HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN KUALITAS TIDUR PENDERITA ASMA DI RSUD KABUPATEN KARANGANYAR
SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh : Sri Satiti Budayani NIM : ST 13068
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015
LEMBAR PENGESAHAN Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi yang Berjudul :
HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN KUALITAS TIDUR PENDERITA ASMA DI RSUD KABUPATEN KARANGKANYAR Oleh : Sri Satiti Budayani NIM: ST 13068 Telah dipertahankan di depan penguji pada tanggal 5 Agustus 2015 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Keperawatan
Pembimbing Utama,
Pembimbing Pendamping,
S.Dwi Sulisetyawati, S.Kep.,Ns.,M.Kep NIK. 200984041
Ika Subekti Wulandari, S.Kep.,Ns.,M.Kep NIK. 201189097
Penguji,
Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns.,M.Kep NIK. 201279102 Surakarta, 5 Agustus 2015 Ketua Program Studi S-1 Keperawatan
Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns.,M.Kep NIK. 201279102
ii
SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan dibawah ini, saya : Nama
: Sri Satiti Budayani
NIM
: ST.13068
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Karya tulis saya yang berjudul “Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Kualitas Tidur Pada Penderita Asma di RSUD Kabupaten Karanganyar”, Peneliitan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Sarjana), baik di STIKES Kusuma Husada Surakarta, maupun diperguruan tinggi lain. 2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan Tim Penguji. 3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis secara jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya dengan sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini. Surakarta,
Agustus 2015
Yang membuat pernyataan
SRI SATITI BUDAYANI NIM. ST. 13068
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayahNya yang telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN KUALITAS TIDUR PENDERITA ASMA DI RSUD KABUPATEN KARANGANYAR” laporan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta. Penulis menyadari tanpa bantuan dari berbagai pihak tidak banyak yang bisa penilis lakukan dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya selama pelaksanaan dan penyusunan laporan skripsi ini kepada : 1. Dra. Agnes Sri Harti, M.Si selaku ketua STIKES Kusuma Husada Surakarta. 2. Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns., M.Kep selaku ketua Prodi S1 Keperawatan STIKES Kusuma Husada Surakarta sekaligus penguji yang telah menyediakan waktu memberikan bimbingan dan arahan. 3. S Dwi Sulisetyawati, S.Kep.,Ns., M.Kep selaku pembimbing utama yang telah menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan. 4. Ibu Ika Subekti Wulandari, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku pembimbing pendamping yang telah menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan selama proses pengajuan judul sampai dengan selesainya pembuatan skripsi ini.
iv
5. dr. G. Maryadi selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karanganyar yang telah memberikan ijin tempat penelitian. 6. Semua Responden yang telah bersedia meluangkan waktu memberikan bantuan kepada penulis. 7. Seluruh civitas Akademi Prodi S1 Keperawatan STIKES Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan pelayanan yang baik kepada penulis. 8. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan Skripsi ini. Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini masih jauh dari sempurna, hal ini mengingat keterbatasan kemampuan dan pengalaman yang penulis miliki. Oleh sebab itu atas kekurangan tersebut dengan senang hati penulis menerima saran – saran kritikan yang sifatnya membangun. Akhir kata segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf yang sebesar – besarnya dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Surakarta,
Agustus 2015
Penulis
Sri Satiti Budhayani
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..........................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN ...............................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv DAFTAR ISI ...................................................................................................... vi DAFTAR TABEL .............................................................................................. viii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
x
ABSTRAK ......................................................................................................... xi ABSTRACT ....................................................................................................... xi BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1.Latar Belakang Masalah .............................................................
1
1.2.Rumusan Masalah ......................................................................
4
1.3.Tujuan Penelitian .......................................................................
5
1.4.Manfaat Penelitian .....................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
7
2.1. Tinjauan Teori ...........................................................................
7
2.2. Keaslian Penelitian .................................................................... 36 2.3. Kerangka Teori .......................................................................... 38 2.4. Kerangka Konsep ...................................................................... 38 2.5. Hipotesis Penelitian ................................................................... 39 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 40 vi
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................ 40 3.2. Populasi dan Sampel ................................................................. 40 3.3. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 41 3.4. Variabel, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran ............. 41 3.5. Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data ............................ 42 3.6. Teknik Pengolahan Data ........................................................... 44 3.7. Analisa Data .............................................................................. 45 3.8. Etika Penelitian ......................................................................... 46 BAB IV
HASIL PENELITIAN ...................................................................... 47 4.1. Karakteristik Umum Responden ............................................... 47 4.2. Analisa Univariat ...................................................................... 48 4.3. Analisa Bivariat ........................................................................ 49
BAB V
PEMBAHASAN .............................................................................. 51 5.1. Karakteristik Umum Responden .............................................. 51 5.2. Tingkat Kecemasan Pasien Asma ............................................. 53 5.3. Kualitas Tidur Pasien Asma ..................................................... 56 5.4. Hubungan Tingkat kecemasan dengan kualitas tidur pada pasien Asma di RSUD Kabupaten Karanganyar ...................... 58
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 60 6.1. Kesimpulan ............................................................................... 60 6.2. Saran ......................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Judul Tabel
Hal
2.1
Keaslian Penelitian
36
3.1
Definisi Operasional
42
4.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur
47
4.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
4.3
47
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan
4.4
48
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Perkawinan
4.5
48
Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Pasien Asma Di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar
4.6
Distribusi Frekuensi Kualitas Tidur Pasien Asma Di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar
4.7
49
49
Analisa Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Kualitas Tidur Pada Pasien Asma di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar
viii
49
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
Judul Gambar
Hal
2.1
Kerangka Teori
38
2.2
Kerangka Konsep
38
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Keterangan
Lampiran 1.
Lembar Permohonan Menjadi Responden
2.
Lembar Persetujuan Sebagai Responden
3.
Lembar Kuisioner Kecemasan
4.
Cara Penilaian Tingkat Kecemasan
5.
Lembar Kuisioner Kualitas Tidur
6.
Surat Ijin Studi Pendahuluan dan Balasan
7.
Cara Penilaian Kualitas Tidur
8.
Jadwal Penelitian
9.
Surat Ijin Penelitian dan Balasan
10.
Lembar Konsultasi
11.
Tabulasi Data
12.
Hasil Penelitian
x
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015 Sri Satiti Budayani HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN KUALITAS TIDUR PADA PENDERITA ASMA DI RSUD KABUPATEN KARANGANYAR ABSTRAK
Kecemasan dapat terjadi akibat suatu kelainan medis salah satunya adalah asma bronkhial. Pada keadaan sakit dan dirawat dirumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya sering kali terjadi dua hal yang berlawanan, disatu sisi individu yang sakit mengalami peningkatan kebutuhan tidur. Sementara disisi yang lain pola tidur seseorang yang masuk dan dirawat dirumah sakit dapat dengan mudah berubah atau mengalami gangguan pola tidur sebagai akibat kecemasan yang kondisi sakitnya atau rutinitas rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur penderita asma di RSUD Kabupaten Karanganyar. Jenis penelitian ini yang digunakan adalah penelitian kuantitatif non eksperimental dengan metode korelasional dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita asma yang rawat inap di RSUD Karanganyar pada bulan Pebruari - April 2015. Cara pengambilan sample dilakukan secara total sampling, didapatkan 38 responden, Data yang didapatkan kemudian diolah menggunakan analisis korelasi Rank Spearman. Sebagian besar tingkat kecemasan pada seluruh responden adalah normal sebanyak 63,2% dan 31,6% seluruh responden dengan kualitas tidur buruk. Hasil analisis terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur dengan p value 0,000 dengan koefesien korelasi 0,889 sehingga hubungan tersebut sangat kuat. Kata Kunci : kecemasan, kualitas tidur, asma Daftar Pustaka : 26 (2005 – 2012)
xi
BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCE KUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA 2015
Correlation between Anxiety Level and Sleep Quality of the Asthma Patients at Local General Hospital of Karanganyar ABSTRACT Anxiety is caused by medical disorders. One of them is bronchial asthma. Occasionally, there are two opposite sides when an individual is sick and treated at a hospital or at other medical facilities. On the one hand, there is an improvement of the individual’s sleep need. On the other hand, there is a disorder of patient’s sleep pattern due to the anxiety. It may be triggered by the sick condition of the patients or the atmosphere of the hospital. The objective of the research is to investigate the correlation between the anxiety level and the sleep quality of Asthma patients at Local General Hospital of Karanganyar. The research used the non-experimental quantitative correlation method with the cross sectional approach. Its population was all of the asthma inpatients at Local General Hospital of Karanganyar from February to April 2015. The samples of research were 38 respondents. They were taken by using the total sampling technique. The data were analyzed by using the Spearman’s Rank Correlation Test. The result show that most of the respondents (63.6%) had a normal anxiety and most of the respondents (31.6%) had a poor sleep quality 31.6%. Thus, there was a significant strong correlation between the anxiety level and the sleep quality of the Asthma patients as indicated by the p-value = 0.00 with the correlation coefficient of 0.889. Keywords: Anxiety, sleep quality, asthma References: 24 (2005 – 2011)
xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Asma adalah penyakit paru dengan ciri khas yakni saluran nafas sangat mudah bereaksi terhadap berbagai rangsangan atau pencetus dengan manifestasi berupa serangan asma. Adapun manifestasi klinis yang ditimbulkan antara lain mengi/wheezing, sesak nafas, dada terasa tertekan atau sesak, batuk, pilek, nyeri dada, nadi meningkat, retraksi otot dada, nafas cuping hidung, takipnea, kelelahan, lemah, anoreksia, sianosis dan gelisah (GINA, 2006). Diagnosa masalah keperawatan yang muncul pada pasien asma salah satunya adalah ansietas atau kecemasan (NANDA, 2009). Pada beberapa individu, stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma dan bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Stres dapat mengantarkan seseorang pada tingkat kecemasan sehingga memicu dilepaskannya histamin dan leukotrien, yang menyebabkan penyempitan saluran napas dimana ditandai dengan sakit tenggorokan dan sesak napas, yang pada gilirannya bisa memicu serangan asma (Sudhita, 2005). Cemas merupakan hal yang sering terjadi dalam hidup manusia. Cemas juga dapat menjadi beban berat yang menyebabkan kehidupan individu
tersebut
selalu
dibawah
bayang-bayang
kecemasan
yang
berkepanjangan dan menganggap rasa cemas sebagai ketegangan mental yang disertai dengan gangguan tubuh yang menyebabkan rasa tidak waspada
1
2
terhadap ancaman, kecemasan berhubungan dengan stress fisiologis maupun psikologis. Artinya, cemas terjadi ketika seseorang terancam baik fisik maupun psikologis (Asmadi,2008). Pada keadaan sakit dan dirawat dirumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya sering kali terjadi dua hal yang berlawanan, disatu sisi individu yang sakit mengalami peningkatan kebutuhan tidur. Sementara disisi yang lain pola tidur seseorang yang masuk dan dirawat dirumah sakit dapat dengan mudah berubah atau mengalami gangguan pola tidur sebagai akibat kecemasan yang kondisi sakitnya atau rutinitas rumah sakit (Potter & Perry, 2010). Tidur yang tidak adekuat dan kualitas tidur buruk dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan fisiologi dan psikologi. Dampak fisiologi meliputi penurunan aktivitas sehari-hari, rasa lelah, lemah, daya tahan tubuh menurun dan ketidakstabilan tanda-tanda vital. Dampak psikologis meliputi depresi, cemas dan tidak konsentrasi (Potter & Perry, 2010). Kurang tidur dapat mempengaruhi konsentrasi dan merusak kemampuan untuk melakukan kegiatan yang melibatkan memori, belajar, pertimbangan logis, dan penghitungan matematis. Gangguan tidur dapat mengakibatkan kemerosotan mutu hidup. Misalnya, gangguan tidur dapat menyebabkan kelelahan pada siang hari dan mempengaruhi status fungsional dan mutu hidup (Nancy W, 2006). Kurang tidur dapat mengakibatkan dampak negatif. Saat kita terjaga, kita menyimpan suatu keadaan yang disebut ‘sleep debt’ yang dapat diganti
3
hanya melalui tidur. Hal ini diatur oleh suatu mekanisme dalam tubuh yang disebut sebagai “sleep homeostat”, yang mengatur keinginan kita untuk tidur. Jika jumlah ‘sleep debt’ besar, maka “sleep homeostat” akan memberitahukan pada kita bahwa kita perlu tidur lebih banyak (Robotham, 2011). Kurang tidur yang berkepanjangan dapat mengganggu kesehatan fisik dan psikis. Dari segi fisik, kurang tidur akan menyebabkan muka pucat, mata sembab, badan lemas, dan daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang penyakit. Sedangkan dari segi psikis, kurang tidur akan menyebabkan timbulnya perubahan suasana kejiwaan, sehingga penderita akan menjadi lesu, lamban menghadapi rangsangan, dan sulit berkonsentrasi (Endang, 2007). Setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% orang
dewasa
melaporkan adanya gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius. Prevalensi gangguan tidur pada penderita penyakit cukup tinggi yaitu sekitar 67 %. Walaupun demikian, hanya satu dari delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidurnya telah didiagnosis oleh dokter (Amir, 2007). Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas maupun kuantitas tidur, salah satu diantaranya adalah kecemasan (Chayatin & Mubarak, 2007). Kecemasan sering kali mengganggu tidur. Seseorang yang pikirannya dipenuhi dengan masalah pribadi dan merasa sulit untuk rileks saat akan memulai tidur. Kecemasan meningkatkan kadar norepinefrin dalam darah
4
melalui stimulasi sistem saraf simpatis. Perubahan kimia ini menyebabkan kurangnya waktu tidur tahap IV NREM dan tidur REM serta lebih banyak perubahan dalam tahap tidur lain dan lebih sering terbangun (Kozier et.al. 2010). Berdasarkan data di Catatan Medis Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karanganyar, data penderita asma pada tahun 2013 adalah 172 penderita, sedangkan pada tahun 2014 adalah 196 penderita. Sedangkan pada bulan November tahun 2014 terdapat 18 pasien asma. Dari hasil studi pendahuluan peneliti menemukan bahwa sebagian besar penderita asma cenderung memiliki masalah gangguan kecemasan. Mereka merasa cemas dengan keadaan yang mereka alami. Mereka mengeluhkan cemas dan takut pada saat terjadi serangan asma, sehingga dengan kondisi itu kualitas tidur penderita asma tidak terpenuhi secara optimal. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur pada penderita asma di RSUD Kabupaten Karanganyar.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur penderita asma di RSUD Kabupaten Karanganyar ?”
5
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum : Menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur penderita asma
1.3.2
Tujuan Khusus : 1. Mengidentifikasi karakteristik responden 2. Mengetahui gambaran tingkat kecemasan penderita asma 3. Mengetahui gambaran kualitas tidur penderita asma 4. Menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur penderita asma
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini peneliti harapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, meliputi : 1.4.1
Bagi Rumah Sakit Sebagai informasi bagi institusi pelayanan kesehatan tentang kecemasan pada pasien asma yang mempengaruhi pola tidur. Melalui penelitian ini peneliti berharap dapat memperoleh informasi tentang klien dan selanjutnya berdasarkan informasi tersebut dapat pula dikembangkan bentuk pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu serta standar asuhan keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur pada pasien asma.
6
1.4.2
Bagi Institusi Pendidikan Sebagai bahan referensi untuk meningkatkan pembelajaran khususnya yang terkait dengan pengembangan konsep asuhan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur klien.
1.4.3
Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil
penelitian
ini
dapat
dijadikan
sebagai
dasar
pengembangan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur penderita asma. 1.4.4
Bagi Peneliti Manfaat bagi peneliti adalah memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur penderita asma.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori 2.1.1
Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan Kecemasan adalah gangguan alam sadar (effectife) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA), masi baik, kepribadian masih tetap utuh(tidak mengalami keretakan kepribadian/ splitting of personality), perilaku dapat terganggu tapi masih dalam batas normal (Hawari,2006). Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Rochman, 2010). Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fitri Fauziah & Julianti Widuri, 2007) kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan
merupakan hal yang normal
terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru
7
8
atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya. Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas bahwa kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi
tertentu
yang
sangat
mengancam
yang
dapat
menyebabkan kegelisahan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang serta ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. 2. Tingkat Kecemasan Semua orang pasti mengalami kecemasan pada derajat tertentu, Peplau mengidentifikasi 4 tingkatan kecemasan yaitu: a. Kecemasan Ringan Kecemasan ini berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Kecemasan
dapat
memotivasi
belajar
menghasilkan pertumbuhan serta kreatifitas. Tanda dan gejala antara lain: persepsi dan perhatian meningkat, waspada, sadar akan stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi masalah secara efektif serta terjadi kemampuan belajar. Perubahan fisiologi ditandai dengan gelisah, sulit tidur, hipersensitif terhadap suara, tanda vital dan pupil normal.
9
b. Kecemasan Sedang Kecemasan
sedang
memungkinkan
seseorang
memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga individu mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Respon fisiologi : sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, gelisah, konstipasi. Sedangkan respon kognitif yaitu lahan persepsi menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatiaannya c. Kecemasan Berat Kecemasan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berfikir tentang hal lain.
Semua
perilaku
ditujukan
untuk
mengurangi
ketegangan. Tanda dan gejala dari kecemasan berat yaitu: persepsinya sangat kurang, berfokus pada hal yang detail, rentang perhatian sangat terbatas, tidak dapat berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah, serta tidak dapat belajar secara efektif. Pada tingkatan ini individu mengalami sakit kepala, pusing, mual, gemetar, insomnia, palpitasi, takikardi, hiperventilasi, sering buang air kecil maupun besar, dan
10
diare. Secara emosi individu mengalami ketakutan serta seluruh perhatian terfokus pada dirinya. d. Panik Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak dapat melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik
menyebabkan
peningkatan
aktivitas
motorik,
menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, kehilangan pemikiran yang rasional. Kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian. Tanda dan gejala dari tingkat panik yaitu tidak dapat fokus pada suatu kejadian (Ratih,2012). 3. Faktor yang mempengaruhi kecemasan Faktor – faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah Rufaidah (2009) : a. Faktor fisik Kelemahan fisik dapat melemahkan kondisi mental individu sehingga memudahkan timbulnya kecemasan. b. Trauma atau konflik Munculnya gejala kecemasan sangat bergantung pada kondisi individu, dalam arti bahwa pengalaman-pengalaman
11
emosional atau konflik mental yang terjadi pada individu akan memudahkan timbulnya gejala-gejala kecemasan. c. Lingkungan awal yang tidak baik. Lingkungan adalah faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi kecemasan individu, jika faktor tersebut kurang
baik
maka
akan
menghalangi
pembentukan
kepribadian sehingga muncul gejala-gejala kecemasan. Cara hidup orang di masyarakat juga sangat mempengaruhi pada timbulnya ansietas. Individu yang mempunyai cara hidup sangat teratur dan mempunyai. Falsafah hidup yang jelas maka pada umumnya lebih sukar mengalami ansietas. Budaya seseorang juga dapat menjadi pemicu terjadinya ansietas. Hasil survey yang dilakukan oleh Mudjadid,dkk tahun 2006 di lima wilayah pada masyarakat DKI Jakarta didapatkan data bahwa tingginya angka ansietas disebabkan oleh perubahan gaya hidup serta kultur dan budaya
yang
mengikuti
perkembangan
kota.
