleh didampingi oleh penasehat hukum, walaupun kedudukan penasehat hukum bersifat pasif. Ia hanya mendampingi tersangka, melihat dan mendengar pemeriksaan tersangka. Tersangka boleh minta penjelasan – penjelasan kepada Penasehat hukumnya tentang pertanyaan yang tidak dapat dimengerti oleh tersangka dari penyidik. Tersangka dalam sistem inquisitoir yang diperlunak ini tidak lagi dipandang sebagai obyek semata – mata, sebagai suatu barang yang harus diperiksa wujudnya berhubung dengan suatu persangkaan pelanggaran undang – undang pidana terhadapnya. Dalam pada itu, pemeriksaan di persidangan menganut sistem accusatoir. Dalam sistem accusatoir ini terdakwa dan penasehat hukumnya mempunyai hak atau kedudukan yang sederajat dengan pihak penuntut umum. Ia tidak lagi dipandang sebagai obyek pemeriksaan, tetapi ia dipandang sebagai subyek. Sehingga selaku subyek, terdakwa dan penuntut umum oleh hakim diberi hak yang sama, diberi kesempatan yang sama, dan kesempatan berbicara terakhir diberikan kepada terdakwa. Di dalam pokok bahasan ini akan diuraikan mengenai tatacara pemeriksaan perkara di sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim. 148
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
2. Kedudukan terdakwa, penasehat hukum, penuntut umum dan hakim Sebelum diuraikan tentang proses pemeriksaan di sidang pengadilan, maka perlu dikemukakan di sini bahwa dalam hukum acara pidana dikenal empat pihak dalam sidang pengadilan, yang berdasarkan kedudukan masing – masing pihak tersebut harus dipahami. Seorang ahli hukum Belanda PM. Trapman pernah mengadkan ceramah di depan konggres para sarjana hukum di negara Belanda dan dalam konggres tersebut dirumuskan bagaiman sikap, titik tolak dan pandangan dari masing – masing pihak tersebut sebagi berikut : 1) Pandangan terdakwa, dilukiskan sebagai pandangan subyektif dari posisi yang subyektif (een subjectieve beoordeling van een subjectieve positie). Maksudnya bahwa kedudukan terdakwa bebas untuk mengambil sikap di sidang pengadilan, artinya ia hanya mengambil sikap untuk membela kepentingannya sendiri ia boleh berdusta, boleh menyangkal setiap dakwaan yang didakwakan kepadanya dan itu semua untuk kepentingannya sendiri. 2) Pandangan penasehat hukum, dilukiskan sebagai pandangan obyektif dari posisi yang subyektif (een objectieve beoordeling van een subjectieve positie). Maksudnya sikap penasehat hukum dalam sidang harus selalu disandarkan kepada kepentingan terdakwa akan tetapi ia harus bertindak obyektif. Ia harus mempergunakan ukuran – ukuran obyektif walaupun disandarkan untuk kepentingan terdakwa. Misalnya, penasehat hukum harus mengutarakan hal – hal yang dapat meringankan terdakwa atau membebaskan terdakwa, akan tetapi ia tidak boleh berdusta, ia harus berusaha mencari kebenaran. Justru karena disandarkan pada kepentingan terdakwa, maka penasehat hukum75 tidak boleh bertindak yang dapat merugikan terdakwa.
75
Ali Said, Menteri Kehakiman, 16 Desember 1983, Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.07.UM,01.06 Tahun 1983 tentang Pakaian, Atribut Pejabat Peradilan Dan Penasehat Hukum; “Pasal 1 Selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan, hakim, penuntut umum dan pejabat penasehat hukum memakai toga berwarna hitam dengan lengan lebar, simare dan bef, dengan atau tanpa peci”.
149
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
3) Pandangan penuntut umum, adalah pandangan subyektif dari posisi yang obyektif (een subjectieve beoordeling van een objectieve positie). Maksudnya adalah bahwa penuntut umum sebagai wakil negara harus menyandarkan sikapnya kepada kepentinga masyarakat dan negara. Meskipun demikian ia harus bersandarkan pada ukuran yang obyektif. Secara obyektif artinya, jika ternyata dalam sidang tidak terdapat cukup bukti akan kesalahan terdakwa maka penuntut umum harus meminta (menuntut) agar terdakwa dibebaskan walaupun pertama – tama ia harus berpegang pada kepentingan masyarakat dan negara. 4) Pandangan hakim, adalah sebagi pandangan obyektif dari posisi yang obyektif (een objectieve beoordeling van een objectieve positie). Maksudnya segala – galanya harus dipertimbangkan oleh hakim, baik dari sudut kepentingan terdakwa maupun kepentingan masyarakat dan negara. Misalnya, hakimharus memperhatikan hal – hal yang meliputi keadadaan terdakwa (meskipun terdakwa bersalah) seperti : - apakah terdakwa melakukan pencuriannya itu disebabkan karena kemiskinan - apakah terdakwa dalam melakukan tindak pidananya itu bru pertama kali (first offender), sebab pidananya harus lebih ringan daripada yang telah berulang kali melakukan (recidive) Jadi, hakim betul–betul harus memperhatikan kepentingan dari dua pihak, yaitu pihak terdakwa dan masyarakat atau negara. Dalam kaitannya dengan ini Mr. A.A.G. Peters berpendapat bahwa apa yang mengikat penuntut umum, penasehat hukum dan hakim adalah orientasi mereka secara bersama – sama terhadap hukum. Apa yang memisahkan mereka adalah bahwa penuntut umum bertindak demi kepentingan umum, penasehat hukum demi kepentingan subyektif dari terdakwa dan hakim dalam konflik ini harus secara konkrit dapat mengambil putusannya. Dalam pada itu, Mr. P.M. Trapman melukiskan betapa sulitnya kedudukan penasehat hukum dalam membela perkara pidana di muka sidang pengadilan dengan menyatakan bahwa “ de subjectieve positie van den 150
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
raadsman is zijn noodzakelijke eenzijdigheid, de objectieve beoordeling zijn ethisce legitimatie ”, dimana seorang penasehat hukum (raadsman) harus memadukan antara keharusan memihak kepada terdakwa sebagai suatu noodzakelijke dan di samping itu ia harus mengemukakan penilaian yang obyektif terhadap kejadian – kejadian di persidangan karena ethics (legitimatie). 3. Penetapan Sidang dan Pemanggilan Apabila Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum dan berpendapat bahwa perkara tersebut termasuk wewenangnya, Ketua Pengadilan Negeri kemudian menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang (Pasal 152 ayat 1 KUHAP). Dalam menetapkan hari sidang tersebut hakim memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang pengadilan (Pasal 152 ayat 2 KUHAP). KUHAP mengatur dalam Pasal 145 syarat – syarat tentang sahnya suatu panggilan kepada terdakwa sebagai berikut : 1) Surat panggilan kepada terdakwa disampaikan di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir. 2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediamannya terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir. 3) Dalam hal terdakwa berada dalam tahanan, surat panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara. 4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda terima. 5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak diketahui, surat panggilan tersebut ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya. Dalam pada itu, menurut Pasal 146 KUHAP surat panggilan kepada terdakwa tersebut memuat tanggal, hari serta jam 151
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil, yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat – lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai (ayat 1). Begitu pula bagi pemanggilan saksi berlaku ketentuan yang sama (Pasal 146 ayat 2 KUHAP). 4. Proses pemeriksaan di sidang pengadilan Pada hari yang telah ditetapkan menurut Pasal 152 pengadilan bersidang (Pasal 153 ayat (1) KUHAP). Dimulai hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak – anak (Pasal 153 ayat 3 KUHAP). Ini berarti bahwa dalam kedua hal tersebut, maka sidang dinyatakan tertutup. Meskipun demikian putusan hakim harus diucapkan dengan pintu terbuka. Pemeriksaan dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang harus dimengerti oleh terdakwa dan saksi (Pasal 153 ayat 2). Apabila kedua ketentuan tersebut tidak dipenuhi, mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum (Pasal 153 ayat 4). Jika sidang sudah dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, hakim ketua sidang memerintahkan kepada penuntut umum agar terdakwa dipanggil masuk ke ruangan sidang dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas (Pasal 154 ayat 1 KUHAP). Artinya tidak dalam keadaan dibelenggu tanpa mengurangi pengawalan. Dalam pada itu, jika dalam pemeriksaan terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah. Apabila terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya (Pasal 154 ayat 2 dan 3). Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak bisa diteruskan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. Sedangkan apabila dalam perkara tersebut ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, 152
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
maka pemeriksaan dapat dilangsungkan terhadap terdakwa yang hadir (Pasal 154 ayat 4 dan 5). Jadi, dalam hal ini kehadiran terdakwa merupakan kewajiban bukan merupakan hak sehingga terdakwa harus hadir di sidang pengadilan. Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya. Dalam hal demikian, panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang (Pasal 154 ayat 6 dan 7). Bagaimana penyelesaiannya apabila meskipun penuntut umum telah berusaha untuk menghadirkan terdakwa, tetapi tetap tidak berhasil (misalnya terdakwa tidak ditahan dan tidak diketahui lagi tempat tinggal atau kediamannya) ? Dalam hal demikian, maka telah dikeluarkan surat edaran Mahkamah Agung Nomor : tahun , yang intinya menyatakan bahwa hakim memutus perkara tersebut dengan menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Ini dimaksudkan supaya tidak terjadi tunggakan perkara di pengadilan negeri. Setelah terdakwa menghadap dan duduk di kursi yang telah disediakan, kemudian hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang (Pasal 155 ayat 1). Setelah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaannya. Selesai penuntut umum membacakan surat dakwaan tersebut, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar – benar mengerti, dan apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan (Pasal 155 ayat 2). Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa atau penasehat hukum, apakah ada hal – hal yang akan dikemukakan atas surat dakwaan penuntut umum 153
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
tersebut. Dalam hal ini, maka ada dua kemungkinan, yaitu ada atau tidak ada. Apabila tidak ada, penasehat hukum minta agar pemeriksaan dilanjutkan. Dalam pada itu, jika ada keberatan atas surat dakwaan tersebut, maka terdakwa atau penasehat hukum mengajukan keberatan (eksepsi), yang menurt Pasal 156 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut : a. bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya. b.bahwa dakwaan tidak dapat diterima (tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima). c. bahwa surat dakwaan harus dibatalkan. Setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menanggapinya, hakim mempertimbangkan eksepsi tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Pasal 156 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa jika hakim menyatakan keberatan (eksepsi) tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut. Sebaliknya dalam hal eksepsi tersebut tidak diterima atau hakim berpendapat bahwa eksepsi tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan perkara itu, maka sidang dilanjutkan. Perlu dikemukakan di sini bahwa eksepsi bertujuan untuk menghemat tenaga dan waktu sidang. Kalau dari surat dakwaan sejak awal sudah diketahui bahwa perkara atas dasar dakwaan itu (tanpa pemeriksaan sidang), maka perkara itu harus diputus tanpa pemeriksaan sidang. Dengan demikian akan dihemat tenaga dan waktu bersidang. Eksepsi juga mempunyai fungsi lain. Dalam mengemukakan eksepsinya, penasehat hukum dapat memberi pengarahan atau penjelasan – penjelasan apa dan bagaimana sifat sebenarnya perkara tersebut. Terutama hal – hal yang belum dimuat dalam surat dakwaan dan di dalam berkas pemeriksaan pendahuluan. Fungsi yang sama dilakukan oleh advokat – advokat di dalam “adversarysystem” dalam peradilan jury (jury-trial) yang menganut sistem accusatoir, yaitu di dalam pidato “openings statement for the defence”, yang mengikuti “openings statement for the prosecution” oleh “public prosecutor”. 154
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Eksepsi dapat pula diajukan bersama – sama dengan permintaan banding oleh terdakwa atau penasehat hukumnya kepada pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari sejak pengadilan tinggi menerima perkara itu dan membenarkan eksepsi terdakwa atau penasehat hukum tersebut, pengadilan tinggi dengan keputusan membatalkan putusan pengadilan negeri yang bersangkutan dan menunjuk pengadilan negeri lain yang berwenang (Pasal 156 ayat 5 sub a). Dalam hal demikian, maka pengadilan tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang dan kepada pengadilan negeri yang semula mengadili perkara yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan negeri yang telah melimpahkan perkara itu (Pasal 156 ayat 5 sub b). Apabila pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) Pasal 156 berkedudukan di daerah hukum pengadilan tinggi lain, maka kejaksaan negeri mengirimkan berkas perkara tersebut kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadilan negeri. Dalam pada itu, Pasal 156 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa jika pengadilan negeri menerima eksepsi terdakwa atau penasehat hukumnya, maka penuntut umum berhak mengajukan tuntutan perlawanan (requisitoir-verzet) ini telah diuraikan dalam pokok bahasan VI di muka (lihat Pasal 149 KUHAP). Perlu dikemukakan di sini bahwa meskipun tidak ada perlawanan, hakim ketua sidang karena jabatannya setelah mendengar pendapat penuntut umum dan terdakwa dengan surat penetapan yang memuat alasannya dapat menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang (Pasal 156 ayat 7). Dalam pada itu, menurut ketentuan Pasal 160 KUHAP yang pertama – tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi. Saksi dipangil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang sebaik – baiknya dipandang oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum. Hakim ketua sidang wajib pula mendengar saksi baik yang memberatkan (a charge) maupun yang meringankan (a de charge) yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara atau 155
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
yang diminta oleh terdakwa atau penasehat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan hakim. Mula – mula hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan, selanjutnya apakah saksi kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta apakah saksi berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai, atau saksi terikat hubungan kerja dengan terdakwa. Sebelum memberikan kesaksian, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing – masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberikan keterangan. Sedangkan menurut Pasal 161 KUHAP ditentukan bahwa dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji, maka pemeriksaan terhadap saksi tersebut tetap dapat dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera (gijzeling) di rumah tahanan negara paling lama empat belas hari. Dan, apabila tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau bersumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan saksi atau ahli tersebut tidak dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Bisa terjadi saksi atau ahli telah bersumpah di tingkat penyidikan, kemudian meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan dan keterangan itu disamakan nilainya dengan 156
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang (Pasal 162 KUHAP). Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang (Pasal 163 KUHAP). Dalam pada itu, setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan saksi tersebut (Pasal 164 ayat 1 KUHAP). Dengan perantara hakim ketua sidang, baik penuntut umum maupun penasehat hukum diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan – pertanyaan kepada saksi dan terdakwa (Pasal 164 ayat 2). Perlu dikemukakan di sini bahwa dalam memberikan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa ada empat macam pertanyaan yang tidak boleh ditanyakan oleh hakim, penuntut umum dan penasehat hukum. Keempat pertanyaan yang merupakan larangan itu ialah : 1. Pertanyaan yang bersifat menjerat (strikvragen). 2. Pertanyaan yang bersifat sugestif (suggestieve vragen). 3. Pertanyaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara (niet terzake dienende vragen). 4. Pertanyaan yang tidak etis (Onbetamelijke vragen). Apabila ada pertanyaan – pertanyaan yang demikian yang diajukan oleh hakim, penuntut umum atau penasehat hukum, maka menurut Pasal 164 ayat (3) KUHAP hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan tersebut dengan memberikan alasannya. Di dalam penjelasan Pasal 166 KUHAP dinyatakan bahwa jika dalam salah satu pertanyaan disebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui telah dilakukan oleh terdakwa atau tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap seolah – olah diakui atau dinyatakan, maka pertanyaan yang sedemikian itu dianggap sebagai pertanyaan yang bersifat menjerat. Selanjutnya hakim ketua sidang dan hakim anggota dapat minta kepada saksi segala keterangan yang dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran (Pasal 165 ayat 1). Demikian 157
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
pula penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum dengan perantara hakim ketua sidang diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi. Namun, hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum kepada saksi dengan memberikan alasan penolakannya (Pasal 165 ayat 2 dan 3). Hakil dan penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum dengan perantara hakim ketua sidang dapat saling menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran keterangan mereka masing – masing (cross-examination) sebagaimana diatur Pasal 165 ayat (4) KUHAP. Selanjutnya menurt Pasal 167 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa setelah saksi memberikan keterangan, ia tetap berada di ruang sidang kecuali jika hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya. Izin hakim ketua sidang kepada saksi untuk meninggalkan ruang sidang ini pun tidak dapat diberikan, jika ada permintaan dari penuntut umum atau penasehat hukum atau terdakwa agar saksi tetap tinggal dalam ruang sidang. Permintaan ini misalnya sehubungan dengan diperlukannya saksi tersebut agar ia dapat turut mendengarkan keterangan yang diberikan oleh saksi berikutnya demi sempurnanya pemeriksaan perkara. Selama pemeriksaan sidang para saksi dilarang saling bercakap – cakap (Pasal 167 ayat 2 dan 3 KUHAP). Setelah saksi memberikan keterangan maka terdakwa atau penasehat hukum atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang, agar di antara saksi tersebut yang tidak mereka kehendaki kehadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian supaya saksi lainnya dipanggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk didengar keterangannya, baik seorang demi seorang maupun bersama – sama tanpa hadirnya saksi yang dikeluarkannya tersebut. Apabila dipandang perlu, hakim karena jabatannya dapat minta supaya saksi yang telah didengar keterangannya keluar dari ruang sidang untuk selanjutnya mendengar keterangan saksi yang lain (Pasal 172 KUHAP). Dalam pada itu, hakim ketua sidang dapat pula mendengar keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa, yaitu apabila menurut pendapat hakim seorang saksi 158
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
itu akan merasa tertekan atau tidak bebas dalam memberikan keterangannya jika terdakwa hadir di sidang, maka untuk menjaga hal yang tidak diinginkan hakim dapat menyuruh terdakwa ke luar untuk sementara dari persidangan selama hakim mengajukan pertanyaan kepada hakim (Pasal 173 KUHAP). Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh – sungguh kepada saksi supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu itu. Dan, apabila peringatan itu tidak diindahkan dan saksi tetap memberikan keterangan atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu. Yang dimaksud dengan sumpah palsu di sini adalah bukan sumpahnya yang palsu, sebab dalam hal ini saksi telah mengucapkan lafal sumpah dengan benar dimana saksi bersumpah akan memberikan keterangan yang benar tidak lain dari yang benar. Akan tetapi pada kenyataannya saksi telah memberi keterangan yang menurut pendapat hakim sebagai keterangan yang tidak benar. Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksiitu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut KUHAP. Dan, jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara terhadap saksi itu selesai, yaitu melakukan tindak pidana sumpah palsu sebagaimana diancam pidana berdasarkan Pasal 242 KUHAP (liha Pasal 175 ayat 1, 2, 3 dan 4 KUHAP). Menurut sistem KUHAP, maka setelah saksi didengar keterangannya baru terdakwa diperiksa. Di dalam Pasal 175 KUHAP dinyatakan bahwa jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan. 159
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Dalam hal ini hakimketua sidang tidak dapat memaksa terdakwa untuk menjawab pertanyaan, karena bagi terdakwa yang tidak mau menjawab pertanyaan tidak ada sanksinya. Dan, apabila terdakwa bungkam maka tidak boleh diterima sebagai bukti bahwa ia mengakui kesalahannya. Memang ada dalil yang menyatakan, “Barang siapa yang bungkam itu benar”, yang berarti ia membenarkan dakwaan terhadap dirinya. Namun hal yang demikian itu menurut hemat saya hanya berlaku sepanjang pemeriksaan untuk perkara perdata dan tidak berlaku untuk “foro criminali”. Perlu dikemukakan di sini bahwa setiap orang menghormati pengadilan, khususnya bagi mereka yang berada di ruang sidang sewaktu pesidangan sedang berlangsung bersikap hormat secara wajar dan sopan serta tingkah laku yang tidak menyebabkan kegaduhan atau terhalangnya persidangan. Di dalm Pasal 176 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindahkan ia memerikntahkan supaya terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian pemeriksaan perkara pada waktu itu dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa. Selanjutnya di dalam ayat (2) Pasal tersebut dinyatakan bahwa dalam hal terdakwa secara terus menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa. Selanjutnya apabila dalam suatu perkara terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, misalnya terdakwa atau saksi adalah seorang asing, maka hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. Dan, dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara maka ia juga tidak boleh menjadi juru bahasa dalam perkara itu (Pasal 177 ayat 1 dan 2). Dengan demikian, syarat – syarat untuk dapat menjadi saksi berlaku pula untuk orang yang akan menjadi juru bahasa. Di dalam Pasal 178 ayat (1) KUHAP ditentukan pula pemeriksaan terhadap terdakwa atau saksi yang bisu dan atau 160
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
tuli serta tidak dapat menulis. Dalam hal demikian maka hakimketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. Namun, apabila terdakwa atau saksi yang bisu atau tuli itu dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan dan jawabannya itu harus dibacakan (Pasal 178 ayat 1 dan 2). Dalam pada itu, setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Saksi ahli bersumpah atau berjanji bahwa mereka akan memberi keterangan yang sebaik – baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Semua ketentuan mengenai saksi biasa berlaku juga sebagai saksi ahli (Pasal 179 ayat 1 dan 2). Selanjutnya menurut Pasal 180 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. Apabila dari hasil keterangan ahli ini terdakwa atau penasehat hukum berkeberatan, maka hakim dapat memerintahkan agar diadakan penelitian ulang. Penelitian ulang ini dapat pula dilakukan atas inisiatif hakim sendiri karena jabatannya. Dan, penelitian ulang tersebut dilakukan oleh instansi semula dengan kmposisi yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu (Pasal 180 ayat 2, 3 dan 4). Selanjutnya apabila dalam perkara tersebut ada barang buktinya, maka hakim ketua sidang memperlihatkan barang bukti itu kepada terdakwa dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dan jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi. Di samping itu, apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu (Pasal 181 ayat 1, 2 dan 3). 161
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, hakimketua sidang mempersilahkan penuntut umum untuk mengajukan tuntutan pidananya (requisitoir). Apabila penuntut umum telah membacakan requisitoirnya, hakim ketua sidang memberikan kesempatan kepada terdakwa dan atau penasehat hukum untuk mengajukan pembelaannya (pleidooi). Atas pleidooi ini penuntut umum dapat menanggapinya (repliek), dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukum selalu mendapat giliran terakhir (dupliek). Baik requisitoir, pleidooi, repliek dan dupliek dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan (Pasal 182 ayat (1) sub a, b dan c KUHAP). Setelah dianggap telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum dengan memberikan alasannya. Setelah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan (vonnis) dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasehat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang. Adapun musyawarah tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang (Pasal 182 ayat 2, 3 dan 4). Mengenai cara musyawarah untuk mengambil putusan tersebut sebagai berikut : 1. Hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya 2. Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh – sungguh tidak dapat dicapai, maka berlau ketentuan sebagai berikut : a. putusan diambil dengan suara terbanyak 162
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
b. jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. (Lihat Pasal 182 ayat 5 dan 6 KUHAP). Semuanya itu kemudian dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia. Adapun putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum (Pasal 182 ayat 7 dan 8 KUHAP).
