PERSEPSI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) PADA KARYAWAN YANG BERESIKO TINGGI MENGALAMI KECELAKAAN KERJA DI PERTAMINA UP V BALIKPAPAN
Rilia Maya Wangi Muh. Bachtiar
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menggali persepsi kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada karyawan yang beresiko tinggi mengalami kecelakaan kerja. Secara umum, K3 yang dilaksanakan di Indonesia bisa dikatakan belum maksimal. Pertamina UP V Balikpapan merupakan bagian dari PT. Pertamina yang merupakan unit pengolahan, sehingga memiliki tingkat bahaya yang cukup tinggi bagi para karyawan yang bekerja di lapangan. Bagaimanakah persepsi karyawan yang beresiko tinggi mengalami kecelakaan kerja terhadap kesehatan dan keselamatan kerja? Bagaimanakah persepsi mereka mengenai peraturan yang berlaku, fasilitas yang ada dan pelaksanaannya? Bagaimanakah kesediaan para karyawan untuk melaksanakan peraturan yang berlaku? Apabila terjadi pelanggaran, mengapa hal tersebut terjadi? Hal-hal tersebut menjadi pertanyaan-pertanyaan yang ingin digali dalam penelitian ini. Subjek penelitian ini adalah karyawan-karyawan Pertamina UP V Balikpapan yang bekerja di bagian produksi. Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah wawancara. Responden wawancara berjumlah delapan orang. Dari wawancara tersebut didapatkan gambaran mengenai persepsi karyawan terhadap K3, antara lain: 1) Peraturan yang berlaku sudah bagus bagi karyawan, 2) Fasilitas yang tersedia memadai bagi karyawan, 3) Karyawan sudah memahami arti penting K3 bagi keselamatan mereka, 4) Sebagian besar karyawan bersedia menjalankan peraturan yang berlaku, 4) Pelaksanaan K3 di lapangan banyak tergantung pada situasi dan penilaian karyawan atas situasi tersebut. Rincian mengenai hasil penelitian dideskripsikan dalam laporan penelitian ini. Kata kunci: Persepsi, kesehatan dan keselamatan kerja, karyawan yang beresiko tinggi mengalami kecelakaan kerja
2
3
Pengantar Latar Belakang Masalah Penerapan K3 dalam perusahaan menjadi sangat penting karena K3 erat kaitannya dengan persoalan yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan, yaitu kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja merupakan fenomena yang cukup sering terjadi dalam dunia kerja, dan dapat terjadi baik pada pekerjaan di lapangan maupun di kantor. Kematian, cacat, cedera, penyakit, dan lain-lain yang terjadi akibat kecelakaan kerja bertentangan dengan dasar kemanusiaan. Oleh karena itu, atas dasar landasan UUD 1945, lahir undang-undang tentang kesehatan dan keselamatan kerja (Suma'mur, 1987). Perusahaan sebagai komponen kedua melakukan penerapan dan praktik keselamatan kerja (Suma'mur, 1987). Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang dilaksanakan di Indonesia belum bisa dikatakan maksimal. Standar keselamatan kerja di Indonesia sampai dengan tahun 2001 ternyata paling buruk jika dibandingkan dengan negaranegara Asia Tenggara lainnya. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang belum dilaksanakan secara maksimal di Indonesia juga terlihat dari masih banyaknya kasus kecelakaan kerja yang terjadi di Indonesia dan masih belum maksimalnya penanganan yang diberikan atas kasus-kasus kecelakaan kerja yang terjadi. Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang masih rendah di Indonesia dilatarbelakangi oleh berbagai macam alasan, mulai dari biaya, dasar hukum, alasan kepraktisan sampai pada tingkat kesadaran untuk melaksanakan K3 itu sendiri. Keselamatan kerja sendiri memiliki latar belakang sosio-ekonomis dan kultural yang sangat luas. Tingkat pendidikan, latar belakang kehidupan yang
4
luas, seperti kebiasaan-kebiasaan, kepercayaan-kepercayaan, dan lain-lain erat kaitannya dengan pelaksanaan keselamatan kerja (Suma'mur, 1987). PT. Pertamina merupakan perusahaan negara yang bergerak di bidang perminyakan dan pertambangan. Pertamina UP V Balikpapan merupakan salah satu cabang unit pengolahan PT. Pertamina yang terletak di kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Sebagai salah satu cabang dari PT. Pertamina, Pertamina UP V Balikpapan juga berkewajiban untuk menerapkan peraturan kesehatan dan keselamatan kerja yang berlaku di Pertamina, yang dikenal dengan nama Kebijakan Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lindungan Lingkungan (K3LL). Potensi bahaya terkandung dalam kegiatan yang dijalankan oleh Pertamina UP V Balikpapan. Hal ini dikarenakan bahan-bahan yang digunakan, diproduksi, diolah, diangkut, dan dipasarkan oleh Pertamina UP V Balikpapan sebagai unit pengolahan, umumnya berbahaya dan beracun. Kesalahan pengendalian operasi dapat menimbulkan insiden dalam bentuk kecelakaan, kebakaran, peledakan, penyakit akibat kerja, pencemaran lingkungan maupun gangguan operasi. Insiden ini, selain dapat mengakibatkan korban jiwa, kerusakan harta dan lingkungan hidup, juga dapat menurunkan daya saing maupun citra perusahaan (Kebijakan Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lindungan Lingkungan PT. Pertamina (PERSERO), 2004). Kecelakaan kerja kategori ringan tercatat masih terjadi di Pertamina UP V Balikpapa, dalam waktu lima tahun terakhir ini. Dalam penelitian ini, penulis ingin menggali bagaimana persepsi karyawan Pertamina UP V Balikpapan, yang beresiko tinggi untuk mengalami kecelakaan kerja terhadap kebijakan
5