Namun
demikian, faktor predisposisi di atas tidak cukup kuat menyebabkan sesorang mengalami ansietas apabila tidak disertai faktor presipitasi (pencetus) (Ghufron, 2012). 4. Pengukuran Tingkat Kecemasan Untuk
mengukur
tingkat
kecemasan,
peneliti
menggunakan kuesioner dengan metode Zung – Self Rating
12
Anxiety Scale. Zung – Self Rating Anxiety Scale (SAS) merupakan instrumen untuk mengukur tingkat kecemasan. Penilaian berdasarkan skala Likert dari 1-4, dimana skor 4 menggambarkan hal negatif dengan penilaian : sangat jarang (1), kadang kadang (2), sering (3), selalu (4). Dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 20 pertanyaan, yang terdiri dari 5 gejala untuk sikap dan 15 pertanyaan untuk gejala somatis. Tingkat kecemasan di kategorikan menjadi empat, yaitu : Normal, jika hasil penilaian dari kuisioner didapatkan nilai 2544, Cemas ringan, jika hasil penilaian dari kuisioner didapatkan nilai 45-59, Cemas berat, jika hasil penilaian dari kuisioner didapatkan nilai 60-74, Cemas ekstrim, jika hasil penilaian dari kuisioner didapatkan nilai 75-80 (Nursalam, 2012). 2.1.2 Tidur 1. Definisi Tidur Tidur merupakan keadaan tidak sadar yang relatif lebih responsif terhadap rangsangan internal. Perbedaan tidur dengan keadaan tidak sadar lainnya adalah pada keadaan tidur siklusnya dapat diprediksi dan kurang respons terhadap rangsangan eksternal. Otak berangsur-angsur menjadi kurang responsif terhadap rangsang visual, auditori dan rangsangan lingkungan lainnya. Tidur dianggap sebagai keadaan pasif yang dimulai dari input
sensoric
walaupun
mekanisme
inisiasi
aktif
juga
13
mempengaruhi keadaan tidur. Faktor homeostatik (faktor S) maupun faktor sirkadian (faktor C) juga berinteraksi untuk menentukan waktu dan kualitas tidur (Susanne,2009). Tidur merupakan aktifitas yang merupakan susunan saraf pusat, saraf perifer, endokrin, kardiovasakuler, respirasi, dan muskuloskletal (Tarwoto W, 2006). 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur Faktor – faktor yang mempengaruhi tidur antara lain adalah (Alimul, 2006): a. Penyakit Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak penyakit yang memperbesar kebutuhan tidur, misalnya : penyakit yang disebabkan oleh infeksi (infeksi limfa) akan memerlukan lebih banyak waktu tidur untuk mengatasi keletihan. Banyak juga keadaan sakit yang menjadikan pasien kurang tidur, bahkan tidak bisa tidur (Widodo, 2009). b. Latihan dan Kelelahan Keletihan
akibat
akivitas
yang
tinggi
dapat
memerlukan lebih banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal ini terlihat pada seseorang yang telah melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan. Maka, orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat tidur
14
karena tahap tidur gelombang lambatnya diperpendek (Widodo, 2009). c. Stres Psikologis Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan jiwa. Hal tersebut terlihat ketika seseorang yang memiliki
masalah
psikologis
mengalami
kegelisahan
sehingga sulit untuk tidur (dr Harry, 2009). d. Obat Obat juga dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa jenis obat yang dapat mempengaruhi proses tidur adalah jenis golongan obat diuretic menyebabkan seseorang menjadi isomnia, anti depresan dapat menekan REM, kafein dapat meningkatkan syaraf simpatis yang menyebabkan kesulitan untuk tidur, golongan beta bloker dapat berefek pada timbulnya insomnia, dan golongan narkotik dapat menekan REM sehingga mudah mengantuk (Ria Lina, 2005). e. Nutrisi Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses tidur. Protein yang tinggi dapat mempercepat
terjadinya
proses
tidur,
karena
adanya
trytophan yang merupakan asam amino dari protein yang dicerna. Demikian juga sebaliknya, kebutuhan gizi yang
15
kurang juga dapat mempengaruhi proses tidur, bahkan terkadang sulit untuk tidur. f. Lingkungan Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang juga dapat mempercepat terjadinya proses tidur. g. Motivasi Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur, yang dapat mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan untuk menahan tidak tidur dapat menimbulkan gangguan proses tidur (dr Brandon peters, 2006). 3. Kualitas tidur Kualitas tidur adalah suatu keadaan dimana tidur yang dijalani seorang individu menghasilkan kesegaran dan kebugaran ketika terbangun. Kualitas tidur mencakup aspek kuantitatif seperti durasi tidur, latensi tidur, serta aspek subjektif seperti tidur dalam dan istirahat (Khasanah & Hidayati, 2012). Menurut Hidayat dalam Khasanah & Hidayati (2012), kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat dibedakan menjadi tanda fisik dan tanda psikologis.
16
Tanda – tanda fisik akibat kekurangan tidur antara lain : ekspresi wajah (area gelap disekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang berlebihan, tidak mampu berkonsentrasi, terlihat tanda – tanda keletihan. Sedangkan tanda – tanda psikologis antara lain : menarik diri, apatis, merasa tidak enak badan, malas, daya ingat menurun, bingung, halusinasi, ilusi penglihatan dan kemampuan mengambil keputusan menurun. Kualitas tidur dapat diukur menggunakan Pittsburg Quality of Sleep Index (PSQI). Alat ini merupakan alat untuk menilai kualitas tidur. Alat ini terdiri dari 19 poin pertanyaan yang berada di dalam 7 kompenen nilai dan 5 pertanyaan untuk teman sekamar. 19 pertanyaan itu mengkaji secara luas faktor yang berhubungan dengan tidur seperti durasi tidur, latensi tidur, dan masalah tidur. Setiap komponen skor memiliki rentang nilai 0-3. Ketujuh komponen dijumlahkan sehingga terdapat skor 0-21, dimana skor lebih tinggi dari 5 menandakan kualitas tidur yang buruk (Nancy
W, 2006). 4. Tahapan Tidur Tahapan tidur terdapat tidur tenang atau nonREM (non rapid eye movement) dan tidur aktif atau REM, dengan penjelasan sebagai berikut :
17
a. Tidur NonREM Tidur nonREM terdiri dari 4 tahap, dimana setiap tahapnya mempunyai ciri tersendiri. Pada tidur tahap I terjadi bila merasakan ngantuk dan mulai tertidur. Jika telepon berbunyi atau ada sesuatu sampai terbangun, sering kali tidak merasakan bahwa sebenarnya kita telah tertidur. Gelombang listrik
otak
memperlihatkan
‘gelombang
alfa’
dengan
penurunan voltase. Tahap I ini berlangsung 30 detik sampai 5 menit pertama dari siklus tidur. Tidur tahap II, seluruh tubuh kita seperti berada pada tahap tidur yang lebih dalam. Tidur masih mudah dibangunkan, meskipun kita benar-benar berada dalam keadaan tidur. Periode tahap II berlangsung dari 10 sampai 40 menit. Kadang-kadang selama tahap tidur II seseorang dapat terbangun karena sentakan tiba-tiba dari ekstremitas tubuhnya. Ini normal, kejadian sentakan ini, sebagai akibat masuknya tahapan REM. Tahap III dan IV. Tahap ini merupakan tahap tidur nyenyak. Pada tahap III, Orang yang tertidur cukup pulas, rileks sekali karena tonus otot lenyap sama. Tahap IV mempunyai karakter : tanpa mimpi dan sulit dibangunkan, dan orang akan binggung bila terbangun langsung dari tahap ini, dan memerlukan waktu beberapa menit untuk meresponnya. Pada tahap ini, diproduksi hormone pertumbuhan guna memulihkan tubuh, memperbaiki sel, membangun otot dan
18
jaringan pendukung. Perasaan enak dan segar setelah tidur nyenyak,
setidaktidaknya
disebabkan
karena
hormon
karakter
sebagai
pertumbuhan bekerja baik. Tahapan
NonREM mempunyai
berikut : NonREM Tahap I kedaan ini masih dapat merespons cahaya, berlangsung beberapa menit, aktivitas fisik menurun, tanda vital dan metabolisme menurun, bila terbangun terasa sedang mimpi. NonREM Tahap II tubuh mulai relaksasi otot, berlangsung 10 – 20 menit, fungsi tubuh berlangsung lambat, dapat dibangunkan dengan mudah. NonREM Tahap III adalah awal dari keadaan tidur nyenyak, sulit di bangunkan, relaksasi otot menyeluruh, tekanan darah menurun, berlangsung 15 – 30 menit. NonREM Tahap IV sudah terdapat tidur nyenyak, sulit untuk di bangunkan, untuk restorasi dan istirahat, tonus otot menurun, sekresi lambung menurun, gerak bola mata cepat (Tarwoto & Wartonah, 2006). b. Tidur REM Tahap tidur REM sangat berbeda dari tidur nonREM. Tidur REM adalah tahapan tidur yang sangat aktif. Pola nafas dan denyut jantung tak teratur dan tidak terjadi pembentukan keringat. Kadang-kadang timbul twitching pada tangan, kaki, atau muka, dan pada laki-laki dapat timbul ereksi pada periode tidur REM. Walaupun ada aktivitas demikian orang masih tidur lelap dan sulit untuk dibangunkan. Sebagian besar anggota
19
gerak tetap lemah dan rileks. Tahap tidur ini diduga berperan dalam memulihkan pikiran, menjernihkan rasa kuatir dan daya ingat dan mempertahankan fungsi sel-sel otak. Siklus tidur pada orang dewasa biasanya terjadi setiap 90 menit. Pada 90 menit pertama seluruh tahapan tidurnya adalah NonREM. Setelah 90 menit, akan muncul periode tidur REM, yang kemudian kembali ke tahap tidur NonREM. Setelah itu hampir setiap 90 menit tahap tidur REM terjadi. Pada tahap awal tidur, periode REM sangat singkat, berlangsung hanya beberapa menit. Bila terjadi gangguan tidur, periode REM akan muncul lebih awal pada malam itu, setelah kira-kira 30-40 menit. Orang itu akan mendapatkan tidur tahap III dan IV lebih banyak. Selama tidur, tahapan tidur akan berpindah-pindah dari satu tahap ke tahapan yang lain, tanpa harus menuruti aturan yang biasanya terjadi. Artinya suatu malam, mungkin saja tidak ada tahap III atau IV. Tapi malam lainnya seluruh tahapan tidur akan didapatkannya. Karakteristik tidur REM meliputi : mata cepat tertutup dan terbuka, kejang otot kecil, otot besar imobilisasi, pernapasan tidak teratur, kadang dengan apnea, nadi cepat dan ireguler, tekanan darah meningkat atau fluktuasi, sekresi gaster meningkat, metabolisme meningkat, temperatur tubuh naik, siklus tidur : sulit di bangunkan (Alimul, 2006).