163
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
BAB IX HUKUM PEMBUKTIAN 1. Pendahuluan Di muka telah diuraikan bahwa surat dakwaan yang dibikin oleh penuntut umum di muka sedang wajib dibuktikan kebenarannya guna menentukan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakannya itu. Masalah pembuktian ini merupakan masalah yang rumit dan justru ia merupakan titik sentral dari hukum acara pidana. Tujuan pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang materiil dan bukan untuk mencari kesalahan seseorang. Van Bemmelen mengatakan bahwa maksud dari pembuktian (bewijzen) adalah sebagai berikut: “Bewijzen is derhalve door onderzoek en redenering van de rechter een redelijke mate van zekerheid de verschaften”: a. omtrent de vraag op bepaalde feiten heeben plaats gevonden. b. Omtrent de vraag waroom dit het geval is geweest. Bewijzen bastaat dus uit: 1. het wijzen op waarneembare feiten. 2. mededeling van het waargenomen feiten. 3. logisch denken. Tejemahannya lebih kurang sebagai berikut: ”Maka pembuktian ialah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak dengan jalan memeriksa dan penalaran dari hakim”: a. mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh benar terjadi. b. Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa itu telah terjadi. Dari itu pembuktian terdiri dari: 1. menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh pancaindra. 2. memberi keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah diterima tersebut. 3. menggunakan pikiran logis. Dengan demikian pengertian pembuktian sesuatu adalah menunjukkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh pancaindera, mengemukakan hal-hal tersebut, dan berfikir secara logis. 164
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Pembuktian ini dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutus perkara. Dalam hal ini yang harus dibuktikan ialah kejadian yang konkrit, bukan sesuatu yang abstrak. Dengan adanya pembuktian itu maka hakim meskipun ia tidak melihat dengan mata kepala sendiri kejadian yang sesungguhnya, ia dapat menggambarkan dalam pikirannya apa yang sebenarnya terjadi, sehingga hakim dapat memperoleh keyakinan tentang hal tersebut. 2. Sistem atau Teori Pembuktian Bahwa, perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara). Indonesia yang menganut sistem kontinental yang sama dengan Belanda dan negara-negara Eropa Kontinental yang lain, memakai sistem bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang diajukan kepadanya dengan keyakinannya sendiri dan bukan dewan juri seperti halnya di Amerika Serikat dan negara-negara Anglo Saxon. Di negara-negara yang disebut terakhir ini maka dewan jurilah yang menentukan salah atau tidaknya terdakwa (guilty or not guilty) dalam persidangan yang dipimpin oleh hakim (judge). Jasi bukan hakim yang menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, tetapi dewan juri yang terdiri dari orang awam (layman). Apabila dewan juri menyatakan ”guilty”, maka hakimlah yang menjatuhkan pidana (sentencing). Begitu sebaliknya juka dewan juri menyatakan ”not guilty” maka hakim akan membebaskan terdakwa (acquitted). a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Belaka Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka ini disebut juga ”conviction intime”. Menurut teori ini hakim dianggap cukup mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinannya dengan tidak terikat pada suatu aturan hukum, hingga dengan teori ini hakim dapat mencari dasar putusannya itu menurut perasaannya semata-mata. 165
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Sehingga dengan demikian atas dasar perasaannya itu dapat dipakai untuk menentukan apakah suatu keadaan dianggap telah terbukti atau tidak. Di dalam sistem atau teori ini hakim tidak diwajibkan mengemukakan alasan-alasan hukum yang dipakai sebagai dasar putusannya. Namun demikian apabila hakim dalam putusannya itu alat bukti yang dipakai, maka hakim secara bebas dapat menunjuk alat bukti apa saja, termasuk alat bukti yang sekiranya sulit diterima dengan akal sehat. Misalnya adanya kepercayaan terhadap seorang dukun, yang setelah mengadakan upacara yang bersifat mistik dapat menentukan siapa yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah dalam suatu kasus tertentu. Jadi dengan sistem ini dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti sebagaimana ditentukan oleh undang-undang. Sistem ini dianut oleh peradilan yang memakai sistem juri (jury trial). Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem tersebut pernah juga dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Di dalam sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan dari medium atau dukun. Adapun keberatan terhadap sistem ini ialah karena di dalamnya terkandung kepercayaan yang sangat besar terhadap ketepatan kesan-kesan pribadi seorang hakim (sangat bersifat subyektif). Di samping itu terhadap putusan-putusan atas dasar sistem pembuktian tersebut sukar untuk dilakukan penelitian bagi hakim atasan, sehingga tidak dapat mengetahui pertimbanganpertimbangan hakim yang menjurus ke arah terbitnya putusan. Oleh karena itu sistem ini sudah tidak layak dipakai dalam kehudupan hukum di Indonesia. b. Sistem atau Teori Pembuktian menurut Undang-Undang yang Positif Teori pembuktian ini disebut juga ”positief wettelijk bewijs theorie” atau juga dikenal dengan teori pembuktian formil (formele bewijstheorie). Di dalam sistem atau teori ini undang-undang telah menentukan alat bukti yang hanya dapat dipakai oleh hakim, dan asal alat bukti telah dipakai 166
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
secara yang telah ditentukan oleh undang-undang maka hakim harus dan berwenang menetapkan terbukti atau tidaknya perkara yang dipariksanya itu, meskipun barangkali hakim sendiri belum begitu yakin atas kebenaran dalam putusannya itu. Sebaliknya apabila tidak terpenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-undang, maka hakim akan mengambil keputusan yang sejajar, dalam srti putusan itu harus berbunyi tentang sesuatu yang tidak dapat dibuktikan adanya, meskipun dalam hal ini sebenarnya hakim berkeyakinan atas hal tersebut. Sebagai contoh misalnya ada dua orang saksi yang telah disumpah, yang menyatakan kesalahan terdakwa. Meskipun dalam hal ini hakim berkeyakinan bahwa terdakwa tidak melakukan pelanggaran hukum, maka hakim tetap akan menjatuhkan putusannya yang menyatakan bahwa ada kesalahan bagi terdakwa terebut. Demikian sebaliknya, andaikata dua orang saksi itu mengatakan bahwa terdakwa tidak bersalah, maka meskipun hakim sebenarnya yakin bahwa terdakwa telah melakukan pelanggaran hukum tersebut, ia harus membebaskan terdakwa. Jadi, sistem ini hanya didasarkan pada ukuran ketentuan undang-undang ssaja dan meninggalkan nilai kepercayaan tentang diri pribadi hakim sebagai sumber keyakinan sehingga akan menimbulkan bentuk putusan yang dapat menggoyahkan kehidupan hukum karena kurangnya dukungan dalam masyarakat sebagai akibat putusan-putusan yang tidak dapat mencerminkan kehendak masyarakat yang akan tercermin dalam pribadi hakim. c. Sistem atau Teori Pembuktian menurut Undang-Undang yang Negatif Menurut sistem atau teori ini, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-sedikitnya telah ditentukan oleh undang-undang dan masih ditambah dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti tersebut. Teori pembuktian ini disebut ”negatief wettelijke bewijstheorie”. Istilah wettelijk berarti sistem ini 167
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
berdasarkan undang-undang, sedang istilah negatief maksudnya ialah bahwa meskipun dalam perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, hakim belum boleh menjatuhkan pidana sebelum ia memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Sejak zaman Hindia Belanda dahulu hingga sekarang, hukum acara pidana kita secara konsisten memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif (negatief wettelijk). Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal-Pasal yang mengaturnya. Pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Nampak disini bahwa pembuktian menurut KUHAP harus didasarkan pada undang-undang, yaitu alat bukti yang telah diatur dalam Pasal 184 KUHAP, disamping itu disertai dengan keyakinan hakim yang hanya dapat diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Demikian pula di dalam HIR, Pasal 294 ayat (1) menyatakan: ”Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu”. Hal yang sama diatur pula di dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang No. 4 Tahun 2004), Pasal 6 ayat (2) menyatakan: ”Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.” Dapat disimpulkan di sini bahwa sistem ”negatief wettelijk” ini telah menentukan alat-alat bukti secara limitatif dalam undang-undang dan bagaimana cara 168
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang. d. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis Teori atau sistem ini menentukan bahwa hakim di dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk mengambil keputusannya, sama sekali tidak terikat pada alat-alat bukti sebagaimana yang termaktub dalam undangundang, melainkan hakim secara bebas diperkenankan memakai alat-alat bukti lain, asalkan semuanya itu berlandaskan alasan-alasan yang tepat menurut logika. Sistem ini dalam ilmu pengetahuan disebut juga sebagai teori ”conviction raissonnee”. Jadi, menurut teori ini alat-alat bukti dan cara pembuktiannya tidak ditentukan dalam undang-undang. Hal ini tidak berarti bahwa teori ini tidak dikenal alat-alat bukti dan cara pembuktiannya. Hanya saja hal itu semua tidak secara pasti ditentikan dalam undang-undang seperti dalam sistem ”negatief wettelijk” di atas. Oleh karena itu, dalam menentukan macam dan banyaknya bukti yang dipandang cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa, hakim sangat bebas, dalam arti tidak terikat oleh suatu ketentuan yang ada. Sehungga sistem yang atau teori ini disebut pula sebagai teori pembuktian bebas (vrije bewijstheori). Dapat disimpulkan di sini bahwa persamaan antara teori ”negatife wettelijk” dengan teori pembuktian bebas (vrije bewijstheori) ialah keduanya sama berdasarkan atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah. Sedangkan perbedaannya adalah, bahwa dalam teori negatief wettelijk sumber adanya keyakinan hakim datangnya dari alat-alat pembuktian yang secara limitatif telah ditentukan oleh undang-undang. Lain halnya dengan teori pembuktian bebas (vrije bewijstheori), meskipun berpangkal tolak dari keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan pada suatu kesimpulan yang logis, yang tidak didasarkan pada undang-undang, tetapi hakim secara 169
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
bebas dapat mengadakan pemilihan alat-alat bukti yang mana yang akan ia pergunakan. 3. Hal-hal yang Berkaitan dengan Pembuktian Di dalam hukum pembuktian (law of evidence) maka ada hal-hal yang pokok berkaitan dengan pembuktian, yaitu: Alat-alat pembuktian (bewijsmiddelen). Penguraian pembuktian (bewijsvoering). Kekuatan pembuktian (bewijskracht). Dasar pembuktian (bewujsgrond). Beban pembuktian (bewijslast). a. Alat Pembuktian (Bewijsmiddelen) Oleh karena kejadian-kejadian yang harus dibuktikan itu pada hakikatnya selalu terletak dalam masa yang lampau, maka diperlukan alat-alat pembantu untuk dapat menggambarkannya mengenai terjadinya suatu peristiwa pidana tersebut, yang dalam hal ini dapat diambil dari bekas-bekas yang ditinggalkan atau keterangan dari orangorang yang melihat, mendengar atau mengalami sendirinya terjadi peristiwa tersebut. Dari hasil pemeriksaan dan penelitian terhadap bekas-bekas atau keterangan orangorang itu dapat dipergunakan untuk membantu hakim dalam menggambarkan atau melukiskan kembali tentang kepastian dari peristiwa tersebut yang telah pernah terjadi. Atas dasar uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud denga alat bukti itu adalah alat yang dipakai untuk membantu hakim dalam menggambarkan kembali mengenaikepastian pernah terjadinya peristiwa pidana. b. Penguraian Pembuktian (Bewijsvoering) Penguraian pembuktian ialah cara-cara dalam mempergunakan alat-alat bukti tersebut dalam suatu perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Dalam hal ini hakim berkewajiban meneliti apakah dapat terbukti bahwa terdakwa telah melakukan hal-hal seperti didakwakan kepadanya.
170
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
c. Kekuatan Pembuktian (Bewijskracht) Kekuatan pembuktian ini artinya adalah pembuktian dari masing-masing alat bukti. Misalnya sejauh mana bobot alat-alat bukti tersebut terhadap perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Sebagai contoh misalnya keterangan saksi yang diucapkan di bawah sumpah lain kekuatan buktinya dengan saksi yang tidak disumpah ataupun dengan saksi de auditu. Dalam pembuktian, maka hakim sangat terikat pada kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. d. Dasar Pembuktian (Bewijsgrond) Dasar pembuktian adalah isi dari alat bukti. Misalnya keterangan seorang saksi bahwa ia telah melihat sesuatu, disebut alat bukti, tapi keadaan apa yang dilihatnya, yang didengar atau dialaminya dengan disertai alasan-alasan mengapa ia melihat, mendengar atau mengalami itu yang diterangkannya dalam kesaksiannya, disebut dasar pembuktian. e. Beban Pembuktian (Bewijslast) Beban pembuktian ini menyangkut persoalan tentang siapakah yang diwajibkan untuk membuktikan atau dengan perkataan lain siapakah yang mempunyai beban pembuktian? Dalam hubungannya dengan ini, maka perlu diingat adanya asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), yang menyatakan bahwa seseorang yang diadili wajib dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan di muka hakim. Asas ini sesuai Pasal 66 Statuta, setiap orang dianggap tidak bersalah di depan Mahkamah sesuai hukum yang berlaku. Jaksa Penuntut bertanggung jawab untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Komite hak asasi manusia dari PBB dalam komentarnya atas Pasal 14 dari Internasional Covenant on Civil and Political Rights menegaskan bahwa praduga tak bersalah memberikan kewajiban kepada semua alat negara untuk menahan diri agar jangan mendahului suatu hasil peradilan. 171
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Semua orang harus dianggap tidak bersalah sampai terdapatnya bukti bahwa mereka memang bersalah76. Dengan adanya asas praduga tak bersalah tersebut, berarti bahwa pihak yang mendakwalah yang wajib membuktikan dakwaan yang bukan sebaliknya. Oleh karena itu, maka pihak penuntut umumlah yang mempunyai beban pembuktian, artinya bahwa ia wajib membuktikan kebenaran tentang apa yang terdapat dalm surat dakwaan yang dibuat olehnya itu. Pasal 66 KUHAP, yang merupakan penjelmaan dari asas presumption of innocence secara tegas menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. 4. Alat-Alat Bukti (Bewijsmiddelen) Perihal pembuktian di dalam KUHAP diatur pada Bab XVI Bagian ke empat dari Pasal 183 sampai dengan Pasal 189. Di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan, alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; dan e. keterangan terdakwa. a. Keterangan Saksi Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah ini harus memenuhi dua syarat, yaitu: 1) syarat formil 2) syarat materiil yang dimaksud dengan syarat formil ialah bahwa keterangan saksi dianggap sah apabila diberikan di bawah sumpah (Pasal 160 ayat (3) KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan syarat materiil di sini ialah bahwa materi (isi) kesaksian dari seorang saksi itu harus mengenai hal-hal yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 76
Boer Maulana, 2011, hlm 301.
