II.1. KOMUNIKASI Setiap orang yang hidup dalam masyarakat secara kodrati senantiasa terlibat dalam komunikasi.Terjadinya komunikasi adalah konsekuensi dari hubungan sosial (sosial relations). Istilah komunikasi atau communication berasal dari kata latin communication dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama dalam artian sama makna. Menurut Carl I. Hovland komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (communication is the process to modify the behavior of other individuals)(Effendy, 2005:10). Akan tetapi, perubahan sikap, pendapat atau perilaku orang lain dapat terjadi apabila komunikasi tersebut berlangsung secara komunikatif. Jadi, jika dua orang terlibat dalam komunikasi, maka akan terjadi selama ada kesamaan makna, sehingga komunikasi yang dilakukan kedua orang tersebut bersifat komunikatif. Akan tetapi, pengertian komunikasi di atas sifatnya dasariah, dalam arti kata bahwa komunikasi minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan mengetahui, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan melakukan suatu perbuatan atau kegiatan. Sedangkan Harold Lasweel memberikan pengertian komunikasi melalui paradigma yang dikemukakannya dalam karyanya The Structire abd Function of Communication in Society.Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi adalah menjawab pertanyaan “Whos Says What In
Universitas Sumatera Utara
Which Channel To Whom With What Effect ?” Paradigma Lasswell menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan, yakni : ·
Komunikator (communicator, source, sender) Komunikator adalah seseorang atau sekelompok orang yang memberikan informasi kepada lawan bicaranya.
·
Pesan (Message) Pesan merupakan seperangkat lambang yang bermakna yang disampaikan oleh komunikator.
·
Media (channel, media) Media adalah saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan.
·
Komunikan (communicant, receiver, recipient) Komunikan adalah seseorang atau sekelompok orang yang menerima pesan atau informasi dari komunikator.
·
Efek (effect, impact, influence) Efek adalah tanggapan atau seperangkat reaksi pada komunikan setelah diterpa pesan. Berdasarkan paradigma lasswell tersebut komunikasi adalah proses
penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Effendy, 2005:10). Berdasarkan defenisi diatas dapat diketahui bahwa komuikasi merupakan proses penyampaian pesan melalui penggunaaan simbol/ lambang yang dapat
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan efek berupa perubahan tingkah laku yang bisa dilakukan dengan menggunakan media tertentu. II.1.1. Proses Komunikasi Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yaitu : 1. Proses Komunikasi secara primer Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol)sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar dan lain sebagaianya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan (Effendy, 2005:16). 2. Proses Komunikasi secara sekunder Proses Komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang secara media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relative jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan lain sebagainya merupakan media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi (Effendy, 2005:16). II.1.2. Ruang Lingkup Komunikasi Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari, menelaah, dan meneliti kegiatan-kegiatan komunikasi manusia yang luas ruang lingkup dan banyak
Universitas Sumatera Utara
dimensinya. Berikut ini jenis-jenis komunikasi menurut konteksnya (Efendi, 1993:52-54) : 1. Berdasarkan bidang komunikasi Yang dimaksud dengan bidang disini adalah bidang kehidupan manusia, dimana di antara jenis kehidupan yang satu dengan jenis kehidupan lainnya terdapat perbedaan yang khas dan kekhasan ini menyangkut proses komunikasi. Berdasarkan bidangnya komunikasi meliputi : a. Komunikasi sosial (sosial communication) b. Komunikasi organisasional/manajemen (organization.management communication) c. Komunikasi bisnis (business communication) d. Komunikasi politik (political communication) e. Komunikasi internasional (international communication) f. Komunikasi antarbudaya (intercultural communication) g. Komunikasi pembangunan (development communication) h. Komunikasi tradisional (traditional communication) 2. Berdasarkan sifat komunikasi Ditinjau dari sifatnya komunikasi diklasifikasikan sebagai berikut : a. Komunikasi verbal (verbal communication) 1) Komunikasi lisan (oral communication) 2) Komunikasi tulisan (written communicaaation) b. Komunikasi nirverbal (nonverbal communication) 1) Komunikasi kial (gestural/body communication)
Universitas Sumatera Utara
2) Komunikasi gambar (pictorial communication) 3) Lain-lain c. Komunikasi tatap muka (face-to-face communication) d. Komunikasi bermedia (mediated communication) 3. Berdasarkan tatanan komunikasi Yang dimaksud dengan tatanan komunikasi adalah proses komunikasi ditinjau dari jumlah komunikan, apakah satu orang, sekelompok orang, atau sejumlah orang yang bertempat tinggal secara tersebar. Berdasarkan situasi komunikan seperti itu, maka diklasifikasikan mejadi bentuk sebagai berikut: a. Komunikasi pribadi (personal communication) 1) Komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication) 2) Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) b. Komunikasi kelompok (group communication) 1) Komunikasi kelompok kecil (small group communication) a) Ceramah b) Forum c) Symposium d) Diskusi panel e) Seminar f) Lain-lain 2) Komunikasi kelompok besar (large group communication) c. Komunikasi Massa (mass communication) 1) Komunikasi media massa cetak
Universitas Sumatera Utara
a)surat kabar b) majalah 2) Komunikasi media massa elektronik a) radio b) televisi c) film d) lain-lain d. Komunikasi medio a) surat b) telepon c) pamflet d) poster e) spanduk f) lain-lain II.1.3. Tujuan komunikasi Tujuan Komuniaksi (Effendy, 2003:55), yaitu : a. Mengubah sikap (to change attitude) b. Mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion) c. Mengubah perilaku (to change the behavior) d. Mengubah masyarakat (to change the society) II.1.4. Fungsi Komunikasi Fungsi komuniaksi (Effendy, 2003:55), yaitu ; a. Menginformasikan (to inform) b. Mendidik (to educate)
Universitas Sumatera Utara
c. Menghibur (to entertain) d. Mempengaruhi (to influence) II.2. KOMUNIKASI MASSA Komunikasi
massa
diadopsi
dari
istilah
bahasa
Inggris
“mass
communication”,singkatan dari mass media communication. Artinya, komunikasi yang menggunakan media massa atau “mass mediated”.Komunikasi Massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia (human communication) yang lahir bersamaan dengan mulai digunakannya alat-alat mekanik, yang mampu melipatgandakan pesan-pesan komunikasi (Wiryanto, 2000:1). Defenisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner yaitu komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan mellaui media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people)(Ardianto, 2004:3). Defenisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh Gerbner. Menurut Gerbner (1967) komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri. Dari defenisi Gerbner tergambar bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi (Ardianto,2004:4) . Produk tersebut disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan, atau bulanan. Proses
memproduksi pesan tidak dapat dilakukan perorangan,
Universitas Sumatera Utara
melainkan harus oleh lembaga, dan membutuhkan suatu teknologi tertentu sehingga komunikasi massa akan banyak dilakukan oleh masyarakat industri. II.2.1. Ciri-ciri Komunikasi massa Ciri-ciri komunikasi massa (Nurudin,2007:19), yaitu : 1. Komunikator dalam komunikasi massa melembaga Komunikator dalam komunikasi massa itu bukan satu orang, tetapi kumpulan orang-orang. Artinya, gabungan antara berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga. Lembaga yang dimaksud disini menyerupai sebuah sistem. Sebagaimana kita ketahui, sistem adalah sekelompok orang, pedoman dan media yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan, menuangkan ide, gagasan, simbol, lambang menjadi pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi. Komunikator dalam komunikasi massa itu lembaga disebabkan elemen utama komunikasi massa adalah media massa. 2. Komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen Komunikan dalam komunikasi massa sifatnya heterogen/beragam. Artinya, penonton televisi itu beragam pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial, ekonomi, punya jabatan yang beragam, punya agama atau kepercayaan yang tidak sama pula. Herbert Blumer pernah memberikan ciri tentang karakteristik audience/ komunikan, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Audience dalam komunikasi massa sangatlah heterogen. Artinya, ia mempunyai heterogenitas komposisi atau susunan. Jika ditinjau dari asalnya, mereka berasal dari berbagai kaelompok dalam masyarakat. 2. Bersisi individu-individu yang tidak tahu atau mengenal satu sama lain. Disamping itu, antara individu itu tidak berinteraksi satu sama lain secara langsung. 3. Mereka tidak mempunyai kepemimpinan atau organisasi formal. 3. Pesannya bersifat umum Pesan-pesan dalam komunikasi massa itu tidak ditujukan kepada satu orang atau satu kelompok masyarakat tertentu. Dengan kata lain, pesan-pesan yang dikemukakannya pun tidak boleh bersifat khusus. Artinya, pesan itu memang tidak disengaja untuk golongan tertentu. Meskipun dalam televisi ada program acara yang dikhususkan pada kalangan tertentu tetapi televisi perlu menyediakan acara lain yang sifatnya lebih umum. Ini penting agar televisi tidak kehilangan ciri khasnya sebagai saluran komunikasi massa. 4. Komunikasinya berlangsung satu arah Komunikasi dalam komunikasi massa berlangsung satu arah. Artinya, komunikasi berlangsung dari media massa ke khalayak, namun tidak terjadi sebaliknya. Respon yang diberikan oleh khalayak tidak terjadi langsung pada saat komunikasi tersebut berlangsung.Meskipun terkadang terjadi dua arah, namun tidak kepada semua khalayak.Misalnya, telepon interaktif yang dilakukan pembawa acara dan khalayak. 5. Komunikasi massa menimbulkan keserempakan
Universitas Sumatera Utara
Salah satu ciri komunikasi selanjutnya adalah bahwa dalam komunikasi massa itu ada keserempakan. Serempak disini berarti khalayak bisa menikmati media massa tersebut secara bersamaan. 6. Komunikasi mengandalkan peralatan teknis Media massa sebagai alat utama dalam menyampaikan pesan kepada khalayaknya sangat membutuhkan bantuan peralatan teknis. Peralatan teknis yang dimaksud misalnya pemancar untuk media elektronik. 7. Komunikasi massa dikontrol oleh Gatekeeper Gatekeeper atau yang sering disebut pentapis informasi/ palang pintu/ penjaga gawang, adalah orang yang sangat berperan dalam penyebaran informasi melalui media massa. Gatekeeper ini berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami. II.2.2. Fungsi Komunikasi Massa Menurut
Karnilah
fungsi
komunikasi
massa
secara
khusus
(Ardianto,2004:19-23) terdiri dari : a. Fungsi informasi b. Fungsi pendidikan c. Fungsi mempengaruhi d. Fungsi proses pengembangan mental e. Fungsi adaptasi lingkungan f. Fungsi memanipulasi lingkungan II.3. TEORI DRAMATISME
Universitas Sumatera Utara
Teori dramatisme adalah teori yang mencoba memahami tindakan kehidupan manusia sebagai drama.Dramatisme, sesuia dengan namanya, mengonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah drama, menempatkan suatu focus kritik pada adegan yang diperlihatkan oleh berbagai pemain.Seperti dalam drama, adegan dalam kehidupan adalah penting dalam menyingkap motivasi manusia.Dramatisme memberikan kepada kita sebuah metode yang sesuai untuk membahas tindakan komunikasi antara teks dan khalayak untuk teks, serta tindakan di dalam teks itu sendiri. Drama adalah metafora yang berguna bagi ide-ide Burke untuk tiga alasan: (1) drama menghasilkan cakupan yang luas, dan Burke tidak membuat klaim yang terbatas; tujuannya adalah untuk berteori mengenai keseluruhan pengalaman manusia. Metafora dramatis khususnya berguna dalam menggambarkan hubungan manusia karena didasarkan pada interaksi atau dialog. (2) drama cenderung untuk mengikuti tipe-tipe atau genre yang mudah dikenali: komedi, musical, melodrama dan lainnya. Burke merasa bahwa cara kita membentuk dan menggunakan bahasa dapat berhubungan dengan cara drama manusia ini dimainkan. (3) drama selalu ditujukan pada khalayak. Drama dalam hal ini bersifat retoris.Burke memandang sastra sebagai “peralatan untuk hidup”, artinya bahwa literature atau teks berbicara pada pengalaman hidup orang dan masalah serta memberikan reaksi untuk menghadapi pengalaman ini.Dengan demikian, kajian dramatisme mempelajari cara-cara dimana bahasa dan penggunaannya berhubungan dengan khalayak. Asumsi Dramatisme
Universitas Sumatera Utara
1. Manusia adalah hewan yang menggunakan symbol. Beberapa hal yang dilakukan manusia dimotivasi oleh naluri hewan yang ada dalam diri kita dan beberapa hal lainnya dimotivasi oleh symbol-simbol.Dari semua symbol yang digunakan manusia yang paling penting adalah bahasa. 2. Bahasa dan symbol membentuk sebuah system yang sangat penting bagi manusia. Sapir dan Whorf menyatakan bahwa sangat sulit untuk berfikir mengenai konsep atau objek tanpa adanya kata-kata bagi mereka. Jadi, orang dibatasi (dalam batas tertentu) dalam apa yang dapat mereka pahami oleh karena batasan bahasa mereka. Ketika manusia menggunakan bahasa, mereka juga digunakan oleh bahasa tertentu.Ketika bahasa dari suatu budaya tidak mempunyai symbol untuk motif tertentu, maka pembicara yang menggunakan bahasa tersebut juga cenderung untuk tidak memiliki motif tersebut. Kata-kata, pemikiran, dan tindakan memiliki hubungan yang sangat dekat satu sama lain. 3. Manusia adalah pembuat pilihan. Dasar utama dari dramatisme adalah pilihan manusia. Hal ini ada keterikatannya dengan konseptualisasi akan agensi (agency), atau kemampuan actor sosial untuk bertindak sebagai hasil pilihannya.
Dramatisme sebagai Retorika Baru Dramatisme merupakan retorika baru.Bedanya dengan retorika lama adalah retorika baru lebih menekankan pada identifikasi dan hal ini dapat mencakup faktor-faktor yang secara parsial “tidak sadar” dalam mengajukan pernyataannya
Universitas Sumatera Utara
disamping retorika yang lama menekankan pada persuasi dan desain yang terencana. Identifikasi dan Substansi Substansi (sifat umum dari sesuatu) dapat digambarkan dalam diri seseorang dengan mendaftar karakteristik demografis serta latar belakang dan fakta mengenai situasi masa kini, seperti bakat dan pekerjaan.Burke berargumen bahwa ketika terdapat ketumpangtindihan antara dua orang dalam hal substansi mereka, mereka mempunyai identifikasi (ketika dua orang memiliki ketumpangtindihan pada substansi mereka).Semakin besar ketumpangtindihan yang terjadi, makin besaridentifikasi yang terjadi.Kebalikannya juga benar, semakin kecil tingkat ketumpangtindihan individu, makin besar pemisahan (ketika dua orang gagal untuk mempunyai ketumpangtindihan dalam substansi mereka).Walaupun demikian, pada kenyataannya dua orang tidak dapat sepenuhnya memiliki ketumpangtindihan satu dengan lainnya. Burke sadar akan hal ini dan menyatakan bahwa “ambiguitas substansi” menyatakan bahwa identifikasi akan selalu terletak pada kesatuan dan pemisahan. Para individu akan bersatu pada masalah-masalah substansi tertentu tetapi pada saat bersamaan tetap unik, keduanya “disatukan dan dipisahkan”. Selanjutnya Burke mengindikasikan bahwa retorika dibutuhkan untuk menjembatani pemisahan dan membangun kesatuan. Burke merujuk proses ini sebagai konsubstansiasi (ketika permohonan dibuat untuk meningkatkan ketumpangtindihan antara orang), atau meningkatkan identifikasi mereka satu sama lain. Proses Rasa Bersalah dan Penebusan
Universitas Sumatera Utara
Konsubstansiasi, atau masalah mengenai identifikasi dan substansi, berhubungan dengan siklus rasa bersalah/penebusan karena rasa bersalah dapat dihilangkan sebagai hasil identifikasi dan pemisahan. Bagi Burke, proses rasa bersalah dan penebusan mengamankan keseluruhan konsep simbolisasi. Rasa bersalah (tekanan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang menyebalkan lainnya) adalah motif utama untuk semua aktifitas simbolik, dan Burke mendefinisikan rasa bersalah secara luas untuk mencakup berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang tidak menyenangkan lainnya. Hal yang sama dalam teori Burke adalah bahwa rasa bersalah adalah sifat intrinsic yang ada dalam kondisi manusia. Karena it uterus merasa bersalah, kita juga terus berusaha untuk memurnikan diri kita sendiri dari ketidaknyamanan rasa bersalah. Proses merasa bersalah dan berusaha untuk menghilangkannya ada di dalam siklus Burke, yang mengikuti pola yang dapat diprediksi: 1. Tatanan atau hierarki (peringkat yang ada dalam masyarakat terutama karena kempuan kita untuk menggunakan bahasa). 2. Negatifitas (menolak tempat seseorang dalam tatanan sosial; memperlihatkan resistensi). 3. Pengorbanan (cara dimana kita berusaha untuk memurnikan diri kita dari rasa bersalah yang kita rasakan sebagai bagian dari menjadi manusia). Ada dua metode untuk memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan diri sendiri) dan pengkambinghitaman (salah satu metode untuk memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan orang lain).
Universitas Sumatera Utara
4. Penebusan (penolakan sesuatu yang tidak bersih dan kembali pada tatanan baru setelah rasa bersalah diampuni sementara). Pentad Selain mengembangkan teori dramatisme, Burke menciptakan suatu metode untuk menerapkan teorinya terhadap sebuah pemahaman aktifitas simbolik.Metode tersebut adalah pentad (metode untuk menerapkan dramatisme). Hal-hal ini yang diperhatikan untuk menganalisis teks simbolik, yaitu: 1. Tindakan (sesuatu yang dilakukan oleh seseorang). 2. Adegan (konteks yang melingkupi tindakan). 3. Agen (seseorang atau orang-orang yang melakukan tindakan). 4. Agensi (cara-cara yang digunakan oleh agen untuk menyelesaikan tindakan). 5. Tujuan (hasil akhir yang dimiliki agen dari suatu tindakan, yaitu mengapa tindakan dilakukan). 6. Sikap (cara dimana agen memposisikan dirinya dibandingkan dengan orang lain). Kita menggunakan pentad untuk menganalisis sebuah interaksi simbolik, penganalisis pertama-tama menentukan sebuah elemen dari pentad dan mengidentifikasi apa yang terjadi dalam suatu tindakan tertentu. Setelah memberikan label pada poin-poin dari pentad dan menjelaskannya secara menyeluruh, analisis kemudian mempelajari rasio dramatistik (proporsi dari satu elemen pentad dibandingkan dengan elemen lainnya).
Universitas Sumatera Utara
II.4.PARADIGMA KONSTRUKTIVISME Konsep mengenai konstruktivisme pertama kali diperkenalkan oleh, Peter L. Berger. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya ia dibentuk dan dikonstruksi. Dalam pemahaman ini berarti realitas berwajah ganda atau plural.Realitas bukan merupakan realitas tunggal yang bersifat statis dan final, melainkan realitas yang bersifat dinamis dan dialektis. Kenyataan itu bersifat plural karena adanya realtivitas sosial dari apa yang disebut pengetahuan dan kenyataan. Semua orang bisa saja mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Karena setiap orang
mempunyai pengalaman, preferensi,
pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu. Selain plural, konstruksi juga bersifat dinamis (Eriyanto, 2002 : 16). Sebagai hasil dari konstruksi sosial maka realitas tersebut merupakan realitas subjektif dan sekaligus realitas objektif.Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dengan objek.Setiap individu mempunyai latar belakang yang berbeda, status pendidikan yang berbeda, dan lingkungan yang berbeda yang bisa menghasilkan penafsiran yang berbeda pula ketika berhadapan dengan suatu objek. Sebaliknya, realitas itu juga mempunyai dimensi objektif-sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada di luar- atau dalam istilah Berger, tidak dapat kita tiadakan dengan angan-angan (Eriyanto, 2002 : 16). Hal itu misalnya dapat dilihat dari rumusan, intitusi, aturan-aturan yang ada, dan sebagainya. Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi social yang diciptakan oleh individu. Namun
Universitas Sumatera Utara
demikian, kebenaran suatu realitas social bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku social. (Bungin, 2007 : 81) Sebuah teks berupa berita tidak bisa kita samakan seperti sebuah kopi dari realitas, ia haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan bisa saja mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan itu dapat dilihat dari bagaiman mereka mengkonstruksi peristiwa tersebut, yang diwujudkan dalam teks berita.Berita dalam pandangan konstruksi social, bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil.Realitas bukan hanya dioper begitu saja sebagai berita.Ia adalah produksi interaksi antara wartawan dengan fakta. Dalam proses internalisasi, wartawan dilanda oleh realitas. Realitas diamati oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan. Dalam proses eksternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut (Eriyanto, 2002 : 17). Demikian halnya ketika seorang wartawan melakukan wawancara, ketika dia mewancarai seorang narasumber, di sana terjadi interaksi atara wartawan dengan narasumber. Realitas yang terbentuk dari wawancara tersebut adalah produk interaksi antara keduanya. Realitas hasil wawacara bukan hasil operan antara apa yang dikatakan oleh narasumber dan yang ditulis sedemikian rupa ke dalam berita. Di sana juga ada proses eksternalisasi: pertanyaan yang diajukan dan penggambaran yang dibuat oleh wartawan yang membatasi pandangan narasumber. Belum termasuk bagaimana hubungan dan kedekatan antara
Universitas Sumatera Utara
wartawan dengan narasumber. Proses dialektis diantara keduanya yang menghasilakn wawancara yang kita baca di surat kabar atau kita lihat di televisi. Karena sifat dan fkatanya bahwa pekerja media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan disiarkan. Media meyusun realitas dari berbagai peistiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacan yang bermakna.Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas sehingga membentuk suatu cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna (Hamad, 2004 :11). Media Dan Berita Dilihat Dari Paradigma Konstruksionis Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. (Eriyanto, 2002 : 19) Fakta/Peristiwa Adalah Hasil Konstruksi.Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif.Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan.Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu.Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda.Dalam konsepsi positivis diandaikan ada realitas yang bersifat “eksternal” yang ada dan hadir sebelum wartawan meliputnya.Jadi ada realitas yang bersifat objektif, yang harus diambil dan diliput wartawan.Pandangan semacam ini sangat bertolak belakang dengan pandangan
Universitas Sumatera Utara
konstruksionis.Fakta atau realitas bukanlah sesuatu yang tinggal di ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita.Fakta/realitas pada dasarnya dikonstruksi. Realitas bukanlah sesuatu yang terberi, seakan-akan ada, reaslitas sebaliknya diproduksi . Karena realitas itu diproduksi dan ditampilkan secara simbolik, maka realitas tergantung pada bagaimana ia dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi. Pikiran dan konsepsi kitalah yang yang membentuk dan mengkreasikan fakta. Fakta yang sama bisa menghasilkan yang berbeda-beda ketika ia dilihat dan dipahami dengan cara yang berbeda. Media Adalah Agen Konstruksi.Pandangan konstruksionis mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan positivis dalam menilai media.Dalam pandangan positivis media dilihat sebagai saluran.Media adalah sarana bagaimana pesan disampaikan dari komunikator kepada komunikan.Media disini murni dilihat sebagai saluran, tempat bagaimana transaksi pesan dari semua pihak yang terlibat dalam berita.Pandangan semacam ini, tentu saja melihat media bukan sebagai agen, melainkan hanya sebagai saluran.Media dilihat sebagai sarana yang netral.Media tidak berperan sebagai pembentuk realitas, yang ditampilkan dalam pemberitaan itu lah yang sebenarnya terjadi.Media hanya sebagai saluran untuk menggambarkan realitas atau peristiwa. Dalam pandangan konstruksionis, media dilihat sebaliknya. Media bukanlah sebagai saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi social yang mendefenisikan realitas.Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat
Universitas Sumatera Utara
sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri.Lewat berbagai instrument yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan.Yang tersaji dalam media adalah produk dari pembentukan realitas oleh media.Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak. Berita Bukan Refleksi Dari Realitas. Ia Hanyalah Konstruksi Dari Realitas. Dalam pandangan positivis, berita adalah informasi.Ia dihadirkan kepada khalayak sebagai representasi dari kenyataan. Kenyataan itu ditulis dan ditransformasikan lewat berita.Tetapi dalam pandangan konstruksionis, berita itu ibaratnya seperti sebuah drama.Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antar berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Seperti sebuah drama, dalam berita ada pihak yang didefinisikan sebagai pahlawan dan ada pihak yang didefinisikan sebagai musuh.Semua itu dibentuk layaknya sebuah drama yang dipertontonkan kepada publik. Dalam pandangan kaum positivis, berita adalah refleksi dan percerminan dari realitas, karenanya ia harus mencerminkan realitas
yang hendak diberitakan. Menurut kaum
konstruksionis, berita adalah hasil konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai wartawan atau media.Suatu realitas bisa diangkat menjadi berita tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi mengahasilkan berita yang berbeda, karena ada cara melihat yang berbeda. Perbedaan antara realitas yang sesungguhnya dengan berita tidak dianggap salah, tetapi sebagai suatu kewajaran.Berita bukanlah reprensentasi dari realitas.Berita
Universitas Sumatera Utara
yang kit abaca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah buku jurnalistik. Semua proses konstruksi (mulai dari pemilihan fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak. Berita
Bersifat
Subjektif/Konstruksi
Atas
Realitas.Pandangan
konstrusionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas jurnalistik.Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standar yang rigid, seperti halnya positivis.Hal ini karena berita merupakan hasil dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemeknaan seseorang terhadap suatu realitas bisa berbeda dengan orang lain, yang tentunya bisa menghasilkan realitas yang berbeda pula. Karenanya ukuran yang baku dan standar tidak bisa dipakai. Kalau ada perbedaan antara realitas yang sebenarnya dengan berita itu bukan merupakan suatu kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas realitas. Wartawan Bukan Pelapor. Ia Agen Konstruksi Realitas. Wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan baguian intrinsik dalam pembentukan berita. Lagipula, berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Dalam banyak kasus: topic apa yang diagkat dan siapa yang diwancarai, disediakan oleh kebijakan redaksional tempat wartawan bekerja, bukan semata-mata bagian dari pilihan profesional individu. Dalam pandangan konstruksionis wartawan juga dipandang sebagai aktor/agen konstruksi.Watawan bukan hanya melaporkan fakta, tapi juga turut mendefenisikan peristiwa. Sebagai aktor sosial, wartawan turut mendefinisikan apa yang terjadi, dan secara aktif
Universitas Sumatera Utara
membentuk peristiwa dalam pemahaman mereka. Waratawan bukanlah pemulung yang mengambil fakta begitu saja.Karena dalam kenyataannya, tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan objektif, yang berada di luar diri wartawan.Realitas bukanlah sesuatu yang berada di luar yang objektif, yang benar, yang seakan-akan ada sebelum diliput wartawan. Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses konstruksi berlangsung. Realitas itu sebaliknya, bersifat subjektif, yang terbentuk dari hasil pemaknaan dan pemahaman subjektif dari wartawan. Saat seorang wartawan menulis berita, ia sebetulnya membuat dan membentuk dunia, membentuk realitas. Berita adalah transaksi antara wartawan dengan sumber. Realitas yang terbentuk dalam pemberitaan bukanlah apa yang terjadi dalam dunia nyata. Melainkan relasi antara wartawan dengan sumber dan lingkungan sosial yang membentuknya. Etika, Pilihan Moral, dan Keberpihakan Wartawan Adalah Bagian yang Integral Dalam Produksi Berita. Aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemeberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada suatu kelompok atau nilai tertentuumumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu-adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Wartawan disini bukan hanya sebagai pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipan dari keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Karena fungsinya tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas, tetapi mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati.
Universitas Sumatera Utara
Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri Atas Berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif.Ia juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Dalam bahasa Stuart Hall (dalam Eriyanto, 2005:36), makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan/berita yang dibaca oleh pembaca.Makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi).Makana lebih tepat diapahami bukan sebagai transmisi (penyebaran) dari pembuat berita ke pembaca.Ia lebih tepat diapahami sebagai suatu praktik penandaan. Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama. Kalau saja ada makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi. II.5. ANALISIS FRAMING Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Sobur,2004: 162). Framing adalah sebuah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan
sedemikian
rupa
untuk
ditampilkan
kepada
khalayak
pembaca.Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik khalayak pembaca. Frame media pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan frame dalam pengertian sehari-hari yang sering kita lakukan. Frame media adalah bentuk yang muncul dari pikiran (kognisi), penafsiran dan penyajian dari seleksi dan penekanan dengan menggunakan simbol-simbol yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan secara teratur dalam wacana yang terorganisir baik dalam bentuk verbal maupun visual. Ada dua aspek penting dalam framing.Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan kepada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan, yaitu apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu penempatan yang menyolok, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi simplifikasi dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Prinsip analisis framing menyatakan bahwa terjadi proses seleksi dan penajaman terhadap dimensi-dimensi tertentu dari fakta yang terberitakan dalam media. Fakta tidak ditampilkan secara apa adanya, namun diberi bingkai (frame) sehingga menghasilkan konstruksi makna yang spesifik. Jadi, analisis framing merupakan analisis untuk mengkaji pembingkaian realitas yang dilakukan media. Pembingkaian tersebut merupakan proses
Universitas Sumatera Utara
konstruksi yang artinya realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan cara dan makna tertentu. Framing digunakan media untuk menonjolkan atau memberi penekanan aspek tertentu sesuai kepentingan media. Dalam penelitian ini model framing yang digunakan adalah model ”pisau analisis” framing Robert Entman. Konsep framing oleh Entman digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Framing memberi tekanan pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang ditonjolkan atau dianggap penting oleh pembuat teks.Kata penonjolan itu sendiri dapat didefinisikan membuat informasi lebih terlihat jelas, lebih bermakna atau lebih mudah diingat oleh khalayak. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas. Seleksi isu berkaitan dengan pemilihan fakta, sedangkan penonjolan aspek-aspek tertentu dari isu berkaitan dengan penulisan fakta. Dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan strategi wacanapenempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi dan lain-lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi
Universitas Sumatera Utara
berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti atau lebih diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. Frame berita timbul dalam dua level, yaitu: 1. Konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi dan sebagai karakteristik dari teks berita. 2. Perangkat spesifik dari narasi berita yang dipakai untuk membangun pengertian mengenai peristiwa. Frame berita dibentuk dari kata kunci, metafora, konsep, simbol, citra yang ada dalam narasi berita. Karenanya, frame dapat dideteksi dan diselidiki dari kata, citra dan gambar tertentu yang memberikan makna tertentu dari teks berita. Entman mengonsepsikan dua dimensi besar tersebut dalam sebuah perangkat framing, yaitu, (Eriyanto, 2002: 186-191): a. Defining Problems atau definisi masalah adalah elemen pertama kali dapat kita lihat dalam analisis framing. Elemen ini merupakan master frame atau bingkai paling utama. Di tahapan inilah awal berita dikonstruksi sehingga dalam sebuah berita diteliti apakah yang menjadi pokok masalah terhadap sebuah isu, wacana atau peristiwa yang diliput, diberitakan dan peristiwa dipahami oleh wartawan. b. Diagnose Causes atau memperkirakan sumber masalah adalah bagaimana sebuah media membungkus siapakah aktor atau pelaku yang menyebabkan sebuah masalah timbul. Di sini penyebab bisa berarti apa (what), tetapi
Universitas Sumatera Utara
bisa juga aspek siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Karena itu, masalah yang dipahami secara berbeda, penyebab masalah secara tidak langsung juga akan dipahami secara berbeda pula. c. Make Moral Judgement/Evaluation atau keputusan moral adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberikan argumen atas pendefinisian masalah yang telah dibuat, ketika masalah dan penyebab masalah telah ditentukan, maka dibutuhkan argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. d. Treatment Recommendation atau menekankan penyelesaian merupakan elemen framing yang dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Sebuah pesan moral baik secara eksplisit atau implisit bagaimana seharusnya sebuah masalah atau peristiwa itu diselesaikan, ditanggulangi, diantisipasi dan dihindari.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III.1. DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN III.1.1. SEJARAH DAN PROFIL SINGKAT METRO TV
Universitas Sumatera Utara