HUBUNGAN STATUS FUNGSIONAL TERHADAP DEPRESI PADA PASIEN STROKE DI RUANG FISIOTERAPI DI RSUD WILAYAH KABUPATEN SEMARANG Khomsiatun*) Mona Saparwati, S.Kp., Ns. M.Kep **), Zumrotul Choiriyah, S.Kep., Ns., M.Kes **) *) Mahasiswa PSIK STIKES Ngudi Waluyo Ungaran **) Dosen PSIK STIKES Ngudi Waluyo Ungaran ABSTRAK Faktor-faktor yang mempengaruhi depresi pada pasien stroke antara lain kepribadian, pola piki, harga diri, stress, dan penyakit jangka panjang. Faktor lainnya yang mempengaruhi depresi genetik, susunan kimia otak, usia, jenis kelamin, gaya hidup dan penyakit fisik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan status fungsional terhadap depresi pada pasien stroke di ruang fisioterapi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan menggunakan pendekatan cross sectional menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien penderita stroke yang menjalani fisioterapi di ruang fisioterapi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang berjumlah 51 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling dengan jumlah sampel sebanyak 46 orang. Data dianalisis menggunakan menggunakan uji kendal tau. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui sebagian besar status fungsional paling banyak adalah kategori ketergantungan ringan yaitu sejumlah 26 responden (56,5%) dan depresi paling banyak adalah kategori depresi sedang yaitu sejumlah 18 responden (39,1%). Dari hasil uji statistik menggunakan kendal tau diketahui ada hubungan yang signifikan antara status fungsional terhadap depresi pada pasien stoke di ruang fisioterapi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang. Angka korelasi +0,456 menunjukkan arah positif yaitu semakin ketergantungan berat semakin depesi berat dan kekuatan di dalam penelitian ini cukup. Pasien diharapkan dapat mengetahui penyebab dan tanda gejala depresi sehingga dapat melakukan pencegahan terhadap faktor-faktor penyebab depresi serta mengurangi ketergantungan kepada orang lain dan meningkatkan status fungsional khususnya pada penderita stroke di Ruang Fisioterapi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang Kata kunci
: status fungsional, depresi, stroke ABSTRACT
Factors that influence depression in stroke patients, are personalities, thinking patterns, self-esteem, stress, and long-term illness. Other factors affecting are genetic depression, the chemical pattern in the brain, age, gender, lifestyle and physical illness. The aim of this study was to determine the correlation between the functional status and the depression in stroke patients in Physiotherapy room at Semarang Regency Hospitals. This research was a descriptive correlation with cross sectional approach using questionnaire as a data collection tool. The population in this study was patients with stroke who underwent Physiotherapy in the Physiotherapy room at Semarang Regency
Hospitals as many as to 51 people.The technique used purposive sampling to 46 people. The data were analyzed by using Kendal tau test. Based on the research, most of the functional status was mostly in light dependency category, namely in 26 respondents (56.5%) and the depression was mostly in medium category of depression in 18 respondents (39.1%). From the statistical test using Kendal tau, there was a significant correlation between functional status and depression in patients with stroke in physiotherapy room in Semarang regency hospitals. The correlation valve +0.456 shows the positive direction that is the worse dependency the worse depression and the strength in this study is sufficient. Patients are expected to know the causes and signs of depression symptoms to take precautions against the factors that cause depression and reduce dependence / functional status to others, especially in patients with stroke in Physiotherapy room in Semarang regency hospitals. Keywords
: functional status, depression, stroke
