1
HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN FORGIVENESS PADA WARGA DEWASA AWAL YANG TIDAK AKTIF MENGIKUTI IBADAH NON-MINGGU DI GEREJA BETHEL INDONESIA (GBI) BANDUNG
OLEH ZEFANYA JANUARI CHRISTINA 802011096
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
1
2
3
4
5
PENDAHULUAN Akhir-akhir ini perilaku forgiveness ini banyak dibahas. Perilaku ini sangat positif bagi individu, meskipun forgiveness tidak menghilangkan rasa sakit namun setelah memaafkan individu dapat menyadari bahwa bila perasaan negatif yang muncul akan membuat situasi semakin buruk bukan membaik. Forgiveness adalah sama dengan rela memaafkan. Dengan rela memaafkan berarti kita bersedia untuk menanggalkan masa lalu yang menyakitkan (Jampolsky, 2001). Dalam kehidupan sehari-hari perilaku memaafkan merupakan suatu hal yang dianggap baik. Dalam Wikipedia (2010) dijelaskan bahwa forgiveness merupakan norma yang diajarkan dalam setiap agama dan setiap agama memiliki konsep yang berbeda mengenai forgiveness. Dalam berinteraksi dengan individu lain, seseorang terkadang berbuat salah kepada individu lain. Di sisi lain, individu tentu pernah mengalami perlakuan dan situasi yang mengecewakan atau menyakitkan. Pada warga dewasa awal yang dari sisi pekembangan psikologis telah berada pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak maupun remaja, namun tampaknya para warga dewasa muda tidak terlepas dari masalah tersebut. Usia menuju kedewasaan tidak hanya terfokus pada menjadi seorang individu, tetapi juga pada saat yang sama mereka menempatkan pentingnya teman sebaya dan hubungan romantik. Sehingga ketika terjadinya penolakan dari teman sebaya, tidak memiliki hubungan romantik yang baik, dan mendapatkan bullying atau dalam kasus di rumah biasanya mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari keluarga, adanya kekerasan maka perasaan negatif akan timbul dalam diri individu. Menurut Erik Erikson pada masa dewasa awal konflik yang mendasar adalah keintiman versus kesendirian. Mereka perlu membangun hubungan
6
dengan orang lain. Orang dewasa muda perlu membentuk hubungan dan cinta dengan orang lain. Keberhasilan memunculkan hubungan kuat, sedangkan kegagalan menghasilkan kesepian dan kesendirian. Hal-hal tersebut pula yang seringkali menimbulkan perasaan-perasaan negatif pada diri individu. Namun forgiveness merupakan sesuatu yang tidak mudah dilakukan karena harus melibatkan dua faktor, yaitu harus menghilangkan motivasi membalas dendam dan menghilangkan motivasi untuk menjauhi orang yang menyakiti (McCullough, 1999). Forgiveness tidak hanya menghilangkan perasaan negatif saja, namun juga harus mengembalikan perasaan positif terhadap pelakunya (Worthington, 1998). Memaafkan memiliki tujuan untuk mengembangkan hubungan yang baik, antara dua orang. Selanjutnya memaafkan juga bertujuan untuk membebaskan diri dari perasaanperasaan negatif dan membantu mengurangi keinginan untuk menghukum seseorang yang telah melakukan kesalahan. Demikian juga yang terjadi pada forgiveness pada warga dewasa awal di Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Bandung Jawa Barat. Fenomena yang terjadi ialah secara tidak disadari jemaat memunculkan suatu kelompok yang beranggotakan individu-individu yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas dan kelompok lainnya yang terdiri dari jemaat-jemaat yang terkenal aktif dalam setiap kegiatan keagamaan ataupun dalam pelayanan, sehingga hal tersebut memunculkan perasaan yang negatif pada jemaat yang tidak masuk dalam kriteria kelompok tersebut. Hal ini didukung oleh hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada subyek, ketika subyek pertama kali datang ke ibadah tersebut subyek merasa jemaat-jemaat lain menerima dirinya dengan terbuka tetapi subyek mengatakan bahwa semakin lama subyek mengikuti ibadah kaum muda tersebut maka semakin terasa adanya
7