20
5. Pola Tidur Normal a. Bayi Pada bayi baru lahir membutuhkan tidur selama 14-18 jam sehari, pernapasan teratur, gerak tubuh 50% adalah tahap REM dan terbagi dalam 7 periode. Dan pada bayi tidur selama 12-14 jam sehari, sekitar 20-30% tidur REM, tidur lebih lama pada malam hari dan punya pola terbangun sebentar (Asmadi, 2008). b. Todler Kebutuhan tidur pada Todler menurun menjadi 10-12 jam/hari, tahap REM 20-25%. Tidur siang dapat hilang pada usia 3 tahun karena sering terbangun pada malam hari yang menyebabkan mereka tidak ingin tidur pada malam hari (Asmadi, 2008). c. Preschooler Memerlukan waktu tidur 11-12 jam pada malam hari, tahap REM 20%. Bisa jadi anak usia 4-5 mengalami kurang istirahat dan mudah sakit jika kebutuhan tidurnya kurang terpenuhi (Asmadi, 2008). d. Usia sekolah Tidur antara 8-12 jam pada malam hari tanpa tidur siang, tahap REM berkurang sekitar 20%. Anak usia 8 tahun
21
membutuhkan waktu kurang lebih 10 jam setiap malam (Asmadi, 2008). e. Adolensia Tidur 8-10 jam pada malam hari untuk mencegah kelemahan dan kerentanan terhadap infeksi, tahap REM 20%. Pada
remaja
laki-laki
mengalami
Noctural
Emission
(orgasme dan mengeluarkan cairan semen pada tidur malam hari) yang biasa kita kenal dengan mimpi basah (Potter, 2005). f. Dewasa muda Pada masa ini umumnya mereka sangat aktif membutuhkan waktu tidur 7-8 jam/hari, tahap REM 20%. Dewasa muda yang sehat membutuhkan cukup tidur untuk berpartisipasi dalam kesibukan aktifitas karena jarang sekali mereka tidur siang (Asmadi, 2008). g. Dewasa Akhir Kebutuhan akan tidur kurang dari 6 jam/hari, tahap REM 20-25% dan tidur tahap IV mengalami penurunan (Asmadi, 2008) 2.1.3 Asma Bronkhial 1. Pengertian Asma Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas dimana banyak sel berperan terutama sel mast, esonofil, limfosit
22
T macropag, neutropil dan sel epitel (Hariadi, 2010). Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di
seluruh
dunia
dengan
kekerapan
bervariasi
yang
berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan
(chest
tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari (GINA, 2006). Menurut National Heart Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu yang rentan, gejala
asma
berhubungan
dengan
inflamasi
yang
akan
menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya. 2. Patofisiologi Asma merupakan obstruksi jalan napas yang reversibel. Obstruksi tersebut dapat disebabkan oleh faktor berikut, seperti penyempitan jalan napas; pembengkakan membran pada bronki; pengisian bronki dengan mucus kental. Beberapa penderita mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) menyerang sel-sel mast dalam paru yang menyebabkan pelepasan sel-sel mast, seperti histamin dan prostaglandin. Pelepasan ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme, pembengkakan
23
membran mukosa, pembentukan mukus berlebihan (Smeltzer & Bare, 2006). Penderita asma idiopatik atau nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh beberapa faktor, seperti udara dingin, emosi, olahraga, merokok, polusi dan infeksi sehingga
jumlah
asetilkolin
yang
dilepaskan
meningkat.
Peningkatan asetilkolin ini secara langsung bisa menimbulkan bronkokonstriksi. Penderita dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis (Smeltzer & Bare, 2006). 3. Klasifikasi Asma a. Berdasarkan berat ringan gejala Asma dapat dibagi dalam 3 tahap menurut berat ringannya gejala, yaitu asma intermitten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat (Tabrani , 2010). b. Berdasarkan serangan asma Klasifikasi ini mencerminkan berbagai kelainan patologi yang menyebabkan gangguan aliran udara serta mempunyai dampak terhadap pengobatan. Serangan asma ringan timbul kadang-kadang, tidak terdapat atau ada hiperreaktivitas bronkus yang ringan. Serangan asma persisten timbul sering dan terdapat hiperreaktivitas bronkus. Penderita asma berat mempunyai saluran pernafasan yang
24
sensitif, berisiko tinggi untuk mengalami eksaserbasi tiba-tiba yang berat dan mengancam jiwa (Maj Kedokteran Indonesia, 2008). Asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran napas. Walaupun berbagai usaha telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi sulit digunakan karena terdapat kesulitan dalam penentuan etiologi spesifik dari sekitar pasien (GINA, 2006). Derajat penyakit asama ditentukan berdasarkan gabungan penilaian gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis β2 untuk mengatasi gejala, dan pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi awal pasien. Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA adalah sebagai berikut : 1) Intermitten Gejala kurang dari 1 kali/minggu. Serangan singkat. Gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan (≤ 2 kali). FEV1≥80% predicted atau PEF ≥ 80% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 < 20%. 2) Persisten ringan Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari. Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur. Gejala nokturnal >2 kali/bulan. FEV1≥80% predicted
25
atau PEF ≥ 80% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%. 3) Persisten sedang Gejala
terjadi
setiap
hari.
Serangan
dapat
mengganggu aktivitas dan tidur. Gejala nokturnal > 1 kali dalam seminggu. Menggunakan agonis β2 kerja pendek setiap hari. FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%. 4) Persisten berat Gejala terjadi setiap hari. Serangan sering terjadi. Gejala asma nokturnal sering terjadi. FEV1 ≤ predicted atau PEF ≤ 60% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%. 4. Tanda dan Gejala Kejadian utama pada serangan asma adalah obstruksi jalan napas secara luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema mukosa karena sumbatan mukus. Tanda serangan asma yang dapat kita ketahui adalah napas cepat, merasa cemas dan ketakutan, tak sanggup bicara lebih dari 1-2 kata setiap kali tarik napas, dada dan leher tampak mencekung bila tarik napas, bersin-bersin, hidung mampat atau hidung ngocor, gatal-gatal tenggorokan, susah tidur, turunnya toleransi tubuh terhadap aktivitas (Hadibroto, 2010).
26
Tiga gejala (Trias Asma) yang sering muncul pada asma adalah sesak napas, napas bunyi/ wheezing, batuk-batuk terutama malam hari. Tingkat keparahan serangan asma tergantung pada tingkat obstruksi saluran napas, kadar saturasi oksigen, pembawaan pola napas, perubahan status mental, dan bagaimana tanggapan penderita terhadap status pernapasannya (Smeltzer & Bare, 2006). 5. Faktor Resiko Asma Beberapa faktor resiko timbulnya asma bronkial telah diketahui secara pasti, antara lain: riwayat keluarga, tingkat sosial ekonomi rendah, etnis, daerah perkotaan, letak geografi tempat tinggal, memelihara anjing atau kucing dalam rumah, terpapar asap rokok. Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, factor resiko yang berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau serangan asma yang disebut trigger faktor atau faktor pencetus (GINA,2006). Adapun faktor resiko pencetus asma bronkial antara lain: a. Asap Rokok Asap rokok dapat menyebabkan asma, baik pada perokok itu sendiri maupun orang-orang yang terkena asap rokok. Suatu penelitian di Finlandia menunjukkan bahwa
27
orang dewasa yang terkena asap rokok berpeluang menderita asma dua kali lipat dibandingkan orang yang tidak terkena asap rokok (Jaakkola et al, 2001). Studi lain menunjukkan bahwa seseorang penderita asma yang terkena asap rokok selama satu jam, maka akan mengalami sekitar 20% kerusakan fungsi paru. Pada anak-anak, asap rokok akan memberikan efek lebih parah dibandingkan orang dewasa, ini disebabkan lebar saluran pernafasan anak lebih sempit, sehingga jumlah nafas anak akan lebih cepat dari orang dewasa. Akibatnya, jumlah asap rokok yang masuk ke dalam saluran pernapasan menjadi lebih banyak dibanding berat badannya. Selain itu, karena sistem pertahanan tubuh yang belum berkembang, munculnya gejala asma pada anak-anak jauh lebih cepat dibanding orang dewasa (Ramaiah, 2006). Hasil analisis 4.000 orang anak berumur 0-5 tahun menunjukkan bahwa anak-anak yang orang tuanya merokok 10 batang perhari, menyebabkan peningkatan jumlah kasus asma serta mempercepat munculnya gejala asma pada anakanaknya. Begitu juga anak yang kembali dari rumah sakit setelah perawatan asma akut, penyembuhan akan terganggu karena orang tua yang merokok (Basyir 2005). Efek asap rokok ini tidak hanya memberikan efek negatif pada anakanak yang telah lahir, tapi juga pada janin yang masih ada di
28
dalam rahim. Karena itu, di negara maju seperti Jepang, diseluruh rumah sakit bersalin tidak tersedia tempat yang bisa merokok. Ini karena mereka benar-benar mengerti akan bahaya rokok tersebut. Bayi yang akan dilahirkan dari seorang ibu yang merokok selama dalam masa kehamilan akan lebih sering mengalami penyakit saluran pernafasan termasuk asma bronkial pada masa anak-anak (Ramaiah, 2006). Pembakaran tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang menghasilkan campuran gas yang komplek dan partikel-partikel berbahaya. Lebih dari 4500 jenis
kontaminan
telah
dideteksi
dalam
tembakau,
diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon dioksida, nitrit oksida, nikotin, dan akrolein. (GINA, 2006). Secara umum tipe perokok di bagi menjadi beberapa kategori yakni tipe perokok yang berhubungan dengan udara atau asap yang dihirup, tipe perokok berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi dalam 1 hari, dan tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan diri. Berdasarkan udara atau asap yang dihirup, perokok dikategorikan menjadi: Perokok pasif yakni mereka yang tidak merokok, tetapi berada di sekeliling perokok dan menghirup asap rokok yang dihembuskan oleh perokok.