172
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
27 KUHAP). Dan, menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP keterangan saksi tersebut harus dinyatakan di sidang pengadilan Di dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Namun demikian Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) pernah menggunakan testimonium di auditu atau hearsay evidence ini dalam arrestnya. Adapun contoh kasusnya sebagai berikut: ”A menikam dengan pisau pada B, dan kemudian A melarikan diri. B berteriak minta tolong, yang kemudian datanglah C dan D, di mana A sudah tidak berada di situ. B yang menderita luka parah menerangkan pada C dan D tentang kejadian yang ia alami itu. Dalam hal ini maka C dan D memberikan kesaksian de auditu. Meskipun demikian, Hoge Raad menganggap keterangan yang diberikan C dan D sebagai alat pembuktian yang sah”. Dalam pada itu, yurisprudensi Indonesia ada yang menerima dan ada pula yang menolak kesaksian de auditu. Misalnya putusan Landraad Telukbetung, 14 Juli 1938 menolak memberi kekuatan pembuktian kesaksian demikian dengan alasan bahwa suatu kesaksian de auditu tidak dapat dianggap mempunyai daya bukti sah. Putusan tersebut di kuatkan oleh Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi) di Batavia. Sebaliknya keputusan Landraad meeter Cornelis, 27 Januari 1939, pada pokoknya setuju memberi daya bukti pada kesaksian de auditu, dengan alasan bahwa keteranganketerangan korban yang telah meninggal diberikan oleh saksi-saksi yang mendekatinya, segera setelah berlangsung serangan atas dirinya bahwa yang memberi tusukan-tusukan pada dirinya adalah seorang yang disebut pula namanya, mempunyai juga daya bukti, ditilik dari keadaan sekitar pemberian keterangan-keterangan. Keputusan ini kemudian dikuatkan oleh Raad van Justitie di Batavia. Dari yurisprudensi mengenai kesaksian de auditu tersebut, nampaknya tidak dapat dirumuskan secara jelas 173
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
apakah kesaksian de auditu itu diterima ataukah tidak sebagai alat bukti., tetapi tergantung dari kenyataankenyataan yang bersifat kasuistis. Dalam hubungannya dengan syarat formil keterangan saksi yaitu bahwa keterangan saksi itu harus diberikan di bawah sumpah, maka bagaimanakah halnya dengan saksi yang tidak disumpah? Dalam hal ini penjelasan Pasal 161 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keteranagan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Sedangkan dalam Pasal 185 ayat (7) KUHAP dinyatakan bahwa keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Selanjutnya Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Dalam kaitannya dengan ini hukum acara pidana mengenal asas yang dimuat dalam pepatah Romawi, yang mengatakan ”unus testis nullus testis” atau dalam bahasa Belanda ”een getuige is geen getuige” (satu saksi bukan saksi). Akan tetapi hal ini tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (lihat Pasal 185 ayat (3) KUHAP). Pasal 185 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Seperti dikemukakan di atas bahwa menurut Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi. Hal semacam ini hanya berlaku untuk perkara singkat (summier) dan perkara biasa, tidak berlaku untuk pemeriksaan perkara 174
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah. Sehingga apabila dalam perkara cepat telah ada satu alat bukti, misalnya satu keterangan saksi atau satu keterangan ahli atau satu keterangan terdakwa dalam hal itu dapat meyakinka hakim tentang kesalahan terdakwa, maka hakim dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Mengenai bagaimana cara menilai atas kebenaran seorang saksi, maka di dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP diberikan petunjuk agar hakim harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain. b. Persesuaian antara keterangan saksi untuk memberikan keterangan tertentu. c. Alasan yang mingkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu. d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Dalam pada itu, pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi kecuali jika dikecualikan oleh undang-undang. Di dalam KUHAP ada dua kelompok orang yang dikecualikan yang dikecualikan dari kewajibannya menjadi saksi, yaitu: 1. Orang-Orang yang Disebut dalam Pasal 168 KUHAP a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat tiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunya hubungan karena perkawinan dan anakanak saudara terdakwa sampai derajat ke tiga. c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Pasal 168 KUHAP tersebut mempunyai hak tolak (verschoningsrecht) untuk menjadi saksi. Namun menurut Pasal 169 ayat (1) KUHAP jika mereka menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas menyetujuinya maka mereka dapat memberi keterangan di 175
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
bawah sumpah. Dalam hal demikian kesaksian mereka mempunyai nilai pembuktian dan mengikat hakim. Sedangkan apabila penuntut umum dan terdakwa tidak memberikan persetujuannya, mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah (Pasal 169 ayat (2)). 2. Orang-orang yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi (Pasal 170 KUHAP). Mereka yang disebut oleh Pasal 170 KUHAP tersebut juga mempunyai hak tolak (verschoningsrecht) untuk menjadi saksi, yaitu sepanjang hal yang dipercayakan kepada dalam kaitannya dengan rahasia jabatannya itu. Di dalam penjelasan Pasal tersebut menyatakan bahwa pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Jika tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti yang ditentukan oleh Pasal 170 ayat (2) KUHAP, hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut (hak tolak tersebut). Adapun orang yang wajib menyimpan rahasia jabatan inisalnya dokter yang harus merahasia penyakit yang diderita oleh pasiennya. Begitu pula inisalnya notaris, pegawai bank, advokat, wartawan yang menurut undangundang wajib menyimpan rahasia jabatannya. Sedangkan orang yang karena harkat martabatnya wajib menyimpan rahasia adalah pastor katholik. Ini sehubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang mengemukakan pengakuan dosa kepada pastor tersebut. Orang-orang yang disebut oleh Pasal 171 KUHAP, yang boleh diperiksa tanpa sumpah ialah : a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadangkadang ingatannya baik kembali. 176
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Dalam penjelasan Pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadangkadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut Psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. Sebagaimana diuraikan di muka bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat formil dalam kesaksian agar dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah. Sehubungan dengan itu Penjelasan Pasal 161 ayat (2) KUHAP mengatakan bahwa keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. b. Keterangan ahli Pengaturan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah di dalam KUHAP adalah merupakan hal yang baru, karena dalam hukum acara pidana yang lama (HIR) tidak mencantumkannya sebagai alat bukti yang sah. Penafsiran otentik mengenai keterangan ahli dimuat dalam Pasal 1 butir 28 yang menyatakan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang meiniliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Menurut Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli harus dinyatakan oleh ahli tersebut di sidang pengadilan. Namun, keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberi keterangan 177
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. Dalam pada itu, Pasal 179 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Perlu ditekankan di sini, bahwa menurut ayat (2) dari Pasal tersebut dinyatakan bahwa semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Adapun mengenai materi keterangan saksi dengan ahli berbeda. Keterangan seorang saksi mengenai apa yang dilihat, didengar dan dialaini oleh saksi itu sendiri. Sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian tentang hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan (pendapat) mengenai hal-hal itu. Walaupun KUHAP hanya memakai satu istilah saja yaitu "ahli" untuk saksi ahli, namun secara teoritis terdapat tiga macam ahli yang terlibat dalam suatu proses peradilan. Mereka itu adalah : 1. ahli (deskundige) Orang ini hanya mengemukakan pendapatnya tentang suatu persoalan yang ditanyakan pendapatnya tanpa melakukan suatu pemeriksaan. Contoh ahli yang demikian ini, inisalnya dokter spesialis ilmu kebidanan dan penyakit kandungan yang diminta pendapatnya tentang obat "X" yang dipersoalkan dapat atau tidaknya menimbulkan abortus dalam perkara tindak pidana pengguguran kandungan. 2. saksi ahli (getuige deskundige) Orang ini menyaksikan barang bukti atau saksi diam (silent witness), ia melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapatnya. Sebagai contoh inisalnya seorang dokter yang melakukan pemeriksaan terhadap mayat. Jadi ia menjadi saksi karena menyaksikan 178
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
barang bukti itu (mayat) dan kemudian menjadi ahli, karena mengemukakan pendapatnya tentang sebab kematian orang itu. 3. orang ahli (zaakkundige) Orang ini menerangkan tentang sesuatu persoalan yang sebenarnya juga dapat dipelajari sendiri oleh hakim, tetapi akan memakan banyak waktu. Sebagai contoh inisalnya seorang pegawai Bea dan Cukai diminta menerangkan prosedur pengeluaran dan dari pelabuhan atau seorang karyawan Bank diminta penerangkan prosedur untuk mendapatkan kredit dari Bank. Sebenarnya tanpa orang tersebut mengemukakan pendapatnya, hakimpun sudah dapat menentukan apakah telah terjadi suatu tindak pidana atau tidak, karena hakim dapat dengan mudah mencocokan apakah dalam kasus yang sedang diperiksanya itu telah terjadi penyimpangan dari prosedur yang seharusnya atau tidak. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa alat bukti keterangan ahli itu yaitu apabila ahli tersebut menyatakannya di sidang pengadilan dengan bersumpah atau berjanji atau ia menyatakan ada waktu diperiksa oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Sedangkan apabila ahli tersebut secara tertulis memberikan keterangan tanpa diperiksa oleh penyidik atau penuntut umum atau tanpa diperiksa di muka hakim, maka hal itu menurut Pasal 187 sub c KUHAP termasuk alat bukti "surat". Sebagai contoh inisalnya ialah "visum et repertum" yang dibikin oleh dokter Kedokteran Kehakiman. c. Alat bukti surat Asser - Anema memberikan definisi surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. Hendaknya dibedakan di sini antara surat sebagai alat bukti dengan surat sebagai barang bukti (stukken van overtuiging). Surat sebagai barang bukti adalah surat yang 179
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dipergunakan atau hasil dari kejahatan (corpus delicti). Sebagai contoh inisalnya surat berisi ancaman yang dipakai dalam melakukan tindak pidana pemerasan atau surat palsu yang dipakai dalam tindak pidana penipuan. Sedangkan surat sebagai alat bukti, secara rinci telah diatur dalam Pasal 187 KUHAP sebagai berikut : Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atau sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : a) berita acara dan surat lain dalam bentuk resini yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaininya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resini daripadanya. d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Dengan demikian maka dapat digolongkan menurut Pasal 187 KUHAP adanya dua macam surat, yaitu surat resini (authentieke acte) seperti dimuat dalam Pasal 187 huruf a, b dan c serta surat di bawah tangan (orderhansgeschrift) seperti dimuat dalam huruf d. Menurut Pasal 187 KUHAP huruf d, surat di bawah tangan ini pun masih mempunyai daya bukti jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Sebagai contoh inisalnya keterangan saksi yang menerangkan bahwa ia (saksi) telah menyerahkan uang kepada terdakwa. Keterangan itu merupakan satu-satunya alat bukti di samping selembar tanda terima (kuitansi) yang ditanda tangani oleh terdakwa. Meskipun terdakwa menyangkal telah menerima uang tersebut, dengan bukti 180
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
surat berupa kuitansi yang ada hubungannya dengan keterangan saksi tentang pemberian uang kepada terdakwa, cukup sebagai bukti ininimum sesuai dengan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 187 huruf d KUHAP. d. Alat bukti petunjuk Seperti halnya dalam hukum acara pidana yang lama (HIR), KUHAP masih menggunakan petunjuk sebagai alat bukti. Menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya. Jadi, sama halnya dengan bukti berantai (kettingsbewijs) bahwa petunjuk itu bukanlah alat pembuktian yang langsung, tetapi pada dasarnya adalah hal-hal yang disimpulkan dari alat-alat pembuktian yang lain, yang menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP hanya dapat diperoleh dari : a) keterangan saksi. b) surat. Sehubungan dengan itu, maka di dalam ayat (3) Pasal tersebut dinyatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh cermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. e. Keterangan terdakwa Penyebutan "keterangan terdakwa" sebagai alat bukti yang sah seperti dimuat dalam Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP adalah berbeda dengan hukum acara pidana lama (HIR), yang menyebut dengan istilah "pengakuan terdakwa" sebagai alat bukti yang sah di dalam Pasal 195 HIR. Adapun perbedaan antara pengakuan terdakwa (bekentenis) dengan keterangan terdakwa (erkentenis), yaitu bahwa pengakuan sebagai alat bukti harus memenuhi syarat-syarat: - terdakwa mengaku bahwa ia yang melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 181
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
- terdakwa mengaku bahwa dia yang bersalah Sedangkan keterangan terdakwa mempunyai makna yang lebih luas dari pada pengakuan terdakwa, yang menurut Pasal 1889 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alaini sendiri. Dengan demikian keterangan terdakwa sebagai alat bukti lebih luas pengertiannya dari pengakuan terdakwa, bahkan menurut Memorie van Coelichting Nederland Strafvordering dinyatakan bahwa penyangkalan terdakwa boleh juga menjadi alat bukti yang sah. Sebagai contoh tentang penyangkalan terdakwa yang dinilai oleh lakim sebagai keterangan terdakwa sehingga dipakai sebagai alat bukti adalah dalam kasus pembunuhan berencana (moord) di Leidschendam (H.R. 2 Desember 1940). Dalam kasus tersebut terdakwa menyangkal melakukan pembunuhan berencana seperti yang didakwakan oleh Penuntut umum kepadanya, tetapi ia menerangkan bahwa seorang temannya yang bernama "Arie", yang duduk bersama dalam mobil, yang melakukannya. Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa sendirilah yang melakukan pembunuhan tersebut karena orang yang disebut oleh terdakwa yang bernama "Arie" itu sebenarnya tidak ada. Dengan perubahan alat pembuktian dari penyebutan pengakuan terdakwa menjadi keterangan terdakwa ini sangat penting dalam hukum acara pidana kita dan secara yuridis membawa akibat jauh, yaitu bahwa keterangan saksi. Kepada hakimlah digantungkan harapan untuk menilai keterangan terdakwa tersebut. Sebagaimana diuraikan di muka bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang sah itu harus dinyatakan di muka hakim (Pasal 189 ayat 1 KUHAP). Lantas bagaimanakah keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang pengadilan ? Dalam hal ini keterangan terdakwa tersebut dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat 182
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat 2 KUHAP). Selanjutnya Pasal 189 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal ini, maka yang menjadi masalah di dalam praktek adalah tentang saksi mahkota (kroon getuige). Adapun yang dimaksud dengan saksi mahkota ialah terdakwa yang berstatus menjadi saksi dalam perkara terdakwa yang lain, yang sama-sama melakukan yaitu dalam hal diadakan splitsing dalam pemeriksaannya. Dalam hal demikian, maka ada dua hal yang diabaikan yaitu : 1) terdakwa disumpah, pada hal terdakwa sebenarnya mempunyai hak bohong. 2) keterangan terdakwa digunakan untuk orang lain. Dalam pada itu, Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Ini berarti sesuai dengan asas unus testis mullus testis (satu saksi bukan saksi), yang dalam hal ini lebih tepat dibaca "satu bukti bukan bukti".
183
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
BAB IX PUTUSAN PENGADILAN 1. Pendahuluan Sebagaimana diketahui, akhir suatu proses perkara pidana di pengadilan adalah terwujudnya suatu keputusan hakim. Apabila pihak penuntut umum telah melakukan penuntutan dan penasihat hukum melakukan pembelaan, maka dari sorotan dari hal-hal yang memberatkan dari penuntut umum serta hal-hal mendengarkan dari penasihat hukum, diharapkan dapat diputuskan suatu putusan hakim yang seadil-adilnya. Di dalam pokok bahasan ini akan diuraikan tentang macam-macam putusan pengadilan seperti putusan bebas dari segala dakwaan, putusan lepas dari segala tindakan hukum serta putusan penuduhan suatu hal-hal yang harus dimuat dalam suatu putusan hakim. 2. Macam-macam Putusan Hakim . Di dalam KUHAP kita jumpai adanya tiga macam putusan pengadilan, yang diatur dalam Pasal-Pasal 191 ayat (1), 191 ayat (2) dan 193 ayat (1). Ketiga macam putusan tsb adalah : a. Pasal 191 ayat (1) : putusan yang berisi pembebasan terdakwa dari dakwaan (vrijspraak); b. Pasal 191 ayat (2) : putusan yang berisi pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging); c. Pasal 193 ayat (1) : putusan yang berisi suatu pemidanaan (veroordeling). Ad a. Putusan Bebas (vrijspraak) Menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP jika pengadilan berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atau perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Tidak terbuktinya ini ada dua macam yaitu : - minimum bukti yang ditetapkan oleh Undang-undang tidak terpenuhi, inisalnya hanya ada keterangan terdakwa, atau hanya ada seorang saksi atau satu penunjukan (aanwijzing) saja tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain; 184
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
- ininimum bukti yang ditetapkan oleh Undang-undang telah terpenuhi, inisalnya sudah ada dua orang saksi atau dua penunjukan atau lebih, akan tetapi tidak meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa. Putusan bebas ini mempunyai sifat negatif (neganief karakter). Putusan ini tidak menyatakan, bahwa terdakwa tidak melakukan perbuatan yang didakwakan itu, akan tetapi hanyalah menyatakan bahwa kesalahannya tentang hal itu tidak terbukti. Jadi bahwa kemungkinan besar terdakwalah yang melakukannya, akan tetapi di dalam persidangan hal itu tidak terbukti. Dalam hubungan dengan ini perlu diingatkan mengenai sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana kita (KUHAP), yang tercantum dalam Pasal 183 yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa; suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Sistem pembuktian ini disebut sistem pembuktian menurut Undang-undang yang negatif (negatief - wettelijk). Disebut "wettelijk", oleh karena untuk membuktikan diharuskan adanya alat-alat bukti yang sah menurut alat Undang-undang disebut “negatief“ karena adanya alat bukti tertentu itu saja yang telah ditunjuk oleh Undang-undang belum mewajibkan Hakim untuk menyatakan telah terbukti. Untuk itu masih disyaratkan Hakim. Dengan lain perkataan tentang penilaian kekuatan bukti (bewijskac) dan alat-alat bukti yang telah diajukan dalam persidangan itu sepenuhnya diserahkan kepada Hakim. Perlu dijelaskan disini, bahwa dalam putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dan terdakwa ada dalam status tahanan, maka terdakwa diperintahkan untuk di bebaskan seketika itu juga, kecuali kalau ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan (Pasal 191 ayat (3)). Dalam hal ini jaksa harus segera melaksanakan perintah tersebut.
185
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Ad b. Putusan Lepas dari segala tuntutan Hukum Putusan ini dijatuhkan oleh Hakim jika ia berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Jadi bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana, oleh perbuatan yang terbukti itu sama sekali tidak dapat dimasukkan dalam salah satu ketentuan Undang-undang pidana atau karena adanya alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) tersebut dalam Pasal 48 KUHP, Pasal 49 (1) KUHP, Pasal 50 KUHP dan Pasal 51 ayat (1) KUHP. Putusan ini juga dijatuhkan oleh Hakim dalam hal perbuatan yang terbukti itu merupakan tindak pidana, akan tetapi terdakwanya tidak dapat dipidana disebabkan tidak adanya kemampuan bertanggungjawab tersebut dalam Pasal 44 KUHP atau disebabkan adanya alasan pemaaf (fait d; excuse) tersebut dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP dan Pasal 51 ayat (2) KUHP. Adapun perbedaan yang prinsipil antara dua macam putusan tersebut di atas ialah, bahwa dalam hal putusan bebas (vrijspraak) jaksa tidak dapat naik banding kepada Pengadilan Tinggi (Pasal 67 KUHP), sedangkan dalam hal pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag avan alle recht svervolging) dapat dimintakan banding, baik oleh terdakwa atau jaksa. Ad c. Putusan pemidanaan Putusan ini dijatuhkan oleh Hakim apabila kesalahan terdakwa terhadap perbuatan yahg didakwakan kepadanya dianggap terbukti dengan sah dan meyakinkan. Jadi menurut Pasal 193 ayat (1) KUHP apabila terdakwa terbukti bersalah maka harus dijatuhi pidana, kecuali apabila terdakwanya pada waktu melakukan tindak pidana itu belum berumur enam belas tahun maka Hakim dapat memilih diantara ketentuan yang disebut dalam Pasal 45 KUHP, yaitu : a. menyerahkan kembali kepada orang tuanya atau wali nya, tanpa dikenakan suatu pidana; b. memerintahkan agar terdakwa diserahkan kepada pemerintah, dan supaya dipelihara dalam suatu tempat pendidikan negara sampai berumur delapan belas tahun (lihat Pasal 46 KUHP); 186
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
c. menjatuhkan pidana kepada terdakwa Dalam hal Hakim terpaksa harus menjatuhkan pidana kepada terdakwa yang masih belum berumur 16 tahun ini, maka maksimum pidana pokoknya baru dikurangi sepertiganya (lihat Pasal 47 ayat (1) KUHP), dan dalam hal kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, maksimum pidananya itu menjadi pidana penjara selama 15 tahun (lihat Pasal 47 ayat 2 KUHP). Dalam pada itu menurut Pasal 47 ayat (3) KUHP maka mengenai jenis pidana tambahan yang termaktub dalam Pasal 10 KUHP yang berupa : pidana pencabutan hak dan pengumuman putusan Hakim tidak boleh dijatuhkan. Dalam hal pemidanaan ini Hakim dapat memerintahkan supaya terdakwa yang tidak ditahan, segera dimasukkan dalam tahanan, akan tetapi dalam hal ini disyaratkan oleh Pasal 193 ayat (2) sub a, bahwa perintah untuk penahanannya itu hanya dapat dikeluarkan apabila terdakwa dipersalahkan terhadap tindak pidana-tindak pidana seperti tersebut dalam Pasal 21 KUHP, yaitu yang diancam dengan pidana penjara minimum 5 tahun atau lebih atau termasuk tindak pidana yang disebutkan satu demi satu dalam Pasal 21 KUHP tersebut. Hal ini perlu diingat, sebab dalam praktek masih terjadi dalam kesalahan-kesalahan, yang disebabkan karena Hakim lupa adanya syarat Pasal 21 KUHP itu. Disamping itu "putusan segera masuk" ini kadang-kadang secara kelitu ditafsirkan sebagai segera masuk menjalani pidananya, sehingga pernah terjadi pula seorang terdakwa yang sudah berada dalam tahanan, Hakim masih menjatuhkan putusan "segera masuk") sehingga merepotkan jaksa excecutor. Sebaiknya dalam hal terdakwa ditahan, Hakim dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu, misalnya tahanannya sudah sama dengan pidana yang dijatuhkan atau bahkan melebihinya (Pasal 193 ayat 2 sub b KUHAP). Menurut Pasal 192 ayat (1) jo, Pasal 197 ayat (3) KUHAP, baik perintah untuk penahanan atau pembebasan dari tahanan harus segera dilaksanakan oleh jaksa segera setelah 187
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
putusan diucapkan. Jadi apabila terdakwa mengajukan permohonan banding, sedangkan ada perintah segera dikeluarkan dari tahanan, maka sambil menunggu putusan Pengadilan Tinggi terdakwa berada di luar tahanan. Sebaiknya apabila ada perintah "segera masuk tahanan", maka terdakwa sambil menunggu putusan Pengadilan Tinggi ia berada dalam tahanan. Dalam hal ini Pengadilan Tinggilah yang berwenang menentukan apakah penahanannya diteruskan ataukah perintah penahanan itu dicabut (Pasal 238 ayat 2 KUHAP). Perlu dikemukakan di sini, bahwa dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, Hakim akan memerintahkan supaya barang-barang bukti (shaken van overtuinging) diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau ditusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi (Pasal 194 ayat 1 MUHP). Dalam pada itu apabila Hakim menganggap perlu dapat juga menetapkan supaya pengembalian barang bukti itu dilaksanakan segera setelah persidangan selesai (terstondna afloop van de terchtzitting) sesuai dengan bunyi Pasal 194 ayat (2) KUHP. Perlu dikemukakan di sini, bahwa menurut Pasal 195 KUHAP semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Hal ini sesuai dengan asas yang terkandung dalam Pasal 18 undang-undang Kekuasaan Kehakiman. Disamping itu Pengadilan dalam memutus perkara harus dengan hadirnya terdakwa, kecuali dalam undang-undang ini menentukan lain (Pasal 196 ayat 1 KUHAP). Sedangkan menurut ayat (2) dari Pasal tersebut ditentukan bahwa apabila terdapat lebih dari satu orang terdakwa dalam satu perkara, maka putusan diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada. Adapun maksud dari ketentuan ini adalah untuk melindungi kepentigan terdakwa yang hadir demi menjamin kepastian hukum secara keseluruhan dalam perkara itu. Putusan 188
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
tersebut berlaku baik bagi terdakwa yang hadir maupun yang tidak hadir. Setelah hakim menjatuhkan putusan, maka ia wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala sesuatu yang menjadi haknya yaitu : a. hak segera menerima atau segera menolak putusan; b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan dalam tenggang waktu yang di tentukan dalam Undang-undang; c. hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang untuk mengajukan grasi, dalam hal ia menolak putusan; d. hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undangundang ini, dalam hal ia menolak putusan; e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini. Surat putusan pengadilan (vonnis) yang berisi pemidanaan harus memuat hal-hal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, sebagai berikut : a. kepada putusan yang ditulis berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN YANG MAHA ESA”; b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang di peroleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. Pasal, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. hari dan tanggal diadakan musyawarah majelis hakim, kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; 189
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhinya semua unsur dalam rumusan tindak pidana di sertai kualifikasinya dari pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu; k. perintah supaya terdakawa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera. Dalam ayat (2) dari Pasal 197 disebabkan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan huruf a, b, c, d, e, f, g, h, j, k, dan 1, mengakibatkan putusan itu batal demi hukum. Tetapi penjelasannya disebutkan bahwa kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekelituan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekelituan itu tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Dalam pada itu putusan pengadilan yang bukan pemidanaan memuat : a. ketentuan sebagaimana surat putusan pemidanaan kecuali huruf e, f dan h; b. pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan; c. perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan. Selain dari tiga macam putusan akhir (eind vonnis) seperti telah diuraikan di atas, masih dikenal putusan-putusan lain yang bukan merupakan putusan akhir yaitu: 1. Putusan yang berisi pernyataan tidak berwenangannya pengadilan untuk mengadili suatu perkara (onbevoegd verklaring Pasal 148 ayat 1 KUHAP). Putusan ini diucapkan apabila hakim setelah meninjau perkara dari sudut formil berpendapat bahwa perkara yang diperiksanya itu ternyata 190
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
masuk dalam kompeten di pengadilan negeri lain. Dalam hal demikian maka ia menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap berwenang mengadilinya dengan surat penetapan (besohikking) yang memuat alasannya. 2. Putusan yang menyatakan batal surat dakwaan (nietig verklaring van de acte van verwijzing Pasal 156 ayat 1 KUHAP). Dalam hal ini misalnya bahwa menurut Pasal 143 ayat (3) KUHAP surat dakwaan diancam dengan kebatalan (nietinghead) apabila surat dakwaan itu tidak menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. 3. Putusan yang berisi pernyataan bahwa dakwaan jaksa tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) Pasal 156 ayat 1 KUHAP). Putusan hakim ini dapat diucapkan dalam hal tidak adanya syarat-syarat untuk dapat diadakan penuntutan (voorwaarden voor de vervolgbaar heid) yaitu : a. apabila undang-undang hukum pidana sudah dinyatakan tidak berlaku (Pasal 2 - 9 KUHAP) ; b. apabila perkara sudah daluwarsa (verjaard) ; c. apabila terhadap perbuatan (feiit) yang sama diadakan penuntutan untuk kedua kalinya (ne bis in idem) ; d. apabila dalam penuntutan delik-delik aduan ternyata tidak ada pengaduan (klacht) ; e. apabila dalam hal penuntutan terhadap seorang penerbit (uitgever) atau pencetak (durukken) ternyata mereka telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan masing-masing dalam Pasal 61 dan Pasal 62 KUHAP. f. apabila diadakan penuntutan mengenai tindak pidana pencurian dan tindak pidana-tindak pidana terhadap harta benda (vermogensdelikten) lainnya, ternyata hal itu terjadi antara suami - isteri (Pasal 367, 376 dan 394 KUHAP) ; 4. Putusan yang berisi penundaan pemeriksaan perkara oleh karena ada perselisihan preyudisiil (praejudicicel geschil). Putusan ini diberikan oleh karena di dalam perkara yang bersangkutan dibutuhkan atau ditunggu terlebih dahulu adanya putusan dari hakim perdata, misalnya dalam hal 191
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
perzinaan (overspel) tersebut dalam Pasal 284 KUHAP, atau dalam perkara pencurian. 3. Pengertian Upaya Hukum Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk melawan putusan pengadilan (vonnis) apabila terdakwa atau penuntut umum tidak menerima putusan pengadilan77. Demikian juga ditentukan dalam penjelasan KUHAP, bahwa upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan. Maksud dari upaya hukum adalah : 1) Untuk memperbaiki kesalahan yang mungkin diperbuat oleh instansi yang sebelumnya. 2) Untuk kesatuan dalam keadilan. Dengan adanya upaya hukum ini akan ada jaminan baik terdakwa maupun masyarakat bahwa peradilan baik menurut fakta maupun hukumnya adalah benar sedapat mingkin ada keseragaman. Dalam KUHAP dikenal adanya 2 (dua) macam upaya hukum, yaitu : A. Upaya hukum biasa, terdiri atas : 1. Verzet (perlawanan) 2. Banding 3. Kasasi (pihak) yang dikenal dengan cassatie in het belang van de partyen). B. Upaya hukum luar biasa, terdiri dari : 1. Kasasi demi kepentingan hukum (cassatie van het belang de wet) 2. Peninjauan kembali terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (herziening). Upaya Hukum Biasa A.1. Verzet atau Perlawanan (Pasal 214 KUHAP) Verzet ini merupakan upaya hukum untuk melawan putusan pengadilan yang dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa (verstek) 77
Dengan adanya upaya hukum ini ada jaminan baik bagi terdakwa maupun masyarakat bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam. Dalam Bab XVIII upaya hukum luar biasa meliputi, Bagian Kesatu mengenai pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum; Bagian Kedua mengenai peninjauan kembali (PK) pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap.
192
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Pasal 214 ayat (4) KUHAP. Selanjutnya dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa yang berhak mengajukan atau perlawanan ini adalah terdakwa. Perlawanan ini hanya dapat diajukan terhadap putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya terdakwa yang berupa putusan pidana perampasan kemerdekaan. Tenggang waktu mengajukan perlawanan ini adalah 7 hari setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa, dan perlawanan diajukan kepada Pengadilan yang memutus perkaranya. Panitera berkewajiban untuk memberi tahu penyidik tentang adanya perlawanan ini. Selanjutnya hakim akan menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara tersebut. Dalam ayat (6) nya diatur bahwa dengan adanya verzet ini putusan di luar hadirnya terdakwa (verstek) menjadi gugur. Apabila terdakwa yang “telah mengajukan verzet ternyata tidak hadir dalam sidang, maka menurut hukum putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa menjadi kuat lagi. Apabila putusan pengadilan setelah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana perampasan kemerdekaan, maka terdakwa dapat mengajukan pemeriksaan banding. A.2. Pemeriksaan tingkat Banding Hak terdakwa atau penuntut umum untuk mohon pemeriksaan banding ini dasar-dasarnya telah ditetapkan dalam undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan - ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu dalam Pasal 19 yang berbunyi: “Yang tidak merupakan pembebasan dari tuduhan, dapat dimintakan banding oleh fihak-fihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain”. Adapun yang berwenang melakukan pemeriksaan pada tingkat banding adalah Pengadilan Tinggi sebagaimana ditetapkan dalam Bab XVII Pasal 87 KUHAP yang berbunyi : “Pengadilan Tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus oleh pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding” Pemeriksaan tingkat banding pada dasarnya merupakan pemeriksaan ulang dari pemeriksaan yang dilakukan oleh 193
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Pengadilan Negeri. Pemeriksaan banding ini mempunyai 2 (dua) tujuan, yaitu : 1. Menguji putusan Pengadilan tingkat pertama tentang ketepatannya. 2. Untuk pemeriksaan baru dari keseluruhan perkara itu. Dengan demikian, dalam pemeriksaan tingkat banding ini Pengadilan Tinggi memeriksa semua fakta-fakta yang ada sehingga kewenangannya tersebut masih dalam ruang lingkup judex factie. Pemeriksaan banding sebenarnya merupakan suatu penilaian baru (Judicium Novum). Jadi dapat diajukan saksi-saksi baru, ahli-ahli serta surat-surat baru. Menurut Andi Hamzah, KUHAP tidak melarang demikian, khususnya bila dilihat ketentuan Pasal 238 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: "Jika dipandang perlu Pengadilan Tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya". Begitu juga Pasal 20 ayat (1) KUHAP yang berbunyi : "Jika Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat pertama ternyata ada kelainan dalam penerapan hukum acara atau kekelituan atau ada yang kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi dengan suatu keputusan dapat memerintahkan Pengadilan Tinggi melakukannya sendiri". Walaupun demikian dapat dikatakan bahwa acara pada pemeriksaan pertama tetap menjadi dasar pemeriksaan banding kecuali kalau ada penyimpangan-penyimpangan dan kekecualiankekecualian. Putusaan pengadilan yang dapat dimintakan banding Dari ketentuan Pasal 67 KUHAP dapat diketahui bahwa tidak semua jenis putusan pengadilan dapatkan pemeriksaan banding. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 67 KUHAP yang berbunyi : "Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat". 194
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan atas : 1. Putusan yang mengandung pembebasan dari segala dakwaan; 2. Putusan yang mengandung pelepasan dari tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum; 3. Putusan pengadilan dalam perkara cepat. Khusus untuk butir ke-3 ini harus diingat ketentuan Pasal 205 ayat (3) KUHAP, bahwa dalam perkara cepat apabila putusan pengadilan berupa pidana perampasan Kemerdekaan terdakwa dapat minta pemeriksaan tingkat banding. Sedangkan mengenai butir ke-2, dikarenakan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara yang menyangkut masalah benar atau tidaknya penerapan hukum tidak lagi menjadi kewenangan judex iuris yang dalam hal ini adalah menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Sementara itu, mengenai ketentuan tidak diperkenankannya permohonan banding terhadap putusan bebas, ternyata ada perkembangan baru dalam yurisprudensi dengan adanya istilah bebas murni (zuivere vrijspraak) dan bebas tidak murni atau bebas terselubung (niet-zuivere) serta lepas dari segala tuntutan hukum terselubung (bedekte ontslag van rechtsvervolging). Istilah-istilah tersebut sangat penting karena telah berkembang suatu yurisprudensi yang mengatakan bahwa bebas dari dakwaan (vrijpraak) tidak boleh dibanding berarti yang bebas murni (zuivere vrijpraak). Sedangkan yang bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) dapat dibanding. Menjadi pertanyaan ialah apakah yang dimaksud dengan bebas tidak murni (niet zuivere vrijpraak) itu. Suatu pembebasan tidak murni (niet zuivere vrijpraak) ialah suatu putusan yang bunyinya bebas (vrijspraak) tetapi seharusnya merupakan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtverbolging), yang dinamai juga lepas dari segala tuntutan hukum terselubung (bedekt ontslag van rechtsveolging). Jadi, bebas tidak murni sama dengan lepas dari segala tuntutan hukum terselubung. Sebaliknya dapat juga terjadi, putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang didasarkan kepada tidak terbuktinya suatu unsur (bestanddeel) suatu dakwaan, jadi seharusnya putusannya bebas (vrijspraak). 195
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Van Bemmelen memberi rumusan tentang kapan suatu putusan bebas dikategorikan sebagai putusan bebas tidak murni, yaitu jika hakim menjatuhkan putusan bebas, yang didasarkan pada kenyataan bahwa yang tersebut dalam surat dakwaan lebih banyak daripada yang seharusnya dimuat di dalamnya. Sedangkan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya No. 445 k / kr / 1980 tanggal 25 Pebruari 1981 dinyatakan bahwa putusan bebas dinyatakan sebagai bebas tidak murni apabila ada kesalahan dalam penafsiran Pasal atau mengenai suatu unsur dari tindak pidana tersebut. Dalam hal adanya suatu banding terhadap putusan bebas yang dipandang sebagai bebas tidak murni (nietzui vere vrijspraak), maka pengadilan tinggi harus terlebih dahulu memeriksa apakah putusan tersebut merupakan putusan bebas murni atau tidak, yang akan mentukan apakah terhadap perkara tersebut dapat dimintakan banding atau tidak. Oleh karena apabila putusan itu memang putusan bebas murni upaya hukumnya tidak banding, melainkan harus ditempuh melalui upaya hukum luar biasa, yaitu kasasi demi kepentingan hukum yang akan dibahas pada bab yang lain. Cara mengajukan Permohonan Pemeriksaan Banding Permohonan banding harus diajukan oleh pihak yang mengajukan banding melalui Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut, jadi tidak diperkenankan langsung ke Pengadilan Tinggi. Permohonan ini diajukan paling lambat 7 (tujuh) hari semenjak putusan dijatuhkan bila terdakwa hadir, atau semenjak putusan itu diberitahukan bila terdakwa tidak hadir pada saat putusaan itu dijatuhkan (Pasal 233 ayat (2) KUHAP). Dalam kaitannya dengan masalah ini penjelasan Pasal 233 ayat (2) disebutkan bahwa panitera pengadilan negeri tidak diperkenankan menerima permintaan pemeriksaan banding untuk perkara yang tidak dapat dimintakan banding atau pemintaan banding yang diajukan melampui tenggang waktu yang telah ditetapkan. Dengan demikian panitera berkewajiban menolak permohonan banding yang tidak memenuhi syarat, dan sebagai bukti panitera tersebut membuat Akta Penolakan Permohonan Banding yang ditandatangani oleh panitera tersebut, pihak pemohon banding serta dengan diketahui oleh ketua Pengadilan 196
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Negeri. Selanjutnya pemohon diberi tembusannya, dan akibatnya permohonan banding beserta segenap berkasnya tidak perlu dikirimkan ke Pengadilan Tinggi. Sebaliknya, apabila permohonan banding itu memenuhi persyaratan yang ditetapkan undang-undang, panitera berkewajiban membuat Akta Permohonan Banding yang ditandatangani oleh panitera dan permohonan banding yang tembusannya disampaikan kepada pemohon banding dan termohon banding sebagai pemberitahuan. Sementara itu, apabila tenggang waktu 7 hari yang ditetapkan dalam Pasal 233 ayat (2) KUHAP ini tidak dipergunakan, maka para pihak dianggap menerima putusaan tersebut dan berarti putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang berarti putusan tersebut dapat dilaksanakan. Hal tersebut dicatat oleh panitera dan dibuatkan akta yang menyatakan hal tersebut dan kemudian diletakkan pada berkas perkara disamping harus dicatatkan pada salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut. Pencabutan Permohonan Pemeriksaan Banding Selama perkara belum diperiksa dalam tingkat banding, pemohon sewaktu-waktu dapat mencabut permohonan bandingnya, dan permohonan pemeriksaan banding yang sudah dicabut ini tidak dapat diajukan lagi (Pasal 235 ayat (1) KUHAP). Selanjutnya pada ayat (2) nya ditentukan bahwa perkara yang sudah diperiksa oleh Pengadilan Tinggi akan tetapi belum diputus, pemohon dapat dicabut permohonan bandingnya. Akan tetapi sebagai akibatnya, pemohon dibebani beaya perkara sebanyak beaya yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi sampai saat pencabutannya tersebut. Pengiriman Permohonan Pemeriksaan Banding Ke Pengadilan Tinggi Permohonan pemeriksaan banding ini selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat bebas) hari harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi oleh panitera pengadilan negeri (Pasal 236 ayat (1) KUHAP). Yang dikirim itu meliputi : 1. Salinan putusan pengadilan negeri; 2. Berkas perkara; 197
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
3. Surat-surat bukti. Batasan waktu ini penting sebagai perwujudan prinsip peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana dan beaya murah, di samping ciri KUHAP yang sangat memperhatikan hak azassi terdakwa, apalagi apabila terdakwa masih di dalam tahanan. Selanjutnya dalam Pasal 236 ayat (2) nya ditentukan bahwa terdakwa dapat mempelajari berkas (inzage) di pengadilan negeri selama 7 (tujuh) hari sebelum dikirimkan ke Pengadilan Tinggi. Sedangkan untuk mempelajari berkas perkara ke pengadilan tinggi, pemohonan diharuskan membuat permohonan secara tertulis dan pemohon diberi kesempatan untuk mempelajari berkas tersebut paling cepat 7 hari setelah perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi. Dalam kesempatan itu juga, meskipun tidak merupakan kewajiban pemohon dapat mengajukan memori banding yang berisi uraian tentang alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding. Sebaliknya pihak lawannya dapat juga membuat kontra memori banding. Dalam Pasal 237 ditentukan bahwa baik terdakwa maupun penuntut umum selama Pengadilan Tinggi belum mulai memeriksa perkaranya dapat menyerahkan memori banding atau kontra memori banding. Pemeriksaan Dalam Tingkat Banding Pemeriksaan dalam tingkat banding dilakukan oleh suatu majelis hakim yang sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang hakim. Pemeriksaan didasarkan atas : 1. Berkas perkara yang terdiri dari Berita Acara Pemeriksaan Penyidik dan Berita Acara Pemeriksaan sidang; 2. Surat-surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara tersebut; 3. Putusan Pengadilan Tinggi. Apabila terdakwa berada dalam tahanan wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Pengadilan Tinggi, Cara Mengaajukan Kasasi 198
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Suatu permohonan pemeriksaan kasasi dapat diterima dalam arti dapat diperiksa oleh Mahkamah Agung apabila permohonan itu memenuhi syarat sebagai berikut : a. Syarat formil; b. Syarat materiil Yang dimaksud dengan syarat formil adalah ketentuan yang menyangkut tentang tenggang waktu, yaitu : 1) Tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi kepada panitera pengadilan negeri yang pertama memutus yaitu 14 hari semenjak putusan itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 KUHAP). 2) Pemohon harus mengajukan memori kasasi yang berisi tentang alasan-alasan kasasi dalam waktu 14 hari semenjak yang bersangkutan mengajukan permohonan kasasi. Ketentuan yang kedua ini berbeda dengan ketentuan yang mengatur tentang permohonan banding/memori banding hukumnya tidak wajib, tetapi pada pemeriksaan banding, memori banding hukumnya tidak wajib. Tetapi pada pemeriksaan kasasi, memori / kasasi ini harus dibuat dan disampaikan pada waktu yang telah ditetapkan. Tembusan memori kasasi oleh panitera disampaikan kepada pihak lainnya, dan pihak lain ini berhak mengajukan kontra memori kasasi. Selanjutnya panitera dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 248 ayat (1) KUHAP (14 hari), apabila dalam 248 ayat (1) KUHAP (14 hari), apabila ada kontra memori kasasi wajib juga memberitahukan kepada pihak yang mengajukan memori kasasi. Selanjutnya dalam Pasal 246 ditentukan bahwa apabila tenggang waktu 14 hari lewat tanpa dipergunakan untuk mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi baik oleh terdakwa maupun penuntut umum, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan pengadilan. Apabila pemohon terlambat dalam mengajukan permohonan kasasi ini maka, hak untuk mengajukan permohonan kasasi ini, maka hak untuk mengajukan permohonan pemeriksaan menjadi gugur. Jika terjadi hal tersebut Panitera mencatat dan membuat akta tentang keterlambatan pengajuan permohonan pemeriksaan kasasi yang berakibat gugurnya hak pemohon untuk mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi dan melekatkan akta ini pada berkas perkara. 199
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Akta tersebut menyatakan : 1) Akta tidak menggunakan kesempatan mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi (Pasal 246 ayat 1), yang ditanda tangani oleh panitera serta diketahui dan ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan Negeri. 2) Akta terlambat mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi dan karenanya haknya menjadi gugur (Pasal 246 ayat 2). Akta ini ditanda tangani oleh panitera, serta diketahui dan ditanda tangani ketua Pengadilan Negeri. Pemeriksaan Perkara dalam Tingkat Kasasi. Pemeriksaan dalam tingkat kasasi yaitu pemeriksaan oleh Mahkamah Agung, dilakukan oleh Majelis Hakim, sekurangkurangnya terdiri dari 3 orang Hakim Agung (Pasal 253 ayat (2). Majelis Hakim Agung ini memeriksa berdasar atas: 1. Berkas perkara yang terdiri dari berita acara penyidikan dan berita acara pemeriksaan dalam sidang pengadilan yang diterima dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung. 2. Semua surat-surat yang timbul di sidang pengadilan 3. Putusan Pengadilan Tingkat pertama dan atau putusaan pengadilan tingkat terakhir. Mengenai majelis tingkat hakim ini dalam Pasal 251 ditentukan bahwa antara para hakim agung yang duduk dalam majelis Hakim tidak boleh ada hubungan keluarga. Hubungan keluarga sebagaimana ditentukan dalam Pasal 157 juga berlaku antara hakim dan atau panitera tingkat kasasi dengan hakim dan atau panitera pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, yang telah mengadili perkara yang sama. Larangan ini juga berlaku apabila hakim yang mengadili perkara tersebut pada tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian hakim tersebut telah menjadi anggota majelis hakim ataau panitera dalam tingkat kasasi untuk perkara yang sama. Sebagaimana telah disebutkan pemeriksaan dalam tingkat kasasi ini adalah terbatas pada peninjauan. Apakah putusan pengadilan sesuai atau bertentangan dengan hukum. Jadi yang ditinjau dalam tingkat kasasi ini adalah penerapan hukumnya saja karena itu Mahkamah Agung disebut sebagai judek iuris. 200
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Dari alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 253 ayat (1) dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Agung tidak dapat menyimpulkan bagian dari putusan hakim yang mengenai penentuan atau pembuktian suatu keadaan. Misalnya suatu putusan hakim menganggap suatu keadaan telah terbukti berdasarkan keterangan 2 orang saksi yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai saksi menurut Pasal 185. Dalam hal ini Mahkamah Agung tidak dapat menilai putusan tersebut, meskipun menurut pertimbangan Mahkamah Agung keterangan para saksi tidak dapat dipercaya. Peninjauan tentang keterangan saksi ini menjadi wewenang pengadilan tingkat banding yaitu pengadilan tingkat tinggi (judex fakti). Sebaiknya jika ada seorang saksi saja tanpa dikuatkan oleh alat bukti lain dan terdakwanya dijatuhi putusan pemidanaan, maka putusan tersebut adalah pertentangan dengan hukum, karena menurut Pasal 185 ayat (3) keterangan seorang saksi saja belum cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, kecuali apabila dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah menurut undang-undang. Terhadap putusan yang demikian ini dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Selanjutnya dalam tingkat kasasi ini apabila dipandang perlu Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau penuntut umum (Pasal 253 ayat (3) KUHAP). Caranya, dalam surat panggilan yang di kirim kepada mereka dijelaskan secara singkat tentang hal-hal apa yang ingin diketahui atau Mahkamah Agung dapat memerintahkan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi untuk mendengar keterangan mereka. Sementara itu, apabila terdakwa dalam proses pemeriksaan di tingkat kasasi ini masih berada dalam tahanan, maka sejak diajukannya permohonan kasasi, wewenang untuk melakukan penahanan ini sudah beralih ke Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dengan mengingat bahwa untuk pemeriksaan kasasi ini membutuhkan waktu yang cukup lama, maka biasanya pengadilan negeri melaporkan melalui telepon atau telegram kepada pengadilan dan Mahkamah Agung tentang : a. adanya permohonan kasasi b. tentang dakwaan yang didakwakan c. bunyi diktum / amar putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi d. data tentang penahanan terdakwa. 201
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Kemudian laporan ini segera disusul dengan laporan tertulis secara lengkap. Setelah pengadilan tinggi menerima laporan melalui telapon/telegram ini segera mengirimkan pendapatnya melelui telepon atau telegram ke Mahkamah Agung, khususnya mengenai perlu tidaknya penahanan terhadap terdakwa itu diteruskan. Selanjutnya Mahkamah Agung dalam waktu 3 hari harus sudah menentukan apakah terdakwa harus tetap ditahan atau tidak selama menunggu proses pemeriksaan kasasi. Apabila terdakwa tetap berada dalam tahanan, maka dalam waktu 14 hari Mahkamah Agung wajib untuk memeriksa perkara tersebut (Pasal 253 ayat (5) KUHAP). Akan tetapi, bila penahanan itu sudah sama dengan lama pidana yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi, maka secara hukum terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan. Pencabutan Permohonan Kasasi Permohonan kasasi selama belum diputus oleh Mahkamah Agung sewaktu-waktu dapat dicabut oleh pemohonnya. Apabila pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak perlu dikirim dan permohonan kasasi yang sudah dicabut tersebut tidak dapat diajukan lagi. Sedangkan perkara yang sudah diperiksa akan tetapi belum diputus, sementara pemohon kasasi pencabut permohonannya, maka pemohon dibebani beaya perkara sebanyak yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung sampai saat pencabutannya itu. Sedangkan dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan sejak diajukan permohonaan pemeriksaan banding. (Pasal 238 ayat 2). Apabila waktu penahanan tahanan sama dengan pidana yang dijatuhkan maka terakwa dibebaskan seketika itu juga. Jadi apabila terdakwa ini mengajukan permohonan pemeriksaan banding ia dapat menunggu proses banding di luar tahanan. Bagaimana kalau terdakwa berada dalam tahanan dan terdakwa mohon pemeriksaan banding? Menurut Pasal 238 ayat (2), wewenang menahan beralih kepada pengadilan tinggi sejak diajukannya permohonan pemeriksaan banding. Padahal dapat kita ketahui bahwa berkas perkara belum dapat segera dikirim ke Pengadilan Tinggi belum 202
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
mempunyai data-data untuk bertindak lebih lanjut. Untuk dapat menangani penahanan ini yang dapat segera memberitahukan kepada Pengadilan Tinggi bahwa ada permohonan pemeriksaan banding dari terdakwa yang berada dalam tahanan melalui telepon atau telegram. Ketua pengadilan negeri melaporkan kepada Pengadilan Tinggi hal-hal sebagai berikut : 1. Tentang adanya permohonan pemeriksaan banding; 2. Tentang tuduhan yang dimaksud; 3. Bunyi diktum Putusan Pengadilan Negeri; 4. Data tentang penahanan terdakwa yang disertai pendapat dari ketua pengadilan negeri mengenai perlu tidaknya terdakwa harus ditahan. Selanjutnya dalam Pasal 238 ayat 3 ditentukan bahwa Pengadilan Tinggi dalam waktu 3 hari sejak menerima berkas perkara wajib mempelajari untuk dapat menetapkan terdakwa tetap ditahan atau tidak, baik karena jabatannya maupun atas permintaan terdakwa. Dalam Pasal 238 ayat (1) ditentukan juga bahwa apabila Pengadilan Tinggi menganggap perlu, Pengadilan Tinggi dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum. Caranya dalam surat pengadilan kepada mereka dijelaskan secara singkat apa yang ingin diketahui oleh Pengadilan Tinggi. Pasal 239 mengatur bahwa ketentuan dalam Pasal 157 dan Pasal 220 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku juga bagi pemeriksaan dalam tingkat banding. Dalam ayat (3) nya diatur bahwa hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dan telah menjadi hakim pada pengadilan tinggi tidak boleh memeriksa perkara yang sama dalam tingkat banding. Apabila dalam pemeriksaan banding pengadilan tinggi berpendapat bahwa telah terjadi kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau yang kurang lengkap selama pemeriksaan oleh pengadilan negeri, maka pengadilan tinggi dapat memerintahkan dengan suatu keputusan untuk memperbaiki hal itu. Pengadilan tinggi juga dapat melakukannya sendiri. Pengadilan tinggi jika memandang perlu dapat membatalkan penetapan pengadilan negeri, dan ini dilakukan sebelum pengadilan tinggi menjatuhkan putusan (Pasal 240). 203
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Putusan Pengadilan Tinggi Apabila pemeriksaan dalam tingkat banding telah dianggap selesai, maka pengadilan tinggi akan memutus dengan kemungkinan sebagai berikut : 1. Menguatkan putusan pengadilan negeri; 2. Mengubah putusan pengadilan negeri; 3. Membatalkan putusan pengadilan negeri, dalam hal membatalkan ini pengadilan tinggi mengadakan putusan sendiri78. Dalam hal putusan pengadilan negeri dibatalkan dengan alasan pengadilan negeri tidak berwenang mengadili maka berlaku ketentuan Pasal 148 (Pasal 241 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP). Apabila selama pemeriksaan banding terdakwa berada dalam tahanan, maka dalam putusan bandingnya pengadilan tinggi harus menyebutkan terdakwa tetap dalam tahanan atau dibebaskan (Pasal 242). Setelah putusan dijatuhkan dalam waktu 7 hari salinan dari putusan dikirim kepada pengadilan negeri yang memutus perkara nya (Pasal 243 ayat (1) KUAHAP). Panitera setelah menerima putusan pengadilan tinggi tersebut segera memberitahu terdakwa dan penuntut umum, serta isi putusan tersebut dicatat dalam register. Apabila terdakwa bertempat tinggal di luar kota pemberitahuan tentang putusan ini disampaikan dengan bantuan panitera pengadilan negeri yang ada dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal. Apabila terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya, maka pemberitahuan ini dilakukan melalui kepala desanya. Bagi terdakwa yang berada di luar negeri disampaikan melalui perwakilan RI di mana terdakwa berdiam. Apabila masih belum berhasil terdakwa dipanggil dua kali secara berturut-turut melalui dua buah surat kabar yang terbit dalam daerah yang terdekat Pasal 243 ayat (5) KUHAP.
78
Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad Sentosa, 1986, KUHAP Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan Pelaksana, Penerbit Djambatan, Jakarta, hal : 315 Dalam pasal 241 tidak digunakan istilah mengadili, sebab yang di gunakan ialah istilah memutuskan, sedang berdasarkan jurisprudensi selama ini teryata berbagai istilah itu dapat dibenarkan maka untuk mencapai kesatuan istilah, kiranya perlu disepakati satu istilah saja dalam memberikan keadilan, sebaiknya mengadili atau mengadili sendiri, seperti halnya yang dipakai dalam ayat 255 ayat (1) dan ayat (3).
204
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Ad. 3. Pemeriksaan Tingkat Kasasi Perkataan kasasi yang di negara asal kelahirannya, yaitu Perancis disebut "cassation" berasal dari kata-kata "casser" yang berarti membatalkan memecahkan. Lembaga kasasi ini telah dikenal di Perancis sejak abad ke-16 dan diciptakan pada jaman itu sebagai benteng raja. Dengan memperalat counseil du roi, raja Perancis raja-raja di Perancis mempertahankan pelaksanaan ordonances du roi; kemudian pada tahun 1783. Peradilan kasasi diserahkan pada cour de cassation. Pengertian kasasi itu kemudian diambil alih dalam perundang-undangan revolosioner di Perancis. Lembaga kasasi model Perancis ini, yang menjamin dominasi hukum tertulis dengan jalan menguji syahnya putusan hakim oleh Mahkamah kasasi Perancis atas dasar Undang-undang, diambil oleh pihak banyak negara lain di Eropa Barat yang sistemnya adalah kodifikasi. Simons menjelaskan bahwa ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana Belanda mengenai prosedur dalam melakukan upaya hukum kasasi ini diambil oleh dari code d'insstruction criminelle (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Prarancis) kemudian dalam Pasal 165 Undang-undang dasar Belanda diatur ketentuan -ketentuan mengenai tugas Mahkamah Agung (Hoge Read) sebagai hakim kasasi. Sejak saat itu Hoge Raad berwenang membatalkan segala tindakan, penetapaan keputusan dari lembaga-lembaga peradilan yang bertentangan dengan hukum. Kemudian atas dasar asas konkordasi ketentuan-ketentuan tentang kasasi tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia peradilan kasasi mendapat landasan hukum mula-mula dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 (Undangundang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang lama) dan setelah Undang-undang ini dicabut, maka landasan hukumnya diatur dalam Pasal 20 UU Kekuasaan kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970) serta Pasal 49 s/d 51 UU Peradilan umum dan Mahkamah Agung (UU No. 13 Tahun 1965). Dengan berlakunya KUHAP yang memuat ketentuanketentuan tentang acara Pemeriksaan Perkara Pidana dalam tingkat kasasi, maka sejak itu berlaku acara kasasi yang baru dan tidak berlaku lagi acara kasasi dalam perkara pidana yang berdasar pada Undang undang Nomor 1 Tahun 1950. 205
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Acara kasasi diatur dalam Bab XVII tentang upaya hukum biasa bagian kedua pemeriksaan untuk kasasi (Pasal 244 s/d Pasal 258) dan Bab XVIII tentang upaya hukum luar biasa bagian kesatu pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum (Pasal 259 s/d Pasal 262) Alasan-Alasan Kasasi Alasan-alasan kasasi yaitu alasan-alasan yang dapat dipakai dasar untuk memeriksa perkara dalam tingkat kasasi disebut dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan guna menentukan : a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang; c. Apakah benar peradilan telah melampaui batas wewenang. Bahwa, putusan kasasi, seperti putusan Mahkamah Agung, diberi kekuasaan dan pengaruh yang besar (wordt groot gezag toegekend) dan mempunyai sifat menciptakan peraturan (regelscheppend)79. Dalam hubungan dengan ini, Prof. Oemar Senoadji menyatakan bahwa dasar-dasar pokok untuk mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung adalah pertama salah penerapan hukum (schending van het recht) dan salah acara (vormversuim) serta disebut pula dalam Pasal 253 KUHAP sebagai dasar untuk kasasi, apabila pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Dengan demikian, bukanlah fakta yang telah diperiksa oleh Pengadilan sebagai judex facti yang menjadi obyek dari pemeriksaan dalam tingkat kasasi, akan tetapi hukum yang menjelma dalam putusan pengadilan yang diperiksa oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi itu. Mahkamah Agung sekedar membahas persoalan hukum, bukanlah persoalan fakta yang dijadikan pemeriksaan Mahkamah Agung. 79
Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad Sentosa, 1986, KUHAP Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan Pelaksana, Penerbit Djambatan, Jakarta, hlm : 321Walaupun kekuasaan atau pengaruh besar, tidak mempunyai kekuatan mengikat, kecuali dalam hal penunjukan (verwijzing) hal ini sesuai dengan kebebasan hakim. Putusan hakim kasasi amat penting dan memegang peranan dalam penciptaan hukum (rechtsschepping), pembentukan hukum (rechtsvorming) atau mempertahankan hukum (rechtandhaving).
206
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Permohonan kasasi dapat diajukan oleh pihak yang termasuk apa yang dikatakan oleh Van Bemmelen sebagai "dramatis personnae", ialah terdakwa ataupun jaksa, yang terakhir ini khususnya dalam putusan bebas ataupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Dikatakan dasar pertama permintaan kasasi ialah "schending van het recht". Ada "schending van het recht", apabila ketentuan-ketentuan mengenai hukum pidana materiil (materiel strafrecht) salah diterapkan, sedangkan salah dalam acara (vormverzuim) tersebut meliputi hukum pidana formil (Hukum Acara Pidana) dengan kesalahan yang dilakukan di dalamnya. Sebagaimana diketahui, putusan pengadilan pada pokoknya berisi dua hal yaitu pertimbangan tentang kenyataan (faktafakta) dan pertimbangan hukum. Tugas Mahkamah Agung terbatas untuk memeriksa, apakah putusan pengadilan (Pengadilan Negeri dan atau Pengadilan Tinggi) yang dimintakan kasasi itu bertentangan dengan hukum atau tidak. Timbul pertanyaan adalah selamanya mungkin melepaskan masalah hukum dari masalah kenyataan atau fakta - fakta? Masalah yang nampaknya sederhana ini sesungguhnya tidak mudah dipecahkan. Hal ini diakui oleh veegens yang melukiskan "feiten en recht en vermengen zich in het proces als water en wolken in een windhoos" (fakta dan hukum bercampur baur dalam proses seperti air dan awan dalam pusaran angin). Hal ini dapat dimengerti. Fakta sendiri dalam arti yuridis merupakan suatu abstraksi. Fakta yuridis menurut van scholten adalah "een deelvan een bepaald gebeuren, daaruit gelich met het opg op de teepassing van een rechtsregel (sebagai dari suatu kejadian, dicuplik dengan mengingat pada penerapan suatu kaidah hukum). Pada umumnya berat - ringannya pidana (strafmaat) tidak dapat dijadikan dasar untuk kasasi. la dipandang sebagai suatu fakta yang tidak dapat diperiksa atau di nilai Mahkamah Agung. Terhadap berat sampai penilaian tentang hasil pembuktian juga tidak dapat diajukan pada hakim kasasi, kedua-duanya antara lain dipandang sebagai suatu persoalan fakta tidak memasuki persoalan hukum, yang dapat diajukan dalam tingkat kasasi sebagai keberatan-keberatan terhadap putusan judex facti yang dipersoalkan. Undang-undang, Mahkamah Agung akan 207
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara tersebut pemeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain (Pasal 255 ayat (2) KUHAP). Sedangkan menurut ketentuan Pasal 255 ayat (3) KUHAP dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, maka Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersebut.
208
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
BAB VIII UPAYA HUKUM LUAR BIASA Disamping pemeriksaan tingkat banding dan pemeriksaan kasasi yang merupakan upaya hukum biasa, dalam KUHAP diatur pula upaya hukum luar biasa yang tercantum dalam Bab XVIII, yang meliputi Bagian Kesatu, pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum, dan Bagian Kedua peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. A. Kasasi demi kepentingan Hukum Kasasi demi kepentingan hukum ini diatur dalam Pasal 259 KUHAP yang dinyatakan bahwa pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan yang berhak mengajukan kasasi demi kepentingan hukum ini hanya Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi di Indonesia yang ruang lingkup daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah tanah air, sama dengan wilayah hukum wewenang Mahkamah Agung. Kewenangan ini dimaksudkan agar Undangundang dilaksanakan menurut makna dan arti yang sebenarnya serta tujuan yang terkandung di dalamnya. Untuk mengatasi perbedaan tafsiran dan implementasinya itulah Jaksa Agung bersama-sama dengan Mahkamah Agung mengusahakan dan memutuskan hal yang tepat atas putusan pengadilan dari pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung. Dengan demikian, baik perkara maupun alasannya datang dari Jaksa Agung dan keputusannya dari Mahkamah dengan tujuan untuk mencapai kesamaan tindakan bagi hal yang di kemudian hari. Oleh karena itu yang dapat dimintakan kasasi demi kepentingan hukum ini hanya semata-semata untuk kepentingan hukum yang oleh karenanya tidak boleh merugikan pihak lain yang berkepentingan (Pasal 259 ayat (2) KUHAP). Dengan demikian, putusan yang berupa putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntuttan hukum, jika ternyata putusan tersebut di dalam pemeriksaan kasasi dianggap 209
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
keliru, namun putusan Mahkamah Agung dalam hal ini tidak dapat mengubah status terdakwa. Akan tetapi, bagaimana halnya jika putusan pengadilan yang berupa putusan pemidanaan terhadap terdakwa yang kemudian dalam pemeriksaan kasasi lantas di batalkan oleh Mahkamah Agung dan dengan mengadili sendiri Mahkamah Agung memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum ? Dalam hal ini dimungkinkan cara mengatasinya dengan mengajukan grasi (grasi jabatan); sedangkan apabila ada inisiatif dari pihak terdakwa atau penasehat hukumnya, maka hal tersebut dapat di jadikan alasan untuk mengajukan peninjauan kembali. Sebagai alasan untuk mengajukan peninjauan kembali dalam hal ini bukan karena adanya novum, tetapi didasarkan adanya "Conflict van Rechtspraak" seperti diatur dalam Pasal 263 ayat (2) sub b KUHAP. Untuk mengajukan kasasi demi kepentingan hukum Jaksa Agung mendapatkan bahan dari laporan bawahan yang kemudian Jaksa Agung dapat memberikan kuasa khusus kepada Jaksa pada kejaksaan Negeri yang bersangkutan yang kemudian atas nama Jaksa Agung dapat mengajukan permohonan kasasi demi kepentingan hukum pada Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya pada tingkat pertama. Tidak selamanya permohonan kasasi demi kepentingan hukum sebagai upaya hukum luar biasa menghasilkan kasasi atau pembatalan putusan hakim, ada juga yang ditolak dan di dalam praktek jarang sekali digunakan. Hal ini berbeda dengan kasasi pihak yang di dalam praktik banyak sekali digunakan. Sementara itu, jika kasasi pihak harus ditujukan terhadap putusan yang diberikan yang diberikan dalam tingkat terakhir (Pengadilan Tinggi), tidak demikian halnya dengan kasasi demi kepentingan hukum. Putusan yang dilawan tidak perlu putusan dalam tingkat terakhir, sepanjang upaya hukum biasa yang tersedia tidak dipergunakan. Jadi putusan Pengadilan Negeri atau putusan Hakim Banding yang berupa putusan bebas, kecuali putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung (Pasal 10 ayat (3) UU No. 14 tahun 1970 dan Pasal 259 ayat (1) KUHAP). Sebenarnya kasasi demi kepentingan hukum ini tidak mempunyai nilai praktis. Akan tetapi, mengingat aspek kepentingan hukum di Indonesia belum mendapat cukup 210
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
perhatian maka untuk pengembangannya diperlukan aktifitas kejaksaan. Instansi ini dapat menyampaikan ke Jaksa Agung halhal yang dipandang dapat menuntaskan penyelesaiannya dan pada gilirannya Jaksa Agung menyampaikan masalah tersebut pada Mahkamah Agung yang dapat memberikan penilaian. Oleh karena itu persoalan penerapan hukum yang keliru diletakkan pada posisi yang benar dan tepat sehingga putusan kasasi demi kepentingan hukum dapat menjadi contoh yang baik bagi hakimhakim yang lain dalam masalah-masalah hukum yang serupa. Akhirnya dapat dikatakan bahwa tugas Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dalam menjalankan kasasi tidak terbatas pada menjamin adanya kesatuan hukum melalui peradilan saja, tetapi juga membimbing para hakim melalui yurisprudensi. Putusan hakim merupakan merupakan hasil dialog antara hakim dan terdakwa, dialog antara hasil pemikiran dan pertimbangan hati nurani, dengan pula mempertimbangkan nilainilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang sedang membangun, sehingga mampu membuahkan putusan yang seadil-adilnya, putusan yang bermuara pada keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. B. Peninjauan kembali terhadap Putusan Sama halnya dengan lembaga kasasi yang berasal dari sistem hukum Perancis, maka peninjauan kembali yang namanya "revision" di negara asalnya ini dimasukkan dalam hukum acara pidana Belanda dengan nama "herziening". 1. Peninjauan kembali (PK) putusan adalah upaya hukum luar biasa, dalam arti hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Peninjauan kembali merupakan hal yang baru, yang tidak dikenal di HIR. Pada masa Nederlands Indie hal ini diatur dalam Strafvordering Bab 8 van herziening. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, lembaga peninjauan kembali tersebut pertama kali mendapat dasar hukum sebagaimana diatur pula Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang peninjauan kembali putusan. Dasar peninjauan 211
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
kembali (PK) putusan tercantum dalam pasal 21 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomr 4 Tahun 2004 dan sekarang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menetapkan “Apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak yang berkepentingan. Peninjauan kembali putusan yang dalam KUHAP diatur dalam Bab XVIII Bagian Kedua. 2. Peninjauan kembali putusan dapat diajukan atas dasar alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP sebagai berikut : Pasal 263 Ayat (2) KUHAP a. Apabila terdapat keadaaan baru yag menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan sesuatu kekhilapan hakim atau sesuatu kekeliruan yang nyata. Pasal 263 Ayat (3) KUHAP Atas dasar alasan yang sama sebagaimana terbukti pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP terhadap suatu utusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap 212
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dapat diajukan permitaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tdak diikuti oleh suatu pemidanaan. Mengenai ketentuan tersebut diatas, yaitu tidak dikuti pemidanaan telah berkembang ialah apabila dijatuhi tindakan dapat diminakanpeninjauan kembali 80. 3. Tata cara Alasan - alasan Peninjauan Kembali Peninjauan kembali ini adalah merupakan upaya hukum luar biasa (buiten gewonw rechtsiniddel), dalam arti hanya dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incrant van gewijade). Menurut Pasal 263 ayat (2) dan (3) KUHAP, alasan-alasan yang dapat dipakai untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah sebagai berikut : Ayat (2) : a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan pidana yang lebih ringan; b. Apabila berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c.Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan sesuatu kekhilafan hakim atau sesuatu kekeliruan yang nyata. Ayat (3) : Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2), terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap 80
Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut MP Pangaribuan, Mas Achmad Santosa, KUHAP..., Jambatan, Jakarta :1986, hlm :329-331 Adapun yang daat mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, adalah terpidana atau ahli warisnya.
213
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah di nyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti dengan suatu pemidanaan. Mengenai ketentuan dalam ayat (3) ini, yaitu tidak diikuti oleh suatu pemidanaan telah berkembang pengertiannya, ialah apabila dijatuhi tindakan (matregel). Misalnya putusan hakim yang menyatakan bahwa terpidana (anak) diperintahkan supaya diserahkan kepada pemerintah (pendidikan anak negara sampai berumur 18 tahun). Bahwa, peraturan tentang peninjauan kembali tersebut menentukan tiga alasan untuk peninjauan kembali, hanya urutannya yang berbeda. Ketiga alasan tersebut adalah : 1. Keadaan baru yang tidak diketahui waktu sidang masih berlangsung (novum); 2. Pertentangan dalam putusan (conflict van rechtpraak); 3. Pernyataan terbuktinya perbuatan yang didakwakan, tetapi tanpa diikuti dengan pemidanaan. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa baik KUHAP maupun Perma No. 1 tahun 1969 masih mengenal suatu alasan lagi, yaitu berupa kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Sedangkan alasan peninjauan kembali yang demikian ini tidak terdapat, baik pada Perma No. 1 tahun 1980 maupun dalam RSV. Dalam pada itu, apabila kita simak alasan peninjauan kembali yang dimuat dalam penjelasan Pasal 15 Undang-undang Pokokpokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 19 tahun 1964) menyatakan sebagai berikut : "Pada umumnya, peninjauan kembali putusan hanya dapat dilakukan apabila terdapat nova, yaitu fakta-fakta dan keadaan baru yang pada waktu diadakan peradilan yang dahulu, tidak tampak atau memperoleh perhatian". Telah diuraikan terdahulu bahwa peninjauan kembali ini hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang berupa pemidanaan termasuk juga putusan yang menjatuhkan tindakan (maatregel) karena menurut Pasal 263 ayat (1) KUHAP, putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat diajukan permintaan peninjauan kembali. Dan menurut Pasal ini, yang berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah 214
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
terpidana atau ahli warinya. Sehubungan dengan itu, apabila permintaan peninjauan kembali beserta berkas perkaranya sudah diterima oleh Mahkamah Agung, sementara itu terpidana meninggal dunia, maka diteruskan atau tidaknya permintaan peninjauan kembali diserahkan kepada kehendak ahli warisnya (Pasal 268 ayat (2) KUHAP). Dalam pada itu, menurut Pasal 268 ayat (1) KUHAP, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ini tidak menangguhkan atau menghentikan dari pelaksanaan putusan tersebut. C. Proses Perkara dan Jalannya Peninjauan Kembali Permintaan peninjauan kembali diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya pada tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya (Pasal 264 ayat (11) KUHAP). Selanjutnya permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera dan pemohon serta dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara (Pasal 264 ayat (2) KUHAP. Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang belum/kurang memahami hukum, maka panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali tersebut wajib menanyakan, apa alasanya mengajukan permintaan peninjauan kembali dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali (Pasal 264 ayat (4) KUHAP). Perlu dikemukakan disini bahwa menurut Pasal 264 ayat (2) KUHAP permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu. Dalam pada itu, ketua pengadilan Negeri setelah menerima permohonan peninjauan kembali, ia menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang di mintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa, apakah permohonan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP (Pasal 265 ayat (1) KUHAP). Hakim yang ditunjuk itu setelah mempelajari berkas perkara semula dan permintaan peninjauan kembali tersebut, kemudian 215
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
menetapkan hari pemeriksaan permintaan kembali. Dalam penetapan ini hakim memerintahkan Jaksa untuk memanggil pemohon dan para saksi apabila ada. Dalam pemeriksaan yang mendahului pemeriksaan di Mahkamah Agung ini hakim meneliti, apakah syarat-syarat untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali telah terpenuhi atau tidak, yaitu : a. apakah putusan yang terhadapnya diajukan permintaan peninjauan kembali telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan putusan tersebut berupa pemidanaan; b. apakah pemohon adalah terpidana, atau jika terpidana telah meninggal dunia apakah pemohon adalah ahli warisnya; c. apakah alasan-alasan permintaan peninjauan kembali tersebut telah sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2) dan (3) KUHAP. Apakah semua persyaratan itu telah dipenuhi berarti; bahwa permintaan peninjauan kembali secara formil dapat diterima, dan kemudian barulah hakim memeriksa pokok perkaranya sebagaimana diajukan oleh pemohon. Dalam pemeriksaan itu pemohon dan jaksa turut hadir dan dapat mengemukakan pendapatnya. Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh Hakim, Jaksa, Pemohon dan Panitera dan berdasar berita acara tersebut dibuat acara pendapat yang ditangani oleh hakim dan panitera. Menurut Pasal 265 ayat (4) KUHAP, Ketua Pengadilan Negeri segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali tersebut, yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung dan tembusan pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan Jaksa. Dalam hal perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut yang dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan, berita acara pendapat juga yang disampaikan kepada Pegadilan banding yang bersangkutan. Didalam pedoman pelaksanaan KUHAP dinyatakan bahwa perlu diperhatikan benar-banar yang disampai disampaikan ketua Pengadilan Negeri ke Mahkamah Agung ialah pendapat Hakim (Pengadilan Negeri) apakah permohonan peninjauan kembali 216
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
tersebut memenuhi syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP dan juga pendapat para pihak yang bersangkutan (terpidana / Jaksa). Sedangkan mengenai sifat penilaian hukum, yang dinilai dapat kebenaran formal dari alasan-alasan tersebut. Dalam pada itu, apabila pendapat tersebut berdasar pada penilaian kebenaran formal dan material, maka itu menjadi bahan bagi Mahkamah Agung dalam memberikan putusanya, seperti halnya pertimbangan dalam perkara yang dimintakan grasi. D. Pemeriksaan dan Putusan Mahkamah Agung Setelah berkas perkara sampai di Mahkamah Agung dan diberi register, maka ketua Mahkamah Agung menunjuk majelis hakim yang diberi tugas untuk memeriksa permintaan peninjauan kembali tersebut, yang terdiri sekurang-kurangnya tiga orang hakim termasuk ketuanya. Dalam memeriksa permintaan peninjauan kembali ini, pertama-tama diadakan pemeriksaan dari persyaratan formalnya terlebih dahulu, yaitu : apakah pemohon tersebut terpidana atau ahli warisnya; apakah putusan tersebut merupakan putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yang bukan berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutaan hukum; apakah alasan-alasan yang dijadikan dasar permintaan peninjauan kembali tersebut berupa alasan-alasan yang secara Liminatif disebut dalam Pasal 263 (2) KHUAP. Apabila syarat formal ini tidak dipenuhi, maka Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat ditreima dengan disertai dasar alasannya (Pasal 266 ayat (1) KUHAP). Suatu permintaan peninjauan kembali diputus oleh Mahkamah Agung dengan pernyataan tidak dapat di terima dalam hal sbb : - apabila pemohon bukan terpidana; - apabila alasan yang menjadi dasar permohonan peninjauan kembali adalah keliru menerapkan hukum; - apabila permintaan diajukan oleh seorang untuk terpidana dengan tidak mendapat surat kuasa khusus;
217
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
- apabila pemohon adalah seorang keluarga terpidana, sedangkan terpidana masih hidup; - apabila putusan yang dimintakan permintaan peninjauan kembali adalah putusan bebas; - apabila perkara masih dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Dalam pada itu, apabila Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, maka berlaku ketentuan seperti tersebut dalam Pasal 266 ayat (2) KUHAP sebagai berikut: a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, misalnya karena alasannya tidak diukung oleh fakta atau keadaan yang menunjang alasan yang mendasari permintaan peninjauan kembali tersebut, maka dalam putusannya MA menolak permintaan peninjauan kembali itu. Dalam hal demikian, maka tetap berlaku putusan yang dimintakan peninjauan kembali, hal mana ditetapkan oleh Mahkamah Agung disertai pertimbangannya (Pasal 266 ayat (2) sub a KUHAP). b. Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa : 1. putusan bebas; 2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum; 3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum; 4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana lebih ringan (Pasal 266 ayat (2) sub b KUHAP). Salinan putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali tersebut beserta berkas perkaranya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut dijatuhkan dikirim kepada Pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali (Pasal 267 ayat (1) KUHAP). Isi surat putusan setelah dicatat dalam buku register segera diberitahukan kepada pemohon dan Jaksa oleh panitera pengadilan negeri dan selanjutnya pemberitahuan tersebut dicatat dalam salinan putusan Mahkamah Agung (Pasal 267 ayat (2) Jo Pasal 243 ayat (2) KUHAP).
218
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Petikan surat keputusan Mahkamah Agung diberitahukan kepada terpidana atau penasihat hukumnya (Pasal 267 ayat (2) Jo Pasal 243 ayat (3) Jo Pasal 226 ayat (1) KUHAP. Salinan surat utusan Mahkamah Agung diberikan kepada Jaksa dan penyidik sedangkan kepada terpidana atau penasihat hukumnya diberikan atas permintaannya (Pasal 267 ayat (2) Jo Pasal 243 ayat (3) Jo Pasal 226 ayat (2) KUHAP). Dalam hal terpidana bertempat tinggal di luar, wilayah hukum Pengadilan Negeri yang telah memutus perkaranya pada tingkat pertama, panitera minta bantuan kepada panitera Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terpidana bertempat tinggal untuk memberitahukan isi surat keputusan itu kepadanya (Pasal 267 ayat (2) Jo Pasal 243 ayat (4) KUHAP). Dalam hal terpidana tidak diketahui tempat tinggalnya atau bertempat tinggal di luar negeri, maka ini surat putusan tersebut disampaikan melalui kepala Desa atau pejabat atau melalui perwakilan RI di mana terpidana biasa berdiam dan apabila masih belum berhasil disampaikan, terpidana dipanggil dua kali berturut-turut melalui dua buah surat kabar yang terbit dalam daerah hukum pengadilan negeri itu sendiri atau daerah yang berdekatan dengan daerah itu (Pasal 267 ayat (2) Jo Pasal 243 ayat (5) KUHAP).
219
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
BAB IX STRATEGI DALAM PENYELESAIAN PERKARA DI LUAR PENGADILAN ATAU ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION (ADR) Menurut Barda, walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktik sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau Alternative Dispute Resolution; melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum81. Melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat (musyawarah keluarga; musyawarah desa; musyawarah adat dsb.). Praktik penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini sebelumnya tidak ada landasan hukum formalnya, tetapi berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 48 ayat (2) Tahun 2009 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman ditegaskan “Fungsi-fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Penyelidikan dan penyidikan; b. Penuntutan; c. Pelaksanaan putusan; d. Pemberian jasa hukum; dan d. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Memang sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku, tetapi sebenarnya berdasarkan Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Penjelasan Pasal 3 ayat (1) “Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase.” 81Barda
Nawawi Arief, 2007, Kapita Selekta Hukum, Menyambut Dies Natalis Ke-50 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Penerbit Fakultas Hukum Undip, Semarang, hlm : 13-25. Dan Barda, sebagai pengantar Dialog Interaktif Mediasi Perbankan, di Bank Indonesia Semarang, 13 Desember 2006, Mediasi Penal (penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain : “mediation in criminal cases” atau “mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut “Der Außergerichtliche Tatausgleich” (disingkat ATA) dan dalam istilah Perancis disebut “de mediation pénale”. Karena mediasi penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah “Victim-Offender Mediation” (VOM) atau Täter-Opfer-Ausgleich (TOA).
220
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Kondisi yang digambarkan di atas juga terjadi di banyak negara. Namun saat ini sudah terjadi perkembangan wacana dalam menyelesaikan perkara pidana dan bahkan perkembangan/pembaharuan hukum di berbagai negara yang memberi kemungkinan penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan82 melalui “mediasi pidana” yang dikenal dengan berbagai istilah sebagaimana telah dikemukakan 83. Adapun latar belakang pemikirannya ada yang dikaitkan dengan ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform), dan ada yang dikaitkan dengan masalah pragmatisme. Latar belakang ide-ide penal reform itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative justice84. Strategi restorative justice (pemulihan keadilan) dapat meningkatkan trust karena menunjukkan bahwa POLRI bertindak sebagai fasilitator, bukan hanya “penghukum” (penegak hukum) yang menjurus represif, melainkan POLRI mengutamakan “perdamaian” (dalam penegakan keadilan masyarakat) bagi penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban yang sebagian besar timbul dari konflik kepentingan, dan berperan menghasilkan win-win situation (LPEM-FEUI & MABES POLRI 1.2.2.1). Ide atau wacana dimasukkannya ADR dalam penyelesaian perkara pidana, antara lain terlihat dari perkembangan sebagai berikut. 1. Dalam dokumen penunjang Konggres PBB ke-9/1995 yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen A/CONF.169/6) diungkapkan perlunya semua negara mempertimbangkan privatizing some law enforcement and justice functions dan alternative dispute resolution/ADR 82
Barda Nawawi Arief, 2007, Mediasi Penal (Penal Mediation) Dalam Penyelesaian Sengketa / Masalah Perbankan Beraspek Pidana di Luar Pengadilan) dalam Kapita Selekta Hukum, Menyambut Dies Natalis Ke50 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Penerbit Fakultas Hukum Undip, Semarang, hlm :13-17. Masalah mediasi dalam perkara pidana, sudah masuk agenda pembahasan ditingkat Internasional, yaitu Konggres PBB ke9/1995 dan ke-10/2000 mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders’ dan dalam Konferensi Internasional Pembaharuan Hukum Pidana (International Penal Reform Conference) Tahun 1999. Pasal 18 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Republik Indonesia “Pada tiap-tiap pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum putusan hakim diucapkan.”
83
Da’i Bachtiar, Grand Strategi Polri 2005-2025 Surat Keputusan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol. SKEP/360/VI/2005, tanggal 10 Juni 2005 Halaman 13 Lampiran, huruf c Reorientasi Sistem Keadilan (Restorative Justice/pemulihan keadilan) dapat meningkatkan trust karena menunjukkan bahwa Polri bertindak sebagai fasilitator, bukan hanya “penghukum” atau penegak hukum yang menjurus represif, melainkan dan terutama Polri mengutamakan “pendamai” dalam penegakan hukum bagi kejahatan dan ketidaktertiban.
84
221
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
(berupa mediasi, konsiliasi, restitusi, dan kompensasi) dalam sistem peradilan pidana. Khususnya mengenai ADR, dikemukakan dalam dokumen itu sebagai berikut. The techniques of mediation, consiliation and arbitration, which have been developed in the civil law environment, may well be more widely applicable in criminal law. For example, it is possible that some of the serious problems that complex and lengthy cases involving fraud and white-collar crime pose for courts could by reduced, if not entirely eliminated, by applying principles developed in conciliation and arbitration hearings. In particular, if the accused is a corporation or business entity rather than an individual person, the fundamental aim of the court hearing must be not to impose punishment but to achieve an outcome that is in the interest of society as a whole and to reduce the probability of recidivism. 2. Dalam laporan Konggres PBB ke-9/1995 tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (dokumen A/CONF.169/16), antara lain dikemukakan : untuk mengatasi problem kelebihan muatan (penumpukan perkara) di pengadilan, para peserta konggres menekankan pada upaya pelepasan bersyarat, mediasi, restitusi, dan kompensasi, khususnya untuk pelaku pemula dan pelaku muda (dalam laporan Nomor 112); Ms. Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) mengemukakan “mediasi penal” (penal mediation) sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban. (dalam laporan Nomor 319); 3. Dalam Deklarasi Wina, Konggres PBB ke-10/2000 (dokumen A/CONF.187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir mekanisme mediasi dan peradilan restoratif (restorative justice). 4. Dalam International Penal Reform Conference yang diselenggarakan di Royal Holloway College, University of 222
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
London, pada tanggal 13-17 April 1999 dikemukakan, bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana (the key elements of a new agenda for penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to enrich the formal judicial system with informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet human rights standards). Konferensi ini juga mengidentifikasikan sembilan strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana, yaitu mengembangkan/membangun : a. Restorative justice b. Alternative dispute resolution c. Informal justice d. Alternatives to Custody e. Alternative ways of dealing with juveniles f. Dealing with Violent Crime g. Reducing the prison population h. The Proper Management of Prisons i. The role of civil society in penal reform Resume : Masalah mediasi dalam perkara pidana, sudah masuk dalam agenda pembahasan di tingkat internasional, yaitu dalam Konggres PBB ke-9/1995 dan ke-10/2000 mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders dan dalam Konferensi Internasional Pembaharuan Hukum Pidana (International Penal Reform Conference) tahun 1999; Pertemuan-pertemuan internasional itu mendorong munculnya tiga dokumen internasional yang berkaitan dengan masalah peradilan restoratif dan mediasi dalam perkara pidana, yaitu : (1) the Recommendation of the Council of Europe 1999 Nomor R (99) 19 tentang Mediation in Penal Matters; (2) the EU Framework Decission 2001 tentang the Standing of Victims in Criminal Proceedings; dan (3) the UN Principles 2002 (draft Ecosoc) tentang Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters; 223
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Dari berbagai dokumen internasional itu, masalah penal mediation tidak muncul sebagai masalah yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan latar belakang ide penal reform, restorative justice, alternative to imprisonment/custody, masalah “perlindungan korban” dan untuk mengatasi problem penumpukan perkara (the problems of court case overload). Catatan : Upaya untuk mengurangi beban pengadilan (penumpukan perkara), di beberapa negara lain juga ditempuh dengan dibuatnya ketentuan mengenai “penundaan penuntutan” (suspension of prosecution) atau “penghentian/penundaan bersyarat” (conditional dismissal/ discontinuance of the proceedings) walaupun bukti-bukti sudah cukup, seperti diatur dalam Pasal 248 KUHAP (Hukum Acara Pidana) Jepang dan Pasal 27-29 KUHP (Hukum Pidana Materiel) Polandia 85. 5. Mediasi pidana yang diungkapkan di atas, bertolak dari ide dan prinsip kerja sebagai berikut.86 a. Penanganan konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung): Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi. b. Berorientasi pada proses (Process Orientation – Prozessorientierung): Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu : menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik 87 terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dsb . c. Proses informal (Informal Proceeding - Informalität): 85Op.Cit.
Tränkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender Mediation - a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France, http://www.iuscrim.mpg.de/forsch/krim/ traenkle_e.html.
86Stefanie
87Op.
224
Cit.
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat. 6. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Participation - Parteiautonomie/Subjektivierung) Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri. 7. Model-model Mediasi Pidana : Dalam Explanatory memorandum dari Rekomendasi Dewan Eropa Nomor R (99) 19 tentang Mediation in Penal Matters, dikemukakan beberapa model mediasi penal sebagai berikut. a. Informal mediation b. Traditional village or tribal moots c. Victim-offender mediation d. Reparation negotiation programmes e. Community panels or courts f. Family and community group conferences, Ad (a) : Model informal mediation Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personnel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan tujuan, tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan; dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi, atau oleh Hakim. Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum. Ad (b) : Model Traditional village or tribal moots Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik politik di antara warganya88.
88Op.
Cit.
225
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Model ini ada di beberapa negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan/pedalaman. Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas. Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern. Program mediasi modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum. Ad (c) : Model victim-offender mediation Mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang. Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana; ada yang khusus untuk anak; ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delikdelik berat dan bahkan untuk recidivist. Dalam kerangka indeks democratic society yang diharapkan dapat mengukur keberadaan a society of self confident citizens, dipertanyakan antara lain perlakuan terhadap hak-hak minoritas, dukungan terhadap partai politik, agama, etnik, dan bahasa; perlakuan terhadap civil society; akuntabilitas lembaga-lembaga negara dalam menjalankan kepentingan publik, persamaan hak dimuka hukum, pluralisme dan independensi media, komunikasi; partisipasi publik disektor ekonomi, sosial, kultural dan politik; efektivitas
226
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
pendidikan untuk menunjangnya; dan seberapa jauh masyarakat percaya terhadap kemampuan sistem politik.89 Krisis moneter dan ekonomi yang melanda sebagian besar wilayah Asia Tenggara hingga akhir 1997 menciptakan momentum bagi masyarakat untuk mengungkapkan semua ketidakpuasan tersebut secara lebih nyata. Hal ini tidak lain, karena merosotnya otoritas negara; melemahnya law enforcement; terjadinya demoralisasi polisi dan TNI ; dan fragmentasi dan disintegrasi sosial dalam masyarakat. 90 Pada mulanya politik adalah tulang punggung sejarah (politics is the backbone of history). Oleh karena, buku-buku teks sejarah berisi rentetan kejadian-kejadian mengenai raja, negara, titah Raja, hukum, bangsa pemerintahan, parlemen, partai politik, pemberontakan, kelompok-kelompok kepentingan dan interaksi di antara kekuasaan-kekuasaan itu dalam merebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Ada ungkapan History is past politics is present history) (ucapan Sir John Robert Seely, sejarawan Inggris, 1834-1895).91 Dalam pandangan Masdar F. Mas’udi, jika demokrasi sebagai sebuah gagasan yang mendasarkan pada prinsip kebebasan, kesetaraan dan kedaulatan manusia untuk menentukan hal-hal yang berkaitan dengan urusan publik, maka secara mendasar sejalan dengan Islam, hal ini paling tidak tampak dari dua hal. Pertama, pada ajaran Islam tentang nilai-nilai kehidupan yang harus dijadikan acuan, yaitu: 1. Al-Musawah, atau persamaan derajat kemanusiaan dihadapan Allah/lihat Al Qur’an Surat Alhujurat (49) ayat 13. 2. Al-Hurriyah, kemerdekaan atau kebebasan berdasarkan pertanggung-jawaban moral dan hukum, baik didunia maupun akherat. Lihat Al Qur’an Surat Al-Thur (52) ayat 21
89Muladi,
Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Diterbitkan Atas Kerja sama Pustaka Pelajar @ Telkom Net @ IAIN Walisongo Semarang dan Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang, Yogyakarta Cetakan Pertama : 2006 :205-206.
90Azyumardi
Azra, Konflik Baru Antar Peradaban, Globalisasi, Radikalisme & Pluralitas, Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada, Cetakan Pertama, Jakarta, 2002 : 121.
91Kuntowijoyo,
2003: 174.
Metodologi Sejarah, Edisi Kedua, penyunting Mohamad Yahya, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta :
227
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
3. Al-Ukhuwwah, persaudaraan sesama manusia sebagai satu species yang diciptakan dari bahan baku yang sama dan terlahir dari Bapak dan Ibu yang sama. Lihat Al Qur’an Surat Al-Baqarah (2) ayat 213. 4. Al-Adalah, keadilan yang berintikan pada pemenuhan hakhak manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat/ negara. Lihat Al Qur’an Surat Al-Nahl (16) ayat 90. 5. Al-Syura, dimana setiap masyarakat berhak atas partisipasi dalam urusan publik yang menyangkut kepentingan bersama. Lihat Al-Qur’an Surat Al- Syura (42) ayat 38 Kedua, Ajaran Islam tentang hak-hak yang harus diusahakan pemenuhannya oleh diri sendiri maupun masyarakat/negara yang meliputi : (1) hifdz al-nafsi, hak hidup. (2) hifdz al-din, hak beragama/berkeyakinan. (3) hifdz al-aqli, hak untuk berpikir. (4) hifdz al-mal, hak milik individu (property right).(5) hifdz al-irdh, hak mempertahankan nama baik, dan (6) hifdz al-nasl, hak untuk memiliki dan melindungi keturunan.92 Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana “Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum”; Penjelasan : Pasal 2 a. Ruang lingkup undang-undang ini mengikuti asas-asas yang dianut oleh hukum Indonesia; Pasal 2 b. Yang dimaksud dengan “peradilan umum” termasuk pengkhususannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 10 Ayat (1) alinea terakhir Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang nomor 35 Tahun 1999 dan telah diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, dan sekarang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara emplisit landasan hukum93 Pasal 3 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Ghofur, M.AG., Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam Di Indonesia, Studi Atas Pemikiran Gus Dur, Diterbitkan Atas Kerja sama dengan Walisongo Press, Pencetak Pustaka Pelajar Offset, ISBN:979-3237-45-7 Cetakan pertama, Yogyakarta, 2002 : 41 disitir dari Masdar F. Mas’udi, Islam dan Demokrasi di Indonesia, dalam Tashwirul Afkar, edisi Nomor 3 tahun 1998, hal. 11.
92Abdul
93
Suparmin, 2012, Model Polisi Pendamai Dari Perspektif Alternative Dispute Resolution (ADR) Studi Penyelesaian Konflik antar Partai Politik, Badan Penerbit Universitas Diponegoro bekerja sama dengan Wahid Hasyim University Press, Semarang, , hlm 285-287 Dalam hukum perlu keterlibatan manusia yang membaca teks, sehingga tidak benar bahwa hukum itu hanya bahasa dan hanya urusan aparat penegak hukum semata. Jika demikian
228
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Kehakiman Ayat (1) “Semua peradilan di seluruh negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan Undang-undang.” Pasal 3 ayat (2) “Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”; jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dubah lagi dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009; Bahwa Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; mengandung arti, bahwa disamping peradilan Negara, tidak diperkenankan lagi adanya peradilanperadilan yang dilakukan oleh bukan badan negara, tetapi “Penyelesaian perkara atas dasar perdamaian tetap diperbolehkan”.; Untuk hal ini telah sesuai dengan Bab V BadanBadan Lain yang Fungsinya Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman Pasal 38 Ayat (2) Huruf e Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman “Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ‘penyelesaian sengketa di luar pengadilan”, atau biasa disebut dengan Alternative Dispute Resoution (ADR). Bahwa, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang nomor 35 Tahun 1999 dan telah diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, dan sekarang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait : Pasal 60 ayat (1) Alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Pasal 6o ayat (2) Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis.
ada yang lepas, yaitu rasa kemanusiaan, dan rasa kemanusiaan itu harus menekankan keadilan. Adil lebih kehati nurani, dengan pertimbangan kemanusiaan seorang penegak hukum akan dituntut untuk memutuskan keadilan berdasar hati nurani, karena hati nurani setiap manusia tidak pernah bohong.
229
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Asal 6o ayat (3) Kesepakatan secara tertulis sebagaimana dimaksud ayat (2) bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan itikat baik.
230
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
DAFTAR PUSTAKA Abdul Ghofur, M.AG., Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam Di Indonesia, Studi Atas Pemikiran Gus Dur, Diterbitkan Atas Kerja sama dengan Walisongo Press, Pencetak Pustaka Pelajar Offset, ISBN:979-3237-45-7 Cetakan pertama, Yogyakarta, 2002. Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad Sentosa, 1986, KUHAP - Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan Pelaksana, Penerbit Djambatan, Jakarta. Achmad Chodjim, 2003, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga Penulis Syekh Siti Jenar dan Alfatihah, Serambi, Jakarta Abdussalam, dan Zen Zanibar, 1998, “Refleksi Keterpaduan Penyidikan Penuntutan, Dan Peradilan Dalam Penanganan Perkara,”Dinas Hukum Polri, Jakarta. Ali Said, Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1985 tentang Seleksi Terhadap Saksi-Saksi yang diperintahkan Untuk Hadir di Sidang Pengadilan Ali Said, Menteri Kehakiman, 10 Desember 1983, Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M. 14.PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP Ali Said –Ismail Saleh, Moedjono, 23 Maret 1981, Instruksi Bersama Ketua Mahkamah Agung RI; Menteri Kehakiman RI Dan Jaksa Agung RI, Nomor : KMA/35/III/Tahun 1981; Nomor :M.01.PW.07.10 Tahun 19081; Nomor : Intstr-001/JA/3/1981 tentang Peningkatan Tertib Penyidangan Dan Penyelesaian-Penyelesaian Perkara Pidana Andi Sofyan dan H. Abdul Azis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana Prenadamia Group, Jakarta
Al Qur’an Dan Terjemahannya (Transliterasi Arab-Latin) Model Kanan-Kiri), Assalamah, (Ahmad Tohaputra) Penerbit Asy-Syifa Semarang, 2000. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Arikha Media Cipta, Jakarta, 1993. __________________, Herziening, ganti Rugi, Perkembangan Delik, Erlangga, Jakarta, 1981.
Suap,
__________________, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia: Jakarta , 1983 Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban, Globalisasi, Radikalisme & Pluralitas, Divisi Buku Perguruan Tinggi 231
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
PT Raja Grafindo Persada, Cetakan Pertama, Jakarta, 2002. Bagir Manan, 2005, Himpunan Surat Edaran Dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia 1951-2005, Penerbit CV. Citra Mandiri Jakarta. Barda Nawawi Arief, 2007, Kapita Selekta Hukum, Menyambut Dies Natalis Ke-50 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Penerbit Fakultas Hukum Undip, Semarang. Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung. Da’i Bachtiar, Grand Strategi Polri 2005-2025. Surat Keputusan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol. SKEP/360/VI/2005, tanggal 10 Juni 2005. Departemen Kehakiman, Buku Pedoman KUHAP, 1983. Djajaprawira, Anang. Hukum Militer Pengajuannya Dalam Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia. Jakarta, 1969 Lamintang, P. A. F.; Prof. D. Simons, 1992, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek Van Het Nederlanches straftrecht), CV Pionir Jaya, Bandung. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 90. Muladi, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Diterbitkan Atas Kerja sama Pustaka Pelajar @ Telkom Net @ IAIN Walisongo Semarang dan Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang, Yogyakarta Cetakan Pertama, 2006. Muladi, 2006, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Diterbitkan Atas Kerja sama Pustaka Pelajar @ Telkom Net @ IAIN Walisongo Semarang dan Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang, Yogyakarta Cetakan Pertama Kuntowijoyo, 2003, Metodologi Sejarah, Edisi Kedua, penyunting Mohamad Yahya, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta : Poniman, 1983, Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan Dan Menteri Kehakiman Nomor : KEP.10/M/XII/1983 – Nomor : M.57.PR.09.03Tahun 1983 tentang Pembentukan Tim Tetap Untuk Peyidikan Perkara Pidana Koneksitas Menteri Pertahanan Keamanan Dan Menteri Kehakiman
232
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Radius Prawiro, 1983, Departemen Keuangan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 983/KMK.01/1983 Tanggal 31 Desember 1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian
R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea Bogor. Sianturi, S.R., 1996, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta. Soekamto, SH., Drs., Inspektur Jendral Polisi Kepala Divisi Hukum Mabes Polri, 2003, Penjabaran Unsur-Unsur Pasal Dalam KUHP, Jakarta. Soekanto Soerjono, 1983, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia, U.I. Press, Jakarta Stefanie Tränkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender Mediation - a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France. Sudarto, 1986, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, dalam BPHN Simposium Pembangunan Hukum Pidana Nasional, Binacipta, Bandung. Sudarto, Hukum Pidana I, 1990, Cetakan Ke II, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, Semarang
Suparmin, 2007, Kapita Selekta Aneka Persoalan Di Bidang Hukum Ekonomi & Hukum Pidana Khusus,Wahid Hasyim University Press. ________, 2007, Lembaga Kepolisian & Penyelesaian Konflik Pendukung Partai Politik, Wahid Hasyim University Press, Semarang. ________, 2007, Tragedi Kemanusiaan Dalam Kasus Pemilu Di Jepara 1999, Waid Hasyi niversity Press, Semarang. ________, 2008, Reorientasi Peran Polri Dalam Penyelesaian Konflik Politik; Studi Socio-Legal menuju Mekanisme 233
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Ideal Penegakan Hukum (Konflik Antarpendukung Partai Politik di Provinsi Jawa Tengah, Semarang 2008, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. ________, 2012, Model Polisi Pendamai Dari Perspektif Alternative Dispute Resolution (ADR) Studi Penyelesaian Konflik antar Partai Politik, Badan Penerbit Universitas Diponegoro bekerja sama dengan Wahid Hasyim University Press. ________, 2013, Revitalisasi Hukum Kepolisian Dari Perspektif Analisa SWOT (Strength Weakness Opportunity Threat) Guna Problem Solving Tingkat Tinggi Untuk Intensitas Keamanan Dalam Negeri, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Surat Keputusan Kapolri No. : Skep/11/XII/1993, tanggal 31 Desember 1993 tentang Pokok-pokok Organisasi Laboratorium Forensik
Tyas Hartiningsih, AKBP. Dra., Waka Labfor Mabes Polri Cabang Semarang, Bahan Ajar. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999-Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Terakhir Dengan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007 Dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Yul Mulyadi, SH Inspektur Polisi Satu, Kaur Identifikasi Sat Reskrim Polrestabes Semarang, 2012, Hubungan Tata Cara Kerja (HTCK) Sat Reskrim Identifikasi Polrestabes Semarang
234
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
235
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai penyidik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dalam masyarakat dan belum dapat sepenuhnya berperan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya; b. bahwa dalam rangka meningkatkan peran penyidik dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, perlu dilakukan tertib administrasi, pendataan, dan syarat rekrutmen bagi penyidik terutama pejabat penyidik pegawai negeri sipil; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik 236
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN KITAB UNDANGUNDANG HUKUM ACARA PIDANA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 5 diubah dan setelah angka 5 ditambah 1 (satu) angka, yakni angka 6 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 2. Rumah Tahanan Negara yang selanjutnya disebut RUTAN adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. 3. Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yang selanjutnya disebut RUPBASAN adalah tempat benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan. 237
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
4. Benda sitaan adalah benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan. 5. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. 6. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut pejabat PPNS adalah pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, baik yang berada di pusat maupun daerah yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. 2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 Penyidik adalah: a. pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan b. pejabat pegawai negeri sipil. 3. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 2A, Pasal 2B dan Pasal 2C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 2A (1) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, calon harus memenuhi persyaratan: a. berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara; b. bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun; c. mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal; d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan e. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian 238
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Negara Republik Indonesia yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 2B Dalam hal pada suatu satuan kerja tidak ada Inspektur Dua Polisi yang berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditunjuk dapat menunjuk Inspektur Dua Polisi lain sebagai penyidik. Pasal 2C Dalam hal pada suatu sektor kepolisian tidak ada penyidik yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (1), Kepala Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara di bawah Inspektur Dua Polisi karena jabatannya adalah penyidik. 4. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi; b. mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal; c. bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun; d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan e. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi. (2) Penyidik pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masingmasing.
239
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
(3) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. 5. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 10 (sepuluh) pasal, yakni Pasal 3A sampai dengan Pasal 3J yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 3A (1) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat PPNS, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun; b. berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a; c. berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara; d. bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum; e. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah; f. setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan g. mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f diajukan kepada Menteri oleh pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil yang bersangkutan. (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g diselenggarakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia bekerja sama dengan instansi terkait.
240
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Pasal 3B (1) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f terpenuhi, Menteri memberitahukan nama calon kepada pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil yang bersangkutan. (2) Pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil yang bersangkutan mengajukan nama calon yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan. Pasal 3C (1) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1),calon pejabat PPNS harus mendapat pertimbangan dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia. (2) Pertimbangan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diberikan masing-masing dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan pertimbangan diajukan. (3) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia dianggap menyetujui. Pasal 3D (1) Calon pejabat PPNS yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) dan Pasal 3C, diangkat oleh Menteri atas usul dari pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil tersebut. (2) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. 241
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Pasal 3E (1) Sebelum menjalankan jabatannya, calon pejabat PPNS wajib dilantik dan mengucapkan sumpah atau menyatakan janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Lafal sumpah atau janji pejabat PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut: ”Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: Bahwa saya, untuk diangkat menjadi pejabat penyidik pegawai negeri sipil, akan setia dan taat sepenuhnya pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemerintah yang sah; Bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundangundangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan pejabat penyidik pegawai negeri sipil yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab; Bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah dan martabat pejabat penyidik pegawai negeri sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan; Bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak akan menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji-janji baik langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan pekerjaan saya". Pasal 3F (1) Pegawai negeri sipil yang telah diangkat menjadi pejabat PPNS diberi kartu tanda pengenal. (2) Kartu tanda pengenal pejabat PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Menteri. (3) Kartu tanda pengenal pejabat PPNS merupakan keabsahan wewenang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
242
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Pasal 3G (1) Dalam hal terjadi perubahan struktur organisasi, mutasi pejabat PPNS baik antar unit di dalam kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian maupun antarkementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang dasar hukum kewenangannya berbeda, pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pejabat PPNS yang bersangkutan wajib melaporkan perubahan tersebut kepada Menteri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal keputusan tentang perubahan struktur atau mutasi ditetapkan. (2) Selain kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pejabat PPNS yang bersangkutan dapat mengajukan usul pengangkatan kembali pejabat PPNS dimaksud kepada Menteri. Pasal 3H Menteri dapat melakukan kerja sama dengan pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pejabat PPNS dalam rangka pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang pejabat PPNS yang bersangkutan. Pasal 3I (1) Pejabat PPNS diberhentikan dari jabatannya karena: a. diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil; b. tidak lagi bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum; atau c. atas permintaan sendiri secara tertulis. (2) Pemberhentian pejabat PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pejabat PPNS kepada Menteri disertai dengan alasannya. (3) Menteri mengeluarkan surat keputusan pemberhentian pejabat PPNS dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya surat pengusulan pemberhentian. 243
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Pasal 3J Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan, pemberhentian, mutasi, dan pengambilan sumpah atau janji pejabat PPNS, dan bentuk, ukuran, warna, format, serta penerbitan kartu tanda pengenal diatur dengan Peraturan Menteri. 6. Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 37A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 37A Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: a. penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (1) huruf a, wajib menyesuaikan dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan. b. pejabat PPNS yang telah diangkat sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku tetap menjalankan tugas sampai masa tugasnya selesai. c. pegawai negeri sipil yang sedang dalam proses pengangkatan menjadi pejabat PPNS tetapi belum selesai, proses pengangkatan tersebut diselesaikan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. d. kartu tanda pengenal yang sudah ada sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan wajib diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. 7. Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 39A Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2B dan Pasal 2C berlaku untuk waktu 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
244
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Pasal II Peraturan Pemerintah diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Juli 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Juli 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 90
245
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA I. UMUM Penyidik mempunyai peranan penting dan merupakan ujung tombak dalam proses penegakan hukum pidana. Kinerja penyidik berpengaruh besar dalam proses penanganan perkara pidana. Dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa ada dua pejabat yang berkedudukan sebagai penyidik, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Pengaturan lebih lanjut mengenai penyidik sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) namun dalam perkembangannya sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum dapat sepenuhnya berperan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Oleh karenanya, perlu mengubah ketentuan Peraturan Pemerintah tersebut, khususnya yang mengatur mengenai penyidik terutama pejabat penyidik pegawai negeri sipil (pejabat PPNS). Perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab 246
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dilakukan dengan tujuan agar dapat meningkatkan kinerja dan profesionalitas penyidik dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya, yaitu salah satunya dengan meningkatkan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi penyidik seperti pendidikan paling rendah, pangkat/golongan, dan bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum. Adapun substansi lain yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini antara lain mengenai proses pengangkatan, pengambilan sumpah atau janji, kartu tanda pengenal, mutasi, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas, dan pemberhentian pejabat PPNS. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 2A Cukup jelas. Pasal 2B Cukup jelas. Pasal 2C Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 3A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
247
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Ayat (3) Yang dimaksud dengan “bekerja sama dengan instansi terkait” antara lain dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kejaksaan Republik Indonesia, terutama dalam penyusunan kurikulum pendidikan. Pasal 3B Cukup jelas. Pasal 3C Cukup jelas. Pasal 3D Cukup jelas. Pasal 3E Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pejabat yang ditunjuk” adalah Kepala Kantor Wilayah untuk pejabat PPNS yang akan dilantik didaerah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3F Cukup jelas. Pasal 3G Cukup jelas. Pasal 3H Cukup jelas. Pasal 3I Ayat (1) Huruf a Alasan diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil antara lain karena meninggal dunia, telah mencapai usia pensiun, melanggar disiplin 248
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
kepegawaian atau terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3J Cukup jelas. Pasal 37A Cukup jelas. Pasal 39A Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5145
249
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
INDEK MASALAH masalah
250
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
INDEK NAMA Batas surat dakwaan Refleksi keterpaduan Pengamalan Pancasila Resume
INDEK MASALAH
tidak pernah bohong implisit toleransi susunan undang pancasila Undang Undang Dasar Hukum agama adr penyelesaian sengketa pengkhususannya peradilan umum keadilan hati nurani kemanusiaan perdamaian membelokkan hukum suap korupsi
Pasal 38 ayat (1) Mahkamah Agung Mahkamah Konstitusi, fungsinya berkaitan Penyelidikan dan penyidikan Penuntutan pelaksanaan putusan pemberian jasa hukum Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (ADR) Achmad Chodjim Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga Syekh Siti Jenar Hukum-hukum An-Nisa Wanita Api neraka 251
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Sawal Yul Mulyadi, Inafis Mayat Sidik jari Daktiloskopi Seluruh dunia Ahli Daktiloskopi Labfor Forensik Kedokteran kehakiman Tergantung Penghayatan Remus Bactthazard Galton Bersifat tetap Tidak sama Identifikasi Seluruh dunia hebat Jasmin Bambang Aris ketentuan-ketentuan-Nya Alfatihah Melampaui melanggar batas melanggar ketentuan membunuh orang membunuh tawanan, memeras atau korupsi menerima suapan. Al-FaqihAbullaits As-Samarqandi singgasana Dakwaan yang kabur obscuur libel obscuri libelli. Pembatalan syarat-syarat dakwaan 252
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Oemar Senoadji Mahkamah Agung Upaya hukum luar biasa Kepentingan hukum Dwangmiddelen Peninjauan kembali Lalu lintas Acara pemeriksaan Petunjuk Surat Keterangan ahli Keterangan terdakwa Saksi Tertangkap tangan Laporan Pengaduan Wewenang penyidikan Tindak pidana Tertentu Khusus koordinasi zaman Romawi Pemeriksaan Saksi Ahli Soekamto
bedah mayat Penangkapan Penahanan syarat obyektif gronden van rechtmatigheid; syarat subyektif gronden van noodzakelijkheid Bersifat absolut alasan yang patut prosedur perpanjangan mengajukan keberatan gijzeling Penpres No. 3 Tahun 1962 Penangguhan penahanan 253
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Andi Sofyan Abdul Azis
disetor ke kas wajib lapor penggeledahan beslagneming penahanan penggeledahan penyitaan pemeriksaan penuntutan pengadilan lekas rusak membahayakan izin Hakim dikembalikan kepada demi hukum Pemeriksaan surat Asas opportunitas
melaporkan Pemeriksaan Tersangka Undang undang dasar Melanggar batas Melawan hukum persamaan derajat keadilan pemenuhan melindungi keturunan Alkitab Al Qur’an Fasik membelokkan hukum 254
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
matius akhirat tersesat Keluaran membawa kebenaran Al Isra Kitab tidak bersalah
Matius memikul dosa orang mengepung orang benar rasul bersumpah palsu pidana materiil pembangunan nasional pancasila tata cara atas kuasa terdakwa kasasi peninjauan kembali banding W.P.J. Pompe J de Bosch Kemper Moeljatno Penyidik memberitahukan Perkara Cepat Perkara Singkat KONEKSITAS Perkara biasa D Simons Wirjono Prodjodikoro Medepleger Uitlokker medeplichtig wewenang R. Soesilo Al Qur’an 255
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
nullum delictum Yesaya buta hatinya korupsi memeras Hukum Acara Pidana Sudarto Muladi Barda Soerjono Soekanto Lamintang D. Simons
Edaran Mahkamah Agung Nebis In Idem judex facti Statuta daluwarsa verjaring mengadakan penyelidikan Bagir Manan
Autopsy kematian wajar nature death semua tindak pidana Locus delictie hukum publik tertangkap tangan penghinaan Kekuasaan Kehakiman merupakan induk meletakkan dasar Mahkamah Agung Syarat-Syarat Tujuan Hukum tiga tugas pokok biaya ringan sederhana
Pejabat Polisi Penitensier Abdul Hakim G. Nusantara Luhut M.P. Pangaribuan Mas Achmad Sentosa 256
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
ASAS-ASAS penitential recht Tambahan Lembaran Negara
kebenaran materiil substantial truth Pasal 7 ayat (1) Hak Azasi Manusia asas Isonomia Equality before the law contante justitie Presumption of innocence principle of legality Ilmu Bantu Suparmin tidak memihak Psikologi Logika Kriminalistik Kedokteran forensik kedokteran kehakiman Toksikologi forrensik Ilmu kimia forensik Ilmu alam forensik Balistik kehakiman foren geincrimineerde kogel sic ballistic peluru ditembakkan kogeltest Dactyloscopie sidik jari finger-prints graphology Ilmu tulisan tangan Psikiatri begrekkige ontwikkeling bertanggung jawab terganggu karena penyakit 257
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
ziekclijke storing diperbolehkan staatsbladen Gubernur Jendral Reglement Strafvordering Staatsblad Eropa Pembahasan Contoh Rechter Commissaris Hakim Pengawas Kapolri Jendral Oemar Seno Adji Jaksa Agung AH Said Moh Hasan Sudomo. Mochtar Koesoemaatmadja Menteri Kehakiman Moedjono Ali Said Awaluddin Djamin Persaja Persahi Presiden Musyarawarah kesepakatan pendapat Built in control within sight and within hearing habeas corpus atau prae-trial Surat dakwaan Mahkamah Militer tahapan proses
258
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
Aparat eksekusi Aparat penitensier penitential recht asas Isonomia Equality before the law. Penangkapan Penahanan Penggeledahan Penyitaan perintah tertulis principle of legality Setiap orang Disangka Ditangkap Ditahan Dituntut hukum yang tetap Praduga tak bersalah Presumption of innocence. wajib diberi ganti rugi rehabilitasi 259
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
hukuman administrasi. Peradilan harus dengan cepat sederhana biaya ringan bebas jujur tidak memihak contante justitie speedy trial serta fair trial. wajib diberi bantuan hukum kepentingan pembelaan diberitahu haknya termasuk hak penasihat hukum. hadirnya terdakwa onmiddelijkheid van het onderzoek. asas openbaarheid van het proces. Pengawasan pelaksanaan putusan
260
Hukum Acara Pidana Dan Peraturan Perundang – Undangan Lainnya Mengindahkan Hukum Agama
261