kesenjangan dengan jemaat lainnya, kemudian subyek memutuskan untuk pindah jadwal ibadah dikarenakan sudah tidak memiliki kecocokan dengan ibadah kaum muda. Salah satu faktor yang memengaruhi forgiveness adalah religiusitas. Individu yang secara rutin melakukan setiap kegiatan keagamaan cenderung memiliki forgiveness dalam dirinya dikarenakan individu tersebut telah memahami peran agama dalam kehidupannya, namun perilaku forgiveness tidak hanya dimiliki oleh individu yang aktif mengikuti ibadah/kegiatan keagamaannya. Pada jemaat yang aktif mengikuti kegiatan keagamaan menunjukkan adanya perilaku forgiveness yang baik tetapi ada pula yang menunjukkan adanya perilaku forgiveness yang kurang baik. Hal itu terjadi pula pada jemaat yang tidak aktif mengikuti ibadah/kegiatan non-minggu. Peneliti berasumsi bahwa jemaat yang aktif dalam mengikuti ibadah/kegiatan minggu maupun non-minggu cenderung memiliki pengetahuan agama yang baik sehingga wajar jika mereka mampu untuk melakukan forgiveness. Sedangkan pada jemaat yang tidak aktif mengikuti ibadah/kegiatan non-minggu pemahaman tentang peran agama cenderung tidak sebaik jemaat yang aktif mengikuti ibadah/kegiatan minggu maupun non-minggu. Sehingga peneliti tertarik untuk melihat perilaku forgiveness pada jemaat yang tidak aktif mengikuti ibadah/kegiatan non-minggu dan belum adanya penelitian yang meneliti perilaku forgiveness pada jemaat yang tidak aktif mengikuti ibadah/kegiatan non-minggu. Peneliti telah melakukan wawancara pada beberapa individu, hasil wawancara yang didapatkan pada subyek ialah mereka cukup memiliki sikap forgiveness yang baik meskipun mereka tidak aktif mengikuti kegiatan nonminggu. Pada subyek lainnya didapatkan hasil wawancara bahwa mereka tidak dengan mudah memaafkan orang yang bersalah kepada mereka, dengan kata lain kurang memiliki forgiveness yang baik.
8
Forgiveness dipengaruhi oleh beberapa kondisi dan faktor sebelumnya. Menurut Wade dan Worthington (2003) faktor-faktor yang memengaruhi forgiveness ialah religiusitas, empati, keramahan, kemarahan, perasaan malu, kedekatan hubungan dengan transgressor, kualitas hubungan interpersonal sebelum transgresi, reaksi transgressor (luka yang ditimbulkan transgressor), dan permintaan maaf. Fungsi religiusitas bagi manusia erat kaitannya dengan fungsi agama. Agama merupakan kebutuhan emosional manusia dan merupakan kebutuhan alamiah. Religiusitas menurut Stark dan Glock (1968) adalah apa yang diyakini seseorang sebagai kebenaran religius, apa yang seseorang lakukan sebagai bagian pengalaman keyakinan, melibatkan emosi atau pengalaman sadar dalam agama yang dianut, yang diketahui tentang keyakinan, dan bagaimana tingkah laku sehari-hari dipengaruhi agama. Di dalam religiusitas terdapat beberapa dimensi yang akan diteliti juga dalam penelitian ini, yaitu dimensi-dimensi menurut Stark dan Glock, terdiri dari lima macam yaitu dimensi keyakinan, praktek agama, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi. Banyak agama dan semua agama berbeda-beda dalam mengajarkan mengenai forgiveness. Meskipun penelitian di bidang forgiveness dan religiusitas relatif muda, ada keterkaitan anatara forgiveness dan religiusitas. Beberapa agama besar menganjurkan umatnya untuk melakukan pengampunan (McCullough dan Worthington, 1999; Rye et al, 2000) dan menganggapnya sebagai salah satu dari sifat-sifat Allah. Analisis World Values Survey terhadap remaja usia 18 hingga 24 tahun mengungkapkan bahwa orang yang beranjak dewasa di negara kurang berkembang lebih religius daripada remaja di negara maju (Lippman dan Keith, 2006 dalam Lerner, R. M., Lerner, J. V., & Benson, J. B. 2011). Beberapa penelitian psikologi menunjukkan bahwa
9
“keterlibatan agama memiliki korelasi yang positif dengan disposisi untuk mengampuni orang lain” (McCullough, Bono, dan Root, 2005). Salah satu studi paling awal dalam bidang ini diteliti oleh Rokeach (1973) menemukan bahwa orang-orang dari Kristen konservatif menganggap pengampunan adalah tradisi yang dijadikan sebagai prioritas di antara nilai-nilai pribadi mereka. Poloma dan Gallup (1991) dan Shomaker dan Bolt (1977) juga menyatakan bahwa orang-orang yang sangat religius menganggap pengampunan sebagai sesuatu yang harus dihargai. Gorsuch dan Hao (1993) menemukan bahwa orang yang sangat religius memiliki motivasi yang lebih besar untuk memaafkan. Pandangan ini menempatkan hubungan antara pengampunan dan religiusitas dalam konteks hubungan personal. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa remaja yang terlibat dalam kegiatan keagamaan cenderung berpartisipasi dalam pembelajaran pelayanan dibandingkan dengan remaja yang tidak terlibat dalam keagamaan (Lerner, Roeser, dan Phelps, 2008). Sejauh penelusuran peneliti, sebagian besar hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya hubungan positif antara religiusitas dan forgiveness. Penelitian ini kemudian meneliti kembali hubungan antara religiusitas terhadap forgiveness pada warga dewasa awal yang tidak aktif mengikuti ibadah non-minggu, karena peneliti berasumsi bahwa belum tentu orang-orang yang tidak mengikuti kegiatan keagamaan non-minggu tidak memiliki sikap forgiveness. Padahal menurut McCullough, Bono dan Root (2005), keterlibatan agama memiliki korelasi yang positif untuk mengampuni orang lain. Penelitian ini kemudian dilakukan dengan memfokuskan pada hubungan antara religiusitas terhadap forgiveness pada warga dewasa awal bagi individu yang tidak aktif mengikuti ibadah/kegiatan non-minggu di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Bandung. Adapun
10
pertanyaan dalam penelitian adalah “apakah terdapat hubungan religiusitas terhadap forgiveness pada warga dewasa awal yang tidak mengikuti ibadah/kegiatan nonminggu di Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Bandung?”. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara religiusitas dengan forgiveness pada warga dewasa awal yang tidak mengikuti ibadah/kegiatan non-minggu. Manfaat dari penelitian ini secara teoritis diharapkan secara teoritis dapat menambah hasil penelitian-penelitian tentang religiusitas dan forgiveness. Karena masih kurangnya penelitian-penelitian tentang religiusitas dan forgiveness. Manfaat dari penelitian ini secara praktis untuk aspek religiusitas, penelitian ini diharapkan dapat menyadarkan kepada masyarakat umum bahwa religiusitas tidak hanya berbicara tentang agama semata tetapi juga tindakan dalam menjalankan agama tersebut. Sedangkan untuk aspek forgiveness, penelitian ini diharapkan pula dapat memberi pengetahuan kepada masyarakat umum betapa positifnya memiliki perilaku forgiveness sehingga setiap orang bisa hidup dengan nyaman. Pengertian Forgiveness Forgiveness merupakan sikap seseorang yang telah disakiti untuk tidak melakukan perbuatan balas dendam terhadap orang yang menyakiti, tidak adanya keinginan untuk menjauhi pelaku. Sebaliknya ada keinginan untuk berdamai dan berbuat baik terhadap orang yang menyakiti walaupun orang yang telah menyakiti telah berbuat yang menyakitkan terhadap kita (McCullough, 1997, dalam McCullough dkk). Aspek-aspek forgiveness Menurut McCullough (2000), ada tiga aspek yang digunakan untuk menentukan perilaku forgiveness seseorang yaitu:
11
•
Avoidance motivations Ditandai dengan individu yang menghindar atau menarik diri (withdrawal) dari pelaku.
•
Revenge motivations Ditandai dengan dorongan individu untuk membalas perbuatan pelaku yang ditujukan kepadanya. Dalam kondisi ini, individu tersebut marah dan berkeinginan untuk membalas dendam terhadap pelaku. Ketika individu dilukai oleh individu lain (pelaku), makan yang terjadi dalam dirinya adalah peningkatan dorongan untuk menghindar (avoidance) dan membalas dendam (revenge).
•
Benevolence motivations Ditandai dengan dorongan untuk berbuat baik terhadap pelaku. Dengan adanya kehadiran benevolence, berarti juga menghilangkan kehadiran dua dimensi sebelumnya. Oleh karena itu, individu yang memaafkan memiliki benevolence motivations yang tinggi, namun di sisi lain memiliki avoidance yang rendah.
Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Forgiveness Berikut ini dijelaskan secara lebih rinci beberapa faktor yang berpengaruh terhadap forgiveness menurut Wade dan Worthington (2003) yaitu : •
Religiusitas, dimana individu yang mendasarkan tingkah laku hidup sehari-hari atau segala aspek hidupnya dalam agama yang diyakininya dapat melakukan pemaafan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi dapat melakukan pemaafan.
12
•
Empati, empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Melalu empati terhadap pihak yang menyakiti, seseorang dapat memahami peraasan pihak yang menyakiti merasa bersalah dan tertekan akibat perilaku yang menyakitkan.
•
Keramahan, dimana individu dapat mengerti keadaan individu lain dan memakluminya. Keramahan memungkinkan untuk terjadinya pemaafan.
•
Kemarahan, merupakan emosi negatif yang sering menstimulasi usaha untuk mengurangi tindakan untuk memaafkan.
•
Perasaan malu, individu sebagai pelaku kejahatan merasa malu atas perbuatan yang dilakukannya dengan menyakiti orang lain. Adanya perasaan malu tersebut kemudian akan mempersulit terjadinya pemaafan.
•
Kedekatan hubungan dengan transgressor. Hal ini dikarenakan pemaafan melibatkan perubahan dorongan dari negatif menjadi positif terhadap transgressor, maka kedekatan hubungan kemudian akan mempengaruhi proses tersebut.
•
Kualitas hubungan interpersonal sebelum transgresi. McCullough, Rachal, Sabdage, Worthington, Brown dan Hight (1998) menyatakan bahwa hubungan yang romantik mungkin lebih bersedia untuk memaafkan karena mempunyai sumber daya yang cukup besar dalam hubungan.
•
Reaksi transgressor (luka yang ditimbulkan oleh transgressor), semakin besar luka yang dihasilkan, maka semakin sulit pula individu untuk memaafkan transgressor.
13
•
Permintaan maaf, hal ini menstimulasi emosi dalam diri korban dan menumbuhkan empati terhadapnya, sehingga dapat meningkatkan pemaafan individu terhadap transgressor.
Pengertian Religiusitas Stark dan Glock (1968) merumuskan religiusitas sebagai komitmen religius, yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan agama yang dianut. Dimensi religiusitas Menurut Glock dan Stark (1968), dimensi-dimensi religiusitas terdiri dari lima macam yaitu : •
The Belief Dimension atau Ideologi Dimensi ini terdiri dari pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, dan mengakui kebenaran ajaran-ajaran agama.
•
Religious Practice atau Praktik Keagamaan Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmennya terhadap agama yang dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari dua hal yang penting yaitu ritual dan ketaatan. Ritual seperti menghadiri pengajian agama, sedangkan ketaatan seperti mengerjakan shalat.
•
Experiental atau Pengalaman Keagamaan Dimensi ini berisikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapanpengharapan yang pasti, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama baik pada suatu saat akan mencapai pengetahuan subjektif dan
14
langsung mengenai kenyataan bahwa seseorang akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supernatural. •
Religious Knowledge atau Pengetahuan Keagamaan Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritual-ritual, kitan suci, dan tradisi-tradisi.
•
Religious Consequences atau Konsekuensi Keagamaan Dimensi
ini
mengacu
kepada
indentifikasi
akibat-akibat
keyakinan
keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Fungsi Religiusitas Menurut Allport dan Ross, (dalam Tongeren, Raad, McIntosh, & Pae, 2013) fungsi religiusitas yaitu: •
Salah satu sebagai penata dunia dengan ilmu epistimologis dan ontological yang di dalamnya mengandung banyak makna.
•
Menawarkan keabadian simbolis atau literal bagi para pengikutnya, untuk mengurangi ancaman kematian.
•
Membatasi batas-batas moral sehingga individu memiliki hidup yang benar oleh karena itu individu dapat dikatakan memenuhi standar dalam pandangan dunia dan budaya.
Hubungan antara religiusitas dan forgiveness Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa religiusitas berkorelasi positif dengan forgiveness. Semakin tinggi tingkat religiusitas, maka mereka lebih mampu untuk memaafkan. Religiusitas merupakan hal yang penting bagi individu.
15
Suatu keyakinan dan pemahaman yang mendasar tentang agama merupakan bentuk pengakuan individu terhadap Tuhan. Apabila individu memiliki pemahaman agama yang baik, individu tersebut akan mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Individu yang menerapkan prinsip-prinsip religiusitas dapat memberikan kepadanya keyakinan hidup dan perasaan aman. Religiusitas merupakan bagian yang cukup penting dalam pembentukan perilaku pada seseorang. Seseorang yang memiliki tingkat religiusitas tertentu akan mempunyai tingkat perilaku yang cukup dalam kehidupan sosialnya sehingga sesuai dengan hukum-hukum agama yang dianutnya. Salah satu ajaran agama ialah pemaafan atau forgiveness. Setiap agama mengajarkan tentang forgiveness, dikarenakan sikap forgiveness memiliki kekuatan yang positif bagi individu. Forgiveness (pemaafan) dapat menjadi salah satu cara untuk memfasilitasi penyembuhan luka dalam diri seseorang dan antarpribadi yang bermusuhan dan menyakiti. Dengan melakukan forgiveness seseorang merubah perasaan negatif menjadi perasaan yang positif. Individu yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi cenderung memiliki sikap forgiveness yang tinggi. Hal ini terjadi pada individu yang selalu melaksanakan ibadah dengan rutin, mereka dianggap sudah mampu menerapkan ajaran agama dengan baik termasuk memaafkan. Namun pada dasarnya setiap individu memiliki kecenderungan untuk memaafkan.
Hipotesis Ada hubungan positif dan signifikan antara religiusitas dengan forgiveness. Semakin tinggi tingkat religiusitas menunjukkan perilaku forgiveness yang tinggi pada warga dewasa awal.
16
METODOLOGI PENELITIAN Partisipan Total partisipan dalam penelitian ini berjumlah 51 subjek, karakteristik dalam penelitian ini adalah partisipan berusia dewasa awal usia 20-30 tahun, jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Bandung yang tidak mengikuti ibadah/kegiatan non minggu. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik snowball sampling, yaitu metode teknik dengan penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Metode ini mengacu pada penentuan kriteria subyek dan objek yang menjadi tujuan penelitian ini (Sugiyono, 2012). Instrumen Penelitian ini menggunakan instrumen berbentuk skala likert. Skala yang digunakan
untuk
mengukur
forgiveness
yaitu
skala
Transgression-Related
Interpersonal Motivation Inventory dari McCullough, Root, dan Cohen (2006). Skala forgiveness berjumlah 18 aitem yang terdiri dari 6 aitem favorable dan 12 aitem unfavorable. Sedangkan untuk skala yang digunakan untuk mengukur religiusitas menggunakan skala yang didasarkan dari teori Stark dan Glock (1968) The Religiosity Scale of Christian Sample. Penilaian skala ini adalah jika makin tinggi skor total yang diperoleh individu maka religiusitasnya makin tinggi, sedangkan makin rendah skor total yang diperoleh individu maka religiusitasnya rendah. Pada masing-masing aitem terdapat empat alternatif jawaban, sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak dapat menentukan pilihan dengan pasti (N), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Aitem favorable, jawaban SS mendapatkan nilai 4, S
17
nilainya 3, N nilainya 2, TS nilainya 1, STS nilainya 0, sedangkan untuk aitem unfavorable penyekoran merupakan kebalikan dari penyekoran aitem-aitem favorable. Sebelum peneliti melakukan pengambilan data terhadap subyek penelitian yang sesungguhnya, pada tanggal 1 Juni 2015 peneliti menguji bahasa terhadap skala yang telah dibuat oleh peneliti kepada 10 orang partisipan yang mempunyai kriteria yang sama dengan subyek yang sesungguhnya. Dalam skala religiusitas aitem no 8 dan 9, sulit untuk dimengerti, maka dari itu peneliti melakukan penyusunan kembali aitem yang tidak dapat dimengerti oleh subyek supaya ketika diberikan kepada subyek penelitian yang sesungguhnya aitem tersebut dapat dimengerti oleh subyek. Selanjutnya, kedua skala akan diuji coba terlebih dahulu untuk menguji daya diskriminasi dan reliabilitasnya. Perhitungan seleksi aitem dilakukan dengan menggunakan teknik statistik Corrected Item-Total Correlation dengan bantuan program computer SPSS 20 for windows. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem total dengan batasan koefisien korelasi yang dianggap memuaskan dan memberikan kontribusi yang baik adalah sebesar >0,25 (Azwar, 2012). Pada skala religiusitas, diperoleh bahwa dari 23 aitem yang diuji terdapat 1 aitem gugur, sehingga 22 aitem terpakai. Nilai r (corrected item-total correlation) bergerak dari 0,265-0,571 dengan koefsien alpha cronbach sebesar 0,851 yang berarti alat ukur ini tergolong baik (Azwar, 2012). Pada skala forgiveness, diperoleh bahwa dari 18 aitem yang diuji tidak terdapat aitem gugur, sehingga 18 aitem terpakai. Nilai r (corrected item-total correlation) bergerak dari 0,356-0,762 dengan koefisien alpha cronbach sebesar 0,914 yang berarti alat ukur ini tergolong sangat reliabel (Azwar, 2012). Prosedur Penelitian
18
Setelah skala selesai dipersiapkan, peneliti mempersiapkan persiapan penelitian yang lainnya, seperti perizinan dari fakultas dan hal lainnya, maka peneliti segera menuju ke Sekertaris Fakultas Psikologi untuk meminta surat penelitian. Perizinan dari pihak fakultas didapat pada tanggal 3 Juni 2015, dan setelah itu peneliti menyiapkan 51 skala psikologi yang terdiri dari dua skala yaitu skala I berisi mengenai forgiveness dan skala II berisi tentang religiusitas. Selanjutnya peneliti langsung mencari partisipan dengan cara mencari informasi dari teman yang mengetahui partisipan sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Setelah peneliti mendapatkan satu partisipan, peneliti memintanya untuk mengisi skala tersebut dengan sejujur-jujurnya karena tidak berpengaruh apapun bagi diri partisipan. Kemudian, peneliti mencari tahu untuk mendapatkan partisipan selanjutnya dengan cara mencari informasi dari partisipan yang sudah pernah mengisi. Selanjutnya, setelah peneliti mendapatkan informasi peneliti langsung membagikan skalanya. Peneliti membagikan sejumlah 51 skala untuk diisi oleh partisipan. Setelah skala terkumpul, peneliti mengucapkan terima kasih kepada partisipan. HASIL PENELITIAN •
Analisis Deskriptif Jumlah aitem skala religiusitas sebanyak 22 aitem, skor total tertinggi 88 dan
skor total terendah 0 kemudian dibagi menjadi 5 kategori, intervalnya 17,6. Sehingga kategorisasi variabel religiusitas sebagai berikut : Tabel 1. Kriteria skor religiustias No. 1. 2. 3. 4. 5.
Interval 0 ≤ x < 17,6 17,6 ≤ x < 35,2 35,2 ≤ x < 52,8 52,8 ≤ x < 70,4 70,4 ≤ x ≤ 88
Kategori Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
F 0 0 3 34 14
Persentase 0,00 0,00 5,88 66,67 27,45
19
Total
51
100%
Jumlah aitem skala forgiveness sebanyak 18 aitem, skor total tertinggi 72 dan skor total terendah 0 kemudian dibagi menjadi 5 kategori, intervalnya adalah 14,4. Sehingga kategorisasi variabel forgiveness sebagai berikut : Tabel 2. Kriteria skor forgiveness No. 1. 2. 3. 4. 5.
Interval 0 ≤ x < 14,4 14,4 ≤ x < 28,8 28,8 ≤ x < 43,2 43,2 ≤ x < 57,6 57,6 ≤ x ≤ 72 Total
Kategori Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
F 2 8 18 19 4 51
Persentase 3,92 15,69 35,29 37,25 7,84 100%
Ini menunjukkan bahwa secara umum tingkat religiusitas partisipan cenderung berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi, sedangkan tingkat forgiveness pada usia dewasa awal cenderung berada pada kategori sedang dan tinggi. •
Uji Asumsi
Uji Normalitas Berdasarkan hasil pengujian normalitas, kedua variabel memiliki signifikansi p>0,05. Variabel religiusitas memiliki K-S-Z sebesar 0,824 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,505 (p>0,05).Oleh karena nilai signifikansi >0,05, maka distribusi variabel religiusitas adalah normal. Hal ini juga terjadi pada variabel forgiveness yang memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,675 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,753 (p>0,05). Dengan demikian kedua variabel memiliki distribusi yang normal. Uji Linearitas Hasil uji linearitas dilakukan untuk mengetahui linearitas hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dan untuk mengetahui signifikansi penyimpangan dari linearitas hubungan tersebut. Didapatkan F Deviation from
20
Linearity = 1,085 dengan sig. = 0,422 (p>0,05), yang berarti penyimpangan dari linearitas signifikan yang berarti linier. •
Uji Hipotesis Antara Religiusitas dan Forgiveness Tabel 3. Korelasi antara religiusitas dengan forgiveness FORGIV Pearson Correlation FORGIV
1
Sig. (1-tailed)
,040 ,390
N RELIG
RELIG
51
51
Pearson Correlation
,040
1
Sig. (1-tailed)
,390
N
51
51
Tabel 3 menunjukkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara religiusitas dengan forgiveness r = 0,040 dengan sig. = 0,390 (p>0,05) yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara religiusitas dan forgiveness pada dewasa awal yang tidak aktif melakukan ibadah/kegiatan non-minggu di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Bandung. PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara religiusitas dengan forgiveness pada usia dewasa awal, ditemukan bahwa tidak adanya hubungan antara religiusitas dengan forgiveness pada usia dewasa awal. Berdasarkan hasil uji perhitungan korelasi, keduanya memiliki r sebesar 0,040 dengan signifikansi sebesar 0,390 (p>0,05) yang berarti kedua variabel yaitu religiusitas dengan forgiveness tidak memiliki hubungan. Artinya ketika seseorang memiliki religiusitas tinggi belum tentu memiliki forgiveness yang baik begitupun sebaliknya. Karena bagi sebagian individu religiusitas hanya sebatas pengetahuan tentang agama yang dianutnya tanpa dapat menerapkan ajaran agama ke dalam perilaku sehari-hari, sehingga religiusitas tidak dapat memengaruhi perilaku forgiveness pada diri individu tersebut.
21
Penelitian Dr. Roy Baumeister (2002), menunjukkan bahwa terdapat dua hambatan terbesar bagi pembentukan proses pemaafan. Pertama, pemaafan lebih sulit dilakukan pada individu dengan kecenderungan narsistik, yang merasa bahwa mereka pantas mendapatkan banyak hal. Mereka melihat memaafkan sebagai sesuatu yang penuh resiko dan tidak adil, khususnya bila mereka tidak menerima “ganti rugi” atau permintaan maaf apapun dari pelaku. Bentuk lain dari kecenderungan ini adalah ketidak mampuan individu untuk melihat potensinya sendiri untuk melakukan sesuatu yang tidak semestinya pada orang lain. Ketidakmampuan merefleksikan bahwa dirinya bisa saja melakukan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain berkaitan dengan kesiapan yang rendah untuk memaafkan. Hambatan lain untuk melakukan pemaafan adalah keyakinan bahwa memaafkan membuka kessempatan untuk disakiti kembali. Padahal penelitian Baumeister (2002) menunjukkan bahwa kemungkinan memaafkan benar-benar meningkatkan resiko untuk disakiti kembali, sangat kecil. Pelaku cenderung memberikan penghargaan atas pemaafan yang diterima, dan ekspresi yang jelas dalam pemaafan secara nyata dapat menjadi penghalang bagi kemungkinan melakukan penyerangan di masa mendatang. Hal tersebut diperkuat dari hasil identifikasi yang menunjukkan bahwa persentase religiusitas sebagian besar partisipan pada kategori religiusitas yang tinggi dengan persentase 66,67%. Hal ini berarti bahwa religiusitas yang dimilikinya berada pada kategori tinggi. Sedangkan untuk forgiveness, sebagian partisipan berada pada kategori tinggi dengan persentase 37,25%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar forgiveness partisipan berada pada kategori yang tinggi. Meskipun forgiveness merupakan perilaku yang positif tetapi pada dasarnya forgiveness merupakan sesuatu yang tidak mudah dilakukan karena harus melibatkan
22
dua faktor, yaitu harus menghilangkan motivasi membalas dendam dan menghilangkan motivasi untuk menjauhi orang yang menyakiti (McCullough, 1999). Berdasarkan keseluruhan kategori tersebut maka hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara religiusitas dengan forgiveness. Hal ini didasarkan pada nilai korelasi yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut. Artinya ketika seseorang memiliki religiusitas tinggi belum tentu ia dapat melakukan forgiveness dengan baik begitupun sebaliknya, sehingga hipotesis dalam penelitian ini tidak terjawab. Hal ini kemudian membantah hasil-hasil penelitian terdahulu yang menemukan adanya hubungan antara religiusitas dengan forgiveness (McCullough, Bono, dan Root, 2005; McCullough dan Worthington, 1999; Rye et al, 2000; Lippman dan Keith, 2006; McCullough, Bono, dan Root, 2005; Poloma dan Gallup, 1991 dan Shomaker dan Bolt, 1977; Gorsuch dan Hao, 1993; Lerner, Roeser, dan Phelps, 2008. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan antara religiusitas dengan forgiveness pada warga dewasa awal yang tidak mengikuti ibadah/kegiatan non-minggu di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Bandung, maka dapat disimpulkan: •
Tidak ada hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan forgiveness pada warga dewasa awal yang tidak mengikuti ibadah/kegiatan non-minggu di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Bandung.
•
Sebagian besar jemaat memiliki tingkat religiusitas yang berada pada kategori tinggi dengan jumlah 34 jemaat dan persentase 66,67% dan juga sebagian besar
23
jemaat memiliki perilaku forgiveness yang pada kategori tinggi dengan jumlah 19 jemaat dan persentase 37,25%. Saran Berdasarkan hasil penelitian serta mengingat masih banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, maka peneliti memiliki beberapa saran sebagai berikut: •
Bagi jemaat gereja yang berusia dewasa awal Tidak menjadikan sebuah hambatan dalam pembentukan pemaafan sebagai suatu harga mati untuk memaafkan. Selain religiusitas, masih ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemaafan seperti empati, keramahan, kemarahan, perasaan malu, kedekatan hubungan dengan transgressor, kualitas hubungan interpersonal sebelum transgresi, reaksi transgressor, permintaan maaf.
•
Bagi pihak gereja Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu menyadarkan tentang adanya fenomena yang terjadi dalam lingkup ibadah kaum muda, sehingga tidak adanya lagi kesenjangan dan juga agar pihak gereja dapat membangun komunikasi yang baik antar jemaat.
•
Bagi peneliti selanjutnya Subyek dalam penelitian ini masih tergolong bebas karena tidak memiliki kriteria yang pasti tentang jemaat yang tidak aktif mengikuti ibadah/kegiatan non-minggu. Untuk itu pada penelitian selanjutnya agar mempersempit kriteria subyek atau dapat juga meneliti subyek yang tidak aktif sama sekali mengikuti ibadah/kegiatan baik minggu maupun nonminggu.
24
DAFTAR PUSTAKA Azam, A., Qiang, F., Abdullah, I. M., & Abbas, A. S. Impact Of 5-D Of Religiosity On Diffusion Rate Of Innovation. International Journal of Bussiness and Social Science. Azwar, S. (2001). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ---------- (2012). Penyusunan Skala Psikologi edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Batson, M. D., & Shwalb, D. W. (2006). Forgiveness And Religious Faith In Roman Catholic Married Couples. Springer Science+Business Media, Inc. Baumeister, R. (2002). Humility, Egotism, Forgiveness, and the Victim Role. Florida State University. Bono, G., McCullough, M. E., & Root, L. M. (2006). Forgiveness and well-being. Coral Gables, FL: University of Miami. Gorsuch, R. L., & Hao, J. Y. (1993). Forgiveness: An exploratory factor analysis and its relationship to religious variables. Review of Religious Research, 34, 333-347. Hadi, S. (2000). Statistik. Yogyakarta: Penerbit Andi. Hasan, P, B, A,. (2013). Pemaafan Sebagai Variabel Moderator Pada Pengaruh Religiusitas Dengan Agresi Relasional Di Kalangan Mahasiswa Universitas Berbasis Nilai-nilai Islam. Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI HUMANIORA. Jampolsky, G.G., (2001). Rela Memaafkan: Obat paling ampuh. Jakarta: Penerbit Josw, O, A., & Alfons, V. (2007). Religiousity And Forgiveness Among First-Married And Remarried Adults. Mental Health, Religion & Culture. Lerner, R. M., Roeser, R. W., & Phelps, E. (2008). Positive youth development and spirituality: From theory to research. West Conshohocken, PA: Templeton Foundation Press. Lerner, R. M., Lerner, J. V., & Benson, J. B. (2011). Advences in Child Development and Behavior. Positive Youth Development. Academic Press is an imprint of Elsevier. McCullough, M. E., & Worthington. L. E. (1999). Religion and the Forgiving Personality. Journal of Personality, 67, 1141-1164. McCullough, M. E., Bono, G. B., & Root, L. M. (2005). Religion and forgiveness. In R. Paloutzian & C. Park (Eds.), Handbook of the psychology of religion and spirituality (394-411). New York: Guilford. ----- (2005). Rumination, emotion, and forgiveness: Three longitudinal studies. Journal of Personality and Social Psychology.
25
McCullough, M. E., Rachal, K. C., Sandage, S. J., Worthington, L. E. Jr., Brown, S. W., & Hight, T. L. (1998). Interpersonal Forgiving In Close Relationships; II. Journal of Personality and Social Psychology, 73, 321-336. McCullough, M. E., Root, L. M., & Cohen, A. D. (2006). Writing About the Benefits of an Interpersonal Transgression Facilitates Forgiveness. Journal of Consulting and Clinical Psychology. McCullough. M. E. (2013). Transgression-Related Interpersonal Motivation Inventory (TRIM-18). www.midss.ie Nuran. (2011). Skripsi. Faktor-faktor Psikologis Yang empengaruhi Forgiveness Pada Istri Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Jakarta: Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Poloma, M. M., & Gallup, G. H. Jr. (1991). Varieties of prayer: A survey report. Philadelphia: Trinity Press International. Prasylia, N. E. (2015). Hubungan religiusitas dengan forgiveness pada individu yang tidak melakukan praktik agama. Skripsi yang tidak dipublikasikan. Universitas Kristen Satya Wacana: Salatiga. Raudatussalamah., & Susanti, R. (2014). Pemaafan (forgiveness) dan psychological wellbeing pada narapidana wanita. Vol. XIII No. 2. 224. Rokeach, M. (1973). The nature of human values. New York: Free Press. Santrock, J. W. (2012). Life – Span Development Perkembangan. (Edisi ke-13). Alih bahasa: Widyasinta, B. dan Sallama, N. I. Jakarta: Erlangga. Shoemaker, A., & Bolt, M. (1997). The Rokeach Value Survey and perceived Christian values. Journal of Psychology and Theology, 5, 139-142. Simorangkir, S. L. B. L. (2014). Empati dan Religiusitas sebagai prediktor terhadap pemaafan pada mahasiswa sekolah tinggi teologi salatiga. Tesis yang tidak dipublikasikan. Universitas Kristen Satya Wacana: Salatiga. Soakokone, T. A. Y. (2014). Hubungan religiusitas dengan regulasi emosi individu dewasa dini yang tidak melakukan praktik agama. Skripsi tidak dipublikasikan. Universitas Kristen Satya Wacana: Salatiga. Stark, R & Glock, C. Y. (1968). American piety: the nature religious comitmen. University of California perss: London Sugiyono, (2012). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan r & d. Bandung: Alvabeta. Suryabrata, S. (2002). Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Penerbit Andi.
26
Tongeren, D. R., Raad, J. M., McIntosh, D. N., & Pae, J. (2013). The Existensial Function of Intrinsic Religiousness: Moderation of Effect of Priming Religion on Intercultural Tolerance and Afterlife Anxiety. Journal for the scientific Study of Religion, 52(3), 508-523. Upton, P. (2012). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Wade, N. G., & Worthington, E. L. Jr. (2003). Overcoming interpersonal offenses: Is forgiveness the only way to deal with unforgiveness? Journal of Counseling & Development – Summer, 81, 343-353 Worthington, L. E. Jr. (1998). Dimensions of forgiveness: Psychological research and theological perspectives. Philadelphia: Templeton Foundation Press.