keselamatan dan kesehatan yang berlaku di Pertamina UP V Balikpapan dan sejauh mana persepsi tersebut kemudian membentuk perilaku karyawan dalam menyikapi kebijakan tersebut. Persepsi memiliki peran penting dalam studi mengenai perilaku organisasi. Hal ini dikarenakan perilaku seseorang didasarkan pada persepsi mereka mengenai apa realitas itu, bukan mengenai realitas itu sendiri (Robbins, 2001). Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera. Stimulus tersebut kemudian diinterpretasikan dan diorganisasikan oleh individu, sehingga individu tersebut menyadari dan mengerti mengenai apa yang diindera tersebut, dan proses ini disebut dengan persepsi (Walgito, 2002). Persepsi terhadap satu stimulus yang sama, dapat berbeda-beda pada setiap orang yang menerimanya. Persepsi dari karyawan itu yang akan menjadi dasar perilakunya, yang dalam hal ini ia mungkin akan mengindahkan peraturan yang berlaku dan tidak mengenakan alat pengaman. Persepsi Persepsi merupakan reaksi seseorang terhadap stimulus yang bersifat khas. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera. Stimulus tersebut kemudian diinterpretasikan dan diorganisasikan oleh individu, sehingga individu tersebut menyadari dan mengerti mengenai apa yang diindera tersebut, dan proses ini disebut dengan persepsi (Walgito, 2002). Robbins (2001) menyatakan bahwa persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna
6
kepada lingkungan mereka. Davidoff (Walgito, 2002) menyatakan bahwa dengan persepsi, individu akan menyadari tentang keadaan sekitarnya dan juga keadaan diri sendiri. Persepsi, berdasarkan berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai tanggapan atau reaksi seseorang terhadap stimulus tertentu, diperoleh dengan bantuan penginderaan untuk kemudian diinterpretasi dan diorganisir oleh individu, sehingga memberikan makna. Persepsi kesehatan dan keselamatan kerja dalam penelitian ini diartikan sebagai pemahaman, pandangan, dan reaksi (tanggapan, sikap) individu terhadap stimulus-stimulus (fisik maupun non fisik) yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja, baik sebagai ilmu pengetahuan maupun penerapannya. Matlin (1983), berdasarkan berbagai pendekatan di atas menyimpulkan bahwa ada empat tema yang terlibat dalam proses persepsi, yaitu alat indra yang berbagi kesamaan antara satu dengan yang lainnya, stimuli yang kaya akan informasi, sistem sensori manusia yang berada dalam keadaan baik dalam mengumpulkan semua informasi mengenai stimuli, serta pengetahuan terdahulu, hubungan dan pengharapan yang membantu dalam pembentukan persepsi. Walgito (1994) menyatakan bahwa persepsi merupakan aktivitas yang menyatu dalam diri individu, oleh karena itu seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka acuan dan aspekaspek lain yang ada dalam diri individu akan ikut mempengaruhi persepsi. Walgito (1994) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi individu mengadakan persepsi berasal dari dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Kedua faktor ini akan saling berinteraksi dalam individu mengadakan persepsi.
7
Faktor internal berupa keadaan dalam diri individu tersebut, baik yang berhubungan dengan segi jasmaniah maupun yang berhubungan dengan segi psikologis (pengalaman, perasaan, kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan motivasi),
sedangkan faktor eksternal berupa faktor stimulus itu sendiri dan
faktor lingkungan di mana persepsi itu berlangsung. Berkaitan dengan persepsi terhadap kesehatan dan keselamatan kerja, faktor-faktor eksternal tersebut dapat berupa peralatan teknis, lingkungan kerja, sistem manajemen dan pekerjaan itu sendiri (Anoraga, 2002). Kesehatan dan Keselamatan Kerja Istilah kesehatan merujuk pada kondisi fisik, mental, dan stabilitas emosi secara umum dan istilah keselamatan merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang (Mathis dan Jackson, 2002). Leon C. Megginson (dalam Mangkunegara, 2002) menyatakan bahwa istilah keselamatan kerja mengacu pada kondisi yang aman dari resiko mengalami sakit, cedera, atau kehilangan/kerugian di tempat kerja, dan istilah kesehatan kerja mengacu pada kondisi bebas dari gangguan fisik, emosi, mental atau rasa sakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Ditinjau dari segi keilmuan, kesehatan dan keselamatan kerja dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Manulang, 1995). Aspek-aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), berdasarkan pengertian dan penjelasan dalam Anoraga (2002), dapat meliputi hal-hal berikut ini:
8
a. lingkungan dan sarana kerja yang aman b. peraturan Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang berlaku c. kesediaan pekerja dalam menjalankan peraturan K3 d. motivasi kerja e. aspek psikologis (kecocokan atau ketidaksukaan pada pekerjaan) f. sistem manajemen K3 Kecelakaan kerja dapat menimbulkan kerugian bagi karyawan sendiri, pengusaha dan masyarakat (Batubara, 1988). Silalahi & Silalahi (1991) menyatakan bahwa akibat kecelakaan kerja dapat dibagi atas dua kategori besar yaitu kerugian yang bersifat ekonomis dan kerugian yang bersifat non-ekonomis. Kerugian-kerugian akibat kecelakaan kerja menurut Koeshartono & Junaedi (2005) adalah kerusakan, kekacauan organisasi, keluhan dan kesedihan, kelainan dan cacat serta kematian. Individu berperilaku dengan suatu cara tertentu yang didasarkan tidak pada cara lingkungan luar yang sebenarnya tetapi lebih pada apa yang mereka lihat atau yakini (Robbins, 2001). Suatu perusahaan mencanangkan peraturan kesehatan dan keselamatan kerja yang ketat demi keamanan karyawan-karyawannya dan mempertahankan efektivitas produksi perusahaannya. Namun, meskipun ada usaha seperti itu dari pihak perusahaan, jika seorang karyawan meyakini bahwa peraturan tersebut hanya menganggu pekerjaannya, maka ia akan berperilaku sesuai dengan keyakinannya.