PENDAHULUAN Sama seperti penyakit lain yang akibatnya kronis, stroke membawa perubahan didalam kehidupan dan diri seseorang. Hal tersebut berakibat pula pada perubahan penerimaan diri individu yang tercermin dalam perilakunya. Perilaku penolakan terhadap kondisi diri yang biasanya muncul akibat serangan stroke, misalnya penderita malu bertemu orang lain, menolak perawatan atau saran dokter, tidak percaya diri, menyalahkan diri, merasa tidak berguna, merasa tidak berharga. Selain itu, penderita menjadi mudah bersedih, mudah tersinggung, dan cepat marah. Jika peneriman diri seseorang rendah, maka akan berdampak pada kesehatan mentalnya yang akan memicu timbulnya penyakit dan gangguan mental seperti depresi (Lubis, 2009). Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di dalam kehidupan seseorang yang ditandai dengan gangguan emosi, motivasi, fungsional gerakan tingkah laku, dan kognitif. Seseorang yang mengalami depresi cenderung tidak memiliki harapan atau
perasaan pasrah atau ketidakberdayaan yang berlebihan sehingga dia tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan, selalu tegang dan adanya keinginan untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri (Rathus,1991;Atkinson,1991 dalam Pieter, 2011). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dudung (2015) dengan judul penelitian “Prevalensi Depresi Pada Pasien Stroke Yang Di Rawat Inap Di Irina F RSUP PROF.Dr.R.D.Kandou Manado Periode November-Desember 2012” didapatkan hasil penelitian memperlihatkan sebanyak 45,8% responden mengalami depresi ringan, 25% responden mengalami depresi sedang, 4,2% responden mengalami depresi berat, dan 25% responden tidak mengalami depresi. Stroke merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir, daya ingat, dan bentuk-bentuk kecacatan lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008 dalam Marjoko, 2014). Kehilangan fungsi tubuh akibat penyakit stroke mengakibatkan produktifitas pasien stroke terhalang dan berpengaruh pada
status fungsional pasien stroke (Junaidi, 2011). Status fungsional diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam melaksanakan ADL dasar secara mandiri (seperti berpakaian, berbelanja, mengurus rumah, mengatur keuangan) (Kalache,2000 dalam agung, 2006). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari (2012) dengan judul “Hubungan antara tingkat ketergantungan Activity Daily Living dengan depresi pada pasien stroke di RSUD Tugurejo Semarang”, didapatkan hasil ada hubungan antara depresi dengan ADL pasien stroke di RSUD Tugurejo Semarang. Hasil dari studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Daerah Kabupaten Semarang pada tanggal 13 Oktober 2015 di dapat data sebagai berikut, Berdasarkan hasil survei langsung terhadap 5 pasien stroke yang menjalani fisioterapi di rumah sakit daerah kabupaten Semarang didapatkan 3 pasien (60%) status fungsional dengan tingkat ketergantungan sedangkan dua orang diantaranya mengalami depresi sedang. sedangkan satu orang lainnya mengalami depresi ringan. Selanjutnya 1 pasien (20%) status fungsionalnya dengan tingkat ketergantungan berat, sedangkan dan mengalami depresi berat. Sedangkan 1 pasien (20%) lainnya status fungsionalnya dengan tingkat ketergantungan ringan, mengalami depresi sedang. Berdasarkan masalah diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan status fungsional terhadap depresi pada pasien stroke di ruang fisioterapi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang”.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menguji hubungan status fungsional terhadap depresi pada pasien stroke di ruang fisioterapi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif korelasi, yaitu penelitian yang diarahkan untuk menjelaskan hubungan antara dua variabel bebas dengan variabel terikat (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional, dimana data yang menyangkut variabel bebas dan terikat dikumpulkan dalam waktu bersamasama. Tiap subyek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subyek pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2010) HASIL PENELITIAN A. Distribusi Frekuensi Responden Status Fungsional di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang Tabel 1 Status Fungsonal Total Berat Sedang Ringan Jumlah
Frekuensi 2 4 14 26 46
Persentase 4,3 8,7 30,4 56,5 100,0
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel diatas menunjukkan bahwa status fungsional paling banyak adalah kategori ketergantungan ringan yaitu sejumlah 26 responden (56,5%) dan paling sedikit kategori ketergantungan total yaitu sejumlah 2 responden (4,3%).
B. Distribusi Frekuensi Responden Depresi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang Tabel 2 Depresi Sangat berat Berat Sedang Ringan Normal Jumlah
Frekuensi 1 7 18 16 4 46
ketergantungan ringan lebih banyak mengalami depresi ringan (42,3%). Hasil Uji statistik menggunakan Kendall Tau didapatkan p value 0,000≤0,05 sehingga ada hubungan yang signifikan antara status fungsional terhadap depresi pada pasien stoke di ruang fisioterapi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang. Angka korelasi +0,456 menunjukkan arah positif yaitu semakin ketergantungan berat semakin depesi berat dan kekuatan di dalam penelitian ini cukup.
Persentase 2,2 15,2 39,1 34,8 8,7 100,0
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel diatas menunjukkan bahwa depresi paling banyak adalah kategori depresi sedang yaitu sejumlah 18 responden (39,1%) dan paling sedikit kategori depresi sangat berat yaitu sejumlah 1 responden (2,2%).
PEMBAHASAN A. Gambaran Status Fungsional Pada Pasien Stroke Di Ruang Fisioterapi Di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang
C. Hubungan Status Fungsional terhadap Depresi pada Pasien Stoke di Ruang Fisioterapi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang Tabel 3 Status Fungsion al
Depresi Sangat berat f %
Berat f
%
Sedang f
Ringan
%
f
0,0 50,0 42,9 38,5
0 0 5 11
Total Berat Sedang Ringan
0 0,0 1 25,0 0 0,0 0 0,0
2 1 3 1
100 0 25,0 2 21,4 6 3,8 10
Jumlah
1
7
15,2 18 39,1 16
2,2
%
Jumlah
Normal f
%
f
%
0,0 0,0 35,7 42,3
0 0,0 2 0 0,0 4 0 0,0 14 4 15,4 26
100 100 100 100
34,8
4
100
8,7 46
Berdasarkan hasil tabulasi data diatas menunjukkan hasil bahwa responden yang mempunyai ketergantungan total semuanya (100%) mengalami depresi berat, responden yang mengalami ketergantungan berat lebih banyak mengalami depresi sedang (50,0%),responden yang mengalami ketergantungan sedang lebih banyak mengalami depresi sedang (42,9%) dan responden yang mengalami
Hasil penelitian diketahui bahwa status fungsional paling banyak adalah kategori ketergantungan ringan yaitu sejumlah 26 responden (56,5%). Ketergantungan dalam kategori ringan pada sebagian besar responden tersebut dapat dilihat dari kuesioner dengan indeks barthel dimana sebagian besar responden menyatakan bahwa kadangkala (54,35%) dalam buang air besar tidak terkendalai (1kali/minggu), sedangkan dalam berkemih responden menyatakan juga kadangkala (67,4 %) tidak terkendali (1 kali/minggu). membersihkan diri seperti sikat gigi, menyisir rambut dan cuci muka secara mandiri (93,5 %) dan dalam penggunaan toilet/jamban seperti melepas pakaian, membersihkan, menyeka dan menyiram sebagian besar responden memerlukan bantuan pada beberapa aktivitas akan tetapi bisa melakukan sendiri (82,6 %).
Berdasarkan penilaian dengan menggunakan indeks barthel seperti pada hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden mempunyai status fungsional dalam kategori ketergantungan ringan. ketergantungan ringan pada sebagian besar responden dikarenakan masih terdapat beberapa aktivitas yang memerlukan bantuan orang lain untuk melakukannya seperti saat ke toilet atau naik turun tangga dan berjalan. Ketergantungan terhadap status fungsional pada penderita stroke merupakan sesuatu hal yang wajar karena penyakit yang dideritanya menyebabkan kerusakan fungsi otak dan gangguan fisik responden, sehingga dalam melakukan beberapa aktivitas sebagian besar responden memerlukan bantuan orang lain. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Muttaqin, 2008 dalam Marjoko (2014) yang menyatakan bahwa stroke merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir, daya ingat, dan bentuk-bentuk kecacatan lain sebagai akibat gangguan fungsi otak. Kehilangan fungsi tubuh akibat penyakit stroke mengakibatkan produktifitas pasien stroke terhalang dan berpengaruh pada status fungsional pasien stroke (Junaidi, 2011). Status fungsional diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam melaksanakan ADL dasar secara mandiri (seperti berpakaian, berbelanja, mengurus rumah, mengatur keuangan) (Kalache,2000 dalam agung, 2006).
Penurunan status fungsional walaupun tergolong ringan pada penderita stroke dalam penelitian ini salah satunya dipengaruhi oleh usia responden yang mayoritas adalah lansia (52,2%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kristiyawati, 2009, dengan judul “Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stroke di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang”, didapatkan hasil sebanyak 72,9% pasien berusia > 55 tahun. Orang berusia lanjut umumnya tidak berespon terhadap lingkungan internal yang berubah, cenderung membuat orang usia lanjut sulit untuk memelihara kestabilan status fisis dan kimiawi dalam tubuh atau memelihara homeostasis tubuh. Gangguan terhadap homeostasis tersebut dapat memudahkan terjadinya disfungsi berbagai system organ dan turunnya toleransi terhadap obat-obatan (Stiati, 2007). Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti sesuai dengan teori yang ada, dimana semakin tua usia pasien semakit berat tingkat ketergantungannya dalam melakukan aktivitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa usia mempengaruhi status fungsional pasien stroke. Hal ini terjadi karena penurunan fungsi tubuh yang terjadi pada pasien karena umurnya sudah lansia dan mereka lebih cenderung pasrah dengan keadaannya karena mereka merasa sudah tua, sehingga dalam melakukan pengobatan mereka cenderung tidak begitu aktif sehingga penyembuhan pun semakin lama dan tidak optimal. Usia tua mengakibatkan daya tahan jasmani
maupun rohani pria ataupun wanita menjadi sangat berkurang (Kartono, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2003), dengan judul, “Kemandirian aktivitas makan, mandi, dan berpakaian pada penderita stroke 6:24 bulan pasca okupasi terapi”, dengan menggunakan metode observasional dan pendekatan cross sectional, menunjukkan, responden yang melakukan aktivitas mandiri sebanyak (7,7%) dan tidak mandiri sebanyak (92,3%). Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien stroke sangatlah tergantung dalam melakukan ADL. Penelitian yang dilakukan oleh Pinzon, et al (2009), dengan judul “Status fungsional pasien stroke non hemoragik pada saat keluar rumah sakit”. Hasil penelitian didapatkan sebanyak 37% pasien stroke mandiri dalam melakukan aktivitas dan 21% pasien dengan tingkat mandiri yang rendah. B. Gambaran Depresi Pada Pasien Stroke Di Ruang Fisioterapi Di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa depresi paling banyak adalah kategori depresi sedang yaitu sejumlah 18 responden (39,1%). Penderita stroke sering dikaitkan dengan depresi. Pada saat terjadi iskemik pada otak, ada beberapa ketidakmampuan melakukan fungsi: fungsi fisik tertentu, seperti menggerakkan anggota tubuh bagian tertentu, sehingga pasien merasa tidak mampu dan merasa tidak
berdaya. Menurut sudut pandang psikodinamika, pasien stroke kemungkinan menderita perasaan kehilangan yang nyata, misalnya kemampuannya menggerakkan tubuh secara normal seperti sebelumnya. Pasien bereaksi dengan kemarahan terhadap peristiwa kehilangan tersebut, yang kemudian diarahkan kepada diri sendiri sehingga menyebabkan penurunan harga diri dan terjadiya depresi. Sementara itu, secara biologis bahwa pasien stroke mengalami lesi di hemisfer kanan otaknya atau di bagian lobus parietal (Bramastyo, 2009). Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di dalam kehidupan seseorang yang ditandai dengan gangguan emosi, motivasi, fungsional gerakan tingkah laku, dan kognitif. Seseorang yang mengalami depresi cenderung tidak memiliki harapan atau perasaan pasrah atau ketidakberdayaan yang berlebihan sehingga dia tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan, selalu tegang dan adanya keinginan untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri (Pieter, 2011). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden berumur antara 51-60 tahun, sejumlah 30 orang (65,2%). Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Martutik (2010) yang berjudul “Hubungan aktivitas dasar sehari-hari dengan tingkat ketergantungan pada pasien stroke di ruang anggrek RSUD DR Moewardi Surakarta” di dapatkan hasil pasien stroke yang mengalami depresi lebih banyak pada usia 51-60 taun sebanyak 40,9%. Menurut Lumongga, Seseorang yang berusia 60 tahun keatas atau lanjut usia akan
semakin rentan mengalami depresi dan gangguan kesehatan lainnya (Saputri, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, sesuai dengan teori yang ada, dimana semakin tua usia seseorang semakin berat tingkat depresinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, usia mempengaruhi tingkat depresi. Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa sebagian besar responden adalah berjenis kelamin perempuan, sejumlah 29 orang (63,0%) Wanita lebih sering terdiagnosis menderita depresi dari pada pria. Bukan berarti wanita lebih muda terserang depresi, bisa saja karena wanita lebih sering mengakui adanya depresi daripada pria dan tenaga kesehatan lebih dapat mengenali depresi pada wanita (Lubis, 2009). Tingkat pendidikan responden juga mempengaruhi seseorang dalam depresi, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai yang diperkenalkan (Nursalam 2001, dalam Puspitasari 2011). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini mempunyai tingkat pendidikan yang rendah dengan berpendidikan SD, sejumlah 26 orang (56,5%). Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti sesuai dengan teori diatas penelitian yang dilakukan oleh peneliti, sebagian besar pasien yang
mengalami depresi adalah pasien dengan tingkat pendidikn SD. Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi misalnya halhal yang menunjang kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk siap berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki, sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangannya sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau berubah ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat (Depdiknas, 2005). Guna menunjang pengetahuan yang lebih baik maka diperlukan pendidikan yang memadai guna menunjang pengetahuan tersebut. Tingkat pendidikan seseorang akan sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang khususnya tentang cara dan mekanisme koping dalam menghadapi kondisi kesehatannya saat ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Slamet (2008), menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka wawasan pengetahuan semakin baik dan akan semakin menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi kehidupan. C. Hubungan Status Fungsional Terhadap Depresi Pada Pasien Stroke di Ruang Fisioterapi di
RSUD Wilayah Semarang
Kabupaten
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa responden yang mempunyai ketergantungan total semuanya (100%) mengalami depresi berat, responden yang mengalami ketergantungan berat lebih banyak mengalami depresi berat (50,0%), responden yang mengalami ketergantungan sedang lebih banyak mengalami depresi sedang (42,9%) dan responden yang mengalami ketergantungan ringan lebih banyak mengalami depresi ringan (42,3%). Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa, semakin berat tingkat ketergantungan seseorang dalam melakukan aktivitas semakin berat pula tingkat depresinya. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada pasien saat dilakukan penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki ketergantungan total merasa marah dan kecewa dengan keadaannya yang tidak berdaya. Pasien kehilangan hal-hal yang biasa dia lakukan sehingga ia merasa tidak berguna. Sama seperti penyakit lain yang akibatnya kronis, stroke membawa perubahan didalam kehidupan dan diri seseorang. Hal tersebut berakibat pula pada perubahan penerimaan individu yang tercermin dalam perilakunya. Perilaku penolakan dalam kondisi diri yang biasanya muncul akibat serangan stroke, misalnya penderita malu bertemu orang lain, menolak perawatan atau saran dokter, tidak percaya diri, menyalahkan diri, merasa tidak berguna, merasa tidak berharga. Selain itu penderita
menjadi mudah sedih, mudah tersinggung dan mudah marah. Jika penerimaan diri seseorang rendah, maka akan berdampak pada kesehatan mentalnya yang akan memicu timbulnya penyakit dan gangguan mental seperti depresi (Lubis, 2009). Kerusakan kemampuan fungsional merupakan efek stroke yang paling jelas terlihat. Defisit motorik meliputi kerusakan mobilitas, fungsi respirasi, menelan dan berbicara, repleks gagu, dan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari (Lewis, 2007). Menurut peneliti bahwa hasil pada penelitian ini menunjukan gangguan kemampuan fungsional ini memicu terjadinya depresi pada pasien pasca stroke dikarenakan seseorang yang telah mengalami stroke hingga menyebabkan tejadinya gangguan pada kemampuan fungsional seperti gangguan pada kemampuan motorik yang menyebabkan seseorang akan mengalami kesulitan pada saat akan melakukan mobilisasi akan menyebabkan orang tersebut akan mengalami beban fikiran, merasa tidak berharga, hal tersebutlah yang akan menyebabkan terjadinya gejala awal dari depresi yang apabila tidak ditangani dengan cepat akan menyebabkan terjadinya depresi pada pasien pasca stroke. Uji statistik menggunakan Kendall Tau didapatkan p value 0,000≤0,05 sehingga ada hubungan yang signifikan antara status fungsional terhadap depresi pada pasien stoke di ruang fisioterapi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang.
Angka korelasi +0,456 menunjukkan korelasi positif dan korelasi yang cukup. Sedangkan hasil penelitian Murtutik (2010) dengan judul “Hubungan aktivitas dasar seharihari dengan tingkat depresi pasien stroke di ruang anggrek 1 RSUD Moewardi Surakarta” di dapatkan hasil analisis data spearman di peroleh R hitung sebesar -0,624 dengan harga signifikansi sebesar 0,000. Harga signifikansi lebih kecil dari 0,05 artinya ada hubungan yang negative antara kemampuan aktivitas dasar seharihari dengan tingkat depresi pada pasien stroke di RSUD Dr Moewardi Surakarta. Salah satu faktor depresi pada pasien stroke adalah gangguan fungsional. Pada saat terjadi iskemik pada otak ada beberapa ketidakmampuan melakukan fungsi-fungsi fisik tertentu, seperti mengerakkan anggota tubuh bagian tertentu, sehingga pasien merasa tidak mampu dan merasa tidak berdaya. Pasien bereaksi dengan kemarahan terhadap peristiwa kehilangan tersebut yang kemudian diarahkan kepada diri sendiri sehingga menyebabkan penurunan harga diri dan terjadinya depresi (Bramastyo, 2009:). Di dalam penelitian ini peneliti mendapatkan hasil salah satu responden dengan ketergantungan ringan tetapi mengalami depresi berat dikerenakan beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor usia yaitu usianya 67 tahun. Menurut Lumongga, seseorang yang berusia 60 tahun keatas atau lanjut usia akan semakin rentan mengalami
depresi dan gangguan kesehatan lainnya (Saputri, 2011). Menurut Maramis (1995) di dalam Azizah (2011), pada lanjut usia permasalahan yang menarik adalah kurangnya kemampuan dalam beradaptasi psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penururan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stres lingkungan yang sering menyebabkan depresi. Usia lanjut dan penuruna dalam melakukan aktivitas membuat pasien merasa tidak berguna, tidak berdaya dan menyalahkan dirinya sendiri karena merasa membebani keluarganya dengan biaya rumah sakit yang cukup mahal untuk pengobatannya sehingga timbullah depresi pada pasien. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Status fungsional paling banyak adalah kategori ketergantungan ringan yaitu sejumlah 26 responden (56,5%) dan paling sedikit kategori ketergantungan total yaitu sejumlah 2 responden (4,3%) 2. Depresi paling banyak adalah kategori depresi sedang yaitu sejumlah 18 responden (39,1%) dan paling sedikit kategori depresi sangat berat yaitu sejumlah 1 responden (2,2%). 3. Ada hubungan yang signifikan antara status fungsional terhadap depresi pada pasien stoke di ruang fisioterapi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang. Angka korelasi +0,456 menunjukkan arah positif yaitu semakin ketergantungan berat semakin depesi berat dan kekuatan di dalam penelitian ini cukup.
SARAN 1. Bagi Pasien Stroke Penelitian ini dapat di jadikan landasan bagi pasien untuk mengetahui penyebab depresi stroke di Ruang Fisioterapi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang.
Agung,Iskandar.(2006).Uji Keandalan dan kesahihan indeks Activities of Daily Living Barthel Untuk Mengukur Status fungsional Dasar Pada Usia Lanjut di RSCM.Retrieved September 30, 2015 From: http://repository.ui.ac.id
2.
Bagi Perawat Penelitian ini dapat sebagai landasan bagi perawat dalam memberikan mengidentifikasi penyebab depresi pada pasien stroke di Ruang Fisioterapi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang.
Azizah,
Bagi Instansi Pendidikan Penelitian ini bagi pendidikan diharapkan dapat sebagai konsep ilmu yang dapat dijadikan bahan ajar tentang khususnya dalam menghadapi masalah kejiwaan pada penderita stroke di Ruang Fisioterapi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang.
Irfan,Muhammad.(2010).Fisioterapi Bagi Insan Stroke.Yogyakarta:GrahaIlmu
3.
4.
5.
Bagi Rumah Sakit Memberikan masukan terhadap rumah sakit untuk menambahkan wawasan dan sebagai pedoman untuk mengetahui penyebab dari tingkat depresi pada pasien stroke di Ruang Fisioterapi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang. Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk penelitian selanjutnya dan mampu mengendalikan factor-faktor yang mempengauhi depresi pada pasien stroke di ruang fisioterapi di RSUD Wilayah Kabupaten Semarang.
DAFTAR PUSTAKA
Lilik Ma’rifatul. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu
Bramastyo, Wahyu. (2009). Depresi? No Way!. Yogyakarta: ANDI
Junaidi,Iskandar.(2011).Stroke waspadai ancamannya.Yogyakarta:AND I Kartono, K. (2002). Patologi Sosial 3. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Kristiyawati.(2009).Fakto-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Stroke di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang. Retrieved Januari 28, 2016 from :http://eprints.undip.ac.id Lubis,Namora Lumongga.(2009).Depresi Tinjauan Psikologis.Jakarta : Kencana Marjoko,bombing Rahmono.(2014).Analisis Status Fungsional Pasien Stroke Saat Keluar Ruang Merak II RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Retrieved October 02, 2015
from:http://repository.unri.ac.i d Murtutik.((2010).Hubungan Aktivitas Dasar Sehari-hari Dengan Tingkat Depresi Pasien Stroke Di Ruang Anggrek 1 RSUD Moewardi Surakarta. Retrieved Januari 28, 2016 from : www.usahidsolo.ac.id Notoatmodjo, Soekidjo.(2010).Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta :Renika Cipta Pieter,Herri Zan.(2011).Pengantar Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group Ratnasari,Pepy.(2012).Hubungan Antara Tingkat Ketergantungan Activity Daily Living Dengan Depresi Pada Pasien Stroke di RSUD Tugurejo Semarang. Retrieved November 29, 2015 from:https://scholar.google.co m/scholar Santoso.(2003).Kemandirian Aktivitas Makan Mandi, Dan Berpakaian Pada Penderita Stroke 6-24 Bulan Pasca Okupasi Terapi. Saputri, Et all.(2011). Hubungan Antara Dukungan Sisal Dengan Depresi Pada Lanjut Usia Yang Tinggal Dipanti Werdha Wening Wardoyo Jawa Tengah. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang Stiati,
S.,Harimurti,K.,& Roshero, G.(2007).Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 111 Edisi IV. Jakarta : FKUI