29
Perokok aktif, yakni mereka yang menghisap rokok secara langsung (www.kppk.com). Adapun berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi, tipe perokok dikategorikan menjadi ; Perokok sangat berat, adalah jika mengkonsumsi rokok lebih dari 31 batang perhari, Perokok berat yakni mereka yang merokok sekitar 21-30 batang perhari, Perokok sedang adalah perokok yang menghabiskan rokok 11-21 batang perhari, dan Perokok ringan yang merokok sekitar 10 batang/hari (Basyir 2005). b. Tungau Debu Rumah Tungau debu adalah penyebab paling umum diseluruh dunia. Alergi tungau lebih sering terjadi di kota dan Negara berkembang. Hal ini terjadi karena rumah modern dan penggunaan teknik insulasi memuningkankan tungau hidup lebih baik (Elek Media, 2007). Asma bronkial dikaitkan oleh masuknya suatu alergen misalnya tungau debu. Tungau debu akan mengeluarkan feses yang dilapisi protein pada setiap butir partikelnya. Yang menyebabkan reaksi alergi bagi penderita asma apabila masuk ke dalam saluran nafas. Ketika tungau ini mati, tubuhnya yang membusuk bercampur dengan debu rumah tangga (Elek Media, 2007). Tungau debu rumah memiliki ukuran 0,1 – 0,3 mm dan lebar 0,2 mm biasanya terdapat di tempat-tempat atau benda-benda
30
yang banyak mengandung debu (Vitahealth, 2006). Misalnya debu yang berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dari tumpukan koran, buku, pakaian lama (Elek Media, 2007). c. Jenis Kelamin dan usia Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan (Sundaru, 2006). Perbedaan jenis kelamin pada insidensi penyakit asma bervariasi, tergantung usia dan perbedaan karakter biologi. Insidensi penyakit asma pada anak laki-laki usia 2-5 tahun ternyata 2 kali lebih sering dibandingkan anak perempuan sedangkan pada usia 14 tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering. Kunjungan ke rumah sakit 3 kali lebih sering dibanding anak perempuan pada usia tersebut, tetapi pada usia 20 tahun kekerapan asma pada laki-laki merupakan kebalikan dari insiden ini (Yunus, 2006). Peningkatan resiko pada anak laki-laki disebabkan semakin sempitnya saluran pernapasan, perubahan pada pita suara, dan mungkin terjadi peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung membatasi respon bernapas (Sundaru, 2006) Didukung lagi oleh adanya hipotesis dari observasi yang menunjukkan tidak ada perbedaan ratio diameter saluran pernafasam laki laki dan perempuan setelah berumur 10
31
tahun, kemungkinan disebabkan perubahan ukuran rongga dada yang terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak pada perempuan. Predisposisi perempuan yang mengalami asma lebih tinggi pada laki-laki mulai ketika masa puber, sehingga prevalensi asma pada anak yang semula laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan mengalami perubahan dimana nilai prevalensi pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki (GINA, 2006). d. Binatang Peliharaan Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung dapat menjadi sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang ditemukan pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3-4
mikron)
dan
dapat
terbang
di
udara
sehingga
menyebabkan serangan asma, terutama dari burung dan hewan menyusui karena bulu akan rontok dan terbang mengikuti udara (Wibisono, 2010). e. Jenis Makanan Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma meskipun penelitian membuktikan alergi makanan sebagai pencetus bronkokontriksi pada 2% 5% anak dengan asma (Ramaiah, 2006). Meskipun hubungan
32
antara
sensitivitas
terhadap
makanan
tertentu
dan
perkembangan asma masih diperdebatkan, tetapi bayi dan anak-anak yang sensitif terhadap makanan tertentu atau menderita enteropathy atau colitis karena alergi makanan tertentu akan cenderung menderita asma (GINA, 2006). Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry, mangga, durian berperan menjadi pencetus seranga asma (Gershwin, 2006). Makanan produk industri dengan
pewarna
buatan
(misal:
tartazine),
pengawet
(metabisulfit), vetsin (monosodium glutamat-MSG) juga bisa memicu serangan asma. Makanan yang terutama sering mengakibatkan reaksi yang fatal adalah kacang, ikan laut dan telor
(Gershwin,
2006).
Penelitian
di
Arab
Saudi
membandingkan makanan pengidap asma dengan tidak asma. Anak Arab Saudi yang tinggal di daerah perkotaan banyak menunjukkan gejala nafas berbunyi atau mengi. Anak-anak ini sering bersantap di gerai-gerai makanan cepat saji dan secara signifikan kurang mendapatkan asupan makanan tradisional, termasuk sayuran, susu, makanan yang kaya serat, vitamin dan mineral (Sundaru, 2006).
33
f. Perabot Rumah Tangga Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar biologis (virus, bakteri, jamur), formadehyde, volatile organic coumpounds (VOC), combustion products (CO1, NO2, SO2) yang biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur. Sumber polutan VOC berasal dari semprotan serangga, cat, pembersih, kosmetik, Hairspray, deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti thinner. Sumber formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi, furnitur, karpet (Ramaiah, 2006). Paparan polutan formaldehid dapat mengakibatkan terjadinya iritasi pada mata dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu, khususnya respilable dust disamping menyebabkan ketidak nyamanan juga dapat menyebabkan reaksi peradangan paru. g. Perubahan Cuaca Kondisi cuaca seperti temperatur dingin, tingginya kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan
badai
dan
meningkatnya
konsentrasi
partikel
alergenik (Ramaiah, 2006). Dimana partikel tersebut dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma
34
sesak nafas dan pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum terjadi ketika kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara yang kering dan dingin menyebabkan sesak di saluran pernafasan (Ramaiah, 2006). Asma berhubungan dengan iklim, Kota besar seperti Auckland, Brisbane, Hongkong dan New Orleans yang mempunyai suhu panas >24oC dan rata rata curah hujan tahunan >100cm, mempunyai prevalensi asma menunjukkan
penderita
yang tinggi. RS Cipto
dengan
perubahan
udara
kemungkinan akan mengalami asma 31.83 x lebih besar dari penderita tanpa perubahan cuaca. Hal ini diperkuat dengan penelitian di Amerika seikat yang membuktikan bahwa ada hubungan antara kunjungan asma dengan cuaca dingin dan kering pada musim semi. h. Riwayat Penyakit Keluarga Genetik merupakan faktor pendukung timbulnya asma. Bakat alergi merupakan hal yang diturunkan, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Bakat alergi ini membuat penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpapar factor pencetus. Penderita biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi (Hariadi, 2010). Apabila kedua orang tua memiliki riwayat penyakit asma maka hampir 50%
35
dari anak-anaknya memiliki kecenderungan asma, sedangkan jika hanya salah satu orang tuanya yang menderita asma maka kecenderungannya hanya 35%. Lebih kurang 25% penderita penyakit asma, keluarga dekatnya juga menderita asma, meskipun asmanya tidak aktif lagi, diantara keluarga penderita asma 2/3 memperlihatkan test alergi positif (Sundaru, 2006). Resiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma disertai dengan salah satu riwayat atopi. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orang tua asmatisk. Asma tidak selalu ada pada kembar monozigot, tingkat stabilitas bronkokontriksi pada olahraga ada pada kembar identik, tetapi tidak pada kembar dizigot (Sundaru, 2006). Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu rumah (Wibisono, 2010).
36
2.2
Keaslian Penelitian Berdasarkan
pengetahuan
peneliti,
belum
pernah
dilakukan
penelitian yang serupa atau sama dengan penelitian yang dilakukan peneliti yaitu tentang Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Kualitas Tidur Penderita Asma Di RSUD Kabupaten Karanganyar. Penelitian lain yang berkaitan dengan Tingkat Kecemasan Dengan Kualitas Tidur yaitu:
Nama Peneliti Wahyu Wiyono
Ummami Vanesa Indri
Tabel 2.1. Keaslian Penelitian Metode Judul Peneliti Hasil Penelitian Penelitian Ini Adanya Hubungan Yang Hubungan Antara Penelitian Merupakan Signifikan Antara Tingkat Penelitian Kecemasan Lansia Kecemasan Metode Dengan Kecenderungan Dengan Korelasional, Insomnia Kecenderungan Penelitian Ini Dengan Insomnia Pada Pendekatan Menyimpulkan Adanya Lansia Di Panti Survey Cross- Faktor faktor Yang Mempengaruhi Wredha Dharma Sectional Terjadinya Gangguan Bhakti Surakarta Tidur Lansia Yakni 2009 Berupa Proses Penuaan (26,32%), Gangguan Mental Meliputi Cemas Dan Depresi (36,84%), Gangguan Medis Gangguan (52,63%) Akibat Zat (15,79%), Dan Faktor Eksternal Berupa Lingkungan (57,89%). Dari Analisa Univariat Hubungan Antara Penelitian Ini Merupakan Didapatkan Hasil Nyeri, Kecemasan Penelitian Berdasarkan Dan Lingkungan Penelitian Kuantitatif Kualitas Tidur Responden, Dengan Kualitas Menggunakan Diketahui Mayoritas Tidur Pada Pasien Desain Responden Memiliki Post Operasi Deskriptif Kualitas Tidur Buruk Apendisitis 2014 Korelasi Dengan Yaitu Sebanyak 37 Pendekatan Responden (68,5%),
37
Cross Sectional
Tingkat Nyeri Berat Sebanyak 38 Responden (70,4%), Dengan Tingkat Kecemasan Sedang Yaitu Sebanyak 36 Responden (66,7%), Sedangkan Mayoritas Responden Merasa Lingkungan Saat Tidur Tidak Nyaman Yaitu Sebanyak 29 Responden (53,7%). Dari Analisa Bivariat Dengan Menggunakan Uji Statistik Chi Square Didapatkan Hasil Penelitian Yang Menunjukkan Bahwa Terdapat Hubungan Yang Bermakna Antara Nyeri Dan Kecemasan Dengan Kualitas Tidur Pada Post Operasi Pasien Apendisitis (P Value = 0.000 Dan 0.000) Yang Berarti (P<Α) Dan Tidak Ada Hubungan Yang Bermakna Antara Lingkungan Dengan Kualitas Tidur Pada Pasien Post Operasi Apendisitis (Pvalue = 0,828) Yang Berarti (P>Α).
38
2.3 Kerangka Teori Kualitas Tidur
Tingkat kecemasan
Pasien Asma
1. 2. 3. 4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur : 1. Penyakit 2. Latihan dan Kelelahan 3. Stres Psikologis 4. Obat 5. Nutrisi 6. Lingkungan 9. Motivasi
Ringan Sedang Berat panik
Gambar 2.1. Kerangka Teori Sumber : Potter & Perry,2010
2.4 Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
Tingkat Kecemasan : 1. Ringan 2. Sedang 3. Berat 4. Panik
Kualitas Tidur 1. Baik 2. Buruk
Gambar 2.2. Kerangka Konsep
39
2.5 Hipotesis Penelitian Hipotesis Penelitian adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan (Sugiyono, 2009). Hipotesis dalam penelitian ini yaitu : 1. Ho
= tidak terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur pada pasien Ashma.
2. Ha
= terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur pada pasien Ashma.
40
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah kuantitatif yaitu berbentuk angka-angka hasil perhitungan atau pengukuran. Penelitian kuantitatif adalah pendekatan penelitian yang banyak dituntut menguakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan hasilnya. Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasional yaitu rancangan yang menggambarkan hubungan antara dua variable atau lebih (Arikunto, 2006)
3.2 Populasi dan Sampel Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien asma yang mondok di RSUD Karanganyar. Dengan kriteria inklusi : pasien asma dewasa dan bersedia menjadi responden. Kriteria eksklusi : pasien asma anak dan pasien asma yang disertai penyakit lainnya. Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah Teknik Total Sampling. Yaitu teknik penentuan sampel dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden atau sampel. (Sugiyono, 2009). Dengan demikian peneliti mengambil sampel dari seluruh pasien asma yang menginap di RSUD Kabupaten Karanganyar pada bulan Februari sampai April 2015.
40
41
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat Penelitian Di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar dimula dari Bulan Februari – April 2015.
3.4 Variabel, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran 1. Variabel penelitian Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Jadi yang dimaksud dengan variabel penelitian dalam penelitian ini adalah segala sesuatu sebagai objek penelitian yang ditetapkan dan dipelajari sehingga memperoleh informasi untuk menarik kesimpulan. Variabel
penelitian dalam
penelitian kuantitatif dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (Sugiyono, 2009): 1. Variabel bebas (independen variable) Variabel bebas, merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependent (terikat). Variabel bebas (X) pada penelitian ini adalah kecemasan pada pasien Ashma. 2. Variabel terikat (dependent variable) Variabel terikat, merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat adanya variabel bebas. Variabel terikat (Y) pada penelitian ini adalah kualitas tidur pada pasien asma.
42
2. Definisi Operasional Tabel 3.1. Definisi Operasional No 1
Variabel Kecemasan
2
Kualitas Tidur
Definisi Variabel Skala Ordinal Kecemasan adalah kondisi jiwa yang penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran dan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi, baik berkaitan dengan permasalahan yang terbatas maupun hal-hal yang aneh. Ordinal Kualitas tidur adalah kemampuan setiap orang untuk mempertahankan keadaan tidur dan untuk mendapatkan tahap tidur REM dan NREM yang pantas
Alat ukur Kriteria Kuesioner a. Ringan : 20-44 b. Sedang : 45-59 c. Berat : 60-74 d. Panik : 75-80
Kuesioner a. Kualitas Tidur Baik ≤ 5 b. Kualitas Tidur Buruk > 5
3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data Alat
ukur
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
angket/kuesioner. Terdapat dua jenis kuesioner yang diberikan kepada responden, yaitu : 1. Untuk mengukur kualitas tidur instrumen yang digunakan adalah Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). PSQI merupakan instrumen yang efektif digunakan untuk mengukur kualitas dan pola tidur pada orang
43
dewasa. Untuk ketujuh komponennya. Penilaian jawaban berdasarkan skala Likert dari 0-3, dimana skor 3 menggambarkan hal negatif. Pengkategorian kualitas tidur terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kualitas tidur baik dan kualitas tidur buruk. Rentang jumlah skor PSQI adalah 0 s.d 21 dari ketujuh komponennya. Kualitas tidur dikatakan baik apabila jumlah skor penilaian ≤ 5, sedangkan kualitas tidur dikatakan buruk apabila jumlah skor penilaian > 5. 2. Untuk mengukur tingkat kecemasan, peneliti menggunakan kuesioner dengan metode Zung – Self Rating Anxiety Scale. Zung – Self Rating Anxiety Scale (SAS) merupakan instrumen untuk mengukur tingkat kecemasan. Penilaian berdasarkan skala Likert dari 1-4, dimana skor 4 menggambarkan hal negatif dengan penilaian : sangat jarang (1), kadang kadang (2), sering (3), selalu (4). Cara pengisian kuesioner adalah dengan memberikan jawaban dengan tanda ceklis (√) sesuai dengan hasil yang diinginkan. Sebelum angket dibagikan, peneliti terlebih dahulu menjelaskan tujuan dari penelitian ini dan juga meminta kesediaan responden. Setelah angket diisi oleh responden, kemudian angket dikumpulkan dan dicek kelengkapannya oleh peneliti untuk diolah dan dianalisis. Pada penelitian ini peneliti tidak melakukan uji validitas karena kuesioner yang digunakan diadopsi dari kuesioner baku yaitu Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) untuk kualitas tidur, memiliki konsistensi internal dan koefisien reliabilitas (alpha cronbach) sebesar 0,83 dan
44
Zung – Self Rating Anxiety Scale (SAS) untuk tingkat kecemasan memiliki konsistensi internal (alpha cronbach 0,85) dan koefesien reliabilitas total 0,79 (Nursalam, 2012). Penggunaan instrumen penelitian tersebut pernah dilakukan oleh Dewi Komalasari dengan Judul Hubungan Antara Tingkat Kecemasan dengan Kualitas Tidur pada Ibu Hamil Trimester III di Puskesmas Jatinangor, Kabupaten Sumedang dengan hasil uji alpha cronbach 0,83 untuk PSQI dan 0,85 untuk instrumen SAS.
3.6 Tekhnik Pengolahan Data Proses pengolahan data penelitian menggunakan langkah-langkah diantaranya (Setiadi, 2007). 1. Editing Peneliti mengumpulkan dan memeriksa kembali pembenaran yang telah diperoleh dari responden. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah menjumlah dan melakukan korelasi. 2. Coding Untuk mempermudah dalam pengolahan data dan proses selanjutnya
melalui
tindakan
mengklasifikasikan
data
dengan
memberikan kode setiap kuesioner. 3. Scoring Peneliti memberikan skor untuk tiap-tiap pertanyaan nilai 1 untuk jawaban benar dan nilai 0 untuk jawaban salah.
45
4. Tabulating Tabulasi adalah pengorganisasian data sedemikain rupa agar dengan mudah dapat dijumlahkan, disusun dan ditata untuk disajikan dan dianalisis. Dimana peneliti memasukkan data yang telah terkumpul ke dalam tabel distribusi frekuensi.
3.7 Analisa Data 1. Analisis Univariat Analisa data ini dilakukan terhadap tiap variabel dari penelitian dan pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan presentasi dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2005). Adapun variabel yang dianalisis adalah tingkat kecemasan dan kualitas tidur pada pasien asma. 2. Analisis Bivariat Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap kedua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi. Yaitu untuk mengetahui hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur penderita asma di RSUD Kabupaten Karanganyar. Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dan independen. Teknik analisa yang dilakukan yaitu dengan Uji Spearman’s Rho. Analisa ini bertujuan untuk menguji perbedaan proporsi dua atau lebih kelompok sampel, sehingga diketahui ada atau tidaknya hubungan yang bermakna secara statistik.
46
Derajat kepercayaan yang digunakan adalah 95% dengan α 5% sehingga jika nilai P (p value) < 0,05 berarti terdapat hubungan bermakna (signifikan) antara variabel yang diteliti. Jika nilai P > 0,05 berarti tidak ada hubungan bermakna antara variabel yang diteliti (Notoatmodjo, 2005).
3.8 Etika Penelitian Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi dari pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat penelitian dalam hal ini Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar setelah mendapat persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan menekankan masalah etika yang meliputi : 1. Informed Concent Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi criteria inklusi dan disertai judul penelitian, bila responden menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden. 2. Anonimity Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, tetapi lembaran tersebut diberikan kode. 3. Confidentiality Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti. Hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil peneliti.
47
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1. Karakteristik Umum Responden Data dari penelitian ini dikumpulkan dari 38 responden dengan menggunakan
lembar
kuesioner.
Diskripsi
data
penelitian
tingkat
kecemasan dan kualitas tidur pada pasien asma adalah sebagai berikut: 4.1.1.Umur Responden Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Umur Umur Frekuensi (f) Persentase (%) 32-42th 43-53th Jumlah
20 18
53% 47%
38
100%
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 38 responden yang diteliti, 53% berusia antara 32-42 tahun
4.1.2.Jenis Kelamin Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Frekuensi (f)
Persentase (%)
25 13
66% 34%
38
100%
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa 66% responden berjenis kelamin laki-laki.
47
48
4.1.3.Pendidikan Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pendidikan Pendidikan
Frekuensi (f)
Persentase (%)
1 14 21 2
3% 37% 55% 5%
38
100%
SD SMP SMA Perguruan Tinggi Jumlah Hasil
observasi
responden
juga
menunjukkan
55%
berpendidikan Sekolah Menengah Atas dan 37% berpendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama 4.1.4.Status Perkawinan Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Status Perkawinan Status
Frekuensi (f)
Persentase (%)
37 1
97% 3%
38
100%
Menikah Belum Menikah Jumlah
Dari tabel diatas dapat dilihat status responden tentang pernikahan 97% status sudah menikah
4.2. Analisa Univariat 4.2.1. Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Pasien Asma Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Pasien Asma Di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar No Kategori Frekuensi (f) Presentase(%) 1 Ringan 24 63% 2 Sedang 14 27% 3 Berat 0 0% Jumlah 38 100%
49
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 38 responden yang diteliti, ternyata sebagian besar dari responden dalam penelitian ini yaitu sebanyak 24 orang (63%) termasuk kepada tingkat kecemasan normal. 4.2.2. Distribusi Frekuensi Kualitas Tidur Pasien Asma Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Kualitas Tidur Pasien Asma Di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar No 1 2
Kategori Baik Buruk
Frekuensi(f) 26 12 38
Jumlah
Persentase(%) 68% 32% 100%
Tabel diatas menunjukkan frekuensi kualitas tidur responden 68% dengan kualitas tidur baik, sedangkan 32% mempunyai kualitas tidur buruk.
4.3. Analisa Bivariat Tabel 4.7 Analisa Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Kualitas Tidur Pada Pasien Asma Di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar Tingkat Kecemasan
Ringan Sedang Berat Panik Total
Kualitas Tidur Baik
Buruk
f % F % 24 100% 0 0% 2 14,3% 12 85,7% 0% 0% 0 0% 0% 0% 0 0% 26 68,4% 12 31,6%
Total f 24 14 0 0 38
% 63,2% 36,8% 0% 0% 100%
Coeffisient Corelation
P value
0,889
0,000
Dari tabel diatas diketahui bahwa 38 responden yang dilakukan penelitian 24 responden (63%) mempunyai tingkat kecemasan ringan dengan kualitas tidur baik. Sedangkan terdapat 2 responden (14%) terjadi
50
kecemasan sedang dengan kualitas tidur baik dan 12 responden (85%) mempunyai kecemasan sedang dengan kualitas tidur buruk. Besarnya
nilai
tingkat
keeratan
hubungan
antara
tingkat
kecemasan dengan kualitas tidur yaitu sebesar 0,889, hal ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat kuat antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur. Pada penelitian ini untuk mendapatkan hasil analisa hubungan penulis menggunakan Spearman’s rho, hal ini sangat tepat dikarenakan data yang diambil bersifat data ordinal baik data pada variabel independen maupun data pada variabel dependen. Dari hasil analisa data diketahui bahwa p-value (0,00) < taraf kekeliruan (α=0,05). Sehingga dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang berarti atau bermakna antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur. Taraf signifikansi dari hasil analisa adalah 0,00 menunjukkan bahwa hasil yang didapatkan untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan kualitas tidur sangat signifikan.
51
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Umum Responden 5.1.1. Usia Berdasarkan peneliti yang didapatkan kemarin kebanyakan responden usia 32-42 tahun. Hal ini disebabkan karena usia menjadi salah faktor yang mempengaruhi tidur dan kebutuhan tidur seseorang. Kebutuhan tidur berkurang sesuai bertambahnya usia Kebutuhan tidur berkurang sesuai dengan pertambhanan usia. Kebutuhan tidur anak-anak berbeda dengan kebutuhan tidur dewasa. Kebutuhan tidur dewasa juga akan berbeda dengan kebutuhan tidur lansia (Pemi, 2009) Seseorang yang mempunyai umur lebih muda ternyata lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan daripada seseorang yang lebih tua, tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya (Varcoralis,2000).
5.1.2. Jenis Kelamin Jenis kelamin yang peneliti temukan paling banyak lakilaki. Jenis kelamin sangat berhubungan dengan gaya hidup. Dimana gaya hidup perokok cenderung mengalami kesulitan untuk tidur.
51
52
Penelitian yang dilakukan Lexcen & Hicks (1993, dalam Maas 2011), Jenis kelamin sangat berhubungan dengan gaya hidup. Dimana gaya hidup perokok lebih cenderung melaporkan beberapa keluhan kesulitan untuk tertidur, keluhan terhadap perasaan mengantuk disiang hari. Dalam penelitian itu juga ditemukan pasien
yang
megalami
ketergantungan
alkohol
juga
memperlihatkan penurunan dalam tidur tahap 4 atau gelombang tidur yang lambat. Potter & Perry (2005), menyatakan bahwa makan besar, berat dan berbumbu pada makan malam yang biasa dilakukan wanita dapat menyebabkan kesulitan dalam proses pencernaan. Hal ini dapat mengganggu tidur. Kecenderungan terjadi kecemasan pada responden adalah laki-laki. Hal ini bisa disebabkan karena kondisi hospitalisasi pertama kali dialami dan kecenderungan untuk memikirkan kondisi sebagai penanggung jawab keluarga yang ditinggalkan saat sakit 5.1.3. Pendidikan Dari data responden, banyaknya pendidikan responden adalah SMA. Tingkat pendidikan yang rendah pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan, tingkat pendidikan seseorang atau individu akan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah berpikir secara rasional dan menangkap
53
informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah yang baru (Stuart, 2006).
5.1.4. Status Perkawinan Dari hasil yang didapatkan kemarin, status perkawinan responden banyak sudah menikah. Hal ini disebabkan karena terbebaninya kebutuhan hidup dan memikirkan keluarga. Individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang memadai akan mengurangi depresi bila berhadapan dengan stress (Samiun, 2006 dalam Aziza, 2011)
5.2. Tingkat Kecemasan Pasien Asma Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada suatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan yang tidak menentu dan tidak berdaya (Suliswati, 2005). Cemas adalah suatu situasi yang dirasakan oleh individu mengenai ketidaknyamanan perasaan karena aktifitas system nervus otonomi pada respon ancaman non spesifik, biasanya tidak jelas penyebabnya atau tidak dikenal sumbernya. Berdasarkan tingkat kecemasan responden sebagian besar pasien mengalami kecemasan dalam kategori normal sebanyak 24 orang (63%), dan 14 orang (37%) mengalami kecemasan ringan. Hal ini menunjukkan bahwa para pasien yang dirawat inap di Ruang Perawatan Penyakit Dalam RSUD Karanganyar mengalami kecemasan ringan, hal ini disebabkan
54
suasana ruang perawatan yang terlalu ramai karena batas tempat tidur pasien tidak ada sekatnya, selain itu juga karena memikirkan prognosis penyakit, memikirkan biaya yang akan dihabiskan, dan bertemu dengan kondisi lingkungan yang baru, hal tersebut yang dialami responden ketika menjalani rawat inap. Kecemasan merupakan perasaan yang tidak jelas, keprihatinan dan kekhawatiran akan penyakit yang sedang dialami saat ini. Kecemasan adalah respon individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan atau mengurangi rasa nyaman (Capernito, 2010). Sesuai hasil yang saya dapatkan kemarin di rumah sakit banyak pasien yang mengeluh tidurnya terganggu karena pasien lain yang sedang kesakitan. Selain itu pasien tersebut sebelum sakit biasaya saat tidur terbiasa mematikan lampu, sedangkan di rumah sakit penerangan atau lampu masih menyala, salah satu respon yang muncul dari kecemasan adalah gangguan pola tidur pada pasien yang sedang dirawat di rumah sakit atau pusat pelayanan kesehatan lainnya sehingga mempengaruhi proses penyembuhan dan pemulihan dari kondisi sakit, yang selanjutnya dapat memperpanjang hari dirawat. Menurut Savitri Ramaiah (2003) ada beberapa faktor yang menunujukkan reaksi kecemasan, diantaranya yaitu lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berfikir individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja. Sehingga individu tersebut merasa tidak aman terhadap
55
lingkungannya. Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal ini, terutama jika dirinya menekan rasa marah atau frustasi dalam jangka waktu yang sangat lama. Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi seperti misalnya kehamilan, semasa remaja dan sewaktu pulih dari suatu penyakit. Selama ditimpa kondisi-kondisi ini, perubahanperubahan perasaan lazim muncul, dan ini dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. Kecemasan mempengaruhi gejala-gejala fisik, terutama pada fungsi saraf akan terlihat gejala-gejala yang akan ditimbulkan diantaranya tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar, keluar keringat berlebih, sering mual, gemetar, muka merah, dan sukar bernafas (Detiana, 2010). Pada kebanyakan responden hal tersebut sangat mengganggu karena dari awal responden masuk rumah sakit responden sudah mengalami gangguan pernafasan, sehingga kondisi yang tidak mendukung bisa memperlambat atau malah kemungkinan bisa memperparah penyakit yang dideritanya. Hal ini mirip dengan penelitian yang dilakukan oleh Fahmi 2015 yang melakukan penelitian tentang tingkat kecemasan dan depresi yang terjadi pada penderita geographic tongue ( penyakit kelainan lidah) dimana hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan dan depresi terhadap prevalensi
56
geographic tongue. Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu penyakit bisa menimbulkan tingkat kecemasan terhadap pasien yang menderita.
5.3. Kualitas tidur pasien asma Hasil dari analisa data menunjukkan kualitas tidur responden 26 orang (68%) menunjukkan kualitas tidur baik. Sedangkan 12 responden (32%) menunjukkan kualitas tidur buruk. Tidur adalah suatu proses yang sangat penting bagi manusia, karena dalam tidur terjadi proses pemulihan. Proses ini bermanfaat mengembalikan kondisi seseorang pada keadaan semula, dengan begitu tubuh yang tadinya mengalami kelelahan akan menjadi segar kembali (Dawson D, 2005). Terdapat berbagai jenis gangguan tidur yang dapat menurunkan kualitas tidur seseorang, yaitu antara lain somnambulisme, night terror, insomnia, mudah tertidur (hypersomnia), parasomnia, narkolepsi, sleep walking, obstructive sleep apnea/hypopnea syndrome (OSASH). Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar (unconciuusness) tetapi dapat dibangunkan dengan perangsangan sensori yang sesuai (Martini, 2001). Tidur sebagai perubahan keadaan kesadaran yang terjadi secara terus-menerus dan berulang untuk menyimpan energi dan kesehatan (Potter & Perry, 2005). Berdasarkan kejadian perubahan pola tidur menunjukkan bahwa sebagian responden merupakan pasien yang memiliki perubahan pola tidur pada saat menjalani rawat inap di Ruang Perawatan Umum RSUD
57
Karanganyar. Sesuai hasil yang peneliti dapatkan kemaren banyak pasien yang mengeluh tidurnya terganggu karena suasana lingkungan rumah sakit yang terlalu ramai dan kondisi pasien sebelahnya mengerang kesakitan. Kebutuhan untuk istirahat dan tidur adalah penting bagi kualitas hidup semua orang dikarenakan pada kondisi mereka yang sedang sakit membutuhkan istirahat yang cukup dalam pemulihannya. Namun demikian, tiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda dalam jumlah tidur (Quantity of Sleep) dan kualitasnya (Quality of Sleep) (Potter & Perry, 2005) Dinyatakan bahwa tidur merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang memiliki fungsi perbaikan dan homeostatic (mengembalikan keseimbangan fungsi-fungsi normal tubuh) serta penting juga dalam pengaturan suhu dan cadangan energi normal terlebih bagi seseorang yang sedang berada pada kondisi sakit. Sebenarnya tidur tidak sekedar mengistirahatkan tubuh, tapi juga mengistirahatan otak, khususnya sereberal korteks, yakni bagian otak terpenting atau fungsi mental tertinggi yang digunakan untuk mengingat, memvisualkan serta membayangkan, menilai dan memberikan alasan sesuatu, disini dengan istirahatnya otak diharapkan proses penyembuhan pasien semakin baik (Craven & Hirnle, 2000)
58
5.4. Hubungan Tingkat kecemasan dengan kualitas tidur pada pasien Asma di RSUD Kabupaten Karanganyar
Berdasarkan pengujian statistik dengan uji Spearman’s rho, dinyatakan ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur pada pasien asma yang dirawat inap yang ditunjukan dengan nilai p Value sebesar 0,00 atau kurang dari 0,05, pada taraf signifikan 95% sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat kecemasan dan kualitas tidur pada pasien asma yang dirawat inap terbukti atau diterima. Keeratan hubungan antara kecemasan dan kualitas tidur bisa ditunjukkan dengan nilai koefisien kontingensi dengan nilai 0,889 yang berarti hubungan itu sangat kuat. Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para pasien di RSUD Karanganyar memiliki kecemasan yang ringan dan mengalami perubahan kualitas tidur. Hal ini berarti bahwa kecemasan seorang pasien akan mempengaruhi kualitas tidurnya, pada keadaan sakit dan dirawat di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya sering kali terjadi dua hal yang berlawanan, disatu sisi individu yang sakit mengalami peningkatan kebutuhan tidur (Taylor, 2001). Sementara disisi yang lain kualitas tidur seseorang yang masuk dan dirawat di rumah sakit dapat dengan mudah berubah atau mengalami gangguan pola tidur sebagai akibat kecemasan yang kondisi sakitnya atau rutinitas rumah sakit. Terjadinya gangguan pola tidur pada klien yang dirawat inap di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dapat disebabkan oleh dampak
59
lingkungan rumah sakit serta kecemasan yang diakibatkan proses penyakit yang dialaminya yang biasanya ditandai dengan bertambahnya jumlah waktu bangun, sering terbangun dan berkurangnya tidur REM serta jam tidur (Potter & Perry, 2005).
60
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Sebagian besar responden berusia antara 32-42 tahun dan berjenis kelamin laki-laki, berpendidikan rata-rata SMA dan sudah menikah. 2. Tingkat kecemasan responden paling banyak memiliki kecemasan ringan sebanyak 24 responden (73%). 3. Sebanyak 12 pasien (32%) mengalami kejadian perubahan kualitas tidur buruk dan 26 pasien (68%) tidak mengalami kejadian perubahan kualitas tidur. 4. Hasil analisa menunjukkan terdapat hubungan yang sangat kuat antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur pada pasien asma yang dirawat inap di RSUD Karanganyar dengan nilai koefisien korelasi mencapai 0,889 dengan signifikansi (p value) 0,000
6.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Disarankan bagi pihak rumah sakit untuk bisa menciptakan lingkungan yang nyaman terutama memberi batasan skat atau korden di ruang pasien
60
61
dan memberi batasan waktu kunjung pasien agar pasien tidurnya tidak terganggu. 2. Bagi Institusi Pendidikan diharapkan bisa menggunakan referensi hasil penelitian ini untuk bisa digunakan sebagai pedoman dalam melakukan perawatan pasien asma. 3. Bagi peneliti lain yang melakukan penelitian serupa diharapkan menggunakan jumlah sampel yang lebih banyak sehingga bisa didapatkan gambaran yang lebih baik dari hasil analisa penelitiannya. 4. Bagi Peneliti dapat mengetahui secara nyata tentang hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara kecemasan dengan kualitas tidur pada pasien asma.
62
DAFTAR PUSTAKA
Alimul H, Aziz.2006, Pengantar Kebutuhan Dsara Manusia. Jakarta: Salemba Medika. Arikunto,S.2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta.Rineka Cipta Asmadi.2008. Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.Jakarta. Salemba Medika Azizah, Lilik.M. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta : Graha Ilmu Carpenito, L.J. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8, alih bahasa Ester M, EGC, Jakarta Depkes R.I (2009). Pedoman pengendalian penyakit asma. Djojodibroto, Darmanto. (2009). Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. GINA (Global Initiative for Asthma).(2006),. Pocket Guide for Asthma Management and Prevension In Children. Ghufron M. Nur dan Wati S, Rini.2012,Cara Tepat Menghilangkan Kecemasan Anda. Yogyakarta : Galang Press Hawari,D.2008. Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi. Jakarta. FKUI Hadibroto, Iwan & Syamsir Alam. (2006). Asma. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kozier, Barbara. 2008. Fundamentals of Nursing: concepts, process, and practice.New Jersey: Berman Audrey Lestari, Pemi L (2009). Riset. Perbedaan kualitas tidur pekerja shif saat menjalani shift pagi dengan shift malam pada PT. Kobame Propertindo. Universitas Indonesia. Maas, L. Meridean. 2011. Asuhan Keperawatan Geriatrik : Diagnosis NANDA, Kriteria hasil NOC, & Intervensi NIC. Jakarta : EGC Maulida. 2011. Test Reliabilitas dan Validitas Indeks Kualitas Tidur Dari Pittsburg (PSQI) Versi Bahasa Indonesia Pada Lansia [Thesis]. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada
63
Notoatmodjo,S.2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta Ni Komang Ratih, 2012.Hubungan Tingkat Kecemasan Terhadap Koping Siswa SMUN 16 Dalam Menghadapi Ujian Nasional, Skripsi Sarjana Keperawatan, (Depok: Perpustakaan UI) Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta : EGC. Potter & Perry.(2010).Fundamental of Nursing.Mosby.st.Louis Ramaiah, Savitri. 2006. Asma Mengetahui Penyebab Gejala dan Cara Penanggulangannya. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer Sundaru H, Sukamto. (2006) Asma Bronkial , Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakulas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Suzanne M, Steven G. Normal Sleep, Sleep Physiology, and Sleep Deprivation. [Cited 2009Dec 20] Said Az-zahroni, Musfir.(2005). Konseling Terapi.Jakarta: Gema Insani Tim MGBK. Bahan Dasar Untuk Pelayanan Konseling Pada Satuan Pendidikan Menengah Jilid I .( jakarta: PT.Grasindo, 2010) Stuart, Gail W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC Suliswati, dkk. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC.