HUBUNGAN PEMBERIAN PELATIHAN K3 DAN PERSEPSI RESIKO KECELAKAAN PEKERJAAN DI KETINGGIAN DI PT X PROJECT Y BEKASI 2015 Ari Catur1, Latar2, Farid3 Ari Catur Priyambodo, SKM : Mahasiswa 2 Ir. Latar Muhammad Arief, Msc : Dosen Pembimbing 1 3 dr Farid Budiman Msc : Dosen Pembimbing 2 Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul Jakarta Jln. Arjuna Utara Nomor 9, Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510
[email protected] 1
Abstrak Timbulnya persepsi yang kurang baik terhadap risiko kecelakaan pekerjaan di ketinggian PT. X Y Project yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: pengalaman kerja, pendidikan formal, mood, faktor internal dan eksternal dan kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang risiko kecelakaan kerja, pemberian pelatihan K3 yang kurang maksimal diperkirakan sebagai pemicu timbulnya persepsi kurang baik tersebut kepada para pekerja di PT. X Project Y oleh karena hal itu penulis hubungan antara pemberian pelatihan K3 dan persepsi risiko kecelakaan pekerjaan di ketinggian. Tingkat penilaian terhadap pemberian pelatihan K3 pada pekerja di PT. X terdapat pekerja yang memiliki penilaian cukup baik terhadap pelatihan sebanyak 30 orang atau sebesar 50%, yang memiliki penilaian kurang baik terhadap pelatihan K3 yang diberikan sebanyak 30 orang 50%. Tingkat persepsi risiko kecelakaan pekerjaan secara keseluruhan untuk pekerjaan di ketinggian pada pekerja di PT. X terdapat Dari data yang di dapat maka diperoleh nilai mean sebesar 150.60 sehingga dapat di kategorikan menjadi persepsi risiko kecelakaan yang kurang baik yaitu sebanyak 26 orang, dan pekerja yang memiliki persepsi risiko yang cukup baik sebanyak 34 orang.Berdasarkan hasil Uji korelasi dengan menggunakan Person Product Moment nilai Sig. (2-tailed) sebesar 0,000 dan pearson correlation 0,541. Hasil tersebut menunjukan bahwa nilai Sig. (2-tailed) < α ( 0.000 < 0.05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima sehingga ada hubungan yang signifikan antara pemberian pelatihan K3 dan persepsi risiko kecelakaan pekerjan di ketinggian di PT. X Project Y Kata Kunci : Pelatihan K3, Persepsi Risiko Kecelakaan
Pendahuluan Dalam menghadapi suatu kondisi atau masalah terhadap objek yang sama seringkali kita memiliki suatu persepsi yang berbeda. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam sistem nilai dan ciri kepribadian dari individu yang bersangkutan. Persepsi sendiri dalam arti sempit menurut Sobur adalah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu. Sedangkan dalam arti luas adalah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang dan mengartikan sesuatu (Sobur, 2010). Persepsi juga bisa disebut proses otomatis yang terjadi dengan kadang tidak disadari dan sangat cepat, sehingga dimana seseorang dapat menerima dan mengenali stimulus yang diterimanya saat itu. Menurut Slameto (2010) persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia, melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera pengelihat, pendengar, peraba, perasa,dan penciuman. Persepsi Risiko Kecelakaan Kerja Konsep mengenai persepsi risiko menurut Sjoberg (2004) membantu seseorang untuk mengerti dan mengatasi adanya bahaya dan ketidakpastian. Persepsi mengenai risiko tidak selalu sama (tidak konstan). Hal ini bervariasi pada individu dan sesuai konteks. Persepsi individu tentang risiko tidak selalu berhubungan dengan lingkungan fisik. Risiko juga dapat merupakan sesuatu yang dipercayai akan terjadi, kemungkinan hasil yang akan terjadi dan seberapa peduli seseorang jika hal tersebut
benar-benar terjadi. Studi Persepsi Risiko Kecelakaan Kerja Dengan 9 Paradigma Psikometri Penelitian dengan menggunakan pendekatan paradigma psikometri telah digunakan dalam berbagai penelitian sejak dipublikasikan oleh Fischhoff et al., 1978, dengan tujuan yang berbeda. Pada awalnya paradigma psikometrik dikembangkan sebagai ilmu kebijakan atau policy sciences untuk melihat persepsi masyarakat dan dilanjutkan dengan pengambilan kebijakan bagi masyarakat. Penelitian ini menggunakan kuesioner untuk menganalisis nilai akhir yang akan menggambarkan persepsi risiko diantaranya adalah (Yudiadji, 2013) Dimensi ke-1 Voluntariness Of Risk) Mengenai apakah seseorang menghadapi risiko ini secara sukarela (volunteer) atau tidak. Responden diminta untuk memberikan nilai berskala (secara sukarela = 1, tidak sukarela = 7). Berdasarkan penelitian, seseorang lebih suka melakukan suatu pekerjaan dengan risiko yang diterima dengan sukarela daripada dipaksa untuk menerima risiko tersebut. Penelitian mengatakan bahwa seseorang cenderung menerima risiko yang dipilihnya sendiri dengan sukarela bahkan jika risiko tersebut kurang lebih 1000 kali lebih berisiko daripada yang harus dikerjakan dengan tidak sukarela. Hal ini melibatkan kebebasan memilih dan persepsi seseorang mengenai otonomi dan tanggung jawab (Schmidt, 2004). Dimensi ke-2 (Immediacy Of Effect) Dimensi ini membahas kecepatan efek yang akan diterima oleh seseorang sebagai dampak risiko. Responden diminta untuk mengenali apakah risiko dapatmenyebabkan efek saat itu juga (termasuk kematian) atau tertunda. Dimensi kecepatan efek (immediacy) dihitung berdasarkan jangka waktu yang dibutuhkan sejak kejadian awal
hingga dampak bahaya yang sebenarnya. bahaya tersebut dapat berupa bahaya fisik, kimia atau biologis. Terjadinya keterlambatan efek menyebabkan lebih sulitnya mengenali efek risiko karena tidak secepatnya terlihat. Oleh karena itu pekerja diharapkan memiliki persepsi bahwa mereka akan terkena efek saat itu juga apabila mereka terpapar risiko, sehingga tingkat kewaspadaan mereka selalu tinggi. Sebagai contoh, seseorang yang bekerja di ketinggian dan terjatuh cenderung mempersepsikan efek risiko akibat kerja terjadi dengan cepat karena efeknya langsung terasa. Dimensi ke-3 (Known To Expose Of Risk) Dimensi yang membahas tentang sejauh mana risiko diketahui secara cepat oleh seseorang yang terpapar oleh risiko, skala bervariasi dari tingkat diketahui secara pasti hingga tidak diketahui. Skala yang di berikan oleh fischoff antara 1 sampai dengan 7 dimana 1 diketahui dan 7 tidak di ketahui. Jika seseorang tahu bahwa mereka akan terpapar risiko karena telah memiliki pengalaman, maka pengenalan terhadap risiko akan lebih tinggi daripada jika tidak tahu sama sekali. Jadi seseorang diharapkan memiliki persepsi bahwa mereka tahu mengenai risiko berdasarkan pengalaman tentang risiko dalam sehingga mereka memiliki tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi (Schmidt 2004). Dimensi ke-4 (Known To Science Of Risk) Dimensi ini membahas sejauh mana risiko diketahui berdasarkan pengetahuan. Skala bervariasi dari tingkat diketahui secara pasti hingga tidak diketahui. Jika seseorang telah memiliki pengetahuan mengenai risiko secara science, baik didapatkan melalui pendidikan formal atau informal maka seseorang diharapkan memiliki tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi (Schmidt 2004). Seseorang diharapkan memiliki persepsi bahwa mereka mengetahui risiko berdasarkan ilmu pengetahuan. Dimensi ke-5 (Controllability Over Risk) Dalam dimensi kontrol terhadap risiko, seseorang merasa lebih baik jika merasa bahwa kontrol terhadap risiko ada dibwahnya dibandingkan dibawah kontrol orang lain (Schmidt 2004). Dalam kondisi yang normal, seseorang tidak nyaman berada dalam situasi “diluar kontrol” karena merasa tidak aman dalam kondisi tersebut. Seseorang merasa bahwa apabila mereka mampu mempertahankan kontrol, maka mereka dapat mengurangi bahaya walaupun setidaknya sebagian. Ketidakmampuan mengontrol situasi menyebabkan seseorang merasa tidak berdaya dan tidak tertolong. Studi sosio-psikologis menunjukkan bahwa seseorang cenderung melebihlebihkan kemampuannya untuk mengontrol risiko. selain itu seseorang memandang risiko untuk dirinya sendiri (personal risk) jauh lebih kecil daripada risiko bagi banyak orang (Sjöberg 2000). Oleh karena itu, pekerja diharapkan memiliki persepsi bahwa mereka mampu mengontrol risiko yang ada sehingga dapat bekerja dengan optimal serta dapat mengatasi setiap risiko yang ada.
Dimensi ke-6 (Newness) Dimensi yang membahas mengenai tingkat kebaru-an risiko. Merupakan sebuah kecenderungan apabila seseorang lebih waspada terhadap risiko baru yang tidak diketahui sebelumnya. Namun, apabila seseorang mengetahui risiko yang baru, mereka akan menerima risiko tersebut secara bertahap dan berusaha beradaptasi terhadapnya. Risiko yang telah ada sejak dahulu cenderung lebih dapat diterima karena lebih dikenal. Hal ini menyebabkan risiko yang lebih diketahui dapat lebih diterima daripada risiko yang tidak diketahui Dimensi ke-7 (Chronic – catastrophic) Pada dimensi ini dibahas mengenai penilaian potensi risiko yang dapat menyebabkan kematian seseorang pada satu waktu (kronik) atau dapat menyebabkan kematian sejumlah banyak orang pada satu waktu (katastropik). Dimensi ke-8 (Common – dread) Dimensi ini membahas mengenai apakah risiko biasa atau jarang terjadi dan apakah risiko dapat diatasi dengan tenang atau harus segera dihindari. Kebiasaan berarti seseorang telah terbiasa dengan risiko tertentu, sedangkan familier berarti seseorang yang terkena risiko sebenarnya telah mengetahui risiko tersebut. Jadi, risiko baru atau yang tidak diketahui bagaimana penangannya cenderung dikategorikan sebagai risiko yang lebih berbahaya. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi risiko familiar atau tidak adalah waktu. Ketidapastian akan terpapar atau tidak juga mempengaruhi kefamiliaran risiko. Jika seseorang tahu bahwamereka akan terpapar risiko, seseorang akan menjadi lebih familiar dengan cepat. Dalam dimensi kebaruan, pekerja diharapkan memiliki persepsi bahwa mereka familiar dengan risiko yang ada sehingga memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menghadapi risiko (Schmidt 2004). Dimensi ke-9 (Severity of consequences). Dimensi mengenai keparahan konsekuensi membahas apakah risiko menyebabkan sesuatu yang fatal atau tidak, selain itu apakah tingkat risiko diketahui secara pasti atau tidak. Secara ideal pekerja diharapkan memiliki persepsi bahwa pekerjaan yang mereka lakukan dapat berbahaya fatal dan bahkan menyebabkan kematian, sehingga tingkat proteksi dan pencegahan yang mereka lakukan saat melakukan pekerjaan optimal (Schmidt, 2004). Pelatihan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Mangkuprawira (2002), berpendapat bahwa pelatihan bagi karyawan adalah sebuah proses mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar karyawan semakin terampil dan mampu dalam melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik sesuai dengan standar. Dalam suatu proyek konstruksi perusahaan wajib memberikan pengenalan dan pelatihan dasar-dasar K3, menurut Ridley (2004) materi pelatihan pengenalan dasar-dasar kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di kategorikan menjadi beberapa jenis yaitu: 1) Pelatihan Pengenalan Dasar Untuk Seluruh Para Pekerja & Kontraktor, 2) Pelatihan Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Yang Berkelanjutan (Pelatihan Ulang).
Pelatihan Bekerja Di Ketinggian Bekerja pada ketinggian atau working at height mempunyai potensi bahaya yang besar. Ada berbagai macam metode kerja di ketinggian seperti menggunakan perancah, tangga, gondola dan sistem akses tali (Rope Access Systems). Masing -masing metode kerja memiliki kelebihan dan kekurangan serta risiko yang berbeda-beda. Oleh karena itu perusahaan atau pun manajemen perlu mempertimbangkan pemakaian metode dengan memperhatikan aspek efektifitas dan risiko baik yang bersifat financial dan non-finansial. Aspek risiko akan bahaya keselamatan dan kesehatan kerja harus menjadi perhatian utama semua pihak di tempat kerja. Hal ini selain untuk memberikan jaminan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja bagi tenaga kerja, juga sangat terkait dengan keselamatan asset perusahaan Pengukuran Evaluasi Pemberian Pelatihan Berdasarkan teori yang dikenalkan oleh Kirkpatrick (1994) dalam (Nursanti, 2014) yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja, evaluasi pelatihan kerja dapat diukur berdasarkan 5 tingkatan evaluasi, meliputi: A. Reaksi dari pelatihan kerja, merupakan reaksi pekerja terhadap konten atau isi pelatihan kerja yang diberikan, kualitas pelatih dan pembiayaan pelatihan kerja. B. Hasil pembelajaran, merupakan hasil yang didapat pekerja dalam kompetensi kognitif dan kemampuan teknik setelah mengikuti pelatihan kerja. C. Perubahan kebiasaan, merupakan perubahan kebiasaan pekerja dalam hal komitmen dan pertanggungjawaban kerja setelah mengikuti pelatihan kerja. D. Dampak organisasional, yaitu dampak pelatihan kerja terhadap kinerja pekerja setelah mengikuti pelatihan kerja. E .Return on Investment (ROI), ROI merujuk pada pembandingan manfaat moneter dari suatu pelatihan dengan biaya-biaya pelatihan. Tujuannya adalah mengetahui nilai balik modal dari pelaksanaan pelatihan. Metode Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di proyek X Proyek Y yang terletak di JL Marunda Makmur, Marunda Center Bekasi-Indonesia. Waktu penelitian akan dilakukan di bulan Juni – Juli 2015. Kegiatan penelitian ini meliputi pelaksanaan yang terdapat dalam proposal penelitian yang meliputi uji coba instrument, pengumpulan data, klasifikasi dan penyajian data serta interpretasi data. Penelitian ini akan menjelaskan apakah ada hubungan antara pelatihan kesehatan dan keselamatan kerja dengan persepsi resiko kecelakaan kerja. pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara bersamaan baik untuk variabel bebas (Independent Variable) yaitu pelatihan K3 maupun variabel terikat (Dependent Variable) yaitu persepsi resiko kecelakaan pekerjaan di ketinggian. Penelitian ini adalah penelitian mengenai survei deskriptif yaitu membuat gambaran secara sistematis mengenai hubungan pelatihan K3 dengan persepsi resiko kecelakaan kerja dengan melakukan pendekatan potong potong lintang cross sectional yang merupakan jenis penelitian yang berusaha mempelajari dinamika hubungan-hubungan atau korelasi antara faktor-faktor risiko dengan dampak atau efek yang terjadi (Sugiyono, 2008). Hasil Dan Pembahasan Hasil penelitian mengenai hubungan pemberian pelatihan K3 dan Persepsi Risiko Kecelakaan Pekerjaan Di Ketinggian
Distribusi responden berdasarkan usia Tabel 1. Distribusi Frekuensi Menurut Jenis Kelamin PT. X Project Y Jenis Kelamin
Frekuensi (n)
Laki-Laki
54
Persentase (%) 90 %
Perempuan
6
10 %
Berdasarkan 1 diatas, dari 60 responden yang terlibat dalam penelitian ini, sebagian besar telah bekerja > 2 tahun yaitu sebanyak 49 orang atau sebesar 81.7%. Sedangkan 11 orang lainnya atau sebesar 18.3% telah bekerja < 2 tahun.. Tingkat Pendidikan SD
Frekuensi
Persen %
47
78.3
SMA
4
6.7
S1
3
5.0
D3 6 10.0 Berdasarkan dari tabel2 diatas, dapat diketahui bahwa dari 60 responden yang terlibat dalam penelitian ini, sebagian besar berpendidikan SD yaitu sebanyak 47 orang atau sebesar 78.3 %. Distribusi Frekuensi Persepsi Risiko Kecelakaan Pekerjaan Di Ketinggian Berdasarkan 9 Paradigma Psikometri Sangat Bisa Tidak Tidak Bisa Bisa Diterima Diterima Diterima Diterima 14 26 20 2 24 34 8 20 32 6 22 32 10 28 22 Paradigma Ke-1 Volunteriness Of Risk Berdasarkan hasil penelitian rata-rata pekerja menilai dan memilih pekerjaan bekerja diatap menggunakan lifeline sebagai pekerjaan yang sedikit dipaksa, hal ini disebabkan oleh faktor risiko pekerjaan tersebut yang tinggi dimana pelaksanaannya hanya menggunakan bodyharness dan lifeline sebagai perangkat keamanaan bekerja di ketinggian. Dibanding dengan pekerjaan mendirikan scaffolding > 1.8 m lebih sukarela dan diterima untuk dilakukan dimana terdapat perancah, dan alat penunjang keamanan bekerja di ketinggian lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh Schmidt (2004) bahwa seseorang cenderung menerima risiko yang dipilihnya sendiri dengan sukarela bahkan jika risiko tersebut kurang lebih 1000 kali lebih berisiko daripada yang harus dikerjakan dengan tidak sukarela. Hal ini melibatkan kebebasan memilih dan persepsi seseorang mengenai otonomi dan tanggung jawab. Sesuai dengan teori tersebut meskipun pekerjaan tersebut sangat berisiko dan para pekerja merasa terpaksa saat melakukannya para pekerja tetap memilih melakukannya sebagai tanggung jawab atas pekerjaan mereka.
Dimensi Ke-2 Immediacy Of Effect Saat Itu Juga
Beberapa Minggu
2 -
8 16 6 4 2
Lebih Dari 1 Thn 26 22 22 26 34
Lebih Dari 10 Thn 26 20 32 30 24
Pada paradigma ke-2 ini para pekerja rata-rata menganalisa tingkat kecepatan efek dari risiko pekerjaan bahwa dalam pekerjaan pemasangan mechanical dan electrical efek risikonya baru dirasakan lebih dari 1 tahun dan 10 tahun hal ini disebabkan dari efek pemasangan alat electrical dan electrical yang dapat mengakibatkan sakit pinggang, gangguan penglihatan dan pendengaran. Dimana seharusnya pada paradigma ini menurut Fischoff dan Health Safety Executive, Pekerja diharapkan memiliki persepsi bahwa mereka akan terkena efek saat itu juga apabila mereka terpapar risiko, sehingga tingkat kewaspadaan mereka selalu tinggi.
dilihat dari tingkat pendidikan para pekerja yang rata-rata SD sebanyak 78.3% bisa diasumsikan para pekerja minim akan pengetahuan mengenai risiko pekerjaan ini. Sementara itu pada pekerjaan pemasangan cladding dan roofing menurut para pekerja adalah pekerjaan yang tidak terlalu tahu dari ilmu pengetahuan Paradigma ke-5 Controlability Dapat Dikenda likan
Sedikit dapat Dikend alikan
-
8 14 14 2 8
Tidak Sepenuhnya Dapat Dikendalikan 24 26 26 24 20
Sepenuhnya Tidak Dapat Dikendalikan 28 20 20 34 32
Paradigma ke-5 ini membahas mengenai persepsi pekerja berdasarkan tingkat kontrol risiko, rata-rata para pekerja menganggap bahwa bekerja di atap emnggunakan lifeline dan erection konstruksi baja merupakan pekerjaan yang sepenuhnya tidak dapat dikendalikan risikonya. Seseorang memandang Pernah Pernah Pernah Tidak risiko untuk dirinya sendiri (personal risk) jauh Mengalami Melihat Mendengar Mengetahui lebih kecil daripada risiko bagi banyak orang 2 2 26 30 (Sjöberg 2000). Pekerja diharapkan memiliki 4 20 36 persepsi bahwa mereka mampu mengontrol risiko 6 20 34 yang ada sehingga dapat bekerja dengan optimal 4 22 34 serta dapat mengatasi setiap risiko yang ada. Ini 8 28 24 menunjukkan bahwa para pekerja tidak mampu Paradigma Ke-3 Known To Exposure mengontrol risiko yang ada saat bekerja baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Jika para Pada paradigma ini para pekerja menggangap bahwa pekerja tidak mampu mengontrol risiko yang ada pekerjaan pemasangan electrical dan mechanical maka pekerjaannya-pun tidak dapat optimal adalah pekerjaan yang efek risikonya pernah didengar dilakukan namun tidak pernah mengalaminya. Sedangkan menurut Schmidt (2004) diharapkan para pekerja Cukup Belum memiliki persepsi bahwa mereka tahu mengenai risiko Baru Sudah Lama lama berdasarkan pengalaman tentang risiko dalam sehingga Diketahui diketahui Biasa/familiar diketahui mereka memiliki tingkat kewaspadaan yang lebih 6 22 32 tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena faktor 10 28 22 eksternal dimana para pekerja memang belum pernah 8 26 26 mengalami kecelakaan itu sendiri dan hanya 2 16 22 20 mendengar akibat pekerjaan itu dari mulut ke mulut 6 22 32 serta kurangnya informasi akan efek risiko pekerjaan Paradigma ke-6 Newness ini. Pada dimensi ini para pekerja rata-rata Paradigma Ke-4 Known To Science beranggapan bahwa pekerjaan pemasangan cladding dan roofing sebagai pekerjaan yang sudah Pada paradigma ke-4 ini mengenai hasil persepsi cukup lama diketahui, dan pekerjaan electrical dan mechanical sebagai pekerjaan yang sudah biasa Tidak atau familiar untuk dilakukan. Menurut Schimdt Tidak Tidak Tahu Tahu (2004) apabila seseorang mengetahui risiko yang Tahu Terlalu Pasti Sama baru, mereka akan menerima risiko tersebut secara Pasti Tahu Sekali bertahap dan berusaha beradaptasi terhadapnya. 2 10 18 30 Risiko yang telah ada sejak dahulu cenderung lebih 14 18 28 dapat diterima karena lebih dikenal. Ini berarti para 8 22 30 pekerja telah mengetahui risiko dari pada 8 24 28 pekerjaan tersebut dan dapat menerima risiko yang 8 26 26 terjadi dari akibat pekerjaan tersebut. pengetahuan para pekerja pada dimensi akan risiko berdasarkan ilmu pengetahuan menunjukkan rata-rata Paradigma Ke-7 Chronic dan Catastropic para pekerja ini beranggapa bahwa bekerja diatas Satu Beberapa Sekelompok Banyak menggunakan lifeline, kegiatan erection baja Orang Orang Cidera Orang konstruksi >7m adalah pekerjaan yang tidak diketahui 4 26 30 sama sekali risikonya, Jika seseorang telah memiliki 2 24 34 pengetahuan mengenai risiko secara science, baik 2 2 26 30 didapatkan melalui pendidikan formal atau informal 4 20 36 maka seseorang diharapkan memiliki tingkat 6 20 34 kewaspadaan yang lebih tinggi. Seseorang diharapkan memiliki persepsi bahwa mereka mengetahui risiko Pada dimensi ini rata-rata para pekerja menilai dan berdasarkan ilmu pengetahuan (Schmidt 2004).. Jika memilih pekerjaan erection konstruksi baja > 7 m
dan pemasangan cladding/roofing dapat langsung mencederai beberapa orang jika terjadi kecelakaan. Pemberian Pelatihan K3 Menurut Hughes (2007) pada pekerjaan ini bahaya yang paling sering timbul adalah slips, trips, and fall Distribusi Frekuensi Skor Penilaian Pemberian (terpeleset, tersandung, dan jatuh). Kemungkinan Pelatihan K3 Di PT. X Project Y terburuk yang dapat terjadi menurut Hughes (2007) adalah kejatuhan material seperti baja atau alat-alat Skor Frekuensi Persen Persen penilaian Kumulatif berat lainnya. Menurut para 26 2 3.3 3.3 pekerja pada pekerjaan ini adalah pekerjaan yang tidak 28 2 3.3 6.7 hanya dapat mencederai diri sendiri tetapi juga dapat 32 6 10.0 16.7 menyebabkan cedera baik langsung atau tidak 33 2 3.3 20.0 langsung kepada banyak pekerja lainnya dalam suatu 36 6 10.0 30.0 area pekerjaan. Biasa & dapat Beradaptasi Dengan Risiko
Tidak Terlalu Sering dan Dapat Beradaptasi
Jarang Dan Bisa Beradaptasi
Jarang Dan Harus Menghindar
-
10 4 6 8 8
18 26 22 24 26
32 30 32 28 26
-
Paradigma Ke-8 Common Dread Pada dimensi ini para pekerja menilai bahwa pemasangan electrical dan mechanical serta bekerja diatas menggunakan lifeline bahwa risiko pekerjaan ini jarang, dan bisa diaptasi dan harus dihindari. Menurut Hughes (2007) setiap pekerjaan di ketinggian tidak selalu sering namun membahayaka para pekerjanya, oleh karena itu para pekerja harus bisa beradaptasi dan harus menghindari bahaya tersebut apabila kemungkinan muncul atau mulai tampak.
37 38 40 41 43 44 45 46 47 48 Total
4 8 2 2 2 6 4 4 2 8 60
Mean
39.8
Median
39
Modus
38
6.7 13.3 3.3 3.3 3.3 10.0 6.7 6.7 3.3 13.3 100.0 Nilai Max Nilai Min Std Dev
36.7 50.0 53.3 56.7 60.0 70.0 76.7 83.3 86.7 100.0 48 26 6.235
Berdasarkan pada Tabel di atas menunjukkan distribusi frekuensi hasil pemberian pelatihan K3 pada pekerja di PT. X Project Y. Pelatihan K3 ini diukur dengan alat bantu kuesioner yang terdiri dari 12 pertanyaan. Berdasarkan table tersebut diperoleh hasil nilai median (nilai rata-rata) 39.8, nilai tengah (median) 39, modus (nilai yang sering muncul) sebesar 38 sebanyak 8 orang dan standar Paradigma Ke-9 Severity Of Consequences deviasi (SD) 6.235. Nilai pemberian pelatihan K3 Dapat terendah (minimum) 26, sedangkan nilai tertinggi Tidak Menyebabkan Menyebabkan menyeba (maksimum) yang dimiliki responden adalah Menyebabkan Luka Ringan luka Berat bkan Cedera sebesar 48 sebanyak 8 orang. kematian Dari data yang di dapat maka diperoleh 2 10 18 30 nilai mean sebesar 39.8 sehingga dapat di 14 18 28 kategorikan menjadi penilaian terhadap pelatihan 8 22 30 K3 yang kurang baik dengan total nilai < 39.8 8 24 28 sebanyak 30 orang dan penilaian terhadap 8 26 26 pelatihan K3 yang baik dengan total nilai > 39.8 Pada dimensi terakhir ini para pekerja rata-rata menilai sebanyak 30 orang. keparahan risiko yang ada adalah pada semua Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan di ketinggian dimana semua pekerjaan di ketinggian dapat menyebabkan luka berat hingga distribusi frekuensi penilaian pemberian pelatihan kematian. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh K3 pada pekerja di PT X, mean (nilai rata-rata) Schmidt (2004) dimana pekerja diharapkan memiliki 39.8, median (nilai tengah) 39, modus (nilai yang persepsi bahwa pekerjaan yang mereka lakukan dapat sering muncul) sebesar 38 sebanyak 8 orang berbahaya fatal dan bahkan menyebabkan kematian, (13.3%) dan standar deviasi (SD) 6.235. Nilai sehingga tingkat proteksi dan pencegahan yang mereka terendah dalam pemberian pelatihan K3 ini lakukan saat melakukan pekerjaan optimal. Pekerjaan (minimum) sebesar 26 atau sebanyak 2 orang pada ketinggian merupakan pekerjaan yang memiliki (3.33%) dan nilai tertinggi (maksimum) yang risiko ketinggian tinggi seperti yang dikemukakan dimiliki responden adalah sebesar 48 sebanyak 8 menurut Hughes (2007) keparahan risiko yang orang (13.3%). Berdasarkan hasil penelitian ditimbulkan dapat menyebabkan cedera serius hingga tersebut diperoleh hasil nilai mean (nilai rata-rata) 39.8, sehingga dapat di kategorikan menjadi kematian. Berdasarkan hasil penilaian diatas dari 9 penilaian pelatihan yang baik sebanyak 30 orang dimensi paradigma para pekerja pada PT. X Project Y dengan total skor > 39.8 dan yang tidak baik dominan memiliih paradigma voluntariness of risk, sebanyak 30 orang dengan nilai < 39.8. Dari hasil penelitian dapat diambil immediacy of effect, known to expose risk, known of kesimpulan bahwa sebagian pekerja X sudah science risk, chronic catastrophic, common dread, dan severity of consequences dengan skala 4 sedangkan cukup baik menilai pemberian pelatihan yang diberikan, sebagian pekerja menilai kurang baik control over risk dan neweness dengan skala 3. pemberian pelatihan K3. Hal ini dapat disebabkan karena fasilitas-fasilitas pelatihan yang disediakan kurang nyaman dan kurang maksimal dalam pemberian prakteknya. Salah satu contoh dari masalah tersebut adalah kurangnya penyediaan jumlah alat pelindung diri (PPE) seperti bodyharness, safety glasses, safety-belt yang tidak
sesuai dengan jumlah peserta yang mengikuti pelatihan dan dari masalah tersebut menimbulkan masalah dimana peserta tidak semuanya dapat melakukan praktek pelatihan K3 secara baik dan benar, sehingga timbul penilaian yang rendah terhadap pemberian pelatihan K3 yang diberikan tersebut. Bila melihat latar belakang pendidikan responden yang sebagian besar hanya lulusan SD dapat diduga bahwa tingkat penerimaan terhadap materi pelatihan tergolong tidak maksimal. Dari beberapa hasil wawancara yang dilakukan kepada responden, masih banyak yang tidak mengerti istilah-istilah dalam bahasa inggris yang umumnya terdapat dalam materi pelatihan yang diberikan. Uji Normalitas One Sample Kolmogorov Smirnov Variabel Data
z Hitung
P
0.136
0,005
0,835
0,002
Pemberian Pelatihan K3 Persepsi Risiko Kecelakaan Kerja
eksternal. Dari uraian diatas peneliti menduga bahwa ada hubungan antara pemberian pelatihan K3 dan persepsi risiko kecelakaan pekerjaan di ketinggian pada pekerja PT. X. Hubungan yang ada antara pemberian pelatihan K3 dan persepsi risiko kecelakaan pekerjaan di ketinggian PT. X Project Y terlihat dalam perhitungan statistik, dimana didapatkan nilai r untuk uji koefisien korelasi Pearson Product Moment (PPM) adalah sebesar (r) = 0.541 terletak pada 0 < r < +1, maka demikian dapat disimpulkan terjadi korelasi positif antara variabel X dan Y. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadi korelasi yang positif antara variable X (pemberian pelatihan K3) dengan variable Y (persepsi risiko kecelakaan pekerjaan di ketinggian). Hasil perhitungan menunjukkan nilai Sig. (2tailed) sebesar 0.000 < 0.05, maka H0 di tolak, berarti ada hubungan antara pemberian pelatihan K3 dan persepsi risiko kecelakaan kerja pekerjaan di ketinggian PT. X Project Y Kesimpulan
Dari hasil uji normalitas di atas terlihat bahwa nilai pemberian pelatihan K3 memiliki P-value = 0.136. Hal ini menunjukkan bahwa P-value lebih besar dari α = 0,05. Dapat disimpulkan bahwa pemberian pelatihan kerja berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Persepsi risiko kecelakaan kerja memiliki P-value = 0.835. Hal ini menunjukkan bahwa P-value lebih besar dari α = 0,05. Dapat disimpulkan bahwa persepsi risiko kecelakaan pekerjaan di ketinggian berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Uji Hipotesis
X
Variabel Y
R
PKeeratan Value Hubungan
Persepsi Pembe Risiko 0.541 0.000 rian Kecelakaa Pelatih n an K3
Kuat
Sifat Hubungan Positif
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan untuk mengetahui hubungan pemberian pelatihan K3 dan persepsi risiko kecelakaan perkerjaan di ketinggian PT. X Project Y maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Tingkat penilaian terhadap pemberian pelatihan K3 pada pekerja di PT. X Project Y terdapat pekerja yang memiliki penilaian cukup baik terhadap pelatihan sebanyak 30 orang atau sebesar 50%, yang memiliki penilaian kurang baik terhadap pelatihan K3 yang diberikan sebanyak 30 orang 50% 2. Tingkat persepsi risiko kecelakaan pekerjaan secara keseluruhan untuk pekerjaan di ketinggian pada pekerja di PT. X Project Y terdapat Dari data yang di dapat maka diperoleh nilai mean sebesar 150.60 sehingga dapat di kategorikan menjadi persepsi risiko kecelakaan yang kurang baik yaitu sebanyak 26 orang, dan pekerja yang memiliki persepsi risiko yang cukup baik sebanyak 34 orang. 3. Berdasarkan hasil Uji korelasi dengan menggunakan Person Product Moment nilai Sig. (2-tailed) sebesar 0,000 dan pearson correlation 0,541. Hasil tersebut menunjukan bahwa nilai Sig. (2-tailed) < α ( 0.000 < 0.05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima sehingga ada hubungan yang signifikan antara pemberian pelatihan K3 dan persepsi risiko kecelakaan pekerjan di ketinggian di PT. X
Jika nilai Sig. (2-tailed) < 0,05 maka terdapat hubungan yang signifikan antara variabel. Dari hasil uji signifikansi korelasi Pearson Product Moment hubungan pemberian pelatihan K3 dan persepsi risiko kecelakaan pekerjaan di ketinggian di dapat P-value adalah 0,000. Nilai tersebut lebih kecil dari α = 0,05 maka Ho ditolak atau berarti ada hubungan bermakna antara pemberian pelatihan K3 dengan persepsi risiko kecelakaan pekerjaan di ketinggian PT. X Project Y Dari hasil uji korelasi di dapatkan nilai koefisien korelasi (r) = 0,541 dengan demikian terdapat korelasi antara kedua variabel dan memiliki kekuatan korelasi Saran tingkat hubungan yang kuat. 1. Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman Sebelumnya peneliti melihat ada beberapa tentang risiko pekerjaan untuk meningkatkan kemungkinan yang berhubungan dengan pemberian persepsi risiko di tempat kerja dengan aktif dalam pelatihan K3 ini yaitu : kurang nyamanya fasilitas mencari informasi yang berhubungan dengan risiko pelatihan, alat-alat praktek pendukung pelatihan, pada pekerjaan yang dihadapi. kurangnya instruktur pelatihan dan durasi pelatihan 2. Meningkatkan kewaspadaan (awareness) yang singkat. Sehingga hal ini dapat menyebabkan terhadap risiko pekerjaan yang ada di PT. X para peserta pelatihan tidak maksimal dalam mengikuti Project Y dengan melakukan penilaian risiko proses-proses pelatihan yang disediakan oleh secara terus menerus sesuai dengan petunjuk perusahaan dan instruktur yang tergesa-gesa dalam kesehatan dan keselamatan kerja yang sudah memberikan pelatihan yang menyebabkan pemberian disediakan Perusahaan.. 3. Melakukan simulasi dan screening lebih ketat materi pelatihan pun tidak maksimal. Peneliti juga melihat adanya beberapa faktor yang terhadap pekerja yang terindikasi memiliki menyebabkan dan mempengaruhi persepsi risiko aerophobia, berupa simulasi pekerjaan di kecelakaan pekerjaan di ketinggian yang rendah oleh ketinggian. sebagian para pekerja. Seperti faktor internal dan 4. Peningkatan kualiatas dan kuantitas SDM
dalam pengawasan pekerjaan di lapangan, serta perbaikan jam kerja supaya siang/malam pekerja dapat Oemar Hamalik. (2007). Dasar-dasar diawasi dengan baik tanpa keurangan tenaga Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT pengawas. Remaja Rosda Karya (1995). Kurikulum 5. Perbaikan fasilitas, sarana dan prasarana saat proses dan pembelajaran. Bandung: Bumi Aksara pelatihan juga harus ditingkatkan agar pelatihan yang hal 11 dilaksanakan dapat dilakukan dapat maksimal, materi Pertamina, Modul HSE Bekerja Diketinggian, yang disampaikan dapat diterima dan lebih (Jakarta, PT. Pertamina Persero, 2010) dikembangkan oleh para pekerja. Dan para peserta Schmidt M. 2004. Investigating risk perception: a pelatihan dapat menerima teori dan praktek pelatihan. short introduction. Chapter 3 in: Schmidt Para pekerja juga disarankan untuk berpartisipasi aktif M. 2004. Loss of agro-biodiversity in dalam pelatihan internal dan ekternal yang diadakan Vavilov centers, with a special focus on oleh perusahaan maupun instansi di luar perusahaan. the risks of genetically modified organisms (GMOs). PhD Thesis, Vienna, Austria Bimo Walgito. (2004). Pengantar psikologi Umum. Daftar Pustaka Jakarta: Penerbit Andi 2004 Karlsson, M. L., C. Bjorklund, et al. (2012). The Soehatman Ramli (2010): Sistem Manajemen relationship between pyschosocial, work Keselamatan dan Kesehatan Kerja factors, employee health and organizational (OHSAS 18001), Seri Manajemen K3, PT production kyrkgardsgatan, IFAU.2012 Dian Rakyat, Jakarta. Anonim. Jamsostek Setiap Hari Tangani 349 Kasus Yusuf Zalaya, Implementasi Prosedur Bekerja Di Kecelakaan Kerja. 2012.Diakses dari Ketinggian DI PT. BBS Indonesia (WTC http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id pada Project 2) 2012, Tesis, FKM UI Depok tanggal 25 Februari 2015 Imperial Collage London. Code Of Practice Kecelakaan Kerja di Indonesia Menurut Provinsi dan Working At Height, (London, ILC 2013) Sumber Kecelakaan Kerja Triwulan IV Tahun hal 1-3 2014 Health and Safety Executive. (2007). The Work at Fischhoff, B., P. Slovic, and S. Lichtenstein. 1978. Height Regulations 2005 A brief guide. Fault Trees: Sensitivity of Estimated Failure HSE: U.K Probabilities to Problem Representation. J. Soekidjo Notoatmodjo, 2003, Metodologi Experimental Psychology: Human Perception Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka and Performance, 4, 330-344. Cipta hal.69 Nyman.,John,2004.Is Moral Hazard Inefficient .The Kirkpatrick, Ronald L.(1994). Evaluating Training Policy Implication of a New Theory.Health Program: The Four Level.San Francisco: Affairs. Berrett-Koehler Publisher. Fathul Masruri Sya’af Analisis perilaku beresiko (at Ramdani, Ahmad Reza (2010): ANALISIS risk behavior ) pada pekerja unit usaha las TINGKAT RISIKO KESELAMATAN sector informal di kota x tahun 2008 KERJA Supriyadi, Gemilar SP. 2005. Penilaian Resiko PADA PROSES PEMINTALAN (SPINNING) DI Kecelakaan pada Kegiatan di Bagian BAGIAN PRODUKSI PT NITEX TBK Pengantongan PT Semen Cibinong Tbk Bogor. TAHUN 2010 Skripsi S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Kurniawidjaja, L. Meily. 2010 Teori dan Aplikasi Universitas Indonesia. Kesehatan Kerja. UI-Press. Jakarta. Hughes, Phill Introduction to Health And Safety in Suardi, Rudi (2007), Sistem Manajemen Construction, 2007, 2nd Edition ButterworthKeselamatan dan Kesehatan Kerja, seri Heinmann Manajemen Operasi No.11, PMM, Jakarta Pusat. Alex Sobur. (2011) . Psikologi Umum, Bandung : Ramli S. 2010. System Manajemen Keselamatan Pustaka Setia dan Kesehatan Kerja. (Jakarta : Dian Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Rakyat) hal 77 Mempengaruhi. Jakarta: PT.Rineka Cipta. 102 Notoatmodjo , Soekidjo. 2007., Promosi Kesehatan Robbins, Stephen P, 2002. Prinsip-prinsip Perilaku dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta. Organisasi, PT. Erlangga, Jakarta Gempur, Santoso.2004. Manajemen Keselamatan Bimo Walgito. (2004). Pengantar psikologi Umum. dan Kesehatan Kerja. Jakarta : Prestasi Jakarta: Penerbit Rineka Cipta Pustaka Publisher Lennart Sjöberg, B.-E. M., Torbjørn Rundmo (2004). AS/NZS 4801:2001, Australian/New Zealand Explaining risk perception.An evaluation of Standard Occupational Health and Safety the psychometric paradigm in risk perception Management System scope only. Dari : research. D. o. P. Norwegian University of http://shop.standards.co.nz/scope/ASNZS4 Science and Technology 801-2001.scope.scope.pdf [30 Mei 2015] Kralis, D. and A. Csontos (2000). From Risk Gomes, Faustino Cardoso, Dr. 2003. MSDM. Perception to Safe Behavior Sydney Yogyakarta : Ermaya, Sir Kalifatullah, 2015 Persepsi & Pembuatan Hadari Nawawi, (2005), Manajemen Sumber Daya Keputusan Individual, Slideshare.com Manusia Untuk Bisnis Yang Kompetitif, Sunaryo, Psikologi Untuk Keperawatan (Jakarta : Cetakan Ke-4, Gajah Mada Univercity EGC, 2004) hal. 93 Press, Yogyakarta. Thoha, Miftah. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Badan Standar Nasional Indonesia, SNI 13-7083Aplikasinya. Edisi I. Jakarta: Rajawali pers 2005 Tata cara induksi Keselamatan dan Raja Grafindo Persada. KesehatanKerja (K3) pertambangan, Jakarta 2005 Sjafri Mangkuprawira.Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik. (Jakarta: Ghalia Indonesia Simamora, Henry. 2006. Manajemen Sumber Daya 2002) hal 135 Manusia, Edisi 2, STIE YKPN Yogyakarta Fischhoff B., Slovic, Lichtenstein S., Read S. & Combs B. 2000. How safe is safe enough? A psychometric study of attitudes toward
technological risks and benefits. In: Slovic P. (Eds.) Risk Perception. Earthscan Andhika Yudiaji, Studi Persepsi Risiko Keselamatan Menggunakan 9 Paradigma Psikometri Di PT X Divisi T, Tesis, FKM UI Tahun 2012 Aldila Nursanti, Pengaruh Pemberian Kerja Dan Insentif Terhadap Kinerja Karyawan CV. Kedai Digital Yogyakarta, UNY, 2014 Gomes, DR. Faustino Cardoso, M.Si. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Andi Offset