JURNAL AKUNTANSI UNIVERSITAS JEMBER Vol 4, No 2. Desember 2006. ISSN: 1693-2420 HUBUNGAN SEBAB AKIBAT TUJUAN STRATEGIK PERUSAHAAN ANTAR EMPAT PERSPEKTIF BALANCED SCORECARD: (CONTOH KASUS PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM (PDAM) KABUPATEN “X”) Muhammad Miqdad ABSTRACT In implementation Balanced Scorecard (BSC), the first step that has to be developed is the stipulating of strategic objective orienting at the vision and mission of the company. The Vision and mission formulated into fourth perspective (financial perspective, customer perspective, internal business process perspective and learning and growth perspective) to be determined size measuring of its performance not only for lag indicator but also lead indicator at each strategic objective. In other word, the BSC approach is a comprehensive performance measuring system; it is not only measure at outcome measures but also measure at performance drivers. To implement BSC in order that can be utilizable, it can be recommended by several things in the following are; 1) Commitment of management, 2).the authority that owned by management, 3) supporting local government (PEMDA), 4) the reliability of performance information system. Keywords: Balanced Scorecard, Financial perspective, Customer Perspective, Internal Business Process Perspective and Learning and Growth Perspective
I. LATAR BELAKANG Sistem pengelolaan pemerintahan mengalami perubahan yang sangat mendasar (substansial)
ketika diberlakukannya UU Nomor
22 tentang Pemerintah Daerah
(PEMDA) dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yaitu dari sentralistik menuju desentraliasi. Kedua UU tersebut kemudian diperbaharui dengan UU No 32 dan 33 tahun 2004, kedua UU ini beserta perubahannya menjadi driver terhadap tuntutuan pengelolaan pemerintahan dan keuangan daerah untuk lebih transaparan dan memenuhi tuntutan akuntabilitas publik. Semangat dari kedua UU tersebut adalah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat (social welfare), karena melalui ke 2 (dua) UU tersebut Pemerintah Propensi/Kabupaten/Kota
memiliki
kewenangan penuh dalam mengelola rumah tangga sendiri. Sejak OTODA istilah sektor publik dalam teminologi ”governmet” menjadi sering dibicarakan oleh banyak kalangan. Sektor publik sering dipahami sebagai suatu
aturan pelengkap pemerintah yang mengakumulasi
”hutang sektor publik”
dan
”permintaan pinjaman sektor publik” untuk suatu tahun tertentu (Rowan Jones, 1996). Pemahaman ini memaknai sektor publik sebagai suatu pengelolaan pemerintahan (government) yang dilihat dari sudut pandang ekonomi dan politik. Pandangan lain, sektor publik dimaknai dari sisi kebijakan publik. Sektor publik adalah berkaitan dengan tuntutan pajak, birokrasi yang berlebihan, pemerintahan yang besar dan nasionalisasi dan privatisasi. Pandangan ini memiliki dua (2) dimensi yaitu dalam arti luas, sektor publik dimaknai sebagai manajemen (pengelolaan) negara, dan dalam arti sempit sektor
publik identik dengan kebijakan pemerintah berkaitan dengan
perpajakan. Di sektor publik sudah banyak usaha untuk melakukan perbaikan dalam menggunakan sistem pengukuran kinerja sebagai alat untuk meningkatkan akuntabilitas dan perbaikan dalam pengambilan keputusan. Pemerintah sedang dihadapkan pada usaha-usaha untuk mengimplementasikan sistem pengukuran kinerja baru yang lebih bersifat strategik. Sebagai contoh, di Amerika GPRA 1993 meminta para
eksekutif
pemerintah
untuk
menjelaskan
tujuan-tujuan
strategik
dan
mengembangkan ukuran-ukuran yang berorientasi pada hasil. Prakarsa-prakarsa seperti ini juga muncul di negara-negara seperti Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris, dan negara-negara yang lain. Karena itu, Pemerintah daerah berkewajiban untuk mengatur dan mengelola kekayaan dan kewajiban yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Tahun 1990an pada tataran pemerintah berkembang paradigma baru yakni re-inventing governance. Paradigma ini membawa perubahan substansial dalam pengelolaan Pemerintahan yaitu dari bersifat birokratis menuju pengelolaan yang bersifat effisien dan effektif seperti mengelolan Bussiness Entity. Permasalahan-permasalahan umum yang dihadapi oleh Perusahaan milik pemerintah (BUMN dan BUMD) adalah adanya ineffisiensi, kinerja keuangan yang kurang maksimal, kurang transparan, gaya manajemen yang lambat dalam merespon lingkungan usaha. Upaya yang bisa dilakukan adalah dalam menghadapi hal tersebut adalah dengan cara melakukan perbaikan yang terus menerus (continuous improvement) dari berbagai aspek/sisi, tentunya dengan strategi manajemen yang jitu dan pengelolaan secara profesional. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mendisain sistem pengukuran kinerja modern yang tidak hanya fokus pada ukuran-ukuran keuangan, tapi juga ukuran-ukuran non keuangan, yang dikenal
dengan “Balanced Scorecard (BSC)”. BSC memiliki keistimewaan dalam hal pengukurannya yang lebih kompetitif, karena selain mempertimbangkan aspek-aspek finansial juga mempertimbangkan aspek-aspek non-finansial. Selain itu, BSC tidak hanya mengukur hasil akhir (outcome measures) saja tetapi juga mengukur aktivitas-aktivitas penentu hasil akhir (performance drivers). Outcomes measures tanpa performance drivers tidak dapat mengkomunikasikan bagaimana suatu hasil dicapai, dan juga tidak dapat memberikan indikasi tentang apakah strategi telah diimplementasikan dengan baik (Kaplan & Norton, 1996). BSC juga memberikan hubungan sebab akibat antar tujuan-tujuan strategik yang ditetapkan suatu organisasi sehingga dapat dilihat bagaimana suatu tujuan strategik dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tujuan strategik yang lain dalam konteks pencapaian target yang telah ditentukan. Bahkan dipertegas lagi oleh pendapat Peter Drucker bahwa ukuran-ukuran kineja keuangan bersifat jangka pendek, dan kurang mempertimbangkan aspek non finansial yang justru sangat menentukan bagi pelaksanaan going concern perusahaan. Pada tahun 1990, Nolan Norton Institute, bagian riset Kantor Akuntan Publik KPMG di USA, yang dipimpin oleh David P.Norton, menyeponsori studi tentang “ Pengukuran Kinerja dalam Organisasi Masa Depan”. Hasil studi dimuat dalam satu artikel yang berjudul “Balanced Scorecard Measures”; The Drive Performance” dalam Harvard Business Review (Januari-Februari 1992), hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa untuk mengukur kinerja eksekutif di masa depan, diperlukan ukuran komprehensif yang mencakup 4 (empat) perspektif; 1) perspektif keuangan (financial perspective), 2) perspektif pelanggan (customers perspective), 3) perspektif proses bisnis internal (Internal Business Process) dan 4). perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (Learning and Growth Perspective). II. FAKTOR PENGHAMBAT DALAM RENCANA-RENCANA BISNIS Setiap organisasi memiliki suatu visi yang ingin dicapai. Visi tersebut akan dituangkan dalam rencana-rencana bisnis strategis (Corporate Plan). Rencana bisnis strategis tersebut merupakan sekumpulan tindakan terintegrasi yang menjadi panduan bagi organisasi dalam menjalankan kegiatannya. Dengan melaksanakan rencana bisnis strategis bisnis, maka kegiatan organisasi akan lebih terarah dan lebih memungkinkan pencapaian hasil yang berkelanjutan bagi organisasi yang konsisten dengan visi
jangka panjang organisasi. Permasalahan yang sering muncul adalah banyak organisasi yang belum mampu membuat dan mengimplementasikan rencana bisnis strategis dengan baik. Menurut Balanced Scorecard Collaborative dalam Gaspersz (2002), terdapat empat faktor penghambat dalam implementai rencana-rencana bisnis strategis, yaitu: 1. Hambatan Visi (Vission Barrier) Banyak organisasi yang tidak memahami visi jangka panjang organisasinya. Akibatnya pihak manajemen organisasi tidak mampu membuat rencana bisnis strategis yang konsisten dengan visi jangka panjang perusahaan. Perencanaan strategis yang buruk akan menyebabkan hasil implementasi yang tidak memuaskan. Selain itu, rencana strategis yang dibuat juga harus disosialisasikan kepada karyawan yang merupakan implementator dari rencana strategis tersebut. Jika karyawan tidak memahami rencana strategis dengan baik, maka hasil implementasinya juga tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan survei, hanya sekitas 5% karyawan yang memahami strategi perusahaan mereka. 2. Hambatan Orang (People Barrier) Suatu organisasi memiliki komponen yang sangat kompleks didalamnya. Diantaranya adalah manajemen dan karyawan yang menjadi salah satu bagian penting dalam organisasi. Banyak orang dalam organisasi memiliki tujuan yang tidak terkait dengan strategi organisasi. Perbedaan tujuan tersebut dapat menjadi penghambat dalam implementasi strategi bisnis jika tujuan orang-orang tersebut bertentangan dengan tujuan organisasi. Berdasarkan survei, hanya sekitar 25% dari manajer yang memiliki insentif terkait dengan strategi organisasi mereka. 3. Hambatan Sumber Daya (Resource Barrier) Sering kali organisasi tidak mengalokasikan waktu, energi dan dana yang dimilikinya pada hal-hal yang penting dalam organisasi sesuai dengan strategi bisnis organisasi, sehingga menghasilkan pemborosan sumber daya. Berdasarkan survei, sekitar 60% organisasi tidak mengaitkan anggarannya dengan strategi perusahaan. 4. Hambatan Manajemen (Management Barrier) Terdapat kecenderungan dimana manajemen organisasi menghabiskan terlalu sedikit waktu untuk strategi organisasi jangka panjang dan terlalu banyak waktu untuk pembuatan keputusan taktis jangka pendek, artinya manajemen lebih berorientasi pada keuntungan jangka pendek perusahaan daripada pencapaian
tujuan jangka panjang perusahaan. Berdasarkan survei, sekitar 86% tim eksekutif menghabiskan waktu kurang dari satu jam per bulan untuk mendiskusikan strategi perusahaan mereka. III. PENGUKURAN KINERJA MELALUI EMPAT PERSPEKTIF DALAM
BALANCED SCORECARD
Pada dasarnya Balanced Scorecard merupakan sistem manajemen bagi perusahaan untuk berinvestasi dalam jangka panjang dari empat perspektif demi memperoleh hasil-hasil finansial yang memungkinkan keunggulan perkembangan organisasi secara berkelanjutan. Terdapat empat perspektif Balanced Scorecard yang dikaitkan dengan visi dan strategi organisasi, yaitu 1) perspektif keuangan (financial perspective), 2) perspektif pelanggan (customers perspective), 3) perspektif proses bisnis internal (Internal Business Process) dan 4). perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (Learning and Growth Perspective). Balanced Scorecard sebagai suatu manajemen kinerja ditunjukkan pada gambar 1 berikut: Perspektif Finansial Tujuan
Ukuran
Perspektif Pelanggan Tujuan
Ukuran
Target
Target
Inisiatif
Perspektif Proses Bisnis Internal
VISI dan MISI
Inisiatif
Tujuan
Ukuran
Target
Inisiatif
Perspektif Pembelajaran & Pertumbuhan Tujuan
Ukuran
Target
Inisiatif
Gambar 1. Balanced Scorecard sebagai Suatu Sistem Manajemen Kinerja
Dari bagan di atas tampak bahwa visi dan strategi organisasi dikaitkan secara seimbang dengan perspektif finansial, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis
internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Balanced Scorecard dimulai dari visi dan strategi organisasi yang didefinisikan dalam faktor-faktor kesuksesan yang penting. Dari faktor-faktor kesuksesan tersebut, dibangun ukuran-ukuran kinerja sebagai alat bantu untuk menetapkan target dan mengukur kinerja dalam empat perspektif tersebut. Pemahaman terhadap empat perspektif dalam Balanced Scorecard menjadi sangat penting agar organisasi mampu menerapkan konsep Balanced Scorecard dengan tepat dan berhasil. Berikut dijelaskan empat perspektif dalam Balanced Scorecard:
IV. PENGEMBANGAN TUJUAN STRATEGIS PERUSAHAAN MENJADI UKURAN-UKURAN KINERJA Strategi adalah seperangkat hipotesis mengenai hubungan sebab-akibat. Sistem pengukuran kinerja harus membuat hubungan (hipotesa) yang ada di antara berbagi tujuan strategik (dan ukuran) dalam berbagai perspektif secara eksplisit, sehingga dapat dikelola dan divalidasi. Rantai sebab-akibat harus meliputi keempat perspektif Balanced Scorecard. Berikut ini dikembangkan ukuran-ukuran kinerja perusahaan yang dikembangkan dari tujuan strategis perusahaan, dan bukan bersifat diagnostik dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Ukuran Kinerja dari Tujuan Strategis PDAM Kabupaten ”X” 1). Perspektif Keuangan Pertumbuhan Rasio Laba terhadap Aktiva Produktif Pengendalian biaya operasional Peningkatan pendapatan operasional (air dan non air) Peningkatan effektivitas penagihan Meningkatnya tingkat likuiditas Meningkatnya tingkat solvabalitas 2). Perspektif Pelanggan Peningkatan jumlah pelanggan Meningkatkan kepuasan customer 3). Perspektif Proses Bisnis Internal: Meningkatkan efisiensi operasional Mengurangi tingkat kehilangan air Meningkatkan kualitas dan kecepatan pelayanan Penambahan kapasitas produksi 4). Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran
Peningkatan produktivitas karyawan Meningkatkan kapabilitas dan keterampilan dan karyawan Meningkatkan iklim dan lingkungan kerja yang kondusif Meningkatkan kapabilitas sistem informasi
Dari tabel 1 kemudian dikembangkan kerangka Hubungan Sebab Akibat Tujuan Strategis PDAM Kabupaten “X”. Rantai sebab-akibat harus meliputi keempat perspektif Balanced Scorecard, yang secara rasional dapat dijelaskan pada gambar berikut:
Tingkat Likuiditas Meningkat
Tingkat Solvabilitas Meningkat
Pertumbuhan ROA,
Perspektif Keuangan
Pengendalian biaya operasional
Meningkatkan pendapatan operasional
Peningkatan Effektivitas Penagihan
Perspektif Pelanggan Meningkatkan jumlah customer
Meningkatkan kepuasan customer
Perspektif Proses Bisnis Internal Menekan tingkat kehilangan air
Perspektif Pertumbuhan Pembelajaran
Meningkatkan kapabilitas dan keterampilan karyawan
Meningkatkan efisiensi operasional
Produktifitas Pemanfaatan Instalasi
Produksi
Meningkatkan kualitas dan kecepatan pelayanan
Peningkatan Produktivitas Karyawan
Meningkatkan iklim dan lingkungan kerja yang kondusif
Meningkatkan kapabilitas sistem informasi
Gambar 1 Hubungan Sebab Akibat Tujuan Strategis antar Empat Perspektif Perusahan ”X”
V. Scorecard PDAM Kabupaten ”X” Dari hubungan sebab akibat antar tujuan strategik pada masing-masing perspektif kemudian ditentukan ukuran-ukuran kinerjanya, baik ukuran hasil (lag indicator) maupun ukuran pemicunya (lead indicator) pada masing-masing tujuan strategik. Berikut ini adalah formulir yang harus diisi dalam bentuk Kartu Skor (Scorecard) PDAM Kabupaten “X”. Pada kolom target dapat diisi sesuai dengan hasil yang ingin dicapai dalam periode tahun yang diinginkan. Sementara pada kolom realisasi diisi sesuai dengan hasil yang dapat dicapai pada periode tahun yang ditargetkan.
Tujuan Strategik
Tabel 2. Scorecard Perspektif Keuangan Tahun 200X Tahun 200X Ukuran Hasil Ukuran Pemicu Target Realisasi Target Realisasi
Perspektif Keuangan Peningkatan likuiditas Rasio Likuiditas Peningkatan Solvabilitas Rasio Solvabilitas Pertumbuhan ROA ROA Meningkatkan pendapatan operasional Persentase kenaikan pendapatan Pengendalian biaya operasional BOPO Peningkatan effektivitas penagihan
Effektivitas Penagihan
Tujuan Strategik
Tabel 3. Scorecard Perspektif Pelanggan Tahun 200X Ukuran Pemicu Ukuran Hasil Target Realisasi
Perspektif Pelanggan Peningkatan Jumlah pelanggan
Persentase penambahan jumlah pelanggan
Hasil survei Kepuasan pelangan
Peningkatan Kepuasan customer
Retensi customer
Hasil Survei Kepuasan Pelanggan
Tahun 200X Target
Realisasi
Tujuan Strategik
Tabel 4. Scorecard Perspektif Proses Bisnis Internal Tahun 200X Ukuran Hasil Ukuran Pemicu Target Realisasi
Perspektif Proses Bisnis Internal Mengurangi tingkat kehilangan air
Persentase Tingkat kehilangan air
Persentase kasus kebocoran yang ditangani
Meningkatkan efisiensi biaya operasional
Persentase biaya operasional terhadap pendapatan
Persentase jumlah akun-akun biaya operasional yang realisasinya di atas anggaran
Produktifitas Pemanfaatan Instalasi Produksi
Persentase Kapasitas produksi terhadap kapasitas terpasang
Persentase jumlah pelanggan Meningkatkan kualitas yang komplain dan kecepatan pelayanan
1). Kecepatan Penyambungan baru 2). Kemampuan penanganan pengaduan rata2 per bulan
Tahun 200X Target Realisasi
Tujuan Strategik
Tabel 5. Scorecard Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran Tahun 200X Ukuran Hasil Ukuran Pemicu Target Realisasi
Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran Meningkatkan kapabilitas dan keterampilan karyawan
Persentase inovasi-inovasi karyawan yang berhasil diterapkan
Frekuensi pelatihan per karyawan tiap tahun
Meningkatkan iklim dan lingkungan kerja yang kondusif
Kepuasan Karyawan
Persentase konflik internal yang dapat diselesaikan
Peningkatan kapabilitas sistem informasi
Kepuasan Karyawan
Pertumbuhan Investasi Sistem Informasi
Peningkatan Produktivitas Karyawan
Pendapatan per jumlah karyawan
Kepuasan Karyawan
Tahun 200X Target Realisasi
IV. REKOMENDASI dan PENUTUP 4.1. Rekomendasi Untuk mengimplementasi Balanced Scorecard (BSC) agar supaya dapat berdaya guna, dapat direkomendasikan beberapa hal berikut ini: 1) Komitmen manajemen; Hal yang sangat mendasar agar pengukuran kinerja dengan konsep BSC ini dapat berdaya guna adalah komitmen seluruh karyawan terutama manajemen tingkat atas dan menengah untuk benar-benar mengaplikasikan dan memanfaatkan informasi kinerja sebagai acuan dalam pengambilan keputusan maupun untuk aktivitas sehari-hari agar berorientasi pada hasil. 2) Otoritas Top manajemen; Diluar hal-hal teknis, dalam aplikasi pengukuran kinerja dibutuhkan otoritas manajer-manajer perusahaan maupun manajer-manajer divisi atau unit kerja untuk membuat keputusan yang didasarkan pada informasi kinerja. Otoritas ini penting karena kebijakan-kebijakan BUMD sering kali diintervensi oleh pihakpihak eksternal. 3) Dukungan Pemerintah Daerah; PEMDA sebagai pemilik BUMD diharapkan mendukung aplikasi pengukuran kinerja ini melalui Badan Pengawas. 4) Kemampuan sistem informasi kinerja; BSC dapat diaplikasikan jika manajemen memiliki atau mengembangkan sistem informasi yang berkaitan dengan data-data atau informasi-informasi kinerja. Sistem ini harus dirancang sedemikian hingga dari perolehan data, verifikasi data, sampai dengan pelaporannya. Dengan demikian data yang diperoleh maupun yang dilaporkan merupakan data yang valid dan reliabel. Selain itu dengan sistem informasi yang baik diharapkan kebutuhan data dapat tersedia pada saat dibutuhkan. Pelaporan kinerja dengan pendekatan BSC diharapkan dilakukan setiap semester (enam bulan sekali), yang dilaporkan kepada Bupati malalui Badan Pengawas.
4.2. PENUTUP Pedoman pengukuran kinerja PDAM Kabupaten “X” dengan pendekatan Balanced Scorecard (BSC) untuk dijadikan acuan bagi pihak manajemen dalam merumuskan ukuran-ukuran kinerja melalui 4 (empat perspektif), yaitu: Perpektif Keuangan (Financial Perpective), Perspektif Pelanggan (Customer Perspective), Perspektive Proses Bisnis/Internal ( Internal Business Process Perspective) dan Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan (Learning and Growth Process Perspective). Dalam implementasi BSC, hal yang pertama kali harus dikembangkan adalah penetapan tujuan strategik yang berorientasi pada visi dan misi perusahaan yang sudah ditetapkan. Kemudian dijabarkan dalam masing-masing perspektif ditentukan ukuran-ukuran kinerjanya, baik ukuran hasil (lag indicator) maupun ukuran pemicunya (lead indicator) pada masing-masing tujuan strategik. Dengan kata lain, ukuran-ukuran kinerja dengan pendekatan BSC bersifat komprehensif, tidak hanya mengukur hasil akhir (outcome measures) saja tetapi juga mengukur aktivitas-aktivitas penentu hasil akhir (performance drivers). Harapan kedepan, dengan mengadopsi sistem pengukuran kinerja modern ”Balanced Scorecard” kinerja PDAM Kabupaten “X” dapat meningkat terus dan menjadi lebih baik. Perbaikan yang terus-menerus (continuous improvement) di segala aspek adalah menjadi kunci keberhasilan (the key to success) manajemen PDAM Kabupaten “X” ke depan.
DAFTAR PUSTAKA Bastian, Indra, dan Soepriyanto., Gatot, Sistem Akuntansi Sektor Publik; Konsep untuk Pemerintah Daerah, Penerbit Salemba Empat, 2004 Building Institution for Good Governance (BIGG)/Internatioal City or County Management Associaton (ICMA), Membuat Sistem Pengukuran Kinerja, Bulletin BIGG-ICMA, Vol. Juli. 2001.
Jones., Rowan, dan Pendlebury., Maurice, Public Accounting Sector, Pitman Publishing, London, 1996. Monika Kussetya C., 2000. Balanced Scorecard Sebagai Pengukuran Kinerja Masa Depan: Suatu Pengantar, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Universitas Petra Surabaya. Mulyadi, 2001. Balanced Scorecared; Alat Manajemen Kontemporer untuk Pelipatganda Kinerja Keuangan Perusahaan, Edisi Ke-2, Penerbit Salemba Empat. Muhammad Miqdad, 2002, Anggaran Kinerja Daerah (Performance Budget): Suatu Paradigma Baru Dalam Penyusunan Anggaran Daerah, Jurnal Ekonomi Akuntansi dan Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Jember. Sujtipto Ngumar, 2001, Menuju Good Governance Bagi Pemerintahan dan Perusahaan di Indonesia, Ekuitas Jurnal Ekonomi dan Keuangan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia, Surabaya. Vincent Gaspersz., 2002. Sistem Manajemen Terintegrasi : Balanced Scorecard dengan Six Sigma, untuk organisasi Bisnis dan Pemerintah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.