9
Karyawan yang Beresiko Tinggi Mengalami Kecelakaan Kerja Karyawan diartikan sebagai pekerja, pegawai. Employee, menurut Sungguh (1992) dapat diartikan sebagai orang yang bekerja secara kontinyu untuk mendapatkan upah atau gaji. Resiko dalam Oxford (1980) diartikan sebagai kemungkinan akan terjadinya bahaya atau menderita cedera atau kehilangan. Karyawan yang beresiko tinggi mengalami kecelakaan kerja dapat diartikan sebagai orang yang bekerja untuk suatu perusahaan demi mendapatkan imbalan berupa gaji, yang dalam pekerjaannya memiliki kemungkinan tinggi mengalami kecelakaan kerja. Silalahi & Silalahi (1991) yang menyebutkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi kecelakaan kerja ada dua, yaitu unsafe behavior (perilaku tidak aman) dan unsafe condition (lingkungan/kondisi tidak aman). Berkaitan dengan perilaku tidak aman, ada tiga penyebab terjadinya kecelakaan kerja yaitu: karyawan tidak mengetahui tata cara yang aman atau perbuatanperbuatan yang berbahaya; karyawan tidak mampu memenuhi persyaratan kerja sehingga terjadi tindakan di bawah standar; dan karyawan mengetahui seluruh peraturan dan persyaratan kerja namun tidak mematuhinya. Selain itu ditambahkan pula sikap-sikap yang tidak memenuhi syarat keamanan sebagai berikut: karyawan segan/tidak memakai alat pelindung yang disediakan; melanggar peraturan K3 dengan sengaja; tergesa-gesa dan kurang berhati-hati dalam pekerjaan; bersikap kasar, bergurau atau bercanda sambil bekerja; tidak memahami arti kerugian bagi perusahaan maupun dirinya (Silalahi & Silalahi, 1991).
10
Kecelakaan kerja dapat menimbulkan kerugian bagi karyawan sendiri, pengusaha dan masyarakat (Batubara, 1988). Pertambangan dan pengolahan minyak bumi adalah satu kekhususan yang kompleks meliputi eksplorasi dan produksi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan dan penjualan (Suma'mur, 1986). Dalam proses tersebut, terdapat berbagai hal seperti rawannya minyak terhadap bahaya kebakaran, pengotoran lingkungan kerja dan umum oleh bahanbahan minyak, penggunaan berbagai bahan kimia dan keluarnya gas-gas dan uapuap ke udara pada proses pemurnian dan pengolahan, serta pencemaran udara oleh pembakaran gasolin (Suma'mur, 1986). Kilang sebagai lingkungan kerja memiliki sumber potensi bahaya yang dapat menimbulkan resiko kecelakaan, kebakaran dan pencemaran (Petunjuk Umum Keselamatan Kerja Kontraktor, 2006). Dalam sektor pertambangan, mesin dan alat mekanik banyak digunakan, terutama produksi minyak yang menggunakan peralatan yang modern (Suma'mur, 1986). Dalam operasinya, tidak jarang alat-alat produksi ini mengeluarkan kebisingan, serta memiliki temperatur dan tekanan yang tinggi. Bahaya-bahaya yang ada di lingkungan kilang sendiri dapat berupa bahaya kebakaran, tumpahan minyak, bocoran gas atau bocoran gas beracun (Pedoman Penanggulangan Keadaan Darurat PT. Pertamina (PERSERO) UP V, 2003). Berdasarkan penjelasan di atas, karyawan yang bersiko tinggi mengalami kecelakaan kerja dalam penelitian ini adalah karyawan yang dalam lingkungan kerjanya menghadapi bahaya kebakaran, peledakan, tumpahan minyak, kebocoran gas, kebocoran gas beracun, kebisingan serta temperatur yang tinggi.
11
12
Dinamika psikologis persepsi karyawan terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada bagan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut ini: garis penghubung 1 menjelaskan hubungan antara aspek K3 dengan persepsi dimana aspek-aspek tersebut merupakan hal-hal yang dipersepsi dan membentuk persepsi terhadap K3. Persepsi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal sebagaimana yang ditunjukkan oleh garis penghubung 2 dan 3. Faktor internal dapat berupa keadaan dalam diri individu tersebut, baik yang berhubungan dengan segi jasmaniah maupun yang berhubungan dengan segi psikologis (pengalaman, perasaan, kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan motivasi), sedangkan faktor eksternal berupa faktor stimulus itu sendiri dan faktor lingkungan di mana persepsi itu berlangsung. Garis penghubung 4 menjelaskan bahwa persepsi terhadap K3 membentuk pelaksanaan di lapangan, yang terbagi menjadi dua yaitu pelaksanaan sesuai dengan peraturan (garis penghubung 6) dan pelaksanaan yang menemui kendala (garis penghubung 5). Pengaruh kendala terhadap pelaksanaan di lapangan ditunjukkan
oleh
garis
penghubung
7,
sedangkan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pelaksanaan sesuai dengan peraturan ditunjukkan oleh garis penghubung 8. Garis penghubung 9 menunjukkan bahwa pelaksanaan di lapangan yang menemui kendala mendorong terjadinya pelanggaran. Pelanggaran yang terjadi berupa karyawan yang tidak mengenakan alat keselamatan. Pelanggaran dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja ditunjukkan oleh garis penghubung 10. Kecelakaan kerja sendiri berkaitan erat dengan aspek-aspek K3, di mana
13
keduanya menunjukkan hubungan timbal balik sebagaimana yang ditunjukkan oleh garis penghubung 11. Hubungan timbal balik atau keterkaitan di sini dapat diartikan bahwa aspek-aspek K3 yang tidak sempurna dapat mempengaruhi atau menyebabkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, terjadinya kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja sendiri memiliki pengaruh terhadap aspekaspek K3, dimana kecelakaan kerja dapat menjadi umpan balik bagi aspek-aspek K3 untuk lebih dioptimalkan.
Metode Penelitian Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah persepsi karyawan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja, baik itu peraturan, maupun penerapannya. Subjek Penelitian Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah karyawan PT. Pertamina UP V Balikpapan yang memiliki kriteria sebagai berikut: merupakan karyawan lapangan, dan berusia 30-50 tahun. Subjek untuk wawancara berjumlah delapan orang. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Esterberg (Sugiyono, 2005) mendifinisikan wawancara sebagai pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Sugiyono (2005) menyatakan bahwa wawancara dapat digunakan untuk mengetahui hal-hal
14
dari responden yang lebih mendalam. Stainback (Sugiyono (2005) menyatakan bahwa dengan wawancara peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal tersebut tidak dapat ditemukan melalui observasi. Wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori in-dept interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur (Sugiyono, 2005). Peneliti tetap menggunakan interview guide dalam pelaksanaan wawancara, namun bersifat umum dan terbuka kemungkinan untuk perkembangan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan selama wawancara berlangsung. Metode Analisis Data Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif dengan menggunakan model langkah analisis dari Miles dan Huberman dan Poerwandari (2001). Menurut model dari Miles dan Huberman (Sugiyono, 2005), analisis data selama di lapangan dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), serta verifikasi (conclusion drawing). Mereduksi data berarti merangkum, memilih halhal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan pola. Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya. Poerwandari (2001) memberikan tahapan-tahapan dalam menganalisis data kualitatif sebagai berikut, yaitu: data ? kata kunci ? tema ? kategori ?
15
hubungan antar kategori-kategori (pola). Hal yang harus dilakukan menurut Poerwandari (2001) adalah mengorganisasikan data, membuat koding dan analisis, kemudian menguji dugaan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sintesa dari teknik-teknik di atas, yaitu: 1. Mengorganisasikan data 2. Mereduksi data dengan membuat koding, mencari kata kunci, tema, kategori serta pola 3. Penyajian data 4. Penarikan kesimpulan
Hasil Penelitian Subjek dari wawancara yang dilakukan peneliti adalah karyawan Pertamina. Pekerjaan dari subjek yang diwawancara antara lain operator dan pengawas dan karyawan lapangan. Karyawan yang menjadi responden di sini memiliki kantor yang berada di dalam area kilang, sehingga memahami dan mengetahui seluk-beluk daerah operasi tempat dia bekerja, serta resiko bahaya yang menyertainya. Peneliti mendapatkan gambaran dan bentuk persepsi karyawan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dari proses wawancara. Penggalian persepsi itu sendiri terbagi ke dalam beberapa aspek, yaitu persepsi terhadap peraturan K3 yang berlaku, sistem manajemen (sosialisasi, pengawasan), persepsi terhadap ketersediaan
fasilitas,
serta
persepsi
terhadap
lingkungan
kerja.
Pemahaman/pengetahuan mengenai K3 serta kesediaan untuk menjalankan
16
peraturan dalam hubungan dengan persepsi terhadap pelaksanaan juga digali dalam penelitian ini. Dari proses wawancara juga didapatkan gambaran mengenai beban kerja serta komitmen manajemen terhadap pelaksanaan K3. Masing-masing subjek memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai hal-hal di atas. Dari hasil wawancara, terungkap bahwa sebagian besar responden berpendapat bahwa peraturan K3 yang berlaku sudah bagus. Fasilitas memiliki kaitan erat dengan ergonomi kerja dan keselamatan kerja. Persepsi sebagian besar karyawan terhadap fasilitas yang tersedia adalah bahwa fasilitas tersebut sudah cukup memadai. Di Pertamina, fasilitas K3 sudah tersedia, baik fasilitas yang bersifat melindungi keselamatan pemakai dan lingkungannya (seperti peralatan keselamatan pada diri, alat pemadam kebakaran, shower, dll), maupun fasilitas yang mendukung kenyamanan dalam bekerja (seperti AC dalam ruangan, dapur, kamar mandi, televisi, dll). Dari salah satu wawancara terungkap bahwa ada fasilitas yang dirasa kurang yaitu alat komunikasi yang kurang optimal baik dari jenis maupun jumlahnya. Ada juga yang menyatakan bahwa hendaknya layar monitor diberi pelindung untuk mengurangi efek ke mata. Seorang responden pernah mengalami kerugian akibat peralatan yang kurang baik. Ergonomi kerja karyawan yang bekerja di area dalam kilang dan merupakan daerah bising juga digali dalam penelitian ini. Responden yang bekerja dalam lingkungan kerja tersebut menyatakan bahwa lingkungannya sudah cukup nyaman karena kebutuhan dan fasilitas terpenuhi. Kebisingan yang terjadi memang dirasa menganggu namun masih dalam batas toleransi responden.
17
Dari segi sosialisasi, tanggapan responden dalam proses wawancara adalah sudah cukup baik. Bentuk-bentuk sosialisasi yang dipahami oleh responden antara lain adalah safety talk, safety induction dan memorandum. Responden juga memahami dan mengerti seperti apa bentuk sosialisasi-sosialisasi tersebut, walaupun persepsi mereka terhadap bentuk itu sendiri berbeda-beda. Sosialiasi terhadap perubahan sistem juga dilakukan perusahaan untuk menghindari efek stress bagi karyawan. Komitmen perusahaan terhadap pelaksanaan K3 tidak terbatas pada tersedianya peraturan, fasilitas serta sosialisasi saja. Untuk menjaga dan mencegah karyawannya dari penyakit akibat kerja, Pertamina melakukan pengukuran desibel dan membuat peta untuk daerah-daerah bising, serta melakukan pelatihan pemadaman kebakaran. Pertamina juga mewajibkan semua pekerja/kontraktor baru untuk mengikuti pelatihan K3 sebelum bekerja di area kilang agar memiliki bekal mengenai K3. Apabila terjadi kecelakaan kerja, Pertamina memberikan kompensasi pada karyawan yang menjadi tanggungan perusahaan.
Selain itu,
perusahaan juga memberikan sarana untuk menyalurkan aspirasi karyawan, yaitu serikat pekerja Para karyawan yang menjadi responden sudah memiliki pemahaman terhadap K3. Para responden sangat mengenal lingkungan kerja mereka, baik situasi, kondisi, maupun bahaya apa saja yang menyertai pekerjaan dan lingkungan kerja mereka dan akibat yang ditimbulkannya. Pemahaman terhadap K3 yang tergali dari proses wawancara tidak terbatas pada pengenalan akan lingkungan kerja, bahaya/resiko yang menyertainya, serta cara mengatasinya
18
Wawasan mengenai K3 juga menjadi indikasi sejauh mana pemahaman responden. Hal ini terlihat pada responden yang mengetahui dan memahami mengenai ISO yang merupakan sistem manajemen lingkungan serta konsep near miss yang termasuk dalam kecelakaan kerja.. Karyawan yang menjadi responden telah menunjukkan kesediaannya dalam menjalankan peraturan K3 yang berlaku. Hal ini tercermin dalam kesadaran responden akan K3 serta peran serta mereka dalam pelaksanaan peraturan. Para responden menyadari bahwa peran lain dari karyawan adalah mengingatkan sesamanya yang melanggar dan sebagai ujung tombak pelaksana peraturan. Peraturan yang baik tidak selalu menjamin pelaksanaan yang baik pula. Seringkali terjadi perbedaan antara peraturan dan pelaksanaan. Pelaksanaan di lapangan juga mencerminkan kesediaan karyawan dalam menjalankan peraturan. Persepsi karyawan terhadap pelaksanaan K3, yang didapat dari proses wawancara cukup bervariasi. Ada responden yang secara
jelas menganggap dan
mengungkapkan bahwa pelaksanaan K3 masih kurang. Menurut responden, kekurangan ini disebabkan karena masih ada individu-individu yang tidak memakai peralatan keselamatan yang seharusnya. Kendati begitu, ada responden yang menganggap bahwa peraturan dan pelaksanaan tidak selalu bisa bersesuaian, karena kondisi di lapangan yang tidak mendukung. Dari hasil wawancara, juga ditemukan bahwa bagi sebagian responden, pelaksanaan K3 di lapangan biasanya melihat-lihat situasi. Bagi karyawan-karyawan yang sudah mengenal area serta resiko yang menyertainya, penggunaan alat keselamatan melihat-lihat kondisi, apabila mereka menilai situasi dan kondisinya aman, maka mereka tidak
19
menggunakan topi atau sarung tangan, dan begitu pula sebaliknya, apabila mereka melihat situasinya berbahaya bagi dirinya, mereka akan mengenakan peralatan keselamatan. Selain alasan kepraktisan, diakui juga oleh beberapa responden bahwa faktor keengganan dan keterbatasan ruang gerak juga berpengaruh dalam perilaku tersebut. Terlepas dari kondisi di mana perilaku karyawan berdasarkan pada penilaian mereka terhadap situasi, di sisi lain, ada kondisi yang justru memaksa karyawan mengenakan peralatan keselamatan dengan lengkap. Para karyawan yang bekerja di daerah panas dan bising terutama, memahami hal ini. Bagi responden yang bekerja di area ini, peralatan keselamatan sudah bukan merupakan kewajiban, melainkan kebutuhan, sehingga bila berada di daerah-daerah yang bising atau berbahaya, mereka akan mengenakan peralatan keselamatan yang sudah disediakan. Pemahaman mengenai keselamatan itu sendiri juga sudah melekat dalam diri responden. Dari pernyataan responden terlihat bahwa responden sudah menyadari dan memahami bahwa keselamatan pada dasarnya adalah untuk diri sendiri, bukan orang lain. Responden-responden tersebut juga mengetahui dan memahami bahwa dengan menggunakan peralatan keselamatan, kemungkinan maupun dampak terjadinya kecelakaan dapat dikurangi. Kecelakaan yang diakibatkan pelanggaran kecil seperti tidak mengenakan alat pengaman bukannya tidak pernah terjadi. Responden mengakui bahwa pernah terjadi kecelakaan karena kelalaian individu yang tidak mengenakan alat pengaman, walaupun kecelakaan yang terjadi hanya kecelakaan kecil. Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa budaya K3 di Pertamina bisa dikatakan fleksibel
20
dan banyak tergantung kondisi di lapangan. Berkaitan dengan pelaku pelanggar, para keryawan merasa bahwa yang paling berhak menegur para pelanggar adalah pihak LK3. Deskripsi hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini sudah mengetahui, memahami serta memiliki kesediaan untuk melaksanakan peraturan K3 yang berlaku, walaupun pelaksanaan itu sendiri cukup tergantung pada kondisi di lapangan juga. Persepsi yang banyak terlihat berbeda pada responden adalah persepsi terhadap pelaksanaan di lapangan di mana ada karyawan yang merasa peralatan keselamatan banyak membantu atau sebaliknya justru menganggu kinerja. Pihak manajemen, sebagaimana juga karyawan, memegang peranan penting dalam pelaksanaan K3. Keterlibatan pihak manajemen dapat terlihat dari komitmen perusahaan dalam menjalankan K3. Komitmen perusahaan sebagai pembuat kebijakan sangat berpengaruh terhadap budaya yang terbentuk di lapangan. Komitmen perusahaan terhadap K3 terlihat antara lain dengan dibentuknya bagian khusus untuk menangani K3 dan lindungan lingkungan, sudah adanya peraturan K3 serta usaha-usaha untuk mensosialisasikan serta mendukung pelaksanaan K3 itu sendiri. Usaha-usaha yang mendukung pelaksanaan K3 antara lain penyediaan fasilitas, serta usaha untuk menjaga kesehatan, keselamatan serta mendukung kenyamanan karyawan. Hal lain yang juga tergali dari proses wawancara adalah beban kerja karyawan. Beban kerja dirasakan responden yang bekerja di bagian produksi yang merupakan jantung kilang. Selain disebabkan karena berjalannya kilang
21
tergantung pada bagian ini, sumber daya manusianya juga terbatas. Kendati berat, responden
menyatakan
bahwa
pekerjaannya
harus
tetap
dilaksanakan,
bagaimanapun keadaannya Dari proses wawancara juga terungkap bahwa sarana refreshing yang dibutuhkan
responden dirasa kurang, sementara refreshing
sendiri sangat penting bagi karyawan. Bentuk-bentuk refreshing itu bervariasi menurut pemahaman responden, antara lain cuti tahunan, pelatihan-pelatihan, serta dinas atau studi banding yang dilakukan ke luar daerah. Selama beberapa tahun terakhir ini, sarana refreshing karyawan yang berupa dinas atau training keluar kota ditiadakan.
Pembahasan Persepsi dalam penelitian ini diartikan sebagai sebagai suatu proses yang membentuk reaksi seseorang terhadap stimulus tertentu, diperoleh dengan bantuan penginderaan untuk kemudian diinterpretasi dan diorganisir oleh individu, sehingga memberikan makna. Persepsi kesehatan dan keselamatan kerja dalam penelitian ini diartikan sebagai persepsi individu terhadap stimulus-stimulus (fisik maupun non fisik) yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja, baik sebagai ilmu pengetahuan maupun penerapannya. Keselamatan kerja menurut Koeshartono & Junaedi (2005) adalah keselamatan yang berkaitan dengan mesin, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungan kerja serta cara-cara melakukan pekerjaan atau sarana utama untuk mencegah kecelakaan, cacat dan kematian sebagai akibat kecelakaan kerja, sedangkan kesehatan kerja adalah
22
bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan supaya tenaga kerja memperoleh keadaan kesehatan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial sehingga memungkinkan untuk dapat bekerja secara optimal. Dari hasil wawancara, terungkap bahwa sebagian besar responden berpendapat bahwa peraturan K3 yang berlaku sudah bagus. Fasilitas memiliki kaitan erat dengan ergonomi kerja dan keselamatan kerja. Muchinsky (1997) menyatakan bahwa mendesain lingkungan kerja menjadi aman adalah salah satu tujuan tertua dari ergonomi. Beberapa kondisi lingkungan dapat dikontrol dengan menambah/meningkatkan perlengkapan, namun terkadang hal ini sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan, sehingga apabila hal ini terjadi, yang dapat dilakukan adalah melindungi pekerjanya (Berry&Houston, 1993). Peralatan keselamatan ditujukan untuk melindungi pekerja dari bahaya. Di Pertamina, fasilitas ini sudah tersedia, baik fasilitas yang bersifat melindungi keselamatan pemakai dan lingkungannya, maupun fasilitas yang mendukung kenyamanan dalam bekerja. Persepsi sebagian besar karyawan terhadap fasilitas yang tersedia adalah bahwa fasilitas tersebut sudah cukup memadai. Berkaitan dengan ergonomi kerja, responden yang bekerja di area dalam kilang dan merupakan daerah bising menyatakan bahwa lingkungannya sudah cukup nyaman karena kebutuhan dan fasilitas terpenuhi. Kebisingan merupakan salah satu stressor fisik di tempat kerja, namun kebisingan juga memberikan efek yang berbeda-beda pada setiap orangnya (Muchinsky, 1997). Bagi responden, kebisingan yang terjadi memang dirasa menganggu namun masih dalam batas toleransi responden.
23
Dari segi sosialisasi, tanggapan responden dalam proses wawancara adalah sudah cukup baik. Berry & Houston (1993) menyatakan bahwa tidak ada diskusi mengenai pengurangan angka kecelakaan yang lengkap tanpa menyebut poster dan kampanye keselamatan. Poster merupakan salah satu bentuk sosialiasi yang dikenal karyawan. Bentuk-bentuk sosialisasi yang dipahami oleh responden antara lain adalah safety talk, safety induction dan memorandum. Persepsi karyawan terhadap pelaksanaan K3 cukup bervariasi. Ada responden yang secara jelas menganggap dan mengungkapkan bahwa pelaksanaan K3 masih kurang karena masih ada individu-individu yang tidak memakai peralatan keselamatan yang seharusnya. Kendati begitu, ada responden yang menganggap bahwa peraturan dan pelaksanaan tidak selalu bisa bersesuaian, karena kondisi di lapangan yang tidak mendukung. Dalam hal ini, apabila mengenakan peralatan keselamatan yang seharusnya (sepatu), kinerja karyawan justru terganggu. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Berry & Houston (1993), yang menyatakan bahwa peralatan keselamatan dapat ditolak oleh pekerja apabila mereka merasa tidak nyaman atau mengganggu fungsi normal. Ini merupakan hal yang biasa dan beberapa dari masalah ini disebabkan oleh desain peralatan yang miskin (Berry& Houston, 1993). Bagi sebagian responden, pelaksanaan K3 di lapangan biasanya melihat-lihat situasi, dalam arti tidak setiap waktu mereka mengenakan alat keselamatan seperti topi atau sarung tangan. Bagi karyawankaryawan yang sudah mengenal area serta resiko yang menyertainya, penggunaan alat keselamatan melihat-lihat kondisi. Fenomena ini biasanya terjadi karena alasan kepraktisan. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Geller (2001) yang
24
menyatakan bahwa, pada saat pekerja mengambil resiko yang sudah diperhitungkan, mereka akan memilih untuk mengabaikan alasan-alasan keselamatan atau mengambil jalan pintas untuk meningkatkan efsiensi dan kenyamanan. Selain alasan kepraktisan, diakui juga oleh beberapa responden bahwa faktor keengganan dan keterbatasan ruang gerak juga berpengaruh dalam perilaku tersebut. Fenomena yang terjadi di atas serta alasan yang melatarbelakanginya bersesuaian dengan teori yang dikemukakan oleh Frank E. Bird (dalam Reamer, 1980), dimana kebutuhan fisik dan psikologis bertentangan dengan kebutuhan keselamatan, sebagai berikut: 1. Safety vs saving time (keselamatan vs penghematan waktu) Apabila cara-cara yang aman memakan lebih banyak waktu daripada cara-cara tidak aman, beberapa orang akan lebih memilih cara-cara tidak aman. 2. Safety vs saving effort (keselamatan vs penghematan tenaga) Apabila cara-cara aman memerlukan usaha lebih banyak daripada cara-cara tidak aman, beberapa orang akan memilih cara-cara tidak aman. 3. Safety vs comfort (keselamatan vs kenyamanan) Apabila cara aman lebih terasa tidak nyaman daripada cara tidak aman, beberapa orang akan memilih cara tidak aman untuk menghindari ketidaknyamanan tersebut. 4. Safety vs getting attention (keselamatan vs usaha mencari perhatian) Apabila cara tidak aman menarik lebih banyak perhatian dari cara aman, maka beberapa orang akan memilih cara yang tidak aman.
25
5. Safety vs independence (keselamatan vs kebebasan) Apabila cara tidak aman memberikan perasaan akan kebebasan/otoritas lebih bebas dari pada cara-cara aman, beberapa orang akan lebih memilih cara tidak aman, sekedar untuk menunjukkan kebebasan mereka. 6. Safety vs group acceptance (keselamatan vs penerimaan kelompok) Apabila cara-cara yang tidak aman meraih penghargaan yang lebih besar dari kelompok, maka beberapa orang akan memilih cara-cara tersebut untuk mendapatkan atau mempertahankan penerimaan kelompok. Di sisi lain, ada kondisi yang justru memaksa karyawan mengenakan peralatan keselamatan dengan lengkap. Bagi para karyawan yang bekerja di area panas dan bising, peralatan keselamatan sudah bukan merupakan kewajiban, melainkan kebutuhan. Pemahaman mengenai keselamatan itu sendiri juga sudah melekat dalam diri responden. Responden-responden tersebut juga mengetahui dan memahami bahwa dengan menggunakan peralatan keselamatan, kemungkinan maupun dampak terjadinya kecelakaan dapat dikurangi. Responden mengakui bahwa pernah terjadi kecelakaan karena kelalaian individu yang tidak mengenakan alat pengaman, walaupun kecelakaan yang terjadi hanya kecelakaan kecil. Batubara (1988) menyatakan bahwa penyebab kecelakaan paling besar adalah manusianya, yaitu karena kurangnya kesadaran pengusaha dan karyawan sendiri untuk melaksanakan K3. Geller (2001) menyatakan bahwa pada saat perilaku dilakukan secara berulang-ulang dan konsisten dalam jangka waktu tertentu, perilaku tersebut akan bersifat otomatis, dan pada saat itu kebiasaan terbentuk. Kebiasaan dapat menjadi
26
budaya. Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa budaya K3 di Pertamina bisa dikatakan fleksibel dan banyak tergantung kondisi di lapangan. Pihak manajemen, sebagaimana juga karyawan, memegang peranan penting dalam pelaksanaan K3. Menurut Koeshartono dan Junaedi (2005), pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja dalam suatu perusahaan harus dilakukan secara bersama-sama baik oleh pimpinan maupun pengurus perusahaan dan seluruh karyawan agar program-program yang telah disusun dengan baik dapat terlaksana dengan baik pula. Responden memiliki beban dalam menjalankan pekerjaannya. Beban kerja yang mungkin dihadapi pekerja dapat berupa beban fisik, mental, dan sosial yang masing-masing mempunyai dampak yang berbeda pula (Anoraga, 2005). Beban kerja yang dialami responden sendiri lebih bersifat mental karena lingkungan kerja responden yang memegang posisi penting dalam unit pengolahan. Beban kerja memiliki keterkaitan dengan kesehatan kerja. Suma'mur (1986) menyatakan bahwa agar seorang tenaga kerja dalam keserasian yang sebaik-baiknya, yang berarti dapat terjamin keadaan kesehatan dan produktivitas kerja setinggitingginya, maka perlu ada keseimbangan dari faktor beban kerja.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan gambaran mengenai persepsi karyawan terhadap K3. Persepsi sebagian besar karyawan terhadap peraturan, fasilitas dan sosialisasi adalah sudah cukup bagus. Para karyawan sendiri sudah memahami arti pentingnya K3, bahwa pada dasarnya peraturan K3 ditujukan
27
untuk diri mereka sendiri dan pentingnya menggunakan alat keselamatan, sehingga mereka bersedia melaksanakan peraturan yang berlaku. Namun pada pelaksanaannya, banyak karyawan yang melihat-lihat situasi dan kondisi, mempertimbangkan kenyamanan dan batasan dalam ruang gerak, sehingga masih terjadi perilaku-perilaku yang tidak mengenakan alat pengaman yang seharusnya. Dari hal ini terlihat bahwa sebagian karyawan mempersepsikan bahwa pelaksanaan peraturan juga perlu melihat-lihat kondisi juga. Persepsi karyawan terhadap ergonomi lingkungan kerja adalah sudah cukup nyaman, sejauh kebutuhan terpenuhi. Komitmen perusahaan dalam menjalankan peraturan sudah terlihat dengan dibuatnya peraturan, dibentuknya bagian khusus untuk menangani K3, sosialisasi, penyediaan fasilitas, serta usaha menjaga kesehatan karyawan. Hal yang dirasa kurang bagi karyawan yang menjadi responden adalah kurangnya refreshing, yang berbentuk dinas atau pelatihan ke luar daerah. Kurangnya refreshing ini terutama dirasakan oleh responden yang memiliki beban kerja yang berat.
Saran 1. Bagi perusahaan Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa ada fasilitas yang bagi responden masih kurang, seperti kurangnya alat komunikasi. Perusahaan diharapkan dapat lebih memaksimalkan kebutuhan karyawan akan fasilitas yang tersedia. Refreshing bagi karyawan juga dirasakan kurang, sehingga perusahaan diharapkan dapat mencari cara-cara untuk memenuhi kebutuhan refreshing
28
karyawan. Hal ini juga berkaitan dengan pengembangan sistem manajemen K3. Beberapa lingkungan kerja karyawan juga tidak mendukung pelaksanaan K3 dengan maksimal. Perusahaan diharapkan dapat mengusahakan agar lingkungan kerja menjadi lebih kondusif bagi pelaksanaan kerja karyawan. Aspek-aspek yang diharapkan dapat dikembangkan oleh perusahaan yaitu fasilitas, sistem manajemen K3 dan lingkungan kerja. 2. Bagi karyawan Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa karyawan sudah memahami akan pentingnya peraturan dan pelaksanaan K3. Namun pada realisasinya, tidak sepenuhnya maksimal, dan banyak melihat-lihat situasi. Diharapkan para karyawan dapat merubah persepsinya menjadi berorientasi profesional, sehingga pelaksanaan K3 dapat terealisasi dengan maksimal. 3. Bagi penelitian selanjutnya Dalam penelitian ini banyak sekali kekurangan. Penelitian ini bersifat kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa wawancara. Dalam pelaksanaan wawancara banyak terjadi kekurangan seperti kurang mendalam dan kurang terfokus, sehingga data-data yang didapat kurang mendalam.
Peneliti
menyarankan
pada
penelitian
selanjutnya
jika
menggunakan metode wawancara sebagai metode penelitiannya hendaknya diusahakan wawancara dilakukan dengan lebih mendalam. Dan sebelum melakukan wawancara, sebaiknya peneliti sudah memahami mengenai teknikteknik wawancara agar dapat mengembangkan proses wawancara dengan
29
baik, terarah dan mendalam. Peneliti juga sebaiknya sudah memahami mengenai topik yang akan diangkat.
30
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Smith, E.E., Bem, D.J. Pengantar Psikologi. Edisi kesebelas: Jilid 1. Batam Center: Interaksara Batubara, C. 1988. Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja R.I. Berry, L.M., Houston, J.P. 1993. Psychology at Work. Dubuque, Iowa: Brown&Brenchmark DeReamer, R. 1980. Modern Safety and Health Technology. Canada: John Wiley&Sons, Inc. Ehrlich, E., Flexner, S. B., Carruth, G., Hawkins, J. M. 1980. Oxford American Dictionary. New York: Avon Koeshartono, D., Junaedi, M., F., S. 2005. Hubungan Industrial: Kajian Konsep dan Permasalahan. Jogjakarta: Universitas Atma Jaya Jogjakarta LK&KK Unit Pengolahan V. 2006. Petunjuk Umum Keselamatan Kerja Kontraktor. Booklet (Tidak Diterbitkan untuk Umum). Balikpapan: PT. Pertamina UP V Manulang, S. 1995. Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta Mathis, R.L., Jackson, J.H. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Buku 2. Jakarta: Penerbit Salemba 4 Matlin, M. W. 1983. Sensation and Perception. Second Edition. New York: Allynond Bacon. Inc Muchinsky, P.M. 1997. Psychology Applied to Work. Fifth Edition. California: Brooks/Cole Publishing Company Poerwandari. 2001. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
31
PT. Pertamina (Persero), 2004. Kebijakan Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lindungan Lingkungan PT. Pertamina (Persero). Booklet (Tidak Diterbitkan untuk umum). Jakarta: PT. Pertamina (Persero) PT. Pertamina (Persero) Unit Pengolahan V. 2003). Pedoman Penanggulangan Keadaan Darurat. Pedoman (Tidak Diterbitkan untuk Umum). Balikpapan: PT. Pertamina (Persero) Unit Pengolahan V Robbins, S. P. 2001. Perilaku Organisasi. Jilid I, Edisi ke-8. Jakarta: PT. Prehallindo Silalahi, B. N., Silalahi, R. B. 1991. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit CV. Alfabeta Sungguh, A. 1992. Kamus Ekonomi Perdagangan. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama Suma'mur. 1987. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: CV Haji Masagung Walgito, B. 1994. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi Offset Walgito, B. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi